Majalah
Edisi 2013/2014
Partisipasi di Ujung Jari SPEKTRUM
TOKOH
Keruwetan Sekolah di Solo Terapkan Kurikulum 2013
Agnia Mega Safira:
Serunya Ikut Ajang Internasional
SALAMREDAKSI
DAFTAR ISI Salam Redaksi 2 Surat Pembaca 4 SELINGAN Podium 19 Potret 24 BERITA Laporan Utama 7, 10 Laporan Khusus 27, 30 Spektrum 14, 16 Sekaken 22, 23 OPINI Visi Kita 5 Detak 6 Artikel Utama 12 Kolom 20 Teropong 37 Refleksi 42 TOKOH Tokoh 34 Wawancara 40 RESENSI Buku 45 Film 46 Musik 47
Salam Redaksi!
SASTRA Cerpen 48 Puisi 49
Desain & Tata Letak Ilustrasi & Sampul
P
olitik adalah bagian teramat penting bagi perjalanan suatu negara. Setiap hari, insan media selalu disuguhi dengan berita-berita dari kalangan politisi. Banyaknya informasi yang diserap oleh masyarakat, mestinya meningkatkan partisipasi mereka dalam dunia politik. Berpartisipasi bukan berarti langsung terjun ke dunia politik, akan tetapi ikut serta membahas dan berkomentar tentang hal-hal yang bernuansa politik juga dapat disebut sebagai bentuk partisipasi. Dewasa ini, partisipasi di kalangan anak muda khususnya mahasiswa dianggap sangat kurang. Mari kita tinjau partisipasi politik mahasiswa masa orde baru. Mereka begitu gigih memperjuangkan keadilan masyarakat Indonesia pada masa itu. Berdemo hingga membuat pemerintah ‘kebakaran jenggot’ sering mereka lakukan, hingga rezim orde baru runtuh dan berganti menjadi reformasi. Namun, masa kini bisa kita lihat berapa banyak mahasiswa yang peduli dengan masalah politik. Berapa banyak orang yang dianggap agent of change itu mau turun ke jalan untuk memprotes kebijakan politik? Era cyber yang kini merajai kalangan muda, telah mampu merasuki pikiran mereka dengan hal-hal yang begitu beragam, lifestyle misalnya. Terkadang hal itu dianggap lebih menarik dibandingkan membicarakan masalah politik. Untuk itu, Redaksi LPM VISI pada edisi kali ini akan membahas mengenai bagaimana kalangan muda masa kini menyikapi permasalahan politik. Dalam rubrik Laporan Utama, pembaca akan tahu apakah para pemuda masa kini masih banyak yang peduli akan politik. Sekaligus mengetahui bagaimana mereka berpartisipasi dalam masalah politik tersebut.
: R. Ahmad Reiza M. : Radityo Kuswihatmo
PERIODE 2013/2014
Redaksi
Pelindung Prof. Pawito, Ph.D Pembimbing Nora Nailul Amal, S.Sos, M.L. Pemimpin Umum Ilham Fariq Maulana Sekretaris UMUM Hapsari Retno Widanti Staf : Audia Prita Wijaya, Intan Aida Diliani, Inda Destriani Bendahara UMUM Diah Harni Saputri Staf : Neli Azizah, Sarah Umi Nur Azizah
Pemimpin Redaksi : Munadhifah Majalah : Fenti Fadilla, Erma Yunianti Terbitan Lain : Linda Fitria Christyas, Astini Mega Sari ARTISTIK : R. Ahmad Reiza M., IG Rinda Yuda W, Arkhan Faturahman
Pemimpin Usaha : Latifatul Jannah IKLAN & PENGGALIAN DANA MANDIRI : Chairunnisa Widya Priastuty, Maharina Krisna Handayani, Tifani Helentina Marpaung PRODUKSI & SIRKULASI : Dita Rahayu Margatino, Waskito Pamungkas, Inna Ratna R
PENELITIAN & PENGEMBANGAN Pemimpin Litbang : Fatmadita Pangesti PENDUKUNG TERBITAN : Ikrar Setia Dewi, Galang Perwira T. H., Carlie Nurul Widyanti PEWACANAAN EKSTERNAL : Radityo Kuswihatmo, Endera Ayu Luviana USAHA
KADERISASI Pemimpin Kaderisasi : Sinta Agustina SKILL & LEADERSHIP : Ester Lia Amanda, Insyirah Anwari, Jenny Rahmalia N. KAJIAN & DISKUSI INTERNAL : Alvira Parahita, Eva Menageti, Rahayu Ningrum ANGGOTA
Arfian Grenoadi, Aulia Mestikasari, Bima Sandria Argasona, Della Fahriana, Desi Indah P., Erna Fajar Dewanti, Hira Askamal, Ibnu Prasetyo, Moh. Luthfi Syamsudin, Mita Rahayu, Salma Fenty, Theresia Sandra, Umi Septiana, Venti Rahadini, Wahyu Andhika, Yasinta Rahmawati, Alfandy Kurniawan Alamat SEKRETARIAT & Redaksi Gedung 2, Lantai 2, FISIP UNS, Jl. Ir. Sutami No. 36A Surakarta, 57126
EMAIL redaksilpmvisi@gmail.com
Website http://www.lpmvisi.com
Redaksi LPM VISI menerima kritik, tulisan, dan karya lainnya ke alamat yang tersedia di atas ini. Artikel, karya sastra maupun jenis tulisan lainnya yang telah masuk ke redaksi, menjadi hak penuh kami untuk diedit tanpa mengubah esensi.
Apabila terdapat kesalahan dalam penulisan dan pengutipan pernyataan, redaksi LPM VISI menerima hak jawab sesuai UU Pers No. 40 Th. 1999 pasal 1 ayat 1.
VISI | No. 31/Th. XXI/2014
3
V ISI Kita
SURATPEMBACA
Jadi Generasi Cerdas Berjejaring Sosial
UNS Belum Ramah Difabel Sebagai mahasiswa Pendidikan Luar Biasa FKIP UNS, saya merasa bahwa UNS tidak ramah terhadap kaum difabel jika dilihat dari segi bangunan. Banyaknya gedung di UNS yang menggunakan tangga sebagai satu-satunya akses untuk naik ke lantai atas, akan membuat kaum difabel kesulitan untuk bisa mandiri jika ingin naik ke lantai dua dan seterusnya. Di gedung PLB sendiri, satu-satunya akses ke lantai dua dan seterusnya juga masih memakai tangga. Hal ini tentu akan sangat merepotkan ketika dari pihak PLB mengundang kaum difabel ke fakultas. Padahal kondisi gedung PLB seharusnya bisa mendukung untuk akses kaum difabel. Di PLB sendiri, pembelajaran yang diajarkan juga hanya sekedar teori dan sangat jarang praktek langsung, khususnya ke kalangan kaum difabel. Christina Mahasiswi Pendidikan Luar Biasa FKIP UNS
S
Kecewa dengan Medical Center Sebagai satu-satunya tempat pelayanan medis untuk mahasiswa UNS, Medical Center menurut saya kurang menjalankan fungsinya dengan baik. Banyak mahasiswa yang sakit ataupun mengurus tes kesehatan, tapi dari segi pelayanan Medical Center saya rasa kurang. Saya sendiri pernah ke Medical Center saat sedang sakit, tapi hampir satu jam menunggu saya tidak dilayani juga. Bahkan masih banyak antrian sebelum saya yang belum dilayani juga. Pelayanan yang lama di Medical Center tentu menjadi ha yang membuat saya kecewa. Saya juga merasa bahwa kritik semacam ini sudah banyak dilontarkan oleh beberapa temanteman mahasiswa. Jadi saya sangat berharap medical center mampu berbenah untuk memperbaiki segi pelayanan terhadap mahasiswa. Tuti Yuniarti Mahasiswi Pendidikan Akuntansi FKIP UNS
iklan
4
VISI | No. 31/Th. XXI/2014
aat ini rasanya sangat sedikit orang yang tak mengenal istilah media sosial. Dari anak kecil, remaja hingga dewasa berlomba-lomba untuk eksis di media sosial. Jenis media sosial pun kini telah beragam, memberikan banyak pilihan bagi para pengguna telepon pintar alias smartphone dan internet. Jejaring sosial seperti Facebook, Twitter, Instagram, dan lainnya dapat digunakan untuk mem-posting segala macam hal, status misalnya. Tersedianya kolom untuk menuliskan apa yang sedang dialami atau segala hal yang telah dipikirkan oleh pemilik akun memang membuat jejaring sosial menjadi sahabat curahan hati (curhat) yang paling setia. Bagaimana tidak, sosial media ada kapanpun kita ingin bercerita, dan ia tak pernah menolak ketika kita ingin mencurahkan segala hal yang ada di kepala. Saking baiknya aplikasi-aplikasi yang dapat diakses secara online tersebut, banyak pengguna akun yang merasa terlalu nyaman untuk curhat di dalamnya. Mereka terang-terangan mengungkapkan banyak macam hal tanpa memikirkan dampak yang akan ditimbulkan. Terkadang mereka lupa bahwa dirinya tak hanya curhat pada sosial media, akan tetapi juga kepada semua mata yang akan membaca status yang terpampang di akunnya masing-masing. Status yang telah dipasang di suatu akun memungkinkan untuk dikomentari oleh orang lain. Tentu komentar itu beragam, ada yang positif, negatif, atau bersifat netral. Masih ingat kasus Dinda yang pernah mengecam ibu hamil saat meminta prioritas tempat duduk di KRL? Karena kekesalannya, Dinda menceritakan ketidaksukaannya terhadap apa yang dialaminya di akun Path-nya. Tanpa disangka oleh Dinda, ternyata ribuan orang mengecam perbuatan Dinda tersebut. Banyak orang yang mem-bully-nya lewat beragam media sosial, bukan hanya di Path. Dinda dianggap sebagai
Munadhifah Pemimpin Redaksi LPM VISI pemuda yang tidak menghormati kaum wanita yang sedang hamil. Hujatan-hujatan untuknya muncul dari berbagai kalangan, bahkan dijadikan bahan perbincangan di media massa. Kasus lain yang muncul dari Path adalah umpatan Florence Sihombing yang berujung di kepolisian. Mahasiswi S2 program studi hukum di Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta ini harus bertangung atas apa yang diucapkannya di akun Path miliknya. Statusnya yang bernada menghina kota Yogyakarta menemui banyak kecaman dan menimbulkan kemarahan warga kota pendidikan tersebut. Peristiwa yang tak kalah menarik adalah kicauan musisi ternama Indonesia Ahmad Dhani di akun twitter-nya. Meski membantah bahwa ia yang membuat status tentang sumpahnya yang akan potong kemaluan jika Prabowo Subianto kalah dalam pemilu presiden, namun banyak orang yang menyangsikan hal tersebut. Ada berbagai sindiran yang mengarah pada Ahmad Dhani. Terlalu mudah untuk menuliskan tentang pikiran kita di akun jejaring sosial ternyata dapat menimbulkan masalah besar. Tak hanya merasa malu atau mendapat hujatan dari ribuan orang, tapi juga bisa menyeret kita ke masalah hukum. Tentu sebagai generasi yang cerdas, kita harus berpikir cerdik untuk membuat bermacam status di akun jejaring sosial. Akan lebih bijak jika akun media sosial yang kita miliki digunakan untuk hal-hal yang berguna bagi banyak orang, bukan untuk kepentingan pribadi semata. mari jadikan diri kita generasi yang cerdas saat berjejaring sosial!
VISI | No. 31/Th. XXI/2014
5
D etak Era Indonesia Berkarakter Ilham Fariq Maulana Pemimpin Umum LPM VISI
S
aat ini masyarakat telah di tuntut untuk memiliki kemampuan atau keahlian yang memiliki basic yang mumpuni seiring dengan kompleksnya kebutuhan. Pendidikan menjadi basis utama bagi pembentukan sumber daya manusia yang terlatih dan tentunya mampu mengatasi kompleksitas kebutuhan tersebut. Dewasa ini, sumber daya manusia tidak hanya dibutuhkan mereka yang memiliki kemampuan mumpuni dari bidang yang ditekuni. Namun, faktor karakter juga menjadi salah satu tolak ukur bagi kemampuan sumber daya manusia untuk memajukan dan mengembangkan kesejahteraan hidup. Indonesia seakan selangkah lebih maju dengan mencoba mengimplementasikan sistem pendidikan yang kini berbasis karakter. Hal ini bukan menjadi wacana mudah, karena merujuk pada ukuran kemampuan masing-masing individu. Selama ini pendidikan Indonesia dari bobot mata pelajaran yang diarahkan kepada pengembangan dimensi akademik siswa. Dimana sering diukur dengan kemampuan logika-matematika dan abstraksi (kemampuan bahasa, menghafal, abstraksi – atau ukuran IQ). Lebih dari itu pendidikan seharusnya juga membentuk karakter karena hal ini mampu menempa mental, moral, dan emosional individu. Sejatinya ada penyeimbangan melalui pembangunan karakter adalah kesadaran kemampuan diri. Ketatnya persaingan global saat ini yang memunculkan perlombaan pembangunan antarnegara mendorong urgensitas kualitas sumber daya manusia. Ketika seorang individu sadar akan kemampuannya, maka individu tersebut mulai bebas mengeksplorasi dan menggalinya. Saat itulah kemampuan akan seterusnya berkembang. Karakter menjadi landasan kemampuan itu, ketika karakter terbentuk maka karakter menjadi pembatas sekaligus jalur bagi
6
VISI | No. 31/Th. XXI/2014
individu mengeksplorasi kemampuannya. Budaya lokal menjadi salah satu faktor pembentuk karakter dari masyarakat. Karena pada budaya lokal terkandung kearifan lokal yang merupakan penjelmaan normal dan moral masyarakat. Melihat contoh negara Jepang yang menjaga dan memegang budaya lokalnya menjadi kebanggaan, membawa negara ini menjadi salah satu negara paling royal di dunia. Kualitas sumber daya manusia Jepang yang berkarakter melalui budaya dan kearifan lokal seakan telah dikuasai seutuhnya. Sehingga mereka mampu menjaga hal tersebut dari generasi ke generasi. Pengusaha sekaligus motivator Indonesia, Andrie Wongso mengatakan untuk membangun bangsa dengan pluralitas yang luas ini membutuhkan pondasi yang kuat, yakni karakter bangsanya. Menurutnya, orang-orang yang berkarakter tidak akan terjebak dalam naluri rendah yang menyebabkan intoleransi. Mengingat seiring bertambah umurnya negeri ini pascaproklamasi, telah banyak bermunculan konflik horizontal di kalangan masyarakat. Serta merambahnya praktik – praktik kotor yang mengabaikan kejujuran di birokrasi negara. Maka pembentukan karakter merupakan pendidikan untuk mengembangkan mental dan moral masing-masing individu. Karena setiap individu memiliki keunikan sendiri yang tidak bisa diseragamkan. Untuk mengharapkan Indonesia yang lebih baik, akan lebih mudah ketika setiap elemen masyarakat saling berkolaborasi. Dari kolaborasi tersebut tentu dapat terlihat apakah bangsa ini telah menemukan karakternya. Semoga bangsa ini berjaya dengan insan yang berkarakter, saat itulah zaman emas Indonesia akan dimulai.
LAPORAN UTAMA
Pemuda dan Politik
Partisipasi di Ujung Jari Bagi sebagian orang membicarakan masalah politik mungkin merupakan sesuatu yang sangat membosankan. Apalagi di kalangan anak muda, mereka kerap tak acuh ketika ditanya perihal politik. Tapi, beberapa waktu lalu ketika masa pemilihan umum tahun 2014, kalangan muda beramai-ramai membicarakan pilihan menjadi golongan putih (golput). Inikah bukti bahwa generasi muda masa kini banyak yang apatis?
VISI | No. 31/Th. XXI/2014
7
B
erdasarkan data yang telah diperoleh VISI, sebesar 42% dari total 253,60 juta jiwa penduduk Indonesia adalah kaum muda. Akan tetapi, jika bicara politik di kalangan pemuda, masih sedikit yang peduli akan politik. Karena masih banyaknya pemuda yang memilih untuk menjadi apatis berkenaan dengan masalah politik. Dalam hidup kebangsaan, manusia tidak pernah lepas dari kehidupan politik negaranya. “Politik berkaitan dengan segala urusan yang bersifat publik, namun dalam batasan tertentu,“ ungkap Kandyawan Dosen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta kepada VISI, di Gedung D3 FISIP UNS, Jumat (7/3). Dalam politik dan pemilihan umum (pemilu) sangat erat kaitannya dengan partisipasi pemuda. Karena dalam pemilu akan menjadi legitimasi berkembangnya proses demokrasi. Pemuda memiliki peran penting pada proses politik karena mereka adalah agen perubahan masa depan bagi bangsa ini. Tahun 2014 bisa dibilang sebagai tahun pesta demokrasi bagi bangsa Indonesia. Dua pemilihan umum (pemilu) terbesar telah diadakan pada tahun ini, yakni pemilu legislatif serta pemilu presiden dan wakil presiden. Pemilu legislatif telah berlangsung 19 April 2014, sedangkan pemilu presiden dan wakil presiden dilaksanakan 9 Juli 2014. Presiden BEM UNS periode
8
2013, Toma Patriotama saat ditemui VISI, mengungkapkan mahasiswa belum sadar sepenuhnya akan pentingnya berpartisipasi dalam perpolitikan. “Mahasiswa sekarang cenderung tidak tertarik dengan politik, mahasiswa berasumsi bahwa politik itu kotor, namun sebenarnya mahasiswa tidak dapat dipisahkan dengan dunia politik,” terangnya Kamis (2/1). Toma juga menyayangkan kurangnya kesadaran dari para mahasiswa saat ini bahwa peran pemuda itu merupakan pilar kebangkitan negara. Bicara mengenai kondisi politik di Indonesia saat ini berkaitan dengan ketidaktertarikan politik anak muda. Bachtiar Anang Abiantoro Presiden BEM FISIP UNS periode 2013, menuturkan bahwa kondisi politik saat ini sudah keluar dari relnya. “Sistem pemerintah Indonesia itu demokrasi, tetapi lebih mengarah ke liberal, maksudnya yakni yang disenangi saja yang dipilih tanpa mengkajinya lebih dalam pantas atau tidaknya,“ jelasnya. Bachtiar juga menjelaskan bahwa hal itu disebabkan masih banyak partisipan pasif yang tidak melek politik. “Sistem politik di Indonesia juga tidak jelas sehingga butuh perombakan,“ tambahnya. Dulu dan Sekarang Pada masa perjuangan kemerdekaan, berbagai usaha dilakukan untuk melawan penjajah. Dari organisasi pemuda, gerakan bawah tanah, pemberontakan, dan sebagainya. Setelah Indonesia merdeka,
VISI | No. 31/Th. XXI/2014
“Mereka fobia mengenai dunia politik. Asumsi mereka, politik ialah suatu kotor dan curang” — Toma Patriotama pemuda kembali berperan dalam membangun bangsa. Kepedulian dan rasa nasionalisme pemuda pada masa itu cukup tinggi dengan berbagai masalah bangsa yang tentunya juga berkaitan dengan masalah politik. “Pemuda zaman dulu, sangatlah peduli dengan dunia politik dan permasalahan bangsa ini. Beberapa gerakan mahasiswa dilakukan untuk mengukir nilai-nilai Pancasila. Dimana gerakan-gerakan memberikan pengaruh dalam perpolitikan Indonesia,“ ungkap Bagas Ferbrantoro Gubernur BEM Fakultas Komunikasi dan Informatika Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Kamis (3/7). Menurut Bagas, pada saat
ini sebagian pemuda Indonesia sudah seperti kehilangan akar yang kuat sebagai bagian dari elemen bangsa. Salah satu penyebabnya adalah munculnya westernisasi yang terus menggerus nasionalisme. Bagi Bagas, globalisasi merupakan ancaman besar bagi para pemuda. “Sebagian pemuda sekarang cenderung mengabaikan masalah politik dan kepentingan negaranya. Mereka lebih memilih untuk mengurusi gaya hidup atau style yang lagi nge-trend saat ini,“ tambahnya. Toma melihat mahasiswa yang seharusnya menjadi tonggak generasi penerus bangsa dan salah satu penentu kebijakan di masa depan, cenderung tidak mau tahu soal politik bahkan takut. ”Mereka fobia mengenai dunia politik. Asumsi mereka, politik ialah suatu kotor dan curang,“ ungkap Toma. Deisy Nurul salah satu mahasiswa Public Relations 2012 FISIP UNS mengaku tindakan apatis mahasiswa saat ini disebabkan karena mereka tidak tertarik mengenai dunia politik. Menurutnya, rekam jejak para anggota dewan sebagai wakil rakyat begitu buruk di mata mereka. “Saya tidak tertarik dengan masalah politik, banyaknya kasus korupsi sedangkan kemiskinan di negeri ini masih merajalela membuat saya enggan untuk mengenal lebih jauh mengenai dunia politik,” tuturnya, Selasa (1/7). Bagaimanapun, Toma melihat politik sangatlah berperan bagi kehidupan bangsa ini,
karena politik berpengaruh dengan sistem negara ini. “Sebagai mahasiswa kita harus berpartisipasi aktif, baik dengan mengikuti diskusi maupun seminar mengenai masalah politik,“ ungkap Toma, Kamis (2/1). Menurutnya hal tersebut merupakan langkah kecil yang dapat dilakukan untuk melatih mahasiswa berpikir kritis serta tidak apatis. Cara yang Berbeda Namun tidak semua pemuda tak peduli dengan politik, buktinya menjelang pemilihan umum (pemilu) calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres). Di media sosial banyak kalangan mengungkapkan aspirasinya mengenai permasalahan politik saat ini serta meributkan soal capres dan cawapres pilihannya melalui akun jejaring sosial. “Meskipun tidak terlalu paham mengenai politik, buktinya masih ada sebagian pemuda yang peduli akan masalah politik. Seperti yang terjadi di berbagai media sosial saat ini menjelang pemilu capres dan cawapres kemarin,“ ungkap Bagas Febrantoro. Bagas melihat hal tersebut merupakan salah satu cara yang dilakukan oleh sebagian pemuda untuk berekspresi dan menyampaikan aspirasinya mengenai perpolitikan di Indonesia. Seperti halnya yang tertera dalam sebuah akun jejaring sosial milik Wasita Anggara (20) dalam sebuah status di akun facebook-nya mengkritisi banyaknya kepala daerah yang terjerat kasus korupsi namun
masih tetap kekeh duduk di kursi jabatannya, Sabtu (3/5). “Kalau di Jepang, pemimpin gagal atau terkena kasus hukum saja mereka pasti mundur dari jabatan. Nah kalau di Indonesia udah terjerat korupsi masih aja enggan mundur jadi kepala daerah,” tulisnya. Berbeda lagi dengan pernyataan yang diungkapkan Kirana Larasati (23) melalui akun jejaring sosial twitter miliknya berkaitan dengan harapannya kepada capres dan cawapres. “Siapapun yang akan menjadi pemimpin di negara ini, saya berharap tetap memegang teguh Bhinneka Tunggal Ika,“ harapnya, Senin (9/6). Beberapa pernyataan yang diungkapkan oleh pemuda tersebut merupakan salah satu tindakan dan harapan yang diungkapkan melalui akun jejaring sosial berkaitan dengan masalah politik. (Rahayu, Waskito)
VISI | No. 31/Th. XXI/2014
9
LAPORAN UTAMA
Membuka Mata Penerus Bangsa “Beri aku sepuluh pemuda maka akan aku guncang dunia”. Begitulah jargon Soekarno yang populer dan kerap dielu-elukan untuk mengobarkan semangat para pemuda. Beberapa dekade pemerintahan yang telah bergulir pun melibatkan partisipasi para pemuda. Namun, saat ini terdapat fenomena yang menunjukkan minimnya partisipasi pemuda dalam masalah politik.
M
enurut data yang dirilis KPU, jumlah total pemilih untuk pemilu tahun 2014 sejumlah 186.612.255 orang penduduk Indonesia (Antara.com). Dari 20-30% jumlah total pemilih pemilu 2014 adalah pemilih pemula. “Dalam konteks praktikal dan fakta di lapangan, pemilih muda adalah orang yang baru pertama kali memilih,” kata Kandyawan ketika ditemui VISI di Gedung D3 FISIP Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Selasa (7/3). Mereka yang baru pertama kali memilih ini, cenderung belum memiliki sikap dan ideologi politik. Pemilih pemula tersebut terdiri dari siswa SMA dan mahasiswa. Belum memiliki pengalaman memilih menjadikan mereka awam terhadap kegiatan pemilu dan tidak menyadari pentingnya suara mereka terhadap masa depan politik bangsa. Mahasiswa Universitas Surakarta (UMS), Nur Apriyani (22) mengaku bahwa partisipasinya terhadap persoalan politik masih rendah. “Ya, menurut saya anak muda sekarang malas ngomongin politik
sih, karena banyak pemimpin sekarang cuma umbar janji,” jelasnya saat ditemui VISI di Sekretariat Sangguru Mapala FKIP UMS, Senin (24/2). Menurut Kandyawan, partisipasi politik di Indonesia terbagi menjadi dua, partisipasi aktif dan pasif. Partisipan aktif ialah mereka yang melek politik, sedangkan partisipan pasif ialah orang yang ikut memilih tapi tidak mengetahui alasannya. “Ibaratnya, mereka tidak tahu alasannya berpolitik untuk apa. Mereka cenderung tidak melek informasi tantang politik,” tambahnya. Presiden BEM UNS periode 2013, Toma Patriotama mengungkapkan bahwa mahasiswa yang cenderung tidak berpartisipasi dalam politik memiliki perubahan menuju apatis. “Biasanya mereka menjauhkan diri dari politik, menganggap politik itu kejam dan bahkan tidak mau bergabung dengan organisasi kemahasiswaan seperti BEM,” ujarnya ketika ditemui VISI di Sekretariat BEM. Tak Tertarik Kandyawan menuturkan anak muda sekarang cen-
10 VISI | No. 31/Th. XXI/2014
derung bersikap pragmatis terhadap politik. “Misalnya, mereka merasa tidak diuntungkan secara langsung dengan adanya pemilihan umum. Selain itu, tekanan-tekanan hidup menyebabkan mereka harus berpikir ekonomis,” tegasnya. Ditemui di tempat terpisah, Presiden BEM FISIP UNS 2013 Bachtiar Anang Abyantoro menuturkan keapatisan yang ditunjukkan anak muda saat ini dipengaruhi oleh perkembangan zaman. “Sekarang anak muda bahkan mahasiswa jauh lebih tertarik dengan gadget¬nya ketimbang bicara masalah politik,” jelasnya. Pola hidup serba praktis, mudah, dan tanpa gejolak merupakan hal yang ditawarkan di era baru ini, budaya pragmatisme misalnya. “Sikap pragmatis, tekanan yang menyebabkan harus berpikir ekonomis dan menjadikan segala sesuatu seperti komoditas itulah sikap mental yang dimiliki bangsa kita sekarang,” imbuh Kandyawan. Tak semua pemuda apatis terhadap politik, organisasi BEM misalnya. Mereka kerap mengkritisi perjalanan roda pemerintahan, begitu pula dengan adanya pemilu legislatif maupun pemilu presiden yang lalu. Kecenderungan mahasiswa yang tidak suka terlibat dalam masalah politik disebabkan oleh lemahnya
“Saat ini jempol lebih tajam daripada pena” — Sri Hastjarjo kesadaran untuk berpolitik. “Ya balik lagi, mahasiswa yang apatis sudah terlanjur kecewa dengan calon-calon pemimpin yang ada, mereka sudah hilang kepercayaan,” kata Toma. Di sisi lain, media turut mempengaruhi adanya sikap apatisme. Maraknya pemberitaan korupsi di semua lini memberikan terpaan dan tanggapan negatif dari para pemuda tentang politik di Indonesia. Menurut Nur Apriyani, ia terlalu banyak mendapat informasi buruk tentang kondisi politik Indonesia dari media. “Lha, isi berita korupsi semua, saya jadi malas,” jelasnya. Melek Politik Sebagai salah satu organisasi yang peduli terhadap politik, BEM memiliki beberapa program yang memberikan pengetahuan politik kepada anggotanya. Misalnya dalam bentuk diskusi internal, diskusi eksternal, dan dialog kebangsaan dengan mendatangkan pakar-pakar politik. Lebih lanjut Toma menjelaskan esensi kegiatan BEM tidak pada penyelenggaraan event, melainkan mengajak mahasiswa untuk terus kritis terhadap
masalah politik. Upaya pendidikan politik bagi pemilih pemula telah banyak dicetuskan baik yang berasal dari pemerintah maupun non-pemerintah. “Program yang dirancang agar pemilih pemula melek politik sangat bagus, karena akan menambah kesadaran mereka untuk mencintai Indonesia,” ujar Kandyawan. Selain pendidikan dari lembaga maupun organisasi, saat ini muncul aksi pergerakan yang berasal dari media baru misalnya Change.org. Pada portal tersebut, semua kalangan dapat mengajukan petisi tentang suatu kasus termasuk politik dan dapat diajukan kepada pihak yang bersangkutan. Mahasiswa Ilmu Komunikasi UNS, Anindya Pramura mengatakan bahwa pergerakan seperti ini lebih mudah dan ada efek riil yang dihasilkan. “Sekarang memasuki era informasi, kalau nggak setuju sama pemerintah bisa langsung bikin petisi dan ada tindak lanjutnya kalau banyak massa yang mendukung. Ya nggak usah turun ke jalan gitu,” tambahnya (21/6). Pemuda Beraksi Menurut Kandyawan, pemuda saat ini lebih dinamis jika dibandingkan zaman dulu. Adakalanya mahasiswa dapat menjadi proaktif dan sebaliknya, apatis terhadap politik. Begitu pula dengan fenonema ketidaktertarikan berpolitik yang marak terjadi di kalangan pemilih pemula, tak semua kalangan peduli terhadap hal ini. Misalnya seperti yang dilaku-
kan oleh sekelompok mahasiswa Ilmu Komunikasi UNS. Bentuk kepedulian mereka terhadap sikap apatis pemuda ditunjukkan dengan adanya penyelenggaraan event seminar anti golput di mall. Menurut ketua pelaksana Artono Hastodjaya, acara ini sengaja dilakukan di mal karena anak muda cenderung lebih suka datang ke mal daripada seminar tentang politik. Acara yang diselenggarakan di Hartono Mall (6/6) ini mendapat animo yang cukup tinggi dari para mahasiswa. Dalam seminar tersebut, Dosen Ilmu Komunikasi UNS, Sri Hastjarjo mengungkapkan saat ini pemuda dapat berperan lebih aktif melalui sosial medianya. “Saat ini jempol lebih tajam daripada pena, karena orang dapat mempengaruhi lainnya dengan update status di sosial media,” ungkapnya. Beragamnya informasi yang terdapat di media maupun sosial media, dapat menentukan sikap proaktif pemuda terhadap pemerintahan dengan mengawal keberlangsungan politik negara. Pengawalan ini dapat dilakukan dengan berbagai cara baik melalui diskusi ataupun beropini dalam forum publik. (Fatma, Tifani, Sarah)
VISI | No. 31/Th. XXI/2014
11
Artikel UTAMA
Mahasiswa, “Doeloe Dan Kini” ”Dari dulu hingga sekarang, pemuda merupakan pilar kebangkitan. Dalam setiap kebangkitan, pemuda adalah rahasia kekuatannya. Dalam setiap fikrah, pemuda adalah pengibar panji panjinya.” — Hasan Al-Banna
M
ungkin memang kata-kata diataslah yang paling pantas untuk menggambarkan bagaimana peran yang begitu besar dalam setiap peradaban, sejatinya berada pada sosok parapemuda, dimanapun dan kapanpun. Karena dalam jiwa seorang pemuda-lah puncak dari semangat dan keberanian itu bersemayam. Telah banyak sejarah di dunia mencatatkan,betapa peran serta kekuatan dari kalangan pemuda selalu berpengaruh dalam mencapai sebuahperubahan yang berarti, Indonesia termasuk salah satunya. Dalam nuansa perayaan kemerdekaan yang ke-69 negeri kita ini, mari sejenak kita menilik ke belakang, mencoba memahami slogan “Jas Merah” yang didengungkan sang proklamator. Siapakah yang memiliki andil paling besar dalam upaya meraih kemerdekaan negeri ini? Ya, kita tentu tahu bahwa para “jong-jong”atau pemuda-pemuda Indonesia-lah yang mendesak golongan tua agar menyegerakan proklamasi tanda kemerdekaan, hingga akhirnya Indonesia dipimpin oleh Presiden dari golongan muda. Seorang founding father, proklamator, dan negawaran terbaik. Dialah Soekarno. Namun sayang, pada akhirnya Soekarno harus lengser akibat label ideologi Nasakomnya dan peristiwa G 30S yang menjadikannya titik balik kepemimpinan Soekarno serta membuatnya dibenci oleh masyarakat, termasuk sebagian para pemuda yang memutuskan berada di pihak militer, mendukung pelengseran Soekarno. Lalu digantikan oleh Soeharto dengan orde barunya. Memasuki era orde baru, mulai dari sini, berbicara tentang sosok pemuda, maka mahasiswa-lah yang paling identik ataupun pantas
12 VISI | No. 31/Th. XXI/2014
Aji Nugroho Presiden BEM FISIP UNS Periode 2014/2015
untuk mewakilinya.Pada dasarnya, mahasiswa memang merupakan kaum intelek muda yang diberi kesempatan lebih untuk belajar dengan harapan mampu mengaplikasikannya dan bermanfaat ketika terjun di masyarakat. Oleh karena itu, mahasiswa kerap menjadi lakon dalam pentas perubahan di negeri ini.Dan pada era orde baru inilah ketika terjadi sebuah momentum besar, mahasiswa telah menunjukkan perannya sebagai aktor utama. Momentum yang merujuk pada tahun ’98, ialah penggulingan rezim Soeharto yang dinilai otoriter dan telah mengakibatkan keterpurukan rakyat dibalik agenda pembangunannya selama 32 tahun berkuasa. Mulai dari aksi turun ke jalan menolak masuknya modal asing agar terhindar dari ketergantungan, hingga aksi kemanusiaan atas kasus pelanggaran HAM yang terjadi selama masa Orde Baru. Pada saat itu mahasiswa secara murni memperjuangkan hak-hak rakyat dan melawan ketidak adilan yang terjadi, menuntut reformasi dan demokratisasi segera. Merekalah mahasiswa yang selalu kritis mengawal kebijakan pemerintah, mahasiswa yang merasa gatal ketika berdiam diri menyaksikan rakyatnya berteriak memohon keadilan, mahasiswa yang benar-benar menyandang lengkap intelektualitas, idealisme, serta nasionalisme yang tinggi terhadap negerinya. Begitulah kirakira rupa perjuangan mahasiswa pada masa Orde Baru. Setelah mengetahui bagaimana peran strategis seorang pemuda khususnya mahasiswa, lantas muncul pertanyaan dalam benak kita. Kita yang lahir di era pasca reformasi ini. Kita yang mengaku sebagai mahasiswa, sudahkah
kita mencapai peran yang sama sebagai mahasiswa seperti yang seharusnya? Pertanyaan ini sepertinya menjadi pelecut bagi kita semua tanpa terkecuali. Mahasiswa saat ini seperti kehilangan jati dirinya. Dibungkam secara halus dan perlahan oleh sistem yang ada. Nyali dibuat ciut untuk berani mengkritisi kebijakan pemerintah. Mengkritisipun, hanya berakhir diujung bibir. Mahasiswa kini sedang terlena akan tantangan arus globalisasi yang begitu kompleks. Yang seharusnya menjadi harapan masyarakat akan kekuatan moral dan politik,kini mulai samar-samar adanya. Mahasiswa kebanyakan merasa risih ketika bersentuhan dengan apaapa yang berbau politik. Mendengar seruan aksi, justru menutup mata serta telinga. Bahkan dari sedikit mahasiswa yang turun aksi ke jalan, hanya beberapa saja yang paham akan esensinya. Yang terparah, kampus tempat mereka menimba ilmu serta menggali potensi diri, kini bergeser menjadi wadah akan halalnya politik praktis bagi mahasiswa. Maka demikian, kita sudah tahu jawaban atas pertanyaan diatas. Kita percaya bahwa setiap jaman yang selalu berulang ini, memiliki pemimpin, aktor, serta tantangannya masing-masing. Mungkin saat ini, ruh pergerakan mahasiswa sedang terlelap. Meski aksi turun ke jalan masih dinilai omong kosong. Namun percayalah, semangat nasionalisme itu masih ada, di manapun dan kapanpun. Mahasiswa tempo “doeloe” dan sekarang ini tetaplah sama dengan tantangan yangberbeda. Akan memenuhi perannya dalam sebuah peradaban dimana mereka berada. Dan akan tiba waktunya nanti, dalam sebuah momentum yang telah ditakdirkan kepada para permuda dan mahasiswa sekarang ini, seruan aksi yang menggema akan disambut meriah oleh seluruh elemen masyarakat demi mencapai agenda perubahan yang berarti.Dengan semangat, dan tujuan yang satu. “Jika ada seribu pemuda yang turun ke jalan, maka pastikanlah aku diantaranya. Jika ada seratus pemuda yang turun ke jalan, maka pastikanlah aku diantaranya. Jika ada sepuluh pemuda yang turun ke jalan, maka pastikanlah aku diantaranya. Dan jika hanya ada satu pemuda
yang berjuang turun ke jalan, maka pastikanlah aku orangnya”. Hidup Mahasiswa!
VISI | No. 31/Th. XXI/2014
13
SPEKTRUM Menuju Kurikulum 2013
Perlu Sempurnakan Pelaksanaan Kurikulum 2013 merupakan kurikulum ke-10 yang tak lagi asing dan diperbincangkan di media sosial. Sudah sekitar satu tahun kurikulum ini berjalan di sebagian SD hingga SMA/K di Indonesia, termasuk di Kota Surakarta. Munculnya Kurikulum 2013 ini tak lantas menggeser posisi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang telah dilaksanakan sejak 2006. Karena Kurikulum 2013 baru diberlakukan di beberapa sekolah percontohan yang ditunjuk oleh dinas pendidikan pusat.
K
eberlangsungan Kurikulum 2013 dirasa lancar bagi sejumlah pihak terutama dari pihak Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Disdikpora). Namun, tak semua berpendapat demikian. Banyak akademisi yang masih memperdebatkan masalah kurikulum 2013 jika dibandingkan dengan kurikulum sebelumnya, yakni KTSP. “Kalau dilihat secara fisik, kurikulum 2013 ini telah dikondisikan dengan lingkungan sehingga tidak teoritis sekali. Jadi, selalu dihubungkan dengan kehidupan nyata karena terdapat aspek baru mengenai penilaian,” ujar Sri Wahartojo Asisten Kurikulum 2013 SMK Warga Surakarta, Kamis (13/3). Pada kurikulum 2013 ini terdapat sejumlah aspek baru yang menjadi penyempurnaan dari kurikulum sebelum-sebelumnya. Penilaian dilakukan lebih mendalam dimana tak hanya menggunakan penilaian kuantitatif saja melainkan juga kualititatif. M\enurut Wahartojo, penilaian kualitatif merupakan penilaian secara deskriptif.
Baru Uji Coba Dari segi muatan kurikulum, KTSP dengan Kurikulum 2013 tak jauh berbeda, hanya saja dari segi pelaksanaan KTSP dan Kurikulum 2013 terdapat perbedaan dalam sasarannya. Pada awal ditetapkannya KTSP, serentak seluruh sekolah di Indonesia melaksanakan program pendidikan tersebut. Sedangkan Kurikulum 2013 baru diterapkan di sekolah-sekolah yang ditunjuk oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Hasil yang dicapai Kurikulum 2013 belum maksimal karena pelaksanaannya masih dalam tahap uji coba. Seperti yang dijelaskan oleh Rizky Setyaningrum Guru SMP Negeri 1 Surakarta. ”Kurikulum 2013 itu baru diimplementasikan di beberapa sekolah sebagai percobaan awal. Ini diberlakukan demikian karena pemerintah ingin mengetahui hasilnya seperti apa ketika diimplementasikan di sekolah dengan tipe A, B, C, dan D,” ujarnya. Rizky mengatakan selama ini penerapan kurikulum hanya
14 VISI | No. 31/Th. XXI/2014
terpusat pada sekolah-sekolah yang pemerintah anggap itu unggulan, sehingga perlu untuk penerapan pada sekolah dengan skala menengah dan ke bawah. Pemerintah berharap bisa tahu hasil ke depan seperti apa apabila sudah bisa diimplementasikan ke seluruh sekolah. Penerapan kurikulum baru ini juga ditujukan pemerintah untuk membentuk karakter siswa-siswi di sekolah, terutama masalah budi pekerti. “Harus ada contoh nyata dari pendidikan karakter itu. Mungkin mereka diarahkan pada pendidikan karakter secara real seperti kunjungan ke panti asuhan yang menyangkut pada sisi sosial, tidak hanya belajar di kelas,” tutur Budi Setiyono Kepala Seksi Kurikulum SMA/K dan Sederajat Disdikpora Surakarta. Penilaian kuantitatif merupakan model penilaian baru untuk siswa sekolah. Sebelumnya penialaian hanya diberikan dengan angka. Hal ini tak pelak menimbulkan kebingungan bagi sebagian guru yang harus memberikan penilaian secara kualitatif. Terutama penilaian yang yang berkaitan dengan ketaqwaan dan kejujuran. Menurut Rizky dua penilaian itu merupakan contoh hal-hal abstrak yang harus dinilai. “Banyak yang bertanya-tanya bagaimana orang menilai
kejujuran di dalam kelas. Ketaqwaan itu kan tidak bisa serta merta kita nilai. Siswa yang tak begitu paham tentang pelajaran agama tidak tentu ketaqwaannya lebih rendah dari pada yang pandai,” ungkap Rizky. Subjektivitas Penilaian Kualitatif Rizky juga menambahkan, penilaian kualitatif atau deskriptif membuka peluang bagi para tenaga pendidik untuk melakukan penilaian subjektif karena cenderung relatif dalam penilaian. Pasalnya belum ada indikator yang jelas dalam penilaian secara kualitatif ini. Maka, penilaian satu guru dengan guru yang lain akan berbeda, tergantung subjektifitas mereka. Hal itu senada dengan yangdiucapkan Wahartojo. “Pada penilaian terhadap siswa, guru bersifat hanya mengambil kesimpulan sedangkan siswa diberi kebebasan untuk berpikir dengan didampingi guru sebagai fasilitator. Penilaian deskriptif erat kaitannya dengan pendapat karena berupa anggapan atau pandangan seseoran,” tuturnya. Wahartojo juga mengaku kerepotan mengurus proses administrasi yang baru diterapkan dalam kurikulum 2013 . Misalnya saja menurut Wahartojo, wali kelas lumayan repot karena harus menuliskan tentang perkembangan siswa secara deskriptif. Hal ini ditujukan agar setelah lulus dan mencari pekerjaan, perusahaan akan tahu bagaimana perkemban-
gan calon pekerjanya selama masih bersekolah. Namun, Waharjoto menjelaskan bahwa setiap tahun, kelas akan diampu oleh wali kelas yang berbeda. Sehingga sulit untuk mengetahui perkembangan siswa secara jelas dari tahun ke tahun selama masa belajar. Terlihat bahwa pemerintah dalam penerapan kurikulum baru ini sebenarnya masih jauh dari kesiapan. Kesiapan dan pelaksanaannya masih cenderung belum sesempurna program yang sudah disusun. Meski begitu pihak pemerintah pusat masih berusaha untuk memperbaiki kekurangan pada sisi pembekalan kurikulum baru ini. “Tahun ini Kemendikbud berencana mengirimkan pelatih-pelatih baru untuk semua sekolah di Indonesia, lebih mantap dan paham mengenai Kurikulum 2013 sehingga yang diberi pelatihan juga tahu,” kata Rizky. Dibalik pelaksanaan Kurikulum 2013 yang masih perlu perbaikan terdapat satu poin penting dalam pelaksanaannya terutama didalam sistem penyampaian mata pelajaran, misalnya matematika. Waharjoto mengetakan perlu adanya contoh dalam pengaplikasian dalam kehidupan sehari-hari. “Penekanan di konstektual dengan dihubungkan pada kehidupan sehari-hari. Soalsoal yang diberikan oleh guru mestinya dihubungkan dengan contoh nyata yang ada di kehidupan sehari-hari,” katanya. Waharjoto berharap penyampaian materi pelajaran tak lagi terpaku pada kegiatan di
kelas. Karena penyampaian pelajaran matematika mengenai materi penjumlahan perlu untuk dicontohkan, dipraktekkan, dan diimplementasikan sesuai dengan keadaan sebenarnya. Jika perlu pengajarannya bisa bersifat outdoor. (Chairunnisa, Ikrar)
VISI | No. 31/Th. XXI/2014
15
SPEKTRUM
Keruwetan Sekolah di Solo Terapkan Kurikulum 2013
Dok. VISI/Ilham Keaktifan Murid- Pada sistem Kurikulum 2013 siswa-siswa dituntut untuk lebih aktif dan mengeksplorasi kemampuannya pada pelajaran di kelas.
Sebagian sekolah baik tingkat dasar, menengah pertama maupun tingkat atas di kota Solo telah ditunjuki untuk menerapkan kurikulum 2013. Sebagai kurikulum baru, guru dan murid ditantang untuk menyiapkan diri sebaik mungkin. Meski sudah mulai diterapkan tahun ini, banyak di antara guru dan murid yang belum sepenuhnya melakoni aturan dengan benar
P
ada sekolah tingkat SD, terdapat 12 Sekolah yang telah melaksanakan kurikulum 2013. “Sekolah-sekolah tersebut antara lain SDN Tempel, SDN Kleco 1, SDN Kratonan, SDN Begalon 2, SDN Bulukantil, dan SDN Bayan,” kata Tatik Sudiarti Kepala Seksi Kurikulum SD & AUD Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) Surakarta saat ditemui VISI di ruang kerjanya, Senin (28/10/2013). Pelaksanaan kurikulum 2013 ini sambung Tatik, dilakukan berdasarkan penunjukan
dari disdikpora pusat. Waktu pelaksanaannya pun disesuaikan dengan tahun ajaran 2013/2014. Sedangkan pada tingkat SMP, terdapat enam sekolah di Solo yang saat ini sedang menjalankan kurikulum 2013. Seperti yang dikatakan oleh Waliyono Kepala Seksi Kurikulum SMP Disdikpora Solo enam sekolah yang sedang menjalankan kurikulum 2013. “Sekolah menengah pertama yang saat ini menjalankan kurikulum 2013 adalah SMP Negeri 1, SMP Negeri 4, SMP Negeri 12, SMP
16 VISI | No. 31/Th. XXI/2014
Al Irsyad, SMP Sarsita Budi, dan SMP Al Islam 1,” tuturnya. Untuk tingkat menengah atas, setidaknya ada 15 sekolah yang telah ditunjuk untuk melaksanakan kurikulum baru tersebut. Budi Setiyono Kepala Seksi Kurikulum SMA/SMK Disdiskpora Solo menjelaskan terdapat enam sekolah yang telah melaksanakan kurikulum 2013 yaitu SMAN 1, SMAN 3, SMAN 4, SMA Regina Pacis, SMA Batik 1 Surakarta, dan SMA MTA. Sedang untuk SMK ada sembilan, yakni SMKN 2, SMKN 3, SMKN 4, SMKN 5, SMKN 6, SMKN 7, SMKN 8, SMKN 9, dan SMK Warga. Pemateri Kurang Paham Meski pelaksanaan Kurikulum 2013 di Kota Solo dapat dikatakan cukup berjalan dengan baik, namun, pada pelaksanaannya masih terganjal pada beberapa hal, seperti pembekalan guru. “Pemateri yang bertugas memberikan pelatihan pada guru-guru terlihat kurang paham. Ketika guru-guru yang diberi pelatihan itu bertanya, kebanyakan mereka tidak bisa menjawab. Padahal mereka orang yang ditunjuk langsung oleh Kemendikpora,” keluh Rizky Setyaningrum salah satu guru SMPN 1 Solo (28/10). Berbeda dengan Rizky, Waliyono justru mengatakan perkembangan dari kurikulum
2013 yang sedang diterapkan saat ini berjalan lancar. Hal itu ditinjau dari kemampuan sekolah untuk berjalan sesuai dengan petunjuk pelaksanaan (juklak) dan petunjuk teknis (juknis) yang dikeluarkan oleh Kementrian Pendidikan. Namun, dibalik itu, kurikulum ini masih belum dilaksanakan di seluruh sekolah. “Yang melaksanakan kurikulum 2013 baru sebagian sekolah, karena masih dalam program uji coba,” jelas Tatik sang Kepala Seksi Kurikulum SD & AUD itu. Tatik menambahkan, kalaupun ingin menggunakan kurikulum 2013, sekolah-sekolah tersebut harus melewati tahap latihan terlebih dahulu. Pada kurikulum 2013, guru yang mengajar dalam kurikulum ini tak asal dipilih namun harus melewati TOT (Trainer of Trainer). Menyoroti kesiapan guru dan sarana prasarana di sekolah, dikatakan bahwa semua sekolah memiliki kesiapan yang cukup. “Dari guru sendiri, memang sudah dipersiapkan dengan hasil pelatihan kalau sarana prasarana sudah dipersiapkan langsung dari Kementrian Pendidikan,” ujar Waliyono. Tetapi pada pelatihan itu sendiri, masih terdapat kendala dengan kesiapan pemateri. “Pembekalan tidak sekadar sosialisasi, diberi buku, juga mempraktekan buku tersebut di dalam kelas. Tetapi, ketika ditanya hal-hal yang masih mengganjal, tindak lanjutnya seperti apa, mereka tidak bisa menjawab,” jelas Rizky.
Ketersediaan Buku Waliyono menambahkan, buku yang digunakan merupakan buku-buku yang diberikan langsung dari pusat tanpa dipungut biaya, di mana penyebarannya melalui Disdikpora. “Jadi dari pusat buku-buku tersebut diserahkan kepada Disdikpora untuk kemudian dilanjutkan ke sekolah-sekolah yang menjalankan kurikulum 2013 tersebut,” terang Waliyono. Sedang Tatik menjelaskan, buku tak boleh berasal dari luar penerbit Jakarta yang sudah ditunjuk dan diserahi tugas. “Kalaupun ada penerbit luar yang akan memasok buku pun harus bekerja sama dengan pusat. Untuk penggunaan Lembar Kerja Siswa (LKS) masih diperbolehkan, karena merupakan pengayaan bukan buku materi,” tutur Tatik. Namun, saat ini penyuplaian buku menurut Kepala Bagian Kurikulum SMA/K Sederajat, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan kota Surakarta masih belum sepenuhnya. Buku yang ada saat ini baru matematika dan bahasa Indonesia. Lebih lanjut Budi menerangkan, kurikulum 2013 memiliki sistem mengajar yang berbeda. “Sistem mengajarnya bertumpu pada siswa itu sendiri karena sistem penilaian juga berbeda, secara kualitatif dan kuantitatif. Kuantitatif diukur dengan angka-angka, kualitatif diukur dengan sikap atau afektifnya,” imbuhnya. Tatik menambahkan pada kurikulum 2013 sistem mata pelajaran berbasis tematik. “Beber-
apa mata pelajaran dijadikan satu tema, misal penerapan materi pada kehidupan sehari-hari,” ungkapnya. Waliyono berpendapat Kurikulum 2013 lebih menguntungkan apabila dibandingkan dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). “Kekurangan-kekurangan di KTSP itu dipenuhi di kurikulum 2013. Contohnya dari segi penilaian nilai, diklarifikasikan ke dalam empat skala. Lalu kemudian ada kolom deskripsi sehingga penilaian lebih komplit dan orang tua tahu jelas bagaimana perkembangan anaknya di sekolah,” dalihnya. Waliyono menambahkan, pada kurikulum 2013 dalam sistem penilaian terdiri atas nilai pengetahuan, nilai sikap, dan nilai terampil yang meliputi spiritual (keagamaan), nilai sosial, dan kerja kelompok. Persiapan Ujian Nasional Ketika ditanya mengenai sistem yang disiapkan menuju Ujian Nasional (UN), Tatik menjelaskan kurikulum 2013 pada tingkat SD tidak bisa langsung digunakan untuk seluruh kelas. “Untuk kelas I dan IV menggunakan kurikulum baru, sedang sisanya menggunakan kurikulum yang lama,” tuturnya. Tatik menuturkan perlu proses selama tiga tahun hingga seluruh kelas mulai menggunakan kurikulum baru. Sistem tersebut menunggu siswa dari kelas I naik kelas hingga kelas III dan kelas IV naik hingga kelas VI, akhirnya otomatis satu sekolah sudah menggunakan kurikulum baru. Hal
VISI | No. 31/Th. XXI/2014
17
ini juga berlaku untuk tingkat SMP, yaitu memulai kurikulum baru dari kelas VII dan SMA dari kelas X. Sehingga untuk ujian selama dua tahun ke depan (hingga 2015) masih menggunakan kurikulum KTSP. Namun, ketika ditanya bagaimana UN kurikulum 2013 dilaksanakan, Tatik mengaku belum ada bayangan pasti mengenai sistem UN pada kurikulum 2013 ini. Ketika disinggung tentang anggapan di kalangan masyarakat bahwa Indonesia sering mengganti kurikulum sehingga menimbulkan kebingungan pada siswa dan guru, Waliyono menjelaskan, kurikulum yang terkesan gonta-ganti itu terus mengalami penyempurnaan, tetapi juga takut tertinggal dengan negara lain. “Peningkatan disesuaikan dengan situasi dan kondisi. Mengingat zaman sekarang legalisasi itu berkembang terus sehingga kurikulumnya disesuaikan, takutnya nanti kita ketinggalan dengan negara lain,” imbuhnya.
kemampuan anak secara eksploratif,” ungkap Tatik. Tatik menambahkan pada pendidikan karakter diharapkan mampu memotivasi anak secara kontekstual dan sesuai dengan lingkungan. “Ketika anak terbangun karakternya diharapkan mampu mengaplikasikan materi dalam kehidupan sehari-harinya,” tutup Tatik. (Ilham, Insyirah)
P odium
Character Building Terdapat kelebihan yang ada pada kurikulum baru ini seperti buku-buku yang tengah disiapkan dan tanpa dipungut biaya. Selain itu terdapat juga penanaman character building atau pendidikan karakter bagi para siswa lewat program yang dibuat oleh sekolah masing-masing. Menurut Tatik, kurikulum 2013 menargetkan untuk dapat memberi pendidikan karakter. “Biar rasa kesosialisasian anak terpupuk, selain itu menggali
18 VISI | No. 31/Th. XXI/2014
VISI | No. 31/Th. XXI/2014
19
Kolom
Penghapusan Mapel Ataukah Pergeseran Posisi, Ya?
D
Oleh Oktina Damaryanti Mahasiswi Pendidikan Guru SD (PGSD) UNS
alam Gelumbang.com M. Slistya menjelaskan Pemprov DKI Jakarta menyatakan bahwa di dalam kurikulum 2013/2014 akan dihapuskan tiga mata pelajaran wajib bagi tingkat pendidikan kelas 1 s/d 3 SD (Sekolah Dasar). Tiga mata pelajaran yang dihapus itu adalah, Bahasa Inggris, Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) dan Pendidikan Jasmasi dan Kesehatan (Penjaskes). Kompas.com- Penghapusan mata pelajaran Penjas, Bahasa Inggris dan TIK, di sekolah dasar (SD) oleh Kemendikbud karena dianggap hanya membebani siswa resmi dimulai tahun ajaran 2013/2014 ini. Penghapusan rencananya akan dilakukan secara bertahap sampai tahun ajaran 2016/2017 mendatang. Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta Taufik Yudi Mulyanto mengatakan, tiga mata pelajaran itu akan digeser menjadi kegiatan ekstrakurikuler, tak lagi menjadi mata pelajaran utama. "Bidang studi ini sama kedudukannya dengan Pramuka, Unit Kesehatan Sekolah (UKS), dan lain-lainnya," kata Taufik kepada wartawan, di Jakarta, Selasa (10/12/2013). Akan tetapi menurut pernyataan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Rohan Mohandas dalam Gelumbang.com menyatakan bahwa memang sejak dulu Bahasa Inggris itu tidak ada di dalam kurikulum tingkat SD. Yang ada adalah kurikulum tingkat kelas 1 SMP. Sehingga beliau menyampaiakan memang sejak dulu di dalam struktur kurikulum yang ada, memang tidak wajib. Sehingga istilah dihapuskankannya mata pelajaran Bahasa Inggris, tidaklah tepat. Mau dihapuskan? Sebelumnya mari kita cek ulang, seperti yang telah disampaikan Bapak Moh. Nuh memang adakah mata pelajaran tersebut di kurikulum sekarang? Sebagian besar dari kita menganggap bahwa mata pelajaran
20 VISI | No. 31/Th. XXI/2014
tersebut merupakan sebuah mapel yang berat. Senin (16/12/2013) malam, Mohammad Nuh ketika di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, mengatakan bahwa dalam Kurikulum 2013 juga tidak ada mata pelajaran bahasa Inggris, maka tidak ada penghapusan mata pelajaran itu karena memang tidak ada. Sudah jelas bukan? Bukan penghapusan, tepatnya yaitu pergeseran posisi ke arah yang tepat dari lingkup materi wajib menjadi posisi materi opsi atau pilihan. Maksud pemerintah menjadikan mata pelajaran Bahasa Inggris tidak menjadi materi wajib, karena dianggap bahasa asing yang bisa dipelajari siswa bukan hanya Bahasa Inggris saja tapi bias Bahasa Jerman, Jepang, Belanda atau lainnya. Kemudian untuk mata pelajaran Penjaskes itu justru harus ada karena agar siswa lebih pada pengenalan olahraga, cara menjaga kebersihan, dan makanan sehat. Ketiga mata pelajaran ini akan dinilai lebih kepada pengaplikasian Emotional Quotient (EQ). Harapannya para siswa akan mendapatkan materi pengajaran dengan lebih menyenangkan dan kreatif. Selain itu, ketiga mata pelajaran ini, juga tidak akan diujikan di dalam Ujian Akhir Sekolah (UAS).
tak akan tercapai secara optimal. Meski tiga mata pelajaran ini dialihkan menjadi ekstrakurikuler atau mata pelajaran opsi, peserta didik akan tetap disuguhkan pelajaran Bahasa Inggris, dalam metode kreatif. Ramon dalam Republika.co.id mengatakan bahwa Bahasa Inggris dan TIK, merupakan mata pelajaran muatan lokal. Artinya setiap SD boleh memasukkan atau tidak memasukkan bahasa Inggris dan TIK dalam mata pelajarannya. “Muatan lokal itu,� ujar Ramon, “selain bahasa Inggris, TIK, juga pelajaran seni budaya, dan prakarya. Pada intinya semua SD boleh menambah mata pelajaran muatan lokal namun jangan sampai penambahan muatan lokal mengurangi jam pelajaran yang ada di kurikulum.�
Penghapusan UN? UN itu sebenarnya tidak harus dihapuskan, tetap dilaksanakan pun tidak mengapa, namun tujuannya bukan dijadikan sebagai bahan penentuan kelulusan seorang siswa, namun hanya digunakan sebagai bahan untuk melihat ketercapaian tujuan pembelajaran. Kembali lagi juga pada program pemerintah (Wajib Belajar 9 tahun), bayangkan jika mereka yang sudah mengalami tidak lulus SD kemudian berhenti dan tidak melanjutkan ke SMP. Jika hal itu terus terjadi hanya karena semua keputusan didasarkan pada nilai UN saja maka program pemerintah
VISI | No. 31/Th. XXI/2014
21
S ekaken
Mahasiswa UNS dalam Genggaman Smartphone
A
pa yang anda lakukan setiap bangun pagi? Dulu, mungkin anda akan menjawab pergi ke kamar mandi atau merapikan tempat tidur. Akan tetapi, masihkan anda akan menjawab seperti itu sekarang? Mungkin tidak lagi demikian. Baru saja membuka mata, banyak orang terutama para kawula muda langsung mencari gadget-nya. Seberapa besar gadget mempengaruhi kehidupan sehari-hari kalangan muda saat ini? Edisi kali ini, VISI akan menyajikan data mengenai seberapa penting keberadaan smartphone bagi mahasiswi Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo. Bagaimana para mahasiswa di UNS menggunakan teknologi yang merupakan salah satu gadget yang kini marak digunakan masyarakat tersebut dalam kehidupan mereka? “Sekarang smartphone itu memang nggak bisa dipisahkan, terutama untuk mahasiswa. Setiap hari kita butuh telepon yang canggih, baik buat browsing, diskusi tugas kelompok, termasuk buat hiburan,” kata Silvia Christina Sari mahasiswi Hubungan Masyarakat Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UNS, Rabu (15/10). Gadis berkacamata yang sudah menggunakan smart-
phone selama tiga tahun ini lebih memanfaatkan gadget-nya untuk chatting dengan messenger application. WhatsApp dan BBM misalnya, ia sangat aktif di dua aplikasi tersebut terutama untuk berinteraksi dengan teman-keman kuliah. Tak berbeda dengan Stefan Ardi mahasiswa D3 Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) UNS. Stefan juga sering menggunakan smartphone yang ia punya untuk mencari informasi terbaru dari teman-tamannya mengenai perkuliahan. “Biasanya untuk cari tahu soal tugas-tugas kuliah, selain itu juga beberapa kali saya gunakan untuk belanja online via messenger application,” ujar Stefan.
saya hanya sanggup dua hari aja,” ucap Silvia. Sedangkan Stefan ternyata hanya sanggup melepas gadget-nya selama tiga jam, tak termasuk saat ia tidur. Akan tetapi, ternyata ia memiliki aturan waktu dalam menggunakan gadget. “Setiap malam sebelum tidur pasti data cellular selalu saya matikan. Karena nggak mau keganggu kalau lagi istirahat, baru kalau bangun saya aktifkan lagi,” katanya. Stefan juga tak bisa jauhjauh dari smartphone-nya bukan tanpa alasan yang penting. Selama ini ia sering menyimpan data-data kuliah dan organisasi di dalamnya. Hal itu ia anggap lebih mudah daripada membawa laptop kemana-mana.
Jadi Candu Dari jawaban dua mahasiswa tadi, muncullah kesimpulan bahwa smartphone begitu penting bagi mereka untuk berkomunikasi. Lantas, apakah mereka sampai kecanduan smartphone sampai susah lepas dari alat komunikasi tersebut? “Kalau saya sih nggak selalu pegang smartphone ya, apalagi kalau nggak ada yang penting. Jadi kalau di hitung dalam sehari paling lama saya hanya intensif pegang handphone tiga jam. Mungkin kalau ditantang harus lepas dari smartphone,
Jangan Diperbudak Meskipun masalah tugas dijadikan alasan Silvia dan Stefan untuk sering-sering menggunakan smartphone, tapi ternyata keperluan pribadi masih mendominasi aktivitas mereka dalam memanfaatkan gadget. Paling tidak, 60% dari seluruh aktivitas yang mereka lakukan, digunakan untuk keperluan pribadi seperti hiburan dan berjejaring sosial dengan teman yang jauh. Menurut Silvia, memang susah untuk terlepas dari gadget. “Gadget memang penting, tapi jangan sampai gadget memper-
22 VISI | No. 31/Th. XXI/2014
budak kita. Itu kan alat yang membantu kita, jadi gunakan untuk hal yang penting. Bukan hiburan semata,” tuturnya. Stefan juga memberikan saran dalam menggunakan gadget. Aksesnya yang cepat untuk browsing maupun mengirim pesan secara online memang jadi kekuatan smartphone. Akan tetapi, bijak dalam menggunakan alat canggih tersebut sangatlah perlu. “Bijaklah menggunakan teknologi. Jangan sampai kita mengabaikan dunia sekitar hanya karena sibuk dengan gadget,” pungkasnya. (Tim Redaksi LPM VISI)
VISI | No. 31/Th. XXI/2014
23
Solo International Performing Arts (SIPA) 21.09.2013
Solo Menari 30.04.2014
Solo Carnival 22.02.2014
Solo Batik Carnival (SBC) 3 22.06.2014
24 VISI | No. 31/Th. XXI/2014 Solo Carnival 22.02.2014
VISI | No. 31/Th. XXI/2014
25
Keluarga Pengurus LPM VISI mengucapkan selamat atas diwisudanya: • Wahyu Yuliastuti Widorini, S.I.Kom (Pemimpin Redaksi 2011/2013) • Fauziah Nurlina, S.I.Kom (Staf Litbang 2011/2013) • Rudhyanto Cahyo Nugroho (Staf Usaha 2010/2011) • Adrian Wisnu Aji, S.Sos (Staf Usaha 2011/2013) • Senja Kurnia Fitri, A.Md (Staf Litbang 2011/2013)
LAPORAN KHUSUS
Relokasi Pasar Bikin Sepi Kota Solo tak hanya terkenal dengan budayanya, terkenal juga dengan pasar-pasar tradisonalnya. Beberapa tahun terakhir ini, Pemerintah Kota Surakarta terlihat semakin gencar merevitalisasi dan merelokasi pasar-pasar tradisional. Akan tetapi, upaya Pemkot untuk memperbaiki tempat perbelanjaan ini tak jarang menimbulkan berbagai polemik di kalangan pedagang.
VISI | No. 31/Th. XXI/2014
27
S
alah satu yang telah di relokasi tahun-tahun terakhir ini adalah pasar ikan hias yang dulunya berada di sekitar Pasar Gedhe. Pada masa relokasi, pro dan kontra di kalangan pedagang. Ada yang bersedia untuk pindah, namun tak sedikit yang terpaksa memindahkan dagangannya ke pasar yang baru. “Saya terpaksa harus pindah tanggal 23 Januari 2014 yang lalu, kalau tidak pindah listrik dan pompa air dimatikan, lha kalau kaya gitu ikannya nanti ikut mati. Jadi mau tidak mau ya harus ikut pindah,” kata Rini (40) pedagang pasar ikan saat ditemui VISI, Jumat (4/4). Himbauan relokasi menurut Rini sudah dikumandangkan sejak Januari tahun 2012. Tapi rencana itu gagal dan diajukan kembali untuk direlokasi tahun berikutnya. Merelokasi pasar memang bukan perkara mudah, nyatanya Pemkot baru resmi merelokasi pasar ikan tersebut ke Pasar Ikan Depok 28 Desember 2013. Itu pun masih terdapat beberapa pedagang yang belum bersedia memindahkan dagangannya ke area relokasi baru dan tetap bertahan di area sekitar Pasar Gedhe. pasalnya, menurut para pedagang relokasi tersebut dapat mengurangi omzet pendapatan mereka. “Pelanggan kan memang sudah biasa ke sekitar Pasar Gedhe kalau cari ikan hias ya pasti kesana, jadi kalau pindah nanti mereka bingung. Selain itu kalau di depok itu tempatnya agak di pinggiran, kurang strategis seperti di Pasar Ge-
dhe yang di tengah kota ini,” ucap Rini. Kondisi Pasar Baru Pasar ikan hias Depok beralamat di jalan Depok, Sumber, Banjar Sari, Solo. Wilayahnya memang sedikit terpinggir, berbeda jauh dengan Pasar Gedhe yang berada di tengah kota. Di hari-hari biasa, pasar ini terbilang sepi pembeli. Sedangkan hari Minggu pasar ini terlihat ramai karena banyak orang yang berjalan-jalan di Stadion Mahahan mampir ke pasar ikan tersebut. “Sini (Pasar Depok -red) itu kan dekat dengan Stadion Manahan. Biasanya kalau habis jalan-jalan minggu di Mahanan pada mampir ke pasar burung. Karena bersebelahan dengan pasar burung, jadi pasar ikan ikut ramai juga,” tutur Rini. Tak hanya sepi pembeli, waktu berjualan di Pasar Ikan Depok juga dibatasi. Menurut penuturan Rini, para pedagang hanya bisa berjualan dari pukul 08.00 pagi sampai pukul 18.00 petang. Sementara, saat masih menempati pasar ikan sebelumnya, mereka diperkenankan berjualan hingga larut malam. “Dulu di sekitar Pasar Gedhe kalau makin malam itu makin rame, jadi banyak yang jualan sampai larut malam. Kalau di pasar yang sekarang paling ramenya kalau menjelang sore, itupun tak seramai yang di Pasar Gedhe,” kata Rini. Fasilitas untuk pedagang di Pasar Depok sudah cukup baik. Pompa air yang dulunya sempat rusak juga telah diperbaiki. Akan tetapi, sambung Rini, hal
28 VISI | No. 31/Th. XXI/2014
yang dipersoalkan utamanya ialah sepinya pembeli bukan masalah fasilitas. “Kalau bangunan pasar, memang bagusan di Depok ini. Tapi kan yang di sekitar Pasar Gedhe itu lebih ramai. Banyak yang lalu lalang, apalagi letaknya dekat dengan balai kota,” ujarnya. Problem lama Relokasi pasar merupakan suatu inovasi bagi penanggulangan masalah ketertiban kota dan pedagang kali lima . Namun faktanya, sebagian pasar hasil relokasi memiliki permasalahan yang sama tanpa penyelesaian yang menguntungkan bagi para pedagang. Sebut saja Pasar Panggung Rejo, pasar relokasi yang sudah berdiri sejak tahun 2009 ini pun tak kunjung mengembalikan kondisi pasar seperti lokasi semula. Masalah utama yang akan ditimbulkan oleh adanya relokasi bagi pedagang adalah pelanggan yang kesusahan mencari lokasi yang baru. Adanya relokasi membuat para pedagang resah bila nantinya pelanggan kurang menyukai tempat berjualan yang baru dan berpindah ke penjual yang lain. Jadi, untuk melaksanakan relokasi, diperlukan pemikiran yang komperehensif. Menurut Ibrahim Fatwa Wijaya dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) UNS Solo, hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam relokasi pasar adalah mengenai akses. “Akses yang saya maksud meliputi lokasi dan transportasi menuju pasar, kemudian fasilitas seperti lahan parkir, struk-
tur desain bangunan pasar, memahami kultur pembeli dan sistem manajerial pasar. Mengenai kultur ini contohnya adalah kultur orang indonesia yang males jalan dan suka naik motor, otomatis pasar harus memiliki lahan parkir kendaraan bermotor yang luas untuk memenuhi kebutuhan pembeli,” kata pria yang akrab disapa Boim tersebut. Sudah banyak pasar dan pedagang kaki lima yang mengalami relokasi di Kota Solo. Berhasil atau tidaknya program ini bukan semata-mata tanggung jawab pemerintah. Pasar yang baru seperti Pasar Ikan hias Depok ini memerlukan dukungan dari seluruh elemen masyarakat yang ada di lingkungan pasar. Tidak terkecuali pedagang terkait. Dibutuhkan usaha dari pedagang untuk mempromosikan dagangannya di tempat yang baru untuk menarik minat pembeli. Hal ini pula yang dilakukan Hari yang juga pedagang di Pasar Ikan Depok. Untuk menarik calon pembeli, pedagang yang sudah berjualan selama kurang lebih tujuh tahun ini menata akuarium ikannya agar terlihat lebih menarik. seperti menghias akuarium lampu berwarna-warni. Pria asli Solo ini memanfaatkan lorong pinggir jalan untuk dijadikan sebagai tempat display ikan-ikan yang dijualnya. “Kebetulan saya tidak dapat tempat di tengah tapi dipinggir, tapi ini malah menjadi kelebihan tersendiri karena display akuarium saya sudah bisa dilihat dari luar untuk menarik perhatian pem-
beli,” kata Hari yang berharap pasar ikan depok ini lebih dikenal dan lebih berkualitas. Senada dengan hal tersebut, Boim merasa bahwa perlu adanya suatu kreativitas dalam pengelolaan pasar. Dosen yang sempat menimba ilmu di Brimingham ini menceritakan tentang keunikan pasar yang ada di Inggris Raya tersebut. Baginya, sebuah pasar dapat berjalan secara efektif karena adanya positioning yang tepat. “Di Brimingham itu super mall bisa bersandingan dengan pasar-pasar tradisional yang menjual sayuran, aksesoris handphone, juga daging dan ikan. Namun, pasar itu dipisah-pisah dengan sebuah jalan kecil dan semua punya positioning sendiri. Misalnya untuk masyarakat muslim yang ingin membeli daging halal di mall kan susah, mereka lebih senang ke pasar tradisional karena disana ada kios-kios daging halal. menurut saya Indonesia bisa belajar dari hal ini untuk masalah pengelolaan pasar,” kata Boim. Selain positioning lanjut Boim, sifat substitusi antara super mall dan pasar tradisional merupakan salah satu faktor keberhasilan. Barang yang dijual di dalam super mall tidak akan ditemukan di pasar tradisional dan begitu juga sebaliknya. Pemahaman budaya dari para pembeli juga perlu diperhatikan. Unsur dari pembeli sendiri tergantung pada daerah atau lingkungan dari letak pasar tersebut. Dan yang tidak kalah penting adalah anggaran yang dikucurkan pemerintah
untuk dinas pasar tidak hanya pada seremonial semata tetapi lebih pada kepentingan manajerial dan image dari pasar tersebut. (Eva, Latifatul)
VISI | No. 31/Th. XXI/2014
29
LAPORAN KHUSUS
Pasar Panggungrejo Pasca Relokasi Sepi, itulah kata yang tepat untuk menggambarkan kondisi Pasar Panggungrejo di belakang kampus utama Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo. Kios-kios yang berjejer di pasar tersebut tampak lengang dari penjual dan pembeli.
S
ekilas, kondisi pasar Panggungrejo tidak terlihat seperti layaknya sebuah pasar. Sejauh mata memandang, pasar ini terlihat sepi dari kegiatan jual beli. Bahkan, sejumlah kios terlihat dalam kondisi tertutup. Widodo (48), pengelola Pasar Panggungrejo menjelaskan dari total 127 los di Pasar Panggungrejo yang
diresmikan 2011 lalu, baru lima kos yang buka. “Kelima los yang sudah buka tersebut berada di lantai pertama. Sebaliknya semua los yang berada di lantai ke-2 dalam kondisi tutup,” ujarnya kepada VISI Kamis (6/02). Selain itu, Widodo juga menambahkan, Sebanyak 174 kios di Pasar Panggungrejo saat ini
30 VISI | No. 31/Th. XXI/2014
dalam kondisi ditutup. Dari 201 kios yang ada, baru 27 kios yang digunakan. Kondisi kios yang sepi ini bukan tanpa sebab. Pasalnya, menurut keterangan yang VISI dapat dari pihak pengelola pasar, pasar ini mulai ditinggalkan oleh para pemiliknya karena sepinya pengunjung. “Padahal, jumlah kios yang ada di sini sudah disesuaikan dengan dengan jumlah PKL yang direlokasi. Tapi satu persatu dari mereka malah meninggalkan kios karena nggak ada pembe-
li,” ungkap Widodo. Jadi PKL lagi Pasar Panggungrejo mulai diresmikan pada 26 Desember 2009. Widodo menjelaskan, tujuan awal pembangunan pasar Panggungrejo adalah sebagai bentuk relokasi dari Pedagang Kaki Lima (PKL) yang berjualan di sepanjang jalan raya sekitar kampus Universitas Sebelas Maret (UNS). Ia menuturkan, sebelum pasar tersebut dibangun, PKL-PKL yang akan direlokasi hampir semuanya setuju untuk direlokasi. Na-
mun, setelah pasar dibangun dan mereka menempati pasar tersebut, satu persatu dari mereka mulai meninggalkan kios. “Kios yang mereka punya sekarang malah disewakan,” tambahnya. Berdasarkan keterangan dari pengelola pasar, para pedagang PKL yang meninggalkan kios justru kembali berjualan di tempat semula atau pindah di tempat lain yang pengunjungnya lebih ramai. Selain itu, dari pantauan VISI, yang tampak aktif berjualan di Pasar Panggu-
ngrejo bukan pedagang lama tetapi pedagang baru. Yuli (34), adalah salah satu pedagang buku yang baru berjualan di pasar Panggungrejo. Ia mulai berjualan di pasar tersebut sejak tahun 2012. Yuli mengatakan awalnya tahu tentang keberadaan pasar Panggungrejo dari salah seorang temannya. “Saya tahu dari teman kalau di sini ada pasar, dan masih banyak kios yang kosong, jadi saya ambil,” ujar perempuan berjilbab ini. Yuli mengakui, kondisi
VISI | No. 31/Th. XXI/2014
31
pasar memang tidak terlalu ramai, bahkan bisa dibilang sepi. Hal yang masih membuatnya bertahan di sini karena dia tidak hanya mengandalkan pengunjung tapi juga menggunakan taktik ‘jemput bola’. “Saya nggak hanya mengandalkan pengunjung saja di sini, karena pelanggan lama juga masih setia, jadi berjualan di sini nggak masalah buat saya,” jelasnya. Tidak Strategis Pasar Panggungrejo merupakan pasar yang terletak di dekat kantor kecamatan Jebres, Surakarta. Pasar ini tidak terletak di pinggir jalan raya seperti kebanyakan pasar lainnya. Untuk bisa mengakses pasar Panggungrejo, pengunjung harus memasuki gang Surya, yaitu gang yang berdekatan dengan kantor Kecamatan Jebres. Setelah mememasuki gang Surya, tidak jauh dari gang tersebut Pasar Panggungrejo sudah terlihat di sebelah kiri jalan. Dari beberapa narasumber yang diwawancarai VISI, salah satu alasan sepinya pasar Panggungrejo adalah karena letak pasar yang kurang strategis, karena berada di dalam gang. Hal tersebut diamini oleh Yuli. Ia mengatakan akses untuk masuk ke pasar Panggungrejo agak susah. “Pengunjung harus masuk gang dulu, habis itu turun ke bawah. Karena kondisi tersebut, mungkin jadi banyak orang malas untuk ke sini,” ungkapnya. Selain letak pasar yang jauh dari jalan raya dan kera-
maian, letak pasar ini juga terlalu turun ke bawah, sehingga orang yang berlalu lalang di jalan Surya tidak bisa melihat kondisi pasar secara keseluruhan. Hal ini diakui oleh Widodo, “Kalau di pasar ini, pembeli harus masuk gang dulu, baru bisa masuk ke pasar,” ujar pria yang sudah menjadi pengelola pasar selama dua tahun ini. Ia mengungkapkan, seandainya pasar ini terletak di pinggir jalan raya, pasti banyak orang yang mampir. “Meskipun awalnya Cuma lewat saja, tapi kalau lihat ada pasar yang terletak di pinggir jalan raya, orang bisa tergoda untuk mampir,” ujarnya. Ia juga menjelaskan, sebaiknya, letak pasar dan kantor kecamatan ditukar. “Kalau bisa, seharusnya pasar Panggungrejo letaknya di kantor kecamatan, di pinggir jalan raya. Nanti kantornya yang di sini. tidak masalah jika kantor kecamatan berada di dalam gang. Orang kalau berkunjung ke kantor kecamatan kan karena butuh, dan harus di situ, jadi mau dimanapun tempatnya pasti dicari. Beda dengan pasar, kalau aksesnya susah, orang akan cari pasar yang lain,” tambah pria yang sudah menjadi pengelola pasar sejak tahun 2010 tersebut. Kurang Promosi Salah satu faktor yang dianggap membuat pasar Panggungrejo terlihat sepi adalah kurangnya promosi dari pihak pemerintah setempat. Hal ini diungkapan oleh Yuli. Menurutnya bentuk promosi yang dilakukan oleh pihak pe-
32 VISI | No. 31/Th. XXI/2014
merintah kurang maksimal. “Karena pasar ini dipromosikan sebagai pasar mahasiswa, dulu awal-awal bentuk promosinya juga berkaitan dengan mahasiswa. Misalnya diadakan festival musik. Tapi mungkin kurang maksimal, jadi setelah itu ya sepi,” ujarnya. Kurangnya promosi dari pemerintah terkait dengan pasar ini disanggah oleh Widodo. Menurutnya pihak pasar dan pemerintah sudah melakukan promosi seoptimal mungkin. “Dulu, waktu pasar ini selesai dibangun dan ditempati oleh PKL, hampir setiap minggu diadakan festival musik untuk menarik minat masyarakat agar mau berkunjung ke pasar ini,” katanya. Akan tetapi, Widodo melanjutkan bahwa sepinya pasar bukan karena kurangnya promosi, “Menurut saya bukan karena kurang promosi, lagipula masa kita mau promosi terus-terusan dengan mengakan festival musik, dananya kan terbatas,” tambahnya. Hal senada juga diungkapkan oleh Darto (62), salah satu pedagang makanan di pasar Panggungrejo. Menurutnya, bentuk promosi yang dilakukan pemerintah dan pengelola pasar sudah lebih dari cukup. “Bentuk promosinya sudah cukup, kok. Dulu, selain festival musik, juga ada pertunjukkan reog ponorogo, dan acara tersebut cukup ramai,” ujar pria yang masih sudah berdagang sejak 2006 silam. Darto mengungkapkan, sepinya pasar Panggungrejo bukan karena kurang promo-
si, tetapi karena sikap para pedagang yang kurang sabar dalam berjualan. “Sebenarnya yang bikin sepi ya pedagang itu sendiri, mereka maunya pertama dagang langsung ramai, jadi kurang telaten. Ketika pasar sepi, mereka langsung meninggalkan pasar ini,” jelasnya. Menurut Darto, wajar saja jika saat awal-awal ditempati pasar masih terlihat sepi. “Namanya juga pasar baru, belum semua masyarakat tahu kalau PKL pindah di sini,” ucapnya. Darto menuturkan, yang harus dilakukan oleh pedagang di sini adalah telaten untuk berjualan. Para pedagang sambung Darto, tidak sabaran sehingga mereka langsung buru-buru pindah. Padahal menurut Darto, sepi dan ramai pembeli adalah hal yang wajar yang dialami pedagang. “Namanya juga berjualan, kadang sepi, kadang ramai, itu hal yang biasa. Harusnya mereka tahu itu, ndak langsung pindah dari sini begitu saja,” tuturnya.
Harapan Pedagang Widodo, selaku pengelola dari pasar Panggungrejo hanya bisa berharap, agar PKL yang sempat pindah dari pasar ini kembali berdagang. “Saya harap para PKL bisa kembali berjualan di sini lagi. Pasar ini kan bentuk apresiasi dari pemkot agar mereka memiliki tempat dagang yang lebih layak dan nyaman,” ujarnya. Lagipula, ia menambahkan bahwa pihak pemkot tidak memungut biaya sewa dari kios-kios yang ada di sini. “Mereka cukup bayar retribusi saja, Rp1500,00 per kios setiap harinya,” tambahnya. Lain lagi dengan Darto, pria yang memiliki empat kios di pasar Panggungrejo ini memiliki harapan agar pemerintah lebih tegas lagi dalam menindak PKL. “Sekarang masih banyak PKL liar yang berjualan di pinggir jalan raya dan tidak ditindaklanjuti. Menurut saya itu seharusnya dialihkan ke sini, karena masih banyak kios yang masih kosong. Selama PKL-PKL tersebut tidak direlokasi, pasar
ini tidak akan ramai,” tegasnya kepada VISI. Selain itu, Darto juga meminta kepada pemerintah agar memberikan pinjaman modal kepada para PKL. Ia menjelaskan, sebenarnya di tahun 2010 Pemkot dari Balaikota sudah berencana untuk membuat koperasi bagi para pedagang, namun sampai saat ini belum ada tindak lanjutnya. “Sampai saat ini, belum ada tindak lanjut. Padahal kami sudah iuran sampai dua ratus ribu,” pungkasnya. (Diah, Radit)
Kios Mati - Pasca relokasi, Pasar Panggungrejo terlihat sepi pedagang dan pembeli. Puluhan kios dibiarkan kosong tak berpenghuni. Dok. VISI/Radit
VISI | No. 31/Th. XXI/2014
33
Tokoh Agnia Mega Safira
Serunya Ikut Ajang Internasional Berpartisipasi dalam ajang internasional yang dikenal oleh masyarakat dunia tentu menjadi impian banyak orang. Terutama jika acara besar tersebut dilaksanakan di negaranya. Tentu tak sembarangan orang dapat bergabung dalam pagelaran internasional yang diselenggarakan disuatu negara tertentu. Namun, keberuntungan berpihak pada sosok perempuan muda yang kini masih berstatus sebagai mahasiswi perguruan tinggi negeri di Kota Solo.
A
gnia Mega Safira, mahasiwi Ilmu Komunikasi Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo ini berkesempatan untuk berpartisipasi dalam ajang Asia-Pasific Economic Cooperation (APEC) CEO Summit 2013 yang digelar di Nusa Dua Bali beberapa bulan yang lalu. APEC CEO Summit ini merupakan kegiatan yang berbasis dalam bidang ekonomi dengan mengadakan kerjasama se-Asia Pasifik. Dalam kegiatannya, APEC CEO Summit membahas mengenai isu-isu ekonomi yang sedang terjadi di kawasan Asia Pasifik. Sebagian besar peserta dalam kegiatan akbar ini adalah pengusaha-pengusaha besar serta para petinggi negara. Lalu, bagaimana perempuan yang kerap di sapa Mega ini bisa masuk menjadi salah satu peserta? Saat ditemui VISI, Mega menceritakan usahanya dalam mencapai impiannya untuk bergabung dalam APEC. “Waktu itu ada lomba nulis di twitter, writing competition tentang bagaimana sebagai generasi muda bisa menjadikan APEC sebagai momentum biar Indonesia bisa bersaing di pasar global. Dan saya tertarik untuk mengikuti kompetisi tersebut. Akhirnya saya kirim tulisan saya,” kata gadis yang berasal dari Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) itu. Menulis memang jadi kegemaran tersendiri bagi Mega. Terbukti ia sempat aktif dalam sebuah Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) di UNS, yakni Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Kentingan. Jadi kemampuannya dalam mengolah kata-kata dalam bentuk tulisan tersebut tak ia sia-siakan untuk mengantarnya menjadi salah satu finalis writing competition. Dalam kompetisi menulis itu, Mega lolos sebagai finalis 5 besar, sehingga Mega berke-
34 VISI | No. 31/Th. XXI/2014
sempatan untuk berpartisipasi dalam kegiatan APEC. “Saya shock banget waktu tahu kalau saya masuk jadi salah satu finalis. Hampir pingsan rasanya saking bahagia. Tertanya finalis 5 besar termasuk saya diajak ke Bali untuk menjadi observer di APEC CEO Summit. Tugasnya ya melihat di sana isu-isu apa yang dibicarakan, juga belajar tentang lingkungan internasional seperti apa,” ujar Mega. berpartisipasi dalam kegiatan APEC bagi Mega mampu mempengaruhi daya pikirnya menjadi lebih terbuka. Meski tidak mudah bagi mahasiswa untuk berpartisi dalam ajang internasional, namun jika memiliki tujuan-tujuan dan fokus terhadap apa yang ingin dicapai, dengan usaha pasti akan mampu mencapai tujuan tersebut, seperti dirinya. Kesempatan Langka Menurutnya, kesempatan untuk terlibat dalam forum internasional itu sangat langka, apalagi diselenggarakan di negaranya sendiri, tentu sayang bila disia-siakan. Dalam APEC tersebut Mega menyaksikan para pemimpin ekonomi dari berbagai negara bertemu dan menghasilkan keputusan yang mempengaruhi ekonomi dunia. Tak semua orang dapat merasakan hal ini. “Seneng banget bisa jadi saksi sejarah di tingkat Asia-Pasifik, dan terbuka pola pikirnya kalau ternyata dunia itu luas banget, nggak sebatas kampus, nggak sebatas kota Solo aja. 10 hari di Bali kemarin bener-bener seru. Apalagi saya bisa kenalan sama orang-orang hebat dari berbagai negara,” kenang Mega. Meski tak ada kendala yang berarti selama di
Pulau Dewata, tapi Mega sempat kaget pergaulan rekanrekan yang ia temui di sana. Pergaulan disana sudah serba internasional karena banyak berinteraksi dengan orang luar negeri. Akan tetapi, dia menganggap hal itu justru jadi momen baginya untuk lebih percaya diri dan mengasah kemampuannya dalam berbahasa Inggris. Kisah unik juga sempat dialami oleh dara 21 tahun ini. Ia mengaku hampir ketinggalan pesawat yang akan membawanya pulang ke Pulau Jawa. “Pengalaman unik banyak, tapi yang paling dramatis adalah pas mau pulang hampir aja ketinggalan pesawat. Garagaranya nggak paham tentang prosedur penumpang di New Bandara Ngurahrai yang saat itu masih serba ribet,” kenang Mega. Syukurlah Mega dapat kembali ke Solo dengan selamat dan kembali menjalankan kegiatan-kegiatannya di Kota Budaya ini. Terus Berkarya Bukan Mega jika hanya memanfaatkan potensinya untuk mengikuti satu ajang kompetisi. Beberapa waktu yang lalu, Mega kembali membuktikan kemampuannya dalam dunia penulisan. Mega menjajal kemampuannya untuk mengikuti lomba travel blog tingkat nasional. Setelah melakoni berbagai tantangan dalam kompetisi yang diadakan dalam Pekan Komunikasi Universitas Indonesia (UI), akhirnya Mega berhasil memboyong predikat juara tiga. Tak hanya suka menulis, dunia komunikasi sepertinya sudah jadi passion mahasiswi kelahiran kota kembang, 7 Juni 1993 ini. Selain belajar dari bangku perkuliahan, ia juga menimba ilmu dari organisasi di kampus. “Saya sempat jadi penyiar radio komunitas di FISIP UNS, di situ saya belajar tentang penyiaran dan public speaking,” katanya.
Dok.Pribadi
VISI | No. 31/Th. XXI/2014
35
Melalui kerja kerasnya belajar tentang dunia penyiaran, akhirnya ia memberanikan diri untuk melamar pekerjaan sebagai announcer di salah satu radio komersial ternama di Kota Solo. Dan disanalah kemampuannya mengudara di radio semakin terasah. Pengalamannya berbicara di depan umum juga makin banyak seiring banyaknya tawaran untuk menjadi master of ceremony (MC) diberbagai acara. Salah satunya saat kegiatan Metro TV on Campus yang digelar beberapa bulan lalu di UNS Solo. Kelimpungan Membagi Waktu Sebagai mahasiswa tentu saja Mega memiliki kesibukan kuliah dan mengerjakan tugas, selain mengikuti berbagai organisasi di kampus. Mega mengaku awalnya ia sering kelimpungan dalam membagi waktu, karena jadwal kuliah dengan jadwal kegiatan lain terkadang bersamaan. “Pertama masih panik ngerjain tugas masih suka mepet, tapi sekarang udah lebih ngerti. Ngerjain tugas pagi, nge-data segala macam yang belum selesai,” ujar Mega ditemui VISI di sela-sela kegiatannya di kampus. Selain aktif dalam kegiatan kampus, Mega juga aktif dalam Akademi Berbagi (Akber), yang merupakan gerakan sosial di lebih dari 35 kota di Indonesia, dengan kegiatan membuat kelaskelas gratis untuk siapa saja yang ingin menambah ilmu. Dengan dasar semangat bahwa semua orang bisa dan boleh belajar apa saja. Untuk menjadi volunteer di Akber siapa saja boleh ikut, dibebaskan namun bertanggung jawab. Pengalaman menjadi hal yang sangat berharga untuk mahasiswa. Tidak hanya menyibukkan diri dengan kuliah dan aktif di organisasi, mahasiswa juga dituntut untuk berani mengambil tantangan di luar kampus. Sebagai generasi masa depan, mahasiswa harus membuktikan bahwa mereka tidak hanya jago kandang, namun juga garang saat bertandang. Diakui Mega bahwa sudah saatnya mahasiswa mengikuti acara tingkat nasional hingga internasional seperti yang pernah ia ikuti. Tak sampai disini saja pengalaman yang ingin dicapai Mega. Saat ini ia sedang berusaha untuk mengejar beasiswa ke luar negeri. “Saya pengen banget bisa kuliah di luar negeri, biar
36 VISI | No. 31/Th. XXI/2014
ilmu saya makin bertambah. Mohon doanya ya!” pinta Mega diakhir wawancara. (Ester, Inda, Retno, Sinta)
Teropong Era Digital dan Prospek Profesi Komunikasi
D
Dr. Widodo Muktiyo, SE M.Comm Pembantu Rektor 4 Universitas Sebelas Maret Surakarta
unia broadcast dalam beberapa tahun ini mengalami lompatan teknologi yang sangat mendasar yaitu lahirnya era baru perkembangan ICT (Information and Communications Technology) berwujud “bayi digital” yang menggantikan ‘model analog’ di media TV maupun radio. Mode teknologi baru ini akan lebih memanjakan mata dan telingan audiensnya. Seiring dengan pemahaman hakiki tentang ‘teknologi’ itu sendiri, yaitu sebagai sarana untuk memudahkan fungsi kerja manusia. Lantas, apa yang perlu disorot dan dikritisi dalam memasuki era digital bagi masyarakat dan profesi komunikasi itu sendiri? Era media digital secara sederhana ditandai dengan adanya kemungkinan pembagian ranah publik yang lebih banyak lagi dalam satu satuan frekuensi. Apabila periode media analog setiap frekuensi hanya dapat dipakai oleh satu media maka dengan era digital, ia akan dapat dipecah dan dipakai oleh sekitar 6 sampai dengan 12 channel baru. Konsekuensinya, melahirkan jumlah media penyiaran yang makin banyak dan semestinya kepemilikannya juga menjadi meluas. Di samping itu, lompatan teknologi tersebut menghasilkan kualitas audio (suara) dan visual (gambar) yang jauh lebih baik. Pendek kata, dengan pemakaian 1 frekuensi (ranah publik yang terbatas) dapat dipakai oleh beberapa pengelola media secara bersamaan dan menghasilkan produk yang berkualitas. Produk dan mutu siaran menjadi cita rasa baru yang dapat dinikmati konsumen media secara lebih baik. Secara kuantitatif publik (pemirsa dan pendengar) akan mendapatkan pilihan media yang lebih banyak dan bervariatif. Lahirnya media siaran yang makin banyak dan beragam ini secara nyata akan menimbulkan tingkat persaingan yang makin sengit untuk mencuri simpati dan waktu publik. Dalam teori persaingan media
dikenal dengan adanya perebutan niche breath dan niche overlap yang berlangsung makin tajam. Media akan mengalami proses spesialisasi menuju media spesialis yang melahirkan identitas baru. Lahirlah saluran TV yang khusus berisi tentang Agama, Mode, Masakan, Gaya Hidup, Drama Keluarga, Olahraga dll. Tampak nyata dalam keseharian nantinya publik lebih aktif dan selektif mencari isi media dalam belantara media digital yang sangat banyak. Perilaku mereka di depan TV layaknya bermain handphone yang makin cepat melakukan pemindahan channel untuk kurun waktu tertentu; dan loyalitas publik kepada satu media menjadi makin kecil atau sulit dipelihara. Hanya media yang punya kharakter kuat dan jelas orientasinya lah yang akan mempunyai segmen publik yang relatif loyal. Publik makin menjadi atom sosial yang bergerak secara bebas mencari mata acara yang diinginkan, bukan pada medianya yang nantinya jumlahnya lebih dari 50 TV. Realitas media yang selama ini dikenal dengan asumsi serba dibatasi oleh adanya ruang dan waktu pun akan makin bergeser. Integrasi media digital dengan media online melahirkan proses konsumsi media yang tidak dibatasi ruang dan waktu lagi. Kapanpun publik bisa mengkonsumsi sebuah mata acara. Apa yang ingin dicari publik menjadi lebih luas dan beragam, bahkan dalam kondisi tertentu masyarakat bisa “kebingungan” dalam menghadapi realitas media penyiaran digital tersebut. Ditengah waktu yang makin terbatas, ia selalu bertanya “Kapan saya mesti menikmati tayangan/ siaran media A dan pilihan program apa/ program yang mana yang mesti dipilih?” Karena ada berbagai acara yang semua menarik dalam kurun waktu yang sama. Pemirsa ataupun pendengar dibawa kepada situasi yang makin ‘memabukkan’ ketika
VISI | No. 31/Th. XXI/2014
37
mengkonsumsi media yang makin bagus kualitas gambar dan suaranya secara terus menerus dan secara bawah sadar media mengatur ritme publik. Kreatifitas media pada akhirnya juga melahirkan perubahan perilaku publik dari ‘need’ menjadi ‘want’, seolah semua acara media tersebut menjadi penting, perlu dan menarik untuk ditonton. Disini lahir generasi heavy viewer dalam broadcasting. Pada fenomena yang lain oleh Shallows (2010) dikenal dengan adanya perubahan perilaku audiens yang multitasking activities, sebagai scrolling culture, dalam kurun waktu bersamaan ingin mengakses berbagai media. Tidak terbayang sebelumnya bahwa lahirnya media digital membawa implikasi pada perilaku para konglomerat media. Secara alamiah dibukanya frekuensi baru akan dapat dimiliki oleh para pemilik baru, namun kenyataannya para owner media analog lebih gesit dengan segera membeli frekuensi baru, sehingga jumlah media digital makin banyak tetapi pemiliknya relatif tetap itu-itu saja. Apabila ada 11 frekuensi TV analog dan masing-masing frekuensi bisa dipecah menjadi 8 saluran baru maka akan ada 88 media penyiaran baru. Ini belum termasuk adanya TV lokal yang jumlahnya terus bertambah. Pun nampaknya ijin kepemilikan frekuensi media era digital dibebaskan sehingga para pemain lama langsung memborong ijin baru tersebut secara cepat. Kapitalisme kepemilikan media digital tidak bisa dibendung, dan akhirnya kembali dimiliki oleh segelintir konglomerat media. Tidak terjadi diversity of ownership meskipun terjadi diversity of content , dan makin menguatkan konglomerasi media di era digital. Liberalisasi dan konglomerasi media penyiaran mendapatkan lahan baru tanpa bisa ditolak oleh publik, dengan segala resikonya yang bisa dikaji secara tersendiri. Seolah publik mendapatkan layanan baru yang berkualitas dan pilihan makin banyak, namun sisi lain suara publik makin terkooptasi oleh kepentingan media. KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) yang hadir dan ditugasi negara sebagai penjaga gawang kepentingan publik dalam membuat regulasi dan pengawasan media penyiaran mengalami erosi wibawa, tak berdaya dan tidak mampu me-
38 VISI | No. 31/Th. XXI/2014
narik dukungan publik. Hegemoni media makin tidak terbendung dan kepentingan media menjadi tidak terelakkan. Hukum kapitalisme media membungkus argumen bahwa publik diberi kebebasan melakukan pilihan media secara aktif dan selektif. Namun pada kenyataannya pilihan yang ada selalu berpihak pada kepentingan pemilik media, semua elit pemilik media punya kepentingan yang sama (perspektif ekonomi politik media). Kekuatan media dalam melakukan framing isu juga menjadi persoalan tersendiri bagi kepentingan publik yang makin tidak berdaya. Dan, dalam kurun waktu kedepan kelahiran media digital bisa jadi menjadi keprihatinan baru yang patut dikaji lebih saksama. Tenaga yang berkualitas Terlepas dari semua itu jumlah media digital yang demikian banyak, berskala besar dan beraneka ragam membawa implikasi pada ketersediaan SDM pengelolanya. Pasokan tenaga profesional yang dibutuhkan menjadi sangat besar pula. Ada lompatan kebutuhan tenaga profesional media penyiaran yang mesti diisi oleh profesional media yang fresh, berkualitas dan berintegritas. Pendidikan profesi komunikasi dihadapkan pada tantangan untuk menghasilkan tenaga profesional baru tersebut. Dalam khasanah profesi penyiaran ada tantangan kompetensi baru yang mesti dipenuhi diantaranya kompetensi terhadap penguasaan teknologi digital beserta implikasi yang terus berubah secara cepat. Perubahan lingkungan ekonomi dan politik yang makin modern dan demokratis yang menuntut adanya integritas profesi komunikasi, terlebih media sebagai menyangga pilar demokrasi bangsa. Oleh karena itulah, pendidikan ilmu komunikasi dihadapkan pada berbagai tuntutan baik dalam hal sarana prasarana /lab, kurikulum dan kemampuan tenaga dosen yang mesti bisa mengikuti tuntutan pasar yang tumbuh secara cepat. Pendidikan profesi komunikasi seperti pada tingkat diploma dihadapkan pada masalah dalam pembelajaran yang berbasis teknologi digital. Para dosen dan kurikulum harus bisa menyesuaikan perkembangan baru tersebut dengan didukung sarana penunjang yang me-
madai dengan investasi yang besar. Dalam jenjang sarjana (S1) pun, perubahan teknologi yang bergerak secara eksponensial tersebut membutuhkan telaah baru yang berubah sangat cepat. Tentu, perubahan kurikulum yang berbasis pada dunia kerja baru menjadi sebuah keniscayaan. Bagaimana menghasilkan lulusan yang dapat memahami realitas media digital dan realitas media online yang sudah terintegrasi menjadi tantangan yang makin kompleks. Baik dalam membekali kompetensi operasional media, menejemen media, menghasilkan isi siaran, pemahaman konteks dalam berbagai situasi sampai dengan pembekalan jati diri sebagai profesional media yang ideal. Materi baru atau tambahan (sebagai sub pokok bahasan) seperti Sejarah Perkembangan Teknologi Digital, Implikasi Sosial/Ekonomi/ Politik terhadap Perubahan Teknologi Digital, Pemahaman Operasional Teknologi Digita,l dan Menejemen Media di Era Digital menjadi patut dimasukkan. Materi-materi tersebut tidak mesti merubah nama mata kuliah yang sudah ada akan tetapi minimal dapat ditambahkan dalam mata kuliah yang relevan. Pada bagian lain, ketersediaan sarana penunjang pembelajaran yang berbasis digital juga mesti ditambahkan pada laboratorium komunikasi yang sudah ada, serta didukung dengan penyiapan skill baru bagi para tenaga dosen dan pengelola lab. Catatan akhir bahwa kelahiran media digital tidak hanya disikapi dengan cara melahirkan jumlah lulusan yang lebih banyak dan memiliki kompetensi tekhnis semata . Yang jauh lebih strategis dan penting adalah bagaimana menghasilkan lulusan yang nantinya menjadi tenaga profesional media yang siap menghadapi tantangan yang mengarah pada bangunan integritas profesi. Yaitu bagaimana etika dan moral yang melekat pada diri lulusan agar senantiasa mencerminkan nilai hakiki dari sebuah media yang menjunjung tinggi idealitas sebagai penyangga atau pilar demokrasi bangsa yang luhur. Menghadapi gempuran kapitalisme global dan tarikan ekonomi politik maka sebuah institusi pendidikan komunikasi mendapat tantangan dalam menghasilkan lulusan yang peka terhadap moral, idealisme dan independen dalam
menjalankan profesinya. Nilai-nilai tersebut mesti dapat disemai sejak dari kampus agar dapat tumbuh dalam sanubari lulusan. Kerasnya tarikan dan hegemoni media kapitalis sering secara halus mencederai hati publik atau bahkan malah membodohi publik. Konglomerasi media digital akan senantiasa membawa medianya kepada kepentingan ekonomi politik yang menguntungkan dirinya. Tesis independensi profesional media berada pada posisi yang lemah atau bahkan malah mendukung kepentingan pragmatis pemilik medianya, seperti dalam penolakan UU Penyiaran beberapa tahun yang lalu.
VISI | No. 31/Th. XXI/2014
39
Wawancara
Stage Photography ala Abdullah Azzam
Adakah pengalaman menarik yang pernah Anda alami ketika memotret panggung? Ketika memotret pementasan teater dari luar negeri di Teater Arena TBJT, saya dapat teguran dari salah satu penonton bule karena katanya suara kamera saya mengganggu. Ketika itu saya menggunakan continuous, jadi wajar lah kalau mengeluarkan suara yang agak berisik.
Dunia fotografi sedang digandrungi oleh para kawula muda. Terlihat dari semakin banyak variasi produk kamera canggih dengan harga terjangkau dan perkembangan teknologi pada smartphone. Namun, kemudahan dalam memiliki kamera juga harus diimbangi dengan kemampuan untuk menggunakan nya. Apalagi jika berada di kota dengan berbagai event budaya seperti kota Solo.
S
olo merupakan kota yang tiap bulannya tidak pernah absen menggelar event budaya. Event yang digelar banyak menggunakan panggung sebagai tempat performance para seniman. Seperti Solo International Performing Art (SIPA), Solo Carnaval, Solo Batik Fashion, Solo Menari, Solo Batik Carnival (SBC), Rock In Solo, dan sebagainya. Mendokumentasikan event di panggung tentu menjadi sesuatu yang ingin dilakukan oleh pehobi fotografi. Entah itu untuk konsumsi publik ataupun hanya sebatas konsumsi pribadi. Berangkat dari keinginan menghasilkan foto panggung yang baik inilah, VISI ingin mengetahui tips dan trik memotret event panggung. Tips dan trik dalam mendokumentasikan event panggung tersebut akan diberikan oleh Abdullah Azzam, seorang fotografer senior di harian Joglosemar yang mulai bulan April ini beralih ke Bisnis Indonesia. Sebagai seorang fotografer surat kabar, memotret panggung bukan lagi hal yang baru bagi Azzam. Foto aman dalam foto panggung itu yang seperti apa? “Foto aman dalam foto panggung itu ketika hasil foto kita bisa mendiskripsikan dengan jelas pementasan yang sedang berlangsung sehingga dapat dipahami orang lain. Misal ketika kita memotret panggung SBC atau SIPA, harus kelihatan keseluruhan, baik perfomer dan penontonnya.” Adakah hal yang Anda sukai dan tidak sukai dalam membuat foto Panggung? “Hal yang saya sukai dari foto panggung adalah adanya permainan lighting. Sedangkan yang saya tidak sukai ketika memotret panggung adalah, banyaknya fotografer yang juga ingin mengambil gambar sehingga harus berdesak-desakan. Kadang ada juga beberapa teman fotografer yang menggunakan flash saat mengambil gambar. Itu kan mengganggu.”
40 VISI | No. 31/Th. XXI/2014
Dok. Pribadi Nama Lengkap Abdullah Azzam Alamat Rumah Jl Pabelan Baru 1 No 79, Pabelan, Kartasura, Sukoharjo Hobby
Fotografi, Futsal
Pekerjaan
Joglosemar (Sept 2010-Apr 2014) Bisnis Indonesia (Apr 2014–sekarang)
Pendidikan SMP AL Islam 1, Solo SMAN 8, Solo D3 Periklanan UNS 2008 S1 Ilmu Komunikasi UNS 2011 Prestasi
Juara III Lomba Foto Nasional Finelon (Air Untuk Kehidupan) Juara I Lomba Foto SIPA
Pengalaman Organisasi Ketua FFC 2009-2010 Anggota LPM VISI 2009
Peralatan favorit yang selalu Anda bawa dalam memotret panggung? Saya biasanya pakai lensa 70-200 karena bisa digunakan dari jauh sehingga tidak mengganggu pementasan. Setting kamera terbaik seperti apa yang Anda pakai dalam memotret event panggung? Kalau saya, biasanya menyesuaikan dengan pertunjukannya. Untuk setting White Balance (WB) ya tergantung lampunya. Di setiap pementasan, penggunaan lampunya berbeda-beda, jadi kita menyesuaikan saja. Misal kalau lampu terlalu kuning kita pakai setting Tungsten. Untuk setting cahaya itu tergantung keinginan, kalau bagus dibuat under ya kita buat under, kalau bagus dibuat over ya kita buat over. Untuk mode pemotretan, saya suka pakai manual. Biasanya lampu panggung kadang hidup kadang mati jadi kita setting light matter-nya juga enak-enak saja kalau pakai mode manual. Misal cahayanya keras, kita naikkan speed nya, kalau gelap ya kita turunkan speed nya. Ketika kita pakai AV/TV mungkin gambarnya akan kacau.
Setelah mendapat foto panggung, apakah Anda biasanya memberikan final retouch? Jika iya, editing apa saja yang biasa Anda terapkan? Saya biasanya memakai Photoshop dan Photostation. Tapi itupun hanya sebatas edit kamar gelap dan memasukkan file info, soalnya foto jurnalistik kan tidak boleh direkayasa. Biasanya saya hanya memainkan level, kontras, crop, memasukkan caption, credit, dan judul. Menurut Anda, adakah perbedaan antara memotret seni tari dengan seni musik? Keduanya sangat beda. Untuk pertunjukan seni musik seperti konser-konser, saya menitikberatkan di lighting. Sedangkan untuk seni tari, saya lebih memfokuskan di gerakannya. Apa perbedaan foto panggung untuk jurnalistik dengan foto panggung untuk kepentingan lomba? Kalau lombanya kategori salon mungkin mainnya ke warna, dimana warna itu dibuat mateng banget. Kalau jurnalistik sendiri kan ada batasan-batasan tertentu seperti sebatas sharpen, crop, memainkan level, kontras, seperti itu. (Alvira, Maharani)
Sebelum memotret panggung adakah persiapan tertentu yang harus kita lakukan? Tergantung pementasan, kalau pementasan besar seperti Matah Ati kemarin, sehari atau dua hari sebelumnya kita harus melakukan survei lokasi pementasan. Waktu gladi bersihnya kita juga harus nonton untuk memperkirakan tempat dan tekhnik motret pada saat hari H nanti. Tapi untuk pementasan biasa, ya, tinggal datang saja, tidak harus melakukan survei lokasi pementasan terlebih dahulu.
VISI | No. 31/Th. XXI/2014
41
Refleksi iskefleR
Masyarakat Televisi, Masihkah Manusiawi?
B
Udji Kayang Aditya Supriyanto Mahasiswa Sosiologi FISIP UNS
iar saja Buzz Lightyear, salah satu karakter dalam Toy Story, sesumbar dengan obsesinya, “menuju tak terbatas dan melampauinya”. Masyarakat Indonesia, justru telah lebih jauh merefleksikan “menuju modernitas dan melampauinya”. Disadari atau tidak, kini masyarakat sedang beranjak menuju zaman baru. Meninggalkan semua bentuk kearifan yang dipandang kuno dan obsolet, serta membuka pintu lebar-lebar menyambut arus komersialisasi di segala aras. Mulai dari popok bayi sampai minuman orang dewasa pun tidak luput dari cengkeraman kapitalisme yang maha kuasa. Momok itu terus bergentayangan seiring antusiasme masyarakat yang tinggi akan teknologi bernama televisi. Ketimbang media lain, entah itu cetak maupun elektronik, televisi adalah media yang paling diminati. Televisi adalah candu masyarakat masa kini, segala realita di layar kaca begitu mudah membuat para penontonnya terlena. Demikian mukadimah singkat, sekadar pengantar menuju pemahaman mengenai masyarakat Indonesia hari ini. Modernitas, Obsesi Negara-Negara Dunia Ketiga Modernitas adalah perubahan sosial budaya yang masif, pemutusan hubungan secara radikal terhadap tradisi dan kemapanan sosial peradaban yang mandheg. Secara epistemologis, modernitas meliputi empat unsur pokok (Hidayat, 2012: 26). Pertama, subjektivitas reflektif yang mengakui kekuatan-kekuatan rasional sebagai ujung tombak pemecah masalah-masalah kehidupan. Kedua, kemampuan menghindarkan diri dari kekangan tradisional serta historis. Ketiga, kesadaran historis bahwa waktu berlangsung secara linear dan menitikberatkan pada kekinian. Modernitas juga menjunjung rasio melebihi wahyu, kemajuan di atas kemapanan, dan masa depan lebih diperhatikan ket-
42 VISI | No. 31/Th. XXI/2014
imbang masa lalu. Kemudian unsur pokok yang keempat, universalisme sebagai pendasaran ketiga unsur sebelumnya. Universalisme dimaksudkan bahwa elemen-elemen modernitas sifatnya normatif dan ditujukan kepada masyarakat yang akan melakukan modernisasi. Masyarakat barat sebenarnya sudah menjumpai modernitas ketika imperialisme berlangsung di Eropa Utara pada abad 16. Kendati demikian baru pada abad ke-19 modernitas menemukan wujudnya yang matang. Sedangkan di negara-negara dunia ketiga, modernitas terlambat datang. Betapa tidak, masyarakat dunia ketiga belum lepas dari penjajahan tatkala di Barat sudah berlangsung modernisasi di segala lini. Dampak dari keterlambatan tersebut terlihat sekali dewasa ini. Negara-negara dunia ketiga secara obsesif melakukan akselerasi di segala aspek kehidupan. Hanya saja akselerasi tersebut sifatnya tidak autentik, ada tendensi mengekor pada masyarakat Barat. Merujuk Syed Farid Alatas, masyarakat di negara-negara dunia ketiga belum lepas dari penyakit captive mind (benak terbelenggu). Suatu pikiran meniru yang tak kritis, terdominasi sumber-sumber eksternal yang menyimpang dari perspektif independen (Alatas, 2010: 35). Peniruan secara gamblang, Agnes Monica cukup menjadi contoh. Gaya berpakaian, warna musik, aksi panggung, bahkan sikap kesehariannya pun kental sekali bernuansa Barat. Peniruan terselubung, bisa dijumpai pada acara-acara televisi di Indonesia. Banyak sekali acara yang terlihat autentik, padahal konsepnya masih meniru, misalnya saja kompetisi menyanyi dangdut. Belum ada kompetisi menyanyi dangdut di negara-negara Barat, namun konsep acara semacam itu lebih dulu dikenal di sana. Tuhan yang Tergantikan Akhir-akhir ini, televisi penuh dengan acara-acara yang menyajikan goyangan. Mulai dari
goyang Cesar, goyang Bang Jali, goyang Oplosan, bahkan bumi pun ikut bergoyang. Keseragaman acara televisi tak lepas dari penguasa zaman ini, yakni pasar. Siapa yang tidak mematuhi permintaan pasar, ia akan tertinggal. Pasar memiliki otoritas tertinggi, bahkan Nietzsche sampai mengisahkan bahwa Tuhan telah mati di pasar. Lewat karyanya, The Gay Science, ia menceritakan tentang seorang gila yang berlari ke tengah pasar dan berteriak lantang, “Saya mencari Tuhan! Saya mencari Tuhan! Di mana Tuhan?” Tak ada satupun dari orang-orang di pasar yang menuntun si gila kepada Tuhan. Mencari Tuhan di pasar sepertinya sia-sia, maka si gila berkata, “Aku akan mengatakan kepada kalian. Kita telah membunuhnya, kalian dan saya. Kita semua adalah pembunuh-pembunuhnya. Tuhan telah mati! Tuhan tetap mati! Kitalah yang telah membunuhnya!” Kematian Tuhan di sini bukan dalam artian sebenarnya, pada dasarnya Tuhan tetap hidup di sanubari setiap manusia yang percaya. Hanya saja di banyak kasus, Tuhan telah ditinggalkan. Misalnya kasus hijabers, perintah memakai jilbab adalah wahyu samawi yang berasal dari Tuhan, namun dalam implementasinya para hijabers justru mengacu pasar. Mereka memakai jilbab untuk mengikuti tren yang ada atau menciptakan tren baru sebagai referensi pasar, dengan kata lain mereka menjadi agen pasar. Hijabers sebagai agen pasar mengambil yang suci dan menjadikannya profan, peran yang sama seperti borjuis di mata Karl Marx. Atribut keagamaan kini tidak luput dari cengkeraman komersialisasi yang berakar pada kapitalisme, “Akarnya semua iblis” (Lowy, 2013: 56). Pasar memang selalu identik dengan kapitalisme, dan di zaman yang serba pasar ini sulit sekali menghalau tangan-tangan kapitalisme. Televisi sebagai media mayoritas masyarakat Indonesia berperan besar dalam melahirkan kapitalisme lanjut, membuatnya “terlihat” lunak ketimbang kapitalisme sebelumnya yang radikal. Kapitalisme yang menjunjung tinggi materi pada akhirnya menyingkirkan humanitas manusia modern. Alienasi Manusia di Televisi Materi di era ini lebih merujuk pada uang,
karena memang itulah buruan utama manusia masa kini. Berbeda dengan zaman feodalisme yang mengagungkan tanah, atau imperialisme yang identik dengan gold, gospel, glory. Uang menjadi instrumen alienasi manusia yang paling efektif, manusia menjadi terasing karena uang. Semisal penonton bayaran pada program televisi yang bersorak-sorai demi uang. Manusia yang bersorak-sorai karena dirinya sendiri dengan penuh kesadaran diri adalah manusiawi. Namun manusia yang bersorak-sorai demi uang dan kepentingan orang lain, pantaskah disebut manusiawi? Jean Paul Sartre mengatakan, ada dua pilihan besar dalam kehidupan manusia, yakni hidup secara otentik atau hidup dengan mauvaise foi (keyakinan yang buruk). Hidup secara autentik memiliki signifikansi dalam upaya mendobrak berbagai konstruksi spat kapitalismus (Nogroho, 2013: 136). Hidup secara autentik berarti mengada bagi dirinya sendiri, etre pour soi. Segala tindakannya ditentukan diri sendiri, bukan dari otoritas-otoritas eksternal. Sedangkan mauvaise foi ditandai dengan mengada bagi yang lain, etre pour autre. Pengidap mauvaise foi tidak memiliki otonomi atas tindakannya sendiri. Penonton bayaran pun demikian, mereka tidak hadir di studio dan menonton program televisi secara langsung lantaran program tersebut menarik. Mereka datang karena dibayar, mereka bersorak-sorai karena dibayar, dan mereka menggadaikan tubuh beserta goyangannya demi uang. Manusiawi? Lebih lanjut, Sartre mengatakan bahwa manusia dikutuk untuk bebas, “man is condemned to be free”. Supaya tidak disalahpahami, kebebasan bukan berarti bertindak secara ugal-ugalan atau hidup tanpa aturan. Orang yang sungguh-sungguh bebas itu terlepas dari segala alienasi atau keterasingan (Bertens, 2004: 113). Dengan kata lain, orang yang bebas seakan memiliki dirinya sendiri. Ia mencapai taraf otonomi, kedewasaan, autentisitas, dan kematangan rohani. Dikaitkan dengan oposisi biner Sartre yang telah disebutkan sebelumnya, manusia yang memiliki kehendak bebas adalah mereka yang hidup secara autentik. Manusia yang menjadi subjek bagi dirinya sendiri, tidak menggantungkan dirinya kepada faktor-faktor eksternal. Di lain pihak,
VISI | No. 31/Th. XXI/2014
43
manusia yang tidak memiliki kebebasan hidup adalah pengidap mauvaise foi. Mereka kehilangan subjektivitasnya lantaran diobjekkan oleh eksistensi lain. Kendati demikian, kebebasan tetap harus dipertanggungjawabkan. Manusia hanya turun sekali di dunia, maka ia bertanggung jawab sepenuhnya atas eksistensi dirinya sendiri. Maka, mari sejenak mengheningkan cipta menghadapi realitas manusia Indonesia yang terus-menerus bersedia dan bangga menjadi benda. Lihatlah layar kaca, begitu banyak manusia yang hanya menjadi hiasan, dalam satu frame yang sama dengan artis-artis papan atas. Tetapi untuk popularitas, apalagi status dan peran, tentu ada beda yang signifikan. Para penonton bayaran tak ubahnya seperti robot, yang diprogram untuk bergoyang, bersorak-sorai, tertawa satu nada, yang dijejali bahan bakar sejumlah rupiah. Sehebat apapun sebuah robot, hakikatnya tetap saja benda, bukan manusia. Bayangkan ketika para ilmuwan terobsesi menciptakan robot yang menyerupai wujud manusia (humanoid), manusia justru merobotkan dirinya sendiri. Merobohkan kemanusiaan yang selama ini diperjuangkan oleh banyak kalangan. Bukankah ini suatu pengkhianatan? Ya Tuhan, ampuni generasi masa kini. Oh, maaf, sepertinya ada yang terlupa, kesucian-Nya telah dicemari. Tuhan sudah mati, Tuhan sudah dibunuh oleh para kapitalis dengan segala evangelisnya dalam iklan-iklan televisi.
44 VISI | No. 31/Th. XXI/2014
Teka-teki di Balik Pintu Belakang Rumah
BUKU
Oleh Fenti Fadilla Judul Penulis Penerbit Tahun Terbit Jumlah Halaman Kategori Bahasa
B
: Back Door Java: Negara, Rumah Tangga, dan Kampung di Keluarga Jawa : Jan Newberry : Yayasan Obor Indonesia : 2013 : 284 : Sosial Politik Indonesia
agi orang di luar Jawa, mungkin pintu hanya digunakan sebagai sarana untuk keluar dari sebuah ruangan dan masuk ke dalam ruangan. Namun, bagi masyarakat Jawa, ternyata pintu memiliki tujuan yang sungguh bermakna, terutama adanya pintu belakang rumah. Ada teki-teki yang muncul dari pintu belakang rumah ini. Semuanya dikupas tuntas dalam buku karangan Jan Newberry seorang etnografer asal Leithbridge University di Alberta, Kanada. Pada awalnya ia ke Indonesia untuk meneliti perihal kaitan antara masyarakat pertanian dan negara di sebuah kampung di Yogyakarta. Namun, ia justru tertarik dengan teka-teki dibalik dibangunnya pintu belakang rumah orang Jawa. Buku bertajuk Back Door Java ini menyoroti sebuah lingkungan kampung di sudut kota kraton Yogyakarta, Jawa Tengah, selama pemerintahan Orde Baru. Membuka budaya kelas pekerja melalui kisah-kisah kehidupan melalui perspektif warga kampung tersebut untuk memahami interaksi antara masyarakat kampung dengan kekuasaan negara dan dampak kekuasaan negara, terutama pada pekerjaan dan kehidupan sehari-hari kaum perempuan. Rumah diungkapkan dalam hubungan antara arsitektur fisik dengan arsitektur sosial dan hubungan keluarga. Bentuk fisik rumah tradisional masih mencerminkan nilai-nilai kunci dalam kehidupan bertetangga di Jawa. Rumah tangga dalam buku ini dipandang sebagai ekonomi rumah tangga, yang sering dibedakan dari ekonomi formal berdasarkan pekerjaan berbayar. Bab ini mengupas peran kaum perempuan dalam mendukung penghidupan kaum laki-laki yang menganggur dan setengah men-
ganggur. Bab ini memandang pembangunan masyarakat pada masa Orde Baru yang menggunakan program Pembinaan Kesejahteraan Keluarga atau PKK, mendorong kaum perempuan untuk diam di rumah dan melakukan kegiatan ibu rumahtangga guna mendukung keluarga mereka. Negara dianggap berhasil karena masyarakat digunakannya sebagai landasan bagi kesejahteraan sosial, pola yang juga digunakan oleh pemerintah kolonial Belanda dan pemerintah Jepang di zaman perang. Istilah “rumah-kediaman� di sini berkaitan dengan pandangan bahwa kaum perempuan sejatinya adalah di rumah, mengasuh anak, masyarakat, dan negara. Rumah tangga memiliki suatu tatanan moral tertentu dan ide tertentu mengenai keluarga dan peranan kaum perempuan yang menempati tempat utama dalam visi pemerintah Orde Baru mengenai masyarakat. Penulis mengisahkan dua perempuan, Bu Sae dan Bu Apik, yang menunjukkan bagaimana PKK dan tatanan moralitas dukungan negara digunakan dalam kehidupan masyarakat kampung. Ketika retorika pemerintah Orde Baru mengenai perempuan yang baik digunakan untuk landasan kegiatan-kegiatan kampung. Masyarakat kampung direproduksi di saat berbagai ide tentang kegiatan kampung bermunculan meskipun tidak sesuai dengan tatanan kehidupan warga kampung. Buku ini sangat cocok bagi anda yang ingin mengetahui bagaimana orang Jawa membentuk identitas dirinya melalui penataan rumahnya. Dalam buku ini akan terpampang kearifan para masyarakat Jawa dari hal-hal kecil yang mereka lakukan.
VISI | No. 31/Th. XXI/2014
45
Terkuaknya Sosok Asli Sang Captain America
FILM
Sunyaruri Padukan Keroncong Jawa
Oleh R. Ahmad Reiza Maulana
Oleh IG Rinda Yuda Wardana
Judul Sutradara Naskah Pemeran Durasi Jenis
Artis Album Genre Produksi Durasi
S
: Captain America: The Winter Soldier : Anthony Russo, Joe Russo : Christopher Markus, Stephen McFeely, Ed Brubaker, Joe Simon, Jack Kirby : Chris Evans, Scarlett Johansson, Anthony Mackie, Sebastian Stan, Robert Redford : 136 menit : Action, Sci-Fi, Adventure
teve Rogers alias Captain America (Chris Evans), seorang tentara eksperimental dari masa Perang Dunia (PD) II, menjadi buronan di S.H.I.E.L.D, organisasi rahasia yang menaunginya sejak hidup kembali di abad 21. Ternyata dalam organisasi tersebut, berisi pentolan-pentolan dari organisasi musuh yang ia lawan pada masa PD II dahulu, HYDRA. Kemudian satu-persatu para antek HYDRA muncul dan mengambil alih kontrol S.H.I.E.L.D. Untungnya Steve masih ditemani oleh Natasha Romanoff alias Black Widow (Scarlett Johansson) dan beberapa agen S.H.I.E.L.D. lain yang bergerak secara underground menghindari bahaya. Belum lagi kematian Nick Fury (Samuel L. Jackson) sebelumnya yang didalangi oleh Alexander Pierce (Robert Redford) yang selama itu dianggap sebagai sahabat Nick Fury. Menghadapi HYDRA generasi baru, Captain America tidak hanya dibantu oleh Black Widow dan agent S.H.I.E.L.D. lainnya, tetapi juga teman barunya, Falcon atau Samuel Wilson (Anthony Mackie), seorang veteran Angkatan Udara Amerika yang dikenalnya saat lari pagi. Tidak hanya sebagai salah satu film yang sukses di awal tahun 2014 karena meraih keuntungan sebanyak 95 juta Dollar, tetapi juga sebagai re-branding dari Captain America yang sebelumnya dikenal sebagai sosok superhero yang tidak sehebat kawan-kawannya seperti Iron Man dengan armor canggihnya, Thor sebagai anak dewa dari Asgard, atau Hulk yang memiliki kekuatan yang bahkan mampu meratakan seluruh kota jika ia mau—dan marah tentunya. Film ini disutradarai oleh Russo bersaudara, namun naskah masih dipegang oleh Christopher Markus dan Stephen McFeely. Dari sini terlihat bahwa sosok Captain America yang cemen
46 VISI | No. 31/Th. XXI/2014
mulai terkuak semua potensi dirinya. Yang semula keraguan kekuatannya, luntur begitu saja ketika melihat sosoknya yang benar-benar badass. Tidak berarti sosok Captain America berbeda, melainkan diberi penyegaran sekaligus penegasan bahwa ia memang superhero yang sesungguhnya. Bicara film superhero, tidak lupa dengan efek CGI yang tentunya semakin memukau seiring perkembangan teknologi digital yang semakin canggih. Namun bukan itu yang membuat film ini hebat, tetapi juga kekuatan alur cerita meningkat signifikan dibanding film sebelumnya. Koreografi dalam adegan berkelahi juga lebih hebat. Tidak sekadar pukul-tendang-cekik-banting, tetapi juga martial art disusupi di dalamnya, terinspirasi dari film aksi laga fenomenal Indonesia yang mendunia, The Raid. Hal ini diakui Russo bersaudara dalam sebuah wawancara, dilansir dari Comicvine.com. Dari situlah terbukti kehebatan film aksi superhero ini yang dibuktikan dengan rating 8.4/10 dan peringkat kedua di IMDb.com. Sesuai tradisi, musuh-musuhnya berasal dari masa lalu. HYDRA sebagai musuh Amerika di masa PD II, tampil kembali. Secara garis besar cerita didominasi oleh konspirasi, penyusupan, dan dendam masa lalu. Agak monoton memang, untunglah Duo Russo dan Markus-McFeely mengatasinya dengan peningkatan kualitas cerita dan koreografi yang memberi penyegaran. Terkadang film aksi yang umumnya memiliki sedikit cerita hanya mengandalkan kekuatan visual. Namun berbeda dengan film ini, peningkatan alur dan adegannya membuat film ini menembus box office. Sebagai salah satu film superhero dari Marvel, film ini layak untuk ditonton sebagai hiburan..
B
MUSIK
: Sarasvati : Sunyaruri EP : Unconventional Pop : 2013/Indie : 23 menit 49 detik
and Sarasvati kembali meluncurkan album terbarunya tahun lalu. Tepat di konsernya 12 Desember 2013, Sarasvati resmi merilis album bertajuk Sanyanyuri. Album ini berisi lagu-lagu yang sedikit ditambahi nuansa baru, yakni adanya paduan music keroncong Jawa yang member nuansa tradisional. Sarasvati merupakan band asal Bandung yang dibentuk pada tahun 2010 dan beranggotakan sembilan orang, yaitu Risa Saraswati (vokal), Hin-Hin Akew (gitar), Galang Perdhana (bass), Gigi Priadji (sequencer), Iman Jimbot (kecapi suling), Kevin Einaldi (keyboard), Shella Safira (backing vocal), serta Sheryta Arsallia dan Fajar Shiddiq (drummer). Hingga sekarang sarasvati telah memiliki 2 album dan 1 album Extended Play (EP). Band Sarasvati memiliki genre yang tergolong unik karena lagu-lagu yang dimainkan oleh Sarasvati ini terinspirasi dari kisah hidup sang vokalis yaitu Risa Saraswati yang dapat berkomunikasi dengan makhluk-makhluk astral yang tidak dapat dilihat oleh orang biasa, sehingga nuansa nuansa horor, seram, dan mistikbegitu kental di setiap karya-karya Sarasvati ini. Album pertama Story of Peter dirilis pada tahun 2010, yang bercerita tentang persahabatan antara risa dan teman masa kecilnya yang tidak kasat mata. Risa juga mengeluarkan buku yang berjudul Danur yang melengkapi cerita di balik lagu-lagu yang ada di album Story of Peter. Kemudian album keduanya yang berjudul Mirror dirilis pada tahun 2012 bersamaan dengan buku berjudul Maddah. Dan yang terbaru karya dari band ini adalah mini album atau EP Sunyaruri pada tahun 2013. Bersamaan dengan buku karya Risa yang ketiga dengan judul yang sama, Sunyaruri. Menceritakan bagian terakhir
tentang teman-teman masa kecilnya itu. Dalam album ketiga ini nuansa mistik sudah tidak sekental pada dua album sebelumnya. Dalam EP ini terdapat lima buah lagu yaitu Sunyaruri, Senandung Hujan, Cerita Kertas dan Pena, Larung Hara, dan Pulang. Seperti dua album sebelumnya, Sarasvati mengambil satu lagu yang digunakan untuk berkolaborasi dengan musisi lain. Mereka berkolaborasi dengan Ink Rosemary dalam lagu Cerita Kertas dan Pena. Lagu andalan dalam album ini yaitu adalah Cerita Kertas dan Pena yang menceritakan sebuah kisah tentang Djalil dan Elsja. Sepasang sahabat yang dibedakan dengan status antara bangsawan Belanda dan seorang anak pembantu. Mereka saling mencintai dan mengasihi namun harus terpisah karena alasan prestis dan hingga akhir hayatnya mereka tidak bisa bersama karena Elsja dikurung ayahnya di ruang bawah tanah yang bermaksud untuk menyelamatkan nyawanya kemudian meninggal. Kemudian ada lagu Sunyaruri yang menceritakan tentang sebuah alam kesepian yang menggambarkan bagaimana keadaan Risa saat itu yaitu saat dimana ia ditinggalkan pergi oleh teman-teman masa kecilnya, yang sebenarnya mereka tidak benar-benar pergi. Maka alam baru yang berisi kesepian dari Risa itulah yang kemudian disebutnya sebagai alam Sunyaruri. Adapun lagu Senandung Hujan yang dalam album ini benar-benar spesial, unsur mistiknya tidak begitu kental, namun kali ini diisi dengan sentuhan musik beralunan keroncong yang bisa membius pendengarnya untuk mendapatkan sebuah suasana yang tenang. Dari semua lagu dengan keistimewaan masing-masing, mini album ini patut dicoba untuk didengarkan.
VISI | No. 31/Th. XXI/2014
47
C erpen
Saksi
Oleh Ainun Nisa Nadhifah
R
uangan ini selalu lengang. Steril dari sembarang manusia. Hanya beberapa yang tertentulah yang berhak masuk, dengan volume suara yang hanya sedikit lebih tinggi dari suara bisikan. Barangkali aku pun termasuk dalam beberapa yang tertentu. Tentu saja. Apa jadinya mereka bila tanpa aku? Dua orang yang singgah ke ruangan ini setiap hari, lagi-lagi tengah berkonsolidasi. Berada tak jauh dariku, mereka berdiskusi. Aku mengenali salah satu dari mereka sebagai pemimpin redaksi. Orang-orang memanggilnya Bang Soni, namun aku mana peduli. Mau dipanggil Bang Soni, Pak Soni, atau siapapun, dia tetaplah Soni. “Yang tadi sudah beres?” Sayup-sayup kudengar Soni kembali memulai diskusi. “Hampir. Mungkin Bang Soni mau lihat?” “Bah! Kenapa masih begini? Sudah kubilang tadi, jangan gunakan angle yang begini-begini. Kau belum mengerti juga?” suara Soni mulai meninggi, walau tak bisa dikatakan sebagai teriakan. “Tapi kami sudah memperbaiki angle yang jauh berbeda dari kemarin, Bang. Harus diapakan lagi?” tanya Fredi, karyawan yang menurutku paling berani menghadapi Soni. “Fredi, sudah berapa lama kau bekerja di sini? Kenapa masih tak paham? Aku mau angle yang lain, yang lebih menarik untuk disimak.” “Tapi kita sudah terlalu jauh dari idealisme kita...” Fredi terdengar lirih. “Hahaha! Tahu apa kau, soal idealisme? Kau, kalau mau terus jadi kelompok idealis, jangan harap kita bisa tetap berdiri seperti ini,” seloroh si Soni. Ia meneguk sebotol air mineral 300 mililiter hingga habis sepenuhnya, lantas membantingnya keras tepat di sampingku. “Aku sudah bilang berkali-kali, Fred. Perbaiki!” Soni menepuk bahu Fredi, lalu merangsek keluar ruangan. Kini tinggallah aku dan Fredi sendiri. Fre-
48 VISI | No. 31/Th. XXI/2014
di yang malang. Ia kini terlihat begitu gamang. Seberani apapun ia menentang Soni, tetap saja ia berada di posisi yang kalah. Posisi yang pada akhirnya akan menghimpit dirinya untuk mengerjakan apa yang diperintahkan Soni. Bagaimana pun, Fredi berutang budi kepada Soni, senior semasa kuliah yang telah mengajaknya bergabung ke perusahaan media besar di ibukota ini. Fredi menatapku dengan tatapan nanar. Aku tahu apa yang ia pikirkan. Sudah begitu banyak beban yang ia dapatkan dari pekerjaan ini. Tidak jarang aku memergokinya tengah melamun setelah hasil kerjanya tak layak menurut Soni. Sore ini terlalu panas, bahkan di dalam ruangan yang pendingin ruangannya hampir tak pernah mati. Meski kegundahan masih menyelimuti permukaan wajahnya, Fredi mulai menyunting naskah berita yang sudah ia tulis dengan sepenuh hati. Ini bukan yang pertama kali. Kondisi ruanganku selalu seperti ini hampir setiap hari. Aku ingat kejadian tempo hari, Fredi harus menghadapi Soni setibanya di kantor. Sebenarnya, bagiku yang awam soal dunia ini, permintaan Soni bukanlah sesuatu yang signifikan. Ia hanya menyuruh Fredi untuk memperbaiki beberapa kata dan frase yang ada dalam naskah berita untuk tayangan berita siang. Kupikir, apa bedanya frase “tragedi perusahaan” dan “bencana daerah”? Keduanya sama-sama musibah yang tak juga mendapatkan penanganan. Belakangan,
dari keluh kesah Fredi selepas keluarnya Soni dari ruangan ini, baru aku mengerti dampak kedua frase itu terhadap sebuah reputasi. Fredi baru saja menyelesaikan suntingannya, ketika Soni memasuki ruangan dengan wajah yang ramah. Aku tahu, sesuatu akan terjadi. Lagi-lagi, tentu bukan sebuah peristiwa yang patut dinikmati. “Fred, tolong periksa berita untuk Alina. Beberapa perlu diperbaiki. Tayang satu jam lagi,” perintah Soni sambil mengangsurkan sebuah print-out yang masih terasa hangat. “Kali ini berita apa, Bang?” tanya Fredi. Sebuah suara enggan terdengar dari pertanyan yang sebenarnya hanya basa-basi. “Ah, kau seperti tak tahu saja. Berita mendesak yang mau dikeluarkan di tayangan andalan, Fred,” jawab Soni dengan senyum yang berseri-seri. “Soft copy-nya sudah kukirim ke surelmu.” Aku mulai mengerti apa yang dimaksud Soni. Berada di ruangan ini sepanjang hari, tentu membuatku lebih pandai untuk cepat mengerti. Semakin lama, aku merasakan hawa-hawa frustrasi. Kulihat ekspresi wajah Fredi makin tertekuk. Keningnya berkerut seiring dengan lembar demi lembar yang kusut dalam genggaman tangannya. “Kenapa, Fred?” Soni mengeluarkan pertanyaan yang terlalu polos. “Kenapa harus berita macam ini, Bang?” Fredi setengah membanting lembaran print outnya. Lagi-lagi teronggok di sebelahku. “Itu komando langsung dari atasan, Fred. Kau berani protes sama atasan?” Soni justru membalas pertanyaan Fredi dengan pertanyaan lain. Raut mukanya kini menegang, memperlihatkan garis-garis tegas yang membuat siapapun mengerti bahwa lelaki di sebelahku ini sedang marah. “Saya tanya, kenapa kita harus memuat berita ini?” Tidak ada lagi nada takut dalam suara Fredi, lain dari biasanya. “Kau pasti sudah tahu, mereka memegang saham terbesar dalam perusahaan kita, Fred. Apakah ini masih kurang jelas untukmu? Tak usahlah banyak bertanya, kerjakan saja pekerjaanmu. Waktumu tidak banyak, Fred.” Soni melipat
kedua tangannya di depan dada. “Masih enggan, Fred? Alina-mu yang akan membawakan berita saja tidak susah, kok.” Alina. Fredi kini mendongakkan kepalanya, menentang perkataan Soni barusan. Tentu saja ia tahu segala hal tentang Alina. Aku pun tahu, lewat surel-surelnya kepada Fredi, Alina mengeluhkan media tempat mereka bekerja. Mereka berdua sama-sama tak sepakat pada perintah atasan, namun tak kuasa untuk melawan. Menjadi pembawa berita adalah cita-cita Alina sejak kecil, dan tawaran kakak tingkat mereka semasa kuliah jelas kesempatan yang tak bisa disiakan. Sama halnya dengan Fredi yang menyambut tawaran pekerjaan Soni di kala membutuhkan uang untuk masa depan mereka. “Jangan kebanyakan melamun, Fred!” teriakan Soni sambil memandang Fredi dengan geram. Baru kali ini aku mendengar ada yang berteriak di sini. “Bang, untuk apa kita terus menuruti perintah yang makin tak jelas ini?” Fredi mengatur napas dan emosinya, bersiap untuk segala yang akan terjadi kemudian. “Apa karena partai pemegang saham, Bang? Abang ingin jadi caleg?” “Jaga bicara kau, Fred! Ingat siapa yang semasa kuliah mengajarimu menulis. Siapa yang menawarimu pekerjaan di saat kau kebingungan bagaimana mau melamar Alina.” “Terima kasih atas semuanya, Bang. Tapi aku lelah harus menjadi orang yang tak bisa memperjuangkan idealismenya sendiri.” jawab Fredi pasrah. Kulihat senyum tipisnya merekah, walau agak dipaksakan. Bila sekaranglah saatnya, ia siap untuk pergi. Soni terdiam. Orang yang sejak lama ia bimbing dan percayai, pada akhirnya telah memutuskan langkahnya sendiri. Mau bagaimana pun, ia tetap tak punya hak untuk menahan Fredi untuk tetap berada di sini. Ketika Fredi melepaskan kartu pengenalnya dan menyerahkannya kepada Soni, aku tahu bahwa Fredi tak akan bimbang seperti hari sebelumnya. Setelah menjabat tangan Soni singkat, ia menghampiriku, memilih menu shut down. Ya, aku berhenti menjadi saksi perdebatan antara Fredi dan pemimpinnya...
VISI | No. 31/Th. XXI/2014
49
P uisi
Di Mataku Oleh Hanputro Widyono
mentari di atas telaga itu kelabu lazuardi tiba-tiba berubah ungu rerumputan sabana hijau layu Pemuda! Pemuda! kau Pemuda, bukan? apa kau melihat ibu-ibu di sana? ia berumur 68 tahun, sekarang tapi, lihatlah kerutan di wajahnya! itu lukisan alami perjuangannya ia belum bahagia, kau harus menolongnya, Pemuda! heh, Pemuda! Pemuda! sial, bisa-bisanya kau tertidur lalu aku berjalan dari satu titik ke titik lain dari satu waktu ke waktu yang lain aku melihat begitu sengit, perang cari kerja Pemuda tanpa ijazah dan keterampilan, tumbang di jalanan aku melihat Muda-Mudi dirundung asmara galau melihat kelakuan gundiknya aku melihat mahasiswa, di kampus-kampus damai, tanpa keresahan, tanpa pergerakan hanya teori-teori yang santer, tapi minim eksekusi idealisme hanya jadi pajangan etalase aku semakin kasihan pada ibu itu, aku jadi mempertanyakan kembali, kata-kataku “beri aku sepuluh Pemuda, maka akan kuguncang dunia�
50 VISI | No. 31/Th. XXI/2014