PAMERAN TUNGGAL Orbital Dago Jl. Rancakendal Luhur No.7 Bandung 40192 4 - 27 Agustus 2023 MERAMPOK KEGILAAN Dwi Putro MENbAndung rt month 6 www.bdgconnex.net 20 Aug - 20 Sept 2023 NG Dikuratori oleh Hilmi Faiq (Kurator Bentara Budaya Jakarta E-katalog
MERAMPOK KEGILAAN
Pameran Tunggal Dwi Putro (Pak Wi)
Dikuratori Hilmi Faiq
4 – 27 Agustus 2023
Di Orbital Dago
Jl. Rancakendal Luhur No 7. Bandung
Cerita Di Balik Pak Wi
Lebih setahun yang lalu Nawa Tunggal dan sang kakak, Dwi Putro, akrab disapa Pak Wi, sempat berkunjung ke Orbital Dago dan meminjam rumah Joglo untuk menjajal karya-karya lukisan yang akan dipamerkan di Art Jog 2022. Presentasi ini dihadiri kurator Art Jog kala itu, Agung Hujatnikajenong.
Lukisan – lukisan tersebut menggunakan medium cat yang mengandung zat yang dapat memancarkan cahaya di kegelapan. Yang menarik adalah bagaimana cerita di balik pak Wi itu kemudian melukis dengan enerji yang tanpa batas. Itu memang unik. Nawa memperlihatkan kepada saya ratusan gambar dalam buku-buku sketsa dan lukisan – lukisan lainnya, konon jumlahnya sudah ribuan.
Pak Wi merupakan sosok “seniman” yang tak lazim. Ia masih menampakkan gejala skizofrenia residual yang masih menampak pada tulisannya yang melompat-lompat dan terbelah. Hidupnya bergantung kepada sang adik, yang sadar dan tahu betul bagaimana sang kakak berperilaku. Saya menawarkan Pak Wi dan Nawa berpameran di Orbital Dago. Mereka berdua pun punya nama DWI-TUNGGAL ; berdua tapi sekaligus satu kesatuan.
Orbital Dago pernah menyelenggarakan karya-karya seniman difabel tahun 2022. Hal ini untuk membuka kesempatan kaum difabel menunjukan kekaryaannya kepada publik. Menjadi agenda yang tak kalah penting , karena para difabel juga mempunya daya artistik yang cukup menarik untuk kita pelajari serta diapresiasi.
Maka dalam penyelenggaraan ini , Pameran Seni Rupa “Merampok Kegilaan” menarik untuk disimak oleh publik luas. Ada wacana kegilaan dalam arti sesungguhnya. Maka Orbital Dago menghaturkan terima kasih sebesar-besarnya kepada pihak terkait, termasuk Pak Wi dan Nawa Tunggal, juga pihak kurator dan penulis, Hilmi Faiq , Bapak Syakieb Sungkar yang berkenan membuka pameran ini, serta Lena Guslina yang berkenan berpartisipasi di dalam pembukaan pameran.
Selamat mengapresiasi.
Salam
Rifky “ Goro” Effendy
Orbital Dago
Sambutan Orbital Dago
Sebuah pengantar
Hormat Kepada Kegilaan
“… kegilaan dirampok dari kebenarannya yang kecil sebagai kegilaan, jika disebut sebagai karya seni.” (Michel Foucault)
Nawa Tunggal (49) menafsir ada pesan tersembunyi dari kutipan di atas, yakni kegilaan dan karya seni memiliki kesamaan. Karena itulah kegilaan bisa dirampok dari kebenarannya yang kecil, dan disebut sebagai karya seni. Di balik itu, ada sesuatu yang sifatnya mendalam. Nawa menangkap ada pesan Foucault yang lain, yaitu agar kegilaan juga dihormati sama halnya dengan karya seni. Di dalam bukunya yang berjudul, Kegilaan dan Peradaban (1961), Foucault juga menuliskan bahwa kegilaan bukan kejatuhan, bukan aib, melainkan sebuah tatanan baru untuk dimengerti.
Nawa berusaha untuk mengerti tentang kegilaan dan membuat sebuah penghormatan terhadap kegilaan kakak kandungnya, Dwi Putro (59). Ia mengajak Pak Wi, sapaan akrab Dwi Putro, untuk melukis. Melukis menjadi kegemaran Pak Wi. Bahkan, katarsisme Pak Wi tidak pernah pupus. Ia akan terus-menerus melukis, selagi ada cat dan bidang gambarnya.
Dari katarsisme Pak Wi yang melukis tidak pernah pupus, Nawa memahami apa yang disebut Foucault sebagai kegilaan. Lukisan-lukisan yang dihasilkan Pak Wi inilah kegilaan. Lukisan-lukisan Pak Wi yang begitu melimpah seperti terlahir dari rahim Gendari yang membuahkan 100 Kurawa dalam satu persalinan. Karya-karya Pak Wi seperti ini mungkin saja tidak akan terlahir, jika tanpa kegilaan.
Tanpa disadari, Nawa sering memamerkan karya-karya kegilaan Pak Wi di ruang publik maupun media sosial dan menyebutnya sebagai karya seni. Hingga titik waktu terkini Nawa menyadari hal ini sama halnya dengan merampok kegilaan Pak Wi. Nawa merampok kegilaan dan berusaha mengenakan baju kolaborasi seni rupa Dwi Tunggal, kolaborasi antara Dwi Putro dan Nawa Tunggal. Dwi Tunggal menjadi perpaduan kedua nama itu. Mungkin saja ini sudah ditakdirkan untuk saling melebur.
Kolaborasi Dwi Tunggal mengesampingkan kemurnian dari perluasan mazhab seni rupa Barat yang menjadi kanon art brut atau outsider art. Art brut atau outsider art disematkan bagi karya-karya artistik yang dilakukan penyandang gangguan mental. Bagi karya Pak Wi, kritik yang terjadi adalah munculnya campur tangan orang lain, yaitu Nawa. Pada akhirnya, karya artistik Pak Wi dianggap tidak murni lagi sebagai art brut atau outsider art. Ini menuntun dan memberikan baju kolaborasi Dwi Tunggal. Tidak ada lagi label art brut atau outsider art. Begitu pula, kolaborasi Dwi Tunggal menjauhkan diri dari konsep terapi seni, karena Nawa tidak tahu sebenarnya siapa yang harus diterapi. Dengan demikian, kolaborasi Dwi Tunggal berpijak pada konsep kesetaraan. Kesetaraan bukan kesamaan, tetapi dua hal berbeda untuk saling melengkapi demi meraih keinginan bersama.
Pak Wi memiliki karunia gangguan mental, rungu, dan wicara semenjak masa remaja. Manifestasi gangguan mentalnya sampai sekarang di tahun 2023 ini masih terlihat di saat menulis kata yang melompat-lompat. Tampak gejala skizofrenia residual. Pada awalnya, pendengarannya terganggu. Seorang dokter pernah memeriksa selaput gendang telinga Pak Wi tersobek sekitar 80 persen. Banyak faktor yang mungkin menjadi penyebabnya : benturan, demam dengan panas tubuh terlalu tinggi, atau memang organnya terlalu rentan. Gangguan pendengaran ini berdampak pada keengganannya untuk berbicara.
Satu dua patah kata masih bisa diucapkan Pak Wi dengan gagu. Biasanya, Pak Wi mengucapkannya ketika meminta warna cat lukis tertentu yang sudah habis. Di saat melukis, Dwi Putro selalu meminta iringan lagu dari siaran radio. Ini menunjukkan gendang telinganya masih berfungsi sebagian.
Gangguan pendengaran ini ditengarai terjadi di saat Pak Wi duduk di bangku SD kelas 3 atau sekitar usia 9 tahun. Pak Wi kemudian berpindah ke Sekolah Luar Biasa (SLB) khusus tunarungu. Ketika menjelang usia dewasa sekitar 17 tahun, gangguan otak terjadi dan inilah yang kemudian secara awam disebut sebagai gangguan mental yang menetap hingga saat ini. Gangguan otak inilah yang memengaruhi perilaku Pak Wi yang tidak lazim seperti orang kebanyakan, termasuk melukis tak henti-hentinya setiap waktu. Di sinilah kegilaan itu.
Melalui pameran karya kolaborasi Dwi Tunggal ini menghadirkan secara visual antara kegilaan dan karya seni. Masyarakat seni rupa, maupun masyarakat luas semoga bisa memetik hikmah dan pengetahuan baru. Diawali karya Merampok Kegilaan (2023). Ini sebuah instalasi gambar atau drawing dengan media berukuran kecil yang jumlahnya mencapai 960 lembar dengan cat air gouache di atas kertas 9,1 X 13 Cm. Lukisannya wajah-wajah orang. Di antara wajah-wajah itu mulai tampak rona bahagia dan senyuman. Sebelum itu, Pak Wi biasanya melukis wajah dengan seringai kemarahan. Anak kecil sering takut menatap lukisan wajah yang terkesan marah itu.
Bidang karya Merampok Kegilaan dibagi dua bagian. Satu bagian di atas dengan satu gambar yang dibingkai sebagai artwork atau karya seni. Jika tanpa melihat bagian berikutnya, mudah dimaklumi ini satu karya ini sebagai karya seni. Ketika melihat bagian berikutnya, berupa kumpulan gambar yang mirip di atasnya dengan jumlah banyak itu akan lebih mudah menggiring kepada permakluman sebagai madness atau kegilaan. Mungkin saja akan muncul ungkapan, “Gila!” Di sinilah pengertian kegilaan dan karya seni terbentang. Karya seni dari merampok kegilaan.
Karya-karya berikutnya menunjukkan gejala sama. Intensitas karyanya memang tidak sebanyak gambar wajah, tetapi dengan ukuran media lebih besar. Ada pengelompokan. Untuk karya Arjuna Menyusui, Hendra Gunawan dan Cicak, serta Mandi di Sungai, menjadi kelompok karya lukisan Pak Wi yang mencontoh lukisan-lukisan Hendra Gunawan (1918—1983). Medianya menggunakan cat air dan pastel di atas kertas berukuran 35 kali 49 Cm.
Pengelompokan berikutnya pada karya lukisan bunga. Medianya cat minyak di atas kanvas berukuran 45 kali 57 Cm. Emosi Pak Wi lebih terasa pada kuasan cat minyak ini. Kemudian pengelompokan lukisan mobil dengan media cat akriliks di atas kanvas berukuran 42 kali 59 Cm dan media cat minyak di atas kanvas berukuran 93 kali 140 Cm. Nawa memiliki kesan tersendiri tentang mobil-mobil ini. Semasa kecil, Nawa sering memerhatikan Pak Wi corat-coret di atas kertas dan menggambar mobil-mobil balap yang futuristik itu.
Lukisan seri potret diri berjudul, Ada Nasi Ada Hari, menampilkan Pak Wi sedang makan. Pak Wi melukis dari foto dirinya yang sedang makan. Demikianlah pameran ini menyajikan dualisme kegilaan dan karya seni dengan harapan untuk kita makin hormat terhadap kegilaan.
Bintaro, 27 Juni 2023
Nawa Tunggal
Adik, pengiring Dwi Putro
Catatan Kuratorial
Dalam Pusaran Kegilaan
Seorang gubernur di ujung timur Indonesia ditangkap komisi antirasuah lantaran menggelapkan uang rakyat. Dalam sehari dia menghabiskan dana Rp 1 miliar hanya untuk biaya makan-makan. Padahal kemiskinan di kota tempat dia berkantor mencapai 41.000 jiwa.
Hampir bersamaan dengan itu, seorang Menteri dicopot dan jadi pesakitan atas dugaan korupsi Rp 8 triliun. Mungkin sebagian orang belum bisa membayangkan visual uang sebanyak Rp 8 triliun itu. Rp 1 miliar sama dengan 9,4 kg atau Rp 1 triliun sama dengan 94 tom jika menggunakan pecahan seratusan ribu. Artinya, Uang Rp 8 triliun setara dengan 75,2 ton.
Mari kita coba tumpuk uang itu. Selembar uang seratus ribu memiliki ketebalan 0,01 cm. Jika uang Rp 8 triliun itu ditumpuk, tingginya mencapai 8 km. Tinggi Monas, Menara Eifel, Menara Petronas, hingga bangunan tertinggi di dunia Burj Khalifa yang hanya 828 meter tentu kalah tinggi dengan tumpukan uang hasil korupsi tersebut.
Dulu, orang akan berkomentar “gila” terhadap peristiwa ini. Mungkin juga hari ini beberapa orang masih menganggapnya gila. Itu tadi hanya dua contoh dari sekian ratus atau bahkan ribu tindak korupsi oleh orang-orang yang memiliki (akses) kekuasaan. Maka, hari-hari ini, jika ada penguasa yang sengaja tidak korupsi, dia bisa dianggap liyan, aneh.
Kita sama-sama paham tentang kecenderungan korup itu, hingga muncul anggapan bahwa pejabat yang ditangkap karena korupsi hanya karena sial atau tentang “dikerjai” oleh lawan politiknya. Para tersangka yang akhirnya jadi terpidana pun terus terang dan lantang berteriak tak pernah korupsi. Bahkan bisa jadi, setelah usai menjalani hukuman pidana, dia kembali mencalonkan diri sebagai wakil rakyat atau kepala daerah.
Michel Foucault, filsuf, sejarawan, ahli teori sosial, ahli bahasa, dan kritikus sastra menyebut bahwa konsepsi kegilaan lebih mungkin dilihat sebagai bentuk penyimpangan dan kecenderungan mayoritas masyarakat. Seseorang dianggap gila jika berpikir dan bertindak melawan atau tak sesuai dengan kelaziman, cara berpikir, dan logika mayoritas. Dengan kata lain, ketika kegilaan itu dilakukan bersama-sama dan menjadi ulah mayoritas, maka tidak lagi disebut kegilaan, justru menjadi kewarasan.
Dalam konteks itulah, ramalan Rangawarsito dalam Serat Kalatidha tampak nyata. Amenangi jaman edan. Ewuh aya ing pambudi melu edan ora tahan. Yen tan melu anglakoni, boya kaduman melik… katanya zaman edan, kalau tidak ikut edan, tidak kebagian.
Hari-hari ini, negeri ini tengah menuju pesta pora keedanan, kegilaan. Menjelang pemilu, tiba-tiba banyak sekali orang berubah jadi baik. Meskipun sebelumnya mungkin kita tak mengenalnya atau dia pura-pura tak mengenal kita. Nanti setelah pemilu, mereka kembali melupakan kita dan tenggelam dalam kegilaannya.
Pada saat bersamaan, ada orang-orang seperti Pak Wi (59) yang telah lama dicap gila oleh mayoritas karena tingkah, cara berpikir, cara bertutur, dan pola interaksinya tidak sesuai standard mayoritas. Orang-orang pengidap Skizofreia seperti Pak Wi ini, banyak sekali yang masih mengalami pemasungan fisik sebagaimana terjadi di Eropa pada era sebelum abad ke-19. Sebagian besar lainnya harus tunduk di bawah kuasa psikiater, terapis atau dokter.
Para psikiater, terapis atau dokter tadi mempunyai kuasa penuh atas orang-orang yang kemudian dilabeli gila ini. Mere-
ka diisolasi dalam keheningan rumah sakit jiwa yang kadang riuh tapi sepi, sepi dari sentuhan cinta. Mereka dengan halus atau kasar dipaksa mengakui kegilaannya sebelum dipaksa mengikuti serangkaian terapi dan jadwal minum obat yang ketat untuk mengoreksi kegilaannya. Itu proses panjang yang menyiksa.
Nawa Tunggal menolak itu dengan memperlakukan Pak Wi bukan sebagai orang gila. Baginya, Pak Wi butuh ditemani dan dicurahi kasih sayang. Maka sejak 23 tahun yang lalau Nawa Tunggal mencoba membaca dan memahami dorongan dalam diri Pak Wi yang tidak pernah terkatakan dengan jelas. Sebab Pak Wi yang mengidap skizofrenia residual ini punya kendala wicara dan pendengarannya hanya berfungsi tak lebih dari 20 persen. Rasa cinta sebagai adiklah yang menuntun Nawa untuk memahami Pak Wi dan selama itu pula dia mencurahkan pikiran, tenaga, dan sumber daya demi Pak Wi.
Nawa Tunggal mendorong agar energi dalam diri Pak Wi tersalurkan dengan benar. Pada satu titik, Nawa melihat Pak Wi menemukan dirinya ketika mencorat-coret dengan arang atau menorehkan kuas dan cat di atas canvas. Itu bisa sampai 24 jam tanpa henti jika kanvas atau cat belum habis. Kegilaan Pak Wi bertransfomasi menjadi karya seni yang tulus, jujur, dan tanpa pretensi kecuali mengikuti dorongan dalam diri.
Lambat laun Pak Wi seperti menemukan dirinya dan bisa menyesuaikan dengan kecenderungan mayoritas. Dia tertib mandi, berpakaian layaknya orang kebanyakan, dan bahkan berinteraksi dengan orang lain meski masih terbatas. Dengan kata lain, Pak Wi belajar mengoreksi diri untuk bisa diterima mayoritas. Pak Wi sedang menuju batas-batas kegilaan yang disandangkan kepadanya dengan melakukan kegilaan yang lain, yakni melukis tiada henti.
Melihat perkembangan itu, pada level tertentu Nawa merasa telah merampok kegilaan Pak Wi. Apalagi sampai memamerkan karya-karya Pak Wi, sesuatu yang tidak pernah terbayang oleh nawa, apalagi Pak Wi, pada 20an tahun lalu ketika masa awal Nawa amengajak Pak Wi mentas dari jalanan. Nawa boleh saja “menyalahkan diri” atas tindakannya itu sebagai bentuk pencarian eksistensial atau upaya mencari titik keseimbangan antara praktik mencintai kakak dan berkesenian. Namun dalam level lain, perampokan kegilaan ini wujud cinta itu sendiri. Kehadiran Pak Wi berikut karya-karyanya di ruang publik memberi energi besar yang mendorong mereka untuk tumbuh dan berkembang sebagai dua figur inspiratif.
Karya-karya dalam pameran Merampok Kegilaan ini menjadi bukti nyata perjalanan panjang tersebut. Mencintai dan menemani Pak Wi, adalah proyek tanpa akhir. Proyek sepanjang hayat. Tentu saja nilainya mulia sekali, berbeda dengan proyek-proyek rebutan uang rakyat di atas. Dalam pameran ini kita lalu merenung, siapa yang sebenarnya gila?
Rangawarsito bilang, begja begjane kang lali, luwih begja kang eling lan waspada. Betapa pun bahagianya orang yang lupa, masih lebih bahagia orang yang ingat dan waspada. Nawa adalah sedikit dari orang yang ingat dan waspada itu, sementara Pak Wi turut menjadi bagian penting dalam proses tersebut.
Bintaro,
3 Juli 2023
Hilmi Faiq
(Kurator Bentara Budaya Jakarta)
Riwayat Pameran
Dwi Putro (Lahir di Yogyakarta, 10 Oktober 1963)
2023 : - Pameran Tunggal “Bermimpi Bersama Sang Juara”, Outsider Art Jakarta.
- Pameran “Dare to Great, Dare to Collaborate, and Dare to Love”, Sunrise Gallery, Jakarta.
2022 : - Pameran “Berbunyi” di Studio Kalahan Heri Dono, Yogyakarta.
- Pameran Artjog “Expanding Awareness”, Yogyakarta.
- Pameran Yogya Annual Art #7, Bale Banjar Sangkring, Yogyakarta.
2021 : - Pameran Tunggal “Abnormal Baru” di Jogja Gallery, Yogyakarta.
- Pameran Yogya Annual Art #6, Bale Banjar Sangkring, Yogyakarta.
2020 : - Pameran untuk Festival Borderless Art Omihachiman City di Prefektur Shiga, Jepang
- Pameran Daring “Solidaritas Perupa Lawan Corona”, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
- Pameran Daring Teatrikal Lukisan “Ruwat” @budayasaya, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
- Pameran Tunggal Daring “Perempuan-perempuan Pakwi” di Museum Basoeki Abdullah Jakarta
- Pameran Daring “Still Life” di Galeri Pulau Isolasi Jun Kitazawa.
- Pameran Nandur Srawung, Taman Budaya Yogyakarta.
2019 : - Pameran Seni Rupa “Wajah Indonesia” pada Pekan Kebudayaan Nasional, Istora Senayan.
- Pameran “Outsider Artpreneur” di Ciputra Artpreneur, Jakarta.
- Pameran “Nandur Srawung” di Taman Budaya Yogyakarta.
- Pameran Bersama “Tokidoki” di Museum No-Ma, Prefektur Shiga, Jepang.
2018 : - Pameran Bersama “Spektrum Hendra Gunawan” di Museum Ciputra Artpreneur Jakarta.
- Festival Bebas Batas di Galeri Nasional Jakarta.
- Pameran Nandur Srawung, Taman Budaya Yogyakarta.
2017 : - Pameran Biennale Jakarta di Ekosistem Gudang Sarinah Jakarta
2014 : - Pameran Duo Art Brut Dwi Putro – Ni Tanjung di Bentara Budaya Bali.
2013 : - Pameran 1.001 Lukisan di Pasar Seni Ancol, Jakarta.
- Pameran Tunggal dan Penganugerahan Rekor MURI “Disabilitas Melukis Nonstop Wayang Sepanjang 88 Meter” di Bentara Budaya Jakarta.
2009 : - Pameran Bersama “Soponyono” di Taman Budaya Yogyakarta.
- Pameran Biennale Jogja X di Yogyakarta.
KARYA - KARYA
Merampok Kegilaan (2023)
Cat akriliks di atas Karton per panil 9,1 X 13 Cm 960 panil
Detail
Merampok Kegilaan (2023)
Cat akriliks di atas kanvas per panil 9,1 X 13 Cm
Hendra Gunawan dan Cicak (2018)
Cat air dan pastel di atas kertas 35 X 49 Cm
Arjuna Menyusui (2018)
Cat air dan pastel di atas kertas 35 X 49 Cm
Mandi di Sungai (2018)
Cat air dan pastel di atas kertas 35 X 49 Cm
Bunga Matahari (2023)
Cat minyak di atas kanvas 45 X 57 Cm
Bunga Mawar Merah (2023)
Cat minyak di atas kanvas 45 X 57 Cm
Bunga Mawar Putih (2023)
Cat minyak di atas kanvas 45 X 57 Cm
Mobil Balap #1 (2023) Cat akriliks di atas kanvas 42 X 59 Cm
Mobil Balap #2 (2023) Cat akriliks di atas kanvas 42 X 59 Cm
Mobil Balap #3 (2023)
Cat akriliks di atas kanvas
42 X 59 Cm
Mobil Balap #1 . 2023
Cat Minyak diatas kanvas
133,5 x 83,5 cm
Mobil Balap #3 . 2023
Cat Minyak diatas kanvas 133,5 x 83,5 cm
Mobil Balap #3 . 2023
Cat Minyak diatas kanvas
133,5 x 83,5 cm
Seri Mobil Balap . 2023
Cat Akrilik diatas Karton
Seri Alam . 2023
Cat Akrilik diatas Karton
Seri Wayang . 2023
Cat Akrilik diatas Karton
38
53 Cm
Cantik #1 (2019) Cat air dan pastel di atas kertas
X
Cantik #2 (2019)
Cat air dan pastel di atas kertas 38 X 53 Cm
Cantik #3 (2019)
Cat air dan pastel di atas kertas 38 X 53 Cm
Ada Nasi Ada Hari #1 (2023)
Cat minyak di kanvas yang dilekatkan di karton 65 X 77 Cm
Ada Nasi Ada Hari #2 (2023)
Cat minyak di kanvas yang dilekatkan di karton 65 X 77 Cm
Ada Nasi Ada Hari #3 (2023)
Cat minyak di kanvas yang dilekatkan di karton 65 X 77 Cm
Terima Kasih
Kepada :
Syakieb Sungkar
Lena Guslina
Hilmi Faiq
Rifky “Goro” Effendy
Tim Orbital Dago
Beserta semua pihak yang terlibat di dalam
penyelenggaraan pameran ini.