Diterbitkan oleh Lembaga Pers Mahasiswa Kognisia FPSB UII
Aspiratif, Kritis, Humanis
ANGKUTAN UMUM:
DIBURU OLEH MASA
Edisi 07/Tahun XX/Nopember/2017
Ilustrasi oleh M. Rizal Purnawan
FIRDAUS
RESENSI
SUPERNOVA: KPBJ
ZAKIE NA
foto oleh : M. Rizal Purnawan
ilustrasi osi
foto oleh : M. Rizal Purnawan
foto oleh : M. Rizal Purnawan
foto oleh : M. Rizal Purnawan
Diburu oleh Masa
Dimanapun Kapanpun Klik aja!
KOGNISIA.CO
instagram : @lpmkognisia
Line : @eps1300a
Facebook : Lpm Kognisia Fpsb
PROFIL
Diburu oleh Masa
Diburu oleh Masa
Sumber gambar : Google Sumber gambar : Google
a?
Sumber gambar : Google
Sumber gambar : Google
Diburu oleh Masa
Foto oleh Khafiya Nur Izzati
Kognisia/Edisi 07
26
27
Kognisia/Edisi 07
Foto oleh Mirza
“mbiyen kulo sedinten limang mangkatan mas,
mas”, (sekarang sudah pakai motor semua mas)
sakniki sepisan wae wes sepi (dulu, sehari bisa lima
tutur Prawiro di sela-sela menyetir. Sedangkan
kali pulang-pergi mas, sekarang satu kali saja sudah
penumpang yang saat ini masih setia menggunakan
sepi)”, keluh Prawiro. Kurangnya minat
angkutan Jakal ini meliputi para lansia, ibu-ibu
masyarakat Kaliurang sendiri untuk menggunakan
yang berjualan di pasar, sedikit anak muda, dan
Angkutan Jakal juga menjadi penyebab puluhan
kadang mendapat tawaran untuk carter (sewa).
pemilik angkutan gulung tikar. Beberapa diantara
Sebagian dari mereka memilih bertahan karena
mereka akhirnya menjual mini busnya, sebagian
alasan kenyamanan, rutinitas, bahkan kepepet
lain membongkarnya dan dijual secara terpisah.
(terpaksa) tidak ada tumpangan lain. Sebanyak 165
Namun, kurang dari 40 sopir Angkutan Jakal ini
armada angkutan pada tahun 80-an, sekarang
memilih jalan yang berbeda, yaitu tetap bertahan.
berkurang menjadi tidak lebih dari 40 armada.
Prawiro salah satunya, satu dari sekian banyak sopir yang tetap istiqomah, walaupun kadang pendapatan tidak sebanding dengan pengeluaran. Laki-laki yang sudah memiliki banyak kerutan di wajahnya ini mengatakan bahwa terkadang biaya makan, iuran koperasi
Sumber gambar : Google
setiap harinya membuat keuntungan semakin menipis. Meski begitu, ia tidak menyerah, ia juga bertani untuk
Pic. source by Google
menambah penghasilan sembari tetap menyisir sepanjang Jalan Kaliurang.
Berbagai masalah telah dilalui oleh Prawiro, mulai dari dulunya hanya kenek biasa,
Tahun 80-an
hingga bisa mencicil bus sendiri dan menjadi
Jalan Kaliurang pada tahun 80-an dulunya
miliknya. Dengan suara yang sedikit berat, laki-laki
menjadi sasaran empuk para sopir angkutan umum,
tua ini bercerita bahwa dulu mini busnya pernah
dimana banyak lokasi-lokasi strategis untuk
mengalami kerusakan yang disebabkan karena
mendapatkan penumpang. Seperti yang diakui
tidak kuat melewati jalan menanjak, dan akhirnya
Prawiro yaitu kawasan sekitar Pasar Pakem, sekitar
mesinnya selep. Sebanyak 7 juta rupiah ia
Komplek Pesantren Pandanaran KM 12,5, hingga
keluarkan untuk membayar biaya servis tersebut,
pertigaan Besi Jangkang. “mbiyen teng pertigaan
padahal harga mini bus itu hanya 8 juta. Meski
Pondok Pandanaran niko telung motor bareng wae
begitu, berbagai permasalahan yang dihadapi
rak cukup mas (dulu di pertigaan Pondok
Angkutan Jakal tak lantas membuat nya takut untuk
Pandanaran itu tiga angkutan bersamaan saja tidak
punah, meskipun terus diburu oleh zaman.
cukup mas)”, tambah Prawiro. Namun, eksistensi angkutan Jakal ini menurun drastis sejak kendaraan pribadi menjadi popular di kalangan masyarakat menurutnya. “Sakniki mpun do nggowo motor
“Seharusnya pendidikan budaya Jogja ada di masyarakatnya, kalau dibuat asramaasrama seperti itu, mereka selama beberapa tahu belajar apa di Jogja? Cuma punya pendidikan di perkuliahan tapi tidak mempelajari Jogja yang sesungguhnya,� -Eko Riyadi-
Foto oleh K.A Sulkhan
Sumber gambar : Google
Sumber gambar : Google
Sumber gambar : Google
mem bungka m kebebasan berpendapat. “Tidak masalah kalau mereka mau ngibarin bendera dan menuntut merdeka, sepanjang tidak ada aksi yang menunjukkan kekerasan.” Tegas Yapi. Menurut Yapi, adalah hal wajar bila Papua menginginkan suatu kemerdekaan. Sebab mereka (orang-orang Papua) selama ini telah mengalami banyak konflik, tidak saja di daerahnya, tetapi juga di tempat dimana mereka berstatus sebagai pendatang. “Mereka sudah mengalami banyak masalah di tempat asal mereka, disini bahkan kadang mereka seperti tidak diterima, kalau seperti itu ya kenapa kita harus melarang bila mereka ingin merdeka? ” ujar Yapi. Komentar hampir senada terlontar dari wartawan The Jakarta Post, Bambang
Muryanto, yang kala itu menulis tentang represi yang dialami mahasiswa Papua di Jogja. Menurut Bambang, selain melanggar HAM, pengepungan ini j u g a mengindikasikan tujuan mencitrakan mahasiswa Papua sebagai kelompok yang rusuh, s e h i n g g a bilamana hal t e r s e b u t berjalan aparat b i s a melegitimasi segala tindakan represif terhadap mahasiswa Papua. “Karena mereka (mahasiswa Papua) yang sering demo, pengepungan ini bisa menjadi alat polisi untuk mencari dukungan masyarakat buat melakukan tindakan represif kepada mereka,” kata Bambang. Apa yang menimpa mahasiswa Papua pada pengepungan 2016 silam ini menunjukkan bahwa sentimen SARA menjadi sebuah bom waktu yang siap meledak kapanpun ketika disulut pemicunya. Sekolah Budaya dan Upaya Menghapus Sentimen SARA Bagi Eko Riyadi, apa yang menyebabkan kesenjangan diantara warga lokal Jogja dengan warga Papua merupakan salah satu tanda gagalnya bangunan komunikasi lintas budaya diantara keduanya. Budaya warga asal Papua yang seringkali berbenturan dengan norma setempat Jogja perlu mendapat perhatian serius. Menurut Eko,
Jogja seharusnya menjadi kota yang ideal untuk saling belajar dan berbagi kebudayaan antar suku. Selain itu, Direktur PUSHAM ini juga mengkritik asrama-asrama daerah yang justru semakin mengkotak-kotakan golongan. “Seharusnya pendidikan budaya Jogja ada di masyarakatnya, kalau dibuat asrama-asrama seperti itu, mereka selama beberapa tahu belajar apa di Jogja? Cuma punya pendidikan di perkuliahan tapi tidak mempelajari Jogja yang sesungguhnya,” ujar Eko. Agar sentimen SARA di Jogja tidak semakin berkembang menjadi api besar, Eko Riyadi mengatakan bahwa salah satu solusinya ialah mengadakan sekolah budaya untuk setiap mahasiswa luar pulau Jawa, khususnya pendatang asal Papua, sebelum mereka benar-benar berdomisili di Jogja. Konsep dari sekolah budaya ini, menurut Eko, ialah pengenalan mengenai kebudayaan-kebudayaan orang Jogja serta pembekalan bagaimana berperilaku dengan baik ketika hidup di lingkungan masyarakatnya. Di satu sisi, Eko juga berpesan kepada para pendatang dari Papua agar lebih partisipatif lagi dalam berhubungan dengan masyarakat Jogja, tak hanya hidup berkerumun di asrama tetapi juga belajar masyarakat Jogja yang sesungguhnya. Selain itu, yang tak kalah penting, menurut Eko ialah peran pemerintah untuk turut membantu menghapus sentimen SARA di Jogja agar tak lagi dimanfaatkan oleh kekuatankekuatan yang ingin memecahbelah Negara.
Sumber gambar : Google
Sumber gambar : Google
Sumber gambar : Google
Oleh Firda Mahdanisa
Foto oleh Dimas (Magang Kognisia 2017)
Foto oleh Khafiya
Foto oleh Dimas (Magang Kognisia 2017)
Foto oleh Khafiya
Sumber gambar : Google
Kognisia/Edisi 07
48
49
Kognisia/Edisi 07
PEMENANG LOMBA FOTOGRAFI KOGNISIA 2016 Tema : Hujan
Tirta Trinanda |“Main Bola”
51
Kognisia/Edisi 07
Irga Afghani “Tetap Bekerja di masa Tua�
Afrianto Silalahi
Juara Favorit | Kuswanto
Kognisia/Edisi 07
52