Modul Kelembagaan Kerjasama Daerah

Page 1

MODUL KELEMBAGAAN KERJASAMA DAERAH





MODUL KELEMBAGAAN KERJASAMA DAERAH



Kata Pengantar

KATA PENGANTAR Salam Sejahtera, Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan YME dengan rahmatnya bahwa Modul Kelembagaan Kerjasama Antar Daerah (KAD) dalam rangka sinergitas usaha Pemerintah Daerah dan masyarakat sesuai dengan potret kapasitas potensi daerah berbasis produk lokal. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2018 tentang Kerja Sama Daerah, Penyelenggaraan Kerja Sama Daerah juga dimaksudkan sebagai sarana untuk lebih memantapkan hubungan dan keterikatan daerah yang satu dengan daerah yang lain dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, menyerasikan pembangunan daerah, menyinergikan potensi antardaerah, daerah dengan pihak ketiga, dan daerah dengan pemerintah daerah atau lembaga di luar negeri serta meningkatkan pertukaran pengetahuan, teknologi, dan kapasitas fiskal daerah. Atas dasar penugasan tersebut, maka Pemerintah Daerah dalam hal ini Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota menjadi mitra yang terlibat dalam penyusunan Modul Kelembagaan KAD. Terkait hal tersebut dirasakan perlu untuk menyusun sebuah Modul Kelembagaan Kerjasama Antar Daerah (KAD) agar dapat memberikan acuan kerja di lapangan dalam mendukung tugas keserasian usaha kawasan strategis dan kawasan pendukung. Dengan adanya dokumen KAD ini dapat memenuhi kebutuhan semua pihak dalam rangka mendorong peningkatan kapasitas pembangunan kawasan sesuai dengan kebutuhan, kondisi sosial masyarakat dan peraturan yang berlaku.

v


vi

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR

vii

DAFTAR ISI

viii

DAFTAR TABEL

vii

DAFTAR GAMBAR

vii

DAFTAR ISTILAH DAN SINGKATAN

xi

CARA PENGGUNAAN MODUL PELATIHAN

xiii

Bab 1. Pendahuluan

15

1.1. Latar Belakang

18

1.2.Tujuan Penyusunan Modul

18

1.3. Kelompok Sasaran

18

1.4. Pendekatan Pelatihan

18

1.5. Metode Pelatihan

18

1.6. Kriteria Fasilitator

18

1.7. Evaluasi Pelatihan

18

1.8. Agenda Pelatihan

19

Bab 2. Pokok Bahasan I : Urgensi Pelembagaan Kerjasama Antardaerah

21

22

Manfaat Lembaga KAD dalam Sinergi Pembangunan Antardaerah

Bab 3. Pokok Bahasan II : Lembaga Kerja Sama Antardaerah

25

26

Praktik Kerja Sama Antardaerah di Indonesia

Bab 4. Pokok Bahasan III : Pembiayaan Kerjasama Antar Daerah

47

Sistem Pembiayaan KAD di Indonesia

48

Alternatif Pembiayaan Kerja Sama Antardaerah

48

A. Pola Pembiayaan Proses Pembentukan Program Strategis Regional

48


Daftar Isi

Daftar Pustaka

vii

52

Daftar Tabel Tabel 1.

Perbandingan Bentuk Lembaga Kerja Sama Antardaerah

28

Tabel 2.

Tahapan Perencanaan KAD Menurut Permendagri Nomor 22 Tahun 2009

24

Tabel 3.

Peran Pemangku Kepentingan (Stakehoders) dalam Pelembagaan KAD

38

Tabel 4.

Mekanisme Kerja Hibah

48

Daftar Gambar Gambar 1. Struktur Organisasi BKAD Subosukawonosraten

26

Gambar 2. Struktur Organisasi Sekber Kartamantul

27

Gambar 3. Struktur Organisasi Regional Management Barlingmascakeb

28

Gambar 4. Peta Kerja Sama Antardaerah di Indonesia

31

Gambar 5. Format Dasar Lembaga KAD Struktural

41

Gambar 6. Ilustrasi Format Lembaga KAD Nonstruktural

43



Daftar Singkatan dan Istilah

DAFTAR SINGKATAN DAN ISTILAH KAD

: Kerjasama Antar Daerah

Pemda

: Pemerintah Daerah

PPKD

: Pejabat Pengelola Keuangan Daerah

SKPD

: Satuan Kerja Perangkat Daerah

LSM

: Lembaga Swadaya Masyarakat

Ormas

: Organisasi Masyarakat

PKK

: Pembinaan Kesejahteraan Keluarga

Korpri

: Korps Pegawai Republik Indonesia,

KONI

: Komite Olahraga Nasional Indonesia

PMI

: Palang Merah Indonesia

KPUD

: Komisi Pemilihan Umum Daerah

Pilkada

: Pemilihan Kepala Daerah

TMMD

: TNI Manunggal Masuk Desa

Sekda

: Sekretariat Daerah

Bappeda

: Badan Perencanaan Pembangunan Daerah

GTZ : The Deutsche Gesellschaft FĂźr Technische Zusammenarbeit USAID

:

United States Agency for International Development

APBD

:

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

RM

:

Regional Management

Barlingmascakeb

: Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, Cilacap, Dan Kebumen

PP

: Peraturan Pemerintah

SOP

: Standard Operasional Prosedur

TPA Sampah

: Tempat Pembuangan Akhir Sampah

ASN

: Aparatur Sipil Negara

DPRD

: Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

BKAD

: Badan Kerja Sama Antardaerah

BKPS

: Badan Kerja Sama Pembangunan

RPJMD

: Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah

RKPD

: Rencana Kerja Pembangunan Daerah

KSAD

: Kerja Sama Antar Daerah

TKKSD

: Tim Koordinasi Kerja Sama Daerah

LPND

: Lembaga Pemerintah Non-departemen

SK

: Surat Keputusan

DE

: Dewan Eksekutif

FR

: Forum Regional

ix



Cara Penggunaan Modul Pelatihan

xi

CARA PENGGUNAAN MODUL PELATIHAN Sebelum menggunakan modul ini untuk kepentingan pelatihan, diharapkan terlebih dahulu fasilitator membaca bagian pendahuluan dari modul ini. Bagian pendahuluan penting untuk dibaca terlebih dahulu karena pada bagian itu mengulas tentang tujuan dari modul, kriteria pelatih atau fasilitator yang dibutuhkan untuk melaksanakan pelatihan kelembagaan KAD, kelompok sasaran, pendekatan dan metode pelatihan. Modul ini ditawarkan untuk pelatihan bagi orang dewasa yang tidak hanya mendiskusikan perihal teori, tetapi juga banyak dilakukan praktik, terutama untuk masing-masing konsep dasar yang diperkenalkan. Pada bagian waktu dan agenda pelatihan yang dimuat dalam pendahuluan memang tidak dinyatakan secara eksplisit tentang praktik menganalisis, tetapi pada masingmasing pokok bahasan tergambar jelas kapan praktik menganalisis dilakukan. Modul Kelembagaan KAD yang tersaji di hadapan pembaca ini terdiri atas tiga Pokok Bahasan. Alur dari pelatihan ini hendaknya disajikan sesuai urutan Pokok Bahasan. Ini untuk membantu peserta memahami kelembagaan KAD secara komprehensif dan juga mempermudah pelatih dalam membantu peserta memahami materi yang tersedia. Pada masing-masing Pokok Bahasan akan ada pengantar, tujuan sesi, metode, alat dan bahan, waktu dan proses. Masing-masing poin tersebut memiliki fungsi tersendiri. Pengantar memberikan pengetahuan tentang Pokok Bahasan yang bersangkutan, sedangkan tujuan sesi menjelaskan apa yang ingin dicapai. Oleh karenanya, seorang pelatih harus mengetahui apa tujuan yang ingin dicapai dari setiap sesi. Selanjutnya pada bagian metode, mengulas tentang cara yang akan digunakan untuk menyampaikan materi pada pokok bahasan yang bersangkutan. Sementara alat dan bahan merupakan peralatan maupun materi yang perlu disiapkan untuk kelancaran proses pelatihan. Waktu menunjukkan durasi yang dialokasikan untuk melaksanakan sebuah pokok bahasan, sedang proses merupakan langkah-langkah yang dilakukan dalam memfasilitasi sesi pelatihan. Segmen ini ada pada setiap pokok bahasan dalam modul ini. Bagian modul yang ini didedikasikan untuk acuan bagi pelatih dalam menyelenggarakan pelatihan. Dari bagian ini, peserta pelatihan hanya perlu mengetahui tujuan dari masing-masing pokok bahasan. Namun, hal ini bisa disampaikan oleh fasilitator ketika memberi pengantar maupun mau memulai sesi.



1. PENDAHULUAN


16

Modul Kelembagaan Kerjasama Daerah

1.1. Latar Belakang National Support for Local Investment Climates/National Support for Enhancing Local and Regional Economic Development (NSLIC/NSELRED) adalah proyek kerjasama antara Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/ Bappenas dan Pemerintah Canada melalui Global Affairs Canada (GAC) dengan fokus pada perbaikan iklim usaha bagi UMKM dan koperasi dan memperkuat kapasitas Pemerintah Daerah dalam pembangunan ekonomi lokal dan regional. Proyek ini bertujuan memberikan penguatan kapasitas kepada para pihak di sepuluh kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Tenggara dan Gorontalo. Kelima daerah di Sulawesi Tenggara tersebut adalah Kota Kendari, Kota Baubau, Kabupaten Konawe Selatan, Kabupaten Bombana dan Kabupaten Wakatobi. Sementara untuk Provinsi Gorontalo adalah Kota Gorontalo, Kabupaten Gorontalo Utara, Kabupaten Boalemo, Kabupaten Pohuwato dan Kabupaten Gorontalo. Sebagai bentuk penguatan kapasitas kepada para pihak, maka telah dilakukan pelatihan Kerjasama Antar Daerah di tiga wilayah kerja NSLIC/NSELRED yaitu di Kota Gorontalo, Provinsi Gorontalo dan Kota Kendari serta Kota Baubau, Provinsi Sulawesi Tenggara. Kerja sama antardaerah di Indonesia dalam konteks otonomi daerah telah berlangsung lebih dari satu dekade. Awalnya KAD di Indonesia lebih pada sinergi pembangunan wilayah dalam menyikapi otonomi daerah, dari yang semula bersaing menjadi bersanding dalam kerja sama. Kepentingan kerja sama antardaerah yang semula untuk tujuan harmonisasi pembangunan, telah meningkat levelnya ke tujuan yang lebih luas, yaitu untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, bahkan untuk kepentingan persatuan dan kesatuan bangsa. Kerja sama antardaerah di Indonesia telah berlangsung beberapa waktu dengan berbagai tantangan dan kendala. Banyak yang terpaksa tumbang dengan berbagai alasan, namun ada pula yang masih tetap bertahan. Tingkat keberlangsungan pelaksanaan kerja sama antardaerah di Indonesia yang umumnya masih relatif rendah ini tentunya memunculkan tanda tanya. Mengapa di usia yang semakin bertambah, pelaksanaan kerja sama antar daerah di Indonesia seperti tidak ada kemajuan yang berarti. Mengapa di saat para pemangku kebijakan sudah semakin paham dengan KAD, implementasinya justru kurang berkembang. Tentu ada beberapa faktor penyebab lambannya perkembangan kerja sama antardaerah di Indonesia. Faktor penghambat perkembangan kelembagaan kerja sama antardaerah ini dapat dikategorikan ke dalam (Bambang Tri Harsanto, dkk., 2015): 1. Faktor eksternal yaitu kurangnya dukungan dari pemerintah baik pusat maupun provinsi. 2. Faktor internal yaitu kurangnya komitmen dari pimpinan daerah dan lemahnya aspek pengelolaan lembaga kerja sama antardaerah. Dijelaskan lebih lanjut dalam studinya terhadap kelembagaan kerja sama antardaerah Regional Management (RM) Barlingmascakeb, kegagalan RM Barlingmascakeb disebabkan karena lembaga kerja sama tersebut tidak dapat melaksanakan kewenangannya secara penuh, hanya memiliki lingkup otoritas yang terbatas serta pola relasi antara anggota yang sangat cair.


1. Pendahuluan

17

Keterbatasan-keterbatasan KAD di Indonesia ini secara umum bermuara pada permasalahan klasik pembiayaan dan platform kelembagaan. Dua hal tersebut berkaitan erat. Solidnya kelembagaan KAD akan menentukan seberapa kuat pembiayaan yang dapat diraih sebagai salah satu bahan bakar kerja sama. Semakin besar komitmen, maka sudah selayaknya bila lembaga kerja sama mendapatkan inisiatif pembiayaan yang cukup untuk membentuk tim yang solid dan handal. Besarnya komitmen pimpinan daerah ini juga akan ditandai dengan keterlibatan perangkat daerah (SKPD) yang akseptibilitasnya tinggi serta fasilitatif terhadap lembaga kerja sama, dengan kata lain dapat mendukung kinerja lembaga kerja sama dengan optimal. Permasalahan platform kelembagaan dan pembiayaan KAD ini berkaitan erat dengan kebijakan pendukung KAD. Tak dapat dipungkiri bahwa pondasi kerja sama antardaerah di Indonesia berbasis pada pemerintah daerah, di mana peran dan fungsi aparatur daerah serta sistem dan struktur kelembagaan di pemerintahan terbatas dan diatur dalam undangundang dan peraturan daerah. Keterkaitan antara kelembagaan, pembiayaan, dan kebijakan (peraturan perundangan) ini seringkali menjadi batasan bagi daerah untuk mengembangkan kerja sama antardaerah. Terbentuknya lembaga kerja sama antardaerah seharusnya memberikan efek peningkatan gairah yang lebih besar bagi daerah-daerah dalam bekerja sama. Dan memang, lahirnya lembaga kerja sama antardaerah di berbagai contoh praktik kerja sama antardaerah di Indonesia berhasil menjadi booster bagi para anggotanya dalam bekerja sama. Seolah ada semangat baru dalam menjalankan kerja sama, yang mungkin selama ini hanya sebatas wacana, atau hanya sekedar terwujud dalam tataran komunikasi dan koordinasi pembangunan antardaerah, pun itu dalam lingkup wilayah perbatasan antardaerah. Sayangnya, booster positif atas lahirnya lembaga kerja sama ini tidak bertahan lama. Dalam perjalanannya, lembaga kerja sama di banyak contoh praktik di Indonesia menghadapi konflik kepentingan dengan unit kerja (SKPD) di masing-masing daerah. Pola kerja lembaga kerja sama yang lebih cair, dinamis dan fleksibel sering disalahartikan sebagai kesalahan prosedur yang melangkahi wewenang unit-unit kerja di daerah. Ada pula prasangka penyalahgunaan informasi antardaerah, atau dikhawatirkan pengelolaan data dan infomasi hanya ditujukan untuk kepentingan pihak tertentu saja. Jadi, lembaga kerja sama ini diberi beban target yang tinggi, namun tidak memiliki akses yang luas ke dalam SKPD di masing-masing daerah. Akibatnya, hubungan antara SKPD dengan lembaga kerja sama profesional menjadi kurang sinergis, bahkan kurang saling percaya. Di samping itu, kemampuan personil lembaga kerja sama dalam hal harmonisasi kepentingan di tengah ego sektoral dan ego daerah yang tinggi masih relatif lemah. Lembaga kerja sama yang seharusnya memiliki kekuatan untuk mempersatukan pemangku kebijakan yang memiliki banyak kepentingan berbeda, malah terkesan tidak memiliki kapabilitas untuk dijadikan sebagai rujukan bagi tercapainya kompromi atas banyaknya kepentingan. Hal ini tidak terlepas dari lemahnya aspek pembiayaan lembaga kerja sama untuk mendapatkan profesional di bidangnya dengan kualitas yang mumpuni.


18

Modul Kelembagaan Kerjasama Daerah

1.2 Tujuan Penyusunan Modul Tujuan dari penyusunan panduan secara umum untuk meningkatkan kapasitas regulasi/ kebijakan, perencanaan dan kelembagaan KAD yaitu menekankan pada peningkatan kapasitas melalui penyamaan persepsi konsep KAD dan identifikasi isu-isu strategis KAD pada para pihak, yang terdiri dari unsur pemerintah, perguruan tinggi, masyarakat dan swasta. Adapun secara khusus, tujuan pengembangan panduan ini adalah untuk menyediakan panduan bagi trainer/fasilitator dalam pelaksanaan pelatihan peningkatan kapasitas KAD. 1.3 Kelompok Sasaran Sasaran dari panduan pelatihan ini adalah unsur Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota, Perguruan Tinggi, Masyarakat dan Swasta. 1.4 Pendekatan Pelatihan Relevan dengan sasaran dan pengguna panduan pelatihan ini, pendekatan pembelajaran yang digunakan dalam pelatihan adalah pendekatan Pendidikan orang dewasa (androgogi). Dalam pendekatan ini, peserta pelatihan yang merupakan orang-orang dewasa diasumsikan sudah memiliki konsep diri, yaitu kepribadian yang tidak bergantung kepada orang lain, memiliki pengalaman yang banyak dan ini menjadi sumber penting dalam proses belajar, memiliki kesiapan belajar yang diprioritaskan pada tugas-tugas perkembangan dan peran sosialnya, serta memiliki prospektif waktu dalam arti ingin segera menerapkan apa yang sudah dipelajari. Dengan pendekatan ini, pelatihan ini sifatnya bukan mengajarkan tetapi lebih membantu mereka dalam menambah atau memperjelas, memperdalam dan mengembangkan pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang dibutuhkan. 1.5 Metode Pelatihan Sejalan dengan pendekatan pembelajaran tersebut, metode pembelajaran yang dikembangkan dalam pelatihan ini adalah pembelajaran partisipatif, yaitu pembelajaran yang mengikutsertakan warga belajar secara aktif dalam seluruh proses pembelajaran. Metode pembelajaran ini akan lebih banyak meminta peserta aktif mempraktikan bagaimana alat analisis yang digunakan bisa diterapkan. Selain itu juga disertakan presentasi dan diskusi interaktif untuk memperdalam pelatihan yang diberikan. 1.6 Kriteria Fasilitator Fasilitator atau pelatih yang dibutuhkan dalam pelatihan ini adalah orang yang:  Menguasai materi dari pokok bahasan  Mampu menjadi pendengar yang baik  Mampu menyampaikan pesan secara efektif  Mampu menerima, mengelola dan menganalisis pesan yang dikemukakan oleh peserta  Terbuka dan toleran terhadap kritik maupun perbedaan pendapat  Mengedepankan kesetaraan, jika dibutuhkan dapat bersikap asertif tanpa harus mendominasi  Mampu memaafkan dan menggunakan berbagai media pembelajaran. 1.7 Evaluasi Pelatihan Evaluasi program pelatihan, tujuannya adalah: (1) Mengetahui hasil pelaksanaan pelatihan dan pengaruhnya terhadap kinerja serta masalah-masalahnya; (2) Mengetahui opini


1. Pendahuluan

19

pemimpin dan bawahan peserta mengenai hasil pelatihan; (3) Mengetahui hubungan pelatihan serta dampaknya bagi organisasi di tempat peserta bekerja (Moekijat, 1990:20). 1.8 Agenda Pelatihan Pelatihan dilaksanakan di dua wilayah yaitu Provinsi Gorontalo dan Provinsi Sulawesi Tenggara. Pelatihan ini melibatkan tiga kabupaten di masing-masing provinsi.

PROSES

Tujuan Setelah pembelajaran ini peserta diharapkan dapat: 1. Mampu memahami kelembagaan KAD 2. Mengetahui dan memahami urgensi pelembagaan kerjasama antardaerah 3. Mengetahui tentang pembiayaan kerjasama antar daerah Waktu 1 Jam Pertemuan (60 menit) Metode 1. Pemaparan 2. Diskusi 3. Tanya jawab Alat Bantu 1. Kertas, spidol, laptop, dan infocus 2. Papan Tulis, Lakban Kertas Adapun materi terkait kelembagaan KAD, pelatih menjelaskan antara lain: 1. Urgensi pelembagaan kerjasama antardaerah 2. Lembaga Kerjasama Antardaerah 3. Pembiayaan Kerjasama Antardaerah


20

Modul Kelembagaan Kerjasama Daerah


2. POKOK BAHASAN I: URGENSI PELEMBAGAAN KERJASAMA


22

Modul Kelembagaan Kerjasama Daerah

Manfaat Lembaga KAD dalam Sinergi Pembangunan Antardaerah Menurut sifatnya, platform kerja sama antardaerah di Indonesia dibedakan menjadi Lembaga Kerja Sama Antardaerah Struktural dan Lembaga Kerja Sama Antardaerah Nonstruktural. Lembaga kerja sama nonstruktural dikelola oleh para profesional di bidangnya yang mendapat mandat untuk mengelola kerja sama antardaerah terutama terkait dengan pemasaran dan investasi regional. Lembaga kerja sama antardaerah nonstruktural berperan besar dalam memasarkan, memberdayakan, dan menyinergikan produk-produk dan pelaku usaha di wilayah yang dikerjasamakan serta menjaring sebanyak-banyaknya investor, baik investor lokal maupun investor luar, dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di wilayah kerja sama. Sedangkan lembaga kerja sama struktural sangat bermanfaat untuk sinergi dan koordinasi perencanaan pembangunan antar SKPD di wilayah kerja sama. Lembaga KAD, baik yang bersifat struktural maupun nonstruktural, memiliki manfaat sebagai sebuah wadah yang sangat strategis. Manfaat strategis ini dirasakan baik dalam sinergi internal antardaerah maupun eksternal dengan pihak atau lembaga lain dalam konteks pelaksanaan KAD. Berikut beberapa manfaat yang diperoleh dengan adanya lembaga KAD:  Sebagai wadah atau media komunikasi penguatan dan pengembangan KAD yang melibatkan berbagai stakeholders dari dimensi publik, swasta dan masyarakat secara sistematis dan berkelanjutan.  Sebagai wadah untuk memperoleh kesepakatan pembagian peran dan fungsi dari stakeholders sesuai prinsip-prinsip: sinergitas, pemberdayaan stakeholders, sinkronisasi, harmonisasi, kolaborasi/kerjasama, efisiensi, dan penguatan efektifitas kegiatan  Sebagai interface yang memobilisasi para stakeholders dalam melakukan penguatan dan percepatan proyek-proyek KAD yang efektif.  Sebagai media kegiatan moderasi, fasilitasi dan mediasi terhadap stakeholders dalam rangka pemanfaatan KAD sesuai kebutuhan pembangunan.  Sebagai media dialog, diskusi, identifikasi isu dan sosialisasi program yang relevan bersama berbagai pelaku kunci.


2. Pokok Bahasan I: Urgensi Pelembagaan Kerjasama

PROSES

Tujuan Setelah pembelajaran ini peserta diharapkan dapat: 1. Mampu memahami praktik kerjasama antardaerah di Indonesia 2. Mengetahui dan memahami perencanaan pelembagaan kerja sama antardaerah 3. Mengetahui tentang alternatif model lembaga kerjasama antardaerah Waktu 1 Jam Pertemuan (60 menit) Metode 1. Pemaparan 2. Diskusi 3. Tanya jawab Alat Bantu 1. Kertas, spidol, laptop, dan infocus 2. Papan Tulis, Lakban Kertas Adapun materi terkait kelembagaan KAD, pelatih menjelaskan antara lain: 1. Praktik kerjasama antardaerah di Indonesia 2. Perencanaan pelembagaan kerja sama antardaerah 3. Alternatif model lembaga kerjasama antardaerah

23


24

Modul Kelembagaan Kerjasama Daerah


3. POKOK BAHASAN II: LEMBAGA KERJASAMA ANTAR DAERAH (KAD)


26

Modul Kelembagaan Kerjasama Daerah

Praktik Kerja Sama Antardaerah di Indonesia Embrio kerjasama antar daerah di Indonesia sudah lama dirintis dan dikembangkan. Pada tahun 80-an dan 90-an, tercatat adanya upaya dari beberapa daerah (baik level provinsi maupun kabupaten/kota) yang berinisiatif untuk merintis kerjasama regional dengan variasi dasar pembentukannya, mulai dari pengembangan pelayanan publik hingga pada usaha untuk menyelesaikan persoalan-persoalan publik yang sifatnya lintas daerah dan lintas sektoral. Yang membedakan kerjasama antara daerah saat itu dengan sekarang adalah berbagai bentuk kendala birokratis dan kuatnya intervensi dan keterlibatan daerah yang tingkatannya lebih tinggi dalam proses pengembangan kerjasama, sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 275 tahun 1982. Kondisi inilah yang membuat perkembangan pesat saat itu. Sampai dengan era milenium, pelaksanaan kerja sama antardaerah di Indonesia dikenal dua sifat kerja sama antardaerah: Struktural dan Nonstruktural. Lembaga kerja sama antardaerah struktural dilandasi oleh paradigma pembangunan top-down, di mana aspek stuktur birokrasi pusat-daerah masih sangat kuat. Bahwa peran pemerintah pusat dalam menentukan arah pembangunan daerah masih sangat kuat, sehingga model kerja sama struktural ini lahir sebagai bentuk dari peran pemerintah pusat dalam menjembatani komunikasi dan koordinasi pembangunan antardaerah. Pada paradigma top-down ini lahirlah kerja sama antardaerah dalam bentuk Badan Kerja Sama Antardaerah (BKAD) dan Bada Kerja Sama Pembangunan (BKSP). Pembentukan BKAD ini biasanya difasilitasi dan didukung penuh oleh Badan Koordinasi Wilayah (Bakorwil) yang dibentuk oleh gubernur. Beberapa contoh BKAD/BKSP di Indonesia antara lain BKAD Subosukawonosraten (wilayah Surakarta dan sekitarnya) dan Jabodetabekjur (DKI dan sekitarnya).

KOORDINATOR BKAD

Anggota BKAD: 1. Kota Surakarta 2. Kabupaten Boyolali 3. Kabupaten Sukoharjo 4. Kabupaten Karanganyar 5. Kabupaten Wonogiri 6. Kabupaten Sragen 7. Kabupaten Klaten

SEKRETARIS WAKIL SEKRETARIS

Urusan Program dan Laporan

Sumber: Keputusan Koordinator BKAD No. 136/06/BKAD/VII/02

Gambar 1 Struktur Organisasi BKAD Subosukawonosraten

Urusan Umum


3. Pokok Bahasan II: Lembaga Kerjasama Antar Daerah (KAD)

27

Dalam perkembangannya, mulai lahir platform kerja sama dengan model yang lebih fleksibel dengan melibatkan unsur profesional namun keterlibatan peran birokrat dalam kepengurusan masing relatif besar. Kemunculan kerja sama dengan model semi struktural ini seiring dengan lahirnya otonomi daerah di Indonesia, dimana peran daerah dalam perencanaan pembangunan mulai membesar. Kerja sama pelayanan publik pada model lembaga ini diperkaya dengan hadirnya personil profesional dalam struktur kepengurusan lembaga kerja sama. Contoh dari model kerja sama ini adalah Sekretariat Bersama Kartamantul (Yogyakarta, Sleman, dan Bantul) di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Dewan Pemerintah (Kebijakan umum dan pengesahan)

DPRD

Provinsi

Dewan Pengarah

Stakeholders

Konsultan Eksternal

Direktur

SEKBER

Tim Teknis

Bagian Perencanaan

Divisi Hukum Teknis

Departemen Lingkungan

Departemen Pekerjaan Umum

Gambar 2 Struktur Organisasi Sekber Kartamantul

Dalam konteks pembangunan ekonomi kewilayahan, dimana aspek kesejahteraan masyarakat dan daya tarik investasi menjadi perhatian yang relatif besar, mulai masuklah konsep kerja sama antardaerah dengan pelibatan profesional yang lebih dominan. Lahirlah model kerja sama antardaerah dalam bentuk Regional Management (RM). Lembaga kerja sama dalam bentuk ini diawali dengan terbentuknya RM Barlingmascakeb (di wilayah Banyumas), di mana pengelola lembaga kerja sama adalah murni profesional, namun tetap bertanggung jawab kepada Dewan Eksekutif (para kepala daerah). Lembaga ini sifatnya sangat dinamis dan fleksibel dalam jejaring swasta sehingga sangat kuat dalam mengembangkan potensi ekonomi wilayah.


28

Modul Kelembagaan Kerjasama Daerah

Forum Regional (5 Bupati)

Dewan Eksekutif

Regional Manager

Sekretaris

Analis Ekonomi dan Investasi

Analis Hukum

Analis Pasar

Gambar 3 Struktur Organisasi Regional Management Barlingmascakeb

Tabel di bawah ini memperlihatkan perbandingan bentuk organisasi Kerja Antar Daerah yang telah ada dan masih berjalan dengan baik:

Tabel 1 Perbandingan Bentuk Lembaga Kerja Sama Antardaerah BENTUK LEMBAGA ASPEK

REGIONAL MANAGEMENT

SEKRETARIAT BERSAMA

BADAN KERJASAMA ANTAR DAERAH  PP 28 / 2018

Struktur Organisasi

 Forum Regional (FR) sebagai komisaris  FR struktur tertinggi dalam pengambilan kebijakan  FR terdiri dari unsur kepala daerah  Dewan Eksekutif (DE) penerjemah kebijakan FR menjadi kebijakan strategis yang akan di implementasikan oleh Regional Manager

 Dewan Pengarah merupakan struktur tertinggi sebagai pengambil kebijakan  Implementasinya dilaksanakan oleh seorang Direktur beserta struktur di bawahnya

 Forum merupakan struktur tertinggi sebagai pengambil kebijakan  Terdiri dari unsur pimpinan daerah, dan pelaksanaanya akan dikoordinasikan oleh Koordinator beserta sub sekretariat di bawahnya


3. Pokok Bahasan II: Lembaga Kerjasama Antar Daerah (KAD)

29

Positif

 Legitimasi terhadap kesepakatan bersama tinggi

 Legitimasi terhadap kesepakatan bersama tinggi

 Legitimasi terhadap kesepakatan bersama tinggi

Negatif

 Terlalu panjang bila untuk percepatan pertumbuhan ekonomi

 Potensi inisiatif dari bawah menjadi rendah sangat besar

 Potensi inisiatif dari bawah menjadi rendah sangat besar

 Dewan Eksekutif menterjemahkan kebijakan Forum Regional menjadi kebijakan strategis  Dilaksanakan oleh Regional Manager

 Sekda tiap daerah menyetujui atau menolak usulan yang dirumuskan oleh tim teknis dikoordinasikan oleh direktur Sekber.  Pelaksanaan dijalankan oleh masing-masing SKPD melalui monitoring direktur dan unit di bawahnya

 Forum merumuskan kebijakan berdasarkan pertemuan yang difasilitasi oleh koordinator BKAD  Forum meminta persetujuan DPRD,  Hasil keputusan dilaksanakan oleh Koordinator dan SKPD yang terkait

Positif

 Terjamin konsistensi antara perencanaan daerah dengan lembaga kerjasama

 Terjamin konsistensi antara perencanaan daerah dengan lembaga kerjasama

 Terjamin konsistensi antara perencanaan daerah dengan lembaga kerjasama

Negatif

 Tidak taktis, efisien dan efektif bila kondisi memerlukan respon cepat

 Tidak taktis, efisien dan efektif bila kondisi memerlukan respon cepat

 Tidak taktis, efisien dan efektif bila kondisi memerlukan respon cepat

Kewenangan

 Menjalankan kebijakan yang telah di gariskan oleh Forum Regional dan Dewan Eksekutif

 Mengkoordinasikan serta memfasilitasi perencanaan  Sinkronisasi program

 Mengkoordinasikan serta memfasilitasi perencanaan yang telah dianggarkan melalui SKPD

Positif

 Meningkatkan potensi percepatan pembangunan wilayah, karena rencana/ kebijakan terpisah dari program SKPD

 Mengurangi inefisiensi atau program yang sama antar sektor

 Mengurangi inefisiensi atau program yang sama antar sektor

Negatif

 Progress bergantung pada kebijakan yang dirumuskan  Berpotensi tumpang tindih terhadap program di SKPD

 Berpotensi pada lambatnya progress pengembangan wilayah

 Berpotensi pada lambatnya progress pengembangan wilayah

 Bersumber dari APBD pada pos hibah dan pos di setiap SKPD  Bersumber dari lembaga/pihak ketiga

 Bersumber dari APBD berdasarkan pos hibah, pos kegiatan di SKPD terkait  Bersumber dari lembaga/pihak ketiga

 Bersumber dari APBD hibah, bantuan sosial dan bantuan keuangan daerah  Bersumber dari lembaga/pihak ketiga

Sistem Prosedur Pengambilan Keputusan

Pembiayaan


30

Modul Kelembagaan Kerjasama Daerah

Positif

 Mendukung implementasi program dan berjalannya kelembagaan secara baik

 Mendukung implementasi program dan berjalannya kelembagaan secara baik

 Mendukung implementasi program dan berjalannya kelembagaan secara baik

Negatif

 Berpotensi terhadap penyimpangan pengelolaan keuangan yang bersumber dari APBD karena regulasi pembiayaan KAD belum tersedia

 Berpotensi terhadap penyimpangan pengelolaan keuangan yang bersumber dari APBD karena regulasi pembiayaan KAD belum tersedia

 Berpotensi terhadap penyimpangan pengelolaan keuangan yang bersumber dari APBD karena regulasi pembiayaan KAD belum tersedia

Positif

 Lebih dinamis dan progresif antara perencanaan dan implementasi

 Stabil, karena pelaksana harian adalah tenaga professional

 Mudah berkoordinasi karena tidak banyak perubahan pada budaya kerja serta komunikasi kerja

Negatif

 Pembatasan kewenangan dan tidak mendukung percepatan, akan menurunkan kinerja staf profesional

 Kewenangan kecil sekedar menjalankan fungsi koordinasi, tenaga professional tidak efisien

 Lambat dikarenakan beban kerja lain yang berpotensi melekat pada staf ASN

Ruang Lingkup Program

 Penekanan pada sektor pengembangan ekonomi wilayah

 Penekanan pada sektor Penyelenggaran pelayanan publik

 Penekanan pada sektor Penyelenggaran pelayanan publik

Positif

 Sesuai untuk pembangunan di wilayah yang mengarah pada pertumbuhan ekonomi

 Pendukung pembangunan wilayah yang bertumpu pada pertumbuhan ekonomi selaras dengan peningkatan kualitas penyelenggaraan pelayanan publik

 Pendukung pembangunan wilayah yang bertumpu pada pertumbuhan ekonomi selaras dengan peningkatan kualitas penyelenggaraan pelayanan publik

Negatif

 Percepatan pengembangan ekonomi wilayah tidak diimbangi oleh penyelenggaraan pelayanan publik dasar lainnya

 Berpotensi tidak fokus pada pelaksanaan karena banyaknya urusan pelayanan dasar yang melekat dan menjadi kewajiban pemerintah daerah

 Berpotensi tidak fokus pada pelaksanaan karena banyaknya urusan pelayanan dasar yang melekat dan menjadi kewajiban pemerintah daerah


3. Pokok Bahasan II: Lembaga Kerjasama Antar Daerah (KAD)

31

Dari perbandingan bentuk lembaga kerja sama antardaerah yang berkembang di Indonesia, memang tidak menjadi patokan tertentu yang harus diikuti. Hal ini karena masing-masing bentuk lembaga tersebut memiliki kekuatan dan kelemahan masing-masing, sesuai dengan tujuan kerja sama. BKAD akan sangat kuat dalam tataran kerja sama pelayanan publik yang rutin dan memerlukan koordinasi struktural yang hierarkis seperti kerja sama penataan ruang di perbatasan, pelayanan air bersih, pendidikan, dan lain-lain yang terkait antar beberapa daerah. Kekuatan kerja sama dalam bentuk BKAD atau BKSP ini adalah pada budaya koordinasi antar aparat sipil negara (ASN) yang sudah kuat dan saling mengerti budaya birokrasi pemerintahan. Maka akan sangat cocok bila kerja sama yang sifatnya koordinasi dan sinkronisasi program antardaerah dilakukan dalam wadah ini. Untuk kerja sama antardaerah untuk bidang pelayanan publik yang non rutin seperti pengelolaan sampah regional di mana perlu pelibatan sektor swasta, bentuk kerja sama seperti Sekber Kartamantul sangat cocok. Kombinasi antara SDM sektor publik (ASN) dan SDM sektor swasta (profesional) menjadikan pengelolaan KAD yang fleksibel namun tetap dalam koridor dan kontrol yang kuat dari sektor publik, sehingga struktur ini cukup stabil dalam menopang jalannya KAD. Untuk bentuk KAD yang terakhir, dimana peran sektor swasta memang ditonjolkan untuk pengembangan ekonomi kewilayahan, Regional Management akan sangat membantu pelaksanaan KAD. Meskipun, dalam konteks fleksibilitas, bentuk Regional Management juga dapat disesuaikan komposisi kepengurusannya menjadi semacam divisi publik dan divisi swasta sesuai tujuan kerja sama yang akan dilaksanakan. Berikut ini adalah gambaran peta kerja sama antardaerah di Indonesia. Kepengurusan diisi ASN Inisiasi oleh Pemerintah Pusat

Ciri

Badan Kerjasama Antar Daerah (BKAD) Subosukawonosraten Badan Kerjasama Pembangunan (BKSP) Jabodetabekjur

PemKab/Kota dengan PemKab/Kota lain

PemKab/Kota dengan PemProv

Struktural Pihak yang Bekerjasama

Pemprov dengan PemProv lain

Contoh

PemDa dengan Pihak Ketiga

BKAD Pawonsari

Pemetaan KAD di Indonesia

Badan Kerjasama

Diisi Profesional Fokus Layanan Publik

Tanpa Lembaga Kerjasama Jejaring Pelayanan Publik

Sekber Kartamantul Sarbagita (Bali)

Struktural

Ciri

Contoh

Sifat Regional Management Non Struktural

Gerbangkertosusila (Jawa Timur) RM Barlingmas cakeb

Regional Management

RM Sapta Mitra Pantura

Gambar 4 Peta Kerja Sama Antardaerah di Indonesia

Non Struktural

Jaring Pelayanan Publik


32

Modul Kelembagaan Kerjasama Daerah

Perencanaan Pelembagaan Kerja Sama Antardaerah Readiness Criteria Pelembagaan KAD Pembentukan lembaga KAD merupakan proses yang sangat krusial. Para pemangku kepentingan memerlukan persiapan yang matang agar bentuk lembaga yang disepakati dan isi dari lembaga berupa program KAD dan sumber daya manusia pengelolanya bisa memenuhi harapan. Proses pembentukan lembaga KAD ini memang harus dilaksanakan dalam waktu yang tidak terlalu lama, jangan sampai menunggu semangat menjadi dingin, namun bukan berarti harus tergesa-gesa dan asal terbentuk lembaga KAD. Beberapa prasyarat (readiness criteria) yang harus dipenuhi sebagai tanda siapnya suatu platform kerja sama antardaerah dalam membentuk lembaga pengelola antara lain : 1. Telah dibentuk TKKSD di tingkat provinsi dan kabupaten/kota 2. Telah ditandatangani perjanjian kerja sama antardaerah oleh masing-masing kepala daerah 3. Obyek kerja sama yang jelas dengan target yang terukur dan saling menguntungkan para pihak yang dituangkan dalam rencana program dan kegiatan KAD baik jangka pendek dapat diterapkan dengan pertimbangan karakteristik kewilayahan dan obyek kerja sama 4. Adanya institusi yang telah berpengalaman dalam KAD baik dari dalam maupun luar negeri untuk mendampingi proses pembentukan lembaga KAD 5. Adanya alokasi waktu dan personil khusus yang konsisten dalam mengawal pembentukan lembaga KAD 6. Adanya keterlibatan unsur-unsur lengkap dari para pemangku kepentingan untuk membangun sense of belonging. Prasyarat tersebut mutlak harus dipenuhi untuk mendapatkan bentuk lembaga kerja sama yang sesuai dengan karakteristik wilayah dan dapat menjadi wadah yang mana para pemangku kepentingan merasa memiliki. Sense of belonging ini sangat penting bagi keberlangsungan dan keberlanjutan kerja sama antardaerah itu sendiri. Hal ini karena salah satu kelemahan pelaksanaan kerja sama antardaerah adalah kurangnya rasa memiliki dari para pemangku kepentingan. Terkesan lembaga kerja sama adalah eksklusif untuk golongan tertentu saja, sehingga sebagian besar pemangku kepentingan tidak merasa memiliki hak ataupun kewajiban untuk mengembangkan KAD serta menjaga keberlanjutan lembaga KAD. Lebih parah lagi bila sama sekali tidak menyadari bahwa kerja sama antardaerah itu ada dan bahkan telah dilembagakan. Dengan dipenuhinya readiness criteria tersebut, diharapkan para pemangku kepentingan akan lebih berperan aktif dan proaktif dalam menyukseskan kerja sama antardaerah. Proses dan Tahapan pelembagaan Pemenuhan readiness criteria di atas adalah hal yang sangat krusial, namun hal lain yang tidak kalah penting adalah aspek legalitas KAD. Dalam hal ini, perencanaan dan pelaksanaan KAD telah diakomodasi melalui peraturan perundangan. Berdasarkan Permendagri Nomor 22 Tahun 2009, telah diatur tahapan-tahapan bagi daerah di dalam melakukan kerjasama baik dengan pemerintah daerah lain, dengan lembaga non departemen maupun lembaga berbadan hukum.


3. Pokok Bahasan II: Lembaga Kerjasama Antar Daerah (KAD)

TAHAPAN

URAIAN  Pembentukan Tim Koordinasi Kerja Sama Daerah (TKKSD).

Persiapan

 Pemerintah Provinsi menginventarisasi obyek kerjasama  Pemerintah Kabupaten/Kota, berpedoman pada RPJMD dan RKPD sesuai dengan prioritas yang ditetapkan.  Bila obyek kerjasama belum ada dalam RPJMD maka obyek wajib dicantumkan dalam RKPD sesuai dengan prioritas.  Penyiapan rencana kerja sama: 1. Menyusun rencana kerja terhadap obyek kerjasama 2. Menyiapkan informasi dan data yang lengkap mengenai obyek kerjasama.

Penawaran

33

Keluaran SK TKKSD Objek kerjasama teridentifikasi

Dokumen Rencana Kerjasama

 Analisis manfaat dan biaya kerjasama yang terukur

Prioritas obyek kerjasama

 Menentukan prioritas obyek kerjasama  Memilih daerah dan obyek kerjasama.

Terpilih daerah dan obyek kerjasama

 Membuat surat penawaran obyek kerjasama 1. Gubernur-Gubernur, tembusan surat kepada Menteri Dalam Negeri, Departemen/Pimpinan LPND terkait dan DPRD dari daerah yang menawarkan. 2. Gubernur - Bupati/Walikota dalam satu Provinsi atau di luar Provinsi, tembusan surat kepada Menteri Dalam Negeri, Departemen/Pimpinan LPND terkait dan DPRD dari daerah yang menawarkan 3. Bupati/Walikota - Bupati/ Walikota dalam satu Provinsi, tembusan surat kepada Gubernur, Menteri Dalam Negeri, Departemen/ Pimpinan LPND terkait dan DPRD dari daerah yang menawarkan.

Surat Penawaran Kerjasama


34

Modul Kelembagaan Kerjasama Daerah

4. Bupati/Walikota - Bupati/ Walikota dari Provinsi yang berbeda, tembusan surat kepada masing-masing Gubernur, Menteri Dalam Negeri, departemen/Pimpinan LPND terkait dan DPRD dari daerah yang menawarkan.  Surat penawaran kerja sama Kepala Daerah minimal memuat: 1. Obyek yang akan dikerjasamakan; 2. Manfaat kerja sama terhadap pembangunan daerah; 3. Bentuk kerja sama 4. Tahun anggaran dimulainya kerja sama; 5. Jangka waktu kerja sama. 6. Dalam surat penawaran kerjasama dilampirkan informasi dan data yang dapat berupa kerangka acuan/proposal 7. Obyek kerjasama.

Penyiapan Kesepakatan

 Kepala Daerah setelah menerima jawaban tawaran rencana kerja sama dari daerah lain dibahas dengan TKKSD, selanjutnya memberikan jawaban tertulis atas rencana kerja sama.

Surat Jawaban atas Surat Penawaran

 Setelah menerima jawaban persetujuan, Kesepakatan TKKSD masing-masing segera membahas rencana KSAD dan menyiapkan Kesepakatan Bersama.  Dokumen Kesepakatan Bersama merupakan pokok Kesepakatan pokok kerja sama yang memuat: 1. Identitas para pihak; 2. Maksud dan tujuan; 3. Obyek dan ruang lingkup kerja sama; 4. Bentuk kerja sama; 5. Sumber biaya; 6. Tahun anggaran dimulainya pelaksanaan kerja sama; 7. Jangka waktu berlakunya kesepakatan bersama, paling lama 12 bulan;

Dokumen Kesepakatan Bersama


3. Pokok Bahasan II: Lembaga Kerjasama Antar Daerah (KAD)

8. Rencana kerja yang memuat:  Jangka waktu penyusunan rancangan perjanjian kerja sama masing-masing TKKSD yang merupakan tindak lanjut dari kesepakatan bersama.  Tanggal pembahasan bersama rancangan perjanjian kerja sama oleh TKKSD masing-masing.  Jadwal penandatanganan perjanjian KSAD. Rencana kerja tersebut dijadikan lampiran dalam kesepakatan bersama dan ditandatangani oleh masing-masing kepala daerah. Penandatangan Kesepakatan

 Kesepakatan Bersama antar daerah ditandatangani oleh masing-masing Kepala Daerah.  Penanda tanganan kesepakatan bersama dilaksanakan sesuai dengan kesepakatan. Naskah para pihak dan dapat disaksikan oleh Menteri Dalam Negeri dan Menteri/Pimpinan LPND yang terkait dengan obyek kerja sama.

Penyiapan Perjanjian

 TKKSD masing-masing daerah menyiapkan rancangan perjanjian kerja sama yang memuat paling sedikit: 1. Subjek kerja sama; 2. Objek kerja sama; 3. Ruang lingkup kerja sama; 4. Hak dan kewajiban; 5. Jangka waktu kerja sama; 6. Keadaan memaksa (force majeure) ; 7. Penyelesaian perselisihan; dan 8. Pengakhiran kerjasama.  Dalam perjanjian kerja sama, Kepala Daerah dapat menyatakan bahwa pelaksanaan yang bersifat teknis ditangani oleh Kepala SKPD.

Naskah Kesepakatan Bersama

35


36

Modul Kelembagaan Kerjasama Daerah

 Setelah ada kesepakatan, TKKSD menyiapkan rancangan akhir perjanjian KAD. Ketua TKKSD masing-masing memberikan paraf pada rancangan perjanjian KSAD dan menyerahkan kepada Kepala Daerah masing-masing untuk ditandatangani dengan memperhatikan jadwal yang ditetapkan dalam rencana kerja.  Materi perjanjian kerja sama yang telah disepakati dituangkan dalam format perjanjian kerjasama sesuai dengan peraturan perundangundangan. Penandatanganan Perjanjian

Pelaksanaan

 Perjanjian kerjasama antar daerah ditandatangani oleh Kepala Daerah  Tempat dan waktu penandatanganan perjanjian kerjasama ditetapkan sesuai kesepakatan dari para pihak.

Naskah Perjanjian Kerjasama Antar Daerah

 Dalam pelaksanaan kerjasama harus memperhatikan rencana kerja yang telah disepakati. Perjanjian KSAD yang jangka waktunya lebih dari 5 tahun dan atas persetujuan bersama, dapat dibentuk badan kerja sama daerah: 1. Badan kerjasama bertugas membantu Kepala Daerah untuk melakukan pengelolaan, monitoring dan evaluasi atas pelaksanaan KAD; dan 2. Memberikan masukan dan saran kepada Kepala Daerah masing-masing mengenai langkah-langkah yang harus dilakukan apabila ada permasalahan.  Biaya pelaksanaan KAD dan/ atau Badan Kerjasama Daerah menjadi tanggung jawab SKPD masing-masing.  Dalam pelaksanaan KAD, dapat dilakukan perubahan materi perjanjian/adendum atas persetujuan bersama Kepala Daerah.

Tercapainya Tujuan yang Direncanakan Bersama


3. Pokok Bahasan II: Lembaga Kerjasama Antar Daerah (KAD)

 Apabila materi perubahan/adendum menyebabkan atau mengakibatkan penambahan pembebanan APBD atau masyarakat, maka penambahan pembebanan harus dimintakan persetujuan DPRD  Dalam pelaksanaan perjanjian kerja sama terjadi keadaan memaksa/ force majeure yang mengakibatkan hak dari Pemerintah Provinsi/ Kabupaten/Kota yang harus diterima berkurang atau tidak ada, Kepala Daerah memberitahukan secara tertulis kepada Ketua DPRD masing-masing disertai dengan penjelasan mengenai: 1. Keadaan memaksa (force majeure) yang terjadi; dan 2. Hak dari Pemerintah Provinsi/ Kabupaten/Kota yang telah diterima dan/atau yang tidak bisa diterima setiap tahun atau pada saat berakhirnya KAD.  Tiga bulan sebelum berakhirnya perjanjian KAD, masing- masing SKPD yang melakukan KAD dibantu oleh badan kerja sama dan dapat didampingi oleh tim penilai eksternal untuk melakukan inventarisasi dan penilaian secara finansial terhadap: 1. Barang bergerak dan tidak bergerak yang terkait dengan perjanjian KSAD; 2. Kewajiban atau utang yang menjadi beban KSAD.  Hasil penilaian dilaporkan kepada Kepala Daerah melalui SKPD masing-masing. Terhadap barang bergerak dan tidak bergerak pembagiannya dapat dilaksanakan: 1. Dijual kepada para pihak yang melakukan KSAD; 2. Dijual melalui lelang terbuka.  Hasil penjualan barang bergerak dan tidak bergerak setelah dikurangi kewajiban atau hutang yang menjadi beban KAD, dibagi berdasarkan perimbangan hak dan kewajiban dalam perjanjian KAD.  Hasil KAD yang berupa barang dilaporkan oleh Kepala Daerah kepada Ketua DPRD.

37


38

Modul Kelembagaan Kerjasama Daerah

Stakeholders Pelembagaan KAD Seperti yang telah disampaikan terdahulu, para pemangku kepentingan KAD merupakan komponen kunci dalam perencanaan dan pelaksanaan KAD. Para pemangku kepentingan KAD ini akan sangat menentukan pondasi KAD mulai dari hal yang paling mendasar, yaitu komitmen. Lahirnya komitmen ini akan menciptakan gairah yang besar dalam merencakanan program dan kelembagaan KAD. Semakin lengkap unsur pemangku kepentingan yang terlibat dalam perencanaan dan pelembagaan KAD, maka pelaksanaan KAD akan semakin baik dan berkesinambungan. Pemangku kepentingan yang dianggap sebagai aktor kunci adalah Pemerintah daerah kab/kota, pemerintah provinsi, Pemerintah pusat serta pihak ketiga yang memiliki komitmen serta kompetensi terhadap isu yang akan dikerjasamakan, baik itu masyarakat setempat, masyarakat usaha maupun lembagalembaga non pemerintah. Tabel 3 Peran Pemangku/Stakeholders Kepentingan dalam Pelembagaan KAD STAKEHOLDERS

PERAN

Lembaga Pelaksana Kerjasama

 Pelaksana program kegiatan secara Profesional berasaskan good governance  Fasilitator anggota/daerah dalam merumuskan perencanaan berdasarkan kebutuhan bersama Identifikasi isu potensial yang dapat dikerjasamakan

Pemerintah Kabupaten/ Kota

 Keberpihakan kepala daerah (eksekutif dan legislatif) terhadap isu kerjasama antar daerah.  Pengalokasian sumber daya daerah yang dimiliki serta kejelasan terhadap kebutuhan daerah atas kerjasama (Warsono, 2009).  Mempersiapkan format kelembagaan yang sesuai dengan tujuan atau misi pembentukan dengan melibatkan stakeholder (Pratikno dan Masudi, 2007).  Perlunya sebuah aturan pengelolaan keuangan daerah yang spesifik mengenai kerjasama antar daerah.

Pemerintah Provinsi

 Memberikan insentif program pembangunan bagi kerjasama antar daerah,  Penguatan kapasitas perencanaan dan pelaksanaan program bagi implementator  Memfasilitasi sosialisasi PP 50/2007, Permendagri 22/2009, Permendagri 23/2009 kepada kab/kota diwilayahnya mengenai tata cara pelaksanaan kerjasama antar daerah,  Mendukung sinkronisasi musrenbangreg (bagi wilayah yang memiliki mekanisme musrenbangreg) dengan program kab/kota dan provinsi.  Melakukan supervisi agar kerjasama antar daerah otonom berada dalam koridor perundangan yang ada (Pratikno dan Masudi, 2007).  Penyusunan Regulasi pendukung kebijakan Pemerintah Pusat dalam mendorong terselenggaranya KAD  Memberikan petunjuk untuk Kabupaten/Kota supaya mengidentifikasi potensi sumberdaya (sumberdaya alam, manusia, dana, dll) masingmasing dalam kerangka pelayanan publik yang bisa ditawarkan kepada daerah tetangganya dan kebutuhan pelayanan umumnya yang dinilai perlu dibantu oleh pihak/daerah lain (outsourcing).


3. Pokok Bahasan II: Lembaga Kerjasama Antar Daerah (KAD)

39

 Memberikan arahan perbantuan (termasuk dana, bantuan teknis, asset, infrastruktur, arbitrase, dll) dari Pemerintah Propinsi yang bisa diberikan kepada Kabupaten/Kota di wilayahnya dalam penyelenggraan KAD  Memfasilitasi petunjuk untuk Pemerintah Kota/Kabupaten dalam penyusunan kinerja pelayanan publik yang dikerjasamakan  Memberikan arahan program yang terkait dengan promosi dan pengembangan informasi potensi, kebutuhan dan pelaksanaan KAD, Pemerintah Pusat

 Mempersiapkan regulasi terkait baik yang berupa tata cara pembinaan dan pengawasan umum maupun mengenai pengelolaan keuangan daerah yang secara spesifik mengatur kerjasama antar daerah.  Memberikan dukungan insentif (anggaran, dana dekonsentrasi dan pembantuan) bagi daerah-daerah yang melaksanakan KAD  Menilai kinerja pelayanan publik yang dikerjasamakan  Memberikan arahan standard-standard minimal pelayanan publik sesuai kondisi wilayah dan penghitungan efisiensi  Memberikan arahan kepada daerah untuk memetakan potensi dan kebutuhan KAD disertai dengan standar evaluasi  Memberikan arahan peran dan tanggung jawab propinsi dalam hal terjadi kerjasama antar Kabupaten/Kota yang lintas Provinsi.

Masyarakat dan Lembaga Non Pemerintah

 Memastikan obyek KAD adalah kebutuhan dan memiliki tujuan memperbaiki kualitas kesejahteraan masyarakat.  Memastikan konsistensi antara perencanaan yang dibangun sejalan dengan perencanaan pembangunan daerah  memastikan terintegrasinya isu yang akan dikerjasamakan ke dalam sistem perencanaan daerah (RPJMD, RKPD).  Memastikan konsistensi antara perencanaan dan penganggaran terhadap program yang dikerjasamakan.  Bagi lembaga bilateral/multilateral dapat melakukan asistensi terhadap daerah didalam membangun kelembagaan yang sesuai dengan kapasitas daerah dengan mengedepankan asas good governance,  Peningkatan kapasitas bagi sumberdaya manusianya, dan memberikan dukungan dana operasional pada tahap awal lembaga kerjasama antar daerah itu berdiri.

Alternatif Model Lembaga Kerjasa Sama Antar Daerah Seperti yang telah dijelaskan pada bagian terdahulu, sifat kerja sama antardaerah dibedakan menjadi kerja sama antardaerah struktural dan kerja sama antardaerah non struktural. Karakter keduanya memang berbeda, pun dengan manfaat penerapannya. KAD struktural tentu saja bersifat kaku dengan batasan-batasan hierarkis, namun sangat stabil dalam menjaga harmonisasi kebijakan dan program antardaerah. Sedangkan KAD non struktural bersifat lebih luwes dan dinamis, namun kurang cocok untuk masuk ke ranah publik. Berikut adalah alternatif model/bentuk kerja sama antardaerah yang dapat diterapkan di Indonesia. › Lembaga Kerja Sama Antardaerah Struktural Kerja sama antardaerah yang diwadahi dalam lembaga kerja sama struktural sangat bermanfaat untuk sinergi dan koordinasi perencanaan pembangunan antar SKPD di wilayah kerja sama, dan ini merupakan kekuatan utama model KAD struktural. Lembaga kerja sama


40

Modul Kelembagaan Kerjasama Daerah

antardaerah yang bersifat struktural sendiri memiliki ciri tersendiri yang membedakan dengan lembaga yang bersifat nonstruktural, yaitu: 1. Pengurusnya Aparatur Sipil Negara (ASN) Lembaga KAD yang bersifat struktural diisi dominan oleh ASN dalam menjalankan kegiatannya, mulai dari perencanaan sampai dengan pelaksanaan. Kepengurusan lembaga KAD struktural terdiri dari unsur pimpinan daerah, dan pelaksanaanya akan dikoordinasikan oleh Koordinator beserta sub sekretariat dibawahnya. Pada level kebijakan, kepengurusan lembaga struktural ini murni berasal dari ASN, sedangkan pada level pelaksana harian dan koordinasi adalah tenaga professional/swasta (konsultan individu) yang bekerja berdasarkan arahan dan kebijakan struktural dan serta dari ASN. 2. Inisiasi pembentukan lembaga dari pemerintah pusat (hierarkis) Salah satu ciri tipikal dari lembaga KAD struktural ini dapat kita lihat dari inisiasi pembentukan lembaga. Sebagai sebuah produk yang hierarkis, pembentukan lembaga KAD struktural ini dapat dikatakan merupakan arahan atau rekomendasi dari pemerintah pusat atau pemerintah provinsi kepada struktur pemerintahan di bawahnya. Pemerintah pusat/provinsi memandang perlu untuk dilakukukan dan dibentuk lembaga KAD di suatu wilayah dengan melibatkan beberapa daerah otonom dalam rangka sinergi pembangunan, utamanya sinergi pembangunan pada kegiatan-kegiatan yang termasuk dalam urusan wajib. Hal ini dimaksudkan untuk mempermudah komunikasi dan koordinasi antarlembaga dan antardaerah. Lembaga kerja sama antardaerah struktural ini bersifat hierarkis, artinya tunduk terikat dari level atas sampai ke level bawah dengan sistem administrasi yang birokratis, baik dari sisi pelaksanaan maupun pembiayaannya. Dalam konteks ini, personil yang menjabat pada kepengurusan bersifat ex officio bukan personal, jadi setiap terjadi pergantian pejabat yang masuk dalam kepengurusan, maka akan terjadi pula pergantian personil dalam kepengurusan sesuai dengan jabatan tersebut. Beberapa contoh dari penerapan KAD dengan model lembaga struktural adalah Badan Kerja Sama Antardaerah (BKAD) dan Badan Kerja Sama Pembangunan (BKPS). Penerapan pelembagaan KAD dalam bentuk BKAD dapat ditemui di BKAD Subosukawonosraten di wilayah Surakarta (Kota Surakarta, Kabupaten Boyolali, Sukoharjo, Karanganya, Sragen, Wonogiri, dan Kabupaten Klaten), BKAD Pawonsari di lintas tiga provinsi (Pacitan/Jawa Timur, Wonogiri/Jawa Tengah, dan Wonosari/DIY), dan BKPS Jabodetabekjur di wilayah DKI Jakarta (Jakarta, Bogor, Depok, Bekasi, dan Cianjur). Dalam model ini, karakteristiknya adalah: ď‚— Forum tertinggi adalah seluruh unsur pimpinan daerah anggota KAD ď‚— Koordinator/Kepala sekretariat, sebagai pimpinan harian BKAD dijabat oleh Asisten I bidang Pemerintahan. ď‚— Sub Sekretariat, berkedudukan di kabupaten/kota lainnya dijabat oleh staf pemerintah kabupaten/ kota terkait format dasar dari Lembaga KAD Struktural adalah sebagai berikut:


3. Pokok Bahasan II: Lembaga Kerjasama Antar Daerah (KAD)

DPRD Anggota KAD

41

Pihak Ketiga (Kerja Sama, Advokasi, Bantuan Teknis)

Kepala Lembaga KAD (Salah satu kepala daerah yang disepakati bergiliran)

Koordinator/Kepala Sekretariat (Dijabat oleh Asisten Bidang Pemerintahan, berkedudukan di daerah mana Kepala Lembaga berada)

Kepala/Koordinator SubSekretariat (Dijabat oleh Asisten Bidang Pemerintahan, berkedudukan di daerah di masing-masing daerah anggota)

Kepala/Koordinator SubSekretariat (Dijabat oleh Asisten Bidang Pemerintahan, berkedudukan di daerah di masing-masing daerah anggota)

Kepala/Koordinator SubSekretariat (Dijabat oleh Asisten Bidang Pemerintahan, berkedudukan di daerah di masing-masing daerah anggota)

Staf-staf

Staf-staf

Staf-staf

Gambar 5. Format Dasar Lembaga KAD Struktural

Gambar di atas menunjukkan struktur yang hierarkis di mana masing-masing daerah memilik koordinator yang mewakili daerah masing-masing (subsekretariat). Subsekretariat ini menjalankan program dan kegiatan yang telah disepakati oleh struktur di atasnya, yang tentunya harus sesuai dengan pola administrasi masing-masing daerah. Kepala lembaga merupakan pemimpin organisasi yang ditunjuk berdasarkan kesepatan, biasanya ditunjuk bergiliran dan secara otomatis pusat kesekretatiatan termasuk kepala sekretariat dijabat oleh pejabat di bawah kepala daerah yang sedang mempimpin organisasi. Kekuatan pada lembaga model struktural ini adalah adanya legitimasi yang cukup besar karena melibatkan DPRD dalam pengambilan keputusan, terutama terkait penganggaran. Namun di sisi lain, inisiasi dari bawah menjadi kurang terbangun karena segala sesuatu tergantung dari struktur atas, masing-masing subsekretariat menjalankan keputusan yang telah disepakati. Struktur lembaga seperti ini efektif untuk digunakan hanya pada platform kerja sama yang hanya menitikberatkan pada pelayanan publik yang bersifat wajib, dan didukung serta diarahkan oleh pemerintah provinsi/pusat untuk harmonisasi kebijakan antardaerah yang dituangkan dalam program dan kegiatan oleh masing-masing daerah. Anggaran yang dikeluarkan oleh masing-masing daerah merupakan cantelan dalam program dan kegiatan yang ada dalam struktur APBD dengan sinkronisasi program dan kegiatan bersama terkait bidang KAD yang disepakati. › Lembaga Kerja Sama Antardaerah Non-Struktural Kerja sama antardaerah nonstruktural lebih mengedepankan jejaring antaranggota, di mana pembentukannya diinisiasi oleh anggota-anggotanya sendiri, bukan bentukan dari pusat. Beberapa ciri khusus dari lembaga KAD nonstruktural ini adalah:


42

Modul Kelembagaan Kerjasama Daerah

 Potensi unggulan dan kekuatan endogen yang melatarbelakangi dan merupakan modal dasar pelaksanaan (pondasi kegiatan).  Aktor regional sebagai motor bagi terbentuknya sebuah wadah kerja sama lintas daerah (platform).  Aspek komunikasi, kerjasama, dan koordinasi yang selalu mendominasi pelaksanaan kesepakatan bersama/komitmen (pilar kegiatan).  Tujuan dan sasaran bersama untuk mewujudkan pembangunan (visi dan target). Pelembagaan KAD nonstruktural dapat dituangkan dalam model jejaring publik maupun model Regional Management. Model jejaring publik ini maksudnya kelembagaan yang memadukan unsur ASN dan Profesional dalam mencapai tujuan optimalisasi pelayanan publik. Di dalam kelembagaan model jajaring publik ini, staf profesional dipilih melalui seleksi terbuka, demikian pula pada model kelembagaan Regional Management. Pelibatan profesional dalam struktur kelembagaan nonstruktural ini bertujuan untuk lebih meningkatkan fleksibilitas jejaring publik dan swasta. Dalam model jejaring publik maupun model Regional Management, sebenarnya tidak memiliki format baku, namun komponen dasarnya kurang lebih sebagai berikut: ❏ Forum Komunikasi Regional, beranggotakan seluruh jajaran pemerintah dan pemangku kepentingan daerah terkait dengan struktur, forum ini berperan dalam memberikan araham umum pelaksanaan KAD. ❏ Forum Kepala Daerah, beranggotakan unsur seluruh pimpinan kepala daerah (Bupati, Walikota, Gubernur) yang bertugas mengontrol pelaksanaan kerjasama regional dan memberikan masukan pada rencana kerja regional yang akan dilaksanakan atau dalam pemecahan masalah yang perlu mendapatkan masukan dari berbagai pihak. ❏ Pelaksana Harian/Dewan Eksekutif, diketuai sesuai kesepakatan oleh salah satu Sekretaris Daerah atau Kepala Bappeda (secara bergantian) serta beranggotakan Sekretaris Daerah atau Kepala Bappeda lainnya beserta para kepala dinas terkait. Pelaksanaan Harian atau Dewan Eksekutif ini bertugas menyusun program kegiatan Dewan Eksekutif, penetapan anggaran, mengikat kontrak dengan Staf Profesional (Direktur atau manager dan stafnya) dan melakukan monitoring dan evaluasi pelaksanaan kegiatan Regional Management/Marketing oleh Regional Manager. Pelaksana Harian ini bertanggungjawab kepada Forum Kepala Daerah. Anggaran operasional sekretariat Pelaksana Harian ditanggung bersama oleh daerah anggota KAD, baik dari APBD maupun sumber pendanaan lainnya. ❏ Direktur atau Manager, berasal dari kalangan profesional yang mempunyai kompetensi di bidang manajemen wilayah. Direktur dibantu oleh beberapa staf yang juga berasal dari kalangan profesional untuk mengisi beberapa bagian seperti bagian perencana dan monev, bagian fasilitasi dan advokasi, sekretariat (umum dan keuangan) serta unit operasional. Direktur/manager ini diseleksi secara terbuka oleh Pelaksana Harian. Tugas Direktur/Manager ini antara lain menyusun program kerja KAD, melaksanakan program kerja, melakukan promosi dan pemasaran wilayah, dan membangun jejaring guna memperoleh kesepakatan investasi. Di luar komponen dalam struktur tersebut, terdapat pula advokasi dan fasilitasi dari pihak ketiga. Hal ini terkait dengan sumber daya dan pemahaman terkait KAD yang relatif terbatas, sehingga diperlukan stimulan dan dorongan dari pihak ketiga. Advokasi dan fasilitasi ini


3. Pokok Bahasan II: Lembaga Kerjasama Antar Daerah (KAD)

43

bisa dilakukan oleh berbagai pihak, utamanya dari universitas dan dari lembaga donor maupun lembaga yang fokus pada pelaksanaan dan pemberdayaan KAD.

JEJARING PUBLIK

ADVOKATOR DAN FASILITATOR

FORUM KOMUNIKASI REGIONAL

FORUM KEPALA DAERAH

PELAKSANA HARIAN/ DEWAN EKSEKUTIF

JEJARING PRIVAT

STAF/ KOORDINATOR BIDANG

DIREKTUR/ MANAGER

STAF/ KOORDINATOR BIDANG

STAF/ KOORDINATOR BIDANG

Gambar 6. Ilustrasi Format Lembaga KAD Nonstruktural

Dalam lembaga KAD nonstruktural ini, meskipun dominan pada staf profesional dalam menggerakkan dan menghidupkan KAD, tetap dapat menjalankan fungsi kerja sama pada pelayanan wajib antardaerah. Hal ini dikarenakan adanya peran pelaksana harian atau Dewan Eksekutif yang dapat menjalankan fungsi birokrasi yang biasanya dominan dalam pelaksanaan urusan wajib, terutama pada kerja sama pelayanan publik. Sinkronisasi dan harmonisasi program dan kegiatan antardaerah terkait pelayanan publik dapat dibahas dan disepakati dalam lingkup Dewan Eksekutif, bahkan dapat melibatkan staf profesional apabila dimungkinkan peran pihak ketiga. Dalam konteks PP No. 28 Tahun 2018 dimana kerja sama dibagi menjadi Kerja Sama Wajib dan Kerja Sama Sukarela, lembaga KAD nonstruktural ini dapat mewadahi keduanya. Fleksibilitas lembaga KAD nonstruktural tidak melihat kedua kategori kerja sama tersebut sebagai perbedaan, mengingat kedua kategori kerja sama tersebut bukan merupakan batasan untuk bekerja sama. Jejaring publik dan jejaring swasta dapat dibangun dengan baik melaui lembaga KAD nonstruktural. Sebagai contoh nyata, kerja sama Kartamantul yang merupakan model kerja sama antardaerah nonstruktural tetap mampu secara efektif dan efisien dalam meningkatkan kualitas pelayanan publik, utamanya dalam penyediaan sarana dan prasarana perkotaan. Perekrutan tenaga profesional semakin meningkatkan kinerja dari kerja sama ini.


44

Modul Kelembagaan Kerjasama Daerah

PROSES

Tujuan Setelah pembelajaran ini peserta diharapkan dapat: 1. Mampu memahami sistem pembiayaan KAD di Indonesia 2. Mengetahui dan memahami alternatif pembiayaan kerjasama antardaerah Waktu 1 Jam Pertemuan (60 menit)

Metode 1. Pemaparan 2. Diskusi 3. Tanya jawab

Alat Bantu 1. Kertas, spidol, laptop, dan infocus 2. Papan Tulis, Lakban Kertas Adapun materi terkait pembiayaan KAD, pelatih menjelaskan antara lain: 1. Sistem pembiayaan KAD di Indonesia 2. Alternatif pembiayaan KAD


3. Pokok Bahasan II: Lembaga Kerjasama Antar Daerah (KAD)

45


46

Modul Kelembagaan Kerjasama Daerah


4. POKOK BAHASAN III: PEMBIAYAAN KERJASAMA ANTAR DAERAH (KAD)


48

Modul Kelembagaan Kerjasama Daerah

Sistem Pembiayaan KAD di Indonesia Mekanisme pembiayaan kegiatan lembaga kerjasama yang ada sangat beragam. Namun ada indikasi kuat mekanisme pembiayaan tersebut sangat rentan terhadap persoalan keberlanjutan pendanaan. Kekuatan dan keberlanjutan pembiayaan KAD terindikasi bergantung pada pihak ketiga, seperti lembaga donor, penyertaan modal atau iuran, serta bantuan-bantuan teknis yang sifatnya sementara. Dari aspek politis, pembiayaan KAD ini juga sangat rentan, sebagai contoh bila tidak ada dukungan kuat dari dewan atau adanya daerah yang tidak mampu memenuhi kesepakatan yang ada terkait iuran pembiayaan, dan ini seringkali malah mengancam keberlanjutan pendanaan forum kerjasama yang ada. Pendanaan forum kerjasama Kartamantul misalnya, pada awal sangat tergantung pada support dari GTZ Urban Quality. Untuk kepentingan pengembangan kelembagaan dan operasionalisasi sekretariat bersama GTZ Urban Quality harus mengeluarkan dana bantuan Rp 400 juta selama dua tahun. Setelah dianggap mandiri, kemudian tiga daerah yang bekerjasama bersepakat untuk membiayai operasionalisasi kesekretariatan dan proyek yang dikerjakan oleh Kartamandul. Saat ini disepakati, pembiayaan operasional kesekretariatan ditanggung bersama oleh masing-masing pemerintah daerah dan diambilkan dari sumber APBD. Sedangkan untuk biaya proyek dibagi berdasarkan proporsi yang disepakati. Misalnya untuk biaya pengelolaan sampah, dari total Rp 1,9 milyar yang dikeluarkan, 75% ditanggung oleh Yogyakarta, 15% dibebankan kepada Sleman dan 10% ditanggung oleh Kota Bantul. Saat ini Kartamantul sedang memikirkan untuk mencari pembiayaan dari sumber-sumber mandiri sehingga tidak bergantung lagi pada ABPD masing-masing daerah anggota. Sumber dana mandiri potensial yang sedang digarap adalah TPA sampah di Piyungan Bantul yang ke depan akan di proyeksikan menjadi badan usaha bersama. Sedangkan untuk lembaga KAD berbentuk Regional Management, alokasi anggaran diambilkan dari alokasi anggaran sekretariat daerah (SEKDA) di masing-masing pemerintah daerah yang menjadi anggota. Sedangkan untuk biaya operasional dan teknis diambil dari anggaran BAPPEDA di masing-masing pemerintah daerah.

Alternatif Pembiayaan Kerja Sama Antardaerah Penganggaran kerja sama antardaerah bergantung pada kebutuhan masing-masing lembaga dan pelaku utama pembangunan wilayah. Pembiayaan kegiatan dalam lembaga kerja sama antardaerah dapat dipilah menjadi: A. Pola pembiayaan proses pembentukan program strategis regional Bila Kerja Sama Antardaerah (KAD) masih dalam tahap inisiasi pembentukan (belum terbentuk), maka mekanisme penganggaran untuk pembiayaannya dapat dilakukan melalui alternatif sebagai berikut:


4. Pokok Bahasan III: Pembiayaan Kerjasama Antar Daerah (KAD)

49

Alternatif 1 Pembiayaan dalam pengelolaan kegiatan KAD yang telah disepakati bersama dapat menggunakan mekanisme Hibah. Hibah adalah Penerimaan Daerah yang berasal dari pemerintah negara asing, badan/lembaga asing, badan/lembaga internasional, pemerintah, badan/lembaga dalam negeri atau perorangan, baik dalam bentuk devisa, rupiah maupun barang dan atau jasa, termasuk tenaga ahli dan pelatihan yang tidak perlu dibayar kembali. Hibah dapat berasal dari dalam negeri maupun luar negeri. Hibah yang bersumber dari dalam negeri bersumber dari: ď‚— Pemerintah ď‚— Pemerintah Daerah lain ď‚— Badan/lembaga/organisasi swasta dalam negeri ď‚— Kelompok masyarakat/perorangan Hibah yang bersumber dari luar negeri diperoleh dari lembaga/Institusi, negara: bilateral, multilateral, dan/atau donor lainnya. Hibah dapat disalurkan kepada Pemerintah, Pemerintah Daerah, Perusahaan Daerah, Masyarakat, dan Organisasi Kemasyarakatan. Dengan kata lain, hibah dapat pula disalurkan kepada Instansi Vertikal seperti; kegiatan TMMD, pengamanan daerah, dan penyelenggaraan Pilkada oleh KPUD; Organisasi Semi Pemerintah seperti; PMI, KONI, Pramuka, KORPRI, dan PKK; dan Organisasi Non Pemerintah seperti; Ormas dan LSM; dan masyarakat. Sesuai dengan Permendagri No. 59 Tahun 2007, tujuan hibah seperti dijelaskan pada pasal 43 adalah sebagai berikut: 1) Hibah kepada Pemerintah bertujuan untuk menunjang peningkatan penyelenggaraan fungsi pemerintahan di daerah. 2) Hibah kepada Perusahaan Daerah bertujuan untuk menunjang peningkatan pelayanan kepada masyarakat. 3) Hibah kepada Pemerintah Daerah Iainnya bertujuan untuk menunjang peningkatan penyelenggaraan pemerintahan daerah dan layanan dasar umum. 4) Hibah kepada Masyarakat dan Organisasi Kemasyarakatan bertujuan untuk meningkatkan partisipasi penyelenggaraan pembangunan daerah atau secara fungsional terkait dengan dukungan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Mekanisme kerja hibah didasarkan pada pertimbangan jenis hibah (uang, barang, atau jasa), unit kerja, dan sistem pelaksanaan pengadaan barang, yang dapat diilustrasikan pada tabel berikut:


50

Modul Kelembagaan Kerjasama Daerah

Tabel 4. Mekanisme Kerja Hibah UNIT KERJA

KELOMPOK BELANJA

PELAKSANAAN PENGADAAN BARANG

KETERANGAN

UANG

PPKD

Belanja tidak langsung

Penerima hibah

Melalui transfer

BARANG

SKPD

Belanja langsung (program/ Kegiatan)

SKPD

Dicatat âž? Dihapus

JASA

SKPD

Belanja langsung (program/ Kegiatan)

SKPD

-

Sumber: Depdagri, 2008

Pertanggungjawaban hibah dibedakan atas pertanggungjawaban pada Instansi Vertikal dan Organisasi Semi Pemerintah dan Organisasi Non Pemerintah. Pertanggungjawaban atas hibah dalam bentuk uang pada instansi vertikal dan organisasi Semi Pemerintah dilakukan dengan laporan realisasi penggunaan dana, bukti-bukti lainnya yang sah sesuai naskah perjanjian hibah dan peraturan perundang-undangan lainnya. Bila dalam bentuk barang, pertanggungjawabannya dilakukan dengan bukti tanda terima uang dan laporan realisasi penggunaan dana sesuai naskah perjanjian hibah, yang pengaturan pelaksanaannya ditetapkan dengan peraturan Kepala Daerah. Untuk organisasi non-pemerintah, baik dalam bentuk barang maupun uang, pertanggungjawaban dilakukan dengan disertai berita acara serah terima barang dan penggunaan atau pemanfaatan harus sesuai dengan Naskah Perjanjian Hibah. Alternatif 2 Terkait dengan pembiayaan untuk Kabupaten/Kota bisa mengacu pada PP No. 28 Tahun 2018 sebagai berikut: 1. Bab 2 Pasal 11 ayat 3 disebutkan bahwa Biaya pelaksanaan urusan pemerintahan yang dikerjasamakan diperhitungkan dari anggaran pendapatan dan belanja daerah masing-masing daerah yang bersangkutan 2. Pasal 12 ayat 1 sampai dengan ayat 4 disebutkan bahwa pemerintah pusat dapat memberikan bantuan keuangan kepada daerah untuk melakukan kerja sama wajib. Selain itu, pemerintah daerah juga dapat memberikan bantuan keuangan kepada daerah lain untuk melaksanakan kerja sama wajib melalui anggaran bidang yang dikerjasamakan. Dengan demikian, pemerintah pusat dan pemerintah daerah dapat menginstruksikan atau memberi pengarahan dari mana alokasi pembiayaan dapat dianggarkan. Melalui instruksi Kepala Daerah ini, anggaran pembiayaan kerja sama antardaerah antara lain dapat dialokasikan dalam SKPD masing-masing Kabupaten/Kota, dengan mekanisme sesuai Permendagri No. 59 Tahun 2007, yang merupakan perubahan Permendagri No. 13 Tahun 2006.


4. Pokok Bahasan III: Pembiayaan Kerjasama Antar Daerah (KAD)

51

Aspek pembiayaan dari pemerintah pusat dapat menjadi salah satu faktor pendukung yang dapat digunakan oleh Pemerintah Pusat dalam mendorong inisiatif regional. Penyediaan anggaran untuk kegiatan kerja sama antardaerah dapat didukung oleh Pemerintah Pusat dengan berbagai bentuk program. Daerah dapat mengajukan pengajuan program pembangunan melalui platform kerja sama antardaerah kepada Pusat. Dengan platform tersebut maka pembiayaan akan lebih menjanjikan dalam hal efektifitas, efisiensi, dan transparansi.

Pemerintah Kabupaten/Kota melalui APBD Kabupaten/Kota dapat menganggarkan berbagai bentuk inisiasi yang muncul dari daerahnya untuk membangun kegiatan pembangunan dari berbagai sektor dan kalangan. Sebagai contoh, pada Regional Management (RM) Barlingmascakeb, masing-masing daerah mengeluarkan dana sebesar Rp 100.000.000 dari APBD mereka untuk membiayai operasional kantor RM. Alokasi anggaran lain digunakan untuk membiayai perjalanan lobi mediasi dengan investor potensial. Jumlah dana yang dianggarkan mencerminkan besarnya niat dan kesungguhan para aktor regional dalam melakukan kerja sama. Ketergantungan suatu daerah dengan daerah lainnya dapat dimanfaatkan sebagai pengikat kebersamaan dan kepentingan, termasuk dalam bentuk penggalangan dana. Keterbukaan kebutuhan dan pemanfaatan dana program kerja sama pada akhirnya akan menciptakan akuntabilitas yang lebih bertanggungjawab. Alternatif Pihak ke-3 Alternatif lain untuk pembiayaan kerja sama antardaerah adalah dengan menggali dana dari lembaga donor atau instansi lain. Promosi yang menarik dari pihak lembaga pelaksana kerja sama antardaerah dapat mendorong minat swasta atau lembaga donor untuk berpartsipasi dalam hal pendanaan. Di luar negeri, lembaga-lembaga kerja sama antardaerah mengembangkan sumber pendanaannya selain mekanisme iuran antar anggota (membership fees), yaitu dengan mencari dukungan lembaga-lembaga donor internasional, misal USAID dan GTZ dan dukungan keuangan dari sponsor yang merupakan lembaga profit (swasta). Alternatif pembiayaan ini sangat efektif manakala pengelola kerja sama antardaerah giat mempromosikan potensi dan kegiatan, serta dapat menggerakkan segenap pemangku kegiatan sehingga terlihat hasil nyata dari konsep pembangunan kewilayahan yang sinergis. Keberhasilan kecil dari pelaksanaan kerja sama antardaerah akan menarik lembaga-lembaga dan pihak ketiga untuk ikut berpartisipasi dalam pendanaan.



DAFTAR PUSTAKA Bambang Tri Harsanto.2015. Dekonstruksi Model Kerjasama Antar Daerah (Studi Tentang Lembaga Kerjasama Antar Daerah Barlingmascakeb) Jurnal; Unsoed Pp No. 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota Pp No. 28 Tahun 2018 Tentang Kerja Sama Daerah Kepmendagri No. 275 Tahun 1982 Tentang Pedoman Kerjasama Pembangunan Antar Daerah Keputusan Koordinator BKAD Subosakawonossraten No. 236/06/BKAD/VII/02 Permendagri No. 22 Tahun 2009 Tentang Petunjuk Teknis Tata Cara Kerja Sama Daerah




NSLIC/NSELRED Project: World Trade Center (WTC) 5, 10th floor Jl. Jenderal Sudirman Kav. 29-31 Jakarta 12920, Indonesia Tel: +62 21 5262282, +62 21 526 8668 www.nslic.or.id

NSLIC Project

@NslicNselred


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.