Modul Konsep Dasar Kelembagaan Kerjasama Daerah

Page 1

MODUL KONSEP DASAR KERJASAMA DAERAH



MODUL KONSEP DASAR KERJASAMA DAERAH


Kata Pengantar

KATA PENGANTAR Salam Sejahtera, Di beberapa wilayah di Indonesia telah menginisasi implementasi kerja sama antardaerah (KAD), baik di bidang penataan ruang, lingkungan, kesehatan, sampai dengan bidang UMKM, perdagangan, SDM, misi dagang, dan lain sebagainya. Terlepas dari jatuh bangunnya upaya pelaksanaan kerja sama antardaerah, mengingat konsep kerja sama antardaerah sendiri masih merupakan sesuatu yang masih mencari bentuk ideal, ternyata mayoritas daerah di Indonesia belum menangkap konsep kerja sama antardaerah ini sebagai sebuah peluang. Upaya penerapan KAD selama ini tidak lepas dari kendala-kendala yang terjadi dalam pelaksanaannya, seperti belum adanya database yang cukup baik mengenai KAD di seluruh Indonesia sehingga pemerintah daerah masih belum cukup mempertimbangkan KAD sebagai salah satu inovasi dalam penyelenggaraan pembangunan. Faktor persaingan dan ego daerah dimana semangat otonomi masih dipandang sempit dan kedaerahan juga menyebabkan masing-masing daerah memacu perkembangan daerahnya sendiri tanpa menimbang kemampuan dan kebutuhan wilayah lain. Di pemerintah sejatinya telah memberikan arahan koridor pelaksanaan kerja sama antardaerah melaui PP No. 28/2018 dan Permendagri No. 22 dan No. 23 tahun 2009. Namun KAD masih belum menjadi satu inovasi prioritas untuk disebarluaskan ke daerah. Selama ini KAD biasanya terbentuk atas inisiatif daerah sendiri. Melihat besarnya manfaat yang ditawarkan oleh kerja sama antardaerah ini, sudah selayaknya bila pemerintah daerah dan pemerintah pusat mengambil peran secara aktif dan memprioritaskan penerapan KAD dalam membangun wilayah. Di samping harmonisasi pelayanan publik antardaerah, KAD dapat mendongkrak daya saing wilayah dengan pemanfaatan sumber-sumber daya lokal secara sinergis, sehingga dapat mengurangi kesenjangan antarwilayah. Selain itu, KAD sangat efektif untuk meningkatkan kerja sama antarpelaku (public-private partnership) dalam pengelolaan sumber-sumber daya ekonomi daerah. Semoga modul ini memberi wawasan baru terkait konsep dasar KAD di Indonesia.

v


vi

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR

vii

Daftar Tabel

DAFTAR ISI

viii

Tabel 1. Karakteristik Regionalisasi Sentralistik dan Desentralistik

24

DAFTAR TABEL

ix

Tabel 2. Karakteristik Kerja Sama Inequal dan Equal Kolaboratif

32

DAFTAR GAMBAR

ix

Tabel 3. Pola Kerja Sama Berdasarkan Dimensinya

33

xi

Tabel 4.

42

DAFTAR SINGKATAN DAN ISTILAH CARA PENGGUNAAN MODUL PELATIHAN

xiii

Jenis Kad (Regionalisasi) Berdasarkan Faktor Pengendalian Proses

Tabel 5. Regionalisasi Dalam Hard From dan Soft Form 44 Tabel 6. Tugas Aktor dan Bentuk Kegiatan

47

Bab 1. Pendahuluan 15

Tabel 7. Diagram Matriks Analisis SWOT 55

1.1. Latar Belakang

16

Tabel 8. Matriks TOWS 57

1.2.Tujuan Penyusunan Modul

18

Tabel 9. Mekanisme Kerja Hibah

76

1.3. Kelompok Sasaran

18

Tabel 10. Dualisme Tujuan Monitoring

84

1.4. Pendekatan Pelatihan

18

1.5. Metode Pelatihan

18

Daftar Gambar

1.6. Kriteria Fasilitator

18

Gambar 1. Piramid Siklus 3K pada Pendekatan Pembangunan Sentralistik

22

1.7. Evaluasi Pelatihan

19

Gambar 2. Regionalisasi Sentralistik dan Desentralistik Pasca

23

1.8. Agenda Pelatihan

19

Otonomi Daerah di Indonesia

Bab 2. Pokok Bahasan I : Konsep Dasar Kerjasama Antar Daerah

21

Gambar 3. Piramid Siklus 3K pada Pendekatan Pembangunan Desentralistik

23

Gambar 4. Bagan Konsep Perwilayahan

25

Gambar 5. Perbedaan Proses Pewilayahan dan Region

26

Gambar 6. KSD dan Dimensi Pengelolaannya

28

Gambar 7. DEAD Model

29

Bab 4. Pokok Bahasan III : Perencanaan Kerjasama Antar Daerah (KAD) 51

Gambar 8. DACO Model

29

Gambar 9. Skema Konektifitas Pola Kerja Sama Inequal Kolaboratif

30

Bab 5. Pokok Bahasan IV : Kelembagaan Kerja Sama Antar Daerah (KAD) 67

Gambar 10. Skema Konektifitas Pola Kerja Sama Equal Kolaboratif

31

Gambar 11. Perbedaan Pengelolaan Dimensi Struktural dan Non Struktural

34

Bab 6. Pokok Bahasan V : Monitoring dan Evaluasi KAD 79

Gambar 12. Implementasi Kerja Sama Daerah dalam Konteks Kewilayahan

41

Gambar 13. Perbedaan Bangunan Regionalisasi

44

Gambar 14. Instrumen Pembangunan Formal dan Non Formal

46

Gambar 15. Peran dan Interaksi Antar Aktor Utama

47

Gambar 16. Struktur Organisasi KAD dalam Wadah Regional Management

48

Gambar 17. Peran SKAD dan Rekad dalam Perencanaan Pembangunan Wilayah

58

Bab 3. Pokok Bahasan II : Bentuk Kerjasama Antar Daerah (KAD) 37

Bab 7. Penutup Daftar Pustaka

89 93

Gambar 18. Proses MUSREMBANG 61 Gambar 19. Impact Chain 84


DAFTAR SINGKATAN DAN ISTILAH 3K

:

Komunikasi, Koordinasi dan Kerjasama

KAD

:

Kerjasama Antar Daerah

LEKAD

:

Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Kerjasama Antar Daerah

KSDD

:

Kerjasama Daerah dengan Daerah

LSM

:

Lembaga Swadaya Masyarakat

Pemda

:

Pemerintah Daerah

PMI

: Palang Merah Indonesia

PP

:

Peraturan Pemerintah

REKAD

:

Rencana Strategis Kerjsama Antar Daerah

RM

: Regional Management

SKAD

:

Skenario Kerjasama Antar Daerah

SWOT : Strengths, Weaknesses, Opportunities, and Threats TOWS : Threats, Opportunities, Weaknesses, and Strengths UU

: Undang-Undang

Monev

:

Monitoring dan Evaluasi

Dll

:

Dan lain-lain

USAID : United States Agency for International Development GTZ : Deutsche Gesellschaft fĂźr Technische Zusammenarbeit APBD

:

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

SKPD

:

Satuan Kerja Perangkat Daerah

PPKD

:

Pejabat Pengelola Keuangan Daerah

KPUD

:

Komisi Pemilihan Umum Daerah

TMMD

:

TNI Manunggal Masuk Desa

SEKDA

:

Sekretariat Daerah

BAPPEDA

:

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah

KORPRI

:

Korps Pegawai Republik Indonesia

ORMAS

:

Organisasi Masyarakat

PKK

:

Pembinaan Kesejahteraan Keluarga

KONI

:

Komite Olahraga Nasional Indonesi

RTRW

:

Rencana Tata Ruang Wilayah

FGD : Focus Group Discussion MUSRENBAREG

:

Musyawarah Rencana Pembangunan Regional


CARA PENGGUNAAN MODUL PELATIHAN Sebelum menggunakan modul ini untuk kepentingan pelatihan, diharapkan terlebih dahulu fasilitator membaca bagian pendahuluan dari modul ini. Bagian pendahuluan penting untuk dibaca terlebih dahulu karena pada bagian itu mengulas tentang tujuan dari modul, kriteria pelatih atau fasilitator yang dibutuhkan untuk melaksanakan pelatihan konsep dasar KAD, kelompok sasaran, pendekatan dan metode pelatihan. Modul ini disusun untuk pelatihan bagi stakeholders terkait khususnya peserta pelatihan yang tidak hanya mendiskusikan perihal teori, tetapi juga banyak dilakukan praktik, terutama untuk masing-masing konsep dasar yang diperkenalkan. Pada bagian waktu dan agenda pelatihan yang dimuat dalam pendahuluan memang tidak dinyatakan secara eksplisit tentang praktik menganalisis, tetapi pada masing-masing pokok bahasan tergambar jelas kapan praktik menganalisis dilakukan. Modul Konsep Dasar KAD ini terdiri atas 5 Pokok Bahasan. Alur dari pelatihan ini hendaknya disajikan sesuai urutan Pokok Bahasan sehingga dapat membantu peserta memahami konsep dasar KAD secara komprehensif dan juga mempermudah pelatih dalam membantu peserta memahami materi yang tersedia. Pada masing-masing Pokok Bahasan akan ada pengantar, tujuan sesi, metode, alat dan bahan, waktu dan proses. Masing-masing poin tersebut memiliki fungsi tersendiri. Pengantar memberikan pengetahuan tentang Pokok Bahasan yang bersangkutan, sedangkan tujuan sesi menjelaskan apa yang ingin dicapai. Oleh karenanya, seorang pelatih harus mengetahui apa tujuan yang ingin dicapai dari setiap sesi. Selanjutnya pada bagian metode, mengulas tentang cara yang akan digunakan untuk menyampaikan materi pada pokok bahasan yang bersangkutan. Sementara alat dan bahan merupakan peralatan maupun materi yang perlu disiapkan untuk kelancaran proses pelatihan. Waktu menunjukkan durasi yang dialokasikan untuk melaksanakan sebuah pokok bahasan, sedang proses merupakan langkah-langkah yang dilakukan dalam memfasilitasi sesi pelatihan. Segmen ini ada pada setiap pokok bahasan dalam modul ini. Bagian modul yang ini didedikasikan untuk pegangan/acuan bagi pelatih dalam menyelenggarakan pelatihan. Dari bagian ini, peserta pelatihan hanya perlu mengetahui tujuan dari masing-masing pokok bahasan. Namun, hal ini bisa disampaikan oleh fasilitator ketika memberi pengantar maupun mau memulai sesi.


1. PENDAHULUAN


16

Modul Konsep Dasar Kerjasama Daerah

1.1. Latar Belakang National Support for Local Investment Climates/National Support for Enhancing Local and Regional Economic Development (NSLIC/NSELRED) adalah kemitraan antara Pemerintah Indonesia melalui Kementerian PPN/Bappenas dan Pemerintah Kanada melalui Global Affairs Canada (GAC) dengan fokus pada perbaikan iklim usaha bagi Koperasi dan UMKM dan memperkuat kapasitas Pemerintah Daerah dalam pembangunan ekonomi lokal dan regional. Proyek ini bertujuan memberikan penguatan kapasitas kepada para pihak di 10 kota/ kabupaten di Provinsi Sulawesi Tenggara dan Gorontalo. Kelima daerah di Sulawesi Tenggara tersebut adalah Kota Kendari, Kota Baubau, Kabupaten Konawe Selatan, Bombana dan Wakatobi. Sedangkan di Provinsi Gorontalo adalah Kota Gorontalo, Kabupaten Gorontalo, Gorontalo Utara, Boalemo dan Pohuwato. Sebagai bentuk penguatan kapasitas kepada para pihak, telah dilakukan pelatihan Kerjasama Antar Daerah di tiga daerah yaitu di Kota Gorontalo, Provinsi Gorontalo serta Kota Kendari dan Kota Baubau di Provinsi Sulawesi Tenggara. Kerja Sama Daerah adalah usaha bersama antara daerah dan daerah lain, antara daerah dan pihak ketiga, dan/atau antara daerah dan lembaga atau pemerintah daerah di luar negeri yang didasarkan pada pertimbangan efisiensi dan efektivitas pelayanan publik serta saling menguntungkan. Pengertian tentang kerja sama daerah ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2018 tentang Kerja Sama Daerah. Lebih lanjut, PP 28/2018 ini menerangkan bahwa Kerja Sama Daerah dengan Daerah Lain, yang selanjutnya disingkat KSDD, adalah usaha bersama yang dilakukan daerah dengan daerah lain dalam rangka penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah untuk kesejahteraan masyarakat dan percepatan pemenuhan pelayanan publik. Peraturan Pemerintah No. 28/2018 ini merupakan pembaharuan dari peraturan pemerintah sebelumnya (PP 50/2007) mengenai Tata Cara Pelaksanaan Kerja Sama Daerah. Hal ini menunjukkan adanya perhatian khusus bagi kerja sama antardaerah di Indonesia, meskipun mungkin perkembangannya terkesan relatif lambat. PP 28/2018 ini sendiri diterbitkan dengan pertimbangan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 369 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Menengok jauh ke belakang, pemberlakuan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, transformasi budaya-perencanaan pembangunan dari sentralistik menuju desentralistik masih menemui berbagai kendala. Pendekatan “top down” pada masa lalu memang kurang membuka peluang bagi daerah untuk melakukan perencanaan yang penuh dengan inisiatif, kreativitas dan inovasi. Pola sentralistik ini juga tidak menyuburkan budaya perencanaan yang dialogis (partisipatif) serta memberdayakan segala potensi dan sumber daya yang ada di daerah. Hal inilah yang kini menjadi salah satu permasalahan yang signifikan menyangkut pembangunan pada umumnya. Salah satu contoh nyata dari kesulitan transformasi budaya-perencanaan saat ini juga dapat diamati pada semakin panjangnya masa perencanaan proyek hingga tercapainya kesepakatan oleh pihak-pihak yang berkepentingan di daerah. Ada yang beranggapan, bahwa “euforia otonomi” dalam hal ini terkesan justru membebani pelaksanaan pembangunan daerah itu sendiri, karena sering mengakibatkan daerah ‘terjebak’ pada egoisme lokal. Oleh sebab itu tanpa adanya kesadaran, kepedulian dan kapabilitas perangkat organisasi dalam rangka mengkoordinasikan kepentingan-kepentingan pembangunan antar daerah, maka daerah akan sulit mengatasi masalah pembangunannya.

1. Pendahuluan

17

Sesungguhnya seiring dengan tekanan Globalisasi dan implikasi negatif akibat kesulitan yang timbul berkenaan dengan penerapan Otonomi Daerah seperti tersebut di atas, dapat diantisipasi dengan menumbuh-kembangkan pola-pola pembangunan kewilayahan lintas daerah. Dalam konteks Urban and Regional Planning sesuai dengan perubahan mendasar khususnya pada penggunaan pola desentralisasi saat ini, regionalisasi dapat digambarkan sebagai proses terbentuknya keterikatan antar daerah otonom yang bertetangga hingga membentuk suatu kesatuan wilayah (region) melalui kerjasama dan koordinasi. Penggunaan strategi ini menjadi relevan, mengingat banyaknya keterbatasan daerah dalam menangani permasalahan pembangunannya sendiri. Namun sejak penerapan Otonomi Daerah melalui UU No. 22 Tahun 1999 sampai dengan UU No. 9 Tahun 2015 Tentang Pemerintahan Daerah, masih lemah upaya dari pusat maupun yang berasal dari inisiatif daerah dalam mendorong proses kerja sama kewilayahan. Hal ini antara lain disebabkan oleh: 1. Minimnya kesiapan perangkat perundang-undangan yang mendukung proses tersebut; 2. Masih adanya kebiasaan penggunaan pola sentralistik yang kontradiktif dengan pendekatan desentralistik, sehingga mengakibatkan gesekan dan berbagai kebuntuan di lapangan; 3. Keterbatasan know how mengenai penggunaan strategi yang tepat dan sesuai dengan situasi serta kondisi dilapangan. Melihat berbagai kendala dan permasalahan pembangunan di Indonesia saat ini, maka perlu adanya sebuah terobosan baru dalam upaya menggalang kekuatan pembangunan di daerah. Di mana upaya ini harus sesuai dan mencerminkan semangat, situasi dan kondisi nyata yang ada di masyarakat. Salah satu inovasi yang dapat dipertimbangkan oleh Pemerintah Kabupaten dan Kota saat ini adalah konsep pembangunan kewilayahan dalam bentuk kerja sama antardaerah. Dalam konteks peraturan perundangan, perjalanan kerja sama antardaerah telah didukung oleh beberapa peraturan pemerintah. Peraturan ini merupakan upaya pemerintah pusat dalam memfasilitasi kerja sama antardaerah, terutama dalam rangka memberikan arahan dan kepastian hukum kerja sama antar daerah. Sebagai wujud nyata, lahirlah PP 50 tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerja Sama Daerah (sekarang PP 28 Tahun 2018 Tentang Kerja Sama Daerah). Peraturan pemerintah ini kemudian dilengkapi petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaan kerja sama antardaerah dalam bentuk Permendagri nomor 22 tahun 2010 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Kerja Sama Daerah dan Permendagri Nomor 23 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pembinaan dan Pengawasan Kerja Sama Daerah. Perhatian pemerintah pusat dalam mewadahi dan memberi ruang yang luas untuk daerah dalam mengimplementasikan pembangunan kewilayahan dalam bentuk KAD diharapkan ke depan semakin besar. Lahirnya PP No. 28/2018 memberikan suntikan semangat bagi daerah dalam menginisiasi dan melaksanakan kerja sama antardaerah, mengingat masih ada beberapa aspek, seperti pembiayaan dan pengelolaan, yang masih menjadi ganjalan dan membuat keraguan daerah dalam melaksanakannya. Oleh sebab itu petunjuk teknis pelaksanaanya harus dapat menepis seluruh keraguan dan hambatan yang telah lama menjadi beban pelaksanaan KAD di daerah.


18

Modul Konsep Dasar Kerjasama Daerah

1. Pendahuluan

1.2. Tujuan Penyusunan Modul Tujuan dari penyusunan panduan secara umum untuk meningkatkan kapasitas regulasi/ kebijakan, perencanaan dan kelembagaan KAD yaitu menekankan pada peningkatan kapasitas melalui penyamaan persepsi konsep KAD dan identifikasi isu-isu strategis KAD pada para pihak, yang terdiri dari unsur pemerintah, perguruan tinggi, masyarakat dan swasta. Adapun secara khusus, tujuan pengembangan panduan ini adalah untuk menyediakan panduan bagi trainer/fasilitator dalam pelaksanaan pelatihan peningkatan kapasitas KAD.

1.7. Evaluasi Pelatihan Evaluasi program pelatihan, tujuannya adalah (1) Mengetahui hasil pelaksanaan pelatihan dan pengaruhnya terhadap kinerja serta masalah-masalahnya; (2) Mengetahui opini pemimpin dan bawahan peserta mengenai hasil pelatihan; (3) Mengetahui hubungan pelatihan serta dampaknya bagi organisasi di tempat peserta bekerja (Moekijat, 1990:20). 1.8. Agenda Pelatihan Pelatihan dilaksanakan di dua wilayah yaitu Provinsi Gorontalo dan Provinsi Sulawesi Tenggara. Pelatihan ini melibatkan lima Kabupaten/Kota di masing-masing Provinsi. Pelatihan dilakukan dalam waktu satu hari di dua wilayah tersebut.

1.3. Kelompok Sasaran Sasaran dari panduan pelatihan ini adalah unsur pemerintah provinsi dan kabupaten/kota, perguruan tinggi, masyarakat dan swasta. 1.4. Pendekatan Pelatihan Relevan dengan sasaran dan pengguna panduan pelatihan ini, pendekatan pembelajaran yang digunakan dalam pelatihan adalah pendekatan Pendidikan orang dewasa (androgogi). Dalam pendekatan ini, peserta pelatihan yang merupakan orang-orang dewasa diasumsikan sudah memiliki konsep diri, yaitu kepribadian yang tidak bergantung kepada orang lain, memiliki pengalaman yang banyak dan ini menjadi sumber penting dalam proses belajar, memiliki kesiapan belajar yang diprioritaskan pada tugas-tugas perkembangan dan peran sosialnya, serta memiliki prospektif waktu dalam arti ingin segera menerapkan apa yang sudah dipelajari. Dengan demikian, pelatihan ini sifatnya bukan mengajarkan tetapi lebih membantu mereka dalam menambah atau memperjelas, memperdalam dan mengembangkan pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang dibutuhkan. 1.5. Metode Pelatihan Sejalan dengan pendekatan pembelajaran tersebut, metode pembelajaran yang dikembangkan dalam pelatihan ini adalah pembelajaran partisipatif, yaitu pembelajaran yang mengikutsertakan warga belajar secara aktif dalam seluruh proses pembelajaran. Metode pembelajaran ini akan lebih banyak meminta peserta aktif mempraktikan bagaimana alat analisis yang digunakan bisa diterapkan. Selain itu juga disertakan presentasi dan diskusi interaktif untuk memperdalam pelatihan yang diberikan. 1.6. Kriteria Fasilitator Fasilitator atau pelatih yang dibutuhkan dalam pelatihan ini adalah orang yang:  Menguasai materi dari pokok bahasan  Mampu menjadi pendengar yang baik  Mampu menyampaikan pesan secara efektif  Mampu menerima, mengelola dan menganalisis pesan yang dikemukakan oleh peserta  Terbuka dan toleran terhadap kritik maupun perbedaan pendapat  Mengedepankan kesetaraan, jika dibutuhkan dapat bersikap asertif tanpa harus mendominasi  Mampu memaafkan dan menggunakan berbagai media pembelajaran.

19

PROSES

Tujuan Setelah pembelajaran ini peserta diharapkan dapat: 1. Mampu memahami Konsep Dasar KAD 2. Mengetahui dan Memahami KAD dan Otoda di Indonesia 3. Mengetahui tentang pengelolaan kerja sama daerah Waktu 1 Jam Pertemuan (60 menit) Metode 1. Pemaparan 2. Diskusi 3. Tanya jawab Alat Bantu 1. Kertas, spidol, laptop, dan infocus 2. Papan Tulis, Lakban Kertas Adapun materi terkait Indikator konsep dasar KAD, pelatih menjelaskan antara lain: 1. KAD dalam Otonomi Daerah di Indonesia 2. Dimensi Pengelolaan KAD 3. Dan seterusnya


20

Modul Konsep Dasar Kerjasama Daerah

2. POKOK BAHASAN I KONSEP DASAR KERJASAMA ANTARDAERAH


22

Modul Konsep Dasar Kerjasama Daerah

2. Pokok Bahasan I Konsep Dasar Kerjasama Antardaerah

Kerjasama Antar Daerah dan Otonomi Daerah di Indonesia

Perkembangan jenis kerja sama antardaerah dalam konteks regionalisasi di Indonesia dapat dibahas menurut situasi dan kondisi sosial-politik, yaitu masa kolonial (penjajahan asing, khususnya Belanda), dilanjutkan dengan masa orde lama, era orde baru, dan masa reformasi yang kini sedang berlangsung. Bila dikaji lebih mendalam, maka pada dasarnya kerja sama antardaerah dalam konteks regionalisasi di Indonesia dapat dibedakan melalui regionalisasi sentralistik (struktural-administratif), dan desentralistik (non-struktural administratif). 1. Regionalisasi Sentralistik (struktural-administratif) Secara teoritis proses pewilayahan pada masa orde baru dapat terlaksana melalui tahapan direktif (pola top down-koordinatif), seperti yang dapat dilihat pada piramid komponen regionalisasi sentralistik (Gambar 1). Hal ini dapat dilihat dari proses perencanaan hingga pengambilan keputusan yang tidak lepas dari dominasi kewenangan pusat. Dalam gambar tersebut dapat dilihat bahwa aspek koordinasi menempati posisi terpenting dalam proses pelaksanaan (Kebijakan) regionalisasi di masa lalu, mengingat kekuasaan pusat dengan kewenangannya dapat menginstruksikan (direktif) berbagai kebijakan untuk segera dikoordinasikan oleh pihak terkait di bawahnya.

re

Di

Kerjasama

Pr os

Kebijakan Formal

Pusat. Proses regionalisasi desentralistik ini dapat dilihat pada Gambar 2. Pada gambar tersebut terlihat bahwa bentuk regionalisasi desentralistik tersebut memiliki jarak hubungan interaksi (interaction-relationship) yang lebih pendek. Dengan demikian memperkuat aspek efisiensi dan efektifitas pelaksanaan kegiatan pembangunan. Non Struktural

Regionalisasi Desentralistik

Pemberdayaan & Partisipatif

Koridor mediasi Regionalisasi Sentralistik

Struktural

Nasional

Propinsi

Lokal (Kab/Kota)

Administratif Dekonsentrasi

Gambar. 2 Regionalisasi Sentralistik dan Desentralistik Pasca Otonomi Daerah di Indonesia

Koordinasi if kt

23

ed

ur

al

Komunikasi

Salah satu faktor yang berperan dalam proses kerja sama antardaerah (regionalisasi) desentralistik adalah terletak pada aspek pemberdayaan dan partisipasi dari para aktor regional terkait. Salah satu dampak positif kegiatan ini adalah prioritas aspek transparansi dan akuntabilitas program kerja. Hal ini sesuai dengan landasan pengembangan demokratisasi yang kini sedang berkembang seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia. Konsekuensi dari perubahan pelaksanaan pembangunan berpola desentralistik yang mengedepankan partisipasi tersebut adalah perubahan posisi pada piramid siklus komponen regionalisasi.

Gambar. 1 Piramid Siklus 3K Pada Pendekatan Pembangunan Sentralistik

Aspek kerja sama antar aktor regional yang tertuang pada konsepsi sebagai penjabaran kebijakan pusat tersebut kemudian menjadi mengikat. Dengan demikian aspek komunikasi tidak jauh dari sekedar kegiatan diseminasi prosedur konsep yang dikoordinasikan kembali kepada pihak-pihak terkait. 2. Regionalisasi Desentralistik (nonstruktural-administratif) Pasca pelaksanaan otonomi daerah, telah terjadi fenomena baru dalam strategi pembangunan wilayah. Bila dulu regionalisasi terbentuk dalam frame pembangunan wilayah secara struktural administratif, namun kini terbuka peluang pembangunan wilayah secara non-struktural. Artinya, regionalisasi dapat terbentuk berdasarkan inisiatif lokal dan dikelola tanpa memiliki keterikatan struktural administratif terhadap Provinsi maupun

Komunikasi Pa r

s

su

n se

n Ko

Kerjasama

Komitmen Informal

tis

ip

at

if

Koordinasi

Gambar. 3 Piramid Siklus 3K Pada Pendekatan Pembangunan Desentralistik


24

Modul Konsep Dasar Kerjasama Daerah

2. Pokok Bahasan I Konsep Dasar Kerjasama Antardaerah

Peran Pemerintah Pusat maupun Provinsi dalam regionalisasi desentralistik tidak lagi dominan. Mengingat pentingnya partisipasi para aktor regional dalam melaksanakan kerja sama (melalui konsensus), maka (sesuai dengan Gambar 3) aspek komunikasi kini menempati posisi terpenting dalam piramid komponen regionalisasi. Hal ini disebabkan oleh posisi masing-masing pihak yang berkepentingan harus duduk bersama dan mengedepankan konsensus untuk mencapai suatu komitmen. Setelah kesiapan tercapainya konsensus dapat terjalin kerja sama yang efektif. Konsepsi kerja sama yang merupakan produk bersama tersebut dapat terealisasi karena aspek koordinasi lebih merupakan hal teknis pelaksanaan dan bukan merupakan kebijakan direktif yang perlu diperjuangkan kembali secara internal. Dengan demikian partisipasi para aktor regional dalam melakukan upaya koordinasi semakin mempermudah pelaksanaan program pembangunan.

Baik proses maupun hasil akhir dari keputusan politik menyangkut sebuah kewilayahan (regionalisasi) sangat dipengaruhi oleh paradigma pembangunan suatu negara. Oleh karena itu produk teknis kewilayahan (regionalisasi) yang dibentuk melalui pola sentralistik tentunya berbeda dengan pola desentralistik. Pewilayahan (region sentralistik) merupakan produk dari pendekatan teknis perencanaan perwilayahan atau pembangunan kewilayahan yang dapat melihat sebuah wilayah dari aspek homogenitas, polarisasi (nodal), dan wilayah perencanaan (Richardson, 1978), atau bahkan wilayah sistem/fungsional (Blair, 1991), yang kemudian dilanjutkan melalui proses politik pembangunan berpola sentralistik atau struktural-administratif sehingga terbentuk pewilayahan (region sentralistik). Sebagai contoh produk dari regionalisasi sentralistik dapat diamati pada bentuk-bentuk ekskarisidenan di Indonesia. Region sendiri merupakan hasil pendekatan teknis kewilayahan yang dilanjutkan dengan proses politik pembangunan wilayah desentralistik yang tumbuh berdasarkan kekuatan (potensi) endogen dan pengaruh dinamika sosial-politik pada sebuah masyarakat hingga membentuk suatu kesatuan wilayah.

Perbedaan karakteristik Regionalisasi Sentralistik dan Desentralistik (yang berlaku bagi jenis regionalisasi sub-nasional) lebih jelasnya dapat dilihat pada berikut : Tabel 1. Karakteristik Regionalisasi Sentralistik dan Desentralistik SENTRALISTIK (STRUKTURAL)

DIMENSI

Teknokratis dan tersegmentasi

Pragmatis dan integratif

Tujuan

Tujuan terdefinisi dalam blue print

Tujuan relatif terbuka, karena koridor yang lebih lebar dan melalui proses multi-validasi

Aktor

Keterbatasan pelaku perencanaan dan pelaku kegiatan

Selektif – mutualistik sesuai kompetensi dan kontribusi

Proses Komunikasi

Keputusan terjadi melalui tahapan dan prosedur formal.

Pola ‘meja bundar’

Proses Pengambilan Keputusan

Pejabat berwenang dan mekanisme formal

Konsensus para aktor

Keuangan

Anggaran Pusat yang jumlahnya telah ditentukan dan disediakan sesuai konsep.

Anggaran Partisipatif antar anggota terkait dan dari sumber pendanaan lainnya.

Perjalanan Proses Perencanaan dan Kegiatan

Uni-linier

Secara bersamaan (paralel)

Waktu

Stabil

Konsep Non Alamiah deskriptif

Homogen

DESENTRALISTIK (NON-STRUKTURAL)

Pemahaman Terhadap Tugas dan Fungsi

Nodal (pusat-hinterland) Sistem Sederhana

Desa - Kota

Budidaya - Lindung Wilayah

Sistem/ Fungsional

Sistem ekonomi: agropolitan, kawasan produksi, kawasan industri

Sistem Komplek

Sistem Ekologi: DAS, hutan, pesisir

Sistem sosial-politik: Cagar budaya, wilayah etnik

Konsep Non Alamiah

Perencanaan/ Pengelolaan

Umumnya disusun/dikembangkan berdasarkan:  Konsep homogen/fungsional KSP, Kating dan sebagainya  Administrasi - politik: provinsi, kabupaten, kota

Sumber: Rustiadi E. et al., 2004

Instabil dan dinamis

25

Gambar. 4 Bagan Konsep Perwilayahan


26

Modul Konsep Dasar Kerjasama Daerah

2. Pokok Bahasan I Konsep Dasar Kerjasama Antardaerah

Pada Gambar 4 dapat dilihat mengenai pengertian wilayah yang diterangkan melalui pembagian konsep alamiah dan non-alamiah. Skema pembagian wilayah ini juga menunjukan tahapan pembentukan suatu kesatuan wilayah yang berangkat dari pendekatan teknis kewilayahan, yaitu melalui pendekatan homogenitas, sistem/fungsional dan perencanaan/ pengelolaan. Hasil final dari proses teknis kewilayahan ini dapat diperoleh hanya melalui proses legitimasi pelaksanaan berupa suatu kebijakan (baca: keputusan politik). Sesungguhnya produk regionalisasi sentralistik dapat diartikan pula sebagai region, namun karena pada hakikatnya aspek tata pemerintahan lebih berperan sebagai unsur formalitas yang mengikuti kaidah struktur administrasi yang hirarkis, maka bobot dimensi teknis masih mendominasi keputusan/kebijakan yang diambil. Hanya saja dalam konteks administratif tentu dapat dipergunakan istilah region, seperti bentuk eks-karisidenan di berbagai Provinsi di Indonesia. Yang perlu digarisbawahi pada pengertian ini adalah proses terbentuknya (eks)karisidenan, yang terdiri dari beberapa daerah administratif, dapat terlaksana melalui mekanisme formal-struktural tata pemerintahan yang berlaku. Dengan demikian region hasil regionalisasi struktural-administratif itu sendiri terbentuk atas landasan perintah (ex mandato) berdasarkan kepentingan nasional (atau Provinsi) dan bukan atas dasar kehendak sendiri (ex mera motu) atau inisiatif lokal dari para pihak (aktor regional) terkait yang didominasi oleh kepentingannya.

Proses teknis

Produk

Pendekatan Teknis Perwilayahan

Teknis Perwilayahan (Homogen, Fungsional dan Perencanaan)

Proses Politik

Regionalisasi Struktural (Sentralistik)

Regionalisasi Non-Struktural (Desentralistik)

Produk

PEWILAYAHAN

REGION

Contoh

Karisidenan, Kawasan Andalan, KAPET, dll.

Region Barlingmascakeb, Subosukawonosraten, dll.

Gambar. 5 Perbedaan Proses Pewilayahan dan Region

27

Pembeda khusus antara pewilayahan dan region terletak pada proses dan peran para pengambil keputusan politik pembangunan wilayah yang diambil antara dua pilihan yaitu apakah berpola sentralistik (struktural-administratif) atau desentralistik (nonstrukturaladministratif). Pada pelaksanaan pola sentralistik, peran pusat melalui kewenangannya menjadi lebih aktif bahkan dapat menjadi lebih dominan. Keputusan tentang terjadinya pewilayahan dilaksanakan lebih bercorak prosedural-formal menurut asas demokrasi yang disepakati. Di lain pihak, melalui pelaksanaan paradigma desentralistik, peluang berkembangnya inisiatif lokal untuk mengadakan upaya pembangunan perwilayahan melalui proses komunikatif-mutualistik melalui asas musyawarah antarpara pelaku regional (bottom-up process) semakin terbuka.

Dimensi Pengelolaan Kerja Sama Daerah

PP Nomor 28 Tahun 2018 Tentang Kerja Sama Daerah memiliki perubahan yang mendasar dibandingkan dengan PP Nomor 50 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Kerja Sama Daerah. Bila dahulu ditekankan bahwa salah satu prinsip dasar kerja sama adalah kesetaraan dan saling menguntungkan, maka pada paying regulasi yang baru kedua hal tersebut tidak lagi menjadi prinsip dasar sebuah KSD. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari kebijakan terkait pembagian KSDD yang bersifat wajib dan sukarela. Sebuah kerja sama yang bersifat wajib bias jadi tidak menghasilkan kesukarelaan dan bahkan dapat membebani dan merugikan salah satu pihak yang terkait. Bagaimana memahami pengertian KSDD wajib dan sukarela ini, khususnya dalam konteks pengelolaannya perlu dibahas lebih lanjut di sini. Realita persaingan global menunjukan semakin pentingnya kekuatan daya saing sebagai salah satu kunci keberhasilan pengembangan kawasan pariwisata. Kekuatan daya saing pariwisata diyakini dapat terwujud apabila berbagai kapasitas yang ada di sektor publik, swasta dan masyarakat dapat bekerjasama secara sinergis. Dalam rangka memadupadankan berbagai potensi yang ada di kawasan destinasi tersebut, maka dibutuhkan tata kelola yang tepat. Bila digambarkan bahwa kegiatan KSD dilakukan oleh para subyek dari sektor publik, swasta dan masyarakat, maka pembagian dimensi pengelolaan dapat digambarkan seperti berikut ini.


Modul Konsep Dasar Kerjasama Daerah

2. Pokok Bahasan I Konsep Dasar Kerjasama Antardaerah

Po la

is sn Bi

Hir ar ki s

28

DUNIA USAHA

PUBLIK

PASAR

STRUKTURAL

KSD MASYARAKAT

NON-STRUKTURAL

Jejaring

fasilitasi yang melibatkan banyak pihak ini menggarisbawahi pentingnya komunikasi, kerja sama dan koordinasi lintas sektor untuk menjawab berbagai permasalahan pembangunan. Salah satu perbedaan yang mencolok antara collaborative governance yang berkarakteristik nontruktural dengan pola struktural di sektor publik/birokrasi adalah, dimana proses pengambilan keputusan saat penyusunan konsep/perencanaan dilakukan secara terbuka (DACO Model). Pada dimensi struktural justru proses pengambilan keputusan saat penyusunan konsep/perencanaan biasanya dilakukan secara tertutup (periksa: Selle; 1994, yang ditambahkan oleh Abdurahman; 2005 ) pada Gambar 2 & 3.

Decide

Identifikasi Internal

Announce

Defend

Keputusan Internal

Pembahasan Internal

Keputusan Internal

Gambar. 6 KSD dan Dimensi Pengelolaannya

Pembagian tiga dimensi pengelolaan di atas didasarkan pada pertimbangan proses pengambilan keputusan pada setiap pengelolaannya. Bila proses pengelolaan berlandaskan ex mandato (perintah atau mandat peraturan dan perundangan ‘dari atas’), maka masuk dalam dimensi struktural. Beberapa karakteristik pengelolaan pada dimensi struktural adalah a.l. organigram yang hirarkis, praktik koordinasi yang direktif, dan pola komunikasi antar bidang yang bersifat formal-prosedural. Sedangkan proses pengelolaan berdasarkan norma-norma sosial/kultural kemasyarakatan yang mengedepankan konsensus dan kebersamaan karena keingingan dari para subjek sendiri (ex mera mutu) dengan latar belakang sukarela, saling membutuhkan dan atau berdasarkan saling ketergantungan (interdependensi), digolongkan dalam dimensi nonstruktural (contohnya: paguyuban wisata, tari, LSM pariwisata dstnya). Seluruh pelaku usaha yang berorientasi profit masuk dalam dimensi pasar, seperti tarvel agents, guides dstnya. Masing-masing dimensi memiliki ciri khas pengelolaan tersendiri. Seiring dengan inovasi pembangunan yang berkembang dengan berbagai dinamikanya – terutama sejak dua dekade terakhir - muncul pendekatan collaborative governance sebagai salah satu pendekatan yang melengkapi pola pengelolaan tradisional yang ada. Sebagai pengelolaan tradisional pembangunan yang dimaksud di sini adalah berbagai upaya perencanaan, pelaksanaan dan pengembangan pembangunan yang mengandalkan satu dimensi pengelolaan saja, yaitu dimensi struktural. Hal ini dapat dilihat dari berbagai aplikasi pembangunan yang terwujud hanya dengan mengandalkan mekanisme struktural dalam pengelolaan pembangunan. Collaborative governance digambarkan sebagai sebuah proses pemberdayaan multistakeholder guna memperoleh solusi pemecahan masalah secara bersama. Proses

29

Menetapkan

Mengumumkan

Perlawanan

Sumber: Selle diolah kembali dalam Abdurahman, 2005

Gambar. 7 DEAD Model – Proses Pengambilan Keputusan dalam Proses Perencanaan Tertutup-Bagan Konsep Perwilayahan

Decide

Identifikasi Bersama

Menetapkan

Announce

Pembahasan Bersama

Keputusan Kolektif

Mengumumkan

Commitment

Melaksanakan Konsep

Menjalankan Komitmen

Sumber: Selle diolah kembali dalam Abdurahman, 2005

Gambar. 8 DACO Model – Proses Pengambilan Keputusan dalam Proses Perencanaan Terbuka


30

Modul Konsep Dasar Kerjasama Daerah

2. Pokok Bahasan I Konsep Dasar Kerjasama Antardaerah

Dimensi pengelolaan KSDD suka rela dengan berbagai prinsip dasar dan karakteristikanya yang khas, dipastikan disini masuk pada kategori nonstruktural. Oleh sebab itu pemahaman tentang apa yang dimaksud dengan pengelolaan kolaboratif dalam konteks KAD harus diperjelas. Prinsip-prinsip yang digunakan dalam pembentukan dan pengembangan KAD Kewilayahan sukarela di Indonesia memperlihatkan karakteristik pengelolaan kolaboratif, yaitu partisipatif, keterpaduan, kolaboratif dan berkelanjutan. Berbagai prinsip yang digunakan ini perlu dipahami pemanfaatannya dalam dimensi pengelolaan nonstruktural. Pemahaman Kolaborasi Ada perbedaan yang mendasar saat melakukan ‘kolaborasi’ antara pola pengelolaan struktural, nonstruktural dan pasar, khususnya bila dilihat dari faktor ‘kesetaraan’ terkait para subyek yang terlibat. Ternyata kolaborasi dapat terwujud baik saat terpenuhinya faktor kesetaraan maupun tidak (equal dan inequal kolaboratif) di antara para subyek yang terlibat. Pada dimensi pengelolaan struktural yang bersifat hirarkis, maka koordinasi dilakukan secara direktif. Kerja sama para subyek dalam sebuah pola inequal kolaboratif menjadi wajib. Skema konektivitas pola kerja sama inequal kolaboratif seperti ini dapat dilihat seperti pada Gambar 9 berikut.

31

Gambar di atas memperlihatkan, bahwa subjek A, B1, dan B2a memiliki posisi pada hirarki yang berbeda. Kegiatan kolaboratif dapat dilakukan berdasarkan arahan imperatif dari koordinator. Hubungan antarsubjek dilakukan melalui mekanisme direktif-koordinatif oleh koordinator yang sekaligus berkedudukan sebagai pimpinan. Dengan demikian proses pengambilan kebijakan strategis tetap berada pada koordinator. Kerja sama inequal kolaboratif seperti ini sering memanfaatkan proses pengambilan keputusan secara tertutup (periksa penjelasan tentang DEAD Model sebelumnya). Berbeda halnya bila kerja sama dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip kesetaraan dan saling menguntungkan. Secara garis besar hubungan kerja sama dengan pola equal kolaboratif, dimana masing-masing subjek memiliki posisi yang setara dapat digambarkan sebagai berikut:

A3 A3a

A1

B1 A

Koordinasi

B2a

B2

B

Konektivitas antar Subyek: Partisipatif - Pemberdayaan Hubungan Equal Kolaboratif

Koordinasi

Gambar 10. Skema Konektivitas Pola Kerja Sama Equal Kolaboratif

A A1

B A2

B1

B2 B2a

Konektivitas antar Subyek: Direktif Koordinatif Hubungan Inequal Kolaboratif Gambar. 9 Skema Konektivitas Pola Kerja Sama Inequal Kolaboratif

Skema di atas memperlihatkan, bahwa subjek A dan B (atau subjek setara lainnya) menjadi subordinat pada masing-masing ruang/sektor, namun koordinator memiliki fungsi moderasi, fasilitasi, dan mediasi serta pembagi peran. Keberadaan subjek lainnya, yakni C, D dan seterusnya, masih dimungkinkan sesuai kebutuhan dan kesepakatan bersama. Dalam konteks collaborative governance, sebuah kerja sama akan tumbuh dan berkembang (khususnya secara kuantitatif pelaku) bila manfaatnya terbukti besar. Pemahaman koordinasi pada pola ini bukan sebagai pimpinan dalam mengambil kebijakan, namun sebagai interface untuk para subjek. Kebijakan strategis yang disampaikan oleh koordinator merupakan hasil konsensus para subjek. Koordinator dapat menjadi bagian atau terpilih dari subjek yang bekerja sama berdasarkan konsensus dan atau dari unsur profesional. Pada praktek di luar negeri, KAD sukarela berasal dari unsur profesional/swasta yang diberi tugas untuk berperan memoderasikan partisipasi dan pemberdayaan para subjek yang terkait. Kualitas kerja sama yang dibangun sangat tergantung kapabilitas koordinator dalam melakukan fasilitasi dan moderasi. Kewenangan pengambilan kebijakan oleh koordinator terbatas pada aspek administratif pengelolaan kerja sama/kesekretariatan. Penjelasan di atas menegaskan, bahwa aspek ‘struktur kelembagaan’ dalam rangka kerja sama perlu mendapat perhatian khusus. Pola kolaborasi ditentukan oleh bagaimana kerja sama antar subyek akan dibangun dan otomatis tertuju pada pilihan antara hirarkis atau jejaring. Keduanya bertumpu pada bagaimana proses pengambilan keputusan sesuai maksud dan tujuan pengelolaan akan dibangun dan dilaksanakan.


32

Modul Konsep Dasar Kerjasama Daerah

2. Pokok Bahasan I Konsep Dasar Kerjasama Antardaerah

Tabel 3. Pola Kerja Sama Berdasarkan Dimensinya

Pada dasarnya pemahaman kerja sama inequal dan equal kolaboratif, seperti yang dijelaskan di atas, juga terkait dengan aspek koordinasi dan komunikasi. Artinya bentuk koordinasi pada struktur kelembagaan hirarkis dengan pola kerja sama inequal kolaboratif dipastikan berpola direktif koordinatif. Selanjutnya bentuk komunikasi pada struktur hirarkis, aspek kerja samanya dilakukan melalui prosedur formal. Bagaimana jenis komunikasi dan koordinasi dalam konteks kolaborasi inequal- dan equal dilakukandapat disimak dalam tabel berikut:

DIMENSI

KERJA SAMA: Tabel 2. Karakteristik Kerja Sama Inequal dan Equal Kolaboratif KERJASAMA Inequal Kolaboratif

Equal Kolaboratif

Struktur Pengelolaan

Hirarkis

Jejaring

Prinsip Pelaksanaan

Imperatif. Top Down

Sukarela, Mutualistik

Koordinasi

Direktif Koordinatif

Partisipatif - Pemberdayaan

Komunikasi

Normatif dan Tertutup

Cair/Luwes dan Terbuka

Kegiatan koordinasi pada struktur jejaring dipastikan memiliki karakteristik partisipatif pemberdayaan (voluntary base) berdasarkan komitmen dari pihak terkait. Kegiatan komunikasi pada struktur jejaring ini cenderung memiliki karakteristik komunikasi yang cair dan terbuka sehingga tidak terbelenggu pada prosedur formal. Di lain pihak, kerja sama inequal kolaboratif pada dimensi struktural (hirarkis) menggunakan pendekatan koordinasi yang direktif. Dan model komunikasi yang dilakukan bersifat normatif-prosedural dan pada proses pengelolaan tergolong tertutup. Sebuah kolaborasi – bila dilihat dari perspektif orientasi proses, maka akan selalu dikaitkan dengan problem setting, direction setting, dan structuring. Satu hal yang perlu digarisbawahi di sini adalah apabila terdapat unsur yang berasal dari dimensi pasar atau nonstruktural terlibat di dalam kerja sama dengan unsur struktural, maka dipastikan mekanisme pengelolaan mengacu pada dimensi pasar atau nonstruktural. Sungguh mustahil apabila unsur yang berasal dari dimensi pasar atau nonstruktural dapat/ bersedia masuk dalam dimensi struktural dengan segala konsekuensi pengelolaannya. Seperti disebutkan sebelumnya bahwa dalam dimensi pasar berorientasi pada perolehan profit, dan dalam dimensi nonstruktural berlandaskan motivasi perolehan benefit, sedangkan dalam dimensi struktural berorientasi pada keseimbangan antara kepentingan dunia usaha dan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan yang berkeadialan dan berkelanjutan dalam konteks bernegara (equilibrium antarswasta-masyarakat). Penjelasan ini menggambarkan skema deliniasi pemanfaatan antara inequal dan equal kolaboratif terkait dimensi struktural, nonstruktural, dan pasar.

33

Struktural

Nonstruktural

Pasar

Dilakukan oleh para subyek secara Inequal Kolaboratif berdasarkan asas demokrasi

Dilakukan oleh para subyek secara Equal Kolaboratif berdasarkan konsensus, namun dimungkinkan pemanfaatan Inequal Kolaboratif sebagai subordinat tata kelola kerja sama.

Dilakukan oleh para subyek secara: (1) Equal Kolaboratif dan dimungkinkan pemanfaatan Inequal Kolaboratif sebagai subordinat. (2) Inequal Kolaboratif berdasarkan azas pasar

Pada setiap pengelolaan berdimensi struktural maka dipastikan landasan utama pelaksanaan koordinasi, kerja sama dan komunikasi (3K) berpola inequal kolaboratif. Sedianya tidak ada polemik tawar-menawar yang menjadi tumpuan pertimbangan di antara para subjek terkait saat melakukan koordinasi. Aspek 3K dijalankan sesuai prosedur dan standar normatif yang ada. Secara konsepsi bila terdapat masalah maka diputuskan secara top-down (hirarkis) karena koordinator memiliki posisi kewenangan dalam pengambilan keputusan. Pada dimensi struktural masalah koordinasi muncul saat komponen/unit-unit kerja semakin terspesialisasi. Masing-masing komponen/unit memiliki berbagai perbedaan dalam pemanfaatan metode, orientasi waktu, orientasi pencapaian tujuan, orientasi kelembagaan, dan formalitas struktur kelembagaan. Lazimnya para subjek memiliki pandangan sendiri tentang bagaimana cara mencapai kepentingan institusi yang baik. Misalnya, sektor keuangan menghitung skala ekonomi dari besaran investasi, sedangkan sektor ketenagakerjaan lebih memprioritaskan untuk menghitung jumlah tenaga kerja yang terserap dan seterusnya. Masing-masing sektor dan komponen/unit memiliki pola dan iklim kerjanya sendiri yang kadang tidak sesuai dengan sektor/unit lain. Beberapa perbedaan tersebut sedikit banyak memberi gambaran masalah koordinasi atau miskoordinasi dalam konteks pengelolaan dimensi struktural. Pembagian kewenangan/urusan berimplikasi pada penguatan spesialisasi yang berpotensi mempertajam kesulitan pada aspek 3K. Aspek 3K pada setiap dimensi memang bervariasi. Artinya, pemahaman 3K pada masingmasing dimensi pengelolaan dipastikan berbeda. Pada dimensi nonstruktural upaya koordinasi melibatkan bentuk equal kolaboratif dari para subjek berikut karakteristikanya yang melekat. Para subjek terkait kerja sama sekali lagi berbeda dalam memanfaatkan metode, orientasi waktu, orientasi pencapaian tujuan, orientasi kelembagaan, dan SOP kelembagaan. Namun yang lebih penting untuk dipahami adalah perbedaan terkait faktor kohesivitas. Faktor kohesif pada inequal kolaboratif adalah garis komando kepada pimpinan sebagai amanat kegiatan (prosedur/regulasi) sedangkan pada equal kolaboratif adalah komitmen yang lahir berdasarkan pertimbangan cost and benefit (nilai manfaat). Dimensi pengelolaan nonstruktural memiliki kekuatan yang tidak dimiliki oleh dimensi struktural, yaitu kekuatan komunikasi, kerja sama dan koordinasi (3K). Ketiga komponen


Modul Konsep Dasar Kerjasama Daerah

2. Pokok Bahasan I Konsep Dasar Kerjasama Antardaerah

utama dalam management itu sering diartikan sebagai hal yang ‘mudah diucapkan, namun sulit diterapkan’. Lain halnya pada pengelolaan di dimensi nonstruktural, dimana kekuatannya justru berada pada 3K. Dalam konsep collaborative governance, aspek (1) komunikasi merupakan sarana utama dalam pengelolaan yang kemudian disusul dengan aspek (2) kerja sama antar pihat terkait yang berkepentingan, khususnya dalam berbagi peran dan fungsi; kemudian menggunakan (3) koordinasi sebagai aplikasi kerja sama para pihak yang terkait. Ketiga aspek tersebut dijalankan berlandaskan komitmen bersama yang dimotivasi oleh aspek manfaat bagi para pihak. Berikut adalah perbedaan 3K dalam konteks pengelolaan struktural dan nonstruktural.

Koordinasi

Koordinasi

1

1

en ns ko

f

Formal - Inequal Kolaboratif

Kerjasama 2

Regulasi/ Kebijakan

ati

Komunikasi

sip

3

rti

su

s

pa

Regulasi/ Kebijakan

ral

du

Kerjasama 2

se

tif

Aspek 3K pada Pengelolaan Dimensi Nonstruktural

pro

Aspek 3K pada Pengelolaan Dimensi Struktural

dir ek

34

3

Koordinasi

Informal - Equal Kolaboratif

Gambar. 11 Perbedaan Pengelolaan Dimensi Struktural dan Non Struktural

Kedua skema di atas memperlihatkan perbedaan yang mencolok di antara pengelolaan berikut pemahaman 3K terkait pada masing-maing dimensi. Pengelolaan pada dimensi struktural yang hirarkis memperlihatkan aspek koordinasi menjadi sarana utama dalam berkegiatan. Koordinasi dilakukan secara direktif, sehingga peran koordinator menjadi sentral dan menentukan, khususnya dalam mengambil berbagai keputusan penting. Karakteristik yang khas lainnya adalah pemanfaatan perencanaan dengan DEAD Model (periksa: Gambar 7). Aspek kerja sama di antara para pihak yang terkait dilakukan melalui prosedur yang sudah ditetapkan dengan komunikasi yang bersifat formal. Seluruh aspek 3K dilakukan berdasarkan ketentuan yang tertuang dalam regulasi/kebijakan. Beberapa kata kunci berikut ini biasa dikaitkan dengan pengelolaan struktural, yaitu birokratis dalam berkoordinasi, prosedural dalam bekerja sama dan, formal dalam berkomunikasi. Perlu digarisbawahi pula bahwa pada pengelolaan struktural pola kerja sama dilakukan secara inequal kolaboratif. Artinya, kesetaraan diantara subyek yang bekerja sama tidak menjadi komponen utama. Hal ini berbeda dengan pengelolaan nonstruktural yang menjadikan equal kolaboratif sebagai komponen utamanya. Dengan demikian pola pengelolaan berikut pemahaman 3K nya antara dimensi publik (public) dan masyarakat (civic sphere) perlu diperhatikan.

35

Bila kerja sama dalam konteks DMO mengedepankan pola equal kolaboratif, maka berbagai kata kunci yang melekat seperti partisipasi pemberdayaan, konsensus, negosiasi dan komitmen bersama menjadi unsur unsur yang tidak terpisahkan dalam pengelolaannya. Aspek komunikasi menjadi sarana utama dalam berkegiatan, baik dari perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan/evaluasi (monev). Oleh sebab itu know how dan skill dari kapasitas komunikasi kelembagaan DMO menjadi sangat penting. Kontaminasi pola pengelolaan struktural dengan berbagai pendekatannya terhadap DMO justru berpotensi kontraproduktif dan membebani efektifitas pelaksanaan. Fenomena Pengelolaan Kolaboratif di Indonesia Pemanfaatan DMO sebagai sebuah pendekatan pengembangan kawasan di Indonesia masih tergolong baru. Sosialisasi dan inisiasi pelaksanaannya dalam konteks pariwisata baru dimulai pada tahun 2011 seiring dengan adanya program DMO oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Sejak saat itu mulai terbangun 16 wilayah kerja yang dipayungi oleh program ini. Berbagai dinamika di daerah menunjukan beberapa perbedaan yang mencolok antara praktek DMO di Indonesia dan luar negeri. Di luar negeri komponen profesional yang berperan dalam melakukan kegiatan pemasaran kawasan sangat menonjol. Lebih lanjut peran kepemimpinan institusi profesional dalam mengkoordinasikan pembagian peran antar pelaku/stakeholders dalam sebuah strategi pengembangan kawasan menjadi dominan. Fungsi koordinasi yang dimaksud di sini bukan layaknya dalam sebuah struktur pengelolaan vertikal, melainkan dalam konteks horisontal. Oleh sebab itu koordinasi yang dimaksud adalah terkait bentuk-bentuk moderasi, negosiasi, mediasi, dan fasilitasi. Kapabilitas institusi pelaksana dalam melakukan komunikasi pembangunan menjadi sangat penting. Praktek di luar negeri institusi pelaksana biasanya juga memiliki fungsi konsultasi dan advokasi dalam batasan tertentu sejauh tidak menimbulkan distorsi pasar. Institusi pelaksana inilah yang berperan memobilisasi berbagai potensi yang ada untuk mencapai visi bersama pengembangan kawasan destinasi. Dengan demikian orientasi kegiatan institusi pelaksana adalah menciptakan benefit untuk kawasan destinasi dan bukan pada profit bagi institusi. Pembiayaan untuk institusi pengelola yang profesional ini biasanya diperoleh dari sektor publik dan swasta.


36

Modul Konsep Dasar Kerjasama Daerah

3. POKOK BAHASAN II BENTUK KERJASAMA ANTAR DAERAH (KAD)


38

Modul Konsep Dasar Kerjasama Daerah

3. Pokok Bahasan II Bentuk Kerjasama Antar Daerah (KAD)

39

ini. Merujuk pada Permendagri No. 22 tahun 2009, bentuk/model kerja sama daerah dapat dilaksanakan ke dalam tiga bentuk, yaitu: Tujuan Setelah pembelajaran ini peserta diharapkan dapat: 1. Mampu memahami Konsep Dasar KAD 2. Mengetahui dan Memahami tentang kerjasama daerah merujuk PP 28/2018 3. Mengetahui tentang kerja sama daerah dalam konteks kewilayahan Waktu 1 Jam Pertemuan (60 menit) Metode 1. Pemaparan 2. Diskusi 3. Tanya jawab Alat Bantu 1. Kertas, spidol, laptop, dan infocus 2. Papan Tulis, Lakban Kertas Adapun materi materi terkait terkait Indikator bentuk kerjasama antarKAD, daerah, pelatih menjelaskan antara Adapun konsep dasar pelatih menjelaskan antara lain:lain: 1. Kerjasama daerah merujuk pada PP 28/2018 1. Kerjasama daerah merujuk pada PP 28/2018 2. Kerjasama Kerjasama daerah daerah dalam dalam konteks konteks kewilayahan kewilayahan 2.

Kerja Sama Daerah Merujuk PP 28/2018 Kerja sama antardaerah (Kerja Sama Daerah Dengan Daerah Lain, KSDD), menurut PP 28 Tahun 2018, terdiri atas dua kategori, yaitu kerja sama wajib yang dilaksanakan oleh dua (dua) atau lebih daerah yang berbatasan untuk penyelenggaraan urusan pemerintahan yang memiliki eksternalitas lintas daerah dan penyediaan layanan publik yang lebih efisien jika dikelola bersama; dan kerjasama sukarela yang dilaksanakan oleh dua atau lebih daerah yang berbatasan atau tidak berbatasan untuk penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah namun dipandang lebih efektif dan efisien jika dilaksanakan dengan bekerja sama. Bentuk/model kerja sama daerah juga dirujuk dari Permendagri No. 22 tahun 2009 ini. Dalam peraturan tersebut termuat subjek, objek, dan bidang kerja sama daerah. Kerja sama antardaerah dalam konteks kewilayahan dapat mengadopsi salah satu atau keseluruhan bentuk/model yang diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri

1. Kerja Sama Antardaerah a. Kerja Sama Pelayanan Bersama adalah kerja sama antar daerah untuk memberikan pelayanan bersama kepada masyarakat yang bertempat tinggal di wilayah yang merupakan yuridiksi dari daerah yang bekerjasama, untuk membangun fasilitas dan memberikan pelayanan bersama. b. Kerja Sama Pelayanan Antar Daerah adalah kerja sama antar daerah untuk memberikan pelayanan tertentu bagi suatu wilayah masyarakat yang merupakan yuridiksi daerah yang bekerjasama, dengan kewajiban bagi daerah yang menerima pelayanan untuk memberikan suatu kompensasi tertentu kepada daerah yang memberikan pelayanan. c. Kerja Sama Pengembangan Sumberdaya Manusia adalah kerja sama antar daerah untuk meningkatkan kapasitas sumber daya manusia dan kualitas pelayanannya melalui alih pengetahuan dan pengalaman, dengan kewajiban bagi daerah yang menerima pelayanan untuk memberikan suatu kompensasi tertentu kepada daerah yang memberikan pelayanan. d. Kerja Sama Pelayanan dengan pembayaran Retribusi adalah kerja sama antar daerah untuk memberikan pelayanan publik tertentu dengan membayar retribusi atas jasa pelayanan. e. Kerja Sama Perencanaan dan Pengurusan adalah kerja sama antar daerah untuk mengembangkan dan/atau meningkatkan layanan publik tertentu, dengan mana mereka menyepakati rencana dan programnya, tetapi melaksanakan sendiri-sendiri rencana dan program yang berkait dengan yuridiksi masing-masing; Kerja sama tersebut membagi kepemilikan dan tanggung jawab atas program dan kontrol atas implementasinya. f. Kerja Sama Pembelian Penyediaan Pelayanan adalah kerja sama antar daerah untuk menyediakan layanan kepada daerah lain dengan pembayaran sesuai dengan perjanjian. g. Kerja Sama Pertukaran Layanan adalah kerja sama antar daerah melalui suatu mekanisme pertukaran layanan (imbal layan). h. Kerja Sama Pemanfaatan Peralatan adalah kerja sama antar daerah untuk pengadaan/ penyediaan peralatan yang bisa digunakan bersama. i. Kerja Sama Kebijakan dan Pengaturan adalah kerja sama antar daerah untuk menselaraskan kebijakan dan pengaturan terkait dengan suatu urusan atau layanan umum tertentu.

KERJA SAMA PEMERINTAH DAERAH DENGAN DEPARTEMEN/LPND Obyek kerja sama daerah yang dapat ditawarkan kepada pemerintah adalah dalam rangka pengembangan sektor unggulan tertentu atau pengelolaan kawasan strategis yang menurut peraturan telah ditetapkan menjadi kewenangan daerah otonom. Prakarsa kerjasama daerah dengan Departemen/LPND berasal dari pemerintah daerah. Obyek kerja sama berupa pelayanan publik, tidak dapat dikerjasamakan dengan Departemen/LPND, kecuali dalam situasi dimana pemerintah daerah tidak mempunyai kapasitas yang cukup untuk memenuhi standar pelayanan umum, dan untuk ini perlu dilakukan evaluasi terdahulu oleh Menteri Dalam Negeri bila terjadi di provinsi atau oleh Gubernur bila itu terjadi di kabupaten/kota.


40

Modul Konsep Dasar Kerjasama Daerah

Apabila setelah dievaluasi memang terbukti bahwa daerah yang bersangkutan tidak mampu, maka penyelenggaraan selanjutnya dilaksanakan berdasarkan azas Dekonsetrasi atau/dan Tugas Pembantuan atau bila itu menyangkut urusan wajib akan menggunakan anggaran pendapatan belanja daerah bersangkutan. Kerja sama yang diprakarsai oleh Departemen/ LPND dalam rangka penyelenggaraan urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan azas Dekonsentrasi atau/dan Tugas Pembantuan, tidak diatur dalam petunjuk teknis ini. Contoh kerja sama Pemerintah Daerah dengan Departemen/LPND: a. Kerja Sama Kebijakan dan Pengaturan, yaitu kerja sama daerah dengan Departemen/ LPND untuk merumuskan tujuan bersama berkait dengan suatu urusan atau layanan umum tertentu yang dilakukan dengan menselaraskan kebijakan, rencana strategis, peraturan untuk mendukung pelaksanaannya, serta upaya implementasinya. b. Kerja Sama Pengembangan Sumberdaya Manusia dan Teknologi, yaitu kerja sama daerah dengan Departemen/LPND untuk meningkatkan kapasitas SDM dan kualitas pelayanannya melalui alih pengetahuan, pengalaman dan teknologi dengan suatu kompensasi tertentu. c. Kerjasama Perencanaan dan Pengurusan, yaitu kerja sama daerah dengan Departemen/ LPND untuk mengembangkan dan/atau meningkatkan layanan publik tertentu, dengan mana mereka menyepakati rencana dan programnya, tetapi melaksanakan sendirisendiri rencana dan program yang berkait dengan kewenangannya masing-masing.

KERJA SAMA PEMERINTAH DAERAH DENGAN BADAN HUKUM Untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan yang telah menjadi kewenangan otonom atau dapat berupa pelayanan publik, pemerintah daerah dapat bekerjasama dengan badan hukum. Pengertian Badan Hukum adalah perusahaan swasta, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, koperasi, yayasan dan lembaga lain di dalam negeri lainnya yang berbadan hukum. Pemerintah daerah perlu mempertimbangkan untuk bekerjasama dengan badan hukum apabila menghadapi situasi sebagai berikut: a. Suatu pelayanan publik tidak dapat disediakan oleh pemerintah daerah karena pemerintah daerah terkendala dengan sumberdaya keuangan daerah atau keahlian. b. Pelibatan badan hukum diyakini dapat meningkatkan kualitas pelayanan atau/dan mempercepat pembangunan daerah serta dapat meningkatkan pendapatan asli daerah dibandingkan bila ditangani sendiri oleh pemerintah daerah. c. Ada dukungan dari pihak konsumen/pengguna pelayanan publik tersebut atas keterlibatan badan hukum. d. Keluaran dari pelayanan publik tersebut dapat terukur dan terhitung tarifnya, sehingga biaya penyediaan pelayanan publik tersebut dapat tertutupi dari pemasukan tarif. e. Ada badan hukum yang sudah mempunyai track record baik dalam bekerjasama dengan pemerintah daerah. f. Ada peluang terjadinya kompetisi dari badan hukum yang lain. g. Tidak ada peraturan yang melarang badan hukum untuk terlibat dalam pelayanan publik tersebut.

3. Pokok Bahasan II Bentuk Kerjasama Antar Daerah (KAD)

41

Kerja Sama Daerah dalam Konteks Kewilayahan

Kutipan dari Permendagri No. 22/2009 pada sub bab sebelumnya menjadi pegangan wajib bagi daerah untuk bekerja sama. Arahan koridornya sudah cukup jelas. Lalu bagaimanakah pengembangan dalam konteks kerja sama antardaerah yang bertetangga atau yang kita sebut sebagai regionalisasi? Implementasi Permendagri tersebut ke dalam kerja sama antardaerah yang bertetangga (kewilayahan) dilakukan dalam lingkup yang lebih komprehensif. Artinya, lembaga bentukan kerja sama antardaerah dapat bekerja sama pula dengan Departemen/LPND maupun dengan Badan Hukum yang lain. Jadi tidak menutup pada satu bentuk kerja sama daerah saja. Kombinasi bentuk kerja sama, baik antardaerah, dengan departemen/LPND, maupun dengan badan hukum, bukanlah suatu kompleksitas melainkan sebuah keniscayaan manakala kerja sama antardaerah dikelola secara profesional. Lembaga bentukan kerja sama antardaerah ini akan otomatis aktif mencari ruang kerja sama dengan lembaga lain, baik pemerintah maupun di luar pemerintah seperti pihak swasta, lembaga pendidikan, lembaga donor, komunitas di masyarakat, dan banyak komponen lain dalam pembangunan. Hal tersebut tidak lain karena untuk mewujudkan tujuan pembangunan kewilayahan diperlukan jejaring yang sangat kuat baik di dalam wilayah maupun di luar wilayah. Hal ini terkait dengan adanya kebutuhan untuk mengarahkan optimalisasi potensi endogen wilayah kepada jalur yang tepat, mengarahkan demand pada supply.

Kementerian KERJASAMA ANTARDAERAH

Universitas, Lembaga Riset Komunitas Profesi, Paguyuban LSM, Lembaga Donor BUMN, BUMD, Koperasi, Perusahaan Swasta

Gambar 12. Implementasi Kerja Sama Daerah dalam Konteks Kewilayahan


42

Modul Konsep Dasar Kerjasama Daerah

3. Pokok Bahasan II Bentuk Kerjasama Antar Daerah (KAD)

Ilustrasi di atas menggambarkan bahwa dalam konteks kewilayahan atau kerja sama antardaerah yang berdekatan (regionalisasi), Kerja Sama Daerah tidak berhenti sebatas kerja sama antardaerah saja atau kerja sama dengan badan hukum saja atau dengan departemen/LPND saja. Kerja sama daerah dalam konteks kewilayahan ini secara otomatis akan mencari jaringan kepada subjek kerja sama yang lain dalam waktu yang bersamaan dalam rangka mencari dukungan dari pihak yang berkompeten, baik dari segi pembiayaan, pengetahuan, sumber daya, maupun kelebihan yang lain yang dapat mendukung pembangunan kewilayahan dengan konsep saling menguntungkan. Pada tahap yang lebih tinggi, jaringan kerja sama tersebut akan membentuk network antarsubjek kerja sama, di mana satu sama lain terhubung dan saling membutuhkan. ­Subjek kerja sama tersebut, pada akhirnya akan menjadi komponen kerja sama, karena pada ­pro­sesnya akan terjadi saling kompromi saling menguntungkan, bukan lagi mengedepankan ke­pentingan masing-masing. Jadi bentuk kerja sama pada tingkat paling tinggi pada kerja sama antardaerah dalam konteks kewilayahan (regionalisasi) adalah bentuk jejaring kerja sama antar komponen dengan proporsi yang seimbang dan saling tergantung satu sama lain.

BENTUK KERJA SAMA ANTARDAERAH KEWILAYAHAN Kerja sama antardaerah dalam konteks pembangunan kewilayahan (regionalisasi) dapat dikelompokkan berdasarkan (1) kajian aspek hukum dan (2) faktor pengendali (driven factors) proses regionalisasi. Menurut Boye (1997), yang menggambarkan faktor pengendali (driven factors) melalui studi kasus terkait dengan sektor industri, menunjukkan adanya 3 kelompok faktor pengendali, yang terbagi dalam jenis market-, policy-, dan conceptdriven. Sesuai dengan pengelompokan Boye tersebut, bila diterapkan terhadap kerja sama antardaerah di Indonesia, maka jenis-jenis kerja sama antardaerah dapat dilihat sebagai berikut:

Tabel 4 Jenis Kerja Sama Antardaerah (Regionalisasi) Berdasarkan Faktor Pengendalian Proses Market-driven

Policy-driven

Policy-driven

Culture-driven

Aktor utama

Perusahaan

Pemerintah

Multi stakeholders

Pemimpin budaya

Faktor perekat

Faktor harga

Perundangan dan kebijakan

Kesepakatan aktor regional

Ikatan kultural (etika sosial) dan tradisi

Peningkatan profit

Legitimasi/ penguatan kepentingan

Peningkatan profil, citra dan legitimasi

Penguatan citra dan profil

Aksi rasional

Dominasi Perencanaan ‘terpusat’

Perencanaan professional bersama stakeholders

Keputusan figur sosial-budaya dan pemuka masyarakat

Tujuan

Proses

Sumber: P. Boye ditambahkan oleh B. Abdurahman

43

Pengelompokan kerja sama antardaerah sesuai dengan tabel di atas hanya berlaku pada negara-negara yang menerapkan pendekatan desentralistik karena pada pendekatan sentralistik, kerja sama antardaerah hanya memiliki jenis top-down policy driven dan topdown concept driven, di mana segala bentuk perencanaan pembangunan akan bermuara pada keputusan kebijakan politik puncak. Di samping pengelompokkan berdasarkan faktor pengendali (driven factors) proses, regionalisasi juga dapat dikelompokkan berdasarkan kajian aspek hukum. Berdasarkan pertimbangan ini, Maier dan Toedling (1996) memisahkan regionalisasi menjadi tiga bentuk, yakni: regionalisasi supra-nasional dan trans-nasional (antarnegara), serta regionalisasi sub-nasional (dalam satu negara). Di satu sisi, regionalisasi antarnegara bertetangga (keterkaitan geografis/keruangan) akan berpijak pada hukum dan etika kerja sama internasional dalam mengadakan kerja sama bilateral dan multilateral. Di sisi lain, Regionalisasi dalam satu negara akan berpijak pada kaidah hukum dan aspek relevan lainnya yang ada pada wilayah hukum/administratif negara tersebut. Ketiga bentuk regionalisasi di atas dapat dijelaskan sebagai berikut (Maier, Gunter dan Franz Toedling, 1996): 1. Kerja Sama Antardaerah (Regionalisasi) Supra-nasional dan Trans-nasional (antarnegara) Regionalisasi supra-nasional dan trans-nasional dapat dijelaskan melalui keikutsertaan Indonesia dalam berbagai kegiatan kerja sama antarnegara. Keikutsertaan Indonesia dalam kegiatan regionalisasi trans-nasional dapat dilihat dalam kerja sama multilateral, yang secara resmi oleh Departemen Kimpraswil disebut dengan bentuk-bentuk Kerja sama Ekonomi Sub-Regional (KESR), yaitu Indonesia-Malaysia-Singapore Growth Triangle (IMS-GT), Indonesia-Malaysia-Thailand Growth Triangle (IMT-GT), Brunei DarussalamIndonesia-Malaysia-Philipines East Asean Growth Area (BIMP-EAGA). Yang menjadi payung dari kegiatan kerja sama trans-nasional tersebut adalah kerja sama supra-nasional Association of South East Asian Nation (ASEAN), yang dibentuk pada tahun 1992. Berbagai bentuk regionalisasi tersebut antara lain dimanfaatkan untuk mengantisipasi perdagangan bebas di era globalisasi, selain itu juga mampu menjadi faktor perekat antar negara anggota terkait. 2. Kerja Sama Antardaerah (Regionalisasi) Sub-nasional Regionalisasi Sub-nasional merupakan segala bentuk regionalisasi yang terjadi dalam ruang teritorial-administratif dalam sebuah negara. Terbentuknya regionalisasi ini dipengaruhi oleh faktor-faktor pendorong, misal seperti aspek hubungan kultural-historis lokal dengan wilayah, homogenitas sektoral yang membutuhkan aliansi potensi, sumber daya kewilayahan dan aspek lain yang relevan dengan pendekatan teknis kewilayahan (perwilayahan). Faktor pendorong yang melatarbelakangi terbentuknya regionalisasi dapat dibedakan dalam dua isu utama yang saling berhubungan, yakni:  Kepentingan (saling berpengaruh) Yang dimaksud dengan faktor kepentingan di sini adalah bagaimana aktor regional melihat manfaat regionalisasi terhadap kepentingan lokal dalam mencapai visi dan misi pembangunan daerahnya.  Ketergantungan (saling bergantung) Faktor ketergantungan dapat diperoleh melalui kajian hubungan ketergantungan Daerah terhadap wilayah (local-regional interdependence). Dengan demikian semakin tinggi


44

Modul Konsep Dasar Kerjasama Daerah

3. Pokok Bahasan II Bentuk Kerjasama Antar Daerah (KAD)

tingkat ketergantungan daerah terhadap wilayah menyebabkan semakin meningkatnya faktor pendorong regionalisasi. Pada akhirnya, semakin kuatnya faktor pendorong regional dalam membangun kebersamaan mengakibatkan terbukanya peluang regionalisasi dalam berbagai bentuk, sesuai dengan dinamika pembangunan. Priebst (Priebst, 2001: 157) membagi bentuk regionalisasi subnasional dalam aspek struktur formal-kelembagaan, yaitu melalui bentuk keras (hard form) dan lunak (soft form) dalam konteks sistem pemerintah desentralistik, yang dapat dijelaskan pada tabel berikut: Tabel 5. Kerja Sama Antardaerah (Regionalisasi) Dalam Hard form dan Soft form HARD FORM

SOFT FORM

Berdasarkan Undang-Undang, dengan ciri-ciri :

Ad Hoc: melalui forum, biro, agency, lembaga dalam bentuk PPP atau perusahaan swasta

Adanya kelembagaan legislasi regional, tanpa mengurangi landasan kedaulatan dan Otonomi masing-masing Daerah

Formal: melalui kesepakatan kerja sama antardaerah Otonom yang disetujui oleh DPRD terkait.Penetapan pimpinan kegiatan biasanya dilakukan oleh para eksekutif terkait atau yang mewakili.

Penetapan dan Pertanggungjawaban kepala lembaga kerja sama regional melalui dan kepada legislasi regional Sumber: P. Boye ditambahkan oleh B. Abdurahman

KOMPONEN KERJA SAMA ANTARDAERAH Kerja sama antardaerah dalam konteks kewilayahan sebagai sebuah ‘bangunan’ memiliki komponen dasar yang memberi bentuk yang berbeda dibandingkan ‘bangunan’ pendekatan pewilayahan konvensional (pra-otonomi daerah). Hal ini dapat dilihat pada Gambar 13 berikut: REGIONALISASI SENTRALISTIK

REGIONALISASI DESENTRALISTIK

Potensi dan Keunggulan Landasan Ruang

Koordinasi

Kerjasama

Komunikasi

Platform Kerjasama Potensi dan Kekuatan Endogen Landasan Ruang

Gambar. 13 Perbedaan Bangunan Regionalisasi

INFORMAL

Lembaga Perencanaan

KOMITMEN

Visi & Sasaran PEMBANGUNAN FORMAL

KEBIJAKAN

PROGRAM

Visi & Sasaran PEMBANGUNAN

45

Pada di atas menunjukkan bahwa bangunan regionalisasi desentralistik memiliki dominasi komponen yang berbeda dengan pendekatan perwilayahan. Uraian komponen bangunan regionalisasi desentralistik dapat diterangkan sebagai berikut:  Batasan keruangan yang dinamis dan tidak menggambarkan garis batas secara statis dan tertutup. Namun dalam konteks management kewilayahan garis ini ditentukan melalui batasan wilayah administratif (landasan ruang).  Potensi unggulan dan kekuatan endogen yang melatarbelakangi dan merupakan modal dasar pelaksanaan (pondasi kegiatan).  Aktor regional sebagai motor bagi terbentuknya sebuah wadah kerja sama lintas daerah (platform).  Aspek komunikasi, kerjasama, dan koordinasi yang selalu mendominasi pelaksanaan kesepakatan bersama/komitmen (pilar kegiatan).  Tujuan dan sasaran bersama untuk mewujudkan pembangunan (visi dan target). Beberapa komponen regionalisasi tersebut merupakan ekotipe dari proses pewilayahan yang kerap ditemui pada pelaksanaan paradigma pembangunan sentralistik masa lalu di Indonesia. Perbedaan yang mencolok mulai terjadi antara regionalisasi sentralistik dengan desentralistik pada latar belakang proses. Pada pelaksanaan regionalisasi desentralistik, aspek potensi unggulan harus diikuti dengan aspek ‘konsensus bersama’ yang mencerminkan kekuatan (sosial-politik) endogen regional. Kekuatan komitmen dalam melaksanakan kegiatan pembangunan regional terjadi pada konteks politik pembangunan regional. Pada proses pewilayahan sentralistik, keputusan pembentukan pewilayahan didominasi oleh pertimbangan potensi unggulan dan kekuatan endogen yang berhubungan dengan kemampuan teknis pembangunan. Sedangkan pada proses regionalisasi desentralistik, kekuatan politik endogen yang ditandai dengan tumbuhnya inisiatif lokal yang kemudian berkembang menjadi inisiatif regional lebih diutamakan. Tarik-menarik kepentingan dan kebutuhan lokal di antara aktor regional justru menjadi sebuah kekuatan pembangunan karena hasilnya dapat menjadi konsensus yang berisi komitmen pembangunan bersama. Berbagai komponen tersebut merupakan bagian penting untuk memahami faktor-faktor yang menjadi perekat regionalisasi. Secara umum faktor perekat ditentukan oleh aspek kebutuhan dan atau kepentingan, yang dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Proses regionalisasi dapat dipicu oleh kebutuhan pemenuhan aspek material dan nonmaterial.  Aspek material: kebutuhan atau kepentingan antaraktor regional yang terpicu oleh kebutuhan material, seperti air, akses ruang, lahan, infrastruktur, dan sebagainya.  Aspek non-material: aspek pendorong atau latar belakang regionalisasi yang bersifat politis, sosial-ekonomi, atau kultural. b. Latar belakang proses regionalisasi dapat diamati berdasarkan faktor internal atau eksternal dari kepentingan atau kebutuhan lokal.  Semakin berkembangnya kesadaran (internal) berbagai daerah terhadap interdependensi dan manfaat konsolidasi kewilayahan dalam mengahadapi arus global, telah membuka upaya inovatif yang bersifat regional.  Yang dimaksud dengan faktor eksternal disini adalah pengaruh atau tekanan dari luar yang mendorong daerah melakukan upaya regionalisasi. Hal ini dapat dilihat dari upaya


46

Modul Konsep Dasar Kerjasama Daerah

3. Pokok Bahasan II Bentuk Kerjasama Antar Daerah (KAD)

berbagai daerah untuk mengadakan kerjasama antardaerah dalam rangka menjawab tantangan pasar, baik nasional maupun internasional.

AKTOR KERJA SAMA ANTARDAERAH Keberhasilan pelaksanaan KAD banyak dipengaruhi oleh peran dan interaksi antar aktor utama. Di samping itu, fungsi dan peran masing-masing aktor dalam melakukan kegiatan awal atau menciptakan kondisi pra-syarat (basic condition) menjadi prasyarat minimal yang harus tersedia guna menunjang keberhasilan kegiatan. Adapun fungsi dan peran masing-masing aktor dapat dilihat pada Tabel 6 berikut:

INSTRUMEN KERJA SAMA ANTARDAERAH Dalam instrumen pembangunan, Kerja Sama Antardaerah tergolong instrumen pembangunan yang bersifat nonformal-keruangan. Adapun posisi KAD dalam instrumentasi pembangunan di Indonesia dapat dilihat dalam Gambar 14 berikut:

FORMAL

KERUANGAN

RTRWN RTRW, RTRK, RDTR

INFORMAL

NON-KERUANGAN Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP), RPJM, Renstra-KL, RKP-D, Perizinan, Retribusi, IMB & RTBL

Tabel 6. Tugas Aktor dan Bentuk Kegiatan AKTOR

Instrumen Pembangunan

KERUANGAN

NON-KERUANGAN

Regional Management/KAD, Regional Marketing, Sayembara teknis, dll.

Paguyuban masyarakat, LSM, Lembaga Donor, Lembaga Swadaya masyarakat, dll.

Instrumen pembangunan di sini dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu formal dan nonformal. Instrumentasi kategori formal bilamana dalam prosesnya menggunakan prosedur formal yang berlaku, sedangkan instrumentasi pembangunan informal memiliki ciri yang berbeda, yaitu dalam prosesnya tidak mengedepankan prosedur baku formal. Dengan demikian terbuka peluang terjadinya inovasi untuk melakukan terobosan kebijakan yang strategis diluar tradisi formal-prosedural (struktural) yang ada. Di satu sisi proses perbaikan atau penyempurnaan instrumentasi formal pembangunan dapat terus berjalan, di sisi lain KAD dapat menjadi instrumen pendukung dalam mengantisipasi permasalahan pelaksanaan pembangunan yang timbul disebabkan oleh cepatnya perkembangan dan dinamika pembangunan. Hal ini mungkin terjadi, mengingat sifat KAD sebagai intrumen informal yang relatif fleksibel terhadap perkembangan pembangunan. Fleksibilitas dan kecepatan dalam mengambil keputusan menjadikan KAD sebagai instrumen strategis.

BENTUK KEGIATAN ATAU KONDISI

Para aktor terkait dan stakeholders (internal dan external)

 Ikatan antara aktor dan inisiatif regional dalam jejaring yang bersifat regional, maupun interregional  Mencari solusi permasalahan yang bersifat urgen  Membuat batasan tentang permasalahan dan tujuan pembangunan regional  Membangun kekuatan keuangan untuk kegiatan bersama  Mendefinisikan konsep strategis dan ‘realistis’  Membangun political-will dan menguatkan dukungan ‘internal’ (region)  Menentukan/Kepastian Dana  Publikasi dan partisipasi masyarakat (gerakan bersama)

Sektor Publik

Dukungan politis dan program dari Provinsi dan Pusat (kebijakan)

Regional Manager

 Kemampuan profesional dan pengalaman  Melaksanakan program dengan keberhasilan awal yang cepat

Advokator

Pendampingan dengan landasan know-how dan skill yang kuat.

Sumber: Turowski & Lehmkuehler diolah kembali oleh Benjamin Abdurahman.

Gambar. 14 Instrumen Pembangunan Formal dan Nonformal

47

Interaksi para aktor regional dan berbagai bentuk kegiatan merupakan suatu rangkaian proses yang saling menunjang dan sekaligus turut menentukan tingkat keberhasilan pelaksanaan kerja sama antardaerah. Adapun peran dan interaksi antar aktor utama dapat digambarkan pada Gambar 15 berikut:

Advokator

Sektor Publik

KAD Sumber Daya

Gambar 15. Peran dan Interaksi Antar Aktor Utama

Sektor Swasta


48

Modul Konsep Dasar Kerjasama Daerah

3. Pokok Bahasan II Bentuk Kerjasama Antar Daerah (KAD)

Lembaga kerjasama antardaerah dalam bentuk Regional Management, merupakan lembaga non-struktural yang dibentuk untuk melaksanakan kesepakatan kerjasama antara beberapa daerah. Bentuk struktur organisasi yang dibuat merupakan hasil kesepakatan antar aktor regional yang bekerjasama, sehingga tidak ada format yang baku. Namun demikian, paling tidak beberapa unsur yang terlibat harus tertampung perannya dalam struktur organisasi tersebut, yaitu unsur Pemerintah/Eksekutif, DPRD/Legislatif, Organisasi Profesi, Dunia Usaha, Perbankan, Perguruan Tinggi, Lembaga Swadaya Masyarakat, Tokoh Masyarakat, dan lain-lain. Secara umum struktur organisasi kerja sama antardaerah dalam wadah Regional Management (Contoh Barlingmascakeb) dapat terdiri seperti dijelaskan pada gambar berikut ini.

FORUM REGIONAL Bupati dan / Walikota

Bupati dan / Walikota

Bupati dan / Walikota

Bupati dan / Walikota PROPINSI  Fasilitasi dan koordinasi

FORUM KOMUNIKASI REGIONAL Stakeholders:  DPRD  Eksekutif  Profesional  Tokoh Masyarakat  LSM  Asosiasi  Komponen masyarakat lainnya

KESEPAKATAN

KONTROL

SK Bersama untuk Sekretariat Bersama, yang didalamnya terdiri dari : KETUA dengan anggota : • BAKORWIL • Anggota Pengawas Kerja • Anggota Pengawas Hasil • Anggota Pengawas Dampak • Anggora Pengawas Keuangan

ANGGOTA ADVISOR

ADVOKATOR  Menyiapkan informasi potensi wilayah  Membantu persiapan pembentukan RM  Membantu RM dalam pembuatan konsep dan program  Mendampingi RM dalam implementasi program  Mendampingi forum regional dalam evaluasi dan monitoring RM

KONTRAKTUAL

Regional Manager Profesional, dengan tugas :  Menyusun program kerja  Melaksanakan program kerja urgen  Mengaktifkan kerjasama antar wilayah  Melakukan promosi dan pemasaran wilayah  Memperoleh kesepakatan investasi

Sumber: Tim MPWK UNDIP, 2004

Gambar. 16 Struktur Organisasi Kerja Sama Antardaerah dalam Wadah Regional Management

49

1. Inisiator, adalah perorangan, kelompok, atau lembaga yang mempunyai prakarsa untuk membangun wacana menuju terbentuknya kerjasama regional, keberadaannya tidak harus masuk dalam struktur organisasi, sebab inisiator dapat berperan sebelum terbentuknya kelembagaan; Namun biasanya para inisiator termasuk para aktor regional yang masuk dalam kelompok Forum Regional. 2. Forum Regional, adalah forum yang beranggotakan Kepala Pemerintah Kabupaten/Kota anggota kerjasama regional yang memiliki kewenangan: (i) Mendukung terlaksananya kerjasama regional melalui penetapan kebijakan dan penyediaan dana operasional kerjasama regional; dan (ii) Mengusulkan Manajer Regional dengan berkonsultasi dengan DPRD. 3. Forum Komunikasi Regional, merupakan unsur stakeholders dari wilayah kerjasama regional yang dapat terdiri dari DPRD, Eksekutif, Profesional, Tokoh Masyarakat, LSM, Asosiasi, dan Komponen masyarakat lainnya. Keberadaan forum komunikasi regional diperlukan untuk mengontrol pelaksanaan kerjasama regional, selain itu juga dapat memberikan masukan pada rencana kerja regional yang akan dilaksanakan atau dalam pemecahan masalah yang perlu mendapatkan masukan dari berbagai pihak. 4. Dewan Eksekutif, keanggotaannya terdiri dari wakil Pemerintah Provinsi (dalam hal ini dapat diwakili oleh Bakorwil, Bapeda Provinsi, atau Dinas-Dinas di lingkungan Pemerintah Kabupaten/Kota). Kepengurusan Dewan Eksekutif berasal dari anggota Forum Regional yang dapat ditetapkan secara bergilir diantara anggota. Tugas dan tanggungjawabnya meliputi: (i) penyusunan program kegiatan, penetapan anggaran, mengikat kontrak dengan Regional Manager, dan melakukan monitoring dan evaluasi pelaksanaan kegiatan Regional Management/Marketing oleh Regional Manager. (ii) Dewan Eksekutif bertanggungjawab kepada forum regional; (iii) Anggaran operasional Dewan Eksekutif ditanggung bersama oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kab/Kota anggota kerjasama regional, dan sumber pendanaan lainnya; (iv) Menunjuk Regional Manajer atas mandat masing-masing Pemkab/Kota berdasarkan konsultasi dengan legislatif dan melalui proses penjaringan publik. 5. Regional Manager, adalah tenaga profesional yang dipilih melalui proses penjaringan publik berdasarkan usulan dari masing-masing anggota dengan tugas: (i) Menyusun program kerja Regional management; (ii) Melaksanakan Program Kerja; (iii) Mengkatifkan kerjasama antardaerah; (iv) Melakukan promosi dan pemasaran wilayah; dan (v) memperoleh kesepakatan investasi. 6. Advokator, adalah lembaga yang mendukung proses pembentukan dan pelaksanaan Regional Management dan program pelaksanaan serta memberikan advokasi untuk menjaga konsistensi pelaksanaan konsep. 7. Fasilitator, adalah lembaga Pemerintah pada tingkat yang lebih tinggi, dalam hal ini diwakili oleh Badan Koordinasi Lintas Kabupaten/Kota Wilayah III Provinsi Jawa Tengah. Tugas Bakorwil III adalah memfasilitasi seluruh kegiatan penyiapan pembentukan Regional Management/ Marketing hingga terbentuknya kerjasama regional tersebut Berbagai kebuntuan pelaksanaan regionalisasi di beberapa region saat ini membuktikan, bahwa pemanfaatan peran advokator masih sangat minimal. Hal ini juga disebabkan karena minimnya jumlah advokator yang memiliki know-how dan skill serta pengalaman dalam praktek pelaksanaan kerja sama antardaerah desentralistik dengan segala bentuknya seperti Regional Management dan Regional Marketing di Indonesia.


4. POKOK BAHASAN III PERENCANAAN KERJASAMA ANTAR DAERAH (KAD)


52

Modul Konsep Dasar Kerjasama Daerah

4. Pokok Bahasan III Perencanaan Kerjasama Antar Daerah (KAD)

53

menimbulkan konflik antardaerah. Alih-alih bersinergi ke dalam sebuah pengelolaan bersama dalam bentuk RM, banyak daerah yang lebih memlilih sikap egois dikarenakan perbedaan kepentingan ini.

Tujuan Setelah pembelajaran ini peserta diharapkan dapat: 1. Mampu memahami instrument perencanaan KAD 2. Mengetahui dan Memahami instrument pelaksanaan KAD

Waktu 1 Jam Pertemuan (60 menit) Metode 1. Pemaparan 2. Diskusi 3. Tanya jawab Alat Bantu 1. Kertas, spidol, laptop, dan infocus 2. Papan Tulis, Lakban Kertas Adapun materi terkait perencanaan kerjasama antar daerah KAD, pelatih menjelaskan antara lain: 1. Instrument perencanaan KAD 2. Instrument pelaksanaan KAD

Kerja Sama Daerah dalam Konteks Kewilayahan

Dalam kasus seperti ini, diperlukan sebuah instrumen yang dapat menjembatani permasalahan daerah dalam bersinergi, khususnya memperkecil jurang perbedaan kepentingan antara daerah yang satu dengan yang lain. Daerah perlu lebih mengenal karakter daerah masing-masing dan daerah tetangga sebagai pondasi untuk bersinergi. Beberapa instrumen yang dapat digunakan untuk mewujudkan sinergi antardaerah ini antara lain adalah: (i) Baseline (data dasar daerah/wilayah), yaitu sebuah kompilasi data dan informasi daerah/wilayah pada semua sektor dan aspek untuk mebantu menemukenali potensi dan permasalahan wilayah; (ii) Skenario Kerja Sama Antardaerah (SKAD), yaitu instrumen perumusan rencana jangka panjang (skenario) berlandaskan kepentingan bersama; dan (iii) Rencana Aksi dan Rencana Strategis Kerja Sama Antardaerah (REKAD), yaitu instrumen untuk menyusun rencana aksi tahunan dan rencana strategis lima tahunan. Instrumen-instrumen tersebut sangat sederhana dan mudah diterapkan, namun cukup efektif untuk mengatasi kendala perbedaan antardaerah yang selama ini dihadapi dalam perencanaan KAD. Tentunya dukungan dan kesungguhan daerah dalam menerapkan instrumen ini merupakan faktor kunci keberhasilan perencanaan KAD di masing-masing wilayah. Penggunaan instrumen perencanaan Kerja Sama Antardaerah ini bertujuan: 1. Mempermudah identifikasi potensi dan permasalahan daerah/wilayah 2. Merekatkan daerah-daerah bertetangga ke dalam tema kerja sama yang saling menguntungkan 3. Mempermudah penyusunan rencana jangka pendek dan jangka panjang dalam kerangka kewilayahan (kerja sama antardaerah) Berikut ini penjelasan mengenai beberapa instrumen yang digunakan dalam perencanaan KAD: 1. Data Dasar Daerah/Wilayah (Baseline) Data dasar berisi informasi lengkap tentang kondisi daerah/region dalam konteks potensi dan permasalahan sektor dan aspek (fisik, ekonomi, sumber daya, sosial budaya, dan lain-lain). Data dasar ini sangat diperlukan dalam rangka menemukenali kekuatan dan kelemahan daerah dan wilayah. Hal ini sangat berguna untuk menentukan skenario dan strategi pembangunan regional.

Kerjasama antardaerah dapat diwadahi dalam sebuah lembaga pengelolaan sejumlah daerah otonom bertetangga ke dalam satu manajemen dengan tujuan tertentu yang ditetapkan bersama. Kerja sama antardaerah dalam bentuk ini mengedepankan asas winwin solution (musyawarah) ketimbang demokrasi. Masing-masing daerah anggota memiliki posisi yang sejajar (heterarkis) dalam pengambilan keputusan, sehingga hasil yang didapat adalah keputusan yang saling menguntungkan.

Penyusunan data dasar semua sektor dan aspek tersebut disajikan dalam bentuk laporan statistik maupun grafis. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan produk-produk perencanaan dan dokumen daerah yang merupakan produk instrumen pembangunan formal dapat dijadikan sebagai salah satu sumber materi pemetaan kondisi regional ini, terlebih lagi dalam produk-produk tersebut juga memuat standard-standard formal normatif yang dapat dijadikan sebagai pedoman identifikasi kekuatan dan kelemahan daerah dan wilayah.

Perencanaan KAD tidaklah mudah. Menyatukan sejumlah kepentingan daerah ke dalam satu kesimpulan yang dapat mewakili kesemuanya merupakan pekerjaan yang rumit. Masingmasing daerah otonom mempunyai potensi, permasalahan, dan tentunya kepentingan tersendiri. Yang disebut terakhir, kepentingan daerah, adalah faktor yang paling sering

Materi-materi yang termuat dalam data dasar regional (baseline) antara lain adalah: ď‚— Fisik (Sarana dan Prasarana) ď‚— Sumber Daya Alam ď‚— Kependudukan dan Sumber Daya Manusia


54

Modul Konsep Dasar Kerjasama Daerah

 Hukum dan Kebijakan  Aktivitas Sektoral  Pemerintahan  Sosial Budaya, dan lain-lain a. Metode Pengumpulan Data Salah satu faktor kunci guna menyusun baseline yang berbobot adalah pengumpulan data dan informasi. Baseline merupakan cerminan kondisi daerah/region, artinya informasi yang ada di dalamnya harus mewakili kondisi sebenarnya. Dua jenis data yang dapat dikompilasi adalah data kualitatif dan kuantitatif. Kedua jenis data ini didapat dengan pengumpulan data langsung dari sumber (survei primer) dan pengumpulan data literatur (survei sekunder). Keuntungan dari survai primer adalah terkumpulnya data dan informasi aktual yang belum tentu didapat dari data sekunder. Selain itu, dengan survei primer akan didapat informasi dari berbagai perspektif sehingga informasi di balik data atau statistik dapat dianalisis lebih jauh. Kelebihan dari survei sekunder salah satunya adalah dari segi efisiensi waktu. Data dan informasi dapat dengan cepat diperoleh dari buku statistik maupun buku-buku laporan yang telah ada dari tahun ke tahun. Dari survei sekunder ini dapat disusun data serial dalam kurun waktu tertentu dengan angka-angka yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan. Survei primer dan survei sekunder merupakan satu kombinasi yang sangat tepat untuk menghasilkan data dan informasi untuk penyusunan Baseline daerah/region. Survei primer antara lain dapat dilakukan dengan: 1. Wawancara langsung narasumber Wawancara langsung terhadap narasumber merupakan cara yang efektif untuk mengetahui persepktif narasumber terhadap tema tertentu sesuai bidang keahliannya. Hal ini akan sangat membantu kedalaman analisis dalam penyusunan baseline. Kunci dari keberhasilan wawancara ini ada pada pemilihan narasumber yang tepat. Sesuaikan profil narasumber dengan tema wawancara yang kita usung dan pertimbangkan pula posisi dan pengaruh narasumber (instansi, jabatan, dll) terhadap tema terkait. Semakin besar pengaruh narasumber terhadap tema tertentu maka semakin baik wawancara yang dihasilkan. 2. Wawancara dengan kuisioner Wawancara dengan kuisioner dilakukan manakala membutuhkan banyak pendapat narasumber (responden) terhadap sejumlah materi pertanyaan dalam sebuah isu. Kuisioner harus disusun seefektif mungkin dan tidak berbelit-belit agar memudahkan responden dalam memberikan pendapat. Jumlah kuisioner pun ditentukan dengan metode tertentu untuk memastikan keterwakilan sebuah populasi untuk menjawab pertanyaan yang berkembang. 3. Pengamatan lapangan Pengamatan lapangan sangat diperlukan untuk mengetahui sekaligus membuktikan keabsahan data sekunder maupun informasi dari narasumber dengan kondisi nyata. Tentunya pengamatan ini hanya bisa dilakukan pada hal-hal yang bersifat visual seperti kondisi infrastruktur, kondisi alam, kondisi aktivitas, dsb. Agar lebih akurat,

4. Pokok Bahasan III Perencanaan Kerjasama Antar Daerah (KAD)

55

diperlukan dokumentasi baik dalam bentuk foto maupun video sebagai bahan diskusi lebih lanjut. 4. Workshop/FGD Pelaksanaan workshop juga sangat efektif untuk mengkonfirmasi data dan informasi yang telah kita dapat dihadapan stakeholders terkait. Kegiatan ini disebut sebagai Input Workshop/FGD dan Feedback Workshop/FGD. b. Metode Analisis 1. Analisis SWOT Metode Analisis Strengths, Weaknesses, Opportunities, and Threats (SWOT) digunakan untuk mempermudah dalam memberikan gambaran mengenai permasalahan yang perlu diindikasikan untuk suatu keperluan tertentu. Analisis ini merupakan suatu metoda untuk menggali aspek-aspek kondisi yang terdapat di suatu kawasan yang direncanakan untuk menguraikan berbagai potensi dan tantangan yang akan dihadapi didalam pengembangan dan peningkatan sumber dana daerah tersebut. Model analisis SWOT ini diperkenalkan oleh Kerans pada tahun 1992, seperti terlihat pada diagram di bawah. Diagram ini menampilkan matriks enam kotak, dua yang paling di atas adalah kotak faktor eksternal, yaitu faktor peluang dan ancaman/tantangan. Sedangkan dua kotak yang terdapat di sebelah kiri adalah kotak faktor internal, yaitu kekuatan-kekuatan dan kelemahan kawasan. Tabel 7. Diagram Matriks Analisis SWOT FAKTOR EKSTERNAL OPPORTUNITIES

THREATHS

STRENGHTS

COMPARATIVE ADVANTAGE

MOBILIZATION

WEAKNESSES

INVESTMENT DIVESTMENT

DAMAGE CONTROL

FAKTOR INTERNAL

Kotak-kotak lainnya merupakan kotak-kotak isu strategis yang perlu dikembangkan, yang timbul sebagai hasil dari kontak antar faktor-faktor eksternal dan internal. Keempat isu strategis tersebut diberi nama sebagai berikut:

 Comparative Advantage Apabila di dalam proses kajian telah dapat dilihat peluang-peluang yang tersedia ternyata juga memiliki posisi internal yang kuat, maka sektor tersebut dianggap memiliki keunggulan komparatif. Dua elemen potensial eksternal dan internal yang baik ini tidak boleh dilepaskan begitu saja, tetapi akan menjadi isu utama pengembangan. Meskipun demikian, di dalam proses pengkajiannya, tidak boleh dilupakan terhadap


56

Modul Konsep Dasar Kerjasama Daerah

4. Pokok Bahasan III Perencanaan Kerjasama Antar Daerah (KAD)

berbagai kendala dan ancaman perubahan kondisi lingkungan di sekitarnya, sebagai usaha untuk mempertahankan keunggulan komparatif tersebut.  Mobilization Kotak ini merupakan kotak kajian yang mempertemukan interaksi antara ancaman/ tantangan dari luar yang diidentifikasikan, dengan potensi internal. Di sini penganalisis dituntut untuk memberikan keputusan untuk menggali potensi daerah yang dapat dimobilisasikan untuk memperlunak ancaman/tantangan dari luar tersebut, dan sedapat mungkin merubahnya menjadi sebuah peluang bagi pengembangan selanjutnya.  Investment/Divestment Kotak ini merupakan kajian yang menuntut adanya kepastian dari berbagai peluang dan kekurangan yang ada. Peluang yang besar di sini dihadapkan pada kurangnya kemampuan pengelolaan sumber daya daerah. Pertimbangan harus dilakukan secara hati-hati untuk memilih untung dan rugi dari usaha untuk menerima peluang tersebut, khususnya dikaitkan dengan keterbatasan potensi sumber daya daerah tersebut.  Damage Control Kotak ini merupakan tempat untuk menggali berbagai kelemahan yang akan dihadapi oleh Pemerintah Daerah di dalam pengembangan potensi daerah. Hal ini dapat dilihat dari pertemuan antara ancaman dan tantangan dari luar dengan kelemahan daerah. Strategi yang harus ditempuh adalah mengambil keputusan untuk mengendalikan kerugian yang akan dialami, dengan sedikit demi sedkit membenahi sumber daya internal yang ada. 2. Analisis TOWS Pada dasarnya analisis TOWS merupakan pengembangan dari model analisis SWOT di atas. Model TOWS yang dikembangkan oleh David pada tahun 1989 ini dikenal cukup komprehensif dan secara terperinci dapat melengkapi dan merupakan kelanjutan dari metoda analisis SWOT yang biasa dikenal.

Pada prinsipnya komponen-komponen yang akan dikaji di dalam analisis ini mirip dengan komponen-komponen pada analisis SWOT. Tetapi pada model TOWS, David lebih ingin mengetengahkan komponen-komponen eskternal ancaman dan peluang (Treats dan Opportunities) sebagai basis untuk melihat sejauh mana kapabilitas potensi internal yang sesuai dan cocok dengan faktor-faktor eksternal tersebut. Adapun matriks yang dipergunakan untuk analisis ini adalah seperti yang terlihat pada tabel berikut ini:

57

Tabel 8. Matriks TOWS FAKTOR EKSTERNAL STRENGHTS

WEAKNESSES

FAKTOR INTERNAL

OPPORTUNITIES

STRATEGI SO Pakailah kekuatan untuk memanfaakan peluang: 1. 2

STRATEGI WO Tanggulangi kelemahan dengan memanfaatkan peluang: 1. 2.

THREATS

STRATEGI ST Pakai potensi untuk memanfaatkan ancaman: 1. 2.

STRATEGI WT Perkecil kelemahan dan hindari anca man: 1. 2

2. Skenario Kerja Sama Antardaerah (SKAD) Dan Rencana Aksi dan Rencana Strategis Kerja Sama Antardaerah (REKAD) Permasalahan pembangunan daerah saat ini adalah kesenjangan sosial yang makin lebar, kemiskinan yang makin tinggi, ledakan jumlah penduduk tak terkendali dan degradasi kualitas lingkungan. Salah satu pendekatan untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan reformasi sistem politik yang mampu menjamin keamanan dan merangsang pertumbuhan ekonomi. Wujud nyatanya adalah dengan penerapan desentralisasi pembangunan daerah. Di dalam penerapan asas desentralisasi ini diperlukan skenario dan perencanaan strategis yang efektif mengatasi berbagai permasalahan internal, sekaligus mampu mengantisipasi dampak-dampak globalisasi. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa kekuatan globalisasi berpotensi mempertajam jurang kesenjangan pembangunan antardaerah. Sebelum asas desentralisasi diterapkan secara penuh pemerintah telah menggunakan asas sentralisasi pembangunan. Asas ini sebenarnya juga mampu menutupi keterbatasan daerah dalam pelaksanaan pembangunan. Namun demikian tak dapat dipungkiri adanya beberapa kelemahan (Buku Regionalisasi, MPWK UNDIP):  Adanya jarak antara pemerintah pusat dan daerah. Hal ini disebabkan pelaksanaan pembangunan cenderung “dikuasai” pemerintah pusat, sedangkan pemerintah daerah hanya sekedar sebagai obyek semata;  Adanya ketergantungan pemerintah daerah terhadap pusat. Secara politis dan ekonomis pemerintah daerah menjadi tergantung terhadap pusat khususnya dalam pembiayaan pembangunan;  Pelaksanaan pembangunan daerah yang tidak sesuai kebutuhan. Hal ini disebabkan dalam pelaksanaan pembangunan daerah dikendalikan pemerintah pusat, sehingga seringkali hasil-hasil pembangunan tidak tepat sasaran dan tidak terasakan manfaatnya.


58

Modul Konsep Dasar Kerjasama Daerah

4. Pokok Bahasan III Perencanaan Kerjasama Antar Daerah (KAD)

Dalam konteks permasalahan tersebut, diperlukan instrumen untuk meminimasi dampak dari kelemahan pembangunan masa lalu yang masih terasa hingga saat ini. SKAD dan REKAD merupakan jawaban yang tepat untuk permasalahan ini. SKAD adalah sebuah metode sekaligus alat untuk mengidentifikasi kebutuhan kegiatan KAD yang layak dan mendesak untuk dilakukan. SKAD merupakan instrumen Identifikasi Faktor-Faktor Perekat Kerjasama Antar Daerah yang di dalamnya memberikan gambaran tentang visi bersama yang dilakukan melalui proses partisipatif yang sistematis di antara para aktor dan stakeholder terkait. Gambaran visi bersama ini disertai dengan aspek penting lainnya, seperti misi, fokus kegiatan, aktor, kelembagaan, dan berbagai informasi lain sesuai kebutuhan dalam konteks KAD. SKAD menghasilkan sebuah konsep pembangunan dengan visi jangka panjang. SKAD adalah sebuah alat perencanaan KAD yang memiliki beberapa ciri khas, yaitu:  Action Oriented  Efisien  Cepat  Partisipatif  Meningkatkan Kapasitas  Membangun Komunikasi Fungsi SKAD:  Identifikasi faktor kunci sukses dan sektor  Mendefinisikan strategi (awal) regional  Membangun komunikasi  Membangun kesadaran dan kepedulian bersama REKAD secara umum tidak jauh berbeda dengan SKAD, dimana keduanya merupakan instrumen pembangunan dalam konteks KAD. Perbedaannya terletak pada jangka waktu dan rincian kegiatan. Pada SKAD, penekanannya adalah pada skenario jangka panjang (20 – 30 tahun) dengan visi bersama dan misi-misi tertentu beserta capaian antara pada tiap tahapan jangka menengahnya. Sedangkan REKAD berperan pada rencana aksi tahunan dan rencana strategis lima tahunan yang juga merupakan rincian dari skenario jangka panjang. Untuk lebih jelasnya, deskripsi SKAD dan REKAD dapat dilihat pada gambar berikut:

Tool: REKAD 1

2

3

4

5

Tool: SKAD 10

15

20

25

Rencana Aksi Rencana Strategis

Skenario

Gambar 17. Peran SKAD dan REKAD dalam Perencanaan Pembangunan Wilayah

59

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penerapan SKAD dan REKAD:  Adanya keterkaitan dan kesinambungan pelaksanaan pembangunan;  Adanya keterbukaan dalam segala aspek pembangunan antardaerah, sehingga tercipta saling pengertian;  Partisipasi masyarakat dari tahap perencanaan, pelaksanaan, sampai dengan evaluasi pembangunan.

Instrumen Pelaksanaan KAD

Pelaksanaan Kerja Sama Antardaerah dalam kerangka komunikasi, kerja sama, dan koordinasi dapat diwujudkan melalui berbagai kegiatan. Kegiatan ini dilakukan dengan tujuan untuk menguatkan kebersamaan dan efektivitas program dan kegiatan kerja sama antardaerah. Rasa kebersamaan dan kepemilikan program akan terjalin saat masingmasing aktor dapat saling berbagi dan menerima kelebihan dan kekurangan masing-masing Kegiatan komunikasi, kerja sama, dan koordinasi dalam implementasi KAD dapat dilakukan dengan bantuan instrumen-intrumen yang efektif. Beberapa instrumen yang dapat mewakili komponen komunikasi, kerja sama, dan koordinasi yang baik antardaerah ini adalah: 1. Musyawarah perencanaan pembangunan regional (Musrenbangreg) 2. Regional Marketing 3. Media Regional Ketiga instrumen tersebut dapat menjembatani jejaring antara publik dan privat sekaligus. Musrenbangreg merupakan pengembangan jejaring publik lintas daerah dan lintas sektor. Sedangkan Regional Marketing dan pemanfaatan Media Regional merupakan instrumen yang efektif bagi jejaring publik dan privat serta masyarakat di segala bidang. Efektivitas instrumen-instrumen tersebut sudah dibuktikan di beberapa region di Jawa Tengah. Regional Marketing telah berhasil meningkatkan citra wilayah eks Karesidenan Surakarta melalui Solo Raya. Musrenbangreg telah berhasil meningkatkan jejaring publik di RM Sapta Mitra Pantura dan RM Barlingmascakeb. Jadi dapat disimpulkan bahwa tujuan pemanfaatan Instumen Pelaksanaan KAD ini adalah: 1) Mempermudah komunikasi, kerja sama, dan koordinasi serta efektivitas program dalam implementasi Regional Management. 2) Meningkatkan efektivitas pencitraan wilayah. Berikut ini adalah penjabaran dari masing-masing Instrumen Pelaksanaan Kerja Sama Antardaerah: 1. Musyawarah Perencanaan Pembangunan Regional (MUSRENBANGREG) Dalam pendekatan perencanaan pembangunan formal, sudah dikenal istilah musyawarah perencanaan pembangunan daerah dan provinsi (musrenbangda/prov). Musyawarah ini dilaksanakan pada level daerah (kabupaten/kota) yang kemudian ditindaklanjuti pada skala provinsi. Musrenbangda menghasilkan rencana pembangunan sektoral dengan skala prioritas yang hasilnya dibahas kembali dalam skala provinsi bersama-sama dengan kabupaten/kota yang lain.


60

Modul Konsep Dasar Kerjasama Daerah

Dalam paradigma pembangunan desentralitatif dimana instrumen pembangunan nonformal dikembangkan, musrenbang ini pun mengalami inovasi. Landasan inovasi ini adalah berkembangnya konsep Regional Management yang mengedepankan semangan kebersamaan suatu wilayah. Maka lahirlah instrumen musyawarah perencanaan pembangunan regional (Musrenbangreg). Musyawarah perencanaan pembangunan ini menghasilkan rencana sektoral dalam kerangka kerja sama antardaerah. Musrenbangreg melibatkan jejaring publik, dalam hal ini SKPD, pada sektor-sektor tertentu sesuai kebutuhan bersama. Secara umum Musrenbangreg dapat digambarkan sebagai sebuah platform komunikasi lintas daerah dan lintas sektor guna merumuskan program bersama (regional) untuk dilaksanakan dan dianggarkan oleh masing-masing daerah anggota Regional Management. Unsur yang harus terlibat dalam Musrenbangreg: 1. SKPD terkait (misal: bapeda, dinas-dinas) dari seluruh daerah anggota Masing-masing instansi dari masing-masing daerah mengirimkan delegasinya secara konsisten sehingga dari pertemuan ke pertemuan berikutnya terjalin komunikasi yang berkesinambungan 2. SKDP terkait dari provinsi Instansi terkait dari provinsi harus dilibatkan secara aktif untuk meberikan masukan mengingat hasil musrenbangreg ini antara lain juga akan diajukan untuk dianggarkan sebagai program provinsi 3. Instansi Regional Sebagai contoh dari Instansi regional ini adalah Badan Koordinasi Pembangunan Lintas Kabupaten/Kota, lembaga pengelola RM, dan lain-lain. 4. DPRD Keterlibatan anggota dewan dalam Musrenbangreg sangat diperlukan sebagai antisipasi apabila di kemudian hari mengalami hambatan dalam memasukkan hasil Musrenbangreg ke dalam anggaran kabupaten/kota, yang biasanya salah satunya disebabkan ketidaksetujuan anggota dewan. 5. Asosiasi, Universitas, dan LSM Komponen dari Asosiasi, Universitas, dan LSM sangat diperlukan untuk memberi masukan dari sudut pandang masing-masing. Hal ini juga merupakan salah satu wujuddari konsep perencanaan pembangunan yang partisipatif. Asosiasi, Universitas, dan LSM. Sebagai catatan, pelaksanaan Musrenbangreg harus mempertimbangkan jadwal pelaksanaan musrenbangda/prov. Musrenbangreg harus dilaksanakan sebelum Musrenbang Kabupaten/Kota/Provinsi. agar dapat diajukan dan kemudian dianggarkan di tingkat kabupaten/kota dan provinsi. Hal ini dilakukan untuk menjaga mutu dan efektivitas pelaksanaan musrenbang, baik di tingkat regional, kabupaten/kota, maupun provinsi. Secara grafis, jadwal pelaksanaan masing-masing Musrenbang adalah:

4. Pokok Bahasan III Perencanaan Kerjasama Antar Daerah (KAD)

61

MUSRENBANGPROV

MUSRENBANGREG

MUSRENBANGDA Gambar 18 Proses Musrenbang

2. Media Regional dalam Regional Marketing Regional Marketing atau Pemasaran Wilayah dapat diartikan sebagai instrumen untuk mengatur dan mengaplikasikan proses penguatan potensi daerah dalam batas administratif tertentu yang dilakukan bersama unsur lokal terkait. Regional Marketing menitikberatkan perbaikan kemampuan bersaing dalam menarik investasi. Oleh sebab itu keberhasilan Regional Marketing dapat diukur dari peningkatan perekonomian daerah yang ditandai dengan pertumbuhan jumlah dan nilai investasi. Tujuan penting dari pelaksanaan Regional Marketing adalah menggairahkan dunia usaha, khususnya menarik investasi ke daerah guna meningkatkan perekonomian lokal. Hal ini akan diikuti antara lain dengan meningkatnya angka tenaga kerja, pendapatan pajak dan terlebih sinergi yang diperoleh dari aktifitas perekonomian. Regional Marketing sebagai salah satu instrumen Regional Management dapat dilakukan dengan berbagai kegiatan. Perkembangan teknologi dan inovasi semakin memperluas ruang bagi kegiatan Regional Marketing. Salah satu sarana yang paling efektif bagi Regional marketing adalah pemanfaatan media. Media, baik berupa media cetak, radio, maupun audio visual merupakan sarana yang sangat efektif untuk penyebarluasan informasi sekaligus sarana pariwara. Peran media juga sangat besar dalam mengembangkan jejaring komunikasi. Media konvensional seperti cetak, radio, dan televisi selama ini telah banyak berperan di bidang pemasaran. Dalam melakukan kegiatan Regional marketing, kini bertambah satu jenis media lagi, yaitu internet. Lengkaplah sudah keberadaan media dalam mendukung Regional marketing. Praktiknya, sarana yang telah disediakan oleh berbagai jenis media ini belum banyak tersentuh. Bila kita melihat pada contoh kasus regionalisasi di Jawa Tengah, akan kita lihat betapa terbatasnya pemanfaatan media sebagai sarana pemasaran wilayah. Beberapa media yang telah dimanfaatkan antara lain adalah internet (website regional), sticker, dan booklet. Surat kabar yang notabene merupakan sarana yang sangat efektif dengan jangkauan sangat luas ternyata belum banyak disentuh. Demikian pula pemanfaatan Majalah Regional yang belum bisa digunakan sebagai media Regional Marketing. Beberapa inovasi pemanfaatan media sebagai sarana Regional Marketing adalah:


62

Modul Konsep Dasar Kerjasama Daerah

 Kerja sama dengan surat kabar dan majalah umum dalam bentuk kolom atau artikel khusus secara berkala dan berkesinambungan. Upaya untuk melakukan kerja sama dengan surat kabar dan majalah sebagai media promosi dan sosialisasi ini sebenarnya sudah dilakukan. Namun terkendala oleh beberapa hal, seperti unsur komersialitas RM yang kurang mendukung. Namun yang lebih penting adalah peran pimpinan daerah dan aktor regional yang berpengaruh dalam melakunan lobi dan negosiasi. Hal yang paling pokok dalam hal ini adalah terciptanya saling pengertian dengan media agar tercipta hubungan yang saling menguntungkan.  Kerja sama dengan televisi dalam bentuk liputan khusus berkala dan bersinambungan. Bekerja sama dengan media televisi merupakan tantangan yang lebih berat, seimbang dengan manfaat yang dapat diperoleh. Kendalanya tentu saja hampir sama dengan bekerja sama dengan media cetak, yaitu unsur komersialitas. Dukungan dari pimpinan daerah dan pengusah regional untuk turut membantu realisasi kerja sama ini. Selain itu diperlukan konsep kerja sama yang berbasis pada kebutuhan bersama antara media televisi dengan daerah. Peran sektor privat sangat diperlukan.  Pembuatan Majalah Regional yang memuat profil daerah-daerah/wilayah, informasi investasi, kegiatan bersama, potensi, dan hasil kegiatan Regional Management. Majalah Regional merupakan media khusus yang diterbitkan dengan tujuan untuk memberikan informasi mengenai kegiatan regional dan profil wilayah sebagai salah satu bentuk promosi. Selain itu Majalah Regional dirancang sebagai media sosialisasi hasil kegiatan dan untuk lebih mendekatkan pemahaman kerja sama antardaerah ke masyarakat luas. Tentu saja isi dari Majalah Regional tidak melulu pada materi-materi “serius” tentang wilayah bersangkutan, namun perlu diselipkan informasi umum seperti halnya majalah pada umumnya, namun dengan porsi yang terbatas. Di samping itu harus disiapkan pula ruang untuk partisipasi sektor swasta. Partisipasi sektor swasta selain untuk memperkuat jejaring publik swasta, juga dapat memberikan kontribusi yang signifikan dalam pembiayaan Majalah Regional ini. Jadi, selain memuat profil dan kegiatan Regional Management, Majalah Regional juga merupakan media promosi bagi sektor swasta di region terkait. Beberapa kegiatan lain sebagai pendukung instrumen pelaksanaan Regional Management untuk semakin meningkatkan kapasitas stakeholder regional dan meningkatkan pemahaman antardaerah di semua level adalah (REDSP Jawa Tengah, 2005): a. Konferensi Regional Konferensi regional merupakan platform komunikasi yang terdiri dari para pemegang kebijakan (bupati dan walikota) bersama para mitra pemerintahan daerah (legislatif) dan hasilnya merupakan kesepakatan program pembangunan lintas daerah. Konferensi Regional dapat pula diistilahkan sebagai forum lintas daerah. Manfaat Konferensi Regional ini adalah menyatukan visi misi pembangunan regional antarpengambil keputusan masing-masing daerah anggota dan menciptakan kesepakatan tindak lanjut yang saling menguntungkan. b. Pembinaan Aktor dan Inisiator Platform Regional Aktor regional merupakan pelaku langsung pembangunan pada suatu wilayah baik perorangan maupun kelompok/lembaga. Aktor regional mempunyai peran yang sangat

4. Pokok Bahasan III Perencanaan Kerjasama Antar Daerah (KAD)

63

besar mengingat kondisi riil di lapangan yang dihadapi. Inisiator regional adalah perorangan, kelompok, atau lembaga yang mempunyai prakarsa untuk membangun wacana menuju terbentuknya kerja sama regional. Secara teknis kegiatan pembinaan aktor dan inisiator platform regional ini dapat dilakukan antara lain dengan:  FGD antara aktor dan inisiator regional  Seminar untuk aktor dan inisiator regional  Kursus-kursus singkat bagi aktor dan inisiator regional untuk pendalaman know how mengenai kerja sama regional, dan lain-lain c. Networking Salah satu kunci sukses dalam menjalankan program-program pembangunan regional adalah kuatnya jaringan (networking) yang dimiliki oleh lembaga pengelola kerja sama regional. Networking berperan penting dalam promosi dan pemasaran region seluasluasnya terutama dalam kerangka pemasaran wilayah untuk meningkatkan daya jual dan daya saing wilayah. Membangun networking dapat dilakukan dengan upaya menjalin hubungan dan kerja sama dengan institusi lain baik publik maupun privat, dan menjalin hubungan dengan LSM dan lembaga donor dalam dan luar negeri. Manfaat menjalin hubungan baik dengan institusi lain dan menunjukkan kinerja terbaik adalah peningkatan citra kerja sama regional yang dikelola sehingga banyak kemudahan-kemudahan yang akan diperoleh, baik dalam mendatangkan investasi maupun dalam pendalaman materi know how pada bidang-bidang tertentu berkaitan dengan tujuan kerja sama regional yang dikelola. Secara konkrit, pembangunan jaringan dapat dilakukan dengan mengundang lembagalembaga publik, swasta, LSM, lembaga donor, perguruan tinggi, dan institusi lainnya dalam suatu pertemuan, misalnya seminar untuk memperkenalkan keberadaan dan rencana program kerja sama regional. Keuntungan memperkenalkan kerja sama regional yang telah dibentuk kepada lembaga-lembaga tersebut adalah adanya peluang untuk mendapatkan feedback positif berupa kemungkinan-kemungkinan kerja sama antarlembaga, pemberian bantuan teknis, hingga terbukanya peluang ketertarikan investor untuk menanamkan modalnya pada region yang dimaksud. Lembaga kerja sama regional dapat mengembangkan jaringannya dengan cara:  Memperkenalkan identitas kerja sama regional kepada masyarakat luas dan instansiinstansi maupun lembaga-lembaga dalam dan luar negeri  Menyebarluaskan kemungkinan-kemungkinan kerja sama kepada masyarakat luas dan instansi-instansi maupun lembaga-lembaga dalam dan luar negeri  Melakukan audiensi kepada lembaga-lembaga terkait, dalam dan luar negeri, berkenaan dengan program-program yang akan dilakukan dalam lingkup kerja sama regional untuk memperoleh dukungan pelaksanaan program, dan lain-lain. d. Sinkronisasi Program Pembangunan Sinkronisasi program pembangunan merupakan upaya untuk menyelaraskan programprogram pembangunan yang dijalankan antara program daerah (kabupaten/kota), regional (lingkup region), dan provinsi maupun pusat melalui produk-produk kebijakan seperti Renstra, RTRW, dan sebagainya. Hal ini bertujuan menghindari tumpang-tindih program pembangunan dan miscommunication antarprogram pembangunan pada level yang berbeda.


64

Modul Konsep Dasar Kerjasama Daerah

Upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam rangka sinkronisasi program-program pembangunan regional antara lain adalah: • Pembentukan forum diskusi dengan tema tertentu yang melibatkan instansi sektoral lain dan stakeholder terkait. Misal: dinas pariwisata masing-masing daerah anggota kerja sama regional mengundang instansi lain dan stakeholder terkait untuk membahas dan menjaring masukan berkenaan dengan tema-tema tertentu yang sedang digarap • Penyelarasan program-program sektoral regional dengan program sektoral daerah dan propinsi/pusat. Misalnya, program sektor industri region harus selaras dengan arah pengembangan sektor industri masing-masing daerah dan secara garis besar mengikuti kebijakan program sektor industri di atasnya (Pemerintah Pusat/Provinsi). e. Harmonisasi Kebijakan Kebijakan merupakan salah satu stimulan pembangunan, dimana kebijakan-kebijakan yang ada seharusnya memberikan kontribusi yang besar bagi aktivitas pembangunan. Semakin kondusif kebijakan yang diberlakukan pada suatu daerah, maka akan semakin baik pula iklim usaha yang diciptakan. Namun, kondusivitas kebijakan pada satu daerah saja tidaklah cukup. Dalam konteks kerja sama antardaerah, harmonisasi kebijakan jauh lebih penting karena bukan hanya iklim kebijakan daerah per daerah saja yang diperhitungkan namun justru dalam lingkup regional harus terdapat keharmonisan. Kebijakan pada bidang-bidang tertentu yang menyangkut program-program kerja sama regional harus mencerminkan adanya satu kesatuan region. Harmonisasi ini diperlukan untuk menunjang kekuatan region dalam bersaing dengan wilayah lain. Sebagai contoh, kebijakan mengenai perizinan dimana masing-masing daerah biasanya mempunyai standard proses dan birokrasi tersendiri yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut akan sangat menyulitkan investor untuk mengembangkan usahanya pada area lintas daerah, mengingat kebijakan yang harus dipatuhi untuk satu aktivitas usaha saja sudah sedemikian rumit. Dengan harmonisasi kebijakan melalui standarisasi proses dan birokrasi perizinan dalam lingkup region, maka nilai jual region di mata investor akan meningkat secara signifikan. Salah satu bentuk harmonisasi kebijakan ini dapat diwujudkan melalui program Regulatory Impact Assessment (RIA) atau penilaian/kajian mengenai dampak kebijakan, yang dalam hal ini berkaitan dengan kondusivitas iklim usaha. Dengan RIA, kondisi kebijakan dan pengaruhnya terhadap iklim udaha di masing-masing daerah akan dapat diidentifikasi dan diketahui kelemahan-kelemahannya, sehingga upaya-upaya yang harus dilakukan dalam rangka meningkatkan efektivitas penerapan kebijakan dalam lingkup region dapat segera dilakukan. Langkah-langkah dalam harmonisasi kebijakan antara lain: 1. Identifikasi jumlah dan jenis kebijakan masing-masing daerah anggota 2. Pembandingan jumlah dan jenis kebijakan masing-masing 3. Penjaringan input yang berupa persepsi dan harapan dari pihak-pihak terkait/terkena dampak kebijakan (swasta, masyarakat, asosiasi, dll.) 4. Melakukan studi kasus dari daerah lain yang sukses (best practices)

4. Pokok Bahasan III Perencanaan Kerjasama Antar Daerah (KAD)

65

Peninjauan kembali terhadap kebijakan-kebijakan yang diterapkan oleh masing-masing daerah berdasarkan contoh sukses masukan dari pihak-pihak yang terkena dampak kebijakan yang hasilnya berupa penyesuaian kebijakan dalam lingkup satu kesatuan region. f. Publikasi Perencanaan, Hasil dan Tindak Lanjut Kegiatan Materi-materi yang harus disiapkan dalam publikasi perencanaan, hasil, dan tindak lanjut kegiatan ini antara lain: 1. Dokumentasi 2. Laporan-laporan 3. Manfaat kegiatan yang telah dilakukan; perubahan pra dan pascakegiatan 4. Gambaran rencana kegiatan dan hasil yang diharapkan, dan lain-lain

Publikasi perencanaan, hasil, dan tindak lanjut kegiatan ini dapat dilakukan dengan cara: 1) Pameran/Expo 2) Seminar 3) Pembentukan situs/homepage REDSP sebagai media publikasi lembaga kerja sama regional 4) Liputan di media massa (elektronik dan cetak) 5) Pembuatan leaflet dan buletin 6) Pertemuan-pertemuan di lingkup kecamatan dan kelurahan melalui aparat-aparatnya, dan lain-lain.


66

Modul Konsep Dasar Kerjasama Daerah

5. POKOK BAHASAN IV KELEMBAGAAN KERJASAMA ANTAR DAERAH (KAD)


68

Modul Konsep Dasar Kerjasama Daerah

Tujuan Setelah pembelajaran ini peserta diharapkan dapat: 1. Mampu memahami model kelembagaan KAD di Indonesia 2. Mengetahui dan memahami urgensi pelembagaan kerjasama antar daerah 3. Mengetahui tentang pembiayaan kerjasama antar daerah

Waktu 1 Jam Pertemuan (60 menit)

Metode 1. Pemaparan 2. Diskusi 3. Tanya jawab Alat Bantu 1. Kertas, spidol, laptop, dan infocus 2. Papan Tulis, lakban kertas Adapun materi terkait kelembagaan kerjasama antar daerah (KAD), pelatih menjelaskan antara lain: 1. Model kelembagaan KAD di Indonesia 2. Urgensi pelembagaan kerjasama antar daerah 3. Pembiayaan kerjasama antar daerah

Model Kelembagaan Kerja Sama Daerah Di Indonesia

Dalam PP No. 28 tahun 2018 telah diatur mengenai pembentukan badan kerjasama. Badan kerjasama ini dapat dibentuk untuk kerjasama antardaerah (KAD) yang dilakukan secara terus menerus atau berlangsung dalam waktu minimal 5 tahun. Badan kerjasama ini bukan bagian dari perangkat daerah dan dibentuk dengan keputusan bersama kepala daerah. Tugas badan kerjasama ini termasuk pengelolaan, monitoring dan evaluasi pelaksanaan kerjasama antardaerah (KAD). Selain itu, Badan Kerjasama juga dapat memberikan masukan atau saran mengenai langkah-langkah yang diperlukan apabila ada permasalahan dalam pelaksanaan kerjasama.

5. Pokok Bahasan IV Kelembagaan Kerjasama Antar Daerah (KAD)

69

Bentuk-bentuk lembaga kerjasama itu dapat divariasikan atau bahkan digabungkan, tergantung pada karakteristik daerah yang bersangkutan, karakteristik bidang yang dikerjasamakan, serta negosiasi antar pemerintah daerah. Prinsipnya, dalam penerapan bentuk-bentuk ini, yang perlu dijaga pada daerah-daerah bersangkutan adalah: a. Perlunya inklusivitas dalam kerjasama untuk mendekatkan pelayanan pada masyarakat dan menerapkan kaidah-kaidah partisipatif b. Mempertahankan komitmen dan semangat kerjasama c. Selalu mempelajari pilihan/alternatif, dan mengambil pilihan yang paling realistis d. Memperhatikan detil teknis dalam kerjasama e. Evaluasi secara berkala dan menjaga koridor kerjasama agar tetap mengarah pada tujuan awal kerjasama f. Responsif terhadap permasalahan yang muncul Setelah berkembangnya berbagai bentukan Kerjasama Antar Daerah (KAD) di Indonesia, disahkannya Peraturan Pemerintah mengenai kerjasama daerah, baik PP 50/2007 maupun PP 28/2018, memang sangat dinantikan oleh daerah. Dalam peraturan tersebut, yang dimaksud dengan kerjasama daerah adalah kesepakatan antara gubernur dengan gubernur atau gubernur dengan bupati/walikota atau antara bupati/walikota dengan bupati/walikota yang lain, dan atau gubernur, bupati/walikota dengan pihak ketiga, yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban. Adapun objek kerja sama daerah adalah seluruh urusan pemerintahan yang telah menjadi kewenangan daerah otonom dan dapat berupa penyediaan pelayanan publik. Adapun turunan dari peraturan pemerintah tersebut dituangkan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 22 Tahun 2009 tentan Tata Cara Kerja Sama Daerah dan Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 23 tahun 2009 tentang Tata Cara Pembinaan dan Pengawasan Kerja Sama Antardaerah. Selama ini sudah banyak model pengembangan ekonomi wilayah yang berbasis pada KAD. Misalnya KAPET, Kawasan Andalan, Kawasan Sentra Produksi, dan sebagainya. Model-model ini dapat “dihidupkan� kembali atau bahkan dimodifikasi untuk sektor-sektor lain. Dalam PP 28 Tahun 2018, kelembagaan KAD diarahkan ke dalam bentuk Sekretariat Bersama (Sekber). Sekretariat bersama ini bukanlah perangkat daerah semacam dinas teknis, namun Sekber ini dibentuk berdasarkan kesepakatan anggota KAD. Di dalam Sekber ini berisi perwakilan perangkat daerah, terutama pada bidang-bidang terkait kerja sama, serta dapat pula berisi profesional di bidangnya terkait tujuan kerja sama antardaerah. Secara struktural, sekretariat bersama ini bertanggung jawab kepada kepala daerah. Contoh penerapan kelembagaan Sekretariat Bersama ini antara lain adalah Sekber Kartamantul (KAD Yogyakarta, Sleman, dan Bantul). Pengembangan model lembaga kerja sama antardaerah ini cukup fleksibel, artinya inovasi untuk mengkombinasikan unsur publik dan profesional sangat terbuka. Salah satu model yang dapat menjadi alternatif rujukan adalah kelembagaan dalam bentuk Regional Management. Dalam model kelembagaan tersebut, peran profesional sangatlah besar. Di dalam lembaga ini terdapat para profesional di bidangnya, tentunya melalui mekanisme kontrol dan pertanggungjawaban yang melibatkan perangkat daerah. Dengan kelembagaan KAD model Regional Management, sinergi pembangunan terkait kemitraan sektor publik dan sektor swasta dapat dijembatani dengan sangat baik.


70

Modul Konsep Dasar Kerjasama Daerah

Urgensi Pelembagaan Kerja Sama Antar Daerah

Dalam sebuah kerjasama terdapat tiga unsur pokok yaitu adanya dua pihak atau lebih yang membangun kerjasama, adanya interaksi antara pihak-pihak yang terlibat dalam kerjasama dan tujuan bersama. Ketiga unsur tersebut harus ada dalam sebuah kerjasama. Adanya dua pihak atau lebih menggambarkan suatu himpunan kepentingan yang saling mempengaruhi satu sama lain sehingga terjadi interaksi untuk mewujudkan suatu tujuan bersama. Interaksi yang tidak bertujuan untuk pemenuhan kebutuhan bersama bukanlah ciri khas dari suatu kerjasama. Dengan demikian interaksi dari beberapa pihak yang dilakukan harus memungkinkan terciptanya keseimbangan, artinya interaksi yang hanya menguntungkan sebelah pihak maka tidak termasuk kriteria kerjasama. Kerjasama menempatkan pihakpihak yang berinteraksi pada posisi seimbang, serasi dan selaras karena interaksi bertujuan demi pemenuhan kepentingan bersama tanpa ada yang dirugikan (Bdk. Pamudji,1983:12). Untuk mengoptimalkan potensi daerah kerjasama antar daerah dapat menjadi salah satu alternatif inovasi atau konsep yang didasarkan pada pertimbangan efisiensi dan efektivitas, sinergis dan saling menguntungkan terutama dalam bidang-bidang yang menyangkut kepentingan lintas wilayah. Kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah, melalui berbagai payung regulasi (peraturan pemerintah) mendorong kerjasama antar daerah. Kerjasama diharapkan menjadi satu jembatan yang dapat mengubah potensi konflik kepentingan antardaerah menjadi sebuah potensi pembangunan yang saling menguntungkan. Kerjasama antar daerah hanya dapat terbentuk dan berjalan apabila didasarkan pada adanya kesadaran bahwa daerah-daerah tersebut saling membutuhkan untuk mencapai satu tujuan. Oleh karena itu, inisiasi kerjasama antar daerah baru dapat berjalan dengan efektif apabila telah ditemukan kesamaan isu, kesamaan kebutuhan atau kesamaan permasalahan. Kesamaan inilah yang dijadikan dasar dalam mempertemukan daerahdaerah yang akan dijadikan mitra. Selain itu, yang juga perlu dipikrkan adalah masalah feasibilitas kerjasama, baik secara ekonomi maupun politis. Secara politis karena walau bagaimanapun, keputusan akhir mengenai komitmen untuk bekerjasama adalah sebuah keputusan politis yang harus diambil pada level pimpinan, sehingga diperlukan argumentasi-argumentasi untuk bekerjasama yang cukup menarik secara politis bagi level pimpinan itu. Tentu saja, karena secara politis kerjasama ini harus menarik bagi semua daerah yang terlibat, maka juga harus menguntungkan bagi semua daerah. Prinsip “saling menguntungkan� inilah yang menjadi salah satu filosofi dasar kerjasama. beberapa isu strategis dan menarik yang berkaitan dengan urgensi kerjasama antar pemerintah daerah yakni: a. Peningkatan Pelayanan Publik Kerjasama antar daerah diharapkan menjadi salah satu metode inovatif dalam meningkatkan kuyalitas dan cakupan pelayanan publik. Efektivitas dan efisiensi dalam penyediaan sarana dan prasarana pelayanan public seperti pendidikan, kesehatan, air bersih dan sebagainya juga menjadi isu yang penting, terutama untuk daerah-daerah tertinggal. Peningkatan pelayanan public ini juga termasuk pembangunan infrastruktur. Infrastruktur ini bisa mencakup jaringan jalan, pembangkit listrik dan sebagainya.

5. Pokok Bahasan IV Kelembagaan Kerjasama Antar Daerah (KAD)

71

b. Kawasan Perbatasan Kerjasama dalam hal keamanan di kawasan perbatasan juga menjadi salah satu isu strategis, selain dalam hal keamanan, kerjasama di kawasan-kawasan perbatsan juga difokuskan pada pengembangan wilayah karena daerah-daerah di kawasan perbatsan ini sebagian besar adalah daerah tertinggal. c. Tata Ruang Keterkaitan tata ruang antar daerah diperlukan dalam hal-hal yang dapat mempengaruhi lebih dari satu daerah seperti Daerah Aliran Sungai (DAS), kawasan lingkungan dan sebagainya. d. Penanggulangan Bencana dan Penanganan Potensi Konflik Usaha mitigasi bencana dan tindakan pasca bencana, apabila bercermin dari pengalaman di NAD, Alor, dan Nabire, serta daerah lainnya, ternyata keadaan ini membutuhkan koordinasi dan kerjasama yang baik antar daerah-daerah yang berdekatan. e. Kemiskinan dan Pengurangan Disparitas Wilayah Keterbatasan kemampuan, kapasitas dan sumberdaya yang berbeda-beda antar daerah menimbulkan adanya disparitas wilayah dan kemiskinan (kesenjangan sosial). Melalui kerjasama antar daerah, diharapkan terjadi peningkatan kapasitas daerah dalam penggunaan sumberdaya secara lebih optimal dan pengembangan ekonomi local, dalam rangka menekan angka kemiskinan dan mengurangi disparitas wilayah. f. Peningkatan Peran Provinsi Pembangunan kewilayahan memerlukan peningkatan peran provinsi, termasuk dalam memfasilitasi penyelesaian permasalahan-permasalahan antar daerah. Untuk itu diperlukan peningkatan kemampuan provinsi dalam menyelenggarakan dan mendorong kerjasama antar daerah (local government cooperation). Peran ini terutama dalam kapasitas provinsi sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat dan sebagai fasilitataor dan katalisator kerjasama antar daerah. g. Pemekaran Daerah Kerjasama Antar Daerah (KAD) dapat menjadi salah satu alternatif lain untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pelayanan publik selain kebijakan pemekaran daerah. Hak ini meningkat kebijakan pemekaran lebih banyak memerlukan sumberdaya dibandingkan dengan kerjasama antar daerah, dan perkembangan daerah otonom baru, tidak selalu memberikan hasil yang diinginkan.

Pembiayaan Kerja Sama Antar Daerah

› KEBUTUHAN OPERASIONAL KERJA SAMA ANTARDAERAH Regional Management merupakan salah satu contoh bentuk lembaga kerja sama antardaerah dengan pola intergovernmental networking (jejaring antarpemerintah daerah). Aspek komunikasi lebih berperan dibandingkan dengan landasan instruksi koordinatif yang biasa dilakukan dalam konteks pembangunan hirarkis. Dalam membina dan memajukan lembaga kerja sama antardaerah, komunikasi yang terjalin dapat digunakan sebagai pemicu kesadaran tiap anggota dalam berperan serta dalam kemajuan kerja sama antardaerah. Peran tiap daerah dapat diwujudkan dalam bentuk sumber daya manusia atau tenaga ahli, maupun dalam bentuk pendanaan.


72

Modul Konsep Dasar Kerjasama Daerah

Aspek dalam pendanaan sangat menentukan keberlanjutan eksistensi dalam suatu organisasi, demikian pula dalam menjalankan kerja sama antardaerah. Kerja sama antardaerah ini dapat harus diwadahi dalam sebuah lembaga kompeten dan profesional. Salah satu bentuk kelembagaan yang direkomendasikan adalah dalam wadah lembaga non-struktural yang merupakan kombinasi dari segenap unsur pemangku kepentingan masing-masing daerah anggota. Sebagai sebuah lembaga yang mengelola perencanaan pembangunan regional dan melibatkan dua atau lebih daerah anggota, tentunya memerlukan pembiayaan sebagai penggerak roda organisasi. Pembiayaan untuk lembaga KAD ini, pada awalnya diperlukan untuk stimulan proses perencanaan dan koordinasi antarpemangku kepentingan. Inisiatif pembiayaan ini sangat penting sebagai pondasi awal pelaksanaan KAD sekaligus sebagai parameter komitmen masing-masing anggota dalam bekerja sama. Inisiasi pembiayaan awal ini biasanya dianggarkan oleh masing-masing daerah anggota. Pada proses selanjutnya, pengelolaan kerja sama antardaerah akan membutuhkan biaya-biaya rutin dan nonrutin. Biaya rutin seperti biaya operasional kantor dan biaya koordinasi. Sedangkan biaya nonrutin yang harus dikeluarkan untuk pelaksanaan kerja sama antardaerah ini antara lain biaya dalam rangka promosi penguatan sumber daya seperti penyelenggaraan pameran, studi banding, misi dagang, pelatihan-pelatihan, dan lain sebagainya. Pembiayaan kerja sama antardaerah ini tentu saja berkaitan dengan sumber pembiayaan, sehingga diperlukan motor penggerak lembaga kerja sama yang pintar dalam menggali potensi pendanaan. Memang pada awalnya daerah anggota akan menganggarkan sejumlah dana untuk menggerakkan roda organisasi, namun dana ini hanyalah dana stimulan. Artinya lembaga kerja sama antardaerah harus aktif mencari dan menghasilkan sumber pembiayaan, baik untuk menjalankan roda organisasi maupun untuk tujuan utama pelaksanaan kerja sama, yaitu pembiayaan dan investasi pembangunan kewilayahan.

5. Pokok Bahasan IV Kelembagaan Kerjasama Antar Daerah (KAD)

73

- PP No.38 Tahun 2007/ pasal 7/ Ayat 2/ Huruf t/ Sub Bidang Otonomi Daerah/ Sub Sub Bidang 3c. Fasilitasi Asosiasi Daerah/Badan Kerja Sama Daerah.

SUB BIDANG

Otonomi Daerah

SUB-SUB BIDANG

3c. Fasilitasi Asosiasi Daerah/ Badan Kerjasama Daerah

PEMERINTAH DAERAH PROVINSI

PEMERINTAH KABUPATEN/ KOTA

Penetapan pembentukan Asosiasi/Badan Kerjasama Daerah.

Membentuk Asosiasi/Badan Kerjasama Daerah

Membentuk Asosiasi Daerah/ Badan Kerjasama Daerah

Fasilitasi Pemberdayaan Asosiasi/Badan Kerjasama Daerah.

Fasilitasi pembentukan Asosiasi Daerah/ Badan Kerjasama Daerah membentuk Asosiasi Daerah/ Badan Kerjasama kabupaten/kota.

_______

PEMERINTAH

- PP No.38 Tahun 2007/ pasal 7/ Ayat 2/ Huruf t/ Sub Bidang Pemerintahan Umum/ Sub Sub Bidang 1c. Fasilitasi Kerja Sama Daerah dengan Pihak Ketiga dan 1d. Kerja Sama Antardaerah.Bidang 3c. Fasilitasi Asosiasi Daerah/Badan Kerja Sama Daerah.

SUB-SUB BIDANG

PEMERINTAH

PEMERINTAH DAERAH PROVINSI

PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA

1c. Fasilitasi Kerjasama Daerah dengan Pihak Ketiga

Penetapan kebijakan nasional di bidang kerjasama dengan pihak ketiga.

Penetapan kebijakan provinsi di bidang kerjasama dengan pihak ketiga.

Penetapan kebijakan kabupaten/kota di bidang kerjasama dengan pihak ketiga.

a. Pola pembiayaan proses pembentukan program strategis regional Bila Kerja Sama Antardaerah (KAD) masih dalam tahap inisiasi pembentukan (belum terbentuk), maka mekanisme penganggaran untuk pembiayaannya dapat dilakukan melalui alternatif sebagai berikut:

Pelaksanaan kerjasama pemerintah dengan pihak ketiga.

Pelaksanaan kerjasama provinsi dengan pihak ketiga.

Pelaksanaan kerjasama kabupaten/kota dengan pihak ketiga.

Alternatif 1 Anggaran pembiayaan dalam perencanaan Kerja Sama Antardaerah dapat dialokasikan ke dalam anggaran Pemerintah Provinsi. Hal ini antara lain terkait dengan peran dan fungsi Pemerintah Provinsi untuk memfasilitasi kegiatan kerja sama antar-Kabupaten/Kota. Fungsi fasilitasi ini termasuk ke dalam sub sub bidang dalam urusan wajib tersendiri, sesuai landasan hukum berikut ini:

Koordinasi dan fasilitasi kerjasama provinsi dengan pihak ketiga.

Koordinasi dan fasilitasi kerjasama kabupaten/kota dengan pihak ketiga.

_____

› SUMBER-SUMBER PEMBIAYAAN KERJA SAMA ANTARDAERAH Penganggaran kerja sama antardaerah bergantung pada kebutuhan masing-masing lembaga dan pelaku utama pembangunan wilayah. Pembiayaan kegiatan dalam lembaga kerja sama antardaerah dapat dipilah menjadi dua macam pola pembiayaan, yaitu: Penganggaran kerja sama antardaerah bergantung pada kebutuhan masing-masing lembaga dan pelaku utama pembangunan wilayah. Pembiayaan kegiatan dalam lembaga kerja sama antardaerah dapat dipilah menjadi dua macam pola pembiayaan, yaitu:

SUB BIDANG

Pemerintahan Umum


74

Modul Konsep Dasar Kerjasama Daerah

Pelaksanaan monitoring dan evaluasi kerjasama provinsi dengan pihak ketiga.

______

1d. Kerjasama Antar Daerah

5. Pokok Bahasan IV Kelembagaan Kerjasama Antar Daerah (KAD)

Pelaksanaan monitoring dan evaluasi kerjasama kabupaten/kota dengan pihak ketiga.

_______

Pelaporan pelaksanaan kerjasama provinsi dengan pihak ketiga kepada pemerintah.

Pelaporan pelaksanaan kerjasama pemerintah kabupaten/kota dengan pihak ketiga kepada provinsi.

Penetapan kebijakan kerjasama antar daerah

Pelaksanaan kerjasama antar provinsi.

Pelaksanaan kerjasama antar kabupaten/kota.

Fasilitasi kerjasama antar provinsi.

Fasilitasi kerjasama antar kabupaten/ kota.

______

Pelaksanaan monitoring dan evaluasi penyelenggaraan kerjasama antar daerah.

Pelaksanaan monitoring dan evaluasi kerjasama antar kabupaten/ kota.

________

Pelaporan pelaksanaan kerjasama antar provinsi kepada pemerintah.

Pelaporan pelaksanaan kerjasama antar kabupaten/kota kepada provinsi.

Di samping itu, kegiatan fasilitasi perencanaan dapat dimasukkan ke dalam penganggaran umum SKPD Kabupaten/Kota terkait, yang mekanismenya dilakukan sesuai dengan Permendagri No. 59 Tahun 2007 (yang merupakan perubahan Permendagri No. 13 Tahun 2006). Dalam penganggaran ini, pembiayaan dapat dialokasikan ke dalam APBD, misal dalam bentuk kegiatan ‘Kajian’, namun kelemahan dalam alternatif ini yakni lamanya waktu penganggaran.

75

Alternatif 2 Terkait dengan peran dan fungsinya dalam perencanaan pembangunan daerah, maka pembiayaan perencanaan KAD dapat dimasukkan dalam penganggaran kegiatan Bappeda masing-masing Kabupaten/Kota. Penganggaran ini misalnya dapat dimasukkan dalam anggaran kegiatan ‘Pendampingan’, yang antara lain direalisasikan ke dalam kegiatan Kajian Identifikasi Pelaksanaan Kerja Sama Antardaerah. Kajian tersebut dapat dilaksanakan dalam workshop maupun pertemuan-pertemuan, yang hasilnya merupakan bahan untuk pembentukan platform, kesekretariatan bersama, pembentukan organisasi, SOP, ataupun perencanaan jangka pendek atau menengah dalam kerja sama antardaerah. Terkait dengan hal ini, umumnya Bappeda dapat menganggarkan dana pendampingan untuk digunakan dalam persiapan kerja sama antardaerah (KAD). b. Pola pembiayaan pelaksanaan program strategis regional. Bila platform kerja sama telah terbentuk (sudah terbentuk Badan Kerja Sama), maka anggaran pembiayaan untuk pelaksanaan kegiatan yang telah disepakati antara lain dapat dianggarkan melalui alternatif seperti berikut: Alternatif 1 Pembiayaan dalam pengelolaan kegiatan KAD yang telah disepakati bersama dapat menggunakan mekanisme Hibah. Hibah adalah Peneriman Daerah yang berasal dari pemerintah negara asing, badan/lembaga asing, badan/lembaga internasional, Pemerintah, badan/lembaga dalam negeri atau perorangan, baik dalam bentuk devisa, rupiah maupun barang dan atau jasa, termasuk tenaga ahli dan pelatihan yang tidak perlu dibayar kembali. Hibah dapat berasal dari dalam negeri maupun luar negeri. Hibah yang bersumber dari dalam negeri bersumber dari: • Pemerintah • Pemerintah Daerah lain • Badan/lembaga/organisasi swasta dalam negeri • Kelompok masyarakat/perorangan Hibah yang bersumber dari luar negeri diperoleh dari Lembaga/Institusi, negara: Bilateral, Multilateral, dan/atau Donor lainnya. Hibah dapat disalurkan kepada Pemerintah, Pemerintah Daerah, Perusahaan Daerah, Masyarakat, dan Organisasi Kemasyarakatan. Dengan kata lain, hibah dapat pula disalurkan kepada Instansi Vertikal seperti; kegiatan TMMD, pengamanan daerah, dan penyelenggaraan Pilkada oleh KPUD; Organisasi Semi Pemerintah seperti; PMI, KONI, Pramuka, Korpri, dan PKK; dan Organisasi Non Pemerintah seperti; Ormas dan LSM; dan masyarakat. Sesuai dengan Permendagri No. 59 Tahun 2007, tujuan hibah seperti dijelaskan pada pasal 43 adalah sebagai berikut: 1) Hibah kepada Pemerintah bertujuan untuk menunjang peningkatan penyelenggaraan fungsi pemerintahan di daerah. 2) Hibah kepada Perusahaan Daerah bertujuan untuk menunjang peningkatan pelayanan kepada masyarakat. 3) Hibah kepada Pemerintah Daerah Iainnya bertujuan untuk menunjang peningkatan penyelenggaraan pemerintahan daerah dan layanan dasar umum.


76

Modul Konsep Dasar Kerjasama Daerah

5. Pokok Bahasan IV Kelembagaan Kerjasama Antar Daerah (KAD)

4) Hibah kepada Masyarakat dan Organisasi Kemasyarakatan bertujuan untuk meningkatkan partisipasi penyelenggaraan pembangunan daerah atau secara fungsional terkait dengan dukungan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Mekanisme kerja hibah didasarkan pada pertimbangan jenis hibah (uang, barang, atau jasa), unit kerja, dan sistem pelaksanaan pengadaan barang, yang dapat diilustrasikan pada tabel berikut: Tabel 9. Mekanisme Kerja Hibah Unit Kerja

Kelompok Belanja

Pelaksanaan Pengadaan Barang

Keterangan

UANG

PPKD

Belanja Tidak langsung

Penerima hibah

Melalui Transfer

BARANG

SKPD

Belanja langsung (program/ Kegiatan)

SKPD

Dicatat → Dihapus

JASA

SKPD

Belanja langsung (program/ Kegiatan

SKPD

-

Sumber: Depdagri, 2008

Pertanggungjawaban hibah dibedakan atas pertanggungjawaban pada Instansi Vertikal dan Organisasi Semi Pemerintah dan Organisasi Non Pemerintah. Pertanggungjawaban atas hibah dalam bentuk uang pada isntansi vertikal dan organisasi Semi Pemerintah dilakukan dengan Laporan realisasi penggunaan dana, bukti-bukti lainnya yang sah sesuai naskah perjanjian hibah dan peraturan perundang-undangan lainnya. Bila dalam bentuk barang, pertanggungjawabannya dilakukan dengan bukti tanda terima uang dan laporan realisasi penggunaan dana sesuai naskah perjanjian hibah, yang pengaturan pelaksanaannya ditetapkan dengan peraturan Kepala Daerah. Untuk organisasi non pemerintah, baik dalam bentuk barang maupun uang, pertanggungjawaban dilakukan dengan disertai berita acara serah terima barang dan penggunaan atau pemanfaatan harus sesuai dengan Naskah Perjanjian Hibah. Alternatif 2 Terkait dengan pembiayaan untuk Kabupaten/Kota bisa mengacu pada PP No. 28 Tahun 2018 sebagai berikut: 1. Bab 2 Pasal 11 ayat 3 disebutkan bahwa Biaya pelaksanaan urusan pemerintahan yang dikerjasamakan diperhitungkan dari anggaran pendapatan dan belanja daerah masingmasing daerah yang bersangkutan 2. Pasal 12 ayat 1 sampai dengan ayat 4 disebutkan bahwa pemerintah pusat dapat memberikan bantuan keuangan kepada daerah untuk melakukan kerja sama wajib. Selain itu, pemerintah daerah juga dapat memberikan bantuan keuangan kepada daerah lain untuk melaksanakan kerja sama wajib melalui anggaran bidang yang dikerjasamakan.

77

Dengan demikian, pemerintah pusat dan pemerintah daerah dapat menginstruksikan atau memberi pengarahan dari mana alokasi pembiayaan dapat dianggarkan. Melalui instruksi Kepala Daerah ini, anggaran pembiayaan kerja sama antardaerah antara lain dapat dialokasikan dalam SKPD masing-masing Kabupaten/Kota, dengan mekanisme sesuai Permendagri No. 59 Tahun 2007, yang merupakan perubahan Permendagri No. 13/2006. Aspek pembiayaan dari pemerintah pusat dapat menjadi salah satu faktor pendukung yang dapat digunakan oleh Pemerintah Pusat dalam mendorong inisiatif regional. Penyediaan anggaran untuk kegiatan kerja sama antardaerah dapat didukung oleh Pemerintah Pusat dengan berbagai bentuk program. Daerah dapat mengajukan pengajuan program pembangunan melalui platform kerja sama antardaerah kepada Pusat. Dengan platform tersebut maka pembiayaan akan lebih menjanjikan dalam hal efektifitas, efisiensi, dan transparansi. Pemerintah Kabupaten/Kota melalui APBD Kabupaten/Kota dapat menganggarkan berbagai bentuk inisiasi yang muncul dari daerahnya untuk membangun kegiatan pembangunan dari berbagai sektor dan kalangan. Sebagai contoh, pada Regional Management (RM) Barlingmascakeb, masing-masing daerah mengeluarkan dana sebesar Rp 100.000.000 dari APBD mereka untuk membiayai operasional kantor RM. Alokasi anggaran lain digunakan untuk membiayai perjalanan lobi mediasi dengan investor potensial. Jumlah dana yang dianggarkan mencerminkan besarnya niat dan kesungguhan para aktor regional dalam melakukan kerja sama. Ketergantungan suatu daerah dengan daerah lainnya dapat dimanfaatkan sebagai pengikat kebersamaan dan kepentingan, termasuk dalam bentuk penggalangan dana. Keterbukaan kebutuhan dan pemanfaatan dana program kerja sama pada akhirnya akan menciptakan akuntabilitas yang lebih bertanggungjawab. 3. Alternatif Pihak Ketiga Alternatif lain untuk pembiayaan kerja sama antardaerah adalah dengan menggali dana dari lembaga donor atau instansi lain. Promosi yang menarik dari pihak lembaga pelaksana kerja sama antardaerah dapat mendorong minat swasta atau lembaga donor untuk berpartsipasi dalam hal pendanaan. Di luar negeri, lembaga-lembaga kerja sama antardaerah mengembangkan sumber pendanaannya selain mekanisme iuran antar anggota (membership fees), yaitu dengan mencari dukungan lembaga-lembaga donor internasional, misal USAID dan GTZ dan dukungan keuangan dari sponsor yang merupakan lembaga profit (swasta). Alternatif pembiayaan ini sangat efektif manakala pengelola kerja sama antardaerah giat mempromosikan potensi dan kegiatan, serta dapat menggerakkan segenap pemangku kegiatan sehingga terlihat hasil nyata dari konsep pembangunan kewilayahan yang sinergis. Keberhasilan kecil dari pelaksanaan kerja sama antardaerah akan menarik lembaga-lembaga dan pihak ketiga untuk ikut berpartisipasi dalam pendanaan.


78

Modul Konsep Dasar Kerjasama Daerah

6. POKOK BAHASAN V MONITORING DAN EVALUASI KERJASAMA ANTAR DAERAH


80

Modul Konsep Dasar Kerjasama Daerah

6. Pokok Bahasan V Monitoring Dan Evaluasi Kerjasama Antar Daerah

81

 Impact: memperlihatkan bagaimana anda dapat membuat suatu pembedaan untuk mengatasi kondisi permasalahan yang telah diusahakan, dengan kata lain, apakah strategi anda bermanfaat?

Tujuan Setelah pembelajaran ini peserta diharapkan mampu: 1. Mampu memahami urgensi pengendalian pelaksanaan kerja sama antardaerah 2. Mengetahui dan Memahami tools monitoring dan evaluasi regional management 3. Mengetahui tentang pemangku kepentingan monitoring dan evaluasi

Waktu 1 Jam Pertemuan (60 menit)

Metode 1. Pemaparan 2. Diskusi 3. Tanya jawab Alat Bantu 1. Kertas, spidol, laptop, dan infocus 2. Papan Tulis, Lakban Kertas Adapun materi terkait monitoring dan evaluasi KAD, pelatih menjelaskan antara lain: 1. Urgensi pengendalian pelaksanaan KAD 2. Tools monitoring dan evaluasi regional management 3. Pemangku kepentingan monitoring dan evaluasi

Model Kelembagaan Kerja Sama Daerah di Indonesia

Monitoring and evaluation (M&E) cenderung mengarahkan bagaimana melaksanakan monitoring dan evaluasi tersebut secara bersamaan sebagai salah satu kesatuan, kenyataannya bahwa monitoring dan evaluasi adalah dua hal yang berbeda dalam suatu kegiatan organisasi, yang berhubungan tetapi tidak sama. M&E mengacu pada pembelajaran dari apa yang telah dilakukan dan bagaimana anda melakukannya dengan berfokus pada:  Efficiency: memperlihatkan suatu input (misalnya uang, waktu, staf, peralatan) dari pekerjaan yang sesuai dengan output  Effectiveness: pengukuran kemajuan dari suatu program atau project yang dicapai dari tujuan khusus yang telah direncanakan.

Mengapa harus melakukan Monitoring dan Evaluasi?  Membantu untuk mengidentifikasi suatu masalah dan penyebab;  Mengarahkan solusi yang mungkin dapat mengatasi suatu permasalahan;  Menimbulkan pertanyaan tentang asumsi dan strategi;  Mendorong anda untuk merefleksikan bagaimana anda melakukan dan bagaimana anda mencapainya;  Menyediakan anda dengan informasi dan cara pandang;  Mendorong anda untuk beraksi dengan informasi dan cara pandang yang telah didapatkan; Monitoring adalah proses pengumpulan dan analisis informasi (indikator) yang sistematis dan kontinyu tentang proses dan pelaksanaan program, sehingga dapat dilakukan tindakan koreksi untuk penyempurnaan program selanjutnya. Tujuan pemantauan program adalah menjamin proses perumusan dan pelaksanaan program sesuai rencana. Pemantauan ini antara lain dicapai dengan kegiatan:  Pengawasan kerja, membandingkan antara perencanaan dengan aplikasi;  Pengawasan hasil pelaksanaan, membandingkan antara tujuan yang diharapkan dengan hasil yang ada di lapangan;  Pengawasan dampak kegiatan, memeriksa apakah perubahan yang ada merupakan dampak dari langkah kebijakan tertentu;  Pengawasan keuangan, tertib akuntansi dan kecocokannya dengan perencanaan yang disepakati. Sedangkan evaluasi adalah proses penilaian pencapaian tujuan dan pengungkapan masalah kinerja program untuk memberikan umpan balik bagi peningkatan kualitas kinerja program. Jenis-jenis penilaian/evaluasi adalah:  Penilaian awal kegiatan, yaitu penilaian terhadap kesiapan program  Penilaian formatif, yaitu penilaian terhadap hasil-hasil yang telah dicapai selama proses dan tahapan program  Penilaian sumatif, yaitu penilaian hasil-hasil yang telah dicapai secara keseluruhan dari awal sampai akhir program. Dalam proses penilaian, perlu tahapan-tahapan dan persiapan materi yang akan dinilai dari tahap proses perumusan program strategis regional sampai dengan pelaksanaan dan hasilnya. Tahapan-tahapan tersebut antara lain: 1. Penilaian Kelayakan Konsep dan Pengembangan Konsep Program, dilakukan pada saat tahap awal proses perumusan program regional sebelum diajukan kepada sumber pendanaan. 2. Dokumentasi dan Laporan Kegiatan, disusun secara rinci dari tahap awal persiapan kegiatan sampai dengan akhir penyelesaian program. 3. Analisis Permasalahan dan Perbaikan Program, analisis pelaksanaan kegiatan secara menyeluruh dari proses awal sampai akhir kegiatan, sehingga terlihat adanya permasalahan-permasalahan yang dialami selama pelaksanaan program-program tersebut. Dalam melakukan analisis kegiatan yang telah dilakukan, perlu keterlibatan


82

Modul Konsep Dasar Kerjasama Daerah

pihak luar yang berkompeten (mengerti dan berpengalaman di bidangnya) agar analisis dan penilaian yang dilakukan benar-benar objektif dan tepat sasaran. 4. Kesimpulan dan Tindak Lanjut, dihasilkan dari proses analisis permasalahan dan perbaikan program akan menjadi acuan untuk menindaklanjuti program yang telah dilaksanakan. Pengawasan dan penilaian ini dapat dilakukan oleh advisor maupun bersama-sama dilakukan dalam pokja regional. Keanggotaan tim adviser dapat terdiri dari unsur eksekutif dan legislatif maupun dari unsur lain (definisi dan tugas adviser telah dipaparkan sebelumnya). Secara menyeluruh, kegiatan pemantauan dan penilaian dalam perumusan dan pelaksanaan program ini dilakukan pada aspek-aspek:  Penguasaan teknis  Manajerial dan administratif  Organisasi  Kapasitas pendanaan  Ekonomis/feasibility

Tools Monitoring Dan Evaluasi Regional Management

Impact Chains (Rantai Dampak) merupakan metode penilaian terhadap proses kegiatan atau proyek, dari tahap awal sampai dengan akhir. Komponen dalam impact chains ini adalah: a. Core problem (inti masalah) Inti masalah merupakan sesuatu yang melatarbelakangi pelaksanaan kegiatan/proyek. Dalam perkembangannya, ditambahkan pula faktor potensi selain permasalahan yang dihadapi. Hal ini dilakuklan dengan pertimbangan bahwa pelaksanaan kegiatan juga kerap kali dilandasi oleh adanya potensi untuk mengembangkan atau membangun sesuatu. Contoh: buruknya pelayanan air bersih, produktivitas tenaga kerja yang rendah, potensi pertanian yang belum tergarap, dll. b. Activities (aktivitas) Aktivitas adalah bentuk upaya untuk memberikan solusi untuk memecahkan masalah sekaligus mengembangan potensi yang dimiliki. Contoh: peningkatan kualitas jalan, pembangunan gedung sekolah, seminar kesehatan, dsb. c. Output (keluaran) Sesuatu yang diharapkan langsung dicapai dari suatu kegiatan yang dapat berupa fisik maupun nonfisik, misalnya: rencana, kebijakan, program, tersosialisasi. Indikator keluaran dapat menjadi landasan untuk menilai kemajuan suatu kegiatan apabila target kinerjanya (tolok ukur) dikaitkan dengan sasaran-sasaran kegiatan yang terdefinisi dengan baik dan terukur. Karenanya, indikator keluaran harus sesuai dengan tugas pokok dan fungsi unit organisasi yang bersangkutan. Indikator keluaran (output) digunakan untuk memonitor

6. Pokok Bahasan V Monitoring Dan Evaluasi Kerjasama Antar Daerah

83

seberapa banyak yang dapat dihasilkan atau disediakan. Indikator tersebut diidentifikasikan dengan banyaknya satuan hasil, produk-produk, tindakan-tindakan, dsb. Contoh output:  Jumlah izin yang dikeluarkan;  Jumlah panjang jalan yang diperbaiki;  Jumlah orang yang dilatih;  Jumlah kasus yang dikelola;  Jumlah dokumen yang diproses; d. Use of output (manfaat keluaran) Peningkatan atau perbaikan aktivitas sebagai lanjutan dari dihasilkannya output kegiatan. Hal ini dapat ditunjukkan dengan peningkatan partisipasi stakeholders dalam proses penyelesaian masalah. Contoh-contoh:  Komunikasi yang lebih baik dari sektor swasta dalam mengemukakan kebutuhan legalitas  Publik-swasta bersama-sama melakukan monitoring kegiatan. e. Outcome (manfaat langsung kegiatan/proyek) Segala sesuatu yang mencerminkan berfungsinya keluaran kegiatan pada jangka menengah (efek langsung), yang terdiri atas tersusunnya arahan/program kegiatan. Indikator hasil (outcome) merupakan ukuran kinerja dari program dalam memenuhi sasarannya. Pencapaian sasaran dapat ditentukan dalam satu tahun anggaran, beberapa tahun anggaran, atau periode pemerintahan. Sasaran itu sendiri dituangkan dalam fungsi/bidang pemerintahan, seperti keamanan, kesehatan, atau peningkatan pendidikan. Ukuran hasil (outcome) digunakan untuk menentukan seberapa jauh tujuan dari setiap fungsi utama, yang dicapai dari output suatu aktivitas (produk atau jasa pelayanan), telah memenuhi keinginan masyarakat yang dituju. Contoh: peningkatan infrastruktur, peningkatan kualitas pelayanan kesehatan. f. Impact (Dampak tak langsung) Pengaruh yang ditimbulkan baik aspek ekonomi, sosial, budaya, ekologi yang bersifat positif maupun negatif pada setiap tingkatan indikator berdasarkan asumsi yang ditetapkan, yang tercermin dari hasil dan kelancaran proses pembangunan. Contoh: peningkatan kualitas kesehatan, pendidikan, dll. g. Highly aggregated impact (Dampak agregat) Dampak agregat merupakan akumulasi dari banyak dampak yang ditimbulkan oleh berbagai aktivitas. Jadi dampak ini bukan hanya dihasilkan oleh aktivitas yang kita lakukan, namun ada banyak aktivitas lain yang turut menyumbang peran sehingga menghasilkan dampak makro. Contoh: peningkatan index pembangunan manusia, peningkatan kesejahteraan, dll. Di bawah ini adalah gambar impact chains berupa proses kegiatan dari latar belakang dampai dengan dampak tak langsung yang dihasilkan.


84

Modul Konsep Dasar Kerjasama Daerah

6. Pokok Bahasan V Monitoring Dan Evaluasi Kerjasama Antar Daerah

Dalam konteks kualitas monitoring dan evaluasi, ada beberapa hal lain yang harus diperhatikan: 1. Ketersediaan data dan dokumentasi yang mendukung (lengkap, akurat, serial) 2. Narasumber yang tepat dan paham benar dengan proses pelaksanaan kegiatan (pelaku, pendukung, peserta, penerima dampak, dll.) 3. Standard baku untuk mengukur parameter input dan capaian-capaian.

Highly Aggregated Impact Impact (=Indirect Benefit) Attribution Gap Outcome (=Direct benefit) Use of Output

The complexity of the project determines the location of the attribution gap

Output

85

Pemangku Kepentingan Monitoring dan Evaluasi

Activities Core Problem

Sumber: Dr. Julius Spatz: GTZ Approach to BIC Reform and Impact Chains, 2006.

Gambar. 19. Impact Chains

Dalam gambar di atas terdapat istilah attribution gap yang berada di antara level outcome dan impact. Attribution gap merupakan pemisah antara manfaat langsung kegiatan yang dapat diukur atau dinilai dengan dampak yang sukar diukur karena ada banyak faktor lain yang turut berperan. Gap ini pula yang membagi menjadi dua level monitoring, yaitu: 1. Monitoring sampai dengan level outcome:  Mengukur seberapa jauh outcome yang diasumsikan telah tercapai.  Identifikasi faktor eksternal yang berdapak positif/negatif pada proses pencapaian outcome 2. Monitoring di atas attribution gap, yaitu memberikan deskripsi tentang kemungkinan kontribusi proyek/kegiatan pada level dampak. Jadi, dalam hal pelevelan monitoring tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa monitoring pada level outcome lebih akurat daripada monitoring di atas attribution gap. Lebih jauh lagi, Dr. Julius Spatz mengemukakan bahwa monitoring mempunyai dua sisi manfaat/tujuan, yaitu untuk membuktikan dampak kegiatan dan untuk memperbaiki proses kegiatan. Tabel 10. Dualisme Tujuan Monitoring “Membuktikan Dampak”

“Memperbaiki Proses”

Tujuan Utama

Mengukur dampak intervensi seakurat mungkin

Memahami proses dan mekanisme transmisinya

Audiens Utama

Researchers, HQ, membuat kebijakan, pembuat program

Project managers staf lapangan lembaga donor, mitra

Time Frame

Sampai proyek/kegiatan selesai

Paruh waktu dan sampai proyek/kegiatan selesai

Indikator

“Outcomes”

“Use of Output” dan yang di bawahnya

Ada dua bentuk keanggotaan/Tim monev: 1. Masuk dalam struktur pengelolaan Bersama-sama dengan staf lain ikut andil dalam perencanaan, perumusan, dan pelaksanaan kegiatan yang diatur sesuai dengan mekanisme manajemen yang telah disepakati. 2. Terpisah dari struktur pengelolaan (independen) Tim monev ini melaksanaan tugas seusia dengan apa yang diperintahkan oleh manajemen program, namun tidak berhak dalam menyusun/merumuskan program. Dalam hal ini tugasnya hanya sebatas memberikan laporan monev dan memberikan rekomendasi sesuai dengan kontrak yang disepakati. Dalam pelaksanaannya, Monitoring dan Evaluasi dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain: 1. Monev Silang Biasanya dilakukan dengan interaksi antar beberapa kelompok, biasanya dengan cara kunjungan kepada kelompok lain yang sedang mengerjakan proyek yang sama misalnya dengan cara studi banding, pertemuan antar desa, kunjungan bersama dan lain-lain. Hal ini dapat dilakukan dimana saja dan kapan saja. 2. Monev oleh Pihak Luar Metode ini memungkinkan kita belajar kepada orang lain yang mempunyai pandangan yang lebih jernih terhadap permasalahan yang dihadapi. Idealnya evaluator dari luar memenuhi syarat-syarat: 1. Memiliki pengalaman dalam melakukan evaluasi 2. Memahami program atau kegiatan yang akan dilakukan 3. Tidak terlibat langsung dalam kegiatan 4. Mampu menjadi fasilitator untuk menggali informasi dari semua pihak. Cara yang biasa dilakukan oleh evaluator luar dalam bekerja: 1. Pemeriksaan dokumen 2. Diskusi 3. Wawancara 4. Rapat khusus monev 5. Monev bersama


86

Modul Konsep Dasar Kerjasama Daerah

Biasanya dilakukan ketika kelompok yang terlibat dalam perencanaan dan pelaksanaan proyek sepakat untuk melakukan monitoring bersama, sehingga dapat menilai kesuksesan dan kegagalan proyek secara bersama-sama. Pemangku kepentingan yang terlibat dalam monitoring dan evaluasi KAD:  Masyarakat atau perwakilan masyarakat  LSM  Pemerintah  Lembaga donor  Sebuah kelompok kerja khusus yang dibentuk oleh manajemen  Komunitas sasaran yang relevan  Spesialis monitoring dan evaluasi  Kombinasi semua pihak di atas

6. Pokok Bahasan V Monitoring Dan Evaluasi Kerjasama Antar Daerah

87


88

Modul Konsep Dasar Kerjasama Daerah

7. PENUTUP


90

Modul Konsep Dasar Kerjasama Daerah

Kerja sama antardaerah merupakan sebuah terobosan pembangunan daerah dengan mengedepankan konsep kewilayahan. Artinya pembangunan di masa kini harus lebih berorientasi pada skala wilayah, bukan lagi daerah per daerah. Kepentingan bersama adalah kunci sustainable development, bila tidak bersatu maka akan merugi. Pemerintah pusat juga telah memberikan dukungan berupa peraturan yang mendukung kerja sama antardaerah, jadi tidak ada alasan lagi bagi daerah untuk saling bekerja sama dalam aliansi pembangunan kewilayahan. Dengan kerja sama, niscaya tidak ada lagi persaingan tidak sehat antardaerah bertetangga, yang ada saling dukung dan saling bantu, karena satu sama lain saling bergantung. Inilah daya saing wilayah. Dalam kepentingan yang lebih besar, kerja sama antardaerah akan semakin memperkokoh negara kesatuan Republik Indonesia. Pengelolaan kerja sama antardaerah sendiri telah diatur dalam PP 28/2018 beserta Permendagri 22 dan 23 Tahun 2009. Alternatif pengembangan lembaga kerjasama antardaerah juga sudah banyak referensi, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Mulai dari bentuk sekretariat bersama maupun dalam bentuk profesional seperti Regional Management. Jadi saat ini pemerintah, baik pusat maupun daerah, sudah memiliki gambaran yang lebih komprehensif mengenai potensi kerja sama antardaerah sebagai inovasi mutakhir dalam membangun daerah. Pembiayaan kerja sama antar daerah juga sudah banyak referensi serta telah ada rujukan peraturannya. Kalau mau dan mampu untuk kreatif, sumber pembiayaan yang tersedia tidak terbatas. Dengan pengelolaan KAD yang profesional, sumber pembiayaan akan terbuka dengan sendirinya, baik untuk membiayai operasional lembaga kerja sama maupun untuk membiayai pembangunan wilayah. Di samping itu, pengelolaan yang profesional akan memberikan nilai lebih bagi daerah, terutama dalam konteks meningkatkan investasi, menciptakan lapangan kerja, meningkatkan sumber daya manusia, meningkatkan usaha kecil di berbagai sektor, sehingga dalam rantai dampak akan terlihat peningkatan kesejahteraan masyarakat. Memang membangun kerja sama antardaerah yang sukses dan berkesinambungan tidak semudah membalik telapak tangan. Tentu banyak yang skeptis, membangun satu daerah dengan susah payah belum tentu berhasil, apalagi membangun harmonisasi wilayah yang terdiri dari banyak ego dan kepentingan. Namun justru di situ titik kritisnya. Kita sering tidak menyadari bahwa ada berkah di balik semua masalah. Kita tidak sadari bahwa dalam membangun daerah itu terkadang jawabannya ada di daerah tetangga, ada di depan mata. Tidak perlu bersaing saling mengalahkan, tapi bersanding dalam sinergi kerja sama. Kuncinya pada kemauan antardaerah dan dilaksanakan dengan komitmen tinggi, dan jadikan kerja sama sebagai salah satu prioritas dalam membangun daerah. Mungkin saat ini orientasi pembangunan daerah di Indonesia masih berkutat pada masalah administrasi dan fokus pembangunan di daerah masing-masing. Inilah zona nyaman, kita hanya mengalokasikan sedikit waktu tentang bagaimana rumitnya sinkronisasi pembangunan antardaerah, karena ada struktur pemerintahan di atas yang lebih wajib dan berwenang untuk melaksanakannya.

7. Penutup

91

Dengan kerja sama, tentu akan membutuhkan banyak waktu dan energi, kita akan ikut mencari solusi atas masalah daerah lain. Namun, dalam konteks kewilayahan, kerja sama antardaerah ini artinya semua permasalahan (dan potensi) yang dimiliki oleh masingmasing daerah adalah saling memengaruhi. Mengutip dari pepatah, sebuah tim (daerahdaerah yang bekerja sama) bukan sekedar sekumpulan daerah yang menjadi satu, tetapi di dalamnya ada proses saling memberi dan menerima. Jadi, segeralah bekerja sama dan raih kesuksesan pembangunan kewilayahan.


DAFTAR PUSTAKA


94

Modul Konsep Dasar Kerjasama Daerah

Daftar Pustaka

95

Abdurahman, Benjamin. 2005. “Pemahaman Dasar Regional Management dan Regional Marketing”. Semarang: IAP Jateng. GTZ – RED. 2007. Regional Economic Strategic Program. Klaten: GTZ RED Jawa Tengah Pratikno. 2007. Kerjasama Antar Daerah: Kompleksitas dan Tawaran Format Kelembagaan. Jogjakarta: Program S2 Politik Lokal dan Otonomi Daerah UGM Jurusan Ilmu Pemerintahan (JIP) Fisipol UGM

Richardson, H.W., 1978, Regional and Urban Economics, Middlesex.

GTZ – RED. 2007. Regional Economic Strategic Program. Klaten: GTZ RED Jawa Tengah

Priebst, A. 2001. Die Gestaltung der Stadtregion – eine Zukunftsaufgabe; Sonderdruck aus: Bayerische Akademi der Schoenen Kuenste (Hrsg.): Jahrbuch 15, Muenchen

Pratikno. 2007. Kerjasama Antar Daerah: Kompleksitas dan Tawaran Format Kelembagaan. Jogjakarta: Program S2 Politik Lokal dan Otonomi Daerah UGM Jurusan Ilmu Pemerintahan (JIP) Fisipol UGM

Rustiadi E. et.al. 2004. Perencanaan Pengembangan Wilayah, Konsep Dasar & Teori, Faperta IPB Maier, Gunter; Toedling, Franz, 1996. Regional- und Stadtoekonomik. 2Wien Springer Verlag

Peraturan ; Undang - Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Otonomi Daerah

Pratikno. 2008. Hibah dan Bantuan Daerah SE MDN no. 900/2677/sj – 8 nop 2007. Materi paparan Departemen Dalam Negeri Direktorat Jenderal Bina Administrasi Keuangan Daerah

Undang – undang No. 9 Tahun 2015 Tentang Pemerintahan Daerah Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah.

Munir, Badrul. 2002. Perencanaan Pembangunan Daerah, dalam Perspektif Otonomi Daerah. Mataram: Bappeda Propinsi NTB

Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 22 Tahun 2010 Tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Kerj Sama Daerah

Munir, Badrul. 2007. Regional Economic Strategic Program. Klaten: GTZ RED Jawa Tengah Abdurahman, Benjamin.2014.Destination Management Organization (DMO) Diskursus Konsep Dasar Tata Kelola Kawasan Pariwisata dalam konteks Collaborative Governance di Indonesia ; Jurnal Kepariwisataan Indonesia Vol. 9 . P. Weichhart, 2002, Globalization – Die Globalisierung und ihre Auswirkungen auf die Regionen. – In: H. DACHS und R.FLOIMAIR, Hrsg., Salzburger Jahrbuch für Politik 2001. – Salzburg, (Schriftenreihedes Landespressebüros, Sonderpublikationen, Nr. 180). Turowski & Lehmkühler. 1999. Raumordnerische Konzeptionen.Einführung und Überblick. – In: Grundriß der Lande- und Regionalplanung. Akademie für Raumforschung und Landesplanung,Hannover. Sugiono & Benjamin Abdurahman et al. 2004.(MPWK, 2004) Regional Management dan Regional Marketing, Magister Pembangunan Wilayah & Kota – UNDIP, Semarang. Selle, Klaus. 1994. Was ist bloß mit der Planung los? Erkundungen aufdem Weg zum kooperativen Handeln. Ein Werkbuch. Dortmund: Inst.f. Raumplanung. Burns, T. & G.M. Stalker 1994. The Management of Innovation. Oxford:Oxford University Press. Blair, John P. 1991. Urban and Regional Economics. Homewood, IL: Irwin Boye, P. 1997. Market- Policy- and Concept-driven IntegrationProcesses: Three Transnational Regions Compared. In TheÖresund Region Building, ed. Berg, P-O & Lyck, L. Copenhagen:Nyt fra Samfundsvidensk.

Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 23 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Pembinaan dan Pengawasan Kerja Sama Daerah. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2018 Tentang Kerja Sama Daerah. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 22 Tahun 2009 Tentang Petunjuk Teknis Tata Cara Kerja Sama Daerah Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 23 Tahun 2009 Tentang Tata Cara Pembinaan dan Pengawasan Kerja Sama Antardaerah Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 59 Tahun 2007 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerja Sama Daerah. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Permendagri No. 59 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 13 tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.



NSLIC/NSELRED Project: World Trade Center (WTC) 5, 10th floor Jl. Jenderal Sudirman Kav. 29-31 Jakarta 12920, Indonesia Tel: +62 21 5262282, +62 21 526 8668 www.nslic.or.id

NSLIC Project

@NslicNselred


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.