UNS T V TERSANDUNG KPID • NASIB JURUG • BERSAING MELAWAN GAMES
VISI
L P M V I S I . C O M • E D I S I X X X I I • TA H U N 2 0 1 5
M UAR A PEM IKIR A N K AMPUS
(MASIH) MERAJUT KOTA LAYAK ANAK
Iklan Layanan Masyarakat ini disampaikan oleh Lembaga Pers Mahasiswa VISI
BUKU ADALAH JENDELA DUNIA
DAFTAR ISI
Bagaimana Nasib Jurug Selanjutnya? Satu-satunya kebun binatang di Kota Solo, Taman Satwa Taru Jurug (TSTJ) tampak kurang optimal sebagai sarana rekreasi. Sangkar yang kosong atau berlubang, sampah-sampah berserakan, hewan mati, dan lain-lain menjadi pemandangan khas tempat ini. Kurang maksimalnya perawatan disebabkan beberapa masalah. (Selengkapnya di hlm. 28)
ESKA Terselubung di Solo
UNS TV Tersandung KPID
Bersaing Melawan Games
Tidak hanya buruh anak-anak saja yang menjadi masalah dalam implementasi Kota Layak Anak, Eksploitasi Seks Komersial Anak (ESKA) eksis dan sukar diendus oleh Pemerintah Kota. (Selengkapnya di hlm. 14)
Televisi kampus sedang ramai-ramainya. Kampus tetangga, Institut Seni Indonesia (ISI) Solo, juga sudah memilikinya. Sayangnya regulasi mengganjal niat baik Wakil Rektor IV ini. (Selengkapnya di hlm. 22)
Gadget menjadi mainan utama, sekaligus gaya hidup anak-anak masa kini. Padahal dua dasawarsa yang lalu, anak-anak baru saja lihai memainkan gimbot. Sekarang, tablet sudah biasa. (Selengkapnya di hlm. 18)
BERITA Laporan Utama 8, 14 Spektrum 18 Sekaken 22 Laporan Khusus 29, 34 PROFIL Sosok 38 VISI Bertanya 42 INFOGRAFIS 25
OPINI Surat Pembaca 4 Editorial 4 Detak 7 Artikel Utama 16 Teropong 36 Refleksi 40 SELINGAN Podium 6 Potret 26
SASTRA Cerpen 44 Puisi 46 RESENSI Buku 48 Musik 49 Film 50
VISI • EDISI 31 • 2015
3
EDITORIAL
Di dalam Peraturan Menteri (Permen) Nomor 11 tahun 2011, Kota Layak Anak (KLA) didefinisikan sebagai kabupaten/kota yang mempunyai sistem pembangunan berbasis hak anak melalui pengintegrasian komitmen dan sumber daya pemerintah, masyarakat dan dunia usaha yang terencana secara menyeluruh dan berkelanjutan dalam kebijakan, program dan kegiatan untuk menjamin terpenuhinya hak anak. Gagasan KLA dilontarkan sembilan tahun yang lalu, tepatnya pada 2006. Sudah hampir genap satu dekade—9 tahun lalu—namun program ini belum berjalan sepenuhnya di Kota Solo. Dalam tiga tahun terakhir Kota Solo hanya bertahan di predikat Nindya, posisi ketiga dalam lima tahapan KLA (Pratama, Madya, Nindya, Utama dan KLA). Ada beberapa argumentasi mengapa hal tersebut bisa terjadi. Pertama, kurang adanya koordinasi pemerintah kota dengan pihak-pihak terkait. LSM, komunitas-komunitas, dan yayasan yang bergerak di bidang anak masih bergerak di program yang mereka jalani sendiri. Kedua, program pemerintah masih belum tertata rapi. Dilihat dari implementasi kebijakan, fokus program tertahan dalam lingkup kecamatan. Program untuk anak ‘seharusnya’ diterapkan di mana anak bisa menjamahnya dengan mudah. Ketiga, ketegasan pemerintah dalam hal-hal terkait lainnya, seperti regulasi iklan rokok dan masalah anak jalanan. Singkat kata, Pemkot tidak terlihat serius dalam mengawal program ini. Harapannya, dalam dekade pertamanya nanti, KLA sudah benar-benar dapat berjalan di Kota Solo. Majalah VISI kali ini berusaha untuk menuturkan mengenai bagaimana Kota Layak Anak berjalan setelah sembilan tahun sejak dicanangkan. Bahasan mengenai program KLA akan disajikan dalam Laporan Utama, dan Laporan Khusus salah satunya akan membahas mengenai ruang publik. Selain mengenai KLA, majalah ini akan menyajikan mengenai UNS TV, dalam rubrik Sekaken. Redaksi LPM VISI
surat pembaca
Hati-hati, Wahai Mahasiswa Ramainya pengendara kendaraan bermotor membuat lalu lintas di kampus ramai bukan main. Ditambah pekerjaan penggalian di sisi jalan mempersempit area berkendara. Bus kampus, taksi, hingga truk molen terkadang membutuhkan perhatian ekstra. Hingga pejalan kaki harus berbesar hati, lebih baik menunggu lama dari pada terserempet jatuh dan luka. Adakah inovasi dari kampus UNS untuk mengurangi kepadatan lalu lintas? Atau hal ini dianggap biasa, toh diatas pukul 22.00 WIB lalu lintas dalam kampus kosong. Haruskah dilakukan upaya evaluasi lalu lintas dalam kampus? Ah sudahlah, toh juga tidak ada polisi dalam kampus. Tidak pakai helm pun takkan ditilang. Prasetya EB Fisika FMIPA UNS Solo Bisa Jadi KLA Anak sebagai bagian dari masyarakat yang lebih luas merupakan target penting bagi negara untuk mewujudkan kewajibannya. Oleh karenanya program Kota Layak Anak merupakan upaya un4
VISI • EDISI 31 • 2015
tuk memberikan pengakuan atas martabat yang melekat dan tidak dapat dicabut oleh siapapun, termasuk anak-anak. Anak-anak wajib dijamin hak-haknya untuk hidup, memperoleh pendidikan, kesehatan, perlindungan, dan hak untuk menyatakan pandangannya secara bebas dalam semua hal yang mempengaruhi kehidupannya, hal ini merujuk UUD 1945 Pasal 28B Ayat 2. Kota Solo pantas berbangga karena sejak 2006 kota ini mendapat predikat kota layak anak bahkan saat ini mendapat predikat KLA Nindya berkat lahirnya Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perlindungan Anak. Oleh karena itu untuk menyongsong level KLA yang lebih tinggi pada 2015 ini perlu adanya optimalisasi dan sinergi diantara Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Kota Surakarta dalam mengimplementasikan 31 indikator dalam peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 12 Tahun 2011 tentang Indikator Kabupatern/Kota Layak Anak. Solo Bisa. Kurnia Rheza Randy FH UNS
UNS T V TERSANDUNG KPID • NASIB JURUG • BERSAING MELAWAN GAMES
VISI
L P M V I S I . C O M • E D I S I X X X I I • TA H U N 2 0 1 5
M UAR A PE M IKIR AN K AM PU S
Periode 2014/2015 PELINDUNG PEMBIMBING PEMIMPIN UMUM SEKRETARIS UMUM STAF BENDAHARA UMUM STAF
Prof. Dr. Ismi Dwi Astuti Nurhaeni, M.Si Sri Hastjarjo, S.Sos., Ph.D Chairunnisa Widya Priastuty Desi Indah Purnawati Dela Fahriana Hayuvitningtyas Nita Rahayu Salma Fenty Irlanda Ester Lia Amanda, Theresia Sandra A
PEMIMPIN REDAKSI REDAKTUR PELAKSANA MAJALAH REDAKTUR PELAKSANA TERBITAN LAIN REDAKTUR PELAKSANA FOTO & DESAIN TERBITAN
Radityo Kuswihatmo Astini Mega Sari R. Ahmad Reiza Maulana Diah Harni Saputri Venti Rahadini IG Rinda Yuda Wardana Arfian Grenoadi
PEMIMPIN USAHA Maharani Krisna Handayani IKLAN & PENGGALIAN DANA MANDIRI Linda Fitria Christyas Hira Askamal Al Fandy Kurniawan PRODUKSI & SIRKULASI Ibnu Prasetyo Waskito Pamungkas PEMIMPIN PENELITIAN & PENGEMBANGAN PENDUKUNG TERBITAN PEWACANAAN EKSTERNAL
Moh. Luthfi Syamsudin Ikrar Setia Dewi Wahyu Andikha Yasinta Rahmawati Erna Fajar Dewanti
PEMIMPIN KADERISASI Alvira Parahita SKILL & LEADERSHIP Bima Sandria Argasona Endera Ayu Luviana KAJIAN & DISKUSI INTERNAL Fenti Fadilla Aulia Mestikasari ANGGOTA Agung Nugroho Putro, Anggi Ayu Intan P, Anindya Aulia Widyari, Anisa Candra Yulivia, Annisa Dwi Riskawati, Annisa Wulandari, Arienda Addis Prasetyo, Arwin Setio Hutomo, Bima Mulya Perdana, Christina Kusuma Jati, Dessi Irsanti, Desy Aryanti, Dita Khairunnisa, Diyah Fitri Vidiastuti, Eko Hari Setyaji, Endang Sulastri Fourresta Pulung Prasiwi, Hamdani Septi N. P., Herdanang Ahmad Fauzan, Herning Tyas N, Hernowo Prasojo, Ida Nurul Huda, Iim Fatimah, Iin Novena, Karima Sabrina, Kinanthi Sri Hapsari, Muthi’atul Asna, Nia Ikhwana, Novira Kusumastuti, Nugra Bagus Andika, Prasastia Afrisa, Ratna Widyawati, Ratu Budhi Sejati, Sintia Nur Hanifah, Watik, Yuliana Kusuma Dewi W.
LPM VISI FISIP UNS Sekretariat LPM VISI Gedung 2 Lt. 2 FISIP UNS, Jl. Ir. Sutami No. 36A Surakarta 57126
redaksilpmvisi@gmail.com http://www.lpmvisi.com/ @LPM_VISI Lpm Visi Uns
(MASIH) MERAJUT KOTA LAYAK ANAK
SUSUNAN REDAKSI Pemimpin Redaksi Radityo Kuswihatmo Redaktur Pelaksana Majalah Astini Megasari, R. Ahmad Reiza Maulana Redaktur Pelaksana Foto & Desain Terbitan Arfian Grenoadi, IG Rinda Yuda Wardana Editor Astini Megasari, Chairunnisa Widya Priastuty, Diah Harni Saputri, R. Ahmad Reiza Maulana, Radityo Kuswihatmo Reporter Arfian Grenoadi, Aulia Mestikasari, Arwin Setio Hutomo, Bima Sandria Argasona, Chairunnisa Widya Priastuty, Dela Fahriana H., Diah Harni Saputri, Hamdani Septiani, Iim Fatimah, Karima Sabrina, Maharani Krisna Handayani, Nugra Bagus Andhika, Salma Fenty Irlanda, Wahyu Andikha, Watik, Yasinta Rahmawati Fotografer Chairunnisa Widya Priastuty, R. Ahmad Reiza Maulana, Radityo Kuswihatmo Penelitian & Pengembangan Bidang Penelitian & Pengembangan Layout Eko Hari Setyaji, Herdanang Ahmad Fauzan, R. Ahmad Reiza Maulana Ilustrasi & Sampul Radityo Kuswihatmo Iklan Bidang Usaha Produksi & SIRKULASI Bidang Usaha
Redaksi LPM VISI menerima kritik, tulisan, dan karya lainnya ke alamat yang tersedia diatas ini. Artikel, karya sastra, maupun jenis tulisan lainnya yang telah masuk ke redaksi, menjadi hak penuh kami untuk diedit tanpa mengubah esensi. Apabila terdapat kesalahan dalam penulisan dan pengutipan pernyataan, Redaksi LPM VISI menerima hak jawab sesuai UU Pers No. 40 Th.1999 Pasal 1 Ayat 1.
VISI • EDISI 31 • 2015
5
PODIUM
@radityoka 6
VISI • EDISI 31 • 2015
DETAK
Anak-anak & Maunya
S
R. Ahmad Reiza Maulana Redaktur Pelaksana Majalah
udah 9 tahun lewat program Kota Layak Anak (KLA) dicanangkan oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Solo, namun masih ada saja yang menjadi masalah. Hingga tahun ini, Kota Solo masih bertahan dengan trofi KLA predikat Nindya yang ketiga kalinya bersama Surabaya. Padahal ada 31 indikator yang harus dipenuhi untuk mencapai predikat Kota Layak Anak. Tidak perlu jauh-jauh ke persoalan prestasi kota dan tetek-bengeknya, termasuk 31 indikator tersebut. Ada benarnya KLA sebagai standardisasi sebuah kota yang layak dihuni oleh anak-anak. Tapi, tunggu dulu. Coba tanyakan kepada anakanak, apa mau mereka? Apa yang mereka harapkan di Kota Solo? Memang, setiap anak memiliki perbedaan masing-masing. Tergantung status pendidikan, sosial, dan ekonominya. Namun pada hakikatnya, anakanak ingin bermain dan belajar, di samping kehidupan yang layak sebagai kebutuhan manusia. Siapa yang mau bisa main berbagai konsol game terbaru dan belajar di sekolah swasta kelas atas tetapi hidup serba kekurangan? Perut terisi penuh juga syarat untuk hidup layak, bukan? Bermain pun tidak sekadar bermain. Ada syarat-syaratnya. Apa itu? Mainan, teman, dan prasarana. Mainan bagus? Yang mahal banyak. Berbagai toko mainan ritel di lima mal seantero Solo—kalau dua yang terletak di kawasan Solo Baru dihitung— berikut mainan-mainan branded. Tenang saja, kawasan Nonongan ada untuk mencukupi kebutuhan dan keinginan masyarakat untuk membeli mainan dengan harga terlampau miring, sangat terjangkau. Tentu dengan konsekuensi kualitas yang mudah ambyar sekali dibanting. Teman-teman saat ini bisa dianggap perlu-tidak perlu. Sebab single-player mode sudah menjadi menu wajib dalam games masa kini. Atau tetap
bersama teman-teman, dengan kebutuhan koneksi internet. Kecuali developer yang menghendaki kehidupan sosial anak-anak yang lebih baik. Prasarana? Nah, ini yang harus dipenuhi oleh Pemkot. Anak-anak yang ingin bersepakbola di lapangan mulai kebingungan. Bagaimana tidak, ruang publik sebagai penunjang untuk anak-anak bermain masih saja kurang. Untungnya tamantaman cerdas seantero Kota Solo sudah bisa dijadikan tempat bermain, meski itu masih saja kurang kalau dilihat dari sudut pandang tata kota. Semoga walikota selanjutnya bisa memenuhi tuntutan ini tanpa merugikan siapapun. Mudah-mudahan. Sekarang kembali lagi ke kita, sebagai individu, yang pasti memiliki pengaruh kepada Kota Solo sekecil apapun itu. Lantas, apa yang bisa dilakukan sebagai warga biasa dalam rangka membantu anak-anak dengan maunya itu? Jadilah teman dan guru. Teman yang senantiasa menemani mereka bermain, dan guru yang senantiasa menjawab pertanyaan dan mengajari mereka. Kalau kata aktivis, jadikan mereka sebagai penerus yang hebat. Banyak contoh yang bisa dilakukan oleh kita. Misalnya menjadi volunteer komunitas peduli anak. Di Kota Solo, komunitas seperti ini cukup banyak. Misalnya peduli penderita kanker anak atau rumah singgah. Bahkan, salah satu badan eksekutif mahasiswa (BEM) di UNS peduli sekaligus membina anak-anak di desa Pucangsawit. Kalau merasa berat untuk menjadi teman dan guru bagi anak-anak pinggiran seperti yang dilakukan oleh mereka,—termasuk desa binaan yang sangat mulia itu—setidaknya saudara kita sendiri bisa kita temani dan gurui. Apalagi keluarga sendiri, harusnya sebagai kakak atau orang tua, menyayangi sekaligus mendidik mereka adalah amal yang baik. Mudah-mudahan menjadi amal jariyah ketika mereka melakukan amal yang kita ajari dan teladani untuk mereka. Jadilah kakak yang baik! VISI • EDISI 31 • 2015 7
Kurang Tepat Sasaran – Taman cerdas yang berada di Kelurahan Jebres dianggap paling sukses, namun ternyata penggunaannya tidak tepat sasaran. Justru lebih banyak mahasiswa kawasan Kentingan yang menggunakan taman cerdas tersebut (bawah). (Dok.VISI/Reiza)
8
VISI • EDISI 31 • 2015
LAPORAN UTAMA
9
TAHUN KLA
Sembilan tahun yang lalu—pada tahun 2006—lima kota ditetapkan sebagai uji coba program Kota Layak Anak (KLA), salah satunya Kota Solo. Hampir satu dekade berlalu, namun kota ini masih saja menyandang predikat ketiga (Nindya) selama tiga tahun berturut-turut. VISI • EDISI 31 • 2015
9
LAPORAN UTAMA
Di Balik Prestasi Solo – Ana, Sub Bidang Peningkatan Kualitas Hidup Anak menunjukkan buku Profil Anak Kota Solo tahun 2014. (Dok. VISI/Chairunnisa)
A
da lima tahapan dalam KLA, yakni Pratama, Madya, Nindya, Utama, dan KLA. Solo masih harus melalui satu tahapan lagi sebelum mencapai tahap KLA. Suatu kota dapat benar-benar dikatakan layak untuk anak jika mampu menjamin hak setiap anak sebagai warga negara. Hak tersebut dapat diwujudkan lewat prinsip-prinsip utama seperti nondiskriminasi, kepentingan terbaik untuk anak, setiap anak mempunyai hak hidup, dan mendengar serta menghormati pandangan anak. Biarpun Solo telah berusaha memenuhi kriteria tersebut, namun ada beberapa hal yang menyebabkan Solo masih bertahan di Nindya. Masih Nindya Kota Layak Anak, program pemerintah ini berlandaskan pada Undang-undang Dasar 1945, Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Konvensi Hak Anak, Program Nasional Bagi Anak Indonesia (PNBAI 2015), Peraturan Daerah No. 4 Tahun 2012 tentang Per10
VISI • EDISI 31 • 2015
lindungan Anak, dan Peraturan Walikota (Perwali) No. 3B Tahun 2013 tentang Pedoman Umum Pengembangan Partisipasi Anak dalam Pembangunan di Kota Solo. Hingga saat ini Kota Solo tercatat sebagai kota percontohan bagi kota-kota lain karena keberhasilannya dalam memajukan kotanya lewat kreatifitas yang dibuat oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Solo. Sub Bidang Peningkatan Kualitas Hidup Anak, Dwi Apriliana Supardini menjelaskan mengenai program KLA di Kota Solo saat ditemui VISI di kantornya yang berada di kompleks Balaikota Solo pada Rabu (24/6) lalu. Dia menerangkan kesepakatan antara walikota dengan semua pihak terkait seperti Dinas Pendidikan dan Olah Raga (Disdikpora), Dinas Sosial (Dinsos), Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dispendukcapil), dan Dinas Perhubungan, Komunikasi, dan Informasi (Dishubkominfo) pada tahun 2006. Hal tersebut menjadi awal dari komitmen bersama dalam proses pengembangan KLA hingga saat ini.
Memasuki tahun kesembilan, Kota Solo masih harus berpuas diri menempati predikat Nindya selama tiga kali berturut-turut. “Tahun ini, Solo tetap Nindya, tetapi mendapatkan nilai tertinggi,” terang perempuan yang kerap disapa Ana ini. Perolehan nilai tertinggi pada tahun 2015 ini didukung adanya peningkatan seperti terbentuknya Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) bagi ibu dan anak di 34 kelurahan yang rencananya hingga akhir tahun ini akan berdiri di 51 kelurahan dan adanya anggaran untuk sekolah gratis sejak bulan Agustus lalu. Ana menyampaikan, sulitnya meningkatkan predikat Nindya ke KLA disebabkan kriteria penilaian yang juga berat. Solo akan mampu meraih predikat KLA jika kota ini bebas dari anak jalanan, anak putus sekolah, maupun anak terlantar serta tidak ada Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT). Predikat Nindya yang disandang Kota Solo dalam usahanya menuju KLA, pada dasarnya tak jauh dari kesadaran masyarakat dalam menyukseskan program ini. Sebagai kota percontohan, Ana mengatakan dari segi intern Kota Solo sendiri sudah sangat baik. Adanya permasalahan-permasalahan yang masih sulit diredam menurut Ana disebabkan masalah ekstern Kota Solo. “Padahal Kota Solo ini penduduknya enggak cuman penduduk Solo saja, orang luar kota juga datang kayak anak jalanan itu kan bukan asli orang-orang Solo, nah itu masalah krusial yang sedang dihadapi. Iklan rokok juga masih banyak, itu dari kita (Pemkot Solo-red) juga masih susah, karena pendapatan daerah salah satunya dari iklan rokok,” jelas Ana kepada VISI di sela-sela dia bertugas. Kesadaran masyarakat ditumbuhkan lewat sosialisasi-sosialisasi yang diberikan mengenai pentingnya program KLA tersebut. “Kita (Pemkot Solo-red) mengadakan sosialisasi-sosialisasi sampai ke POKJA KLA (Kelompok Kerja Kota Layak Anak-red). Lha di 51 kelurahan itu diadakan sosialisasinya dan sudah efektif karena sudah ada kesadaran di masyarakat kalau mereka (masyarakat-red) butuh kota sebagai Kota Layak Anak di Solo,” jelas Ana.
Kreativitas Solo Menurut Ana, Pemkot Solo terus melakukan inovasi-inovasi yang diterapkan di kelurahan-kelurahan yang ada di Kota Solo seperti yang dilakukan Kelurahan Jebres dan Kelurahan Mojosongo. Keduanya mengimplementasikan program-program KLA yang dicanangkan oleh Pemkot Solo, terutama Kelurahan Jebres yang merupakan pilot project dari terbentuknya KLA. Ditemui di kantornya, Kepala Seksi (Kasi) Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan Jebres, Sri Utami mengemukakan, keberhasilan dari program tersebut tak luput dari campur tangan Pemkot Solo, seperti diadakannya sosialisasi ke masyarakat setiap sebulan sekali dan peninjauan program yang dijalankan kelurahan, berupa evaluasi yang juga diadakan sebulan sekali atau sebelum adanya suatu kegiatan atau Kelompok Kerja (POKJA) dari pemerintah berjalan. “Sejauh ini, efek yang ditimbulkan dari sosialisasi yang diadakan Pemerintah Kota Solo terhadap tingkat kepedulian masyarakat mengenai implementasi program Solo Kota Layak Anak belum terlihat jelas. Namun masyarakat memberikan dukungan positif terhadap program Kota Layak Anak,” tambah Utami, sapaan akrabnya. Dukungan tersebut terlihat dari aktifnya masyarakat melaporkan kasus yang berkaitan dengan anak dan perempuan ke kelurahan. Upaya yang dilakukan kelurahan untuk mensukseskan program ini diakui Utami dengan selalu memonitor dan mendengarkan masyarakat yang memiliki segala permasalahan yang sedang mereka hadapi. Menurutnya, cara ini sangat efektif karena komunikasi yang terjaga dengan baik akan memudahkan pula dalam mensukseskan program ini. Hal yang berbeda terjadi di Kelurahan Mojosongo. Implementasi yang dilakukan belum sejauh yang dilakukan Kelurahan Jebres, mengingat Surat Keputusan (SK) baru dikeluarkan pada tanggal 5 Desember 2011 ujar Fauziah, Kasi Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan Mojosongo. Setiap sebulan sekali, Kelurahan Mojosongo hanya melakukan sosialisasi dalam bentuk pertemuan RW. Menurut Fauziah sosialisasi yang diberikan VISI • EDISI 31 • 2015
11
Masih Nindya – Trofi penghargaan yang diterima oleh Kota Solo karena berhasil mempertahankan predikatnya pada predikat Nindya dalam program KLA. (Dok. VISI/Chairunnisa)
masih kurang untuk menyadarkan masyarakat. “Program KLA ini kan sebenarnya program yang akan dinikmati oleh masyarakat sendiri nantinya. Tetapi masyarakat belum sepenuhnya mendukung program yang diberikan ini, karena mereka masih menganggap banyak jadwal yang mendadak sehingga tidak bisa menghadirkan masyarakat datang tepat waktu,” tambah Fauziah. Melihat kondisi yang berbeda di dua kelurahan di Kota Solo, dalam pelaksanaan KLA, hasilnya memang tidak terlihat secara nyata namun dampaknya dirasakan langsung oleh masyarakat, menurut Ana, mudahnya proses pencairan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) juga merupakan salah satu aspek penting bagi KLA. Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Dr. Moewardi berperan besar dalam hal ini. Warga dari sekitar Solo sering memilih rumah sakit tersebut karena rumah tempat itu menjadi rujukan bagi Kabupaten Jawa Tengah dalam perihal pencairan BPJS yang mudah. Kinerja Dinas Kesehatan Kota Solo yang tanggap merespon laporan-laporan masyarakat tentang penyakit atau kematian anak juga merupakan salah satu dampak yang dirasakan secara langsung oleh masyarakat. Sarana Prasarana Kota Solo memiliki inovasi yang berbeda di bi12
VISI • EDISI 31 • 2015
dang sarana prasarana, begitulah menurut Ana. Dia mengatakan, Kota Solo memiliki inovasi sendiri dalam implementasi wacana KLA. Taman Cerdas dan Pojok Baca, sebut dia, merupakan hasil dari kreatifitas Kota Solo. “Kota-kota lain itu mencontoh Solo, ada sekitar 30-40 Kunjungan Kerja setiap tahun untuk studi banding tentang Kota Layak Anak,” tambah Ana. Secara umum, Ana menyebutkan sarana prasarana KLA meliputi empat bidang utama; kesehatan, pendidikan, perlindungan, dan partisipasi. Bidang kesehatan seperti Rumah Sakit Ramah Anak, Puskesmas Ramah Anak, Posyandu Terintegrasi, Pojok ASI, dan Pemberian Makan Tambahan Anak Sekolah (PMTAS). Di Kelurahan Jebres contohnya, telah memberikan fasilitas Puskesmas dan Posyandu anak dan balita, dengan anggaran dari Pemkot sebesar Rp4.500.000/tahun. Bidang pendidikan meliputi Bantuan Pendidikan Masyarakat Kota Solo (BPMKS), Sekolah Ramah Anak, Pendidikan Inklusif, Zona Selamat Sekolah. Taman Cerdas dan Pojok Baca termasuk dalam bidang ini. Ana mengatakan sementara ini baru terdapat delapan Taman Cerdas, yakni di Kelurahan Jebres, Gandekan, Joyontakan, Pajang, Mojosongo, Kadipiro, Sumber, dan Pucangsawit. Untuk bidang perlindungan terdapat Akte
Berkarya – Seorang siswa SMK WARGA mengutak atik mobil Bathara Surya dalam acara Kreasso. Acara yang diselenggarakan untuk anak merupakan salah satu bentuk keseriusan Solo dalam prosesnya menjadi KLA. (Dok. VISI/Radit)
Kelahiran Gratis, Kartu Intensif Anak (KIA), dan Pelayanan Terpadu Perempuan & Anak Kota Surakarta (PTPAS). Bidang partisipasi terdapat Forum Anak, Keterlibatan Anak dalam Musrenbang, dan Kegiatan Pemanfaatan Waktu Luang. Selain fasilitas tersebut, ada pula fasilitas yang diberikan pemerintah antara lain membuat lahan kosong menjadi tempat bermain atau menjadi taman kecil. Ana juga menyebutkan terdapat halte ramah anak seperti yang ada di daerah Jurug dan Ledoksari, dimana halte juga diperuntukkan untuk anak-anak difabel agar tetap nyaman dan aman menggunakan fasilitas publik. “Panti asuhan untuk anak-anak dibawah lima tahun juga disediakan di YPAD dan untuk anakanak seusia SMP dan SMA ditempatkan di Graha Yoga,” tambah Ana. Kasus-kasus Beberapa tahun terakhir ini, banyak kasus-kasus kriminal mulai dari kasus kekerasan, kasus pelecehan seksual hingga kasus pembunuhan yang terjadi pada anak. Di Kota Solo sendiri, Ana mengakui kasus tersebut cukup berkurang semenjak ada Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) di setiap kelurahan di Kota Solo. Salah satu PPT yang berjalan secara optimal yaitu PPT di Kelurahan Jebres. Selama berdiri sejak tahun 2011, badan tersebut telah berjalan sesuai
fungsi yang seharusnya. Sudah banyak kasus yang tercatat dan ditangani oleh PPT Kelurahan Jebres. “Banyak masyarakat yang mengajukan pengaduan dan menginginkan untuk didampingi dalam suatu kasus,” ujar Utami. Meski masyarakat terfasilitasi dengan adanya PPT, tak lantas membuat semua masyarakat bersikap terbuka. Masih ada beberapa yang masih berpikir kasus anak dan perempuan ini adalah aib keluarga yang harus ditutupi dan orang lain tidak perlu mengetahuinya. Salah satu PPT yang belum berjalan dengan baik adalah seperti PPT di Keluarahan Mojosongo. Tidak banyak kasus yang tercatat di PPT Kelurahan Mojosongo. Penyebabnya, menurut Fauziah, entah karena memang tidak ada yang berniat melaporkan atau memang tidak ada kasus yang perlu ditangani serius. Menurut Fauziah, KLA yang aktif belum bisa terdanai secara maksimal karena anggaran yang didapat hanya berasal dari Pemkot dan belum memiliki anggaran sendiri. Peninjauan yang dilakukan pemerintah terkait pelaksanaan program ini hanya terbatas pada penanyaan kegiatan, apakah sudah berjalan apa belum dan sebatas pemberitahuan kegiatan semata. Chairunnisa, Karima, Nugra VISI • EDISI 31 • 2015 13
LAPORAN UTAMA
Harus Ekstra Tegas pada ESKA Tampak di beberapa bangjo Kota Solo, anak-anak dipekerjakan sebagai pengemis atau loper koran menjadi pandangan yang biasa. Namun dalam taraf yang lebih parah, eksploitasi seksual komersial anak (ESKA) terjadi.
I
dealnya, anak-anak masa kini akan menggantikan generasi sekarang dan diharapkan mampu memajukan bangsa Indonesia nantinya. Harapan tersebut direliasisasikan dalam bentuk program Kota Layak Anak (KLA). Namun pada realitanya, di Kota Solo, masih jauh dari indikator kelayakan tersebut. Banyaknya kasus bernada negatif yang melibatkan anak-anak menjadi poin minus dalam penilaian KLA. Terlebih kasus-kasus eksploitasi anak, yang secara spesifik adalah ESKA, sudah memiliki jaringannya sendiri. “Banyak kasus-kasus ESKA yang tidak dilaporkan kepada pihak yang berwajib,” ungkap Shoim Sahriati, Ketua Pelaksana Harian Yayasan Kepedulian untuk Anak (KAKAK), sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergerak dalam memberikan perlindungan dan pelatihan kepada anak-anak korban ESKA dan prostitusi. Saat ditemui oleh VISI pada Kamis (25/06), Shoim menjelaskan bahwa permasalahan tidak hanya muncul dari diri korban, namun keberpihakan aparat hukum dan stigma negatif masyarakat. Bahkan adanya ancaman dari jaringan prostitusi turut memperburuk mental dan kepribadian korban, hingga mempengaruhi proses hukum. “Korban ESKA mendapatkan banyak tekanan, sedangkan ancaman hukuman untuk pelaku ringan. Maka, para korban cenderung sulit memiliki rasa percaya terhadap orang lain. Inilah mengapa catatan data kasus ESKA di Yayasan KAKAK berbeda dengan yang ada di kepolisian. Kami memiliki rules dan tools khusus untuk menganalisisnya,” aku Shoim. Implementasi KLA Dan sejauh ini, program KLA belum banyak disadari oleh masyarakat Kota Solo. “Kurang tahu untuk program Kota Layak Anaknya, tapi pernah lihat papan larangan terhadap anak kecil yang mengemis dan harus mendapat perlindungan hukum di pinggir jalan dekat lampu merah,” ungkap Nia (20), warga Banyuanyar. 14
VISI • EDISI 31 • 2015
Papan larangan yang dimaksud adalah plang yang berbunyi, “Wujudkan Solo sebagai Kota Layak Anak.” Salah satunya terletak di perempatan alat pemberi isyarat lalu lintas (APILL) di kawasan Panggungrejo. Meski pada akhirnya menjadi ironis, karena beberapa kali didapatkan pemandangan anak-anak yang sedang menjajakan koran. Tidak seperti masyarakat awam, mahasiswa dan dosen sudah mengetahui tentang adanya program KLA Solo. Berbagai penelitian terkait dilakukan untuk mengetahui kemampuan Solo dalam melayakkan diri menjadi salah satu KLA di Indonesia. Dosen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Rahesli Humsona, menilai program KLA di Solo kurang aplikatif dan sosialisasi. “Program KLA tersebut masih memiliki banyak permasalahan. Kebijakan yang ada terkesan sekadar proyek yang tampak hanya di permukaan saja,” jelasnya. Menurutnya, program KLA yang seharusnya mencakup seluruh aspek terhadap perlindungan anak ternyata kurang mampu menyentuh hingga ke lapisan paling dalam. Hal tersebut dapat dilihat dengan masih berkeliarannya anak-anak jalanan yang bekerja atau pun mengemis di lampu merah, bahkan terlibat dan menjadi korban ESKA. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Rahesli bersama rekan sesama dosen, ditemukan fakta bahwa tidak ada LSM yang dirangkul secara langsung oleh Pemkot Solo untuk menunjang jalannya program KLA. Hanya tulisan dalam brosur dan papan slogan yang tampak. Tidak hanya kocar-kacirnya penerapan dari pemerintah, penulis buku Jaringan Prostitusi Anak di Solo ini menegaskan keprihatinannya pada angka prostitusi anak yang tinggi di Kota Solo dari tahun ke tahun. “KLA harusnya mampu menjadi wadah bagi anak-anak yang terlibat dalam prostitusi untuk keluar dari jaringan kelam tersebut. Sayangnya, perhatian untuk jaringan prostitusi anak di Solo sendiri masih jauh dari kata layak,” ujar Rahesli. Sayangnya fokus Pemerintah Kota (Pemkot)
Solo dalam evaluasi program KLA adalah hanya pada aspek kuantitas, bukan kualitas. “Pemerintah hanya fokus terhadap berapa banyak kebijakan yang sudah ada dan tidak menghiraukan sampai manakah realisasi dan jalannya program dari kebijakan yang telah diambil,” keluh Shoim. Memang ada fasilitas yang dikhususkan untuk anak-anak, yaitu Kartu Insentif Anak (KIA) yang memberikan sejumlah fasilitas. Berdasarkan informasi dari laman situs resmi Pemkot Solo, http:// surakarta.go.id/, fasilitas yang diperoleh dengan kartu tersebut antara lain kesehatan, pendidikan, hiburan, olahraga, dan transportasi. Retno Heny Pujiati, Ketua Lembaga Pemberdayaan Perempuan dan Pinggiran Seroja, menuturkan, belum semua anak-anak di Kota Solo mendapatkan nasib yang layak, terutama anak jalanan. “Sedangkan untuk anak-anak lainnya, sekitar lebih dari 50% sudah dapat dikatakan bernasib baik karena ada program KIA.” Sayangnya, saat diwawancarai oleh VISI, Retno mengaku bahwa belum ada satupun dari anakanak bimbingannya yang mendapatkan fasilitas dari pemerintah tersebut. Untuk anak-anak jalanan yang ditindak oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), Retno mengungkapkan, tidak ada tempat untuk menampung anak jalanan oleh pemerintah. “Semua yang terjaring razia hanya diberi pengarahan, dicatat, lalu dilepas lagi.” Penanggulangan ESKA Pada dasarnya, ESKA sendiri diklasifikasikan sebanyak tiga kategori. Pertama adalah prosititusi anak, kemudian eksploitasi pornografi, dan terakhir adalah perdagangan anak dalam hal eksploitasi seksual. Terselubungnya ESKA menjadi kendala dalam usaha menekan jumlah korban-korbannya. Pemerintah disarankan untuk memantau hotspot ‘titik-titik potensial’ terjadinya aktivitas ESKA. Misalnya tempat-tempat hiburan malam seperti diskotek, bahkan kos-kosan pribadi juga berpotensi menjadi sarana aktivitas ESKA. “Pemkot dan Dinas Pariwisata harus ekstra tegas ketika ada event-event untuk kalangan dewasa yang biasanya diadakan di hotel-hotel,” ungkap Shoim.
Inilah arti penting program dan wacana oleh Pemkot Solo mengenai KLA. Mereka lah yang memiliki kewajiban, juga keleluasaan yang lebih dalam penindakan tegas terhadap segala peluang terlibatnya anak-anak dalam praktik ESKA. Menurut Shoim, terdapat tiga faktor pemicu maraknya ESKA. “Pertama, faktor ekonomi yang berkaitan erat dengan kemiskinan. Kedua, faktor gaya hidup yang menjangkiti anak-anak tanpa kontrol yang kuat. Dan faktor ketiga, kondisi keluarga yang tidak harmonis,” tuturnya. Dorongan dari luar juga mempengaruhi, seperti temanteman sebaya, bahkan pacarnya. Dari kacamata Sosiologi pun tak berbeda. Rahesli menilai, “Tingginya angka prostitusi anak di Kota Solo disebabkan oleh beberapa faktor penyebab, seperti gaya hidup yang serba mewah, latar belakang ekonomi yang rendah, hingga terjebak di dalam pergaulan yang salah.” 80% korban ESKA yang diproses secara hukum dan didampingi oleh Shoim, para pelaku mayoritas adalah pacarnya sendiri. “Anak-anak di bawah usia 18 tahun melakukan aktivitas seksual sama-sama mau atau tidak, tetap saja masuk dalam kategori tindak kejahatan,” jelasnya. Remaja di bawah 18 tahun dianggap belum mampun untuk menentukan benar dan salah. Dan ketika sudah beranjak dewasa (di atas 18 tahun) acap kali mereka justru menjadi penyalur korban ESKA. Bahkan terus berputar dan semakin memburuk ketika pencegahan tidak dapat dilakukan sedini mungkin. Yayasan KAKAK pun ikut andil dalam menekan angka bertambahnya korban ESKA. Sosialisasi rutin dan mengampanyekan dampak maupun risiko dari ESKA kepada masyarakat adalah solusi dari Yayasan KAKAK. Terbitan buku, buletin, film pendek, dan pentas teater juga menjadi sarana edukasi yang digunakan oleh mereka. “Adanya sosialisasi dalam hal kesadaran diperuntukkan kepada para korban menjadi solusi yang penting. Cepat atau lambat, mata rantai transaksi ESKA akan terhambat dan, lebih bagus lagi, terputus,” pungkas Shoim. Salma, Uli, Arfian 15
VISI • EDISI 31 • 2015
ARTIKEL UTAMA
Bersatu dan Berproses, Menuju KLA
S
olo, kota yang terkenal dengan kerajinan batiknya ini tak hanya fokus mengurusi soal budaya. Akhir-akhir ini, Solo sedang sibuk berbenah diri untuk menjadikan dirinya Kota Layak Anak (KLA). Berbagai persiapan pun dilakukan oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Solo untuk mewujudkan mimpinya. Tak mudah untuk mendapatkan predikat tersebut. Berbagai tahapan harus dilalui agar resmi disebut sebagai KLA. Kota Layak Anak adalah kota yang menjamin setiap anak untuk memperoleh semua hak selayaknya warga sebuah kota. Baik hak kesehatan, pendidikan, mendapatkan perlindungan, dan berpendapat tanpa ada diskriminasi. Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (Bapermas P3AKB) Kota Solo Drs. Widhi Srihanto, MM mengutarakan, pengembangan KLA membutuhkan jangka waktu yang lama. Perlu membangun sebuah konsep, program dan tatanan untuk menghasilkan anak yang sehat, cerdas, berakhlak mulia, terlindungi dan bisa aktif berpartisipasi dalam kebijakan publik. Oleh karena itu, ada empat bidang yang harus digarap, yakni bidang kesehatan, pendidikan, perlindungan anak dan pertisipasi anak. Untuk menuju KLA Bapermas P3KB membagi tahapan menjadi tiga. Tahap pertama tahun 20062007 adalah pengembangan model Kota Layak Anak. Dalam tataran yang paling awal ini, Pemkot menyusun grand design yang akan jadi patokan untuk pengembangan selanjutnya. Tahap berikutnya 2008-2015 adalah pengembangan kelurahan hingga kecamatan layak anak. Pada tahun 2016, ditargetkan semua kelurahan dan kecamatan selesai dan Solo benar-benar menjadi KLA. Agar tak sekadar menjadi wacana belaka, Bapermas P3KB membuat MoU yang ditandatangani oleh 53 elemen dari Musyawarah Pimpinan Daerah, perusahaan swasta dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) anak. Bahkan Semua Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) terkait sudah memiliki kewajiban mengeluarkan kebijakan yang ramah 16
VISI • EDISI 31 • 2015
anak. Bapermas sebagai leading sector bertugas memonitor Kota Solo dalam prosesnya menuju Kota Layak Anak. Wujud kebijakan tiap SKPD yang lebih ramah anak sudah mulai bisa dirasakan hasilnya. Di bidang kesehatan sudah mulai ada beberapa puskesmas ramah anak. Pusekemas ini dilengkapi dengan ruang tunggu khusus anak lengkap dengan alat bermainnya. Selain itu layanan-layanan untuk anak seperti Taman Gizi, Pojok ASI, dokter spesialis anak, layanan konseling anak dan tempat pelayanan korban kekerasan terhadap anak juga terus dilengkapi. Di bidang pendidikan, ada pencanangan Gerakan Wajib Jam Belajar (GWJB). Antara pukul 18.30-20.30 anak-anak diarahkan untuk belajar. Kelurahan Jebres menjadi percontohan pelaksanaa GWJB ini. Secara mandiri masyarakat membentuk semacam satgas yang mengawasi pelaksanaan GWJB. Mereka akan berkeliling kampung sambil melakukan sosialisasi, mengarahkan anak-anak yang masih berada di luar rumah untuk belajar dan menyarankan para orang tua untuk mematikan TV agar tak menganggu konsentrasi anak. Di bidang transportasi, Dinas Perhubungan sudah membangun zona selamat sekolah, Batik Solo Trans sebagai transportasi ramah anak, serta program pembagian helm untuk anak. Di bidang kependudukan, Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dispendukcapil) meluncurkan Kartu Insentif Anak (KIA). Kartu yang diluncurkan tepat pada peringatan Hari Anak Nasional 26 Juli 2010 lalu di Taman Balekambang merupakan kartu diskon untuk belanja di toko buku, sarana olahraga di perhotelan, tempat hiburan anak, rumah sakit, supermarket, bus sekolah dan lain sebagainya. Selain itu Pemkot Solo juga berkerjasama dengan berbagai perusahaan diantaranya ada 12 perusahaan yang mendukung KIA yakni PT Askes, Budi Sehat, Gramedia, Togamas, Sekawan, Elti Gramedia, PDAM, Hotel Sunan, Hotel Sahid Jaya, Kusuma Sahid Prince Hotel, THR Sriwedari dan Taman Satwa Taru Jurug. Dalam perjalanan, Kota Layak Anak bukan ha-
Melia Dwi Setyawan
Aktivis Solo Mengajar
nya sekadar wacana, bukan pula sekedar predikat. Akan tapi adalah tugas yang harus diselesaikan. Di tahun 2013, Solo mendapatkan predikat ketiga (Nindya) Kota Layak Anak. Kini tugas Pemkot semakin kelihatan, pembangunan di berbagai sektor pun mulai berjalan dan berkembang pelan-pelan. Dari sektor pendidikan contohnya, Mulai dari tahun 2011 hingga sekarang Pemkot Solo sudah membangun 8 Taman Cerdas, dianataranya taman cerdas di Kelurahan Jebres, Gandekan, Joyontakan, Pajang, Mojosongo, Kadipiro, Sumber, dan Pucangsawit. Fungsi dari taman ini menyediakan sarana bermain dan berkreasi yang dilengkapi perpustakaan, multimedia, komputer dan akses internet yang semuanya bisa digunakan secara gratis oleh anakanak. Tak hanya itu, Pemkot melalui Bappermas juga bekerja sama dengan Komunitas Peduli Anak Solo yaitu Solo Mengajar, untuk bersama-sama mengelola Taman Cerdas sebagai sarana bermain anak serta mewujudkan impian anak-anak dan ruang yang nyaman bagi anak untuk belajar dan bermain. Karena Anak adalah aset berharga untuk negeri ini, mulai dari kecil dan mulai dari gerakan peduli anak inilah kita mulai membenahi karakter anakanak Indonesia agar tidak menjadi generasi penerus yang tidak peduli akan bangsa dan negaranya, tetapi menjadi pribadi yang mencintai bangsa dan negaranya. Dengan dukungan Pemkot Solo dengan berbagai elemen, termasuk komunitas dan LSM yang peduli akan dunia anak, gerakan komunitas yang peduli dengan anak dapat berkembang, antara lain Komunitas Anak Bawang, sebuah komunitas yang kembali memperkenalkan kembali permainan tradisional sebagai permainan yang menarik dan harus dilestarikan. Kenapa demikian? Di era globalisasi ini banyak anak-anak yang sudah melupakan permainan tradisional dan lebih suka dengan permainan modern dengan membawa gadget ditangan mereka, bermain game online dan bahkan lupa caranya bermain engklek, delikan, egrang, dan permainan-permainan lain yang sudah
menjadi permainan sejak dari nenek moyang yang dilupakan. Selain Komunitas Anak Bawang dan Solo Mengajar, ada pula yang peduli kesehatan anak, yaitu komunitas Childhood Cancer Care (3C) yang peduli dengan anak-anak pengidap kanker. Gerakan komunitas ini tak hanya mendampingi mereka, 3C juga memberikan dorongan agar tetap semangat untuk hidup dan menguatkan sisi psikologis mereka. Komunitas ini juga bekerjasama dengan rumah sakit untuk membantu mereka dalam hal pendidikan agar tidak tertinggal dengan teman-temannya. Kepedulian inilah yang terus dibangun oleh berbagai LSM maupun komunitas peduli anak di Solo. Selain ketiga komunitas tersebut, ada lagi komunitas peduli terhadap anak-anak di dalam tahanan penjara. Komunitas Kapas, namanya, Komunitas ini berbeda, karena untuk peduli dengan anak dalam tahanan, mereka harus memiliki pemikiran dan tenaga ekstra untuk mendekati anak-anak di dalam penjara. Bayangkan saja, anak-anak yang harusnya waktu dan dunianya masih bermain oleh teman sebayanya, harus mereka habiskan didalam tahanan. Komunitas Kapas perlahan-lahan mengajak anak-anak di dalam tahanan untuk berkreasi untuk semangat mendapatkan pendidikan. Dan yang pasti, mereka selalu tekankan pada segi psikologi anak-anak untuk tidak lagi mengulangi kesalahan dan mengajak mereka untuk bertindak yang sesuai dengan usia mereka. Beragam kegiatan pun dilakukan oleh mereka di dalam tahanan untuk memompa kembali semangat mereka. Jika dilihat dari berbagai aspek pada anak dan Kota Solo, perlu peran seluruh elemen masyarakat untuk mewujudkan kota yang nyaman untuk anak-anak. Tidak hanya tertuju kepada anak kecil, tetapi juga anak muda. Agar mereka menjadi pemuda-pemudi yang kreatif dan berkarakter. Berbagai kegiatan yang telah Pemkot Solo agendakan wajib dilestarikan, dijaga, dan diturutsertakan dalam bagian-bagian kegiatan dalam mewujudkan sebagai Kota Solo sebagai KLA. VISI • EDISI 31 • 2015
17
Dakon – Seorang anak memainkan permainan tradisional dakon di stan Komunitas Anak Bawang yang digelar di Car Free Day (CFD). (Dok. VISI/Radit)
“ 18
VISI • EDISI 31 • 2015
Cublak cublak suweng Suwenge ting gelèntèr Mambu ketundhung gudèl Pak empong lera-léré Sapa ngguyu ndelikkaké Sir, sir pong dhelé kopong Sir, sir pong dhelé kopong
SPEKTRUM
Memainkan Kembali
L
irik yang begitu populer di telinga masyarakat, terutama masyarakat Jawa ini, merupakan salah satu contoh permainan tradisional yang saat ini mulai ditinggalkan anak-anak. Mereka cenderung memilih bermain gadget yang bersifat multifungsional dan lebih interaktif. Seiring majunya perkembangan teknologi, permainan juga menjadi salah satu yang terkena efek perkembangannya. Munculnya permainan modern yang dihadirkan lewat gadget saat ini mampu menggeser eksistensi sejumlah dolanan bocah (permainan tradisional) yang memiliki banyak kelebihan khusus yang ditawarkan. Luqman Al-Hakim, salah satu pengamat permainan tradisional sekaligus Dosen Pendidikan Usia Dini (PAUD) di Universitas Slamet Riyadi (UNISRI) Solo, menjelaskan mengenai permainan tradisional saat ditemui VISI di ruang kerjanya, Selasa (23/06). Menurutnya, tidak populernya permainan tradisional juga disebabkan oleh perkembangan zaman. “Permainan modern yang terdapat dalam gadget lebih lengkap dan bervariasi, sehingga anak-anak zaman sekarang sulit menerima keberadaan dari permainan tradisional itu sendiri,” tutur dia. Luqman mengatakan permainan menjadi salah satu kegiatan yang mampu melatih perkembangan anak kedepannya baik dalam perkembangan intelegensi maupun kognitif. Sejalan dengan hal ini, menurut Dasrun Hidayat (2008), kegiatan yang melibatkan aktifitas gerak serta suara dari anak merupakan cara efektif bagi mereka untuk belajar karena hal ini dianggap menyenangkan bagi anakanak. Permainan dalam Pendidikan Banyak hal yang dapat dipelajari oleh anak-anak dalam berinteraksi melalui permainan, terlebih dalam permainan tradisonal yang sudah mulai ditinggalkan oleh masyarakat, khususnya para guru sebagai praktisi pendidikan. “Guru saat ini seperti orang Jawa yang kehilangan Jawa-nya, dia tahu akan permainan tradisional tapi tidak mengaplikasikannya. Padahal dengan mengimplementasikan hal itu kepada anak-anak akan menjadi sarana pendidikan yang efektif,” ujar
Luqman. Baik itu permainan tradisional maupun modern, keduanya memiliki kelebihan serta kekurangan jika dilihat dari penggunaanya sebagai media pembelajaran. Dalam hal ini, Luqman menambahkan bahwa ada tiga penggolongan dalam permainan tradisional, yaitu berupa nyanyian, ketangkasan atau gerak dan permainan berfikir. Setiap jenis permainan, mampu melatih kemampuan anak, seperti berbahasa, seni, kemampuan analisis dan startegi, hingga melatih kemampuan keuangan seperti pada permainan dakon. Menurut Luqman dalam setiap permainan tradisional pada dasarnya memiliki makna filosofis sekaligus sebagai pengenalan nilai-nilai agama, sosial, hingga budaya. Keuntungan lainnya bagi perkembangan anak yaitu mampu melatih kemampuan kognitif dan motorik baik halus maupun kasar. Sebaliknya, Wdalam permainan modern, permainan lebih banyak terkoneksi dengan internet tanpa harus melibatkan banyak orang dan gerak dalam bermain. Sehingga efek yang ditimbulkan anak-anak justru cenderung bersifat individualis dan bermalas-malasan. Banyaknya kesulitan dalam mensosialisasikan permainan tradisional didukung pula oleh keterbatasan buku referensi dan kesadaran masyarakat yang minim. “Agar permainan tradisional menarik bagi anak-anak, ya harus dimulai dari orang tua dengan cara membeli permainan tradisional dan menaruhnya dirumah, sehingga anak-anak akan penasaran akan permainan itu,” ujar Luqman. Peran Mahasiswa Terjadinya pengikisan budaya pada permainan tradisional ini, membuat sejumlah mahasiwa tergerak untuk menghidupkan kembali dolanan bocah. Salah satunya adalah seperti yang dilakukan Komunitas Anak Bawang, sebuah komunitas yang terbentuk sejak beberapa mahasiswa yang tergabung di dalamnya mengikuti sebuah seminar mengenai permainan tradisional yang digelar di Semarang, di akhir tahun 2012. Komunitas ini memiliki visi untuk melestarikan dan mengenalkan kembali permainan tradisional kepada masyarakat luas. “Dia (permainan traVISI • EDISI 31 • 2015
19
SPEKTRUM
Asyik Melompat – Beberapa anak-anak memainkan engklek di stan Komunitas Anak Bawang yang digelar di Car Free Day (CFD), senyum dan tawa terlihat dari wajah mereka. (Dok. VISI/Radit)
disional-red) ada tapi dianaktirikan, dan akhirnya terabaikan. Maka dari itu kita menamakan komunitas ini Komunitas Anak Bawang,” ucap Sandi Bagus Sudarajat, anggota Komunitas Anak Bawang bagian media yang ditemui VISI di kediamannya. Pada awal berdirinya, komunitas ini mendapat kesulitan dalam mensosialisasikan permainan tradisional kepada masyarakat. Mereka rutin melakukan sosialisasi di hari minggu pagi di Car Free Day (CFD) Slamet Riyadi Solo. Mereka menaruh berbagai macam permainan tradisional dengan maksud agar bisa dimainkan oleh anak-anak yang berada di CFD merupakan cara mereka untuk menarik perhatian anak agar tertarik dengan permainan tradisional. “Banyak orang tua yang menitipkan anaknya ke kami (Komunitas Anak Bawang-red), kalau pertama-tama, anak-anak masih beradaptasi dan masih malu-malu, tapi kalau udah beberapa kali ikut, mereka senang dan bermain dolanan bocah bersama anak-anak lainnya,” ujar Sandi. Sandi juga menekankan, permainan tradisional harus dilestarikan karena memberikan dampak positif bagi psikologis anak. “Permainan tradisional menagajarkan banyak hal. Kalau kita jatuh, kita belajar untuk bangkit lagi dan kita belajar untuk tidak jatuh kembali,” tambahnya. 20
VISI • EDISI 31 • 2015
Permainan dan Perkembangan Anak Permainan, salah satu kegiatan yang banyak memberikan sumbangsih bagi perkembangan anak, perlu diperkenalkan sejak dini dengan baik. Begitu banyak permainan anak menjadi tantangan tersendiri bagi orang tua dalam mengenalkannya kepada anak, terutama permainan modern yang terdapat di dalam gadget. Seperti yang dikatakan Nugraha Arif Karyanta, Dosen Psikologi Universitas Sebelas Maret (UNS), gadget memiliki peran bagi psikologi anak. “Untuk pengaruh positif ya banyak. Dapat melatih kemampuan otak, menambah kecakapan tertentu, dapat menambah kemampuan tertentu, dan masih banyak lagi hal positif yang ditimbulkan oleh gadget,” tuturnya saat ditemui VISI di Ruang Konsultasi, Kampus Psikologi UNS, Senin (22/06). Selain pengaruh yang ditimbulkan gadget bagi perkembangan anak, Nugra menambahkan permainan tradisional juga memiliki peran yang tak kalah positif dengan permainan modern. Dia mengatakan, ada empat efek positif yang muncul dari permainan tradisional. Menurutnya, efek positif permainan tradisional terhadap perkembangan anak bisa dilihat dari berbagai dimensi pada anak, seperti dimensi kog-
Main Bersama – Permainan tradisional dianggap dapat menjadi sarana bagi orang tua untuk berinteraksi dengan anak mereka. Di dalam foto terlihat seorang ayah yang sedang mengajari anaknya bermain gasing. (Dok VISI/Radit)
nitif atau pikiran meliputi kecerdasan, pemecahan masalah, misalnya dakon bisa melatih anak mengenai berhitung. Selain itu, dapat mengajarkan kreatifitas pada anak, seperti membuat layanglayang atau permainan yang berhubungan dengan kerajinan. Kemudian unsur afektif atau emosi, anakanak bisa mengekspresikan perasaannya secara langsung dalam permainan tradisional, misalnya bahagia atau marah saat kalah atau belum mendapatkan giliran. Komunikasi interpersonal ini merupakan bagian yang sangat penting dan susah ditemui pada permainan modern. “Gadget mengurangi interaksi, sedangkan sebagian besar permainan tradisional mengasah kemampuan interaksi anak, karena semua permainan dilakukan bersama- sama,” imbuh dosen yang juga tergabung dalam Komunitas Anak Bawang ini. Nugra menganggap orang tua saat ini banyak yang terlalu khawatir terhadap pergaulan anakanak sehingga kebanyakan dari mereka justru melarang anak keluar rumah dengan memfasilitasi permainan serba canggih di rumah. Akibatnya kebutuhan sosiliasisasi anak menjadi sangat terbatas dan mengganggu perkembangan fisik dan emosi anak kedepannya. “Jadi kalau ada anak- anak yang bermain gadget di rumah, saya kira itu bukan hal
yang bagus,” tambahnya. Baik permainan tradisional maupun permainan modern, keduanya memiliki peran masing-masing. “Permainan menjadi pilihan pertama dan gadget juga perlu diperkenalkan pada anak agar tidak ketinggalan zaman,” sambung Nugra. Pencegahan Kecanduan Gadget Kecanduan gadget perlu adanya pencegahan jangka panjang dengan memberikan kemampuan atau keterampilan disiplin pada anak. Seperti yang dijelaskan oleh dosen yang fokus pada perkembangan anak ini, pencegahan jangka panjang sudah seharusnya dilakukan oleh orang tua sejak dini. “Intinya jika anak sudah dibiasakan tidak disiplin sedari kecil, maka nantinya anak tersebut akan kesusahan untuk mengatur dorongan yang ada dalam dirinya, termasuk menahan dorongan kecanduan akan sesuatu, seperti dalam kasus ini, kecanduan gadget,” tuturnya. Selain itu, Nugra juga berpesan kepada orang tua untuk terus mendampingi dan memantau anak yang sudah mengenal gadget. Kembali pada penerapan kedisiplinan pada anak, orang tua perlu membatasi penggunaan gadget pada anak.
Bima, Wahyu VISI • EDISI 31 • 2015 21
SEKAKEN
UNS TV Terganjal Regulasi Media berbasis audio-visual, seperti televisi, menarik atensi lebih banyak daripada sekadar radio atau surat kabar dan majalah. Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo saat ini sudah memiliki inovasi dalam bentuk media televisi, yang disebut-sebut dengan UNS TV.
B
erawal dari inisiatif Wakil Rektor IV UNS, Widodo Muktiyo yang menginginkan UNS mengembangkan bisnis di bidang media, terbentuklah UNS TV. “Pembahasan mengenai pembuatan televisi kampus itu pertama kali dimunculkan oleh Pak Widodo Muktiyo. Beliau ingin mengembangkan UNS lewat media televisi,” ujar Budi Prasojo, Pengelola Laboratorium D3 Komunikasi Terapan UNS, Jumat (18/9) lalu. Ketika ditemui VISI di Lantai 5 Gedung 4 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UNS, Budi mengatakan bahwa pembentukan TV kampus ini juga didukung grup media massa ternama di Indonesia, yakni grup Kompas Gramedia dan Jawa Pos. Dukungan yang diberikan berupa pemberian alatalat penyiaran seperti kamera video, master control room, monitor, perangkat komputer, dan peralatan lainnya. “Dengan support dari mereka, kita disetarakan dengan televisi-televisi broadcast berkancah lokal. Kualitas perangkat UNS TV bisa dibilang lebih baik dibandingkan televisi lokal yang ada di Solo,” ujar Budi. Regulasi Penyiaran Masalah utama yang harus dihadapi oleh media berbasis broadcast seperti televisi dan radio yang baru dibentuk adalah masalah izin penyiaran. Termasuk UNS TV yang baru dibentuk akhir tahun 2014 ini. di awal keberjalanannya UNS TV sudah terganjal dengan masalah perijinan siar. Menurut Budi, sinyal uji coba UNS TV tertangkap oleh Balai Monitoring (Balmon) Semarang. Lembaga yang dibawahi oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika ini langsung memberikan peringatan kepada UNS. “Sinyal siaran uji coba kami tertangkap oleh detektor milik Balmon yang berlokasi di kawasan Mojosongo, Jebres, Solo. Balmon memberikan arahan bahwa channel yang tersedia di Solo sudah habis. Kami diminta klarifikasi mengenai UNS TV. 22
VISI • EDISI 31 • 2015
Mau dibawa kemana TV ini, mau jadi televisi komunitas atau komersial?” terang Budi. Pasalnya, gelombang frekuensi merupakan kekayaan nasional dan sumber daya alam terbatas. Hal tersebut tertulis dalam Undang-Undang Penyiaran No. 32 Tahun 2002. Disebutkan bahwa spektrum frekuensi harus dijaga dan dilindungi oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Oleh karena itu Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagai pengawas penggunaan frekuensi publik berwenang untuk menegur setiap media yang menyalahi undang-undang tersebut. Menanggapi masalah ini, Bidang IV UNS (Humas) segera mengadakan pertemuan untuk membahasa mengenai regulasi penyiaran UNS TV. “Beberapa waktu lalu Bidang IV sudah mengadakan pertemuan untuk membahas mengenai regulasi penyiaran. Mendapatkan izin on air itu prosesnya panjang, sampai bertahun-tahun. Jadi harus segera diurus. Selain itu Bidang IV juga membahas UNS TV akan diarahkan sebagai televisi komersial atau komunitas,” kata Budi. Menurut Undang-undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, terdapat tiga jenis lembaga penyiaran, yaitu lembaga Televisi Republik Indonesia (TVRI), lembaga swasta (komersial), dan lembaga komunitas. Maka dari itu, penting bagi UNS TV untuk segera menentukan statusnya sebagai lembaga penyiaran komersial atau komunitas. Akan tetapi mengurus izin penyiaran memang membutuhkan waktu lama. Seperti yang katakan oleh Kepala Program Studi (Kaprodi) Ilmu Komunikasi, Sri Hastjarjo. “Proses tersebut cukup lama, pengalaman seperti di Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Yogyakarta, mereka membutuhkan waktu lebih dari tiga tahun,” ujar Hastjarjo. Menurut Hastjarjo, UNS TV bertujuan untuk mempromosikan UNS ke masyarakat luas. Sayangnya, media penyiaran tingkat kampus han-
ya diizinkan menjadi lembaga komunitas dengan jangkauan yang ada hanya berjarak 2,5 km. Jangkauan yang sangat terbatas itu dianggap kurang memenuhi untuk mencapai tujuan promosi. “Padahal kita berharap laboratorium dipakai sebagai sarana promosi UNS ke luar. Apalagi infrastruktur, sarana dan prasarana penyiaran sudah cukup siap,” keluh Hastjarjo. Infrastruktur Sudah Siap “Secara infrastruktur, sarana dan prasarana yang ada sudah sangat cukup, karena UNS sendiri melakukan pengadaan peralatan broadcasting sejak akhir 2014 lalu,” ungkap Has, sapaan akrab lelaki yang juga menjabat sebagai Direktur UNS TV. Mengenai habisnya slot channel di Solo, Hastjarjo menjelaskan bahwa pihak UNS TV juga sedang mencari lagi. Terdapat fakta bahwa beberapa stasiun radio atau televisi di Solo menggunakan channel di Karanganyar atau Sragen. “Aneh, ‘kan, kalau UNS TV yang berada di Solo, kantornya malah di Wonogiri. ‘Kan, repot,” tuturnya. Channel yang dimaksud adalah yang berada di Ultra High Frequency (UHF). Sedangkan untuk Very High Frequency (VHF), masih banyak. Salah satu yang menggunakan adalah TV Institut Seni Indonesia (ISI) Solo, meski prosesnya juga belum rampung. “Ditawari VHF, tapi kami tidak mau. Karena kualitasnya lebih rendah dari UHF,” terang Hastjarjo. Saat ini pihak UNS TV masih mempertimbangkan akan menggunakan gelombang frekuensi apa. Hastjarjo berpendapat jika penggunaan frekuensi digital television (DTV) sudah diterapkan, jumlah channel akan lebih banyak dan memudahkan UNS TV untuk memiliki channel sendiri. Perkembangan teknologi ini sempat dicanangkan sejak Tifatul Sembiring masih menjabat di Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo). Sayangnya Asosiasi Televisi Jaringan Indonesia melayangkan gugatan terhadap Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 22 Tahun 2011 pada Maret lalu. Maka dari itu, penggunaan frekuensi DTV belum dapat diterapkan saat ini. Cara Lain Ada cara lain dalam penyiaran tanpa mengguna-
“
Secara infrastruktur, sarana dan prasarana yang ada sudah sangat cukup. —Sri Hastjarjo
kan frekuensi publik yang dapat digunakan media massa. Misalnya teknologi video streaming pada internet. Menurut Hastjarjo, teknologi tersebut dapat diterapkan pada UNS TV. “Kan belum ada aturannya, jadi lebih bebas,” tuturnya. Kerjasama dengan kelompok media massa lain juga dapat menjadi solusi alternatif. Misalnya bekerja sama dengan Jawa Pos Group. UNS TV saat ini mengupayakan agar kerja sama tersebut terlaksana. Hastjarjo mengungkapkan bahwa Jawa Pos memiliki 40 stasiun pemancar di seluruh Indonesia. UNS TV sedang berupaya mendapatkan slot di 40 stasiun televisi dalam jaringan Jawa Pos TV. Sehingga meski pemancar hanya menjangkau 2,5 km, produksinya bisa dilihat di 40 kota di Indonesia. “Dengan begitu, UNS TV tidak usah punya pemancar dan izin televisi swasta, tetapi siarannya nanti bisa ditangkap di seluruh Indonesia,” jelas Hastjarjo. Tidak seperti mengakses siaran streaming yang membutuhkan koneksi internet, Hastjarjo menuturkan apabila cara tersebut dapat terlaksana, siapapun dapat melihat siaran dari UNS TV dengan modal pesawat televisi tanpa membutuhkan koneksi internet. Akan tetapi untuk mencapai target tersebut tidaklah mudah, terlebih lagi status UNS TV juga masih mengambang karena belum diakui sebagai organisasi oleh rektorat. Statusnya pun masih laboratorium, di bawah prodi Ilmu Komunikasi. “Karena itu, kami belum bisa berbuat banyak, seperti soal anggaran dan sebagainya,” tutur Hastjarjo. Anggaran yang ada terbatas pada pengelolaan laboratorium audio visual di bawah program stuVISI • EDISI 31 • 2015
23
SEKAKEN
Sri Hastjarjo Dok. VISI/Chairunnisa
di (prodi). Sedangkan budget khusus membutuhkan perencanaan dua tahun, menurut Hastjarjo, budget perencanaan mungkin baru bisa dikhususkan pada 2017. Untuk organisasi, secara internal sudah dibahas bahwa Direktur UNS TV adalah Hastjarjo. Sedangkan penanggung jawab bagian pengembangan sumber daya manusia (SDM) adalah Chatarina Heny Dwi Surwati, salah satu dosen prodi Ilmu Komunikasi yang mengampu mata kuliah Video. Sambil menunggu proses perizinan yang memakan waktu lama tersebut, UNS TV tetap berjalan dengan melakukan rekrutmen volunteer dan dilatih. Kemudian para volunteer diarahkan untuk produksi sebanyak mungkin. “Jadi ketika izinnya sudah keluar, isinya sudah siap. Kita menyiapkan manajemennya terlebih dahulu,” ungkap Hastjarjo. Ketika ditanyakan mengenai kendala lain yang dihadapi oleh UNS TV, Chatarina Heny Dwi Surwati mengatakan karena UNS TV dipegang oleh mahasiswa dan mahasiswi yang berasal dari tempat dan pengalaman yang berbeda, harus dipersatukan terlebih dahulu untuk satu tujuan yang sama. “Ada beberapa tantangan juga yang harus kita hadapi yaitu masalah waktu, SDM dan kerja tim,” ungkap Heny. Ketatnya waktu penggunaan laboratorium audio visual dari pihak kampus dan horornya Lantai 5 diakui olehnya. Termasuk keluhan dari kru UNS TV bahwa naik-turun ke lantai 5 di Gedung 4 melelahkan. 24
VISI • EDISI 31 • 2015
Salah satu executive producer UNS TV, Bhima Taragana, mengatakan bahwa kurangnya antusiasme mahasiswa menjadi salah satu kendalanya. “Semangatnya hanya tinggi di awal saja,” tuturnya. Dea Rohmah, salah satu program director, menyayangkan soal dana. “Ketika mau take, kesulitan untuk mencari properti-properti yang dibutuhkan, seperti sofa dan karpet. Itu untuk produksi,” keluhnya. Sejauh ini kru UNS TV membuat program sebanyak mungkin. “Kami mencoba mengembangkan untuk membuat portofolio, jadi laboratorium TV ini banyak membuat program,” ungkap Hastjarjo. Bahkan dia ingin UNS TV membuat company profile-nya sendiri, karena sudah berkembang dan bekerjasama dengan pihak luar. Hastjarjo berharap portofolio-portofolio tersebut nantinya bisa ditawarkan ke pihak luar. UNS TV menawarkan kerjasama dengan membuatkan company profile atau film dokumenter kepada pihak tersebut. “Sekarang sudah dibuat peraturan rektor untuk mengatur kerjasama. Kalau dulu agak susah, tapi sekarang sudah boleh. Jadi bisa mendatangkan keuntungan,” tutur Hastjarjo. Untuk ke depannya, UNS TV akan berada di tingkat universitas, misalnya dalam bentuk unit usaha. “Semacam Pusat Pendidikan dan Pelatihan (Pusdiklat) UNS, dijadikan seperti bisnis yang dapat menghasilkan pemasukan finansial,” tutup Hastjarjo. Hamdani, Watik
INFOGRAFIS
VISI • EDISI 31 • 2015
25
POTRET
KUE LOMPONG YA
Proses penumbukan dila dengan tujuan agar kac dijadikan bahan isi.
Indonesia, negara dengan 34 provinsi dan beribu pulau, membuatnya menjadi negeri yang memiliki ragam suku,, bahasa, dan budaya yang berbeda. Pun dengan ragam makanan yang dimilikinya. Makanan merupakan bagian dari budaya yang sering kali tidak dihargai lebih seperti bentuk budaya lainnya. Padahal sebenarnya makanan turut andil dalam kegiatan budaya di masyarakat Indonesia. Grebeg besar misalnya, bayangkan jika tidak ada makanan yang berada di gunungannya, tentu tidak akan seperti yang kita lihat tiap tahunnya. Tak perlu jauh-jauh, di dalam hik atau angkringan, budaya makan sambil bercengkrama sudah merasuk dalam masyarakat Solo. Secara sadar atau tidak, budaya yang ada dalam makanan mempersatukan kita. Budaya dalam makanan mengajarkan kita untuk berbagi. Nilai yang ada didalamnya sebenarnya sangat dalam untuk dimaknai. Dengan mengusung tema “Food and Culture�, LPM VISI sebagai lembaga pers yang menaungi mahasiswa mencoba untuk turut mengambil bagian dalam pelestarian makanan tradisional melalui bidang jurnalistik.
Photo story di samping ini adalah karya pemenang lomba photo story Journifest 2015:
Bayu Wira Handyan Universitas Diponegoro
26
VISI • EDISI 31 • 2015
Semua alat yang digunakan dalam proses pembuatan Kue Lompong ini masih menggunakan alat-alat tradisional.
Proses penumbukan kacang tanah untuk bahan isi dengan alu dan lumpang agar hasil tumbukan tidak benar-benar halus dan masih menyisakan tekstur kasar.
Sapto sedang mempersiapkan luweng (tungku api berbahan dasar kayu) untuk mengukus Kue Lompong. Penggunaan luweng ini dimaksudkan agar hasil kukusan merata.
ANG BERTAHAN DARI ZAMAN
akukan sebanyak 2 atau 3 kali cang tanah cukup halus untuk
Kue Lompong ini sama sekali tidak menggunakan bahan pengawet dan sanggup bertahan selama 2 minggu jika tidak dimasukkan lemari pendingin. Jika dimasukkan lemari pendingin, Kue Lompong ini sanggup bertahan selama 1 bulan.
Kue lompong adalah kue khas Kabupaten Purworejo yang terbuat dari adonan tepung beras ketan, gula kelapa, gula pasir dengan bulir kacang tanah di dalamnya. Yang membuat kue ini menarik adalah bahan pembungkusnya yang menggunakan klaras atau daun pisang yang sudah kering. Beberapa pembuat Kue Lompong pernah mencoba mengganti bahan pembungkus yang ada dengan plastik atau bahan-bahan lainnya, namun hasil yang didapat adalah kue menjadi lengket. Klaras yang dipakai pun harus kering secara alami. Bukan kering karena dijemur. Selain bahan pembungkus yang menggunakan klaras, keunikan lain dari kue ini adalah warnanya yang hitam. Warna hitam pada kue ini berasal dari tanaman lompong atau lumbu atau talas yang dilumatkan dan dicampur ke dalam adonan kue. Lompong tersebut dipakai untuk mendapatkan warna hitam. Biasanya, untuk mendapatkan warna yang lebih pekat, bubuk lompong tersebut dicampur dengan merang. Seiring kemajuan zaman, proses pembuatan Kue Lompong mulai menggunakan alat-alat modern. Namun, tidak demikian halnya dengan Sapto dan Bu Mujiyem, ibu dan anak yang masih setia menggunakan alat-alat tradisional dalam pembuatan Kue Lompong. Alasan pemakaian alat-alat tradisional tersebut tak lain adalah untuk menjaga rasa Kue Lompong agar tidak berubah. “Saya memakai lumpang dan alu dalam proses penumbukan, bukannya blender. Agar kacang yang dihaluskan itu tidak halus benar. Masih ada teksturnya. Ya, walaupun lebih efisien dengan blender, karena cuma pencet lalu tinggal duduk. Tetapi, kacang tanah yang dihasilkan dengan blender akan sangat halus. Kacang tanah tersebut akan kehilangan tekstur,” jelas Sapto perihal penggunaan lumpang dan alu dalam proses penumbukan. “Kalau luweng (tungku api berbahan dasar kayu) dimaksudkan agar hasil kukusan itu lebih merata. Jadi, matang benar dan tetap empuk ketika digigit. Pemakaian luweng juga dimaksudkan agar Kue Lompong tidak mudah basi,” tambahnya. Di Purworejo sendiri, hanya tinggal segelintir orang saja yang masih setia mengolah Kue Lompong dengan alatalat tradisional. Mereka adalah benteng terakhir Kue Lompong dalam menghadapi gempuran arus globalisasi. VISI • EDISI 31 • 2015
27
28
VISI • EDISI 31 • 2015
Rusak – Bukan satwa air yang ditampilkan di akuarium ikan air tawar yang terdapat di kompleks Jurug, melainkan dedaunan kering yang masuk dari atap bangunan yang rusak. (Dok. VISI/Radit) LAPORAN KHUSUS
Taman yang Terabaikan di Tepi Bengawan Sebuah bangunan besar tampak kosong. Di dalamnya terdapat ruang-ruang dengan sebidang kaca, hanya berisi ranting dan dedaunan yang menumpuk, cahaya pun dapat menembus masuk melalui atapatapnya yang berlubang. Dari luar, terdapat papan nama bertuliskan “Akuarium Ikan Air Tawar”. VISI • EDISI 31 • 2015
29
LAPORAN KHUSUS
Bolong – Sebuah lubang seukuran anak kecil menganga di kandang gajah yang berada di kompleks Jurug. (Dok. VISI/ Radit)
T
ak jauh dari sana terdapat sebuah danau, airnya berwarna hijau, banyak sampah plastik menggenangi permukaannya. Di beberapa tempat, rerumputan tumbuh meninggi dan daun-daun kering berserakan, menyiratkan kesan halai-balai di tempat ini. Tempat tersebut terletak di ujung timur Kota Solo, tepat bersebelahan dengan Sungai Bengawan Solo, dan berbatasan dengan Kabupaten Karanganyar. Masyarakat Solo akrab menyebutnya ‘Jurug’. Awalnya tempat wisata ini bernama Taman Raja, milik Keraton Kasunanan Solo, yang dulunya berada di area Sriwedari. Jurug dipindahkan ke tempatnya sekarang sekitar tahun 80-an. Sejak menempati lahan yang baru, Jurug sudah mengalami beberapa fase kepengurusan. Mulai dari raja, pemerintah kota, swasta, satuan petugas, kemudian akhirnya dibentuk Perusahaan Daerah (Perusda) pada tahun 2010. Sampai sekarang Perusda yang masih menangani Jurug ini. Dengan 54 hewan langka di dalamnya, kebun binatang ini sempat menjadi primadona masyarakat Kota Bengawan. Pertama kali dibuka sejak hampir empat dekade lalu—pada tahun 1976—Jurug sem30
VISI • EDISI 31 • 2015
pat menjadi primadona pariwisata di Kota Solo, namun sekarang telah kehilangan gaungnya dengan kondisinya yang sudah berubah. Pemeliharaan yang Bermasalah Sarjuni, pedagang sekaligus Ketua Himpunan Pedagang Jurug mengatakan bahwa selama 39 tahun berdiri tidak banyak perubahan yang terjadi di area Jurug. Tiap tahun telah dilakukan pembangunan, namun pemeliharannya terbilang masih kurang. “Seharusnya kan pengelolaan itu terdiri dari bisa memelihara, menggaji karyawan, memberi makan hewannya. Tapi kenyataannya ya tidak ada,” ujarnya. Terkait pemeliharaan taman satwa ini, beberapa pengunjung memiliki keluhan-keluhan masing masing. “Saya tiap tahun hampir selalu ke Jurug. Tapi tidak ada perubahan, masih saja kotor,” ungkap Slamet, salah satu pengunjung asal Karanganyar yang diwawancarai VISI pada Kamis (23/7). Hal senada juga diungkapkan oleh Mutiara Zipora, “Kandangnya kurang terawat, ya sekalipun memang binatang baunya gitu. Tapi kalo dibersihkan setidaknya tidak ‘kemproh’ begitu,” ujar mahasiswi Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo ini. Menanggapi ‘kekurangan fisik’ dari Jurug sendi-
Terabaikan – Warung-warung dari pedagang Jurug banyak yang tidak digunakan dan terbengkalai, banyak pedagang yang beralih profesi dan meninggalkan kiosnya. (Dok. VISI/Radit)
ri, Direktur Utama Jurug yang baru, Bimo Wahyu Widodo mengaku belum bisa berbuat maksimal. Dana menjadi salah satu hambatannya. Pemerintah Kota Solo sendiri tidak menggelontorkan dana untuk penggelolaan Jurug ini. “Kalau kami ada dana, tidak mungkin bangunan kantor kami semi permanen seperti ini,” ungkapnya sambil menunjuk ruangan sekitar yang berdinding triplek. Bimo menambahkan, selama ini pemasukan Jurug hanya berasal dari tiket masuk dan wahana permainan yang ada. Ketika dikonfirmasi lebih lanjut oleh VISI pada Selasa (22/9), Bimo menjelaskan, pihak Jurug kini sedang dalam upaya mengajukan dana tersebut kepada Pemda Solo. “Iya sedang proses ini, 2016 semoga menjadi lebih baik. Ya kalau pemerintah kasih duit saya terima, kalau tidak ya gapapa,” ujarnya sembari tersenyum ramah. Keluh Kesah Selain kotor dan tidak terawat, kata yang melekat pada Jurug adalah sepi. Seperti yang diungkapkan salah satu pengunjung, Toriah. “Saya tiap hari lewat Jurug, tapi saya lihat sepi,” katanya. Salah satu pedagang di Jurug, Sri Mulyati juga menambahkan pendapatnya “Kalau pengunjung ya sama saja.
Cuma saya sering mendengar keluh kesah pengunjung kalau jalan begitu,” ujar wanita yang sudah 32 tahun berjualan di Jurug ini. Namun hal tersebut segera ditampik oleh Bimo, menurutnya anggapan dari Jurug yang sepi tidaklah benar. “Dari Jumlah pengunjung tiap tahun selalu meningkat. Di tahun 2014 saja ada 350.000 orang,” ungkapnya. Bimo menambahkan, Jurug akan ramai pengunjung ketika weekend, tahun baru dan musim Syawalan. Misalnya pada hari weekend, dia mengungkapkan pengunjung yang datang rata-rata berjumlah 1000 orang per harinya. Mengenai keluh kesah dari pengunjung, Bimo tak menampik hal tersebut. Dirinya sendiri menyatakan pernah mendengarnya langsung dari pengunjung maupun pedagang, terutama seputar kondisi toilet, kebersihan, kandang, jalan, dan halhal yang kasat mata masih perlu diperbaiki. Sedangkan untuk para pedagang atau PKL, sepinya pengunjung, perbaikan saluran air dan penataan pedagang yang seringkali dikeluhkan. Tiga Fungsi Utama Dibangunnya suatu tempat tentu memiliki tujuan untuk masyarakat sekitarnya, di mana terVISI • EDISI 31 • 2015
31
LAPORAN KHUSUS
Mata yang Sedih – Terlihat dari seekor anak kera yang memanjat jeruji sangkar di Taman Satwa Taru Jurug. (Dok. VISI/Radit)
dapat fungsi-fungsi tertentu, begitupun Jurug. Keberadaan Jurug sebenarnya memiliki tiga fungsi utama bagi masyarakat, khususnya masyarakat Solo Raya. Fungsi itu antara lain adalah fungsi konservasi, edukasi, dan rekreasi. Fungsi konservasi di Taman Satwa Taru Jurug terdiri dari tiga bagian, yaitu pemeliharaan satwa langka, bagaimana satwa itu berkembang, dan pengawetan satwa langka apabila telah mati. Lalu fungsi edukasi yang dimaksud adalah dengan berkunjung ke Jurug, diharapkan pengunjung dari semua lapisan masyarakat dapat mengeksplor, melakukan kerjasama penelitian, dan menggunakan bagian di Jurug untuk kepentingan ilmu pengetahuan. Sedangkan fungsi rekreasi adalah di mana dibangunnya kebun binatang Jurug ini sebagai tempat masyarakat mencari hiburan. Dari ketiga fungsi tersebut, seharusnya Jurug menjadi destinasi yang menarik bagi semua lapisan masyarakat, begitupun bagi anak-anak. Namun sayangnya, ketiga fungsi tersebut pun belum bisa sepenuhnya diberikan oleh Jurug. Bimo, selaku Direktur Utama Jurug mengakui pihaknya be32
VISI • EDISI 31 • 2015
lum dapat memaksimalkan ketiga fungsi tersebut. “Belum. Konservasi masih perlu ditingkatkan, kan ada Undang-Undangnya. Edukasi semestinya di sini ada taman bermain, inikan menuju kesana. Perbaikan fasilitas juga, nanti pengunjung senang, itukan fungsi rekreasi,” ungkapnya. Usaha Kedepan Melihat masih banyaknya kekurangan terutama di dalam menjalankan tiga fungsi Jurug, Direktur Jurug yang baru mulai berbenah dengan melakukan revitalisasi dan merencanakan empat program guna meningkatkan citra Jurug di mata masyarakat. Program pertama yang dicanangkan adalah membuat sebuah website untuk menjaga eksistensi Jurug. Mulai dapat diaksesnya www.plazatamanjurug.com menjadi bukti nyata dijalankannya program ini. Program kedua adalah adanya sistem adopsi satwa. Bimo mencontohkan misal ada suatu perusahaan mengadopsi seekor gajah di Jurug, di sini perusahaan tersebut akan membantu dana penyediaan makan dari gajah selama setahun, yang seb-
Pemakaman di Udara – Seekor burung kuntul meregang nyawa di sebuah pohon, sayapnya terjerat tali. Burungburung tersebut memang mendiami pepohonan di wilayah Jurug. (Dok. VISI/Radit)
ulannya dapat mencapai 15 juta/ekor. “Nanti kita akan branding dan promosikan bahwa perusahaan tersebut mengadopsi gajah tersebut, dan logonya ditempel di kandangnya, semacam itu kerjasamanya,” jelas Bimo. Selain sistem adopsi satwa, Jurug juga menyusun program Sitter Zoo, yang akan bekerjasama dengan Kebun Binatang Gembiraloka Yogyakarta. Kerjasama yang dimaksud adalah membuat kolam renang dan tempat khusus reptil di dalam Jurug yang dimulai paling lambat Desember ini. Pelaksanaan program ini telah dibuktikan dengan adanya MoU dari Kerjasama Operasi (KSO) yang sudah ditandatangani pada Jumat, 25 September 2015 lalu. Program terakhir yang dicanangkan adalah revitalisasi dan perbaikan infrastruktur dari Jurug sendiri. Perbaikan yang dimaksud meliputi pembangunan shelter PKL guna merealisasikan konsep plasa Jurug. Lalu pemagaran bagian belakang Jurug untuk mengantisipasi lepasnya hewan dari kandang. Selain itu akan dilakukan pengecatan ulang tembok-tembok di Jurug, dan pemotongan
pohon yang sudah waktunya dipotong, serta perbaikan kamar mandi. Lalu untuk pelaksanaan fungsi edukasi, Bimo mengungkapkan bahwa Jurug telah bekerjasama dengan Lembaga Bina Prestasi, yang akan mengadakan kegiatan-kegiatan dengan PAUD se-Solo Raya. Kegiatan yang akan dijalankan adalah pelatihan manasik haji untuk PAUD mulai November tahun ini hingga setahun ke depan. Harapan Sejalan dengan Kota Solo yang sedang giat mensukseskan Program Kota Layak Anak, Jurug yang tengah berbenah diri juga turut berpartisipasi dalam program tersebut. “Jurug nanti bisa dieksplore, layak untuk anak atau tidak. Kami terbuka untuk bekerjasama dengan siapapun untuk membuat Jurug lebih layak,” ujar Bimo “Semoga Jurug bisa lebih bagus untuk rekreasi anak-anak, kan di Solo sedikit tempat rekreasinya,” ujar Eni Farida, salah satu pengunjung dari Kota Solo. Dela, Yasinta VISI • EDISI 31 • 2015 33
LAPORAN KHUSUS
Mengulik Ruang Publik Anak butuh tempat untuk bermain sebagai cara mereka mengembangkan diri. Seiring berkembangnya sebuah kota, ruang tersebut mulai beralih menjadi pemukiman padat, pertokoan, mall dan hotel. Kota Solo telah membuat sembilan Taman Cerdas—ide kreatif dari Pemerintah Kota (Pemkot) untuk memberi ruang publik pada anak—tapi apakah itu cukup?
D
alam Peraturan Menteri (Permen) Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011, salah satu dari 31 indikator Kota Layak Anak (KLA) adalah ketersediaan fasilitas untuk kegiatan kreatif dan rekreatif yang dapat diakses oleh publik. Pada kenyataannya, di Kota Solo, hak anak terkait indikator tersebut belum terpenuhi dengan baik. Berdasar data dari Pemerintah Kota (Pemkot) Solo dalam workshop Penataan Lingkungan Pemukiman Berbasis Komunitas (PLPBK) 2013 lalu, ruang publik berbentuk taman kota hanya berjumlah 13 atau 0,30% dari total luas Kota Solo. Jumlah tersebut masih belum merepresentasikan Solo sebagai KLA, ruang publik yang dimiliki Kota Solo masih terbatas. Ruang yang Terbatas Sampai saat ini, Solo sudah memiliki delapan ruang publik berupa taman cerdas, yaitu taman cerdas di Mojosongo, Gandekan, Joyotakan, Pajang, Sumber, Kadipiro, Jebres, dan Pucangsawit. Jumlah tersebut masih kurang untuk kota yang memiliki luas wilayah lebih kurang 4.404 hektar ini, paling tidak, begitulah pendapat peneliti bidang terkait. Salah seorang peneliti fasilitas sosial dalam lingkup KLA, Rufia Andisetyana Putri dalam wawancaranya dengan VISI pada Selasa (9/7) mengatakan, Taman Cerdas masih belum memenuhi kriteria standar. Menurutnya, pembangunan Solo menjadi KLA masih berkutat pada skala makro di tingkat kelurahan dan kecamatan. Fasilitas sosial seharusnya dibangun secara merata hingga neighborhood unit atau lingkungan terkecil. Dosen Perencanaan Wilayah Kota, Fakultas Teknik Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo ini menerangkan bahwa neighborhood unit tersebut 34
VISI • EDISI 31 • 2015
berkaitan dengan kemampuan tempuh anak dalam berjalan kaki, yaitu 800-1000m. Menurut Rufia, jika saat ini fasilitas sosial yang berupa taman cerdas hanya ditemukan pada skala kelurahan dan kecamatan, maka sudah jelas, ruang publik di Kota Solo belum memenuhi kriteria yang semestinya. “Sebenarnya ada tiga kriteria, yang pertama keterpenuhan infrastruktur sosial layak anak dan kapasitas pelayanan terhadap jumlah penduduk, aksesibilitas yang aman dan nyaman oleh anak dan akses setiap fasilitas pelayanan secara merata, termasuk anak berkebutuhan khusus (difabel-red),” ujar Rufia. Dari ketiga kriteria tersebut, menurut Rufia, secara umum fasilitas sosial pada skala neighborhood unit di Solo belum terpenuhi. Ruang-ruang Baru Berbeda dengan Rufia, Achmad Ramdhon, Dosen Sosiologi UNS, “Sebenarnya tidak ada jumlah minimal ruang publik yang harus dimiliki sebuah kota. Akan tetapi, jumlah ruang publik itu mencerminkan sikap kota terhadap warganya.” Menurut Ramdhon, kini kota tumbuh tidak untuk melayani warganya, tapi tumbuh untuk kepentingan kapitalis. Hal tersebut menyebabkan munculnya ruang publik baru. Anak-anak kini bermain di tempat manapun yang kadang tidak layak sebagai tempat bermain. Anak kini bermain di mall-mall dan bahkan bermain di rel kereta api. Salah satu ruang publik baru yang ada di Kota Solo adalah keberadaan Car Free Day (CFD) di Jalan Slamet Riyadi pada hari Minggu. Jika dilihat dari durasi dan fasilitas yang tersedia, CFD ini masih jauh dari makna “ruang publik” yang sebenarnya. Ramdhon mengkritisi kondisi CFD yang sekarang semakin sesak dan kerumunan yang semakin banyak. Dia menyatakan hal tersebut adalah sinyal
Menyusuri Rel – Seorang anak berjalan menyusuri rel kereta di wilayah Rejosari. Rel kereta pada dasarnya bukanlah tempat bermain anak, namun di Solo sering dijumpai anak yang bermain di rel. (Dok. VISI/Radit)
tidak adanya ruang publik lagi di Kota Solo. “Memang hari ini kita punya problem besar, yaitu minimnya ruang publik, minimnya akses publik ke ruang publik itu sendiri dan ketidaktersediaan ruang publik yang benar-benar melayani publik dengan baik. Apalagi anak-anak? Coba lihat, kita saja dilayani dengan cara apa?” kritis Ramdhon. Sekarang, sambung Ramdhon, kota sudah kehilangan ruhnya. Terbukti, anak-anak sekarang harus rela bermain di rel kereta api, padahal itu bukan ruang publik. Dampak Psikologis Machmuroch, dosen program studi Psikologi UNS memaparkan, tidak adanya ruang publik bagi anak akan berdampak pada tingkah laku mereka saat berinteraksi. Anak akan meniru perilaku dari sumber yang tidak tepat, misalnya dari media seperti TV. Mereka cenderung tidak tahu sopan santun dan terhambat perkembangan psikologisnya. Senada dengan Machmuroch, Penggiat komunitas sosial anak Rumah Hebat Indonesia, Anis Diah Ayu Masita menambahkan, terdapat perbedaan antara anak-anak yang sering bermain di ruang publik dan yang tidak. Menurutnya, secara verbal, anak-anak yang sering main di ruang publik atau komunitas lebih ceplas-ceplos dan memiliki kreativitas yang bagus. Lebih lanjut, Anis memberikan contoh nyata
perbedaan-perbedaan tersebut. “Saat mereka punya uang seribu, anak-anak yang sering main di ruang publik akan memikirkan bagaimana manfaat uang itu ke diri sendiri dan orang lain, sedangkan anak-anak yang jarang main di ruang publik, lebih memikirkan bagaimana uang seribu itu bisa buat diri mereka sendiri,” tutur wanita berjilbab alumnus Psikologi UNS ini. Harapan Anis berharap adanya rumah pendampingan tiap RT yang mendampingi anak-anak sekitar. Jadi, ruang publik lebih terkontrol oleh masyarakat, pemerintah pun mendukung dan mahasiswa mau mendedikasikan dirinya di sana. “Kalau seperti itu, Solo Kota Layak Anak tidak perlu jadi mimpi lagi menurutku. Kalau perlu, mall-mall dan hotel-hotel nyumbang apa kek gitu. Bikin pojok baca, forum. Berapa persen dana perusahaan disumbangkan untuk kebutuhan anak. Jangan cuma wacana aja, harus ada tindakan,” katanya bernada sedikit kesal. Senada dengan Anis, Machmuroch berharap tiap kecamatan dibangun fasilitas anak yang lebih baik, misalnya taman pintar. “Kalau bisa ada taman pintar yang dapat menstimulasi perkembangan kognisi dan interaksi anak agar anak dapat kreatif dan inovatif,” pungkasnya. Luthfi, Arwin, Iim VISI • EDISI 31 • 2015 35
TEROPONG
Anak Kota vs Anak Desa & Minat Baca pada Media Massa
D
alam sebuah laman Facebook, dikutip tulisan dokter spesialis anak dr. Purnamawati S. Pujiarto, SpAK, MMPed tentang betapa “nikmatnya”, betapa “beruntungnya”, dan betapa “kayanya”, seorang anak kampung dibanding dengan anak kota. Dokter Wati, demikian dokter yang cukup terkenal di Ibukota ini disapa, memperbandingkan pada saat anak kampung pilek vs anak kota pilek. Di kampung mah ingusan gak masalah, tetap saja si anak main bola, nyemplung ke kali, teteup saja hujan-hujanan.” Nah di kota? Anak ingusan serumah sewot, entah takut apa. Ada yang bilang takut ingusnya turun ke paru-paru. Padahal ‘kan ada refleks batuk dalam sistem kekebalan tubuh manusia. Ingus yang meler pun “mental” saat batuk. Anak kota kemudian diberi puyer pilek, ibarat jamu campur sari. Ada antihistamin, ada efedrin/ pseudioefed rin, ada antibiotik, adaluminal, dengan atau tanpa steroid. ”Salahkah saya kalau terus bergumam, ‘hmmmm, nikmatnya jadi anak kampung...’” Perumpamaan lagi ketika anak kampung mencret vs anak kota mencret. Anak kampung mencret emaknya cukup nggodog daun jambu, lalu srusup… srusup diminumkan kepada si anak sampai habis. Ini ‘kan biar gak dehidrasi kalau masih nenen, ya, nenen aja, kalau ke Puskesmas paling dikasih oralit, beres deh. Nah, anak kota yang pup-nya lembek atau diare ringan, langsung deh dibawa ke RS the best in town. Dapet puyer AB dengan ensim, lactoB, Nifural, dan vitamin... katanya “obat” nafsu makan. Malah tambah lembek pupnya wong gak butuh tapi kok dikasih AB. “Salahkah saya kalau lantas saya bergumam, hmmm, nikmatnya jadi anak desa...,” ujar dr. Wati. Satu lagi, dr. Wati menulis tentang betapa menyenangkannya menjadi anak desa. “Anak kampung main layangan, main di kali, main di sawah, 36
VISI • EDISI 31 • 2015
sedang anak kota main di mal. Salahkah saya kalau lantas bergumam, ‘Duh kayanya kehidupan anak kampung....’” Begitulah perspektif seorang dokter tentang kehidupan anak desa vs anak kota dalam sebuah dinamika. Jika diperluas, maka sesungguhnya banyak hal yang kian membingungkan jika kita memperbandingkan kehidupan anak kota dan anak desa. Anak desa bisa jadi tertinggal dalam hal-hal yang berkaitan dengan teknologi informasi dibandingkan dengan anak kota. Akan tetapi sebaliknya, anak kota juga bisa saja tertinggal jauh dalam pengetahuan yang berkaitan dengan alam sekitar. Contoh, anak kota ketika ditanya nama anak kambing, anak ayam, anak kerbau, anak sapi, anak bebek, anak itik dalam bahasa Jawa, mereka menjawab: anak kambing… kambing kecil, anak ayam… ayam kecil, anak kerbau… kerbau kecil, anak sapi… sapi kecil, dan seterusnya. Bisa jadi, nama-nama anak hewan dalam khazanah bahasa Jawa itu sudah tidak penting bagi anak kota. Akan tetapi, secara keseluruhan pengetahuan tentang alam sekitar, tentang pohon, tentang bunga, tumbuh-tumbuhan, dan lain sebagainya merupakan hal penting dalam khazanah kehidupan di masayarakat. Minat Baca Artinya, transformasi pengetahuan adalah hal yang sangat urgent disebarkan baik kepada anak desa maupun kepada anak kota. Caranya? Yang paling mudah adalah dengan membaca. Kalimat bijak, “membaca adalah jendela dunia” sampai detik ini tetap relevan untuk terus didengungkan. Terlebih lagi jika kita bercermin dari tingkat minat baca bangsa Indonesia saat ini sangat rendah. Minat baca masyarakat Indonesia, dibanding negara Asia lainnya sangat di bawah rata-rata. Kondisi ini diperparah dengan lingkungan yang belum mendukung dalam meningkatkan budaya baca. Ketua Umum Pengurus Pusat (PP) Gerakan Pemasyarakatan Minat Baca (GPMB) Bambang Supriyo Utomo mengatakan rata-rata secara nasional
Drs. Mulyanto Utomo, M.Si
Redaktur Senior SOLOPOS & Dosen Ilmu Komunikasi FISIP UNS
survei dari UNESCO tak sampai satu judul (buku) per orangnya per tahun (yang dibaca). “Ini di luar buku pelajaran, tapi buku bebas,” kata dia dalam sebuah keterangan pers di Yogyakarta belum lama ini. Hal itu menurut dia sangat berbeda dengan yang terjadi di Malaysia, misalnya. Setiap orang di Malaysia bisa menghabiskan tiga judul buku bacaaan per tahunnya. “Apalagi untuk negara maju seperti Jepang. Bisa di atas lima sampai 10 buku per tahun per orangnya,” tuturnya. Untuk meningkatkan minat baca ini, kendala yang dihadapi di antaranya adalah dukungan fasilitas. Keberadaan bacaan masih kurang dekat dengan orangnya. Toko buku pun lebih banyak berada di perkotaan. Sementara, di pedesaan sangat sulit ditemui. Peran Media Massa Nah, melihat kondisi minat baca dan budaya baca masyarakat yang seperti itu, sesungguhnya media massa bisa memiliki peran penting dalam transformasi pengetahuan, baik kepada anak desa maupun kota dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Kita pahami bahwa media massa adalah sarana komunikasi bagi masyarakat yang bisa berupa koran, majalah, TV, radio, internet, telepon, dan sebagainya. Media massa terdiri dari media cetak yaitu alat komunikasi massa yang diterbitkan dalam bentuk cetakan seperti koran atau majalah dan media elektronik berarti media yang berupa elektronik seperti TV dan radio. Karena yang kita bahas adalah terkait dengan minat baca, tentu ini akan sangat berhubungan dengan media cetak, seperti surat kabar, tabloid atau majalah. Padahal sekarang ini, diakui atau tidak, pamor media cetak kian hari kian surut akibat semakin majunya teknologi informasi. Seorang pakar Komunikasi Denis McQuail (1987) menyebutkan bahwa media massa memainkan peranan penting dalam kehidupan masyarakat, di antaranya pencipta lapangan kerja, barang,
dan jasa serta menghidupkan industri lain utamanya dalam periklanan/promosi. Media massa juga menjadi sumber kekuatan sebagai alat kontrol, manajemen, dan inovasi masyarakat, sebagai forum untuk menampilkan peristiwa masyarakat, wahana pengembangan kebudayaan: tata cara, mode, gaya hidup, dan norma, serta menjadi sumber dominan pencipta citra individu, kelompok, dan masyarakat. Karena itulah, menyebarkan pengetahuan, mendidik, dan menghibur secara sehat dengan para komunikator pengelola media massa profesional tidaklah mustahil anak kota maupun anak desa memiliki konsep pengetahuan umum tentang berbagai pengetahuan. Dengan para pengelola media massa (cetak khususnya) yang memiliki kredo jurnalisme, paham tentang apa itu jurnalisme profesional, dan tahu betul apa itu makna kode etik jurnalistik maka bukanlah hal yang tidak mungkin minat baca anak desa maupun anak kota terhadap media massa akan kian meningkat. Anak kota yang dalam keseharian sudah sedemikian akrab dengan gadget, terus didorong memanfaatkan pirantinya untuk membaca media massa melalui e-paper, atau media online. Anak desa yang bisa jadi belum terjangkau internet, bisa diberi fasilitas perpustakaan desa dengan distribusi media massa cetak dengan kemasan yang tentu saja menarik. Media massa mempunyai peran dan fungsi yang sangat penting dan strategis, sehingga media massa dapat memberi pengaruh terhadap masyarakat. Pengaruh memang bisa negatif maupun positif, karenanya dibutuhkan pengelola media massa profesional dan kompeten agar media massa itu mampu memberi dampak yang baik kepada masyarakat. Dengan aplikasi yang menarik, seorang anak kota akan tertarik dengan tampilan media massa online. Demikian juga dengan anak desa, membaca media massa cetak yang atraktif dan inspiratif adalah sebuah kegembiraan yang luar biasa. VISI • EDISI 31 • 2015
37
SOSOK
Jefri Nur Arifin, Kenalkan Pendidikan Lewat Sekolah Alam Pagi itu waktu sudah menunjukkan pukul 09.15 WIB. Matahari perlahan juga mulai merangkak naik. Namun, suasana desa Gondangsari, Juwiring, Klaten saat itu terlihat begitu lengang. Sesekali hanya terlihat satu dua kendaraan yang lewat. Begitu juga dengan kondisi salah satu sekolah yang berada di bantaran sungai Bengawan Solo; sepi. Pada sekolah yang memiliki papan bertuliskan “Sekolah Alam Bengawan Solo” tersebut, hanya terlihat Jefri tengah membereskan beberapa peralatan untuk menanam.
S
ekolah itu jika dilihat dengan lamat-lamat memang tidak tampak seperti sekolah pada umumnya. Sejauh mata memandang, tak terlihat bangunan yang bersekat dinding sebagai pembatas ruang kelas, melainkan hanya ada deretan saung berbahan bambu dan kayu, juga atapnya yang terbuat dari daun kelapa. “Biar anak-anak tidak spaneng kalau belajarhanya itu kata yang keluar dari mulut Jefri. Mendirikan SABS Pada mulanya, pria yang bernama lengkap Jefri Nur Arifin ini tidak pernah terpikirkan untuk mendirikan sekolah, apalagi sekolah yang berdampingan dengan alam. Dia bercerita, saat menjadi mahasiswa semester lima jurusan arsitektur di dari Universitas Sebelas Maret (UNS), Jefri diajak oleh salah satu dosen (UNS) untuk membuat sekolah dengan latar belakang alam dan Imu Teknologi (IT). “Saat itu saya kebagian bikin rancangannya. Karena butuh literatur, saya saat itu baca buku tentang kumpulan sekolah alam di Ciganjur. Dari buku itu saya mikir, ‘kok waktu sekolah saya nggak kayak gini, ya?” tutur Jefri. Buku tersebut, kata Jefri, bercerita tentang sekolah yang lebih fokus kepada akhlak dan logika berpikir. Jefri sendiri, mengaku tertarik dengan fokus logika berpikir. Sebab, menurut dia, selama ini, anak-anak sejak usia SD sampai SMA hanya diajari soal hafalan. “Saya sampai diskusi dengan beberapa guru. Coba, deh. Tujuan kita menghitung jarak benda maya ke cermin cekung itu buat apa? Rasanya implementasi di kehidupan juga nggak ada,” jelas pria kelahiran Klaten tersebut. Buku yang menjadi sumber inspirasinya terse38
VISI • EDISI 31 • 2015
but, kemudian ia serahkan ke Tanto, dan juga Suyudi, pria yang sudah fokus dengan sekolah nonformal sejak sebelum bertemu dengan Jefri. “Ya lalu, jadilah SABS ini. Saung-saung yang ada sekarang ini, ini semua Pak Yudi yang bikin,” ucap Kepala Sekolah yang lebih suka dipanggil tukang kebun SABS ini. Masa Sekolah Semasa sekolah, Jefri yang lahir pada 1 September 1984 ini mengaku tidak pernah menjadi anak yang neko-neko. Ia bercerita, sejak SD sampai SMA, ia adalah sesosok anak yang penurut lagi pandai. “Saya orangnya nggak pernah macem-macem. Alhamdulilah, selalu dapat ranking juga,” tukas pria yang lulus dari Fakultas Teknis UNS di tahun 2008 tersebut. Saat ditanya soal cita-citanya, Jefri mengatakan, ia sebenarnya tidak pernah punya cita-cita dari kecil. “Saya paling bingung kalau ditanya soal cita-cita,” tuturnya sambil sedikit terkekeh. Jefri menambahkan, dia sendiri dulu tidak tahu persis, apa minat dan bakatnya selama sekolah. Begitu juga saat menginjak dunia perkuliahan, Jefri mengaku, awalnya ia tak tertarik untuk masuk jurusan Arsitektur. “Saya mulai tertarik arsitektur pas semester tiga, sebelumnya, nggak betah. Rasanya pengen pindah kuliah,” ujarnya. Apalagi, Jefri berujar, jurusan Arsitektur yang dipelajarinya itu, merupakan pilihannya yang ketiga, setelah sebelumnya ingin masuk ke jurusan Pendidikan Dokter dan Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN). Selain itu, salah satu hal yang juga menginspirasi Jefri untuk membuat Sekolah Alam adalah pengalamannya saat mengikuti kuliah Perencanaan Kota. “Saat itu yang ambil makul Perencanaan
Jefri Nur Arifin (atas), pendiri dari Sekolah Alam Bengawan Solo. (Dok. Pribadi)
Papan tanda Sekolah Alam Bengawan Solo (kanan) dengan beberapa hiasan tergantung di sekitarnya. (Dok. VISI/Radit)
Kota kebetulan hanya tiga orang. Setiap kuliah kami selalu diajak jalan-jalan, untuk mengamati secara langsung,” jelas Jefri. Karena mata kuliah itu, Jefri merasa akan menyenangkan, jika sekolah sambil mengamati alam. Pengalaman Selain menjadi Kepala Sekolah, sesekali Jefri sendiri juga mengajar siswa-siswa SABS. Selama mengajar, dia mengaku selalu memiliki pengalaman yang menarik bersama anak-anak. Salah satu pengalaman yang baru-baru ini ia rasakan adalah ketika mengajar siswa kelas 4. Saat itu, kata dia, siswa-siswa kelas 4 tersebut diberi tugas untuk membuat denah rumah dengan menyebutkan material apa saja yang diperlukan untuk membuat sebuah rumah. “Dari semua anak-anak yang presentasi, ternyata ada satu anak yang lantai rumahnya masih tanah, dindingnya masih kayu, dan nggak punya WC,” ujar Jefri sambil memperagakan dialognya dengan anak-anak. Beberapa hari setelahnya, Jefri mengajak anakanak tersebut untuk menonton film Rumah Tanpa Jendela. “Setelah menonton film, mereka saya ajak diskusi, gimana caranya memecahkan kasus ini. Akhirnya ada yang punya ide, kita semua sepakat mau membantu satu teman kita untuk memper-
baiki rumahnya,” kata Jefri. Karena anak-anak tidak punya uang untuk membantu, kata Jefri, akhirnya mereka sepakat untuk membuat proposal dengan dana sebesar Rp 20 juta. “Proposal itu, nanti kita sebarluaskan di media sosial, supaya banyak yang membantu. Dan anak-anak itu, saya beri tanggung jawab untuk mengelola dana sebesar Rp 20 juta tadi,” jelas Jefri. Dari situ, Jefri ingin mengajarkan kepada anak-anak, bagaimana caranya untuk bertanggung jawab dan peduli dengan sesamanya. Harapan Sudah 4 tahun lebih SABS berdiri. Sampai saat ini, Jefri mengaku, siswa yang sudah belajar di SABS baru mencapai 57 anak. Kendati demikian, di sela-sela keterbatasan yang ada, ada doa dan harapan yang selalu ia panjatkan untuk SABS. “Saya membayangkan, SABS kelak bisa menjadi problem solving bagi anak-anak di desanya, ketika mereka beranjak dewasa,” jelas Jefri. Tak hanya itu, Jefri sendiri berharap, agar sekolah-sekolah formal lainnya juga tidak hanya mengajarkan hal-hal yang bersifat akademis, tapi juga dapat mengenalkan kearifan lokal, sejak tingkat Sekolah Dasar. Diah Harni Saputri 39
VISI • EDISI 31 • 2015
REFLEKSI
Pendidikan Moral Menjawab Persoalan Bangsa
I
ndonesia merupakan negara dengan sederet permasalahan yang tak kunjung usai. Di bidang ekonomi dan politik‚ lawan terbesar negara adalah korupsi. Menurut Indonesia Corruption Watch (ICW)‚ total kasus korupsi pada 2014 sebesar 629 kasus dengan jumlah tersangka sebanyak 1328 tersangka dan kerugian mencapai Rp 5‚9 triliun. Kasus yang santer terdengar adalah tertangkapnya mantan Menteri Agama Suryadharma Ali, yang tersandung dugaan korupsi penyelenggaraan haji periode 2012/2013 dan mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jero Wacik, yang tersandung kasus pengadaan proyek di kementerian ESDM periode 2011/2013. Setidaknya terdapat empat orang pejabat tinggi negara yang diproses oleh KPK sepanjang 2014 dan dua di antaranya menteri aktif. Selain korupsi‚ permasalahan besar yang belum terselesaikan di bidang sosial yaitu kekerasan dan narkoba. Kekerasan pada anak dari tahun ke tahun semakin meningkat. Dilansir dari Kompas. com, menurut Indonesia Indicator (I2), pemberitaan kekerasan pada anak mencapai 7.456 pada tahun 2014. Tahun ini (2015-red) kasus kekerasan pada anak berpuncak pada kasus pembunuhan Angeline di Bali. Kemudian, kasus lain yang sangat meresahkan negara dan menjadi penyakit bagi generasi muda adalah narkoba. Narkoba di Indonesia telah berstatus waspada. Data terakhir dari hasil penelitian BNN dan Puslitkes UI menunjukkan bahwa pada tahun 2014, jumlah pengguna narkoba di Indonesia mencapai 4‚1 juta orang dan akan meningkat pada 2015‚ yakni mencapai 4‚33 juta orang. Banyaknya kasus-kasus seperti tersebut di atas memang sangat memprihatinkan. Dari tahun ke tahun persoalan-persoalan tersebut tak kunjung reda. Bahkan semakin lama justru semakin buruk dan tidak terkontrol. Tak dapat dipungkiri, solusi permasalahan di Indonesia memang rumit karena permasalahannya yang kompleks. Maka dari itu diperlukan penyelesaian dan solusi yang serius. Pendidik Bukan Sekadar Pengajar 40
VISI • EDISI 31 • 2015
Berbicara mengenai solusi permasalahan politik‚ sosial‚ dan ekonomi, hal tersebut tidak akan lepas dari bidang pendidikan. Banyaknya kesenjangan bagi rakyat Indonesia diakibatkan karena adanya kesenjangan di bidang pendidikan itu sendiri. Pendidikan tak terpisahkan dari kehidupan. Pendidikan telah menjadi kebutuhan pokok manusia di samping pangan‚ sandang‚ dan papan. Sebagian besar pendidik Indonesia hanya bertugas sebagai seorang pengajar‚ bukan sebagai pembimbing atau pengayom muridnya. Pengajar hanya memberikan pengetahuan yang ia miliki kepada orang lain tanpa memberikan nilai-nilai yang terkandung dalam pengetahuan tersebut. Makna pendidik sebenarnya adalah seorang yang melakukan pengajaran dan pembimbingan kepada orang lain. Tujuan utamanya ialah menjadikan murid mampu mengerjakan hal yang lebih baik dari sebelumnya‚ baik material maupun non-material. Sistem pendidikan Indonesia belum mencapai kualitas yang maksimal‚ pendidikan Indonesia hanya menghasilkan “manusia robot”. Artinya pendidikan yang ada di Indonesia belum seimbang antara pembelajaran kognitif (berpikir) dan pembelajaran afektif (perasaan). Maka dari itu‚ timbul adanya disintegrasi pendidikan. Pendidikan tidak
Wilda Zaki Alhamidi
Mahasiswa Sastra Indonesia Angkatan 2012 Ilustrasi/Radit
hanya melulu soal berpikir‚ tetapi juga melakukan berbagai macam kegiatan‚ seperti mengamati‚ membandingkan‚ meragukan‚ menyukai‚ dan sebagainya. Pendidikan Indonesia sering dipraktikkan dengan sederetan instruksi guru kepada murid. Apalagi istilah sekarang yang sering digembor-gemborkan adalah “pendidikan yang menciptakan manusia siap pakai.” Siap pakai di sini berarti menghasilkan tenaga-tenaga yang dibutuhkan dalam pengembangan dan persaingan bidang industri dan teknologi. Masalah lain ialah pendidikan, yang notabene adalah sebagai pelopor kemajuan bangsa, harus ternoda dengan banyaknya kasus. Beberapa bulan lalu terdengar sebuah berita mengenai kasus ijazah palsu. Dilansir dari BBC.com‚ Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi Muhammad Nasir menemukan dua buah universitas yang menerbitkan ijazah palsu‚ yaitu University of Berkley Michigan America yang terletak di Jalan Proklamasi‚ Menteng‚ Jakarta Pusat dan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Adhy Niaga di Bekasi. Cara Ampuh Mengatasi Permasalahan Permasalahan-permasalahan di atas adalah masalah yang berat karena melibatkan banyak pihak‚ sehingga untuk merubah suatu pola dalam kehidupan bernegara dapat dilakukan dengan mel-
alui pendidikan. Akan tetapi‚ melihat carut-marutnya pendidikan di Indonesia, maka harus dibenahi terlebih dahulu. Hal pertama yang harus diajarkan adalah pendidikan moral. Masyarakat harus diajarkan identitas bangsanya dan tentu di dalamnya akan dibahas mengenai moral bangsa. Moral-moral kebangsaan yang telah hilang karena arus westernisasi harus dihidupkan kembali, karena dengan memegang kembali kebudayaan bangsa akan menjadikan negara kita negara yang bermartabat. Selanjutnya dirombak pula sistem ekonomi di Indonesia, karena sistem ekonomi adalah sistem yang paling pokok demi berlangsungnya pendidikan yang baik. Sistem ekonomi kapitalis harus diubah dengan sistem budaya Indonesia. Termasuk pula di dalamnya hal-hal teknis yang berkaitan langsung dengan pendidikan‚ seperti kualitas guru dan infrastruktur lembaga pendidikan. Pembenahan dimulai dari pendidikan yang menjunjung tinggi moral bangsa untuk mewujudkan sebuah generasi yang maju dan bermartabat. Oleh karena itu‚ adanya pendidikan yang berkualitas akan memunculkan manusia-manusia berkualitas. Semakin banyaknya manusia berkualitas di Indonesia akan menjadikan sebuah dobrakan budaya baru yang lebih maju dan mengakibatkan Indonesia juga menjadi lebih maju. Atau secara singkat, penanggulangan krisis manusia akan menjawab krisis ekonomi di Indonesia. Maka dari itu‚ Indonesia tak perlu lagi khawatir akan persoalan-persoalan ekonomi‚ sosial‚ maupun politik yang dihadapinya. Sulit memang untuk melakukannya. Namun, dengan tekad‚ pengorbanan‚ dan perjuangan yang tangguh, hal itu akan menjadi mudah. Terlebih, bagi pemuda sebagai penerus bangsa yang menanggung beban masa depan bangsa harus mulai menyadari pentingnya sebuah pendidikan yang bermartabat dan mulai menyingkirkan budaya-budaya yang akan menenggelamkan cita-cita dan keinginan bangsa. Dimulai dari diri sendiri‚ kerabat terdekat‚ dan akan meluas kepada masyakat luas. VISI • EDISI 31 • 2015
41
VISI BERTANYA
Cerita Singkat tentang Sinema
S
udah bukan lagi rahasia bahwa dunia sinema semakin dekat dengan mahasiswa. Banyak kegiatan apresiasi film diadakan di ruang-ruang kampus. Hampir setiap kampus juga memiliki organisasi sendiri terkait film. Ada juga seorang mahasiswa yang tak lepas dari dunia sinema, dia adalah Mazda Radita Roromari, mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo. Mahasiswa Ilmu Komunikasi yang menggeluti dunia film. Simaklah beberapa jawaban Mazda terkait dunia perfilman berikut ini.
Bagaimana film dalam perspektifmu? Kalau menurut saya, yang jelas film itu berbeda dengan video. Kalau video nggak punya alur dan perpotongan, film punya. Tapi kalau saya harus mendefinisikan film, menurut saya film itu adalah suatu tampilan cerita (dalam bentuk audio visual-red) yang dibuat dan pembuatnya mampu mempertanggungjawabkan karyanya dengan mencantumkan namanya dan memberi judul pada film. Karena biasanya, orang yang hanya sekedar membuat video tidak melakukannya. Dan itu tergantung si pembuat juga, apakah menyebut itu film atau bukan. Menurut kamu, apa yang menarik dari film? Yang menarik dari film menurut saya adalah bahwa film mempunyai banyak layer atau banyak hal yang bisa diceritakan di dalamnya. Dengan teknik pengambilan gambar yang dikemas sedemikian rupa, menurut saya film menjadi sarana pengekspresian diri yang lebih ekspresif dibandingkan media lainnya. Film lebih kaya akan ekspresi yang ingin disampaikan movie maker secara audio visual. Aktivitas dan komunitas perfilman yang pernah diikuti apa saja? Perkenalan pertama saya dengan dunia film adalah ketika saya menjadi pemeran utama di film Aku di tahun 2009. Mulai serius dengan dunia film ketika tentor di home schooling mengajak saya ikut dalam Festival Film Solo (FFS). Sejak 2012 hingga 2014 saya aktif di FFS. Saat masuk kuliah di tahun 2012, saya bergabung di KINE FISIP UNS. Pertama kali menjadi sutradara adalah di film Eksis produksi tahun 2013. Selanjutnya saya membuat film dokumenter Merah Itu Berani dan menjadi script writer di film Delikan. Di tahun 2013, saya dengan 42
VISI • EDISI 31 • 2015
Dok. Pribadi
Nama Lengkap: Mazda Radita Roromari Alamat: Jl. Mawar No. 221, Badran, RT 05 / RW 09, Kel. Purwosari, Kec. Laweyan, Surakarta Tempat, Tanggal Lahir : Solo, 22 Maret 1992 Pendidikan : Ilmu Komunikasi UNS Ang. 2012 Pengalaman Organisasi / Komunitas: Festival Film Solo (Divisi Marketing & Kerjasama, Divisi Komunitas) Kine Klub FISIP UNS (Divisi Apresiasi) Sinemain (Koordinator Program Sinema Malam Sabtu) Medsos: @MazdaRadita (Twitter & IG), Mazda Radita Roromari (FB) Email: mazdaradita@gmail.com
dua orang teman membentuk Sinemain. Sebuah komunitas yang konsen di bidang eksebisi atau pemutaran film. Tujuan kita membentuk Sinemain itu sendiri pada dasarnya ya untuk ruang sharing tentag film. Karena ketika kita berdiskusi tentang film, kita sebenarnya juga sedang berdiskusi tentang masalah sosial yang dangkat di film tersebut. Mahasiswa bikin film, menurutmu bagaimana? Menarik. Karena mahasiswa memang kaum intelektual yang seharusnya bisa berpikir lebih dalam dari orang-orang biasa. Nah, ketika membuat film, harusnya mahasiswa bisa membuat film yang menarik. Entah itu film yang idealis atau yang lainnya. Sekarang ini banyak mahasiswa yang membuat filmnya sendiri. Sebenarnya jenis film apa saja yang biasanya dibuat oleh mahasiswa? Sepengetahuan saya, mahasiswa sekarang lebih berminat membuat film-film indie yang temanya lebih beragam dari sekedar cinta-cintaan. Seandainyapun film yang dibuat bertema cinta-cintaan, biasanya pasti ada aspek-aspek lain yang ingin ditonjolkan mahasiswa. Karena kadang, mahasiswa juga mampu membuat film dari hal-hal yang sepele juga. Genre film apa yang paling susah dibuat mahasiswa? Membuat film memang tidak mudah, apapun genrenya. Setiap genre film memiliki tantangan dan tingkat kesulitannya sendiri. Film horror tantangannya adalah bagaimana kita bisa membuat takut penonton. Film action tantangannya adalah bagaimana cara kita membuat penonton deg-degan. Atau film komedi yang harus bisa membuat penonton tertawa. Jadi memang hampir semua genre film itu susah untuk dibuat menjadi film yang bagus tanpa ada usaha yang keras. Sebab, pada intinya, tantangan film maker yang utama itu adalah bagaimana emosi di dalam film yang dibuat itu mampu tersampaikan kepada penonton. Untuk mahasiswa, apa tips dan trik untuk membuat film sendiri? Bagi mereka yang ingin memproduksi film
sendiri, satu hal yang menurut saya paling penting adalah memiliki network dengan orang-orang dari dunia film. Kenapa? Pertama, kalau mereka punya kenalan sesama film maker, itu bisa membantu memberikan saran tentang bagaimana membuat serangkaian cerita dan teknis-teknisnya. Kedua, semisal punya kenalan kritikus film, itu akan membantu dalam pembuatan naskah. Ketiga, mempermudah kita untuk melakukan eksibisi atau pemutaran film. Rata-rata mahasiswa yang masih baru dalam membuat film itu membuat film tapi nggak tahu mau dibawa kemana filmnya. Mereka tidak tahu harus diputar dimana dan untuk siapa. Kasarnya, itu seperti proyek onani. Membayangkan sendiri, menciptakan sendiri, dan menikmati film buatannya sendiri. Bagi mahasiswa yang ingin membuat film berkualitas namun budget terbatas, apa saja yang perlu diperhatikan? Minimal harus punya kamera untuk video dan komputer untuk proses editing film nantinya. Sisanya itu tergantung pintar-pintarnya mahasisa mencari sumber dana untuk budget produksi film mereka. Nah, hal ini juga menjadi salah satu alasan kenapa membangun network itu sangatlah penting dilakukan untuk para movie maker. Intinya bikin film itu nggak mahal kok, tinggal bagaimana kita pinter-pinter memanage budget yang ada atau mencari dana tambahan dari luar. Menurut kamu apa yang bisa dilakukan mahasiswa sekarang untuk mengapresiasi film? Satu hal yang sebenarnya sangat mudah dilakukan mahasiswa atau masyarakat umum untuk mengapresiasi film tapi hal ini sering diabaikan. Yaitu, menonton film sampai credit tittle nya. Baik itu menonton film di rumah maupun menonton film di bisokop. Hal itu menjadi penting karena menonton film hingga credit tittle adalah proses menghargai orang-orang dibalik layar. Satu film yang menurut kamu paling menarik? Eternal Sunshine of The Spotless Mind. Ceritanya menarik. Coba tonton sendiri. Maharani Krisna Handayani VISI • EDISI 31 • 2015 43
CERPEN
Senja di Sudut Mata ** Senja kala itu terdiam. Mengintip dua insan dalam satu dekapan. Bercerita sang pria dengan siluet kemerahan yang jatuh mengenai wajahnya. Penuh serius dia berbisik lembut, “selamanya akan bersama senja, ya…” ** Dan detik semakin bergerak maju. Perempuan muda itu hanya bisa menghembuskan nafas panjang. Dibanting ponsel model terbaru miliknya di samping kanan. Sedang ditangan kirinya menggenggam erat setangkai mawar yang masih merekah. Dan sedetik kemudian, dia kembali terlelap pada zona kelabu. Dimana ia mampu berkhayal ria dengan harapan-harapan yang menjulang tinggi. Meskipun baginya sekarang semua warna adalah sama tapi ia tak memperdulikannya sama sekali. Bahkan dia begitu menikmati keadaan dirinya yang sekarang. Dimana ketika memejamkan mata ruang kosong tanpa siapapun itu telah disulapnya menjadi tempat bermain baginya. Dalam gelap itu dia akan menjadikan setiap sudut menjadi sebuah pelangi tersendiri. Dimensi waktu ia mainkan dengan nada penuh kerinduan. Beribu mozaik kenangan ia bangkitkan lagi demi membahagiakan dirinya sendiri. Demi kebahagiaan jiwa yang telah lama menangis seorang diri. Meski pada akhirnya paket-paket kenangan yang begitu ingin ia putar kembali itu semakin membuatnya sakit. Tapi dia begitu percaya bahwa dirinya lebih kuat daripada apa yang dipikirkan orang kepadanya. Dia mengaggap dia telah berada pada fase kedua dalam kehidupan. Sebuah fase dimana bersama mata yang terpejam, hati yang rapuh, raga yang tergeletak seorang diri, dan jiwa yang terbiasa menangis, ia masih mampu melengkungkan sebuah seyuman meski matanya terpejam. Sebuah fase dimana ia mampu menggauli seluruh hatinya untuk melepaskan setiap beban yang dideritanya. Memaafkan segala sesuatu terutama tentangnya. Ah, tentangnya adalah sakit. Dunia tak mengijinkan. 44
VISI • EDISI 31 • 2015
Terasa begitu menyesakkan jika mengingatnya. Perasaan yang terlarut seakan membawa segala oksigen di dalam darah mencuat keluar dan hanya menyisahkan kelemahan tersendiri. Air matanyapun tak sanggup lagi dibendungnya. Ia menangis dengan tangan yang masih menggenggam erat-erat mawar merah yang ia anggap sebagai sahabat terbarunya dalam ‘zona kelabu’nya itu. Ia selalu membawa kemanapun mawar itu di setiap sudut-sudutnya karena ia menganggap banyak kemiripan dengan bunga berawarna merah yang banyak disukai kaum hawa tersebut. Indah namun bercela dengan duri yang melukai. Dalam sendunya, lelaki itu selalu muncul dalam pikirannya. Bergelayut ada di setiap sisi kehangatan yang selalu Keyla rindukan. Sentuhan disetiap oksigen milik Keyla seakan membuat genggaman-genggaman lembut pada setiap hembusan nafas milik perempuan berumur 20 tahunan itu yang selalu tak ingin Keyla lepaskan. Lelaki yang selalu membuatnya tertawa entah bagaimanapun caranya. Lelaki yang begitu menyayanginya dengan cara-cara yang sederhana. Lelaki yang selalu menyukai senja. Lelaki yang selalu membawa Keyla menikmati senja dengan penuh tentramnyadi sudut kota. Lelaki yang selalu berjanji akan selalu menikmati senja hingga tua nanti bersama Keyla. Lelaki yang tangannya begitu lentur ketika harus menggabungkan dua objek paling disukainya: Keyla dan senja. Dan Keyla, dia teramat merindukan sosok pria yang beberapa hari lalu ia putuskan itu. Begitu merindukannya hingga semua tulang-tulangnya terasa tak memiliki daya karena ia hanya bisa menangis tanpa tahu bagaimana rindunya itu akan terobati. Bagaimana pikirannya akan jernih tanpa ada sosok tinggi jakung itu yang selalu menyiksanya di setiap tarikan nafas kehidupan miliknya yang sekarang begitu sulit dijalani. Meski begitu, ia lakukan semua itu hanya demi sebuah kerja keras seorang melawan sebuah penyakit yang paling mematikan: Kanker. Ya, sudah satu tahun ini Keyla mengindap kanker kelenjar getah bening. Awalnya keadaan tak seburuk ini hingga akhirnya ia tahu, semakin hari keadaan semakin sulit. Dia harus melawan racun di tubuhnya dengan kekuatan yang tersisa. Badannya semakin
Zulzil Putriana Pendidikan Geografi FKIP UNS kurus, rambutnya mulai botak dan minum banyak obat-obatpun terasa percuma ketika yang ia dapatkan hanyalah rasa pahit tetapi tak kunjung sembuh. Hal inilah yang akhirnya memutuskan dia meninggalkan pria yang begitu disayangnya itu karena suatu saat Keyla tak ingin lelaki itu terkejut dengan semua keadaan selanjutnya. Walau terasa sulit sekalipun tetapi mau tidak mau Keyla memang harus mengambil keputusan ini. Bahkan jika ditanya apa yang paling menyakitkan di dunia ini adalah terpisahkannya dua orang yang masih saling mencintai karena keadaan yang memaksa. “Key…” Suara itu sayup-sayup terdengar memanggil namanya. Tangannya dengan sigap mengusap segala buliran yang mengalir di sudut mata anak semata wayangnya tersebut. “Kamu kenapa sayang? Apa yang kamu pikirkan? Bangun, Nak. Ayo cerita sama Mamah.” Tangis Keyla semakin pecah namun tak sanggup membukakkan mata. Begitu berat rasanya ketika ia harus mengakhiri segala kenangan yang ia bangkitkan kembali dalam dunia fantasinya. Apalagi ia tak ingin menambah beban mamahnya yang telah setia hampir seminggu lebih setia menemaninya terbaring lemah di kasur rumah sakit yang bau obatnya selalu membuat indera penciuman begitu menyesakkan. Semua dilakukan karena rutinitas kemoterapinya itu. “Key, bangun. Mamah tahu kamu sedang merindukan Dista kan? Tadi Dista menelfon Mamah, dia bilang dia begitu minta maaf baru tahu kamu sakit begini. Suaranya tadi terdengar begitu serak. Kayaknya dia juga menangis, Key. Kamu matikan ponselmu, ya?” Telinga Keyla terasa panas mendengarnya. Semakin terasa aneh kenangan-kenangan yang berlalu-lalang di ruang kosong memorinya tersebut. Seakan warna-warni itu telah menjadi sekelumit benang yang rumit yang harus segara dilepaskan satu persatu. Apalagi terdengar juga suara tangis mamahnya. Tentu saja hal itu membuatnya semakin tak berdaya. Keyla semakin tidak karuan merasakan batinnya yang teriris-iris merasakan betapa rasa sakit itu seolah menyalur ke hati mamahya. Keyla terbangun. Ia menahan nafas cukup panjang. Tersenyum menatap kedua bola mata indah
di hadapannya itu dengan pandangan sayu. Ingin sekali Keyla mengusap butiran-butiran yang jatuh membajiri kedua pipi milik wanita terbaiknya itu. Ingin sekali Keyla menangis mengadu menceritkan semua sakit yang di deritanya. Sakit fisik, sakit perasaan. Namun tentu saja ia sanggup mengurungkannya. Mamahnya tanpa diceritakannyapun, wanita dengan lesung pipit yang indah itu begitu tahu perasaan anaknya tersebut. “Mah… Nanti kalau Dista telfon lagi bilang ya. Jangan pernah temui Keyla ke sini. Di sini gak ada senja yang bisa Dista tatap. Rambut Keyla sudah hilang mah, gak tersisa satupun. Keyla takut Dista kaget menyadari sosok yang biasa dia lukis dengan rambut hitam panjang itu sudah berubah. Di sini gak ada perempuan yang bisa dia cubit pipinya lagi, mah. Tubuh Keyla sudah semakin kurus. Lihat kan mah? Yang tersisa hanya tulang-tulang ini. Bilang Dista juga ya mah, di sini sudah gak ada perempuan yang bakal lari-lari lagi kalau fertigonya Dista kambuh lagi. Keyla sudah tidak bisa berlari, bahkan berjalanpun Keyla sudah tak bisa. Tolong ya mah bilang semua itu. Bilang, di sini hanya ada perempuan pengidap kanker stadium akhir yang tidak akan pernah bisa mengangkat telfon dia atau bahkan sekedar membalas pesannya.” Dengan suara tersengal-sengal Keyla bicara panjang lebar. Ia dengan terbata-bata mengeja setiap huruf-huruf layaknnya anak kecil yang baru belajar bicara. Dengan susah payah Keyla mengeluarkan semua perasaan terdalamnya itu. “Mah…” Panggil Keyla lagi. Meskipun terasa tercekat, ia akhirnya menatap wajah mamahnya yang telah berlumur air mata. “Jangan menangis lagi ya. Keyla gak apa-apa, kok.” KeyIa menatap sekeliling ruangan yang berwarna hijau muda hingga akhirnya matanya tertumbuk pada jendela ruangan. Keyla menatap benda berbentuk persegi panjang itu dengan penuh makna. Taburan bintang yang mengisi kemegahan alam semesta itu mau tak mau membuatnya tersadar bahwa senja itu sesungguhnya telah pergi.
VISI • EDISI 31 • 2015
45
PUISI
Jalang Oleh : Chairunnisa WIdya Priastuty
Malam adalah musuh bagiku.. Musuh yang begitu hina namun terlalu setia.. Sering menyakiti tak lupa mengingkari.. Begitu kejam membuatku harus membenci.. Kujajaki jalan demi jalan, disoroti temaram cahaya lampu di sudut kota.. Kulenggangkan kaki khas perawan.. Kulambaikan tangan dengan pesona.. Kumainkan rambut tanda menggoda.. Bagaikan sebuah boneka, aku menjadi sebuah mainan yang seakan tak berdaya.. Disanjung dan disayat dengan kepiawaian tutur dari para penikmat surga dunia.. Terinjak, harga diri ini tak lagi berharga dikoyak oleh sang waktu.. Dihakimi seakan menjadi iblis yang dikutuk oleh Sang Pencipta.. Beginikah takdirku? Mengarungi bahtera yang hancur diamuk badai.. Dicampakkan seakan tak pernah dicinta.. Ditawar seakan tak pernah punya rasa.. Dipaksa bertahan dengan jerat amoral yang seakan tak ada ujungnya.. Menerawang jauh ke langit malam yang begitu sunyi.. Tak ada bintang, rembulan pun tak tampak.. Hitam, hanya hitam yang terlihat layaknya lelaku hidup yang juga kelam.. Mataku terpejam, batinku mulai bergulat.. Nafasku tercekat, terkulai jatuh, terhempas oleh dinginnya malam.. Kutemui diriku terbaring sekarat menanti waktunya tiba.. Oh Tuhan, masihkah ada tempat bagiku di surgaMu yang agung? Jalang penuh dosa ini tak lagi punya tempat di tanah ciptaanMu.. Hati ini menjerit, mengemis pengampunan.. Kutitipkan salamku pada semesta, Salam seorang jalang yang tengah mencari jalan yang terang..
46
VISI • EDISI 31 • 2015
Ilustrasi/Radit VISI • EDISI 31 • 2015
47
BUKU
Buku Saku untuk Pergi ke Jakarta
Dok. VISI/Reiza JUDUL: Tiada Ojek di Paris PENULIS: Seno Gumira Ajidarma PENERBIT: Mizan TAHUN: 2015 HALAMAN: 212 + Sampul BAHASA: Indonesia
Sebuah kompilasi esai yang terdiri atas puluhan kolom dalam majalah dan tabloid Djakarta!, buku Affair (2004) dan Kentut Kosmopolitan (2008) yang Seno Gumira Ajidarma tulis. Penghuni Kota Jakarta ini yang bersedia menuangkan hasil pengamatannya mengenai ibukota Indonesia dalam sejumlah tulisan. Baginya, berbicara Jakarta itu bukan hal yang sulit. Bahkan semua orang Jakarta pun pasti dengan sendirinya membicarakan ibukota Republik Indonesia yang katanya kejam ini. Sekumpulan kolom yang digubahnya kemudian diacak dan dibukukan oleh Penerbit Mizan ini dihias dengan kover berwarna biru telur asin dengan sosok Seno dengan bentuk karikatur. Tiada Ojek di Paris, buku yang mengungkap Kota Jakarta dari sudut pandang Seno ini memberikan pandangan yang cukup komprehensif, juga pelik. Bahkan pembahasannya pun sebenarnya tidak lekang oleh zaman. Beberapa topik yang diangkat pun masih nyambung dengan problematika di Jakarta saat ini. Bab berjudul Ojek Sudirman-Thamrin sama dengan judul buku. Dalam bab itu, tampak gambar karya seniman yang menunjukkan list pangkalan ojek yang berlokasi di sudut tertentu gedung-gedung khas metropolitan sepanjang Jalan Sudirman-Jalan MH. Thamrin berikut nomor ponsel dan jumlah armada yang tersedia. Menggambarkan bahwa Paris dan Jakarta—meski sesama ibukota—memiliki perbedaan berarti. Homo Pariensis ‘orang Paris’ menganggap bahwa jalan kaki adalah sehat, sedangkan orang Ja48
VISI • EDISI 31 • 2015
karta ogah repot-repot. Tersimpulkan, ojek adalah sebuah identitas sekaligus karakter orang Jakarta. Pembahasan yang tak lekang oleh zaman, bukan? Bagaimana tidak, Jakarta saat ini masih kaya akan pengojek. Meski saat ini sudah kedatangan versi upgrade-nya: ojek berbasis aplikasi. Ada lagi topik-topik lainnya yang menarik untuk dibaca. Misalnya kopi, tidak hanya soal minuman, tetapi aspek semiotik. Maksudnya, citra kampus Universitas Indonesia yang dikenal sebagai kampus perjuangan, dikompromi oleh kedatangan “perjuangan” dari Starbucks. Atau gosip, atau kartu nama, atau zebra cross, atau mudik. Banyak sekali wacana-wacana yang dibahas dalam buku ini. Membaca sendiri tentu lebih menyenangkan daripada hanya melihat kover dan ulasan buku ini. Buku ini memberikan pandangan baru mengenai Homo Jakartensis—istilahnya untuk penghuni Jakarta—kepada para pembaca. Setidaknya orang non-Jakarta dan sekitarnya bakal mengerti apa yang membuat kota ini sangat istimewa bagi orang-orang di dalamnya. Mahasiswa yang mau program kerja lapangan (PKL), magang, atau apapun, ada baiknya bertandang dan bekerja di Kota Jakarta. Sambil menjadi populasi temporer yang bikin sempit Jakarta, wawasan sebagai mahasiswa non-Jakartensis akan meluas dan terbuka. Ketika mengantongi kumpulan opini Seno ini, (harusnya) lebih siap menghadapi beraneka Homo Jakartensis. Sistem acak dari Redaktur Mizan membuat para pembaca—yang ingin mengetahui “sejarah” Jakarta secara kronologis—bingung. Tetapi Seno tidak keberatan sama sekali. Katanya, “belum-belum sudah interaktif.” Ada yang menarik, setiap bab diawali gambar-gambar unik. Mereka adalah pindaian kemasan rokok, korek api, bahkan tusuk gigi, dan aneka barang lainnya. Menjadi elemen estetika yang mengundang rasa geli dan bertanya-tanya. Bagaimana tidak, bungkus-bungkus tersebut adalah kumpulan Gambar-Gambar Seni Rakyat, koleksi dari Seno bersama Antyo Rentjoko. Bagi pembaca yang gemar menganalisis, ini adalah daya tarik tersendiri. Semacam tebak-tebakan. R. Ahmad Reiza Maulana
musik
Album Indie Debut Jebolan “The Voice�
Dok. VISI/IG ALBUM: Yura ARTIS: Yura Yunita GENRE: Jazz, Pop, Soul LABEL: Music Bagus TAHUN: 2014 DURASI TOTAL: 36 Menit PRODUSER: Glenn Fredly, Ari Renaldi LAGU: Balada Sirkus, Keruh Di Air Jenuh, Cinta dan Rahasia (ft. Glenn Fredly), Jester Suit, Superlunar, Get Along With You, Itu Kamu, Kataji, Berawal Dari Tatap
Yunita Rachman, tenar dengan nama panggung Yura Yunita, akhirnya meluncurkan album debutnya yang bertajuk Yura. Yura yang juga merupakan jebolan dari ajang pencarian bakat The Voice ini, walau gagal jadi juara, justru berhasil menarik perhatian sang mentor, Glenn Fredly yang menemukan bakat terpendamnya untuk melanjutkan solo karir. Yura juga lihai dalam memainkan piano, dulu ia juga sempat tergabung dalam grup music indie asal bandung sarasvati dan pernah ikut dalam music tulus, sehingga dalam hal musikalisasi sudah tidak diragukan lagi kehebatannya. Dalam pembuatan album Yura ini ia dibantu oleh Glenn Fredly sebagai executive producer dan Ari Renaldi dalam pengerjaan musiknya. Dalam album self-titled ini berisikan delapan lagu yang ditulis sendiri oleh Yura, dan satu lagu yang dituliskan oleh Glenn Fredly dan dinyanyikan oleh Glenn dan Yura, yaitu adalah Cinta dan Rahasia. Single pertama dalam album ini berjudul Balada Sirkus dengan aransemen lagu yang kental akan nuansa broadway terdengar asyik dan menyenangkan. Penggabungan cerita antara sirkus dan cinta, Yura membuat suasana dalam lagu ini terdengar benar-benar playful dan seakan-akan mengajak kita untuk masuk ke dalam dunia sirkus dan membuat kita jatuh cinta. Kemudian lagu Berawal dari Tatap adalah salah
satu lagu andalan untuk dibawakan Yura dalam setiap pementasannya. Dalam lagu ini musik yang dibawakan dengan alunan piano yang tenang dan nyaman, sehingga menyihir para pendengar untuk turut hanyut dalam alunan musik lagu ini. Dalam album perdananya ini, salah satu lagu yang menarik yaitu adalah Kataji. Lagu yang seluruh liriknya ditulis oleh Yura sendiri dalam basa Sunda ini berhasil dimainkan dengan baik dengan nuansa broadway dengan perpaduan jazz yang menyenangkan. Yura cukup berani memasukkan lagu berbahasa Sunda ini ke dalam albumnya dengan pendengar yang tidak seluruhnya mengerti bahasa Sunda. Justru pada kenyataannya, Kataji ini cukup sukses di telinga para penggemarnya yang paham bahasa Sunda maupun bukan. Lagu ini menceritakan tentang pria yang mempermainkan perasaan seorang wanita, namun sang wanita tersebut tidak dapat menolak untuk mencintai si pria. Dalam lagu Superlunar, kita tidak bisa menolak untuk berdansa dan menari mengikuti irama lagu yang sangat energik dan fresh. Aransemen musik dalam lagu ini adalah perpaduan jazz dan ska yang sangat bersemangat dan mengundang naluri kita untuk menari mengikut alunan musik ini. Cinta dan Rahasia, ditulis oleh Glenn Fredly dan dinyanyikan bersama oleh Yura Yunita ini diwarnai dengan nuansa mendayu-dayu. Betapa tidak, hasil duet antara Yura dengan Glenn dalam lagu yang bercerita tentang seseorang yang mencintai kekasih dari sahabatnya. Dan ia menginginkan kekasih sahabatnya itu untuk mencintainya itu dinyanyikan dengan sangat dramatis. Apalagi dalam lagu ini hanya diiringi dengan petikan gitar yang membuat kita akan merasa semakin mendalami lagu ini. Tentunya lagu ini termasuk musik yang easy-listening. Pada akhirnya album pertama Yura yang dibantu oleh Glenn Fredly ini sukses masuk dalam dunia permusikan Indonesia dan membuatnya sukses menyihir para pendengar dengan lagu-lagunya yang bervariasi. Mulai dari yang jazz mendayu-dayu, hingga musik yang cocok digunakan sebagai lagu pengiring dalam sebuah pesta dansa.
IG Rinda Yuda Wardana VISI • EDISI 31 • 2015 49
film
Ketika Jakarta Tanpa Agama menjadi titik revolusi konstitusi. Pada 2036, Indonesia sudah menjadi negara liberal. Sekilas, kondisi rakyatnya baik-baik saja. Teknologi gadget transparan sudah biasa. Ngobrol pun sudah billingual. Indonesia-Inggris. Fasih! Dan saat itu juga, tiga sahabat itu bertemu kembali dalam keadaan penuh konflik. Lam berusaha mencegah agar Alif tidak berkelahi dengan Mim. Tragedi ledakan di Candi Café adalah trigger dari konflik antara Alif dan Mim. Dimana ledakan bom terjadi dengan temuan pecahan botol parfum yang diproduksi di Ponpes Al-Ikhlas. Dan kemudian Jakarta kacau. Tiba-tiba plot twist dari Tanta Ginting sebagai sosok misterius sebagai dalang seluruh kekacauan mengejutkan penonton. Sejak awal, alurnya linier dan mudah ditebak. Untuk film laga yang dikombinasikan dengan drama religi, twist tersebut Dok. Internet menghibur kebosanan penonton. Penggemar topik konspirasi agaknya akan senang, meski tak sekomJUDUL: 3 (Alif, Lam, Mim) PRODUKSI: FAM Pictures DISTRIBUSI: Multivision Plus PRODUSER: Arie K. Untung SUTRADARA: Anggy pleks novel Da Vinci Code. Umbara PEMERAN: Cornelius Sunny, Abimana Aryasatya, Agus Pada dasarnya, film ini disebut film dakwah. Kuncoro, Prisia Nasution, Tanta Ginting, Teuku Rifnu Wikana TAHUN: 2015 DURASI: 125 Menit Terang saja, Anggy Umbara adalah salah satu yang mendukung anti liberalisme di Indonesia. SemanSutradara merangkap disk jockey band metgat dakwah dengan komodifikasi silat itu menarik al Purgatory, Anggy Umbara, mengarahkan film untuk disimak. Koreografi gerakan berkelahi itu drama laga berjudul 3 (Alif, Lam, Mim) dan dirilis dikerjakan oleh Cecep Arif Rahman, yang sempada 1 Oktober lalu. Diawali dengan perkenalan pat bermain di film The Raid. Salah satu sekuen tiga serangkai yang memiliki karakter dan cerita yang menegangkan adalah adegan Alif menghayang berbeda. Bahkan dua di antaranya memiliki bisi sebuah komplotan dengan teknik one-shoot. konflik di kemudian hari. Meski teknik editing untuk slow-fast-motion seMereka adalah: Alif (Cornelius Sunny) yang kuen ini kurang rapi. lurus dan berwatak keras, Herlam atau Lam (AbiEfek futuristik karena Indonesia berada di 20 mana Aryasatya) yang tenang dan kritis, serta tahun mendatang juga menarik. Meski semuanya Mimbo alias Mim (Agus Kuncoro) yang bermimdikonstruksi dengan teknologi animasi computpi untuk khusnul khatimah. Hingga suatu saat, er-generated imagery (CGI) yang masih sedikit camereka bertiga memilih jalannya masing-masing. cat, karena digarap oleh orang Indonesia dengan Alif menjadi aparat negara, Lam menjadi salah waktu relatif cepat. Disebutkan pengerjaan tersesatu jurnalis terbaik di jaringan media Libernesia, but dilaksanakan selama dua bulan, padahal hasil dan Mim yang berbakti kepada Pondok Pesantren maksimal baru bisa dicapai jika digarap selama se(Ponpes) Al-Ikhlas. tahun, menurut Anggy Umbara. Trailer dari MulCerita ini dilatarbelakangi dengan kaos—kektivision Plus sebagai iklan film ini memberikan keacauan, bukan kaus—yang melibatkan beberapa san bersih dari cacat-cacat efek animasi dalam film organisasi masyarakat (ormas) radikal dan mensaat ditonton di bioskop. Film ini patut diapresiasi, dorong Indonesia untuk memilih menjadi sekuler. tetapi soal perencanaan barangkali harus disusun Beberapa kebijakan dari pembatasan penggunaan lebih matang. senjata api hingga penghilangan elemen agama R. Ahmad Reiza Maulana 50
VISI • EDISI 31 • 2015
Keluarga Pengurus LPM VISI 2014/2015 mengucapkan selamat atas diwisudanya Hanna Suryadika Siahaan, S.Ikom
Audia Prita Wijaya, A.Md
Kabid Kaderisasi LPM VISI 2011/2013
Staf Sekum LPM VISI 2013/2014
Fatmadita Pangesti, S.Ikom
Rahayu Ningrum, A.Md
Kabid Litbang LPM VISI 2013/2014
Staf Kaderisasi LPM VISI 2013/2014
SEMOGA SUKSES DAN TERUS BERKARYA