Art at Gandaria City

Page 1

Art

at Gandaria City

~ 1 ~



Sheraton Grand Jakarta Gandaria City Hotel

Art

at Gandaria City


Content Hotel

Double Lacan Knot

Main Coret Begitu Saja

LOVE Tree of Life Mega Mendung Red Story

Lindung Bumi

Pagi Yang Cerah

Seri Bidang dan Bayangan Kapuk II

Landscape in my Head Sebatas Aroma (Limited to Scent)

Kokoro

~ 4 ~


Content Mall

Cruel Fairy Tale 2-1, 2-2

Still Untitled

Great Gigantic Pumpkin

Taichi Series

Woman on Horse

Horse Riding Tae Kwon V

Myth Venus LOVE

Dancers

Bunga Kehidupan II

~ 5 ~


Main Coret Begitu Saja Samsul Arifin 2010

~ 6 ~


Acrylic on canvas 200 x 150 cm

Ground Floor

S

amsul Arifin adalah seniman lulusan ISI Yogyakarta yang konsisten mengangkat karya bertema edukasi. Karya-karyanya selama ini menghadirkan penggalan cerita, sepenggal komentar sosial, melalui tokoh utama rekaannya yang berbentuk manusia boneka. Karya figuratifnya hampir selalu tergambarkan hadir bersama berbagai alat tulis sekolah sederhana: pensil, karet penghapus, dan lembaran kertas berisi coretan. Karya ini menyoroti bagaimana sistem sekolah terbangun jauh sebelum teknologi digital menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan anak-anak dari kelas atas Indonesia. Pendidikan erat berhubungan dengan kelas sosial. Lagi-lagi ini masalah perbedaan kelas, keuntungan hanya untuk kaum elit sementara orang miskin tinggal terjebak pada tingkatan yang lebih rendah. Dengan menggunakan kekayaan dan pengaruh untuk mendapatkan akses ke sekolah-sekolah istimewa dengan label pendidikan “lebih baik” jelas kaum elit lah yang akan berhasil memasukan anaknya-anaknya ke sistem yang lebih paripurna. Inilah gejala umum dan gawat dalam masyarakat kita sekarang, saat pendidikan—yang sepantasnya terbuka bagi sebanyak mungkin warga—telah tunduk oleh logika ekonomi, jadi “industri pendidikan”.

S

amsul Arifin is an artist, a graduate of the Indonesian Institute of the Arts in Yogyakarta, who consistently makes education the theme of his work, which presents fragmented stories, fragments of social comment, through his primary fictional character, in the shape of a doll. His figurative work is mostly presented in the form of an eraser and a piece of paper adorned with scribbling. The work highlights a structured school system before digital technology becomes an inseparable part of Indonesian students’ life. Education is closely related to social class. The issue of social class distinction, once again, is about the advantages enjoyed by the upper classes as against the lot of the poor who are stuck in the lower levels of education. By using their wealth and influence to gain access to particular schools with a “better” education label, it is obvious that the elite can enrol their children in the superior system. This is a broad and serious indication of how, in our society, education – supposedly available to all – obeys economic logic, becoming an “industrialized education”.

~ 7 ~


Tree of Life Samsul Arifin 2008

~ 8 ~


Acrylic on canvas 200 x 150 cm

T

Ground Floor

ree of Life memiliki berbagai makna yang meliputi pengetahuan, kebijaksanaan, dan wawasan dalam diri seseorang. Ini adalah simbol untuk mendapatkan fokus dalam pencarian untuk menemukan kesadaran dan pengetahuan. “Tree of Life” juga disebut dalam kitab Kejadian, adalah simbol dari ketentuan Allah untuk keabadian di Taman Eden. Karya ini melukiskan keyakinan akan kemampuan manusia. Samsul mencoba menggambarkannya dengan berangkat dari gagasan bahwa manusia adalah pemikir dan perasa, karena dalam akal manusia terdiri dari tiga komponen penting IQ (Intelligence Quotiens), EQ (Emotional Quotiens), dan SQ (Spiritual Quotience). Ketiganya diyakini sebagai kecerdasan yang akan berkembang dengan adanya proses pendidikan dari lingkungan manusia itu berada. Jika ketiga unsur tersebut telah tertanam di dalam diri pelajar sebagai penerus bangsa, maka masa depan bangsa Indonesia akan lebih baik. Lukisan ini adalah sebuah ajakan untuk mengamati dan menyadari apa yang terjadi di sekitar kita, menerima pencerahan dan kehidupan sebagai sumber pengetahuan.

“T

ree of Life” has various meanings, has a variety of meanings which include knowledge, wisdom, and insight into oneself. It is a symbol used to attain clear focus in our search for awareness and knowledge. “Tree of Life” is also mentioned in the Book of Genesis as a symbol of God’s provision for eternity in the Garden of Eden. The work depicts belief in human capabilities. Samsul tries to depict that by departing from the idea of humans as thinking and feeling creatures, because the human mind is composed of three key components, namely IQ (Intelligence Quotient), EQ (Emotional Quotient), and SQ (Spiritual Quotient). They are considered as intelligence that will develop as people go through the educational process drawn from their surroundings. If those three elements are already integrated in Indonesia’s future generation, the future of the nation may hold promise. This painting is a challenge to observe and realize what is around us, enlightenment and life as the source of knowledge.

~ 9 ~


Red Story Yunizar 2008

~ 10 ~


Acrylic on canvas 200 x 250 cm

Ground Floor

Y

unizar senantiasa memasukkan unsur kejiwaan ke dalam seni lukis dan memaksimalkan intuisi dalam mencipta seni. Ia adalah seorang seniman terkemuka di kancah seni rupa Indonesia dan mengumpulkan pujian kritis dan komersial di tingkat internasional. Karya-karyanya diakui sebagai bahasa gambar yang misterius dan ekspresif. Proses berkaryanya tampak bertumpu pada kemampuam intuitifnya dalam mengenali dan menafsirkan berbagai gejala dari lingkungan sekitarnya dan pengalamannya. “Red Story” menghadirkan gambaran manusia, hewan, simbol, dan bendabenda mati di hamparan luas kanvas yang terlabur penuh pigmen warna merah. Salah satu unsur penting untuk menikmati karya Yunizar adalah menyadari bahwa ia mendahulukan “rasa” yang akan dirangsang dengan menggabungkan semua indra perasa kita. Ia mengandalkan rasa dan sensasi penonton ketika melihat tumpahan merah di atas kanvas sambil menghadirkan sepenggal cerita yang serba terbuka, melibatkan berbagai kemungkinan pembacaan.

Y

unizar always puts psychological material into his painting and emphasises intuition when he creates his works of art. He is prominent on the Indonesian art scene. He receives both critical and commercial credit on the international stage. His works are applauded for their mysterious and expressive visual language. His creative process comes across as one of concentration on his intuitive ability to recognize and interpret various phenomena both in his surroundings and from his experience. “Red Story” presents an image of humans, animals, symbols, and other elements too, in the wide expanse of canvas replete with red pigment. One of the significant elements involved in perception of Yunizar’s work is understanding the priority he gives to “feeling,” stimulated by the fusion of all our senses. He relies on an audience’s feelings, their sensations, when they see the colour red spilling over the canvas, the presentation of an open fragment of a story which is open to to various possibilities of perception.

~ 11 ~


Pagi Yang Cerah Yunizar 2008

~ 12 ~


Acrylic on canvas 200 x 250 cm

Ground Floor

“P

agi Yang Cerah” adalah sebuah pemandangan yang ingin disampaikan Yunizar dalam aspek-aspek bawah sadar yang biasanya kita hiraukan. Lukisannya memberi kita petunjuk tentang sifat eksistensi semua manusia, yang dengan sederhana diawali di pagi hari sebagai permulaan yang tenang dan damai. Namun ada kalanya kita merasakan bahwa, pertanyaan sederhana seperti apa yang seharusnya dilakukan hari ini dan bagaimana akan melewatinya adalah hal yang kita bisa yakini tentang ketidaktahuan kita sendiri. Manusia digambarkan untuk pertama kalinya menyadari eksistensinya sebagai makhluk hidup saat matahari terbit, dan berhadapan dengan pertanyaan yang selalu menggoda kesadaran manusia: apa yang Anda lihat? Karya-karya Yunizar memang tidak pernah hadir sebagai karya yang serba bersih dan rapi. Ia tampak percaya pada kekuatan yang “seadanya”. Kesan kasar dan naïf dalam karyanya menegaskan sikap senimannya bahwa yang “indah” bisa hadir dari mana saja, dalam coretan, bentuk, warna yang serba sederhana.

“S

unny Morning” is a view presented by Yunizar of unconscious aspects we usually bother about. His painting gives us hint about the existential nature of humanity - that which simply gets started in the morning, calmly and peacefully. However, sometimes we sense simple questions, like ‘what should we do today’ and ‘how will we get by something of which we’re only sure we know nothing’’ Mankind is shown realizing for the first time that its existence as living creatures when the sun rises and facing the question which always teases human consciousness - ‘What do you see?’. Yunizar’s works of art certainly never come across as clean and tidy. He believes in the power of “scrabbling”. The impression of crudeness and naivety affirms his attitude as an artist - that “beauty” can be presented from anywhere, in plain scribblings, forms, and colors.

~ 13 ~


Landscape in my Head Christine Ay Tjoe 2009

~ 14 ~


Acrylic on canvas 180 x 260 cm

Ground Floor

K

arya ini menarasikan tentang Diri sebagai sebuah entitas yang kompleks dengan kebutuhan dan keinginan yang saling bertentangan; Diri dengan ego yang perlu diberi makan dan dijinakkan secara bersamaan. Diri yang mengetahui bahwa memiliki mimpi akan terus dibatasi oleh batasan dan tindakan sosial. Ay Tjoe Christine menempatkan dirinya di antara seniman Indonesia yang mendefinisikan seni kontemporer. Lukisan abstraknya dapat dilihat sebagai analisis eksistensial dari alam bawah sadar, sebuah pasangan dari ego dan pikiran untuk mengungkapkan kedalaman jiwanya. Sebuah pencarian terus menerus tentang diri, terutama identitas dalam kerangka tertentu. Bentuk abstrak pada lukisan ini diselaraskan dengan sejumlah elemen representasional, yang paling mencolok adalah sesosok bidadari terbang di bawah tengah kanvas. Dengan kemahirannya bermain kuas dan ia dengan tegas dan cepat menorehkan cat, mendistribusikannya dengan aksen warna yang berbeda di seluruh gambar semi-abstrak, untuk menciptakan sebuah citraan bentuk dan kedalaman. Landscape in my Head menarasikan potensi imajinatif, yang direpresentasikan melalui sosok bidadari dan bentuk abstrak. Sepanjang kekaryaannya, Ay Tjoe selalau menggunakan dirinya sebagai panduan untuk mengungkapkan misteri tersembunyi di dalam setiap individu.

T

his works tells about Self as a complex entity with contradictory needs and desires - Self and Ego that should be fed and tamed at the same time. Self knows that dreams will always be limited by social restrictions and social acts. Ay Tjoe Christine places herself among Indonesian artists who define contemporary art. Her abstract paintings can be observed as an existential analysis from the subconscious, a pairing of ego and mind to reveal the depth of her soul. It is a journey of search for self, especially identity within a certain framework. The abstract form in this painting is harmonized with some representational elements, such as a most conspicuous figure of angel flying in the lower central area of the canvas. With her mastery in deploying the brush and her rigor and pace in painting, she applies different accents of color to the whole semi-abstract painting, creating an abstruse form of imagery. Landscape in My Head recites an imaginative potency which is represented through the figure of the angel and the abstract form. Throughout her career, Ay Tjoe has always used herself as a guide to reveal hidden mystery inside each individual.

~ 15 ~


Sebatas Aroma (Limited to Scent) Rudi Mantofani 2008

~ 16 ~


Acrylic on canvas 170 x 250 cm

Ground Floor

“S

ebatas Aroma” adalah sebuah citraan tentang pemandangan tandus yang mencolok dan simbol kesombongan. Sebuah kritik yang dilemparkan oleh seniman pada sebuah wujud atau tampilan luar masyarakat kontemporer. Aroma disini diyakini sebagai sebuah daya tarik atau pesona tubuh yang akan mempengaruhi pikiran. Dengan memakai aroma yang fantastis, ia akan menggoda dan membawa efek yang lebih seduktif, menggoda. Wewangian secara naluriah juga dipercaya sebagai alat yang akan menenangkan pikiran.

Dengan menajamkan konsep pada indra penciuman, Rudi Mantofani mengajak kita untuk melakukan perjalanan yang mengadaptasi rute zat pewangi yang mengalir melalui hidung ke otak yang akan berdampak langsung terhadap bagian terdalam dari otak manusia. Dari lima indera manusia penglihatan, pendengaran, penciuman, perasa, dan sentuhan, bau secara langsung menghubungkan dengan korteks limbik, yang mengontrol insting. Karya ini mempersoalkan hubungan antara indra penglihatan dan penciuman yang bisa saling bersilangan: aroma yang penuh dengan hasrat namun didasarkan pada gagasan bahwa dunia penampilan adalah ilusi yang menyembunyikan realitas yang mendasar. Dari balik kaca wadah parfum, kita seolah diajak melihat gambaran bagaimana kenyataan tersembunyi dari pandangan kita sehari-hari.

“L

imited to Scent” is an image of a desert landscape encompassing a symbol of conceit. It is a criticique by the artist against the appearance of contemporary society. The scent represents bodily attraction or charm which affect the mind. By using exotic fragrance, there will arise temptation, adducing a more seductive effect. Fragrance is instinctively considered as a means to soothe the mind. By focusing his concept on scent, Rudi Mantofani invites us to take a journey formulated around the route of fragrances flowing from nose to brain, which will directly impact on the deepest recesses of the human mind. Of mankind’s five senses, more than sight, hearing, taste, or touch, the sense of smell is most directly connected to the limbic cortex that controls the instincts. The work discusses the relationship between sight and smell criss-crossing. Smell, full of desire, yet reflects the idea of the apparent world as an illusion hiding fundamental reality. Through the perfume’s container, we are invited to observe the illustration on how reality is concealed by from our everyday perceptions..

~ 17 ~


Double Lacan Knot Jean-Michel Othoniel 2012

~ 18 ~


Mirrored Glass & metal

Ground Floor

K

etertarikan Othniel pada kaca diawali pada tahun 1993 di Murano, Ia terpesona dengan ketidakberaturan bentuk mutiara, warna dan material tembus pandang yang melambangkan keinginan untuk melihat sesuatu tanpa halangan, sebuah kejernihan untuk memandang sesuatu dengan jelas. Karya ini diciptakan dengan menyusun manik-manik kaca besar yang banyak mengambil inspirasi dari Lacan. Ia mencoba mewujudkannya dengan subjek yang mewakili keseimbangan antara yang nyata, simbolik dan imajiner. Sisi ambiguitas materinya diolah untuk memunculkan karakter kaca yang sakral saat terkena pembiasan cahaya, sebagaimana ditemukan dalam pantulan sinaran matahari yang menembus jendela gereja.

Pencariannya terinspirasi oleh simpul, tanda-tanda yang tak terbatas, berpautan satu sama lain dan membentuk sebuah ikatan, terjalin oleh sentuhan tangan manusia dan bukan tertata oleh mesin. Dengan olahan dan bahan yang khas ini karyanya justeru mengungkapkan keindahan dalam momen, sejenak hadir dan berubah. Instalasinya terintegrasi dengan baik dalam ruang dan cahaya yang bersemburat memancarkan kilau dari material kacanya.

O

thoniel’s interest in glass began in Murano, in 1993. He became enraptured by the irregularity of pearl, its translucent colour, a material that symbolizes man’s desire to see something without distraction or obstacle, observation pure and clear. This work is created by a compilation of large glass beads, inspiration taken from Lacan. His objective is the creation of a subject which represents a balance between the tangible, the symbolic, and the imaginary. The ambiguous aspect of the material is processed to show the sacred characteristics of glass exposed to refracted light, as can be seen in the reflection of sunlight penetrating church windows. His quest is inspired by entangling endless signs, interlocked with one another, and creating a bond, sealed by the touch of the human hand, not arranged by any machine. By means of these specific products and materials, his work reveals precisely the beauty in a moment that is both present and moving through time. Thus installed, it is well integrated in a space where tinged light radiates sparklingly from the glass. Othoniel was born in Saint-Étienne, 1964. He lives and works in Paris.

Othoniel lahir di Saint-Étienne pada tahun 1964. Dia tinggal dan bekerja di Paris. ~ 19 ~


LOVE Robert Indiana 1966 - 1999

~ 20 ~


Polychrome Aluminum 244 x 244 x 122 cm Edition: AP 2/2, from an edition of 5 plus 2 Aps

Ground Floor

L

OVE adalah salah satu ikon Pop Art yang dibuat oleh seniman Amerika Robert Indiana. Karya ini menjamur dan bertransformasi ke dalam bentuk, warna dan ukuran yang berbeda sejak tahun 1966. Patung LOVE juga tersebar di jalan-jalan dari New York hingga ke Taipei. Dengan jeli Indiana menggunakan kata-kata untuk mengeksplorasi tema identitas Amerika, ketidakadilan rasial, ilusi dan kekecewaan. Dia mulai memproduksi gambar pertama dari “LOVE” sebagai ilustrasi dari kumpulan puisi dan lukisan “Love is God”—pembalikan dari “God is Love”, Allah adalah kasih—yang pernah dia lihat di dinding gereja semasa kecilnya. LOVE adalah pernyataan subversif anti-perang dan anti kekerasan, dengan mengajukan cinta dan perdamaian sebagai gantinya. LOVE menjadi lebih dari sekedar instalasi karya, tapi juga sebuah karya seni yang politis dengan menggunakan kekuatan empat huruf yang dengan lantang membahas isu-isu yang paling mendasar yang dihadapi umat manusia; cinta yang memberikan arti baru untuk pemahaman kita tentang ambiguitas makna American Dream dan nasib individu dalam masyarakat majemuk. Indiana hingga kini masih sibuk berkarya. Pada tahun 2011, tiga karya patung “LOVE” terjual lebih dari $4 juta. Karyanya sangat beragam dan telah jadi bagian dari koleksi banyak museum seni.

L

OVE is one of the Pop Art icons created by the American artist, Robert Indiana, which have spread and been transformed into various forms, colors, and different sizes since 1966. The LOVE sculptures can be found in locations from New York City to Taipei. Indiana uses words to explore American identity, racial injustice, illusion, and frustration. He started the first drawing of ‘LOVE” as an illustration for a poetry and painting anthology entitled “Love is God” – an inversion of “God is Love” - that he had once seen written on a church’s wall during his childhoood. LOVE is a subversive anti-war and antiviolence statement, deploying using love and peace as the substitutes for those things. LOVE is more than an installation work, but also a political work, using the power of those four letters, which loudly discusses fundamental issues faced by all humanity; love also gives new meaning to our understanding of the ambiguous definition of the ‘American Dream’ and the fate of the individual in the social agglomeration.. Indiana is still at work today. In 2011, three of his “LOVE” sculptures were sold for more than 4 million dollars. His works are various and have found a place in prominent art museums around the world, such as MoMA, New York. terkemuka—MoMA, New York, salah satunya.

~ 21 ~


Mega Mendung Hadiwirman Saputra 2015

~ 22 ~


Acrylic on canvas mounted on composite panel 244 x 495 cm (12 panels)

Ground Floor

‘M

ega Mendung’ mengungkapkan esensi dari karakter objek dan representasi melalui pengaturan komposisi. Dengan mengandalkan kepekaan dalam mengenali berbagai potensi bentuk dan bahan, Handi memanifestasikan susunan objek dengan proporsi yang mengacu pada keseimbangan tubuh manusia. Ia membongkar dan mengkonstruksi ulang logika-logika penyejajaran dan mengatur mereka ke dalam “kalimat” seni. Maka, salah satu komponen yang paling penting dari lukisan ini adalah komposisinya. Karya ini dapat menjadi contoh yang baik bagi kita yang ingin menelusuri bagaimana seorang seniman sesungguhnya meniti waktu dan menata berbagai benda dan unsur-unsur lain untuk sampai pada kondisi “indah”. Penataan yang hadir di sini jelas bukan merupakan hasil dari tindakan sewenang-wenang, tetapi wujud dari keputusan yang terhitung. Ada keutuhan saat potongan saat objek-objek tunggal disatukan. Sementara penggambaran berbagai benda yang tampak rinci dan jelas menunjukkan bagaimana seniman ini sungguh menghayati berbagai unsur visual yang sesungguhnya menghadirkan bendabenda itu.

‘M

ega Mendung’ reveals the essence of an object’s character and representation by means of an arrangement of composition. By depending on his sensitivity in recognizing the potency of form and material, Handi manifests the structure of objects with proportions based on the balance of the human body. He exposes and reconstructs logical alignments and arranges them into the “sentence” of art. Thus one of the most significant components of this painting is its composition. This work can be a good example for those who want to contemplate how an artist actually spends his time and arranges various objects and other elements to get a “magnificent” condition. This arrangement is clearly not a result of mere arbitrary acts, but from calculated decisions. There is integrity when the pieces of individual objects are combined. Meanwhile, the depiction of various objects in clear and detailed form shows how this artist truly appreciates the variety of visual elements that actually present those objects.

~ 23 ~


Lindung Bumi Rudi Mantofani 2002

~ 24 ~


Acrylic on 140 x 140 cm

Upper Ground Floor

P

endekatan Mantofani dalam karyanya sejak awal memang sudah mencuri perhatian. Di atas kanvas, ia membalik-balikkan logika berpikir. Sederhana, tapi memikat, dan lantas meninggalkan kesan yang mendalam. Melalui karya-karyanya Rudi Mantofani mencoba mengembangkan konsep klasik lukisan “lansekap” dan “still life”. Ia berusaha menyuntikka semangat baru ke dalam ‘genre’ yang kolot ini. “Lindung Bumi” merupakan karyanya yang tumbuh dari ide yang berusaha memperluas dan mengungkapkan sisi penting dari dunia. Karya ini memungkinkan pemirsa untuk memperluas pemahaman mereka tentang kepedulian lingkungan, yang hanya dapat diatasi melalui upaya kerjasama dari masyarakat internasional. Mantofani memang tidak sedang melancarkan kritik atau proposal untuk suatu solusi. Ia hanya mengajukan ajakan untuk memikirkan ulang pemahaman kita akan keberadaan kita di bumi, planet kecil hijau-kebiruan yang tampak sendiri dan rapuh di keluasan jagad raya yang belum tuntas kita kenali ini.

F

rom the very start, Rudi Mantofani’s approach gets one’s attention. On his canvas, he reverses logic.

It is simple yet fascinating, with a lingering, deep impression. Through this work of art, Rudi Mantofani tries to develop the classic concepts of “landscape” and “still life” painting. He tries to inject new spirit into this conservative genre. “Save the Earth” is a work that developed from the idea of expanding and revealing the significant aspects of the world. It enables the audience to widen their understanding of environmental concerns, which is being thwarted by international collaboration. Mantofani is not offering specific criticisms or proposals for particular solutions. He just holds out an invitation to re-think our understanding about our existence on Earth, a small, blue-green planet which seems to be alone and fragile in the vastness of the universe.

~ 25 ~


Seri Bidang dan Bayangan Kapuk II Handiwirman Saptuera 2005

~ 26 ~


Acrylic on 190 x 145 cm

Upper Ground Floor

H

H

Penekanan tematik dalam lukisan Handiwirman adalah pada masalah persepsi, cara melihat. Obyek yang dilihat dalam lukisannya adalah bentuk representasi visual, dua dimensi, dari objek ia rakit dan buat terlebih dahulu. Dengan pertimbangan hati-hati ia memilih bahan dan warna untuk memprovokasi persepsi kita. Selanjutnya, kita terbawa masuk dalam suatu pergulatan imajinatif, saat kita berupaya mengasosiasikan bentuk-bentuk itu dengan hal-hal yang akrab dalam kehidupan sehari-hari. Tidak ada makna definitif atau narasi utama yang disajikan di sini. Karena, semua bisa tertunda atau bahkan dibatalkan oleh berbagai kemungkinan asosiatif yang disusun oleh pemirsa sendiri.

Handiwirman thematic emphasis in painting is the perception issue, how to see things. The object seen in the painting is a form of visual representation, two-dimensional,an object of he floated and had created previously. With due care and consideration he has chosen materials and colors to provoke our perception. From there, we find ourselves carried away into an imaginative struggle, seeking to associate the forms with things that are familiar in everyday life. There is no definitive meaning or primary narrative presented here. This is due to the fact that all might be delayed or even thwarted by a variety of associative possibilities stored up by viewers themselves.

andiwirman Saputra piawai dalam perkara menyampaikan persepsi yang aneh tentang realitas, menerjemahkan jejak visual dan potensi fisik berbagai media dan objek. Melalui interaksinya dengan cahaya, bentuk, tekstur, warna dan kertas dalam karya ini membangkitkan keindahan yang ada di sekitar kita, dari ranah kehidupan sehari-hari yang tampak remeh, terabaikan.

andwirman Saputra is expert in matters of conveying a peculiar perception of reality, translating traces of visual and physical potential from a variety of media and objects. Through his interaction with light, form, texture, color and paper, this work of art evokes the beauty that is all around us from the petty and neglected sphere of everyday life.

~ 27 ~


Kokoro Jean-Michel Othoniel 2012

~ 28 ~


Mirrored Glass & metal

3rd floor

J

ean-Michel Othoniel lahir pada tahun 1964 di Saint-Etienne, Perancis. Di awal kariernya dia banyak menggunakan bahan yang memiliki sifat dan bentuk yang berubahubah seperti belerang, timah, lilin dan air, sampai kemudian dia menemukan bahan kaca sebagai salah satu bahan utama untuk karya-karyanya. Karya-karyanya telah tampil dalam berbagai pameran seni rupa dan juga ada dalam koleksi sejumlah museum. Termasuk karya berjudul “Kokoro” ini, dengan beberapa karya serupa juga ada di museum seni rupa di Korea Selatan dan Jepang. Othoniel membuat “Kokoro” berbahan kaca yang telah diwarna dan dipoles khusus sehingga tampil berkilau, menerima dan memantulkan cahaya dan bentuk yang ada sekitarnya. Rangkaian bola kaca ini tampak seperti manik-manik atau bahkan butiran mutiara besar yang tersambung dalam satu untaian. Dari sudut tertentu bentuk karya terlihat seperti bentuk hati, suatu ikon visual yang tersebar dalam budaya populer masa kini sebagai lambang “cinta” atau juga “perdamaian”. “Kokoro” tampil dengan gradasi putih mutiara, warna merah muda, hingga semu ungu, paduan warna yang melayangkan ingatan kita pada warna bunga dan keriangan musim semi, menawarkan semangat dan kegairahan baru.

J

ean-Michel Othoniel was born in 1964 in Saint-Etienne, France. At the beginning of his career, he used many malleable materials, including sulphur, wax and water, until he settled on glass as one of his primary materials for his works of art. His art has been exhibited in many exhibitions and has formed part of museum collections, including ‘Kokoro.’ Some similar works have been displayed in art galleries in South Korea and Japan. ‘Kokoro’ was created from colored glass, polished to achieve a special shine, attracting and absorbing and reflecting light throughout its surrounding area. The glass balls resemble beads or even a large string of pearls. The heart shape is a visual icon in popular culture, symbolizing ‘love’ or ‘peace.’

~ 29 ~


Cruel Fairy Tale 2-1, 2-2 So Hyun Woo 2010

~ 30 ~


Stainless Steel 90 x 145 x 130 cm

Gandaria City Mall

K

ita sudah lama meyakini dan terbuai bahwa dongeng adalah cerita tentang kebahagiaan. Namun, dalam karya ini kekejaman menjadi bagaian dari sebuah dongeng yang menciptakan situasi yang tidak nyaman dan asing. Hyun-Woo sedang menekankan pergeseran dongerng dari dunia untuk anak-anak kepada orang dewasa. Sebuah dongeng dibuat untuk anak-anak yang memiliki mimpi. Namun, kisah tersebut tidak menceritakan sebuah kisah mimpi, tapi pengekangan, kisah aturan tak tertulis, dan cerita tentang tabu dan larangan. So Hyun Woo membuat sebuah dongeng kejam, setiap kisah mewakili persepsi negatif terhadap realitas. Ketika cerita berubah menjadi kebohongan, realitas alam yang tanpa disadari mengungkapkan prinsip-prinsip kenyataan. Hal ini berbanding terbalik dengan sifat kekanakkanakan yang polos seperti cerita yang dibuat untuk impian mereka. Sayangnya, bagaimanapun, cerita ini adalah hasil dari kenyataan yang pahit, dan fakta-fakta yang putus asa. Tidak ada yang epik dalam dongeng ini. Yang hadir justeru sebuah ironi.

I

t has, for a very long time, been our belief and our source of relief, that a fairy-tale is a story of happiness. However, in this work, cruelty becomes a part of the tale, creating an uncomfortable and bizarre situation. Hyun-Woo is emphasizing the transformation of fairy-tales from the child’s world to that of adults. A fairy-tale is made for children’s dreams. Nevertheless, this story does not tell of dreams, but rather of repression, unwritten rules, a story about taboos and prohibitions. Thus Hyun Woo creates a vicious tale, each telling reflecting a negative perception of reality. When the story turns into a lie, the unwitting reality of nature describes the principles of reality. It is inversely proportional to the nature of children, innocent like the story made for their dreams. Alas, this story emerges from bitter circumstances and hopeless issues. Far from being any kind of epic, what is present is in fact irony.

~ 31 ~


Great Gigantic Pumpkin Yayoi Kusama 2013

~ 32 ~


Fiberglass reinforced plastic, urethane paint, metal H 245 x diameter 260 cm

Gandaria City Mall

L

abu adalah salah satu motif penting dalam karya Yayoi Kusama karena bermuasala dari dalam refleksi pribadi terhadap masa lalunya, semasa Perang Dunia II. Saat itu persediaan pangan di Jepang umumnya terganggu, kampung halaman Kusama, Matsumoto relatif tak tersentuh oleh konflik dan produk lokal untuk bertahan hidup masih mencukupi dan berlimpah. Bisnis keluarganya adalah grosir bahan pangan, dan gudang mereka selalu dipenuhi oleh labu. Dari sisi bentuk dan ukuran Kusama secara konsisten menghadirkan labu ini sebagai representasi dari ketegangan dan kejanggalan yang ada dalam hubungan teknologi modern dan alam. Di satu sisi labu mengajukan konotasi kuasa alam, pertumbuhan dan kesuburan. Ukurannya yang meraksasa menyatakan persembahan dari alam yang dapat memberi makan seluruh manusia. Namun di sisi lain, ukuran dan seluruh permukaannya yang bersaput warna kuning cemerlang, dipenuhi bintik hitam besar-kecil, menyebabkan labu ini tampak ajaib, seolah hadir dari keanehan dunia dongeng.

P

umpkin is one of the important patterns in Yayoi Kusama’s work, because it issues from her personal reflection on her past during World War II. At that time, there was a problem of food supply in Japan. Kusama’s hometown, Matsumoto, was relatively untouched by conflict and local products were plentiful, sufficient for survivall. Her family business was comestibles, and their store was always full of pumpkins. Seen from its size and shape, Kusama consistently presents the pumpkin as a representation of tension and peculiarity in the relationship between modern technology and nature. On the one hand, the pumpkin raises a connotation of a force of nature, growth, and fertility. Its gigantic size expresses a boon of nature capable of feeding all humanity. However, on the other hand, its size and that surface covered with bright yellow color, full of large and small black dots, causes the pumpkin to look magical, as if it comes from some whimsical wonderland.

~ 33 ~


Horse Riding Tae Kwon V Kim Seok 2009

~ 34 ~


Wood 350 x 430 x 270 cm

R

Gandaria City Mall

obot selalu dianggap sebagai mainan kesayangan anak-anak dan lekat dengan memori. Di Asia ia merupakan bagian dari budaya pop. Sebagai anak pemilik toko mainan, Kim punya akses yang tak terbatas terhadap ikon idolanya dalam bermacam bentuk mainan. Dan ia tentu saja menikmati model-model robot plastiknya. Bertahun-tahun kemudian sebagai seniman, keintiman Kim terhadap kayu mulai terbentuk dengan menjadikan robot sebagai rujukan utama objek ciptaannya. Robot-robot tersebut diposisikan sebagai perpanjangan kontemplasi manusia akan eksistensinya sendiri. Kerinduan, memori dan harapan, baik kolektif dan pribadi, sangat penting untuk daya ciptanya. Robot ia hadirkan untuk mengekspresikan tematema dalam tubuh manusia yang dapat berlaku sebagai perangkat fungsional yang dapat menyerap dan memancarkan energi, mengolah sinyal dan tanda, berkomunikasi.

R

obots are always considered as toys beloved by children, closely embedded in their memories. In Asia, they are part of popular culture. As a child of a toyshop owner, Kim had unlimited access to his favorite icons in various forms. Of course, he enjoyed his plastic robot designs. Years later, as an artist, the intimacy between Kim and wood was created by using ‘the robot’ as the main reference for his creations. Those robots are positioned as an extension of human contemplation about one’s own existence. Yearning, memory, and hope, both collective and personal, are important for his creativity. He presents his robots to express themes inside the human body that can be obtained as functional devices, which can absorb and emit energy, process signals and signs, and communicate.

~ 35 ~


LOVE Robert Indiana Conceived in 1966 and executed in 2000

~ 36 ~


Polychrome Aluminum 182.9 x 182.9 x 91.4 cm This work is number three from an edition of six

Gandaria City Mall

L

OVE adalah Robert Indiana. Bentuk dan strukturnya telah berubah secara signifikan sepanjang tahun dari 1958-1966 dan bahkan hingga hari ini. Ikonografi LOVE pertama kali muncul dalam serangkaian puisi awalnya ditulis pada tahun 1958, di mana Indiana menumpuk huruf LO dan VE di atas satu sama lain. Patung LOVE pertama kali diukir dari blok aluminium yang solid dan kasar. Di tahun 1965, Indiana ditugaskan untuk merancang sebuah kartu Natal untuk Museum of Modern Art, New York, pada tahun 1965. Kartu yang menghadirkan kata LOVE dalam susunan bentuk yang khas itu jadi produk paling populer yang pernah diterbitkan MoMA. LOVE adalah ikon budaya dan telah digunakan secara luas di seluruh dunia dengan atau tanpa persetujuan senimannya. Ikonografi ini telah bertransformasi menjadi barang siap pakai seperti perangko, poster, tatakan gelas, notebook, tas tote, T-shirt, magnet dan mug. Ia menjadi salah satu contoh yang populer dalam kasus reproduksi massa. Tetapi, LOVE tetap bisa jauh melampaui itu. Ia bukan hanya hanya simetri, warna dan bentuk, tetapi juga tuturan paling lugas yang sesungguhnya membahas politik, agama dan kondisi manusia masa kini.

L

OVE is Robert Indiana. The form and structure have changed significantly all through the years from 1958-1966 and on up to the present day. The LOVE iconography first appeared in a series of poems originally written in 1958, in which Indiana heaped the letters LO and VE on top of each other. The LOVE sculpture was first carved from a rough, solid aluminum block In 1965, Indiana was commissioned to design the annual Christmas card for the Museum of Modern Art, New York. The card presented the word LOVE in his typical arrangement of shapes and became the most popular product ever published by MoMA. LOVE is a cultural icon and has been used extensively throughout the world, with or without the consent of the artist. This iconography has been transformed into ‘ready-for-use’ goods such as stamps, posters, coasters, notebooks, tote bags, T-shirts, magnets and mugs. It became a classic popular example of this kind of mass reproduction. However, LOVE can still go far beyond that. It’s not only the symmetry, color and shape, but also the most straightforward discourse truthfully addressing politics, religion and the human condition today.

~ 37 ~


Bunga Kehidupan II Redy Rahadian 2010

~ 38 ~


Stainless Steel 105 x 230 cm

Gandaria City Mall

D

engan figur-figurnya, Redy Rahadian mencoba menghadirkan suasana dramatik. Ia memang tak terlalu mempersoalkan amat tentang kewajaran dan plastisitas dari anatomi. Yang penting agaknya sosok dan drama yang hendak disampaikannya terbaca oleh orang banyak. Redy Rahadian lahir di Cianjur, Jawa Barat, 17 Mei 1973. Ia menyelesaikan pendidikan di Institut Saint Joseph, Brussels, Belgia. Patungnya terbuat dari logam, terutama baja, baja ringan, atau perunggu. Karyanya menggambarkan sosok manusia dan benda-benda yang terdistorsi sedemikian rupa namun memiliki jiwa yang kuat untuk melahirkan gerakan yang mendalam. Kadang-kadang, distorsi ini menimbulkan humor, serta sindiran. Bunga Kehidupan adalah simbol religius dan spiritual, sebuah konsep dasar yang menjelaskan pola penciptaan dunia ini, dunia yang ‘ada dari ketiadaan’. Dalam alur pemikiran ini, pola bentuk geometris mencerminkan arti kesempurnaan dan harmoni. Bunga Kehidupan adalah simbol yang mengandung nilai religius yang menggambarkan bentuk dasar ruang dan waktu. Ini adalah ekspresi visual tentang hubungan kehidupan yang berjalan melalui semua makhluk hidup dan pengetahuan tentang jagat raya.

W

ith his configurations, Redy Rahadian attempts to create a dramatic atmosphere. He is not actually intent on questioning the balance and plasticity of the anatomy. The important thing seems to be stature, and the dramatic impact being conveyed the many who read it. Redy Rahadian was born in Cianjur, West Java, May 17, 1973. He completed his education at Saint Joseph Institute, Brussels, Belgium. His sculptures are made from metal, particularly steel, steel alloys or bronze. His works depict human figures and objects which are distorted in some way but with a strong soul to give birth to a deep movement. Sometimes, these distortions head towards humor and satire. Flower of Life is a religious and spiritual symbol, a basic conceptualisation which explains the creation of this world’s design, a world that constitutes ‘existence from nothing’. In his mode of thought, patterns of geometric shapes reflect a sense of perfection and of harmony. Flower of Life is a symbol containing religious value that describes the basic forms of space and time, a visual expression of the relationship of life that runs through all living things and our awareness of the universe.

~ 39 ~


Still Untitled Bayu Yuliansyah 2009

~ 40 ~


Mixed Media Variable dimension

I

Gandaria City Mall

de utama Bayu Yuliansyah adalah kecintaanya terhadap objek yang ditandai dan didominasi oleh material yang direpresentasikan oleh benda, artefak dan komoditas. Pada karyanya, Ia memilih rokok sebagai pilihan atau kecenderungan pribadi yang diwakili oleh jiwa seniman. Menariknya, merokok dianggap sebagai sesuatu yang reflektif dan introspektif, merenungkan kehidupan dan alam semesta. Padahal, rokok juga dijabarkan dengan realita untuk mengambil satu langkah lebih dekat dengan kematian dalam setiap tarikan asapnya. Namun, saat yang sama, merokok bagi sebagian orang diterima sebagai kemungkinan untuk mengambil waktu lebih jauh dari realitas dengan merenungkan apa yang telah belum dilakukan sebelum kata kematian datang. Karya ini menyoroti kerapuhan dan halhal remeh temeh kehidupan. Rokok juga kehidupan adalah candu yang menangani kompleksitas pemahaman tentang kehidupan.

B

ayu Yuliansyah’s main idea is his love for objects, characterized and dominated by material represented by objects, artifacts and commodities. In this work, he has chosen smoking as a personal choice or inclination represented by the artist’s soul. Interestingly, smoking is seen as something reflective and introspective, pondering life and the natural universe. In fact, cigarettes are also described realistically , taking us one step closer to death with every pull of smoke. However, at the same time, smoking for some people is accepted as an opportunity to take more time-off from reality, to reflect on what remains to be done before the death comes along. This work highlights the fragility and trivia of life. Smoking is moreover an addiction which deals with the complexities of understanding life.

~ 41 ~


Taichi Series Ju Ming 1994

~ 42 ~


L: 145 x 77 x 164 cm R: 158 x 89.5 x 135 cm Bronze Edition 6/8

Gandaria City Mall

T

aichi Series adalah karya terkenal dari Ju Ming. Sebagian besar karya-karya yang dipamerkan berukuran besar, terbuat dari perunggu. Taichi Series adalah perwujudan nyata dari keprihatinan dan perhatian sang seniman atas aspek spiritual dalam masyrakat modern. Karya-karya Ju Ming memiliki akar dalam tradisi Cina. Ia berusaha menyatukan semangat filosofis dari bentuk-bentuk yang menghubungkan peradaban modern dan budaya tradisional. Dalam seri Taichi-nya, subyek manusia terlihat konkret dengan abstraksi dan volume yang membentuknya. Taichi adalah refleksi yang menekankan konsentrasi gerak yang selaras dengan dengan pola pikir, yang memungkinkan manusia untuk mendapatkan esensi dan makna sebenarnya dari gerakan-gerakan kehidupan. Inilah inspirasi da nisi utama dalam karya-karyanya. Taichi adalah soal menghormati alam, menempatkan manusia dalam suatu kesadaran bahwa energi alam, kuasa alam, dan kuasa manusia adalah hadir serentak dalam kesatuan, harmoni.

“T

aichi Series” is a wellknown work of art by Ju Ming. The greater part of his exhibited works are created from bronze and done on a large scale. “Taichi Series” is a true revelation of the artist’s concern for and attention towards the spiritual aspects of modern society. Ju Ming’s works have their roots in Chinese traditions. He tries to put together a philosophical enthusiasm from shapes which link modern civilization and traditional culture. In his “Taichi series”, mankind as a subject can be seen as a concrete shaping by abstraction and volume. Taichi is a reflection emphasizing focus on harmony between motion and mindset, which enables human beings to grasp essence and genuine meaning from the ebb and flow of life. It is the inspiration and main content of his works of art. Taichi is about respect for nature, positioning humanity within one awareness, of natural energy, the power of nature, and the force of humankind, all of which are presented in one totality harmony.

~ 43 ~


Woman on Horse Fernando Botero 2002

~ 44 ~


Bronze with dark brown platina 254.6 x 164 x 121 cm

Gandaria City Mall

F

ernando Botero adalah seorang seniman modern yang terkenal secara internasional lewat karya seninya yang ditandai dengan bentuk sosok yang serba gemuk. Sepanjang tahun 1950, Fernando Botero mulai bereksperimen dengan proporsi dan ukuran. Setelah ia pindah ke New York City pada tahun 1960 ia mulai mengembangkan gaya khasnya. Sekilas, karyanya sekedar menampilkan citraan obesitas. Dibalik itu ia boleh jadi sedang membuat pernyataan tentang kerakusan dan konsumerisme masa kini. Pokoknya, Botero memiliki kecenderungan untuk bermain dengan konsep volume. “Woman on Horse” adalah citraan alegoris merunut kisah Joan of Arc sang perempuan perkasa yang masuk kancah perang dengan berkuda. Dengan proporsi yang “serba gemuk”, Botero sedang malancarkan sindiran bernada humor terhadap cara-cara kita membangun persepsi—atau ilusi—tentang “keindahan tubuh” (perempuan dan kuda).

F

ernando Botero is a well-known modern artist whose international reputation arose through works of art distinguished by fat figures. In 1950, Fernando Botero started experimenting with proportion and size. After moving to New York City in 1960, he started to develop his characteristic style. At a glance, his works present imagery about obesity. Behind that, he might be creating a statement about greed and modern consumerism. First and foremost, Botero tends to play with the concept of volume. “Woman on a Horse” is allegorical imagery tracing the story of Joan of Arc, a brave woman who went to war on horse-back. Using the proportion of “totally fat”, Botero presents humorous satire on our ways of constructing perception—or illusion— about “bodily beauty” (woman and horse).

~ 45 ~


Myth Venus Marc Quinn 2005

~ 46 ~


painted bronze 305 x 228 x 200 cm

Gandaria City Mall

M

M

arc Quinn adalah seniman Inggris yang mulai mendapat sorotan di ranah seni rupa kontemporer Eropa sejak akhir 1980an bersama rekan-rekannya yang kini populer dengan sebutan Young British Artists. Sosok patung Myth Venus merujuk langsung pada supermodel asal Inggris, Kate Moss, yang pernah sangat terkenal di awal 1990an. Patung ini memosisikan Moss sebagai Venus, sang dewi kecantikan, dalam konteks sosial-budaya media massa dan konsumerisme masa kini, saat informasi dan konsumsi banyak didorong oleh citra ketimbang fakta, oleh mitos ketimbang pengetahuan.

arc Quinn is a British artist who has emerged into the spotlight in the realm of contemporary art in Europe since the late 1980s and who is, along, with his colleagues, now popularly known as the Young British Artists. The ‘Venus Myth’ statue refers specifically to the British supermodel, Kate Moss, who was very famous in the early 1990s. This statue positions Moss as Venus, the Goddess of Beauty, in the socio-cultural context of today’s mass media and consumerism, a time when information and consumption are driven by image rather than reality, by myth rather than science.

Seperti Venus, Moss menjadi sosok yang populer dan ideal, tapi sekaligus misterius dan jauh karena sesungguhnya tidak banyak yang sungguh-sungguh kita kenali dan ketahui tentang sosok itu. Meskipun membawa ingatan kita pada sosok ideal Venus dari khasanah kebudayaan Barat Klasik, Quinn juga mengingatkan kita pada masalah kekinian.

Like Venus, Moss became a popular figure, an ideal, but simultaneously mysterious and distant, because in fact there is little we truly grasp and know thereof. Although he brings forth our memories of the idealised figure of Venus from the repertoire of classical Western culture, Quinn also conjures up contemporary issues.

Sosok Kate Moss adalah sosok nyata masa kini, dan bukan sekedar tubuh allegorikal, ia tidak sedang berpose contraposto seperti lazimnya patung dewi Yunani-Romawi, tapi meliuk dalam posisi Yoga. Karya Quinn ini mengajak kita mengagumi kekuatan citra di masa kini, yang dapat menyuruk sampai ke dalam kesadaran kita, membentuk citarasa dan keyakinan kita pada yang ideal, melebur batas yang nyata dan yang semu belaka.

The figure of Kate Moss is a reality in our present, and not just an allegorical figure. She is not taking a ‘contraposto’ position as commonly presented in Greco-Roman sculpture, but in a bending Yoga position. Quinn’s work invites us to admire the power of contemporary image,steeped deeply in our consciousness, shaping our tastes and our beliefs in ideals, fusing the boundary between what is real and what is illusional.

~ 47 ~


Dancers Fernando Botero 2012

~ 48 ~


Bronze 300 x 122 x 200 cm

Gandaria City Mall

F

ernando Botero, seniman terkemuka asal Colombia, telah berhasil menghadirkan kembali kekuatan patung berukuran besar dalam mengisi ruang publik di perkotaan, dari Paris, New York hingga Singapore. Karyanya, baik karena bentuk figur serba montok dan gemuk maupun tema dan adegannya, menyajikan sepenggal peristiwa yang tampak hadir dari dunia dongeng namun sekaligus akrab dalam aktivitas sehari-hari yang kita kenali. Pasangan yang sedang menari adalah motif visual yang sering tampil dalam karya Botero, baik lukisan maupun patung. Karya ini menampilkan sepasang kekasih yang sedang menari, jelas mengambil inspirasi dari ranah kebudayaan Amerika Latin yang memberi tempat penting bagi kegiatan menari (tango). Sementara kesederhaan bentuk dan bahan yang ia gunakan punya kedekatan dengan patungpatung dari masa purba Mesoamerica. Dalam satu kesempatan, Botero juga mengakui bahwa pendekatan patungnya— yang ia sebut sebagai “seni yang montok (gemuk), fat art” juga mengambil rujukan pada seni patung dari masa klasik Yunani Kuno saat kesempurnaan tubuh sengaja dihadirkan melalui serba montok dan berisi, tampak berlebihan, seperti terlihat dalam karya-karya Phidias.

F

ernando Botero, a prominent artist from Colombia, has already succeeded in reintroducing the vigor of large-scale sculpture into urban public spaces, from Paris to New York to Singapore. His work, maybe because of the utterly voluptuous and plump figures, or the themes and scenes, presents a segment of a happening that seems to come from the realm of fairy tales, yet is familiar in our actual daily routines. The dancing couple is a visual motif which repeatedly crops up in Botero’s works, both in his paintings and his sculptures. This work displays a pair of lovers dancing, clearly taking inspiration from the realm of Latin American culture that gives pride of place to dancing (tango). Meanwhile, the simplicity of shapes and materials that he uses bear close resemblance to sculptures from the long-ago Meso-American era. In this one opportunity, Botero also recognizes that his approach to statuary, which he describes as “the art of plump” ‘fat art’ - also refers to the sculpture of the classical period of ancient Greece, when bodily perfection was consciously presented in the form of an excessivley rounded, plumpness, as seen in the works of Phidias.

~ 49 ~


“The true work of art is but a shadow of divine perfection.” ~ Michelangelo ~


~ 51 ~


Sheraton Grand Jakarta Gandaria City Hotel Jl. Sultan Iskandar Muda Jakarta 12240, Indonesia T. +62 21 806 30888 F. +62 21 806 30889 sheraton.jakartagandariacity@sheraton.com www.sheraton.com/jakartagandariacity

Gandaria City Mall Jl. Sultan Iskandar Muda Jakarta 12240, Indonesia T. +62 21 2905 2888 customercare@gandariacity.co.id www.gandariacity.co.id

~ 52 ~


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.