Majalah VISI edisi 33

Page 1

ISSN: 1410-0517

SOLO KOTA MICE • WAJAH BARU KLEWER • AKSESIBILITAS DIFABEL

VISI

L P M V I S I . C O M • E D I S I X X X I I I • TA H U N 2 0 1 6

M UAR A PEM IKI R A N K AMPUS

Membangun untuk (Si)Apa?

VISI • EDISI 33 • 2016

1


Iklan Layanan Masyarakat ini disampaikan oleh Lembaga Pers Mahasiswa VISI

VISI • EDISI 33 • 2016

2


Pasar Baru, Harapan Baru Dua tahun berlalu usai kebakaran Pasar Klewer, perlahan tapi pasti para pedagang terdampak mulai berbenah. Selentingan kisah mengenai kebakaran yang disengaja masih didengar mereka di tengah proses renovasi dan modernisasi pasar batik terbesar se-Asia Tenggara tersebut. (Selengkapnya di hlm. 31)

Kesiapan Solo Menuju Kota MICE

Aksesibilitas Jalur Pedestrian di UNS

Meninjau Dampak Pembangunan

Sebagai kota yang dipercaya berstandar MICE, Kota Solo membutuhkan venue berkapasitas besar dan sarana yang mumpuni. Sejumlah kebijakan pun diambil Pemkot untuk mewujudkan hal tersebut. (Selengkapnya di hlm. 8)

Sejumlah permasalahan terkait aksesibilitas difabel masih ditemui di UNS. Salah satunya adalah mengenai standar jalur pedestrian yang belum memenuhi kualifikasi. (Selengkapnya di hlm. 24)

Tak dipungkiri, pesatnya pembangunan hotel di Kota Solo memiliki dampak di sejumlah aspek kehidupan. Dampak tersebut membentang dari aspek lingkungan hingga sosial. (Selengkapnya di hlm. 15)

BERITA Laporan Utama 8, 15 Spektrum 42 Sekaken 24 Laporan Khusus 31, 35 PROFIL Sosok 22 VISI Bertanya 46 INFOGRAFIS 27

OPINI Surat Pembaca 4 Editorial 4 Detak 6 Artikel Utama 20 Teropong 44 Refleksi 39 SELINGAN Podium 19 Potret 28

SASTRA Cerpen 48 Puisi 54 RESENSI Buku 51 Musik 52 Film 53

VISI • EDISI 33 • 2016

3


EDITORIAL

Apa jawaban yang terlintas ketika mendengar pertanyaan, “Dilihat dari mana kemajuan suatu daerah?� Pertanyaan yang cukup sulit untuk dijawab karena hingga saat ini belum ada lembaga yang representatif menilai dan mengevaluasi otonomi suatu kota. Tapi jika dilihat, kecepatan laju pembangunan menjadi salah satu tolok ukur dari kemajuan suatu kota. Inilah yang sedang terjadi di Kota Bengawan. Beberapa tahun terakhir, Kota Solo gencar melakukan pembangunan. Lebih spesifik, pembangunan hotel. Di sana-sini terdapat banyak hotel-hotel baru, mulai dari kelas melati hingga bintang. Hal ini menimbulkan pertanyaan untuk apa hotel-hotel itu dibangun? Rupanya hal tersebut merupakan salah satu upaya pemerintah dalam memajukan Kota Solo sebagai Kota MICE yang merupakan singkatan dari meeting (pertemuan), incentive (insentif), conference (konferensi), dan exhibition (pameran). Tidak sia-sia, Kota Solo masuk delapan besar kota MICE. Terlepas dari keberhasilan tersebut dan dari tumpang tindih kepentingan pembangunan hotel, hal positif dan negatif pun mewarnai. Hal positif tentu pendapatan daerah yang naik, sedangkan dampak negatifnya adalah terkait kualitas sumber daya manusia yang terlihat dikesampingkan. Jangan lupa jika tolok ukur kemajuan suatu kota juga mengenai percepatan kesejahteraan masyarakat itu sendiri. Jangan sampai pembangunan-pembangunan itu malah menyingkirkan pemenuhan kebutuhan pokok dan rasa aman, sebagaimana diidentifikasikan oleh Abraham Maslow yang ada pada tataran pemenuhan kebutuhan dasar dari teori kebutuhan piramidanya. Melalui edisi ini, Redaksi LPM VISI mencoba menyajikan dan membahas mengenai laju pertumbuhan hotel di Kota Solo saat ini. Dalam rubrik Laporan Utama, pembaca akan lebih mengetahui tentang Kota MICE sekaligus dampak positif dan negatifnya sesuai dengan yang kami temukan di lapangan. Tentu dalam beragam persepektif. Majalah VISI kali ini memang tidak terlepas dari kesalahan dan ketidakpuasan, tapi kami harap bisa menambah wawasan dan kepekaan. Redaksi LPM VISI SURAT PEMBACA

Bidikmisi Kurang Tepat Sasaran Penerima beasiswa bidikmisi semakin banyak. Sepertinya sekarang mahasiswa penerima bantuan bidikmisi tidak hanya mahasiswa yang kurang mampu saja. Mahasiswa yang punya mobil dan sepeda motor tiga pun nampaknya juga berhak menerima bantuan beasiswa yang katanya khusus untuk mahasiswa kurang mampu namun berprestasi ini, bahkan ada juga yang mendapat beasiswa lain. Tolong biro kemahasiswaan UNS melakukan evaluasi terhadap mahasiswa penerima beasiswa, agar nantinya beasiswa dapat tersalurkan secara efektif dan tepat sasaran. Layla Windy Puspita Sari Fakultas Hukum UNS

4

VISI • EDISI 33 • 2016

Upaya Pemkot Belum Maksimal Berbagai kebijakan pembangunan yang dilakukan Pemerintah Kota (Pemkot) Solo masih jauh dari kata memuaskan. Pembangunan untuk menanggulangi pencemaran dan pendangkalan sungai misal, masih belum jadi fokus Pemkot. Hal ini bisa dilihat dari semakin banyaknya genangan di berbagai sudut kota ketika hujan deras datang. Belum lagi keadaan taman kota yang belum maksimal sebagai daerah resapan. Taman kota hanya berfungsi sebagai penghias kota, padahal eksistensi taman berwawasan lingkungan sangatlah penting bagi Kota Solo di masa depan. Toha Assegaf Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UNS


ISSN: 1410-0517

SOLO KOTA MICE • WAJAH BARU KLEWER • AKSESIBILITAS DIFABEL

VISI

L P M V I S I . C O M • E D I S I X X X I I I • TA H U N 2 0 1 6

MUA R A PEMIK IR A N K AMPUS

Membangun untuk (Si)Apa?

PERIODE 2015/2016 PELINDUNG Prof. Dr. Ismi Dwi Astuti Nurhaeni, M.Si PEMBIMBING Sri Hastjarjo, S.Sos., Ph.D PEMIMPIN UMUM Dela Fahriana Hayuvitningtyas SEKRETARIS UMUM Salma Fenty Irlanda STAF Erna Fajar Dewanti Muthiatul Asna BENDAHARA UMUM Fourresta Pulung Prasiwi STAF Kinanthi Sri Hapsari PEMIMPIN REDAKSI Yasinta Rahmawati REDAKTUR PELAKSANA MAJALAH Arwin Setio Hutomo Iim Fathimah REDAKTUR PELAKSANA BULETIN Dita Khairunnisa Prasasti Afrisa REDAKTUR PELAKSANA PORTAL ONLINE Hernowo Prasojo Ratu Budhi Sejati REDAKTUR PELAKSANA FOTO Bima Mulya Perdana & DESAIN TERBITAN Herdanang Ahmad Fauzan

SUSUNAN REDAKSI PEMIMPIN REDAKSI Yasinta Rahmawati REDAKTUR PELAKSANA MAJALAH Arwin Setio Hutomo, Iim Fathimah REDAKTUR PELAKSANA FOTO & DESAIN TERBITAN Bima Mulya Perdana, Herdanang Ahmad Fauzan EDITOR

PEMIMPIN USAHA Aulia Mestikasari Arwin Setio Hutomo, Herdanang Ahmad Fauzan, PENGGALIAN DANA MANDIRI Hamdani Septi Iim Fathimah, Yasinta Rahmawati Anindya Aulia Widyari IKLAN Ida Nurul Huda REPORTER Ratna Widyawati Novira Kusumasturi Agung Nugroho Putro, Aulia Mestikasari, Dela Fahriana H, PRODUKSI & SIRKULASI Arienda Addis Dessi Irsanti, Desy Aryanti, Dita Khairunnisa, PEMIMPIN PENELITIAN & PENGEMBANGAN PENDUKUNG TERBITAN PEWACANAAN EKSTERNAL

Eko Hari Setyaji Wahyu Andikha Dessi Irsanti Agung Nugroho Putro Desy Aryanti

PEMIMPIN KADERISASI Bima Sandria Argasona SKILL & LEADERSHIP Anisa Candra Yulivia Iin Novena KAJIAN & DISKUSI INTERNAL Watik ANGGOTA Dwi Nurindah, Ervyan Kussuma, Farahiah Almas Madarina, Fatma Arieskadewi, Irma Santika, Maran Ayu Nilawati, M B Nur Prasetyo Aji, Kurnia Fajar Darmawan, Novi Ariyanti, Paxia Meiz Lorentz, Mahardhika Mulya Adi, Pipin Apriliani, Pitaloka Kusuma Palupi, Rhisky Rianawati, Siti Fatimah, Ulfa Laila.

LPM VISI FISIP UNS Sekretariat LPM VISI Gedung 2 Lt. 2 FISIP UNS, Jl. Ir. Sutami No. 36A Surakarta 57126

redaksi@lpmvisi.com http://www.lpmvisi.com/ @LPM_VISI lpmvisi.com

Farahiah Almas Madarina, Fourresta Pulung Prasiwi, Ida Nurul Huda, Kurnia Fajar Darmawan, Maran Ayu Nilawati, Muthi’atul Asna, Novi Ariyanti, Novira Kusumastuti, Pitaloka Kusuma Palupi, Salma Fenty Irlanda, Wahyu Andikha, Watik FOTOGRAFER Bima Mulya Perdana PENELITIAN & PENGEMBANGAN Bidang Penelitian & Pengembangan LAYOUT Herdanang Ahmad Fauzan ILUSTRASI & SAMPUL Herdanang Ahmad Fauzan IKLAN Bidang Usaha PRODUKSI & SIRKULASI Bidang Usaha

Redaksi LPM VISI menerima kritik, tulisan, dan karya lainnya ke alamat yang tersedia di atas ini. Artikel, karya sastra, maupun jenis tulisan lainnya yang telah masuk ke redaksi, menjadi hak penuh kami untuk diedit tanpa mengubah esensi. Apabila terdapat kesalahan dalam penulisan dan pengutipan pernyataan, Redaksi LPM VISI menerima hak jawab sesuai UU Pers No. 40 Th.1999 Pasal 1 Ayat 1.

VISI • EDISI 33 • 2016

5


DETAK

Kota Simulakra Herdanang Ahmad Fauzan

Redaktur Pelaksana Foto & Desain Terbitan

D

alam salah satu esai karyanya, Zen Rachmat Sugito, salah satu penulis yang saya kagumi setiap tulisannya pernah menginterpretasikan istilah simulakra sebagai suatu kondisi di mana sebuah representasi atau simbol akan sesuatu justru pada kenyataannya telah berhasil menggantikan kedudukan dari ‘sesuatu’ itu sendiri. Contoh paling lazim dari simulakra ini bisa kita temui dengan mudah ketika mengaitkan pornografi dan seks. Pornografi, sebagai representasi dari seks justru telah berhasil melampaui seks itu sendiri. Seseorang kini bahkan rela menunggu dan mengunduh konten berbau pornografi selama berjam-jam lamanya di bilik warung internet (warnet) yang pengap dan penuh nyamuk. Sampai-sampai orang tersebut lupa bahwa selama berjam-jam itu sebenarnya ia bisa saja melakukan aktivitas seksual, yang entah itu seks yang sebenarnya atau—bila sedang apes, ya—masturbasi. Interpretasi Zen terhadap simulakra ini menurut saya juga bisa digunakan untuk menggambarkan pembangunan yang terjadi di Kota Solo. Sebagaimana sebagian besar daerah kenamaan lainnya, kota yang juga terkenal akan batik Laweyan-nya ini belakangan memang sedang sibuk-sibuknya menggencarkan pembangunan. Pembangunan ini, dilakukan sebagai usaha Kota Solo untuk mewujudkan diri sebagai salah satu Kota MICE (Meeting, Incentive, Conference, Exhibition). 6

VISI • EDISI 33 • 2016

Namun, pada praktiknya Kota Solo justru ‘ketagihan’ mengindustrikan diri sembari menutup mata terhadap tujuan utamanya tersebut. Dalam hal pembangunan hotel misalnya. Jumlah pembangunan kamar hotel di Kota Solo terus menerus mengalami peningkatan. Anehnya, tingginya peningkatan jumlah pembangunan kamar-kamar hotel tersebut tidak diimbangi dengan tingkat pembangunan convention center dan ruang pertemuan yang tinggi pula. Padahal untuk memenuhi syarat agar layak disebut sebagai kota MICE, suatu daerah harus dapat meningkatkan empat unsur pariwisata yang ada—meeting, incentives, conference, exhibition—secara seimbang. Jumlah kamar hotel di Solo sendiri sebenarnya terbilang sudah berada di atas rata-rata, yakni di atas 7.000 kamar/malam. Jumlah tersebut terbilang lebih dari cukup untuk memenuhi salah satu aspek persyaratan sebagai Kota MICE. Artinya, seandainya memang benar-benar memfokuskan diri untuk mewujudkan Kota MICE, seharusnya pembangunan di Kota Solo lebih difokuskan untuk meningkatkan fasilitas-fasilitas di sektor lain. Makin miris karena kondisi di atas juga diikuti oleh fakta bahwa makin lama pembangunan hotel dan gedung-gedung megah di Kota Solo juga dibarengi dengan semakin banyaknya wahana-wahana pengimbang yang dilenyapkan. Terakhir, tentu sudah bukan ra-


Ilustrasi/ Fauzan hasia lagi kabar mengenai digusurnya taman kota untuk keperluan membangun lahan parkir yang urgensinya sangat perlu dipertanyakan. Tak hanya wahana pengimbang, bangunan-bangunan penting di Kota Solo pun juga turut tergusur oleh pembangunan gedung-gedung megah yang tak terlalu dibutuhkan. Beberapa waktu lalu, salah satu bangunan bersejarah di Kota Solo, yakni Pabrik Es Saripetojo juga mengalami nasib sial. Bangunan bernilai historis tinggi yang sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda tersebut diruntuhkan demi kepentingan pembangunan hotel dan pusat perbelanjaan yang konon belakangan menamakan diri mereka Robinson Departement Store. Keberadaan pusat perbelanjaan yang menurut saya tidak terlalu istimewa ini tak hanya berhenti sampai menggusur keberadaan bangunan bersejarah saja. Robinson Departement Store juga sukses mengusir dan menambah kesengsaraan para Pedagang Kaki Lima (PKL) yang sebelumnya hampir setiap hari rutin menggelar lapak mereka di kawasan Saripetojo. Lengkaplah sudah segala penderitaan Kota Bengawan. Sudah jatuh tertimpa tangga. Sudah sejarahnya hancur lebur terinjak oleh modernisasi, sengsara pula para rakyat kecilnya karena tergusur oleh eksistensi dan pelebaran sayap produk-produk asing yang menghiasi setiap sudut Robinson Departement Store.

Wali Kota Solo, FX Hadi Rudyatmo memang sudah mencoba melakukan sedikit upaya untuk melindungi nasib para pedagang kecil di kawasan Saripetojo. Rudy, sebagaimana yang kita tahu, telah memperingatkan pihak pengelola mall agar hanya menjual produk sejenis pakaian saja dan tidak menjual barang-barang kebutuhan pokok. Tujuannya jelas, agar para pedagang kelontong dan pedagang-pedagang kecil lain, khususnya yang bermukim di kawasan Saripetojo tidak kehilangan penghasilan utama mereka. Namun toh semua hanya tinggal menunggu waktu. Tak sedikit anak muda yang justru menyambut kedatangan gedung-gedung megah di Kota Solo dengan gegap gempita. Artinya, tak ada jaminan jika para kawula muda yang kelak bakal jadi penerus Rudy di pucuk pimpinan Kota Solo akan menerapkan kebijakan serupa terkait pelarangan penjualan kebutuhan pokok di pusat perbelanjaan. Pada akhirnya kita sebagai anak muda akan tetap dihadapkan pada dua pilihan tegas. Antara melanjutkan kenikmatan simulakra yang telah berjalan, atau membuka mata dan kembali ke tujuan awal, setidaknya lebih kritis dan selektif lagi dalam mempersepsi ihwal-ihwal pembangunan di kota tercinta.

VISI • EDISI 33 • 2016

7


LAPORAN UTAMA

Menyongsong Solo Menjadi Kota MICE Kendaraan hilir mudik melintasi ruas Jalan Slamet Riyadi, bersambung dengan suara klakson bak terompet menandai datangnya kereta Jaladara. Tampak di pinggiran jalan terdapat gang-gang mini berdempet dengan bangunan tinggi. Ramainya Solo masa kini…

8

VISI • EDISI 33 • 2016


Lalu Lintas – Suasana lalu lintas di kawasan Patung Slamet Riyadi, Jalan Slamet Riyadi, Solo. (Dok.VISI/Bima) VISI • EDISI 33 • 2016

9


D

engan luas hanya sekitar 44,4 km², Kota Solo memiliki sekitar 550 ribu bangunan di mana kepadatannya sudah melebihi ambang batas Pajak Bumi Bangunan (PBB) yang seharusnya 10 ribu per km² nya. VISI memperoleh data dari Mulyanto, salah satu dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta. Ia mengatakan bahwa sudah terjadi kepadatan dan kecenderungan pembangunan menjadi gedung-gedung tinggi, salah satunya adalah hotel. Dari sumber yang lain, yakni Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), jumlah hotel di Kota Solo sampai tahun 2015 sudah mencapai 126 hotel, yang di dalamnya termasuk hotel bintang hingga melati. Namun, jumlah tersebut belum termasuk hotel-hotel baru maupun yang sedang dalam tahap pembangunan. Di sisi lain, pembangunan-pembangunan tersebut juga perlu diakui merupakan salah satu cara untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya, salah satunya di bidang pariwisata. Terbukti Kota Solo mendapat peringkat delapan sebagai Kota MICE (Meeting, Incentive, Conference, Exhibition) berdasar survei yang dilakukan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif pada tahun 2013 lalu. MICE termasuk dalam industri pariwisata yang dapat diartikan sebagai wisata konvensi. Beberapa kota di Indonesia telah disebut sebagai Kota MICE. Untuk dikatakan sebagai Kota MICE, kota tersebut harus mempunyai tempat yang luas, yang dapat menampung sekitar 5.000 lebih orang, dan sebagai fasilitas tempat diselenggarakannya kegiatan meeting, incentive, conference, dan exhibition. Hal itu disampaikan Siti Khotimah, Kepala Seksi (Kasie) Akomodasi Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kota Solo pada VISI, Selasa (28/6). Siti menambahkan, Kota Solo sudah dikatakan sebagai Kota MICE karena sudah ada tempat untuk memfasilitasi kegiatan meeting, incentive, conference, and exhibition seperti hotel, dan gedung Graha Wisata. Hal yang sama diungkapkan oleh Kepala Badan Penanaman Modal dan Perijinan Terpadu (BPMPT) Kota Solo, Totok Amanto. “MICE itu sebetulnya untuk suatu ruang yang bisa menampung sekian ribu, sementara ini yang bisa menampung sekian ribu ada Hotel Sunan dan Hotel Paragon, lainnya belum,” jelasnya kepada VISI ke10

VISI • EDISI 33 • 2016

tika ditemui di kantornya, Rabu (29/6). Menurut Totok, pemerintah pun sudah merencanakan pembangunan hotel berskala besar agar dapat menampung 5.000 lebih orang untuk kegiatan meeting, incentive, conference and exhibition di Kota Solo bagian utara. Namun pendapat berbeda diungkapkan Mulyanto, dirinya menjelaskan bahwa Kota Solo memang sudah mewacanakan Kota MICE, tetapi untuk hotel-hotelnya sebagai tempat penyelenggaraan dirasa belum siap. “Hotel–hotel itu hanya dapat digunakan untuk satu kegiatan saja, misalnya hanya un-


Event Budaya – Pagelaran Budaya merupakan salah satu cara yang digunakan Pemerintah Kota (Pemkot) Solo untuk menarik datangnya wisatawan ke Kota Bengawan. (Dok.VISI/Bima)

tuk meeting, sedangkan untuk kegiatan yang lainnya harus pindah ke tempat lain yang layak untuk digunakan,” ungkapnya saat ditemui VISI pada Kamis (30/6).

Kesiapan Pemerintah

Sebagai kota yang dipercayai berstandar MICE, Kota Solo membutuhkan venue berkapasitas besar yang sarana dan prasarananya mampu menampung serta mencukupi kebutuhan ribuan pengunjung. Salah satu usaha Pemerintah Kota (Pemkot) Solo untuk mewujudkan hal tersebut adalah dengan membuka peluang bagi para investor yang ingin menanamkan modal.

Saat ini pembangunan yang berfokus pada hotel sedang gencar dilakukan agar MICE dapat terselenggara dengan baik. Menurut data BPMPT, jumlah hotel di Kota Solo per bulan Mei 2016 adalah sejumlah 117 hotel yang terdaftar, sedikit berbeda dengan data dari PHRI Kota Solo yang menyebutkan 126 hotel. Dari 117 hotel tersebut, hanya terdapat dua hotel yang mampu menampung pengunjung dalam jumlah ribuan untuk pelaksanaan MICE. Hal ini pun menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah Kota Solo. “Trademark-nya di Solo, tapi menginapnya di luar Solo. Itu kan pajak hotelnya masuk ke VISI • EDISI 33 • 2016

11


sana (luar Kota Solo-red), padahal aktivitasnya di Solo. Itu tantangan besar,” tutur Mulyanto. Menjawab tantangan tersebut, Pemkot Solo pun berupaya sebaik mungkin dalam menyambut para investor. Pihak BPMPT Kota Solo misalnya, telah mempermudah perizinan dengan memberlakukan sistem One Stop Service (OSS) atau pelayanan terpadu satu pintu, yaitu perizinan apapun dilakukan dan selesai melalui satu kantor. Ada peraturan-peraturan dan syarat yang harus dipenuhi selama proses penanaman modal berlangsung. Terkait dengan penanaman modal untuk 12

VISI • EDISI 33 • 2016

pembangunan hotel, hal pertama yang harus diperhatikan adalah lokasi di mana hotel tersebut akan dibangun. Setiap jengkal tanah di Kota Solo telah memiliki peruntukannya masing-masing seperti permukiman, jasa perdagangan, industri, dan pendidikan. Jika pembangunan hotel dilakukan pada lokasi yang telah diperuntukkan dan tidak mencampuri wilayah pemukiman maka diperbolehkan. “Selama yang didirikan hotel di lingkungan jasa dan perdagangan itu boleh, artinya dilanjutkan,” terang Totok. Apabila persyaratan lokasi telah sesuai dengan ketentuan BPMPT, maka langkah se-


Bangunan Baru – Tampak depan Robinson Deparement Store dan Hotel Swis-Belinn, dua gedung baru yang dibangun di kawasan eks Pabrik Es Saripetojo. (Dok. VISI/Bima)

ngunan telah terpenuhi, investor dapat melanjutkan ke tahap izin operasional bangunan. Tahap-tahap perizinan tersebut merupakan bagian dari peraturan daerah yang sekaligus dapat digunakan untuk menyeleksi para calon investor yang ingin masuk ke Kota Solo.

Dampak Sektor Ekonomi

lanjutnya yang harus dilakukan oleh investor adalah mengisi blangko. Blangko tersebut berisi Izin Pemanfaatan Ruang (IPR) dan cetak peta. Selanjutnya, pihak investor berkewajiban untuk melakukan sosialisasi terhadap masyarakat. Masyarakat yang dimaksud terlibat dalam kegiatan sosialisasi adalah warga yang terkena dampak pembangunan. Melalui sosialisasi tersebut terbentuklah dokumen lingkungan yang menampung aspirasi masyarakat setempat. Dokumen itu dipergunakan untuk mengurus Izin Menanamkan Bangunan (IMB). Baru ketika seluruh izin ba-

Berbicara tentang pembangunan tidak lepas dari dampak yang ditimbulkan, baik positif maupun negatif. Pembangunan Kota Solo sebagai kota yang layak dengan MICE pun memiliki dampak, salah satunya di bidang perekonomian. “Kalau investasi meningkat, berarti usaha berjalan. Karena meningkat, usaha berkembang,” ungkap Totok. Menanggapi hal tersebut, Mulyanto berbeda pendapat Menurutnya pemerintah masih perlu mengkaji beberapa Peraturan Daerah (Perda) yang ada. Selain itu, dia merasa wisatawan yang datang ke Kota Solo belum sepenuhnya datang untuk melakukan aktivitas wisata maupun memanfaatkan fasilitas dalam MICE yang ada. “Kesemrawutan dan kemacetan, di sini percekcokan itu akan mudah terjadi karena merasa orang Solo aslinya itu semakin terpinggirkan, nanti orang- orang yang luar akan semakin menguasai,” tambahnya. Namun jika ditinjau dari segi perekonomian, Mulyanto menilai pembangunan Kota Solo merupakan momentum yang tepat untuk peningkatan perekonomian masyarakat dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM)-nya. Potensi sebagai Kota MICE dan adanya Solo Creative City bisa dikembangkan melalui adanya cluster-cluster UMKM di Kota Solo. “Sebenarnya mengumpulkan orang–orang yang mempunyai kreasi, tidak punya modal datang ke situ, dikembangkan, hasil jadinya nanti kalau banyak bisa dijual ke luar negeri. Kalau nanti hasil kreasi bisa dipaparkan di acara di hotel ada semacam pajak yang bisa ditarik pemerintah juga,” ungkapnya.

Proyeksi Selanjutnya

Seiring dengan berlangsungnya pembangunan Kota Solo sebagai Kota MICE, masyarakat banyak menaruh harap agar hasil yang didapat memberikan dampak positif di berbagai aspek, terutama bagi masyarakat dan pihak-pihak UMKM, tanpa mengesampingkan kondisi lingkungan. VISI • EDISI 33 • 2016

13


Masih Berlangsung – Proses pembangunan Quest Hotel. Gedung yang terletak di sebelah timur Taman Satwa Jurug tersebut rencananya akan dibangun setinggi 23 lantai . (Dok. VISI/Bima)

Mulyanto memberikan dua saran, yang pertama untuk membangun rumah susun sebagai alternatif agar tanah tidak terus-menerus digunakan untuk bangunan-bangunan yang tidak berguna. Bangunan yang relatif sempit kepemilikannya bisa disatukan sehingga sisanya dapat digunakan untuk ruang terbuka hijau. Yang kedua, orang-orang yang mempunyai keterampilan diharapkan dapat dibina untuk menciptakan industri kreatif. “Letak pusat kerajinan lebih baik jadi satu tempat saja daripada terpisah-pisah. Sekarang ini kan tiap tahun ada Great Sale, seharusnya yang dipasarkan adalah barang-barang binaan tadi, bukan produk-produk yang sudah eksis,” saran Mulyanto. Siti Khotimah, berharap adanya jalinan kerjasama antarlembaga dengan stakeholder untuk menambah variasi wisata. “Kita sudah berusaha mengenalkan wisata di Kota Solo, tapi kalau stakeholder-nya tidak bergerak untuk meningkatkan sarana prasarananya dan UMKM-nya tidak memberikan diskon-diskon, ya nanti tidak ada kerjasama,” imbuhnya. “Semoga Solo dapat terus melakukan hal-hal unik, sehingga masyarakat Solo sendiri juga bangga dan sadar akan keberadaan Kota

14

VISI • EDISI 33 • 2016

Solo sebagai Kota Wisata. Mempromosikan Solo bukan hanya tugas Pemkot, tetapi juga masyarakat,” ujar Wingkan Septianing Prawesti, salah satu warga Kota Solo. Iswadi, selaku anggota dari Kelompok Usaha Budi Luhur sekaligus Ketua Paguyuban Warna Alam mengaku membutuhkan bantuan pasar (tempat berjualan) sebagai kunci utama keberlangsungan usaha mereka. Iswadi melihat adanya ketimpangan antara pengusaha ekspor dengan pengusaha kecil. Pengusaha-pengusaha besar yang sudah memiliki nama cenderung lebih memiliki kesempatan luas untuk mendapatkan pasar daripada para pengusaha kecil. Iswadi pun berharap Pemerintah berkomitmen untuk adil pada ekonomi kerakyatan dan tempat-tempat untuk rakyat kecil selalu dipertahankan. “Contohnya pasar rakyat, itu jangan sampai hilang, itu trademark kita. Kemudian industri-industri kecil ini, jangan hanya dilirik, tapi juga dibina. Kalau hanya dilirik dan dipandu saja tidak akan maju, kita bisa keteteran kalau sudah masuk ekonomi global,” pungkasnya. Dela, Farahiah, Maran


LAPORAN UTAMA

Penolakan – Sikap penolakan warga Kelurahan Purwosari terhadap pembangunan hotel di kawasan Kampung Badran tergambarkan melalui spanduk yang terpampang di kawasan Kota Barat. (Dok.VISI/Bima)

Aktor Pembangunan Wajib Perhatikan Dampak Pembangunan Pembangunan merupakan salah satu cara untuk meningkatkan taraf hidup manusia. Beberapa unsur yang terkait di antaranya adalah aspek lingkungan dan manusia sebagai aktor pembangunan. Pembangunan dalam sebuah sektor kehidupan diharapkan mampu untuk menunjang sektor lainnya, misalnya pembangunan hotel di Solo guna menunjang sektor pariwisata.

VISI • EDISI 33 • 2016

15


P

enggencaran Kota Solo sebagai Kota Wisata mampu menaikkan pendapatan daerah. Namun di sisi lain, pembangunan yang dilakukan seringkali melupakan aspek lingkungan fisik. Tak jarang pula, perhatian yang kurang akan adanya dampak yang ditimbulkan menyebabkan kesenjangan bahkan konflik sosial dalam masyarakat. Sebagai upaya untuk menghadapi pesatnya permintaan akan pembangunan hotel di Kota Solo, beragam peraturan terkait perizinan sudah diterapkan. Edy Suparmanto, staf Badan Lingkungan Hidup (BLH) Solo, yang ditemui oleh VISI Kamis (30/6) menerangkan bahwa ada beberapa syarat terkait pendirian bangunan, salah satu izin yang dikeluarkan oleh BLH yakni izin lingkungan. Kriteria untuk memperoleh izin mengacu pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan. Siti Zunairah atau yang sering disapa Yuyun, Dosen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Sebelas Maret (UNS) ini juga menjelaskan mengenai keberadaan. Analisis mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang menjadi syarat sebuah proyek pembangunan dapat dikerjakan, “Di dalam AMDAL itu juga sudah ada prediksi dampak yang akan terjadi pada proses pembangunan. Bahkan sebelum dibangun sudah ada analisisnya dulu, apalagi kalau sudah terjadi,” jelasnya. Senada dengan hal tersebut, Edy menambahkan bahwa sebenarnya ketika izin pembangunan diajukan, sudah dibahas dampak yang akan muncul. Selain itu, dibahas pula bagaimana penanggulangannya. “Untuk izin lingkungan sendiri jangka waktunya berkisar selama dua tahun,” imbuhnya. Pembangunan hotel di Kota Solo diharapkan mampu mendatangkan pendapatan bagi daerah. Jika mengacu pada swasta melalui programnya seperti Corporate Social Responsibility (CSR), pihak hotel diharapkan mampu memberikan kontribusi terhadap upaya pencapaian tujuan pembangunan. “Income bagi Kota Solo yang didapatkan melalui swasta berbanding lurus dengan kontribusi yang diberikan Pemerintah atau program-program dan kebijakan yang mampu menyejahterakan masyarakat,” ujar Yuyun. 16

VISI • EDISI 33 • 2016

Aktor dan Lingkungan

Tujuan utama pembangunan yang ditujukan untuk manusia menyebabkan prosesnya berkaitan dengan etika aktor pembangunan itu sendiri. Salah satu contohnya adalah etika orang hidup yang lebih mementingkan etika antarsesama manusia dan mengabaikan etika terhadap lingkungan. “Jadi, lingkungan itu masih dianggap sebagai sarana untuk mencapai kepentingan manusia saja,” jelas Yuyun. “Cara pandang menentukan cara dia (aktor pembangunan-red) untuk bertindak. Tindakannya kemudian ditentukan juga oleh posisi di mana ia berada,” terang Yuyun. Yuyun juga menambahkan bahwa keterkaitan antara cara pandang dan tindakan aktor pembangu-


Dampak Pembangunan – Kurangnya jumlah lahan terbuka menyebabkan banyak fasilitas umum digunakan dengan tidak semestinya. Salah satunya adalah rel kereta api yang justru digunakan warga untuk menjemur pakaian. (Dok.VISI/Bima)

nan juga akan berpengaruh pada model pembangunan yang dilaksanakan. Model pembangunan Kota Solo sebagai Kota Wisata tak hanya berlangsung pada tahun tertentu, namun juga diharapkan dapat menjadi suatu model pebangunan yang berkelanjutan. Dalam pembangunan berkelanjutan, terdapat tiga unsur yakni pertumbuhan ekonomi, keberlangsungan lingkungan hidup dan sumber daya alam, serta keberlangsungan sosial. “Jadi tiga unsur tersebut harus tetap berjalan. Selama ini, memang agak timpang karena semua orientasinya pada pertumbuhan ekonomi saja,” tegas Yuyun menambahkan. Meski demikian, di sisi lain Edy mengemukakan bahwa pembangunan bagaimanapun

juga akan tetap berpengaruh terhadap lingkungan karena pasti memanfaatkan sumber daya lingkungan, misalnya penggunaan lahan. “Setiap pembangunan akan berpengaruh pada luasan ruang terbuka hijau (RTH). Dalam izin pembangunan tersebut, tertera pengaturan berapa luasan lahan yang harus dibangun untuk bangunan dan untuk RTH,” tambahnya.

Penurunan Fungsi

Orientasi pertumbuhan ekonomi dalam menggencarkan wisata Kota Solo salah satunya dengan lebih meramaikan Kota Solo sebagai kota dagang. Solo Great Sale menjadi upaya yang dipilih untuk menjaring wisatawan. “Imbas dari hal tersebut yakni semua butuh penginapan dan akhirnya harus membangun hotel maupun inVISI • EDISI 33 • 2016

17


frastruktur pendukung lainnya,” ungkap Yuyun. “Kota-kota besar umumnya mengalami degradasi, atau penurunan fungsi. Misalnya suhu udara, bagian dari lingkungan yang mengalami penurunan fungsi,” imbuh Yuyun menerangkan dampak dari pembangunan yang hanya berorientasi pada ekonomi. Di samping itu, dampak yang lebih luas terkait degradasi lingkungan di Kota Solo yakni bencana banjir yang sering terjadi. Berkurangnya area resapan air akibat beralihnya ruang terbuka hijau menjadi gedung-gedung dan bangunan merupakan efek langsung dari pembangunan fisik. “Area resapan air yang berkurang dan sungai yang mengalami pendangakalan akibat tumpukan sampah, sehingga membuat air sungai meluap dan banjir,” terang Yuyun. Salah satu daerah di Kota Solo tepatnya Jalan Slamet Riyadi, Purwosari, Kecamatan Laweyan, yang saat ini tengah dilaksanakan pembangunan hotel baru, yaitu Harris dan Pop juga menuai keluhan dari warga setempat. “Dampak awal pembangunan hotel Harris dan Pop yakni saluran air tersumbat, sekarang sinyal televisi terganggu, buram gambarnya, apalagi kalau crane berputar. Enam bulan pertama berisik sekali, sampai malam berisik,” terang Eni (30) warga RT 1 RW 14, Puwosari. Keluhan yang sama juga dilontarkan oleh Sri Purwani (55), warga RT 3 RW 14 Purwosari. “Sempat berisik pas awal pembangunan. Selama 24 jam jedar-jeder sampai malam. Sinyal televisi terganggu, bahkan gambarnya hilang,” jelasnya. Menurut Edy, masalah tersumbatnya saluran air diduga karena adanya kelalaian dalam hal terbuangnya materi bangunan selama proses pembangunan hotel Harris dan Pop. Lebih lanjut lagi, Sri mengungkapkan bahwa untuk menanggulangi masalah air, sebuah sumur tua dijadikan sebagai alternatif yang paling memungkinkan untuk warga. Sedangkan Eni lebih memilih memperbaiki saluran airnya sendiri. Selain dampak lingkungan, warga sekitar juga mengalami dampak sosial seperti keterasingan terhadap lingkungannya sendiri. Keberadaan beberapa hotel dan mall di kawasan Purwosari, rupanya menciptakan kesenjangan sosial bagi warga sekitarnya. Bahkan Eni mengaku sungkan untuk berkunjung ke mall walaupun jaraknya tidak jauh.

18

VISI • EDISI 33 • 2016

Meskipun demikian, Eni yang memiliki warung makan di sekitar area pembangunan pun juga merasa diuntungkan. “Ya cukup menguntungkan, dagangan saya tambah laku. Misalnya saja saat jam istirahat pegawai proyek hotel,” ujar Eni menceritakan dagangannya yang laris lantaran dibeli para pegawai proyek hotel.

Perlu Kerja Sama

Dalam upaya penanggulangan dampak pembangunan, sudah diatur ketika pengajuan perizinan terkait lingkungan. Edy selaku staf BLH mengungkapkan bahwa dalam proses pembangunan seringkali lingkungan fisik kurang terpantau secara detail. Oleh sebab itu, warga dapat mengadukan segala macam keluhan terkait dampak lingkungan kepada BLH Kota Solo, untuk kemudian dapat ditanggulangi. Penanggulangan dampak sebenarnya dapat diselesaikan oleh pihak-pihak yang memiliki kepentingan dalam pembangunan. Misalnya dalam kasus pembangunan hotel Harris dan Pop di Purwosari ditanggulangi dengan adanya kerja sama antara warga dan pihak hotel. “Pas televisi rusak sempat banyak yang protes kepada keamanan setempat, ya mungkin disampaikan kepada pihak hotel. Terus dipinjami parabola ini,” terang Sri sambil memperlihatkan parabola kepada VISI Kamis (16/6). Lebih lanjut Sri mengungkapkan bahwa jangka waktu pinjaman parabola yakni selama dua tahun atau selama pembangunan berlangsung. Keputusan terkait lanjut tidaknya pemasangan parabola setelah proses pembangunan berakhir diserahkan kepada warga. Akan tetapi, jika diteruskan warga tidak lagi mendapatkan secara cuma-cuma, melainkan harus membayar pajak sendiri. Sesuai dengan konteks penanggulangan, adanya kerja sama dan komunikasi merupakan dasar bagi keberhasilan suatu pembangunan. “Pembangunan tidak hanya bicara tentang fisik, tapi juga manusia. Pembangunan secara fisik, pada dasarnya pun ditujukan untuk manusia, sehingga pembangunan yang mencederai atau menyengsarakan manusia, maka pembangunan itu gagal,” ungkap Yuyun di akhir wawancara. Muthi, Novira, Ida


PODIUM

BABIFACE

hafauzzan

VISI • EDISI 33 • 2016

19


ARTIKEL UTAMA

Sinergi Stakeholders untuk SDGs Kota Solo

Oleh: Rahesli Humsona Dosen Program Studi Sosiologi FISIP Universitas Sebelas Maret

I

ndonesia merupakan salah satu dari sekurangnya 193 negara yang turut mengesahkan agenda Sustainable Development Goals (SDGs) sebagai kesepakatan pembangunan global pada 25 September 2015 di New York, Amerika Serikat. SDGs berisi seperangkat tujuan transformatif yang disepakati dan berlaku bagi seluruh bangsa tanpa terkecuali. SDGs 2015-2030 secara resmi menggantikan Millennium Development Goals (MDGs) 2000-2015. Untuk mewujudkan SDGs, Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki peran sangat strategis, mengingat adanya kenyataan bahwa sejak pemberlakuan desentralisasi di Indonesia, dua pertiga nasib dan kualitas hidup warga, dalam praktiknya sangat ditentukan oleh baik-buruknya kinerja Pemda. Beberapa daerah yang berhasil dalam soal-soal publik seperti kebersihan lingkungan, pengelolaan sampah, hingga kualitas sekolah dan pelayanan kesehatan, ditentukan oleh mutu pelayanan publik dari pemerintah di daerahnya (Infid, 2015). Namun Pemda tidak lagi bisa dominan. Dengan menggunakan paradigma governance, berarti aktor pemerintah harus bisa bersinergi dengan kalangan bisnis dan masyarakat untuk menjalankan tugas dan fungsinya. Masalah publik semakin kompleks dan mengglobal. Masalah seperti ekonomi, kemiskinan, trafficking, virus penyakit, narkoba dan terorisme semakin pelik, sehingga aktor pemerintah tidak bisa lagi berperan sendirian. Dengan anggaran negara yang terbatas, sementara program-program pembangunan harus tetap jalan, maka sinergi perlu dibangun dengan kalangan bisnis melalui corporate social responsibility (CSR) dan dengan masyarakat melalui pemberdayaan. Ada beberapa kota, kabupaten atau provinsi di Indonesia yang telah berhasil dalam program aksinya. Misalnya Kulon Progo (mengentaskan kemiskinan), Wonosobo (harmoni dan persa20

VISI • EDISI 33 • 2016

maan perlakuan), Takalar (memerangi angka kematian ibu), Surabaya (mengelola sampah kota), dan DKI Jakarta (kartu untuk sehat). Di sini kepala daerahnya mampu bersinergi dengan kalangan bisnis dan masyarakat. Namun secara umum di berbagai daerah di Indonesia, tingginya angka kemiskinan dan masalah kesehatan masih belum berhasil diatasi. Program aksi di Kota Solo juga belum berhasil mengurangi angka kemiskinan, angka kematian ibu serta pencegahan dan pengendalian HIV/AIDS yang menjadi target pencapaian MDGs pada tahun 2015. Untuk mewujudkan SDGs 2030 di Kota Solo, maka perlu strategi yang tepat agar kegagalan seperti MDGs tidak terulang. Panduan SDGs (Infid, 2015) menyebutkan beberapa poin penting yang harus dilakukan dan dapat menjadi acuan bagi Kota Solo. Hal yang pertama kali harus diperhatikan adalah mengenai rencana aksi (Renaksi) SDGs yang meliputi keadilan substantif dan keadilan prosedural. Untuk mencapai keadilan substantif maka prioritas dan program ditujukan untuk menjawab kebutuhan warga sebagaimana ditetapkan oleh dokumen SDGs dengan 17 tujuan dan 169 Sasaran SDGs. Sedang untuk mencapai keadilan prosedural, warga dan para pemangku kepentingan harus dilibatkan dalam penyusunan Renaksi, bukan hanya tokoh masyarakat dan mereka yang berpengaruh. Dokumen Renaksi SDGs perlu disusun secara terbuka, konsultatif dan partisipatif, termasuk melibatkan kaum perempuan, kelompok minoritas, dan kaum marjinal. Renaksi SDGs harus menjadi prioritas dalam pelaksanaan SDGs yang sesuai dengan kebutuhan dan keadaan Kota Solo. Prioritas ini kemudian harus menjadi rencana kerja pemerintah kota setiap tahun. Prioritas tersebut dapat dibagi ke dalam dua rencana besar, yaitu fokus


dan diarusutamakan ke dalam seluruh kebijakan dan program Pemda. Fokus menurunkan angka kemiskinan, angka kematian ibu, serta pencegahan dan pengendalian HIV/AIDS, dan pengarusutamaan kebijakan yang non-diskriminasi untuk semua bidang. Jika dokumen Renaksi telah selesai disusun, dokumen ini perlu dibuka dan terbuka kepada publik agar dapat dipantau kemajuan, capaian, serta kendala-kendalanya. Untuk memastikan bahwa Renaksi SDGs berjalan dengan tepat, realistis dan dapat diwujudkan dengan baik, kehadiran panitia bersama yang pastisipatif dan inklusif sangat diperlukan. Pemerintah Kota (Pemkot) Solo perlu membentuk Panitia SDGs yang inklusi dan partisipatif. Selain melibatkan unsur pemerintah, kepanitiaan SDGs juga harus melibatkan kelompok-kelompok masyarakat sipil dan stakeholders lainnya, termasuk keterwakilan politik dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Panitia bersama ini diharapkan dapat membentuk satu sekretariat bersama. Sekretariat bersama SDGs ini nantinya bertugas mengerjakan beberapa hal teknis yang sangat diperlukan mulai dari penyusunan Renaksi, sosialisasi-diseminasi informasi, hingga pengawasan pelaksanaan. Lebih lanjut, sebagai upaya untuk mendukung Renaksi dan kepanitiaan yang dibentuk, pemerintah Kota Solo perlu menyiapkan kelembagaan yang dibutuhkna, serta pemantauan Renaksi SDGs daerah. Bappeda dapat menjadi leading agency dengan pertimbangan wewenang, peranan, dan keahliannya dalam perencanaan pembangunan. Untuk mendukung seluruh langkah dan kegiatan Panitia SDGs, perlu disiapkan peraturan daerah (Perda). Proses menghasilkan Perda akan menjadi bukti nyata komitmen politik para pemimpin dan kepala daerah atas SDGs. Di sinilah komitmen dibutuhkan melalui kerja sama antara kepala daerah dan DPRD agar tercipta sinergi kepemimpinan yang baik dari sisi eksekutif ataupun legislatif. Isi Perda setidaknya terdiri dari empat hal utama, yaitu rencana Aksi SDGs, fokus rencana aksi, pelaksana dan panitia SDGs, serta pelaksanaan monitoring dan evaluasi SDGs. Pemkot Solo wajib menyatakan keputusan tentang anggaran untuk mencapai target SDGs di daerahnya. Untuk pendanaan secara umum dapat dibagi ke dalam dua sumber, yaitu APBD dan non-APBD (bantuan dari berbagai pihak

seperti lembaga donor, LSM, dan perusahaan yang dapat memperkuat pembiayaan SDGs di Kota Solo). Meski begitu, ketersediaan dana bukanlah faktor yang menentukan pelaksanaan SDGs, melainkan komitmen politik dari Pemkot itu sendiri. Komitmen tersebut dapat ditunjukkan melalui rencana pendanaan berupa tambahan anggaran atau realokasi pada bidang-bidang yang memang menjadi prioritas. Agar semua stakeholders memahami dan ikut serta dalam mengawasi dan menilai pelaksanaan SDGs, maka perlu ditekankan penetapan indikator capaian lokal dan produksi data-data yang relevan. Salah satu contoh yang dapat diuji coba dan dilakukan, di antaranya audit sosial secara rutin dilakukan setiap enam bulan atau satu tahun, pemerintah melaksanakan audit sosial terhadap pelayanan publik dan/atau program Pemkot Solo. Panitia SDGs perlu menyusun laporan tahunan atas dasar data yang valid dan bersumber pada data yang lebih beragam termasuk dari BPS dan kelompok-kelompok masyarakat sipil serta stakeholders lainnya. Dan yang terakhir, demi menjamin pelaksanaan SDGs di Kota Solo sesuai acuan, sosialisasi dan diseminasi wajib dilakukan. Sosialisasi perlu dilakukan oleh Pemkot secara internal kepada seluruh jajaran dan juga kepada masyarakat sebagai terdampak langsung dari adanya rencana SDGs ini. Sosialisasi dapat dilakukan melalui forum-forum tatap muka (offline) ataupun menggunakan dan memanfaatkan teknologi informasi, melalui website dan media sosial. Selain pemaparan di atas, kunci utama dari kesuksesan pelaksanaan SDGs adalah eksistensi pemimpin dalam menahkodai haluan Kota Solo. Walikota Solo harus mampu menjadi pemimpin yang bukan saja transaksional namun juga pemimpin yang transformatif. Berbeda dengan pemimpin transaksional yang memberikan upah sebagai motivasi dalam dunia kerja, pemimpin transformatif mampu memberikan mampu memberikan pertimbangan yang bersifat individual, stimulasi intelektual, dan memiliki karisma. Walikota yang transformatif akan memberikan inspirasi, mempunyai visi yang jelas, serta cara dan energi yang baik untuk mencapai tujuan yang besar. Walikota transformatif mampu bersinergi dengan stakeholders di Kota Solo dalam mewujudkan SDGs 2030.

VISI • EDISI 33 • 2016

21


SOSOK

Budi Prajitno,

Berkontribusi dengan Aksi

Dok. Pribadi

Komunitas menjadi wadah yang efektif bagi berkumpulnya orang-orang dengan tujuan yang sama. Di Kota Solo sendiri terdapat lebih dari 50 komunitas. Mereka berdiri atas dasar dan tujuan yang berbeda-beda. Entah untuk sekedar berkumpul lantaran memilki hobi yang sama atau memilki kepedulian terhadap lingkungan sekitar mereka.

B

udi Prajitno adalah satu dari sekian banyak orang yang menyalurkan ide melalui komunitas. Tak hanya satu, berbagai komunitas pun ia jajaki. Sebut saja Tangan di Atas (TDA), Solo Berkebun, Akademi Berbagi, dan Earth Hour Solo yang menjadi tempatnya berkumpul bersama dengan pengide lainnya. Seolah belum puas dengan komunitas-komunitas tersebut, ia pun menerjunkan diri pada komunitas perkotaan. Relawan #KotaSolo, Forum Kota, dan Solo Creative City Network (SCCN) menjadi penambah daftar komunitas yang diikutinya. Tak hanya menyalurkan ide, kepedulian Budi, demikian ia sering disapa, turut mendorongnya terjun ke komunitas peduli lingkungan Kota Solo tersebut. “Saya aslinya bukan Solo, tapi Jakarta. Setelah menikah dan menjadi warga Solo, wajar dong, jika ingin men-

22

VISI • EDISI 33 • 2016

jadikan Kota Solo lebih baik. Karena saya berpikir, nanti anak-anak saya yang akan menikmati ini,� kisahnya saat ditanyai VISI motivasi bergabung dengan kelompok perkotaan, Jumat (26/8).

Kontribusi Komunitas

Tidak ada agenda atau kegiatan rutin yang dilakukan oleh perkumpulan peduli Kota Solo yang Budi ikuti. Semua mengalir melalui perbincangan akrab dan diskusi yang menelurkan kritik, usulan dan ulasan terkait pembangunan di Kota Bengawan ini. Sejumlah solusi pun diakui Budi berhasil dihasilkan yang kemudian disampaikan kepada Pemerintah Kota (Pemkot) Solo. Masalah diterima atau tidak adalah urusan belakangan, yang terpenting adalah usaha untuk berkontribusi, demikian ceritanya. Dari berbagai komunitas yang diikuti oleh


Budi, lelaki berlatarbelakang arsitek ini mengaku bahwa selain melalui diskusi atau speech act, aksi yang mereka lakukan sebagai wujud kepedulian terhadap Kota Solo pun diwujudkan melalui aksi nyata. Salah satunya adalah Relawan #KotaSolo. Komunitas yang satu ini lebih menyibukkan diri untuk perubahan nyata. Pasar Kembang, atau sering disebut Pakem, merupakan salah satu tempat hasil aksi nyata mereka. Berawal dari program revitalisasi pasar oleh Pemkot yang menurut Budi dan rekan-rekan lebih mengedepankan pembangunan fisik. Beberapa pasar dibangun bertingkat dan menjadi lebih ‘indah’, namun secara fungsi tidak dimanfaatkan secara maksimal. Kebanyakan lantai dua pada pasar-pasar tersebut sepi dan tidak digunakan, termasuk di Pakem. “Kita lihat tempatnya bagus, strategis. Tapi kurang dioptimalkan. Seharusnya ada langkah berikutnya untuk menghidupkan,” terang Budi. Kemudian ia bersama dengan Relawan #KotaSolo membuat sebuah konsep baru guna menghidupkan Pakem. Pakem lantai dua yang mulanya hanya ruang kosong tanpa pedagang kini disulap menjadi tempat nongkrong rasa kekinian. Panggung pentas mini dan dekorasi buatan tangan yang unik menghiasi sudut-sudut ruang. Tak lupa sejumlah lukisan karya seniman lokal dan juga foto-foto berukuran besar menambah nilai estetis tempat ini. Pakem saat ini tak hanya menjadi pasar tempat jual beli kembang, namun juga menjadi saksi ide dan seni yang tersalurkan. Tak terhenti sampai pada Pakem saja, Budi dan relawan lainnya juga menunjukkan aksi nyata lain melalui pengusulan optimalisasi Tugu Pemandengan di depan Balai Kota Solo yang kurang rapi dengan sulur-sulur tanaman yang menghiasi. Kini Tugu Pemandengan yang lebih tertata menjadi salah satu branding Kota Solo. Selain itu, pembaca tentu tidak asing dengan tiang penunjuk jalan yang berada di depan kantor Bank Indonesia dan kerap menjadi tempat berfoto masyarakat Solo dan turis, keberadaan tiang tersebut pun tak lepas dari inisiasi Relawan #KotaSolo.

Kritik Pembangunan

Menanggapi tren pembangunan Kota Solo saat ini, Budi mengaku bahwa sejatinya pembangunan sudah dilaksanakan bahkan sejak

pemimpin-pemimpin Kota Solo terdahulu. Yang membedakan hanyalah proyeksi pembangunan dan tentunya keberlangsungan yang tak selamanya mulus sesuai rencana. Menurutnya pembangunan di bawah kepemimpinan Walikota F. X Hadi Rudyatmo jika dibandingkan dengan Walikota Joko Widodo jelas memiliki perbedaan. Dirinya mengungkapkan bahwa di zaman Joko Widodo, misi untuk membawa Solo ‘keluar’ memang sangat terasa. Kala itu, selalu ada sesuatu yang baru, seperti wisata, pembangunan, kreativitas, dan lain sebagainya guna mendongkrak nama Kota Solo. Hal ini bisa dilihat dari penyelenggaraan event dengan mengundang tamu dari luar. Menurutnya banyaknya pembangunan hotel pun menjadi salah satu dampak dari misi tersebut. Namun perubahan kota yang cepat akan menjadi mengkhawatirkan jika tidak ada kesiapan dari masyarakat. Budi juga menyayangkan jika pembangunan yang dilakukan tidak dibarengi dengan pemeliharaan fisik mengingat konsep keberlanjutan yang seharusnya menjadi acuan. Lain Joko Widodo, lain pula dengan Walikota saat ini. F. X. Hadi Rudyatmo yang membawa misi 3 WMP—waras, wasis, wareg, mapan, dan papan—ini terlihat lebih mengedepankan kesejahteraan masyarakat Kota Solo itu sendiri. Seperti membangun rumah untuk rakyat, memperbaiki jalan, dan menggratiskan event. “Bukan berarti salah satu lebih baik. Hanya saja masing-masing memiliki fokus yang berbeda,” ungkapnya mengutarakan pendapat. Terlepas dari gaya pembangunan kedua pemimpin yang cukup berbeda, Budi menilai bahwa terdapat krisis yang cukup memprihatinkan. Menurutnya, pemerintah kurang menganggap penting isu lingkungan. Pembangunan terus dilaksanakan di atas penebangan pohon-pohon di samping kian kerasnya teriakan global warming dan go green. Dirinya berharap ke depannya pemerintah bisa lebih memperhatikan isu lingkungan. “Kesejahteraan sebuah kota dilihat dari tiga poin utama, yakni ekonomi, sosial, dan lingkungan yang baik,” jelasnya mengenai harapannya untuk Kota Solo. Dita Khairunnisa

VISI • EDISI 33 • 2016

23


SEKAKEN

Meninjau Jalur Pedestrian Ramah Difabel UNS Sempat menyabet penghargaan Pendidikan Inklusif dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) di tahun 2012, Universitas Sebelas Maret (UNS) terus berusaha berbenah diri dalam menyediakan aksesibilitas bagi penyandang difabel. Salah satu wujud komitmen untuk mendukung pendidikan inklusif tersebut dilakukan dengan menghadirkan jalur pedestrian atau yang biasa disebut jogging track oleh mahasiswa UNS.

Jalur Pedestrian – Salah satu akses jalan yang terletak di samping Gereja Kampus Universitas Sebelas Maret. (Dok.VISI/Bima)

24

VISI • EDISI 33 • 2016


Saat ditanyai oleh VISI Senin (27/6) mengenai aksesibilitas bagi penyandang difabel di area kampus, Subagya selaku Kepala Pusat Studi Difabel Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (PSD LPPM) merasa bahwa UNS sendiri perlu diapresiasi karena sudah ada niat baik untuk menangani teman-teman penyandang difabel. “Niat baiknya sudah ada, Pak Rektor sendiri sudah memerintahkan saya untuk memetakan, tak hanya pedestrian tapi juga gedung-gedung lain yang kurang aksesibilitas,” ungkapnya. Namun saat disinggung perihal aksesibilitas pedestrian, ia mengaku keadaannya masih belum sesuai standar yang ada, hal ini karena kurang adanya komunikasi yang baik antara pemangku kebijakan dengan pemborong. Subagya menuturkan, “Area pedestrian sendiri kan sebenarnya niatnya juga untuk teman-teman berkebutuhan khusus, namun di tengah pembangunan tidak ada monitoring sehingga menjadi tidak sesuai.” Subagya juga menambahkan bahwa dalam proses penggarapan, pemborong pun seharusnya mengacu pada Surat Keputusan Menteri yang berkaitan dengan difabel. Dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) ini juga menceritakan perihal pengujian yang dilakukan oleh pengguna kursi roda dan tunanetra usai pembangunan dirampungkan, mereka berpendapat area pedestrian belum memenuhi ketentuan yang ada. “Pada bulan Desember tahun lalu sebenarnya telah dilakukan uji coba bagi pengguna kursi roda dan tunanetra. Diawali dari masjid Nurul Huda sampai rektorat. Menurut penguji, pedestrian masih perlu diperbaiki karena dianggap terlalu tinggi dan dirasa berbahaya,” ulas Subagya. Berdasarkan keterangan Subagya, ramp (jalur landai untuk kursi roda) di UNS masih sangat sempit, sehingga kursi roda tidak bisa lewat. Pemborong tidak tahu kalo itu untuk kursi roda. Selain itu, kemiringan ramp yang kurang dari 20%, dirasa terlalu curam dan tentu sangat berbahaya. Ditambah lagi, tidak adanya pagar kanan kiri untuk pegangan bagi penyandang tunadaksa ketika menyusuri turut mempersulit aksesibilitas. Terkait dengan anggaran yang dikeluarkan untuk pembangunan aksesibilitas di area pedestrian, Subagya tak mempersoalkannya, karena

pembuatan ramp dan guiding block tak perlu tambahan anggaran dalam jumlah yang besar. “Ya kalo untuk tunadaksa, pemberian ram di jalan-jalan sangat membantu. Begitupun untuk tunanetra, dengan adanya guiding block atau paving penunjuk bagi tunanetra itu sangat membantu. Toh itu tidak tambah banyak biaya kok,” tegas Subagya.

Subagya dalam sesi wawancara dengan VISI. (Dok.VISI/Agung)

Hal serupa juga diungkapkan oleh salah satu anggota tim Pengendalian Penataan Pemanfaatan Lahan dan Bangunan (P3LB) UNS, Rizon Pamardhi Utomo, saat dijumpai VISI pada Senin (27/6) Rizon menilai penerapan standar pembagunan yang layak bagi penyandang difabel masih sangat minim. “Di lapangan harusnya bukan hanya tukang, tapi juga melibatkan orang teknik. Standar pembangunan yang layak sudah ada dan mestinya selalu jadi pegangan para insinyur, sayangnya pada waktu pelaksanaan nampaknya ada yang terlewatkan jadi tidak merujuk ke sana. Singkatnya, ada praktik yang tidak merujuk pada peraturan,” jelas Rizon. Dosen Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik UNS ini menerangkan mengenai pembangunan aksesibilitas dilakukan secara bertahap, targetnya di tahun 2019 UNS dapat memenuhi aksesibilitas hingga 40%. “Berdasarkan Rencana Strategis (Renstra), target aksesibilitas gedung untuk difabel tahun 2016 memang belum 100%. Tahun ini, UNS sendiri menargetkan 30% fasilitas sudah layak difabel. Untuk tahun 2019 target kami 40% layak, baik gedung maupun fasilitas penunjang lain,” ungkap Rizon. Rizon juga mengeluhkan perihal pembangunan fasilitas yang acap kali tanpa melalui evaluasi, hal inilah yang membuat fasilitas terutama aksesibilitas tidak sesuai dengan standar. Ideal-

VISI • EDISI 33 • 2016

25


Kurang Memadai – Jalur pedestrian di kawasan FKIP Universitas Sebelas Maret yang belum dilengkapi fasilitas ramp. (Dok.VISI/Bima)

nya, setelah pembangunan diadakan evaluasi, tapi karena alasan waktu yang cukup mepet, banyak aksesibilitas bagi difabel yang langsung dipakai tanpa ada uji coba kelayakan

Butuh Pendamping Khusus

Misbahul Arifin, salah seorang mahasiswa penyandang tunanetra mengaku masih menemui hambatan saat melintasi area pedestrian, keadaan area pedestrian dirasa belum nyaman olehnya. “Masih banyak pohon sama kabel yang melintang di tengah jalan, selain itu tanda bagi tunanetra juga kurang (guiding block–red),” terang mahasiswa Program Studi Pendidikan Luar Biasa (PLB) tersebut. Masih minimnya aksesibilitas bagi difabel di area UNS, khususnya area pedestrian membuat Misbah sebagai penyandang tunanetra merasa perlu adanya pendamping khusus saat berada di area kampus yang bisa mengarahkan dan menunjukkan jalan saat dia hendak berkunjung ke area kampus yang lain. Namun gagasan ini tak diamini oleh Subagya, ia menganggap hal tersebut justru akan mengakibatkan ketergantungan bagi difabel. 26

VISI • EDISI 33 • 2016

“Arahnya adalah kemandirian, kalau didampingi terus-menerus itu tidak mungkin. Oleh karena itu, fasilitas penunjang difabel yang memungkinkan berjalan tanpa pendamping perlu ditingkatkan dan diperbaiki,” terangnya. Menurut Subagya bila aksesibilitas sudah menyeluruh dilakukan, arah kemandirian akan terwujud, karena menurutnya pola pikir SDM di UNS terhadap kaum difabel sudah cukup bagus, tinggal menggerakkan fasilitas penunjang difabel secara bertahap. “Mindset teman-teman itu sudah bagus, padahal mindset itu yang paling sulit, kalo mindset belum berubah, perilaku pun belum berubah, sejauh ini, perbaikan aksesibilitas tahap demi tahap dilakukan dengan cukup baik,” tuturnya. Selain area pedestrian, Subagya menambahkan perbaikan yang lain seperti tempat parkir untuk kursi roda, toilet dan kelas khusus bagi tunadaksa, juga sudut baca khusus yang berisi perpustakaan digital dengan komputer dengan software khusus bagi tunanetra perlu diadakan. Agung, Salma


INFOGRAFIS

STANDAR AKSESIBILITAS PEDESTRIAN BAGI DIFABEL

SUMBER DATA

1. Keputusan Menteri Pekerjaan Umum Republik Indonesia Nomor 468/KPTS/1998 tentang Persyaratan Teknis Aksebilitas pada Bangunan Umum dan Lingkungan VISI • EDISI 33 • 2016 2. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 03/PRT/M/2014 tentang Pedoman Perencanaan, Penyediaan, dan Pemanfaatan Prasarana dan Sarana Jaringan Pejalan Kaki di Kawasan Perkotaan 3. Data olahan Litbang VISI.

27


POTRET

Mengintip Pembangunan Jalan Tol Solo-Kertosono

Jalan Tol Solo-Kertosono merupakan salah satu dari 47 pembangunan jalan tol proyek strategis nasional. Jalan tol dengan panjang total 180 kilometer ini sesungguhnya bukan proyek baru. Proses pembangunannya memiliki sejarah panjang hingga sempat mangkrak selama beberapa tahun. Permasalahan pihak investor dan masih ditemuinya kendala pembebasan lahan menjadi sejumlah alasan mengapa proses pembangunannya terkesan sangat lamban dan tak kunjung usai. Barulah di tahun 2015, ketika pemerintah akhirnya memutuskan untuk mengambil alih proyek ini, perlahan tapi pasti beton-beton peyangga jalan mulai dipancang. Semua elemen pembangunan kembali bergerak, pun investor yang juga berbenah. Gesitnya pembangunan dalam kurun waktu setahun belakangan pun membuahkan hasil. Sejumlah ruas jalan Tol Solo-Kertosono akhirnya bisa dilalui kendaaran yang penat berlama-lama menunggu di jalanan utama.

28

VISI • EDISI 33 • 2016


Foto-foto: Bima Mulya Perdana

Teks: Iim Fathimah

VISI • EDISI 33 • 2016

29


AYUSARI BATIK & HIJAB www.tokopedia.com/ayu-sari-batik

30

VISI • EDISI 33 • 2016


LAPORAN KHUSUS

Pasar Sementara – Kawasan Alun-Alun Utara Keraton Surakarta yang sekarang dialihfungsikan sebagai Pasar Klewer sementara. (Dok.VISI/Bima)

Pasar Baru, Harapan Baru Sabtu malam 27 Desember 2014, bisa jadi hari yang tak terlupakan bagi beberapa pedagang Pasar Klewer. Malam itu, seputaran Keraton Kasunanan Surakarta macet penuh kendaraan. Seluruh perhatian ditujukan pada Sekaten sehingga penjagaan di Pasar Klewer melemah. Tidak ada yang menduga di tengah keramaian waktu itu akan terjadi sebuah bencana. Acara yang semula dipenuhi sukacita berubah menjadi dukacita. Kobaran api tiba-tiba saja terlihat di salah satu titik, meninggi di udara, menyebar menghanguskan Pasar Klewer tempat mata pencarian ribuan pedagang. Jerit tangis mengiringi kobaran api yang membara.

VISI • EDISI 33 • 2016

31


Sepenggal Cerita dari Klewer

M

alam itu, Agus (68) salah satu pedagang wanita di Pasar Klewer ditelepon anaknya. Saat itu Agus sedang njagong di Bekonang. Anaknya mengabari Pasar Klewer telah terbakar. Maghrib itu juga, keluarga Agus langsung menuju ke lokasi dengan sepeda motor. Perasaannya tak karuan. Sesampainya di sana listrik telah padam, yang ada hanyalah kobaran api yang semakin membesar. Ia melihat beberapa orang berpakaian serba hitam dan mengenakan penutup kepala yang membuat mereka nampak seperti perampok sedang berjaga. Yang ia tahu petugas itu bukan penjaga Pasar Klewer seperti biasanya. Panik, pedagang mencoba menyelamatkan barang dagangan namun dihalang-halangi oleh penjaga tersebut. Sebagian pedagang nekat menerobos penjagaan orang-orang serba hitam itu. Mereka baru mengambil dua tiga ikat barang sebisanya ketika pintu ditutup kemudian. Pedagang yang nekat masuk tidak bisa keluar. “Kami pemilik kios berusaha masuk tapi begitu mau keluar ndak boleh, pintu ditutup padahal banyak orang di dalam, pintu malah ditutup berarti kan kita mau dibakar hidup-hidup. Akhirnya kita bisa keluar sampai badan gemetaran,” ujar Agus. Ketika bantuan akhirnya datang, petugas pemadam tidak bekerja optimal, yang terlihat hanyalah kesibukan mereka memperbaiki selang air karena tidak dapat berfungsi baik. Hanya sedikit pasokan air tersedia. Hasilnya nihil, kobaran api semakin membesar. Polisi di sekitar lokasi juga tidak dapat diharapkan untuk berbuat banyak. Walikota Solo pun sempat datang untuk melihat keadaan, namun seperti yang lainnya, ia hanya dapat memerintahkan bawahannya segera melakukan tindakan. Syok mendapati hartanya ludes menjadi abu, tak sedikit pedagang yang mengalami stres. “Ada yang sampai meninggal tapi meninggalnya 32

VISI • EDISI 33 • 2016

sudah sampai di luar, mungkin kan karena tensinya tinggi, dia sudah naik mobil terus meninggal, terus ada juga yang di rumah sakit harus opname,” ungkapnya sambil bersyukur bahwa dia tidak sampai seperti pedagang yang lain. Ia yakin bahwa semua ini akan diganti oleh Tuhan Yang Maha Kuasa dengan jalan yang lain. Ada juga War (60), karyawan pedagang di Pasar Klewer yang menuturkan pengalamannya. Ia mengatakan beberapa pedagang memang sempat menyelamatkan barang dagangan tapi kebanyakan terlambat mengetahui adanya kebakaran seperti dirinya. Beberapa stok dagangan yang masih berupa barang hutangan yang sengaja ditinggal di kios pun tak terselamatkan. Bahkan uang hasil penjualan yang ditinggalkan di sana juga ikut terbakar. War tidak memungkiri bahwa


Suasana Pasar – Suasana kegiatan perdagangan di dalam Pasar Klewer Sementara. (Dok.VISI/Bima)

juragannya masih punya hutang sampai sekarang. Sang juragan pun harus mencari dana lain agar bisa tetap berjualan.

Simpang Siur

Kebakaran yang terjadi kurang lebih 12 jam itu menggoreskan luka di hati Agus, pasalnya setelah itu ada simpang siur soal sebab kebakaran. Meski tak ada yang bisa memastikan kebakaran terjadi karena disengaja atau memang terbakar, tetapi kecurigaan timbul karena terdapat sejumlah kejanggalan. Agus menjelaskan, “Jam sebelas malam tempat saya kios B masih aman, lha yang kios C sudah padam. Kios B mau diantisipasi biar nggak kebakar, tapi begitu kios B disiram air malah bullll.....nyala api. Anehnya, sesudah pasar barat gapura terbakar, ternyata yang timur gapura ti-

dak terbakar,” katanya heran. Sebagian pedagang menduga Pasar Klewer memang sengaja dibakar oleh pihak tertentu berkaitan dengan isu perbaikan pasar yang sempat beredar. Sebelumnya beberapa pedagang, terutama di bagian barat pasar menolak perbaikan Pasar Klewer yang direncanakan oleh Pemerintah Kota (Pemkot) untuk memenuhi permintaan beberapa pedagang yang menginginkan agar pasar diperbaiki. Akan tetapi Sholahuddin, pegawai Hubungan Masyarakat (Humas) Himpunan Pedagang Pasar Klewer (HPPK) yang ditemui di kediamannya pada Jumat (10/6) menampik isu tersebut, ia mengatakan bahwa kebakaran itu murni korsleting listrik. Walaupun terdapat beberapa kejanggalan Agus tak mau berprasangka buruk. Ia VISI • EDISI 33 • 2016

33


tak mau menyalahkan siapa pun dalam kejadian ini. Ia menganggap bahwa kejadian ini sudah merupakan kehendak Sang Maha Kuasa.

Mulai Bangkit

Tak berlama-lama berdiam dalam duka, beberapa pedagang mulai mencoba berjualan seadanya dengan mobil keliling atau berpindah-pindah lapak di depan Masjid Agung Surakarta. Ada juga pedagang yang mengambil tawaran Keraton Surakarta untuk menyewa kios di pagelaran dengan biaya yang tidak sedikit. Begitu pula dengan Agus, ia menjual perhiasannya sebagai modal. Tak ada pilihan lain karena pasca kebakaran para pemasok tidak menerima sistem kredit. Semua harus dibayar lunas. Ada uang ada barang. Sementara itu, Pemkot Solo sedang berupaya memfasilitasi relokasi pasar. Sebelum ditempatkan di tempat saat ini, diadakan diskusi antara Pemkot Solo dengan perwakilan pedagang dari HPPK. Saat itu dipilih beberapa tempat alternatif seperti Benteng Vastenburg, Pusat Grosir Solo, atau Beteng Trade Center, tetapi tempat tersebut tidak jadi dipilih. Akhirnya, diputuskan penempatan pasar sementara di alun-alun utara dengan alasan tidak begitu jauh dari letak pasar lama dan akses yang cukup mudah dibanding alternatif tempat lainnya. Dengan begini, pedagang bisa tetap berjualan, sedangkan pasar yang terbakar kemudian diperbaiki. Proses pemindahan tempat berdasarkan wawancara dengan Subagyo (58), Kepala Dinas Pengelolaan Pasar (DPP) Kota Solo yang ditemui VISI di kantornya pada Rabu (22/6), diawali dengan pendataan. “Itu pertama kali kita data kemudian kita petakan masalahnya karena pedagang di sana ada pedagang kios, kemudian ada pedagang pelataran, kemudian ada pedagang jalanan atau Pedagang Kaki Lima (PKL),” ungkapnya. Setelah dipetakan, kemudian pedagang diberi kios dengan menunjukkan surat. “Yang punya Surat Hak Penempatan (SHP) kita berikan berupa kios, mereka yang mempunyai Kartu Tanda Pengenal Pedagang (KTPP) atau pedagang pelataran kita tempatkan di pelataran atau di kios,” kata Subagyo. Pedagang dengan kios agak besar dan banyak mendapat dua kios di pasar sementara, sedangkan yang memiliki lebih kecil hanya 34

VISI • EDISI 33 • 2016

mendapat satu. Pembangunan pasar sementara diprakarsai pihak Pemkot Solo dan dibantu dari Corporate Social Responsibility (CSR) beberapa perusahaan.

Kendala Pasar Sementara

Meski begitu, upaya baik ini tidak lepas dari kekurangan. Kios awalnya hanya berupa petak kios yang dipisahkan triplek dan beratap seng dengan listrik yang ditentukan 40 watt per kios. Tidak ada atap permanen membuat kios terasa panas dan kadang bocor ketika hujan. Pedagang masih harus menambahi kelengkapan seadanya seperti alas kios, tenda untuk mengurangi panas, dan kelengkapan lain agar kios menjadi sedikit lebih nyaman. Di awal pembagian, beberapa kios sempat kosong meski sudah dibagikan kepada pedagang. “Kios yang kosong tidak ditempati atau belum ditempati itu karena sebelumnya pedagang yang punya dua atau tiga kios hartanya terbakar jadi ada masalah di permodalan,” ujar Sholahuddin. Ia melanjutkan justru Pemkot mengultimatum agar segera diisi karena mengira pedagang menolak relokasi. Akirnya kios yang masih kosong disewakan kepada pedagang lain. Selain kendala pada kios juga terdapat kendala tentang pungutan, Pemkot mengatakan pedagang dibebaskan dari pungutan, kenyataannya pedagang mengakui masih adanya pungutan. “Yen keamanan Rp14.000,00 per minggu untuk kebersihan dan keamanan sama Rp12.000,00 per bulan untuk listrik,” aku Meri (50), salah satu pedagang di Pasar Klewer. Menurut Meri pemindahan Pasar Klewer ke pasar sementara masih belum menguntungkan, walaupun sudah mendekati lebaran, pengunjung pasar tidak seramai dulu. Hal ini mempengaruhi pendapatan pedagang yang dulunya mencapai jutaan rupiah sekarang hanya mencapai ratusan ribu rupiah per hari. Tak banyak harapan yang diinginkan, Agus hanya berharap pasar rampung sesuai janji pemerintah yakni Desember tahun 2016 dengan pembagian kios merata sesuai tempat semula. “Semoga upaya yang dilakukan pemerintah dapat memulihkan pasar dalam keadaan yang lebih baik,” pungkasnya. Novi, Pulung, Watik


LAPORAN KHUSUS

Masih Dibangun – Proses pembangunan Pasar Klewer yang terbakar masih berlangsung hingga saat ini. (Dok.VISI/Bima)

Geliat Modernisasi

Pasar Klewer

Hampir dua tahun tragedi besar Kota Bengawan berlalu. 27 Desember 2014 menjadi waktu duka bagi seluruh warga Solo. Bagaimana tidak, salah satu kawasan ternama se-Asia Tenggara, yakni Pasar Klewer dibumi hanguskan oleh si jago merah. Sekitar 2.000 pendagang terlantar, milliaran rupiah habis terbakar, membuat Pemerintah Kota (Pemkot) harus berpikir keras akan masalah ini. Relokasi menjadi langkah awal yang berujung wacana pendirian Mega Klewer di kawasan keratonan. Modernisasi pun dicanangkan, apakah nilai budaya akan hilang? VISI • EDISI 33 • 2016

35


K

ini warga Kota Solo tengah menanti kehadiran pasar yang tengah dibangun di atas tanah bekas kebakaran Klewer yang lalu. Mega proyek ini diharapkan menjadi angin segar bagi pelaku bisnis Klewer yang dikenal sebagai pusatnya produk tekstil. Namun muncul kekhawatiran akan hilangnya nilai-nilai budaya yang sudah melekat dari pasar yang juga merupakan kawasan cagar budaya ini. Hal tersebut perlu menjadi perhatian yang harus dipertimbangkan, terlebih adanya isu modernisasi yang kemungkinan akan menghilangkan hal tersebut. Mengonfirmasi hal tersebut, Reporter VISI menemui Subagyo (58) selaku Kepala Dinas Pengelola Pasar (DPP) Kota Solo. Menurutnya, pemerintah Kota Solo saat itu segera melakukan koordinasi untuk merelokasi para pedagang ke tempat yang tepat. “Kami selalu berkomunikasi dengan pedagang terkait relokasi yang akan dilakukan, mereka ingin segera berjualan, maka disediakan tempat berdagang darurat,” ujarnya.

Pembangunan Mega Klewer

Relokasi pedagang Klewer pun berlanjut pada rencana modernisasi Pasar Klewer. Pemerintah Kota (Pemkot) Solo merancang pembangunan mega Klewer. Pembangunan mencakup wilayah yang dahulunya terbakar maupun yang tidak terkena kobaran api dua tahun silam. Mega proyek ini menghabiskan dana sekitar 194 milyar rupiah yang bersumber dari bantuan Anggaran Pembangunan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pembangunan Belanja Daerah (APBD) Kota Solo. Pembangunan ini bertujuan menata kembali cagar budaya, sehingga nantinya pelaksanaaan pembangunannya menyesuaikan cagar budaya itu. “Pemkot Solo juga memperhatikan kebutuhan ekonomi masyarakat dan menata tata ruang kota yang bermasalah, misalnya banjir dan macet, pasar yang terbakar akan kita bangun menjadi empat lantai dan yang timur akan dibangun dua lantai yang semuanya berada di basement dan semi basement sekaligus menyatu keduanya,” tambah Subagyo yang telah menjabat sebagai Ketua DPP sejak 6 Agustus 2009. Tahapan pembangunan mega Klewer ini sendiri terbagi menjadi tiga tahapan, yakni pembebasan lahan pada 2015, proses pemindahan pedagang di 2016, kemudian dilanjutkan proses pembangunan fisik Pasar Klewer. Rencananya, program pembangunan ini dapat sele36

VISI • EDISI 33 • 2016

sai pada tahun 2017 yang mencakup proses pembersihan dan pengembalian fungsi awal dari alun-alun Klewer.

Memudahkan Penjual

Rencana pembangunan Klewer telah melalui proses matang, khususnya pada pembagian lapak bagi para penjual. “Nanti kita pisahkan, lantai semi basement diperuntukkan bagi pedagang yang dulu berlapak di lantai satu dan dua. Sisanya, untuk pedagang pelataran dan PKL yang biasa berjualan di sekitar Klewer,” ucap Subagyo. Pajak menjadi hal yang dipertanyakan pedagang, Dani (31) mengungkapkan bayangannya mengenai bangunan Pasar Klewer yang nantinya akan lebih modern. Ia juga mengkhawatirkan peningkatan retribusi sebagai dampak dari semakin megahnya Klewer nanti. Pemkot pun tidak ingin memberatkan


Pindah Tempat – Aktivitas jual beli pedagang Pasar Klewer sementara berpindah ke salah satu sudut Keraton Surakarta. (Dok.VISI/Bima)

para penjual dengan dinas terkait pasar yang baru. Pedagang nantinya diwajibkan memiliki surat keterangan penghasilan atau surat keterangan usaha mereka yang nantinya akan dikenakan retribusi sesuai peraturan daerah. “Kita akan hitung per meter dan mereka dikenakan Rp10.000,00 untuk retribusi listrik, kebersihan dan keamanan,” jelas Subagyo. Selain itu, pajak bagi penjual akan dipermudah dan disesuaikan dengan kios yang ditempati.

Karakter yang Dipertahankan

Meskipun pembangunan kali ini memiliki konsep yang modern, tetapi karakter ‘merakyat’ Klewer tetap dipertahankan. Modernisasi sendiri dilakukan secara fisik sebagai bentuk penyesuaian sarana prasarana terhadap kebutuhan yang terus berkembang. Pasar Klewer nantinya diproyeksikan memiliki eskalator dan lift barang. Subagyo juga menekankan bahwa karakter tradisional dan ragam sosial budaya yang

melekat pada pasar yang dulu bernama Pasar Slompetan ini akan terus dipertahankan. “Jadi modernisasi ini dilakukan demi menjaga kenyamanan pembeli,” lebih lanjut Subagyo mengatakan bahwa Klewer nantinya akan dilengkapi faslilitas untuk penyandang difabel demi menunjang kenyamanan bagi berbagai kalangan. Kemudian dari aspek lingkungan, penghematan energi pun akan diupayakan. Klewer yang baru nantinya juga akan menyediakan peralatan berdagang secara online supaya pedagang dapat memperluas pasar. Semua ini direncanakan tanpa mengesampingkan aspek keselamatan dan dari sisi fisik tidak ketinggalan jaman serta tidak meninggalkan konsep pengelolaan secara tradisional. Di sisi lain, modernisasi Klewer masih menimbulkan kekhawatiran bagi pedagang. Dani selaku pedagang mengungkapkan kekhawatirannya terkait modernisasi Klewer, “Orang suVISI • EDISI 33 • 2016

37


Pernak-Pernik – Gelang dan aksesoris yang dijual secara ecer maupun grosir di salah satu sudut kawasan Pasar Klewer Sementara. (Dok.VISI/Bima)

dah kenal Pasar Klewer yang dulu, sudah pas di mata masyarakat. Tempatnya ramah, nggak terkesan barang yang dijual itu mahal,” ungkapnya. Meskipun khawatir, ia mengaku tetap memberi dukungan selama proyek tersebut dilaksanakan demi kenyamanan bersama. Karakter yang tetap dipertahankan lainnya adalah dari segi transaksi antara penjual dan pembeli yang mana memiliki ciri khas tersendiri. Siti Nurbiyati (49) yang merupakan pelanggan setia Pasar Klewer mengungkapkan adanya karakter Klewer yang masih melekat, “Ya di Klewer itu, penjual dan pembeli masih pakai sistem tawar menawar, dibanding kebanyakan pasar yang menjual pakaian sekarang udah modern, gak bisa tawar menawar lagi,” ujarnya ketika membeli batik di salah satu toko. Subagyo menjelaskan adanya tradisi unik berjualan di Pasar Klewer yang masih dipertahankan sejak zaman dahulu. Tradisi nyempit dan banggel di mana penjual yang tidak memiliki stok barang tertentu akan menjual barang yang sesuai namun berasal dari penjual lainnya.“Nyempit itu biasanya dia ngambil dagangan terus diubengke, dia nggak punya apa-apa tapi dia nawarkan dagangan orang lain dan muter, kalau banggel itu dia sudah punya kios tapi gak punya barangnya, ya ngambil dulu di toko lainnya,” kata Subagyo.

38

VISI • EDISI 33 • 2016

Akan Menguntungkan

Pasar Klewer bernuansa modern akan memberikan dampak positif bagi penjual maupun pembeli. Dwi Susanti, salah satu penjual yang menempati Pasar Klewer sejak tahun 1985 mengungkapkan bahwa modernisasi itu sah-sah saja dilakukan, dan nantinya juga akan menguntungkan penjual, “Kalau seperti PGS ada eskalator itu ya bagus toh ya mungkin pasar akan lebih luas dan pengunjungnya ya bakal lebih banyak,” ujarnya sambil menjajakan batik yang ia jual. Senada dengan Iriana, salah satu pembeli di Pasar Klewer mengungkapkan bahwa modernisasi boleh dilakukan asal budaya tawar menawar dan harga barang tetap dipertahankan. “Biasanya kalau modern itu gak bisa ditawar lagi dan harganya relatif jadi mahal, kalau mau dimodernisasi ya bangunannya saja,” ungkapnya. Subagyo mengungkapkan dengan adanya modernisasi ini diharapkan Klewer nantinya memiliki daya saing besar hingga kancah internasional, “Ya semoga dengan modernisasi ini, Klewer bisa menjadi pasar yang kuat daya saingnya, terlebih sekarang Masyarakat Ekonomi ASEAN, jadi kita harus memiliki daya saing yang kuat agar produk kita yaitu batik tetap laris di pasar nasional dan internasional,” pungkasnya. Kurnia, Pitaloka, Wahyu


REFLEKSI

Ilustrasi/ Fauzan

Memutus Rantai

Kekerasan Seksual VISI • EDISI 33 • 2016

39


Kekerasan seksual adalah soal relasi kuasa; antara digdaya dan tak berdaya. Yang tak berdaya akan diintimidasi, sebab digdaya tak mau rugi. Yang digdaya bersikap tenang, toh di mata hukum akan tetap menang. Tak heran jika banyak yang memilih bungkam, ketimbang mengungkap kasus yang memalukan. Karena di negeri kita terlalu panjang jalan pembuktian, namun cukup satu alasan untuk disalahkan: Karena kamu perempuan.

M

enjadi perempuan di dunia Adam bukan perkara mudah, sebab kemuliaan diukur dari seberapa dalam buah dada dan kemaluan disembunyikan. Apalagi jika sudah menyangkut soal kekerasan seksual, tubuh perempuan bahkan dianggap dosa dan godaan. Perempuan yang mengalami kekerasan seksual bahkan harus menerima tuduhan karena sengaja menggoda dengan berpakaian terbuka. Ironisnya, kekerasan seksual justru dianggap sebagai jalan pertaubatan agar perempuan mau menutup tubuhnya rapat-rapat. Dalam hal ini perempuan harus rela tubuhnya diregulasi demi menciptakan kenyamanan bagi laki-laki. Jika pakaian adalah pemicu kekerasan seksual, bagaimana dengan perempuan berpakaian tertutup dan anak kecil yang masih mendapat perlakuan tidak pantas? Saya mengenal seorang perempuan, berjilbab, dan berpakaian tertutup. Namun ia masih mengalami pelecehan seksual baik secara verbal maupun non-verbal. Kemudian menilik kasus yang terjadi tempo lalu, tentang anak kecil berseragam putih biru yang dinodai dengan keji. Tidak dituduh pasal pakaian, tetapi disalahkan karena berjalan sendirian. Sudah jelas bahwa kekerasan seksual terjadi bukan karena korban berpakaian terbuka, berwajah cantik, atau berperilaku menggoda, melainkan karena ia perempuan.

Akses Keadilan bagi Korban

Perempuan disalahkan bukan tanpa alasan. Persoalan ketimpangan relasi kuasa antara pelaku dan korban menempatkan perempuan pada kondisi tidak berdaya. Akibatnya, banyak 40

VISI • EDISI 33 • 2016

kasus kekerasan seksual yang gugur bahkan sebelum sampai ke tingkat pengadilan. Pertanyaan seperti, apa pakaian yang Anda kenakan saat peristiwa terjadi? apakah Anda menikmatinya? atau apakah Anda melakukannya atas dasar suka sama suka? menunjukkan bahwa hukum telah mendiskualifikasi korban sejak awal. Belum lagi keterangan dikotomi seperti “Perempuan baik-baik” dan “Perempuan tidak baik” turut menjadi pertimbangan dalam mekanisme hukum— meskipun tidak tertulis. Hal lain yang turut mempersulit pengusutan kasus kekerasan seksual adalah sistem pembuktian. Hukum secara tertulis menyebutkan bahwa untuk mengajukan tuntutan diperlukan sekurang-kurangnya dua alat bukti dari lima alat bukti yang sah, yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa (Pasal 184 ayat [1] KUHAP). Pertama, umumnya kekerasan seksual terjadi di suatu tempat di mana hanya ada korban dan pelaku, sehingga saksi atas peristiwa tersebut adalah korban itu sendiri. Kemudian adanya “bekas” kekerasan seksual di tubuh korban diperlukan sebagai petunjuk. Oleh sebab itu, diperlukan visum et repertum (keterangan ahli) yang bertujuan untuk merekam kondisi fisik korban. Visum et repertum ini mengharuskan korban untuk segera melaporkan kasus kekerasan seksual yang dialaminya ke polisi. Padahal hal yang sangat mungkin dilakukan korban adalah membersihkan diri dari “bekas” kekerasan


Oleh: Gabriela Fernanda S Mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia

seksual. Dalam hal ini hukum gagal mempertimbangkan pengalaman perempuan. Melihat rumitnya pengusutan kasus kekerasan seksual tersebut, tidak mengherankan jika korban kekerasan seksual memilih tidak melanjutkan kasusnya ke tingkat pengadilan. Berdasarkan catatan tahunan Komnas Perempuan tahun 2016, tercatat sebanyak 2.399 kasus perkosaan, 601 kasus pencabulan, dan 166 kasus pelecehan seksual. Angka tersebut hanyalah angka yang terlaporkan. Hal ini berarti jumlah kasus kekerasan seksual yang sebenarnya jauh lebih besar dari data yang diperoleh Komnas Perempuan. Lalu, seberapa banyak kasus yang terlaporkan menang di pengadilan?

Upaya Penegakan Hukum

Kekerasan seksual di Indonesia sudah mencapai status darurat, sehingga berbagai tekanan datang kepada pemerintah. Berbagai upaya pun dilakukan, salah satunya adalah pengesahan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak atau yang dikenal sebagai Perppu Kebiri. Keberadaan Perppu Kebiri dianggap dapat memberikan efek jera kepada pelaku dan mencegah masyarakat untuk tidak melakukan kekerasan seksual karena semakin tinggi ancaman pidana yang akan diberikan. Salah satu ancaman yang terkandung dalam Perppu Kebiri adalah hukuman kebiri kimia dan hukuman mati. Pertama, hal ini bukan solusi yang tepat untuk mengatasi kedaruratan kekerasan seksual. Jika membalas kekerasan dengan kekerasan, maka yang sedang kita lakukan adalah melanggengkan budaya kekerasan itu sendiri. Kedua, pemerintah lupa bahwa kekerasan seksual tidak hanya terjadi pada anak-anak, sehingga sudah seharusnya pemerintah juga menganggap isu kekerasan seksual terhadap perempuan sama pentingnya dengan isu anak.

Masyarakat mungkin sudah salah paham dengan inti masalahnya. Seberat apapun ancaman pidana yang diberikan, jika proses hukumnya masih sama, maka tidak ada yang bisa menjamin bahwa korban akan mendapatkan akses keadilan. Pemerintah dan masyarakat sudah seharusnya memahami akar masalah kekerasan seksual bukannya mendebatkan hukuman yang layak bagi pelaku kejahatan. Saya yakin, hukum tidak perlu menakut-nakuti masyarakat jika ditegakkan seadil-adilnya. Dalam hal ini perbaikan proses hukum sangat diperlukan untuk memutus rantai kekerasan seksual. Salah satu perbaikan proses hukum adalah tindakan responsif oleh aparat penegak hukum dalam menindaklanjuti laporan korban. Aparat penegak hukum harus terbebas dari bias gender ketika tengah menangani kasus kekerasan seksual. Artinya, aparat penegak hukum tidak boleh menggunakan justifikasi yang menyudutkan korban semata-mata karena korban adalah perempuan dan membenarkan perbuatan pelaku semata-mata karena hasrat, pengaruh alkohol atau narkoba, serta gangguan jiwa. Rapist is rapist, no more excuse. Tak kalah penting, keterampilan hakim berperan dalam menentukan salah atau tidaknya terdakwa dan berat atau ringannya hukuman. Hal ini tentu tidak akan menjadi masalah jika hukum tidak mengenal lelah dalam mencari kebenaran. Peran masyarakat juga sangat diperlukan untuk mendukung korban kekerasan seksual dengan tidak memberikan label negatif. Selain itu, masyarakat harus belajar untuk saling menghargai agar tidak ada lagi relasi kuasa yang mengobjekkan perempuan. Sudah saatnya kita melawan, memutus rantai yang sudah terlalu panjang.

VISI • EDISI 33 • 2016

41


SPEKTRUM

Menanti Partisipasi Para Srikandi

Buka Bersama – Salah satu acara yang diselenggarakan oleh Agroteknologi 2014 yang mengundang sebagian adik-adik Jemari di Taman Cerdas. (Dok. Jemari/Anisa)

Sejak berdiri sebagai sebuah republik merdeka 71 tahun silam, peran perempuan dalam pembangunan negara Indonesia telah diakui. Konstitusi negara ini dengan jelas memaparkan persamaan hak dan kewajiban dalam membangun bumi pertiwi. Namun di sisi lain, masih banyak perempuan yang belum mengaktualisasi diri, entah karena kurang kesadaran atau tuntutan budaya patriarki.

K

ehidupan perempuan, terutama dalam masyarakat Jawa, identik dengan tiga konsep yang memiliki nilai filosofi yang sangat dalam. Ketiga konsep tersebut adalah masak, macak dan manak. Secara turun-temurun, konsep-konsep tersebut dianggap sebagai kualifikasi yang harus dipenuhi perempuan untuk setidaknya pantas disebut ideal dalam menjalani hidup berkeluarga. Perempuan yang harus bisa mengolah makanan, bersolek dan mencetak putra-putri yang berguna bagi nusa dan bangsa mungkin terkesan sangat berorientasi rumah tangga dan membuat kita lupa bahwa di balik konstruksi tersebut, para perempuan menyimpan potensi yang tak terduga. Kurang lebih itulah yang diceritakan Liesmia Harwanto atau biasa dipanggil Lies, kepada VISI, Rabu (22/6). Lies berpendapat meskipun memiliki kodrat sebagaimana yang tertuang dalam konsep-konsep di atas, perempuan memiliki kebutuhan untuk mengaktualisasi diri. “Pada era modern ini, perempuan mulai sadar bahwa mengaktualisasi diri dibutuhkan untuk meningkatkan kemampuan mereka se42

VISI • EDISI 33 • 2016

hingga dapat melindungi anak-anak dan keluarga,” kisah perempuan yang juga merupakan inisiator dari Sekolah Pos, salah satu gerakan kepedulian di Kota Solo yang berbasis pada bidang pendidikan. Kegiatan belajar-mengajar Sekolah Pos yang turut aktif melibatkan peran pengajar perempuan ini menunjukkan bahwa perempuan pun bisa turut ambil bagian dalam pembangunan, khususnya pembangunan moral anak melalui pendidikan.

Gender dalam Pembangunan

Keberadaan nilai sosial budaya yang masih melekat dalam masyarakat tersebut, terutama di masyarakat Kota Solo dengan budaya Jawa yang kental diamini oleh Argyo Demartoto. Kepala Program Studi S2 Sosiologi Universitas Sebelas Maret (UNS) tersebut memaparkan bahwa meskipun telah terjadi pergeseran nilai dalam masyarakat, tetap saja pandangan-pandangan mengenai bagaimana seharusnya perempuan berperan tetap dianut oleh masyarakat. “Nilai-nilai tersebut telah sejak dahulu terinternalisasi dan menjadi konstruksi dalam masyarakat. Jadi, meskipun sudah banyak perem-


puan yang mengemban pendidikan tinggi, ya harus tetap memenuhi kualifikasi 3M tadi (masak, macak dan manak-red),” tuturnya saat ditemui VISI di sela-sela waktu istirahat, Jumat (23/9). Dari segi pembangunan sendiri, lanjut Argyo, peran perempuan mulai dilibatkan. Sayangnya, peran perempuan tersebut masih mencakup lingkup domestik dan belum ke ranah publik. Perempuan masih dianggap sebagai kelompok subordinat, hal ini ditunjukkan dengan minimnya partisipasi perempuan dalam proses pengambilan keputusan. Kondisi tersebut tidak terlepas dari pengaruh budaya yang masih lekat dalam masyarakat. “Di masyarakat Jawa juga dikenal pernyataan suwargo nunut neroko ketut yang artinya, perempuan dalam hal ini istri, harus mengikuti suami. Jadi perempuan mengikuti bagaimana tuntutan kaum pria sehingga mereka menjadi tergantung,” tutur Argyo. Pendidik yang memiliki konsentrasi studi gender tersebut juga menambahkan, peran perempuan dalam pembangunan sekalipun sudah ditempatkan di sektor publik, namun masih sulit memperoleh kepercayaan sebagai pengambil keputusan. “Perempuan yang bisa bekerja di sektor publik, entah itu kesehatan, pendidikan, ekonomi dan lainnya, hanya bisa menjadi pelaksana kebijakan, tidak dapat menjadi inisiator dan ide-idenya tidak dipakai. Hal ini disebabkan decision maker-nya adalah para pria yang tidak responsif gender,” jelasnya.

Menuju Kesetaraan

Arah pembangunan Kota Solo yang diproyeksikan untuk mendongkrak branding Kota Pariwisata melalui pembangunan hotel dan penyelenggaraan event skala internasional pun menurut Argyo masih minim partisipasi perempuan lewat posisi strategis. Dari sektor pariwisata misal, perempuan-perempuan kerap hanya dijadikan objek untuk menarik wisatawan melalui paras cantik yang menggoda. Kebijakan-kebijakan pembangunan hotel pun menurut Argyo meningkatkan potensi eksploitasi pada perempuan akibat maraknya hotel-hotel yang dijadikan tempat untuk bisnis prostitusi. Namun secara keseluruhan, Argyo mengungkapkan bahwa usaha untuk melibatkan perempuan dalam pembangunan sudah ada meskipun belum sempurna. “Mereka (peme-

rintah-red) sudah mulai sensitif gender, mereka sudah mulai melibatkan perempuan. Bahkan ada anggaran responsif gender tersendiri. Kendalanya saat ini hanyalah akses dan kontrol dari perempuan,” terangnya. Perempuan sendiri memiliki potensi yang besar demi keberlangsungan pembangunan. Argyo mengungkapkan salah satu cara yang bisa diambil perempuan untuk mengaktualisasi diri adalah dengan turut aktif berkontribusi. Selain itu, pergeseran nilai-nilai sosial budaya yang dianut masyarakat juga bisa menjadi batu loncatan demi tercapainya kesetaraan gender. “Kita memerlukan aktivis-aktivis perempuan yang bisa menggerakkan massa untuk berperan aktif memberikan kesempatan pada perempuan,” imbuhnya.

Peran Generasi Muda

Mahasiswa sebagai kelompok yang diyakini mampu membawa perubahan memiliki peran strategis dalam mengubah pandangan terkait peran perempuan dalam masyarakat. Salah satu manifestasi dari kontribusi mahasiswa, khususnya perempuan, adalah melalui partisipasi aktif dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat di bidang sosial. Begitu pendapat Noviana Sulistiawati, salah satu mahasiswa program studi Administrasi Negara UNS 2012. “Salah satu faktor mengapa perempuan kurang berpartisipasi dalam pembangunan, selain karena konstruksi sosial adalah karena masih banyak perempuan yang merasa nyaman dengan urusan rumah tangga. Padahal perempuan memiliki potensi yang lebih dari itu,” ungkapnya kepada VISI, Sabtu (18/6). Mahasiswi yang saat ini aktif sebagai ketua dan pengajar di komunitas sosial Jejak Mimpi Anak Negeri (Jemari) yang fokus begerak di bidang pemberdayaan anak-anak tersebut juga menambahkan, perlu adanya sosialisasi bagi pemangku kebijakan dan juga masyarakat demi tercapainya kesetaraan dalam pembangunan, “Selain Pemerintah yang melek, masyarakat— khusunya perempuan—juga harus sadar bahwa peran mereka itu penting,” jelas Via memberi pendapat sekaligus sinyal keoptimisannya pada peran para pemuda, termasuk perempuan dalam membangun generasi selanjutnya. Dessi, Desy

VISI • EDISI 33 • 2016

43


TEROPONG

#RIP Jurnalisme Engeline Oleh: Olivia Lewi Pramesti Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta

P

ada Juni 2015, masyarakat dihebohkan dengan pemberitaan kematian seorang bocah berusia sembilan tahun bernama Engeline. Bocah asal Bali ini ditemukan dalam keadaan memprihatinkan di bawah kandang ayam yang ada di sekitar rumahnya. Dugaan waktu itu, berdasar kabar media, ibu kandung Engeline yang akrab disebut Margriet, adalah otak pembunuhannya. Akhirnya, pada sidang perdana yang dilakukan di Pengadilan Negeri (PN) Denpasar pada Kamis, 22 Oktober 2015, Margriet dan pembantunya, Agus, memang terbukti menjadi tersangka utama. Berita kematian Engeline menyita perhatian masyarakat Indonesia. Perhatian ini diwujudkan dengan munculnya tagar #RIPEngeline dari media sosial. Rasa simpati dan empati dari berbagai kalangan bermunculan di media sosial dengan menuliskan tagar tersebut. Tak hanya itu, artis Indonesia pun, Glenn Fredly, juga mengunggah video lagu di instagramnya untuk Engeline. Glenn juga memberikan caption dalam Bahasa Inggris, �Saya bernyanyi untuk malaikat kecilku. Istirahat dalam kasih,� lalu mengakhiri dengan tagar #RIPEngeline. Berita soal Engeline tentu menjadi panganan empuk bagi media. Kasus Engeline memiliki nilai berita significance (penting), timeliness (terkini), dan human interest (menarik). Nilai 44

VISI • EDISI 33 • 2016

penting karena kasus ini merupakan kasus kejahatan kemanusiaan dan berdampak luas bagi publik. Berdampak luas disini dimaksudkan kasus ini berhubungan dengan penegakan HAM di Indonesia. Ketika dibiarkan begitu saja, maka dikhawatirkan kejadian serupa akan terulang. Sementara itu, nilai berita terkini mengacu pada berita Engeline merupakan berita yang up to date saat itu. Nilai berita human interest (menarik) merujuk pada korban yang masih di bawah umur serta menimbulkan simpati dan empati bagi banyak orang. Awal kasus ini mencuat, media cenderung menampilkan pemberitaan yang tidak sesuai dengan kode etik jurnalistik. Berdasarkan laporan berita di salah media lokal Tribun Jawa Timur dengan judul Etika Jurnalisme, Belajar dari Engeline pada Sabtu 20 Juni 2015, disebutkan bahwa media penting untuk menjunjung etika jurnalistik saat melakukan peliputan pada korban anak-anak, lebih khusus lagi mengerucut pada pelanggaran HAM pada mereka. Menurut berita tersebut, ada banyak kepentingan yang masuk dalam pemberitaan kasus Engeline di antaranya kepentingan untuk pengungkapan kasus, perlindungan pada anak, korban, dan keluarga, serta kewaspadaan bagi masyarakat terhadap kasus serupa. Pada berita tersebut disebutkan ada perso-


alan utama dalam pemberitaan kasus Engeline yaitu soal perlindungan identitas korban dan privasi. Beberapa pandangan muncul di antaranya boleh menyebutkan nama korban atau tetap dirahasiakan, soal publikasi jasad korban secara vulgar, dan sebagainya. Sementara itu, berdasarkan observasi penulis terhadap kemunculan kembali pemberitaan Engeline terkait sidang perdananya, kecenderungan yang terjadi erat kaitannya dengan etika jurnalistik adalah sebagai berikut. Salah satu media yang diteliti adalah Kompas.com. Dalam berita dengan judul Saya Tidak Membunuh Anak yang Saya Cintai yang dimuat pada Kamis, 22 Oktober 2015, terlihat judul berita cenderung dramatis. Isi berita justru tidak memberikan penjelasan mengapa Margriet membunuh anaknya. Berita lain berjudul Engeline: Mama, Cukup Ma, Lepaskan Ma... yang dimuat pada hari yang sama, juga memberikan judul yang dramatis. Isi berita, menurut penulis, justru sangat tidak etis. Isinya memberikan penjelasan gamblang bagaimana Engeline dibunuh oleh ibunya. Ibunya membanting Engeline, membenturkan ke tembok sampai keluar darah, hingga memukul wajah korban berkali-kali dijelaskan oleh Kompas.com. Berdasarkan kedua berita ini, penulis melihat bahwa peliputan atas kasus-kasus kemanusiaan sering luput dari etika jurnalistik. Apapun kepentingan medianya, namun kecenderungan pemberitaan di media sering memberikan detail pengalaman korban, baik korban yang masih hidup ataupun meninggal. Tak hanya penggambaran secara deskriptif, seringkali penggambaran visual masih juga dilakukan. Padahal, penggambaran detail ini bisa menimbulkan pengalaman traumatis baik pada korban maupun anggota keluarganya. Seringkali pula, hal tersebut tidak dipahami oleh media. Alih-alih rating dan kepuasan pembacalah yang masih menjadi pertimbangan. Pendekatan jurnalisme empati bisa menjadi solusi untuk menangani pemberitaan tersebut. Jurnalisme empati berkaitan dengan bagaimana seorang jurnalis menghormati posisi korban dan kesulitannya, bagaimana jurnalis bisa memberikan perspektif berbeda dengan memberikan penyelesaian atas kasus, serta memberikan ruang yang adil bagi semua pihak yang terlibat. Menurut penulis, persoalan utama dari jurnal-

isme empati terletak pada dua poin yakni jurnalis turut memahami kesulitan korban serta bagaimana jurnalis memberikan perspektif berbeda pada kasus tersebut (tidak berfokus hanya pada kronologi kejadian). Memang untuk melakukan hal tersebut tidaklah mudah karena media memiliki kepentingan masing-masing seperti iklan maupun kepentingan industri lainnya. Ironisnya juga, kode etik jurnalistik yang mengatur hal tersebut masih belum jelas. Artinya belum ada kode praktis bagaimana melakukan peliputan yang ‘benar’ dengan menggunakan pendekatan empati. Kendati begitu, menurut penulis, mempraktikkan pendekatan jurnalisme empati bisa digodok dari perusahaan media masing-masing. Perusahaan media bisa memberikan pelatihan pada jurnalisnya terkait penerapan jurnalisme empati. Perusahaan media juga perlu membuat kode praktis dari kode etik jurnalistik Dewan Pers. Perlu diperhatikan juga, sanksi pada pelanggarnya.

Pentingnya Literasi Media

Literasi media menjadi konsep yang tak lagi asing di telinga kita. Pemahaman sederhananya, literasi adalah bagaimana masyarakat lebih kritis untuk mencermati isi media. Konsep ini semakin penting ketika informasi terus memborbadir hampir setiap detiknya. Media online, menjadi salah satu sarananya. Kasus Engeline menjadi satu dari sekian praktek informasi yang diberikan oleh media. Persoalan rating yang akhirnya mengesampingkan akurasi, verifikasi, serta kode etik lagi-lagi menjadi masalah. Bahkan tak hanya soal Engeline, hampir rata-rata kecenderungan berita online di Indonesia melakukan kesalahan yang sama. Kendati Pedoman Media Cyber dari Dewan Pers sudah dikeluarkan sejak 2012 lalu, namun praktiknya masih belum memenuhi harapan. Literasi media menjadi kunci bagaimana masyarakat menilai informasi apakah berita di media online memenuhi syarat akurat dan penting bagi masyarakat. Literasi bisa dilakukan dengan mencermati isi media dari berbagai media yang ada. Dengan demikian, kita tidak percaya begitu saja pada salah satu media. Tak hanya mencermati isi, masyarakat perlu melaporkan pelanggaran yang dilakukan oleh media pada Dewan Pers melaui kanal yang sudah disediakan.

VISI • EDISI 33 • 2016

45


VISI BERTANYA

Meraih Cita-cita Lewat Mawapres

M

Dok. Pribadi

ahasiswa Berprestasi atau lebih dikenal dengan Mawapres, acap kali dipandang sebagai suatu gelar yang prestisius. Proses seleksi yang ketat dan persyaratan yang njlimet serta terkesan sangat akademis tak urung membuat sebagian besar mahasiswa bergidik. Lantas bagaimana Mawapres menurut Juli Purnomo? Dalam wawancara yang dihimpun reporter VISI kali ini, mahasiswa Agribisnis Universitas Sebelas Maret (UNS) yang berhasil menyabet gelar Mawapres UNS 2015 ini akan sedikit berbagi mengenai pengalamannya mengikuti seleksi ajang tersebut. Menurut kamu, bagaimana sih antusiasme mahasiswa saat ini tentang ajang Mawapres? Masih kurang merata di setiap fakultas. Ada yang fakultas peminatnya tinggi, ada pula yang rendah. Mahasiswa masih memiliki semangat dan tekad yang rendah untuk mengikuti ajang Mawapres, sehingga harus banyak disosialisasikan lagi. Mengapa mahasiswa UNS harus ikut Mawapres? Karena salah satu tujuan menjadi mahasiswa yaitu menuntut ilmu, meningkatkan pengalaman, meraih prestasi sebaik mungkin, mengoptimalkan kesempatan yang ada. Jadilah mahasiswa yang sesungguhnya. Dan salah satu yang bisa diikuti dan setiap tahun rutin ada, yaitu ajang Mawapres ini. Setiap tahun akan ada satu yang terpilih untuk dijadikan wakil UNS atau fakultas di dalamnya. 46

VISI • EDISI 33 • 2016

Untuk kamu sendiri, apa motivasi dan tujuanmu mengikuti Mawapres? Seperti layaknya seorang anak, utamanya saya ingin membahagiakan orang tua. Selain menggali potensi diri dengan mengikuti ajang seperti ini, saya bisa mencari pengalaman agar menjadi bekal ke depannya untuk saya berkarir dan bekerja. Ingat peribahasa ‘Terkadang kesempatan tidak datang dua kali’ maka dari itu saya selalu tidak ingin membuang kesempatan baik di depan mata, ya termasuk Mawapres ini. Hal baik apapun yang kamu usahakan di masa perkuliahan, selain menjunjung nama baikmu, tentulah akan melambungkan nama almamater, jurusan maupun universitas, jadi ya apa ruginya. Sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui. Apa yang membuatmu bertahan sejak tahapseleksi tiap Fakultas? Proses seleksi tiap fakultas kan beda-beda,


Nama Lengkap: Juli Purnomo Pendidikan: Agribisnis, Universitas Sebelas Maret 2012 Alamat Rumah: Tinggarjaya RT 03 RW 11 Jatilawang, Banyumas, 53174 Tempat, Tanggal Lahir: Banyumas, 29 Juli 1994 Hobi: Menulis Esai, Menyanyi, Public Speaking, Bulu Tangkis. Kesibukan Sekarang: Control Council of Local Committee in International Association of Students in Agricultural and related Sciences (IAAS) LC Sebelas Maret University Media Sosial: julipurnomo29 (Instagram) dari tingkat jurusan/prodi terus dipilih yang juara untuk ditandingkan di tingkat fakultas dulu, kemudian dikompetisikan untuk menjadi perwakilan dari universitas, nah baru setelah ditandingkan di tingkat Nasional sehingga nantinya akan terpilih Mawapres Nasional. Saya sendiri merintis karir Mawapres dari jurusan Agribisnis, kemudian ditandingkan di tingkat Fakultas. Dengan harapan bisa lolos tingkat nasional, makanya saya bertahan hingga akhir. Apa yang kamu rasakan setelah terpilih menjadi Mawapres? Amanah yang sangat tinggi, karena harus memberikan contoh bagi mahasiswa lain. Segala perilaku dan tingkah laku menjadi lebih diperhatikan oleh orang lain. Sesungguhnya dalam tahap ini masih belajar, jadi sering belajar bersama-sama dengan teman-teman, organisasi, atau komunitas lainnya, untuk terus memupuk bagaimana sih the real mahasiswa teladan itu. Di samping itu, pastinya punya banyak teman dan relasi baru dari berbagai fakultas, jurusan, dan universitas. Apa rencanamu ke depan setelah menjadi Mawapres? Tentu dengan dinobatkan sebagai Mawapres, saya merasa bahwa harus berkontribusi lebih banyak lagi dan tentunya menghasilkan kontribusi yang positif, seperti bagi masyarakat

dan lingkungan sekitar. Dari hal sederhana saja, misalkan ilmu agribisnis yang saya tekuni dapat diimplementasikan ke para petani. Dengan optimis dan semangat, saya masih ingin mewujudkan impian saya untuk memiliki perusahaan di bidang agribisnis, atau mendirikan semacam pemberdayaan masyarakat berbasis agrowisata. Apa saja kesibukan setelah terpilih sebagai Mawapres? Setelah terpilih Mawapres masing-masing fakultas, akan masuk dalam Ikatan Mahasiswa Berprestasi (Imapres), saya sendiri Imapres 2015, nantinya seperti menjadi duta masing-masing fakultas dan jurusannya untuk menyebarkan virus positif agar dapat menggali potensi diri dan semangat untuk berprestasi. Contoh kegiatannya minimal mengadakan roadshow dan pelatihan. Mendapatkan kesempatan untuk study exchange ke luar negeri. Tahun 2015, saya berkesempatan exchange untuk education tour di Singapura. Bagaimana tanggapanmu terkait mahasiswa yang memandang sebelah mata terhadap ajang Mawapres? Setiap orang memiliki sudut pandang masing-masing, tergantung bagaimana menyikapinya. Tanggapan saya tetap positif saja, kalau ada hal positif yang mampu membangun diri ya saya ambil, kalau memang negatif ya saya cerna lagi, kalau akan mengganggu dan menghambat kita untuk berkembang ya abaikan saja. Mereka memandang sebelah mata, karena mereka tidak pernah mencobanya dan tidak tau esensi Mawapres itu apa. Pertanyaan terakhir, nih. Kira-kira apa pesan kamu buat para mahasiswa yang ingin berpartisipasi dalam seleksi Mawapres? Yang pertama tentu saja harus punya niat dan tekad yang kuat jika ingin jadi Mawapres. Persiapan diri juga harus dimulai dari sekarang, jangan ditunda-tunda. Seperti latihan membuat karya tulis dan penguasaan bahasa Inggris sedari dini. Selanjutnya, terus raih prestasi dan pencapaian serta pengalaman yang sesuai dengan passion kita. Aulia Mestikasari

VISI • EDISI 33 • 2016

47


CERPEN

Ia Bukan Malaikatmu Oleh: Wahyuningtyas Puspitasari Mahasiswa Program Studi Ilmu Ekonomi Universitas Gadjah Mada

G

adis mungil itu masih berdiri di tengah plaza fakultas, memandang langit yang mulai menggelap. Kulirik jam tangan yang melingkar di jari tanganku dan kemudian berganti dengan seplastik roti di tangan kiriku. Sudah lima menit ia bertahan dengan posisinya, berdiri tegak dan menyegarkan diri dengan udara luar ruangan yang cukup sejuk di senja ini. Tangan-tangannya perlahan mulai mengeratkan jaket panjang yang ia kenakan dan saling menggosok satu sama lain, mencoba mencari kehangatan mengingat ia sudah berjam-jam berada dalam ruangan dingin ber-AC. Kakiku melangkah mendekati sosok itu perlahan dan ikut memandang langit berbintang yang sudah sepenuhnya menggelap. “Ayo, waktu istirahat tingggal 15 menit,” kuangsurkan seplastik roti untuknya. “Terima kasih, Kak,” ia berikan sebuah senyum simpul yang tak juga dapat menutupi wajah lelahnya. Beberapa detik saling memandang, tanpa kata kami sepakat mengakhiri sesi ‘relaksasi’ dan berjalan ke arah mushola. *** Baru 30 menit yang lalu perpustakaan buka dan aku sudah langsung menemukan sosoknya di antara meja-meja baca perpustakaan. Kacamata minus berbingkai ungu menghias wajah seriusnya. Jemarinya lincah bergerak di atas keyboard laptop yang aku yakini juga telah dinyalakan sejak 30 menit lalu mengingat beberapa buku telah terbuka di sekitarnya. “Tugas pagi ini?” aku duduk di sampingnya, melihatnya bekerja dengan software ekonometri di salah satu kotak dialog dan Microsoft Word di kotak dialog yang lain. Oh, tentu saja tak lupa beberapa jurnal terbuka juga secara bersamaan. “Yap, semalam aku belum sempat mengerjakan bagian tulisnya, baru selesai mengedit presentasinya,” ceritanya. 48

VISI • EDISI 33 • 2016

“Semalam tidur berapa jam?” pertanyaan yang sering aku lemparkan mengingat sosoknya yang super sibuk. “Kelihatan jelas kalau mata panda ya?” bukannya menjawab, ia malah melempar pertanyaan retoris sambil tersenyum. Ah, gadis ini. Sudah dua tahun aku mengenalnya melalui sebuah organisasi. Gadis yang mengaku memiliki otak pas-pasan dan harus berjuang keras untuk menyamai teman-temannya yang harus kuakui memiliki kemampuan otak di atas rata-rata. Ia bukanlah tipe mahasiswa kupu-kupu, sebaliknya, ia justru tipe mahasiswa kura-kura. Kuliah, tugas, rapat, proker, dan kegiatan-kegiatan kampus lainya adalah makanannya sehari-hari. Aku menghela napas panjang dan memandang jemari lentiknya yang masih lincah menari. Gadis ini sebenarnya merupakan sosok yang manja mengingat ia merupakan anak bungsu dalam keluarganya. Keinginannya yang selalu terpacu untuk dapat menyamai prestasi kakaknya membuatnya menjadi sosok yang dewasa ditambah lagi keadaan yang membuatnya harus hidup terpisah dari keluarga sejak bangku SMA. Sosok anak kecil, polos, yang bahkan tak pernah menyimpan pikiran buruk pada orang lain masih melekat erat. Tapi di luar semua itu, ia adalah sosok dewasa yang hampir selalu ada untuk teman-temannya. Ia adalah sosok yang sulit menolak ketika dimintai bantuan. Satu hal itu yang entah sudah berapa kali aku keluhkan padanya. Hasilnya, ia akan terjebak dalam serangkaian kegiatan dan tugas yang bahkan mungkin bukan kewajibannya. Terkadang, ia mengabaikan waktu istirahatnya sendiri. Aku tersadar dari lamunanku dan baru sadar jemari itu berhenti. Kuamati layar laptopnya yang menampilkan sebuah percakapan


Ilustrasi/ Fauzan media sosial. Sebuah tawaran atau mungkin permintaan tolong untuk mengisi sebuah jabatan lagi. “Katakan tidak kali ini,” ia terkejut mendengar nada perintah dariku. “Tapi…,” “Kamu masih memiliki beberapa proker hingga akhir tahun dan ingat rencana studimu tahun depan,” aku mengetukkan telunjukku di meja perpustakaan. Ia terdiam sejenak sebelum kemudian membalas tawaran itu sesuai dengan kemauanku. Kugeser kursi bacaku untuk menghadapnya secara sempurna. “Ada apa, Kak?” ia mulai bersikap normal, berkutat dengan tugas paper-nya lagi. “Ambil tes TOEFL bulan depan sebelum terlambat. Kau sudah membicarakan rencanamu dengan orangtuamu kan?” “Hhmm… Ya, tapi… apa tak apa jika aku pergi?” laptop yang sedari tadi ia hadap tiba-tiba ditutupnya. “Aku takut ketika aku pergi tidak akan ada yang menggantikan tugasku, temanteman kerepotan mencari penggantiku, ayah dan ibu juga belum pernah berpisah selama itu de-

nganku, kemudian masalah tugasku…,” “Cobalah berhenti memikirkan orang lain. Kamu memiliki mimpi yang kamu perjuangkan di sini. Tidak salah kamu membantu orang lain atau sebuah organisasi meraih mimpi atau tujuannya, tetapi jangan sampai itu menghalangi mimpimu,” “Aku tidak merasa terhalangi oleh…,” “Tapi itu yang kulihat. Melihat nilai akademikmu, arah fokusmu, wajahmu, bahkan dari sikap teman-temanmu. Kamu sadar, setiap yang kamu ceritakan atau keluhkan kepadaku bukan lagi tentang dirimu tetapi justru masalah orang lain. Setiap waktu luang yang kamu miliki bukan lagi untuk istirahat atau relaksasi diri tetapi justru untuk orang lain. Aku bukan tidak suka dengan sikapmu yang membantu orang lain tetapi cobalah peduli dengan dirimu sendiri. Cobalah berhenti mengkhawatirkan orang lain dan mulailah mengkhawatirkan dirimu sendiri,” aku melihat di tepat manik hitamnya. “Tidak ada yang perlu dikhawatirkan dariku,” ia mencoba mengelak. VISI • EDISI 33 • 2016

49


“Aku bahkan yakin kamu mulai bimbang dan belum memutuskan peminatan apa yang akan kamu ambil di semester enam nanti. Aku yakin juga beberapa plan yang kamu tulis untuk selesai tengah tahun kemarin banyak yang belum terselesaikan termasuk untuk hal teknis seperti membuat paspor,” gadis itu menunduk dan memainkan jemarinya, kebiasaanya di saat gugup atau bimbang. “Pikirkan baik-baik kata-kataku tadi. Ayo sarapan,” aku menariknya bangkit dan mulai membereskan barang-barang kami. *** “Kudengar kau mendorongnya untuk mengikuti pertukaran pelajar itu?” aku terkejut mendengar kalimat pembuka dari salah seorang ketua organisasi di fakultas ini. Ah, sepertinya aku tahu arah pembicaraan ini, tentu saja gadis itu. “Ia sudah mengatakan dan meminta izin darimu?” aku tersenyum samar mengetahui gadis itu sudah mengambil keputusan. “Kau mengetahui bahwa kami masih harus menjabat hingga satu periode lagi kan? Dan sekarang baru saja dimulai tetapi kau cukup membuat rencanaku kacau,” cukup tajam ia mengatakannya. “Masih ada banyak orang dalam organisasimu.” “Masih banyak juga orang yang bisa kau dorong selain dia!” “Aku tidak bisa membiarkan ia kehilangan arah dan mimpinya.” “Lalu kau pikir aku bisa membiarkan keadaan berubah dalam waktu singkat dan kacau seperti ini?!” “Kalau begitu, tidak usah kau izinkan saja. Gampang, kan?” aku tersenyum miring, menantangnya akan sesuatu yang tidak mungkin dilakukannya. “Kau pikir aku tega melakukan itu?!” ia mengacak rambutnya. Aku tertawa melihat tingkah kalang kabut dari temanku. Kutepuk pundaknya, “Nada juga seorang manusia, ia memiliki mimpi untuk diwujudkan. Ia bukanlah seorang malaikat yang hampir seluruh waktunya dihabiskan untuk orang lain. Jika pun ia menjadi malaikat penolong untukmu, kali ini jadilah malaikat penolong untuknya. Aku percaya, cepat atau lambat keadaan akan seperti semula. Hubungi aku saja jika memang 50

VISI • EDISI 33 • 2016

dirasa membutuhkan bantuan.” *** Sosok itu tersenyum jauh lebih indah dibanding sebelumnya, tanpa beban dan bebas. Berkali-kali lengan mungilnya melingkari tubuh kakak atau ibunya dan menggoyangkannya ke kiri dan ke kanan. Pesawatnya akan berangkat 60 menit lagi dan ia masih betah bermanja-manja dengan keluarganya tanpa menyadari kehadiranku. “Kak Aron!” ia melepaskan diri dari pelukan ibunya dan berlari riang ke arahku. Ah, ia jadi tampak seperti anak kecil yang tengah mengejar mainannya. Tak lama, sebuah pelukan erat kudapatkan. Tanganku mengusap kepala bagian belakangnya sementara telingaku mulai mendengar celotehannya. Hah, tampaknya aku merasa benar-benar memiliki adik yang masih kecil. “Kau sudah sarapan?” aku melepas pelukan itu dan mengangsurkan sebuah plastik dari salah satu toko kue yang terkenal dengan rasanya yang enak. “Wah, terima kasih!” tangannya bertepuk tangan ringan. Bibirnya yang melengkung membuat pipiya terlihat lebih chubby. Ah, sejak kapan pipi itu terlihat lebih berisi dibanding sebelumnya. “Berhati-hatilah di sana dan fokuslah pada dirimu. Jangan mengkhawatirkan yang ada di sini,” pada akhirnya aku tak tahan mencubit pipi itu. Ia mencoba melepaskan tanganku tapi gagal dan pada akhirnya memasang wajah merajuknya. Aku tertawa sambil melepaskan tanganku. “Kakak juga hati-hatilah besok jika berangkat, maaf aku tidak dapat mengantarkanmu,” ia mengingatkanku akan penerbanganku minggu depan. “Tenangkan dirimu, kita bertemu lagi tahun depan, oke?” aku mengangkat telapak tangan kananku ke depan. Ia menepuk tanganku sebelum akhirnya memelukku terakhir kali dan berbalik segera menuju pintu keberangkatan. “See you, Kak!” aku membalas lambaian tangannya dengan senyum lebar yang jarang kuperlihatkan. Ah, belum-belum aku sudah merindukan tawa riangnya. Sampai jumpa tahun depan, malaikat kecilku.


BUKU

Ketika Kambing dan Hujan Dipertemukan

Dok. VISI/Bima JUDUL: Kambing & Hujan, Sebuah Roman PENULIS: Mahfud Ikhwan PENERBIT: Bentang Pustaka TAHUN: 2015 HALAMAN: 374+vi BAHASA: Indonesia

P

erbedaan sering kali dikatakan ada untuk saling melengkapi kekurangan yang ada. Namun lebih sering membawa kesulitan, seperti yang dirasakan Miftah dan Fauzia, tokoh utama dalam novel ini. Mereka berasal dari satu desa yang sama, Centong, tapi tak pernah akrab waktu kecil. Diawali pertemuan tidak sengaja dan sebuah surel dari Mif, mereka memulai hubungan intens dan keduanya pun serius untuk merencanakan masa depan bersama. Sayangnya, sejak awal Mif dan Fauzia tahu, tidak akan mudah untuk memperjuangkan cinta mereka. Walau mereka seagama bukan berarti selalu sama. Perbedaan-perbedaan seperti tata cara salat dan penentuan hari raya menjadi halangannya. Terdapat dua masjid dalam desa ini, yaitu masjid utara dan masjid selatan. Mif adalah anak Pak Kandar, tokoh masjid utara. Sedangkan Fauzia adalah anak Pak Fauzan, tokoh masjid selatan. Mereka sama-sama mengetahui bahwa Pak Kandar dan Pak Fauzan adalah dua tokoh agama Islam yang berseberangan. Pasalnya Pak Kandar merupakan tokoh Muhammadiyah, sedangkan Pak Fauzan adalah tokoh Nahdlatul Ulama (NU). Dilema antara kekuatan cinta dan norma agama pun tak terelakkan. Saat Mif dan Fauzia mengutarakan rencana mereka pada ayah masing-masing, bukan anggukan atau gelengan yang didapat, malah cerita dan sebendel surat-surat lama yang disimpan Pak Fauzan. Dari sanalah Mif dan Fauzia akhirnya mengetahui sejarah dua kelompok muslim yang berseberangan di Centong sejak 1960-an dan sejarah hubungan Is dan

Mat, sahabat yang sudah bagai saudara sendiri namun terpaksa berada di posisi yang berseberangan. Mereka pun menyadari, yang harus dihadapi bukan sekedar dua orang tua berbeda paham tersebut, melainkan juga dua kelompok penduduk Centong, yakni orang utara dan orang selatan. Secara garis besar, cerita Mif dan Fauzia seperti roman klasik era dahulu. Bisa dibilang menyerempet kisah Romeo and Juliet karya Shakespeare. Bedanya Romeo dan Juliet memiliki keluarga yang berbeda kelas ekonomi, sedangkan Mif dan Fauzia sama-sama berasal dari keluarga muslim, namun mempunyai paham berbeda. Walau demikian, novel ini sangatlah menarik. Lewat cerita cinta antar Mif dan Fauzia, pembaca diajak lebih jauh memahami tentang apa bedanya Muhammadiyah dan NU. Hal yang seharusnya berat, disampaikan dengan ringan dan mengalir lincah oleh Mahfud Ikhwan. Kambing dan Hujan ini sukses membuat saya kagum dengan cara penulisan yang terasa ‘dekat’ dan teliti. Pemilihan diksi juga apik namun tidak kelewat sastrawi yang njelimet. Terlihat jika novel ini dilandasi oleh riset yang tidak main-main. Penulisnya pun cukup adil dalam bersikap walau nampaknya dia merupakan pengikut salah satu kekuatan besar itu. Namun kalau boleh sedikit saran, karena ini termasuk novel sastra yang berarti semua kalangan dapat membacanya, ada baiknya diberi catatan kaki atas kata-kata yang dirasa asing. Penganut agama Islam mungkin tahu apa itu qunut, junub, dan qabliyah, namun orang non-Islam mungkin tidak mengetahui artinya. Seperti susu, buku ini akan memberi kesegaran saat diteguk. Buku setebal 374 halaman ini enak dibaca di kala senggang, pun di padatnya rutinitas. Cocok dibaca semua kalangan, terlebih untuk anak muda masa kini yang mengaku kekinian. Karena dengan membacanya kita akan dibukakan mata dan dibuat malu—kalau punya— dengan generasi muda lima puluh tahun lalu yang berjuang demi agama, tak lelah menuntut ilmu dan membangun kampung halamannya. Yasinta Rahmawati

VISI • EDISI 33 • 2016

51


MUSIK

Sinestesia dalam Sebuah Aspek Kehidupan

Dok. internet ALBUM: Sinestesia ARTIS: Efek Rumah Kaca GENRE: Indie LABEL: Jangan Marah Records TAHUN: 2015 DURASI TOTAL: 64 menit PRODUSER: Efek Rumah Kaca, Pandai Besi LAGU: Merah, Biru, Jingga, Hijau, Putih, Kuning

T

erakhir kali merilis album delapan tahun silam, Efek Rumah kaca atau biasa disebut ERK kembali menyapa penikmat musik indie nusantara dengan album baru yang dipasarkan akhir 2015 lalu. Album studio ketiga band asal Jakarta ini mengusung Sinestesia sebagai titel dan tak jauh berbeda dengan album-album sebelumnya, ERK tetap menyajikan lirik lagu bergaya satir yang menjadi ciri khas mereka. Di album kali ini, Cholil Mahmud (vokal, gitar), Adrian Yunan (bass, vokal latar), dan Akbar Bagus (drum, vokal latar) menghadirkan nuansa yang baru dibanding karya-karya mereka terdahulu. Diluncurkan pertama kali bebarengan dengan konser tunggal mereka di Jakarta Januari 2015 lalu sebelum rilis secara digital pada Desember 2015, album ini hanya terdiri dari enam buah lagu dengan durasi rata-rata sembilan menit. Selain durasi lagu yang panjang, lagu-lagu dalam album ini memiliki judul yang sedikit nyentrik, singkat, dan berbeda dengan lagu di album sebelumnya. Layaknya sebuah film omnibus, dalam satu judul lagu di album Sinestesia ini terdiri dari lagu-lagu yang berbeda namun saling berhubungan dari segi tema. 52

VISI • EDISI 33 • 2016

Ciri khas musik alternative rock yang dibawa ERK dari dulu ini tetap bisa dinikmati oleh pendengar. Lagu Merah yang mengkritik tentang bagaimana dunia politik yang ada di Indonesia sekarang, lagu Biru yang berisi pandangan tentang keadaan ekonomi, Jingga di mana ERK merasa jika kejahatan-kejahatan zaman dulu yang belum terselesaikan, aktivis-aktivis Indonesia zaman dulu yang sampai sekarang tidak ada kabar, dan belum adanya sebuah keadilan untuk mereka, Hijau tentang janji-janji kosong yang berujung dengan masyarakat yang kembali terpuruk dalam derita yang sama. Semua lagu tersebut ditutup dengan Putih, lagu yang harus didengarkan semua orang. Merepresentasikan akhir dari semuanya. Mengingatkan kita terhadap hari di mana kita harus kembali, hari di mana kita meninggalkan semuanya yang ada di dunia, hari di mana semuanya harus diadili. “Banjir informasi, banyak kontradiksi berhati-hati, awas jalan berduri argumennya asal, jauh dari handal tak masuk akal, kacau menuju brutal.� Salah satu bait lirik yang menghentak ketika didengar dan membuat kita sadar tentang realita saat ini di mana tidak ada tedeng alingaling yang kuat. Semuanya masuk begitu saja, semuanya bebas mengungkapkan apa saja. Ah, bukannya demokrasi itu bebas? Salah satu lagu yang patut dicerna, lagu yang bisa jadi cerminan diri. Apakah yang kita dengar sudah benar dan apakah yang kita ucapkan sudah dibenarkan? Kadang manusia juga harus mendengar lagu, apakah irama kehidupan yang mereka lantunkan sudah benar. Musik yang diusung oleh ERK ini mungkin akan susah dinikmati oleh orang awam lantaran durasi yang sangat panjang. Tetapi jika kita mau mendengarkan lebih lama, album dengan musik tempo beat dan lirik yang menggugah ini akan membuat kita mempunyai gairah dalam mengerjakan suatu hal. Tipikal musik yang diusung oleh Cholil dan teman-teman ini, cocok didengarkan saat kita memulai aktivitas harian yang padat. Bima Sandria


FILM

Pelarian Emosional di Pegunungan Eden

Dok. internet JUDUL: Hunt For The Wilderpeople PRODUKSI: Defender Films, Piki Films, Curious PRODUSER: Carthew Neal, Matt Nooman, Leanne Saunders, Taika Waititi SUTRADARA: Taika Waititi PEMERAN: Julian Dennison, Sam Neill, Rima Te Wiata TAHUN: 2016 DURASI: 101 Menit

S

etelah sukses menggemparkan dunia sinema lewat What We Do In The Shadows, pada pertengahan 2016 kemarin sutradara dan penulis naskah Taika Waititi kembali membuktikan kapabilitasnya lewat proyek film terbarunya berjudul Hunt For The Wilderpeople. Film bernuansa komedi yang diadaptasi dari karya novelis asal Selandia Baru, Barry Crump dengan judul sama ini mengisahkan petualangan Ricky Baker (Julian Dennison), seorang anak yatim piatu yang sejak kecil dibesarkan di tempat penampungan remaja. Ricky yang digambarkan sebagai sesosok remaja introvert berkepribadian negatif kemudian diadopsi oleh Bella (Rima Te Wiata). Bella dan suaminya yang bernama Hector (Sam Neill) sendiri merupakan pasangan suami istri yang sehari-hari bekerja sebagai pemburu binatang liar. Kediaman tempat tinggal keduanya terletak di wilayah hutan yang sangat terpencil di daerah Auckland, Selandia Baru. Prolog (bagian awal) film ini lebih banyak mengisahkan tentang bagaimana konflik batin yang

dialami Ricky ketika harus beradaptasi dengan lingkungan, tempat tinggal, dan keluarga barunya. Pada saat Ricky sudah mulai merasa nyaman dengan suasana baru di sekelilingnya, masalah lain muncul ketika kemudian Bella meninggal dunia secara tiba-tiba. Meninggalnya Bella secara otomatis membuat hak asuh Ricky kembali jatuh ke pihak panti remaja. Namun di sisi lain Ricky tidak ingin kembali ke panti remaja. Ia sudah terlanjur merasa nyaman dan tidak ingin melanjutkan hidup di lingkungan yang penuh dengan suasana pengekangan. Maka dimulailah petualangan menegangkan Ricky bersama Hector untuk melarikan diri dari kejaran pihak panti asuhan yang ingin memisahkan mereka. Keduanya berpetualang menyusuri lebatnya hutan Selandia Baru demi menghindari kejaran pihak panti remaja yang dibantu oleh aparat kepolisian setempat. Secara keseluruhan, gaya Waititi yang mengemas film ini dengan nuansa komedi terbilang cukup pas dan menghibur. Pasalnya komedi yang ditampilkan sendiri tidak terlalu berlebihan serta tidak melunturkan nuansa drama yang tercipta akibat konflik antara Ricky dan Hector di sepanjang pelarian mereka. Penggunaan latar tempat di hutan pegunungan Eden yang hijau serta teknik pengambilan gambar panorama yang khas juga menyebabkan nuansa drama di film ini semakin terlihat natural. Adapun kekurangan yang menonjol dari film ini adalah penjelasan yang kurang detail dalam beberapa adegan dan kejadian penting. Ada beberapa peristiwa penting dalam cerita yang justru hanya ditampilkan seolah seperti pelengkap saja. Terlepas dari plus dan minusnya, film ini tetap sangat patut diapresiasi. Kemunculan Hunt For The Wilderpeople seolah menjadi alternatif tontonan tersendiri bagi para penikmat film bernuansa petualangan-komedi yang mengedepankan nilai-nilai budaya positif. Herdanang Ahmad Fauzan

VISI • EDISI 33 • 2016

53


PUISI

Mereka yang Ingin Kembali Oleh: Iim Fathimah

Usia kita kepala dua saat satu-satu kebebasan kita direnggut waktu Berat otakmu 1.400 gram ditambah pikiran yang kemana-kemana Diketuk godam Disuntik doktrin soal pencapaian sampai gila Kau memilih kafir karena lelah bangun jam lima Aku memilih bercokol dengan sisa-sisa napas yang jenat Mimpimu berada di persimpangan makna Saat kau kenang dirimu yang berlagak jadi polisi Dan pilot Dan pesepak bola Atau sekadar siluet di masa depan tentang berdiri di kaki langit Kita dulu naif dan mengira dunia tunduk pada doa bocah ingusan Cecunguk optimis yang berharap mencuri kuasa Tuhan Di hari yang agak mendung kau mengenang Dengan desau angin yang memilin anak rambutmu Kau meringis Lama-lama menjadi tangis Lalu kau berteriak sejadi-jadinya “Aku tidak meminta untuk dilahirkan!� Pohon mahoni di sisianmu bisu, berkelindan bersama angin yang tadi lalu Kesahmu memang banyak Anak manja yang gagal bertahan hidup Kau melempar jangkar pada mimpi yang kelewat surut Dulu aku bagianmu, bocah pemimpi Hari ini aku mati, kau memilih menjadi ciut

54

VISI • EDISI 33 • 2016


VISI • EDISI 33 • 2016

55


56

VISI • EDISI 33 • 2016


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.