7 minute read

• Formula Nutrimon Percepat Pertumbuhan Jati Plus Perhutani

Foto: Djel Mohamad/Kompersh Divre Jatim

Formula Nutrimon

Advertisement

Percepat Pertumbuhan Jati Plus Perhutani

Jati Plus Perhutani (JPP) merupakan salah satu produk unggulan Perum Perhutani. Pengelolaan dan pengembangannya selalu menjadi hal yang menarik. Termasuk penggunaan formula nutrisi hormon (nutrimon) sebagai salah satu cara untuk meningkatkan percepatan pertumbuhan tanaman Jati Plus Perhutani. Maka, penerapan inovasi berupa penggunaan nutrimon sebagai sebuah upaya inovasi pertumbuhan JPP pun perlu diapresiasi, lalu dikawal penerapannya di lapangan.

Penerapan formula nutrimon pada tanaman JPP adalah bagian inovasi yang ditelurkan di KPH Probolinggo. Hasil terapan inovasi itu terlihat tatkala

Direktur Utama Perum Perhutani,

Wahyu Kuncoro, meninjau lokasi uji coba tanaman Jati Plus Perhutani (JPP) yang menggunakan formula nutrisi hormon (nutrimon) sebagai salah satu cara untuk meningkatkan percepatan pertumbuhan tanaman

JPP, pada Kamis, 7 April 2022. Di lokasi uji coba seluas 4,7 hektare di Petak 24e, wilayah

Resort Pemangkuan Hutan (RPH)

Ranu Pakis, Bagian Kesatuan

Pemangkuan Hutan (BKPH) Klakah,

KPH Probolinggo, Wahyu Kuncoro mengatakan bahwa Perhutani terus berinovasi dalam pengembangan tanaman Jati Plus Perhutani (JPP). Wahyu Kuncoro mengatakan di lokasi yang termasuk wilayah

Kabupaten Lumajang itu, bahwa secara normal pertumbuhan JPP dalam waktu dua tahun batangnya hanya mencapai setinggi 3,5 meter.

Namun, jika diperlakukan khusus dengan pemberian nutrimon sebagai cairan perangsang pertumbuhan, dalam waktu 16 bulan jati plus ini tingginya dapat mencapai ratarata hampir 7 meter. Penggunaan nutrimon itu sendiri dilakukan dengan cara menyayat kulit dan menyiramkan nutrimon itu ke seluruh bagian batang dan daun sebagai nutrisi tambahan.

Di kesempatan itu, Wahyu juga mengatakan, Perhutani terus berinovasi dalam pengembangan tanaman JPP guna meningkatkan produktivitas kayu. Peningkatan produktivitas kayu dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan industri furnitur kayu, baik untuk pasar di dalam maupun luar negeri. Salah satu upaya yang dilakukan yaitu dengan cara menelurlan produk inovatif. Inovasi dilakukan dengan cara penelitian melalui serangkaian kegiatan pemuliaan pohon dan menggunakan formula yang ia sebut sebagai nutrisi hormon (nutrimon).

“Karena dengan umur yang sama, diameter Jati Plus Perhutani yang menggunakan nutrimon ini jauh lebih besar dibandingkan diameter pohon jati yang ditanam secara konvensional. Pemberian nutrimon juga sebagai upaya mempercepat pertumbuhan jati untuk mendapatkan masa tebang dengan daur pendek, sehingga bisa mempercepat pendapatan perusahaan,” katanya.

Tumbuh Jauh Lebih Cepat

Jati Plus Perhutani (JPP) adalah jati cepat tumbuh yang dikembangkan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) Perum Perhutani melalui serangkaian kegiatan pemuliaan pohon. Pada umur yang sama, diameter pohon jati super ini lebih besar dibandingkan diameter pohon jati konvensional.

Lebih lanjut, Wahyu mengatakan, pemberian nutrimon pada JPP ini merupakan inovasi yang sangat luar biasa. Sebab, apabila dilihat secara fisik, Jati Plus Perhutani ini sangat jauh lebih cepat pertumbuhannya ketika memanfaatkan nutrimon.

“Kalau ini benar-benar pengaruh dari pemberian nutrimon, ini perlu direplikasi di tempat lain, khususnya di lahan-lahan yang tingkat kesuburannya rendah, dan lahan-lahan yang marginal. Sehingga, kita benar-benar memiliki formula yang sudah bisa terbukti (proven). Sehingga, di semua tempat hormon ini mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman jati,” katanya.

Sementara itu, Kepala Divisi Regional Perhutani Jawa Timur, Karuniawan Purwanto Sanjaya, di kesempatan itu pula menyampaikan, pihaknya akan mengawal upaya inovasi pertumbuhan JPP yang sudah dilakukan oleh Perhutani KPH Probolinggo. Ia pun berharap, formula nutrimon itu dapat dipatenkan sebagai hasil karya intelektual Perhutani KPH Probolinggo.

“Mudah-mudahan menjadi hak paten yang memang bagian dari sebuah inovasi, untuk meningkatkan produktivitas lahan di Perhutani,” katanya.

Seputar Jati

Jati (Tectona grandis) adalah sejenis pohon penghasil kayu bermutu tinggi. Pohon jati punya ciri khas. Pohonnya besar, berbatang lurus, dan dapat tumbuh hingga mencapai tinggi 50-70 meter. Selain itu, jati berdaun besar, yang luruh di musim kemarau. Jati memiliki daun berbentuk elips yang lebar dan dapat mencapai 30 – 60 cm saat dewasa. Daun jati yang lebar itu membuat daun jati di masa lalu dijadikan bahan pembungkus makanan, semisal nasi jamblang di daerah Cirebon.

Jati dapat tumbuh di daerah dengan curah hujan 1.500 – 2.000 mm/tahun dan suhu 27°C – °36C baik di dataran rendah maupun dataran tinggi. Tempat yang paling baik untuk pertumbuhan jati adalah tanah dengan pH 7 – 4.5 dan tidak dibanjiri dengan air.

Jati memiliki daur pertumbuhan yang lambat dengan germinasi rendah (biasanya kurang dari 50%) yang membuat proses propagasi secara alami menjadi sulit, sehingga tidak cukup untuk menutupi permintaan atas kayu jati. Umumnya, Jati yang sedang dalam proses pembibitan rentan terhadap beberapa penyakit, antara lain leaf spot disease yang disebabkan oleh Phomopsis sp., Colletotrichum gloeosporioides, Alternaria sp., dan Curvularia sp.; leaf rust yang disebabkan oleh Olivea tectonea, dan powdery mildew yang disebabkan oleh Uncinula tectonae. Phomopsis sp. merupakan penginfeksi paling banyak, tercatat 95% bibit terkena infeksi pada tahun 1993-1994.

Infeksi tersebut terjadi pada bibit yang berumur 2 – 8 bulan. Karakterisasi dari infeksi ini adalah adanya necrosis berwarna coklat muda pada pinggir daun yang kemudian secara bertahap menyebar ke pelepah, infeksi kemudian menyebar ke bagian atas daun, petiol, dan ujung batang yang mengakibatkan bagian daun dari batang tersebut mengalami kekeringan. Jika tidak disadari dan tidak dikontrol, infeksi dari Phomopsis sp. akan menyebar sampai ke seluruh bibit sehingga proses penanaman jati tidak bisa dilakukan.

Kayu jati mengandung semacam minyak dan endapan di dalam sel-sel kayunya, sehingga dapat awet digunakan di tempat terbuka meski tanpa divernis. Apalagi jika dipakai di bawah naungan atap. Jati sejak lama digunakan sebagai bahan baku pembuatan kapal laut, termasuk kapal-kapal VOC yang melayari samudera pada abad ke-17. Juga dalam konstruksi berat semisal jembatan dan bantalan rel kereta api.

Di dalam rumah, selain dimanfaatkan sebagai bahan baku furnitur, kayu jati digunakan pula dalam struktur bangunan. Rumah-rumah tradisional Jawa, misalnya rumah joglo Jawa Tengah, menggunakan kayu jati di hampir semua bagiannya. Baik tiang-tiang, rangka atap, hingga ke dindingdinding berukir.

Di dalam industri kayu sekarang, jati diolah menjadi venir (veneer) untuk melapisi wajah kayu lapis mahal; serta dijadikan kepingkeping parket (parquet) penutup lantai. Selain itu, juga diekspor ke mancanegara dalam bentuk furnitur luar-rumah. Ranting-ranting jati yang tak lagi dapat dimanfaatkan

Kayu jati mengandung semacam minyak dan endapan di dalam selsel kayunya, sehingga dapat awet digunakan di tempat terbuka meski tanpa divernis. Apalagi jika dipakai di bawah naungan atap. Jati sejak lama digunakan sebagai bahan baku pembuatan kapal laut. Juga dalam konstruksi berat semisal jembatan dan bantalan rel kereta api.

Foto: Djel Mohamad Kompersh Divre Jatim

Foto: Djel Mohamad Kompersh Divre Jatim

untuk mebel, dimanfaatkan sebagai kayu bakar kelas satu. Kayu jati menghasilkan panas yang tinggi, sehingga dulu digunakan sebagai bahan bakar lokomotif uap.

Indonesia dikenal sebagai salah satu penghasil jati dunia. Sebagian besar kebutuhan kayu jati dunia dipasok oleh Indonesia dan Myanmar. Sebagai jenis hutan paling luas di Pulau Jawa, hutan jati memiliki nilai ekonomis, ekologis, dan sosial yang penting.

Kayu jati Pulau Jawa telah dimanfaatkan sejak zaman Kerajaan Majapahit. Jati ketika itu terutama dipakai untuk membangun rumah dan alat pertanian. Sampai dengan masa Perang Dunia Kedua, orang Jawa pada umumnya hanya mengenal kayu jati sebagai bahan bangunan. Awetnya bertahan hingga bertahun-tahun. Kayu-kayu bukan jati disebut “kayu tahun”. Artinya, kayu yang keawetannya untuk beberapa tahun saja.

Selain itu, jati digunakan dalam membangun kapal-kapal niaga dan kapal-kapal perang. Beberapa daerah yang berdekatan dengan hutan jati di pantai utara Jawa semisal Tegal, Juwana, Tuban, dan Pasuruan, pun pernah menjadi pusat galangan kapal. Galang kapal terbesar dan paling dikenal berada di Jepara dan Rembang, sebagaimana dicatat oleh petualang Tomé Pires pada awal abad ke-16.

VOC (Vereenigde OostIndische Compagnie, Kompeni Hindia Timur Belanda) bahkan sangat tertarik terhadap jati hingga berkeras mendirikan loji pertama mereka di Pulau Jawa —tepatnya di Jepara— pada 1651. VOC juga memperjuangkan izin berdagang jati melalui Semarang, Jepara, dan Surabaya. Ini karena mereka menganggap perdagangan jati akan jauh lebih menguntungkan daripada perdagangan rempahrempah dunia yang saat itu sedang mencapai puncak keemasannya. Di pertengahan abad ke-18, VOC telah mampu menebang jati secara lebih modern. Dan, sebagai imbalan bantuan militer mereka kepada Kerajaan Mataram di awal abad ke-19, VOC juga diberikan izin untuk menebang lahan hutan jati yang luas.

VOC lantas mewajibkan para pemuka bumiputera untuk menyerahkan kayu jati kepada VOC dalam jumlah yang besar. Melalui sistem blandong, para pemuka bumiputera ini membebankan penebangan kepada rakyat di sekitar hutan. Sebagai imbalannya, rakyat dibebaskan dari kewajiban pajak lain. Jadi, sistem blandong merupakan sebentuk kerja paksa. VOC kemudian memboyong pulang gelondongan jati Jawa ke Amsterdam dan Rotterdam. Kedua kota pelabuhan itu pun lantas berkembang menjadi pusat-pusat industri kapal kelas dunia.

Di pantai utara Jawa, galangangalangan kapal Jepara dan Rembang tetap sibuk hingga pertengahan abad ke-19. Mereka gulung tikar hanya setelah banyak pengusaha perkapalan keturunan Arab lebih memilih tinggal di Surabaya. Lagipula, saat itu kapal lebih banyak dibuat dari logam dan tidak banyak bergantung pada bahan kayu.

Pascakemerdekaan negeri ini, jati Jawa masih sangat menguntungkan. Produksi jati selama periode emas 1984-1988 mencapai 800.000 m3/ tahun. Ekspor kayu gelondongan jati pada 1989 mencapai 46.000 m3 , dengan harga jual dasar 640 USD/

m3 . • DR/DivreJatim/Pa

This article is from: