SASTRA KABARKAN SEGALA
catatan anomali: TAFSIRAN
Parasastra: Karya Sitor Situmorang
rima, efoni & kokofoni
BEDAH BUKU: MATAPANGARA
PETA PERPUISIAN INDONESIA PURAKASASTRA | APRIL 2015
0
edisi 4|mei 2015
DAFTAR ISI
03
05
09
03 CATATAN ANOMALI CATATAN ANOMALI Tafsiran
Tafsiran
05 PARASASTRA Sitor Situmorang & karya-karyanya, Catatan seputar Sitor Situmorang
LENTERASASTRA Rima, Efoni dan Kokofoni
09 KAJIAN SASTRA Bagaimana membedah puisi,Catatan seputar rima, efoni & kokofoni dalam puisi, Surealis dalam puisi
17 PURAKARYA PARASASTRA Karya Sitor Situmorang
Mentadarusi waktu dengan matapangara, Beberapa puisi berserta jenis & alirannya, Kantor berita, Catatan anak ibu kota
30 LENTERASASTRA Sebuah inspirasi menjelma puisi, Kebebasan sang penyair
34 SASTRACYBER Bedah puisi, Sekapur sirih tentang sastra cyber
KAJIAN SASTRA Bagaimana membedah puisi
41 INFOSASTRA ASEAN literary festival 2015, Komunitas Gebangtinatar, Buruh migran pun peduli, PURAKASASTRA Merajut persahabatan| APRIL sastra2015 di kota1sejuta bunga
DARI REDAKSI
Salam sastra dan budaya
REDAKSI
Majalah Purakasastra kembali hadir di Edisi 4, kami menyajikan beragam ulasan yang dapat merangsang keinginan anda untuk membaca, di antaranya: mengenal lebih dalam perpuisian Indonesia, tokoh sastra yang dikagumi, cerpen, esai sastra dan beberapa rubrik lainnya yang menarik untuk dibaca. Semoga artikel dan karya dalam Edisi 4 ini dapat memuaskan dahaga minat anda dalam mengikuti dinamika perkembangan sastra Indonesia.
Pemimpin Umum Manaek Sinaga
Pemimpin Redaksi Rizal
Wakil Pemimpin Redaksi Ricky Richard Sehajun
Redaktur Pelaksana Muhammad Ridwan Kholis
Dewan Redaksi Adi Septa Suganda Ade Junita Dian Rusdi Yessy Oktaviani
Karena anda membaca, kami pun ada. Kita hadir karena keberadaan sastra Indonesia. Purakasastra berbicara bahwa sesungguhnya sastra kabarkan segala.
Nurul Latifa Elfridus Silman Syaihun Nafahad Riska Hermawati
Redaksi
Ellyas Rawamaju Nilam Ikhwani
Purakasastra adalah majalah sastra independen yang turut serta dalam usaha membangun dan mengembangkan dunia kesusastraan nasional. Majalah Purakasastra menerima sumbangan naskah untuk dipublikasikan melalui media ini. Sumbangan naskah tsb dapat berupa kajian sastra, liputan kegiatan sastra, tips menulis, karya sastra, resensi buku, foto artistik dan lainlain. Naskah tulisan atau foto/ ilustrasi yang dikirim ke majalah Purakasastra harus orisinal (asli), tidak menjiplak, dan tidak mengandung unsur kekerasan, atau pornografi. Penulis atau pengirim foto/ ilustrasi bertanggung jawab penuh atas orisinalitas naskah tulisannya atau orisinalitas foto/ ilustrasi yang dikirim ke Redaksi. Redaksi berhak menyunting naskah tulisan dan memodifikasi/ membuang bagian-bagian tertentu dari foto/ ilustrasi bila diperlukan. purakasastra @purakasastra majalahpurakasastra
PURAKASASTRA | APRIL 2015 Kontak Redaksi Purakasastra: redaksipuraka@gmail.com
2
purakasastra.blogspot.com foto sampul oleh Veronica
CATATAN ANOMALI
oleh Ricky Richard Sehajun
entang wajah puisi. Ia bersketsa bebas. Atas nama kebebasan, panji puisi bertarung lincah. Ia dipaksa masuk dalam bursa pergaulan bebas. Saking bebasnya, ia mereformasi ketaatan konstitusi dalam sistem kepenulisan. Konstitusi dibunuh secara brutal oleh panyair. Soal pembunuhan tersebut, penyair merayakan gegap gempita. Ia menemukan roh puisi dari tewasnya kelekatan struktur kepenulisan, di bawah alasan licentia poetica. Sebuah alasan melegalitaskan kebebasan bernafas kekal dalam memelintir kata supaya bernas. Pelintiran bertujuan mencuatkan efek tertentu dalam puisinya. Seolah-olah penyair melakukan tindakan manipulasi kata. Ia menerjang kaidah kebahasaan, hingga ambruk dengan wajah gulana. Lantas, nasib tata kepenulisan berada di ujung ketakjelasan.
Kebebasan memberi dimensi kreatif. Itu benar. Ia digadang sebagai benteng penyair. Tak pernah rapuh atau pun terjungkal oleh badai kritik dan tanya. Penyair, menjadi bebas melakukan manuver kata tak sopan. Nilai etika dan moral, diterabas secara paksa. Penyair tidak lagi menjadi pewarta sekaligus penata kebenaran rasional. Ia dipancing dengan kail amoral. Kebebasan itu, menjelma menjadi Tuhan atas segala kegamangan menafsir. Ia disembah. Ia adalah jelmaan sumber kebebasan valid dalam puisi. Ia malah lebih bebas dari konsep kebebasan filsafat eksistensialisme kiri. Ia terbang mengikuti alurnya sendiri. Ia memegang perintah mutlak. Setiap muncul nada tanya soal makna leksikal, fonologi, semantis dan sintaksis, ditekuk tunduk pada suara yang dilancangkan oleh licentia poetica. Tak ada yang bisa berkutik. Tak ada kehilangan intelek penyair. Apalagi pencideraan makna sebuah puisi. Menyangkut tata bahasa beserta makna, wajah puisi dicoret dari banyak sisi. Ia seperti bidadari misteri. Setiap orang yang melihatnya, berusaha membuka tabir misteri itu.
PURAKASASTRA | APRIL 2015
3
CATATAN ANOMALI
Aurat kemisteriannya, dipicu oleh peristiwa kontemplasi. Jadinya, puisi dimengerti dalam arus kontemplatif. Orang dibawa ke berkas pergulatan dalam keheningan. Dalam simponi keheningan itulah, orang bisa mencapai dimensi transenden. Pada titik transenden, puisi harus menampilkan wajah sastra dengan penuh keceriaan. Mengarahkan orang pada situasi terang dan kebahagiaan. Bukan menghadirkan peristiwa gelap yang menghantui ide pembaca. Membawa orang pada refleksi kritis, untuk menafsir dengan tajam dan tukik. Paling tidak, kehadiran puisi, mengubah cara pandang orang terhadap apa saja yang terkait dengan pola tafsirannya.
Setiap puisi lahir dari kandungan rasa dan imajinasi. Alam rasa dan imajinasi merupakan ruang tanpa batas. Ia menyertakan peluang jelajah yang luas dan dalam. Itulah yang memberi warna misteri pada puisi. Mengungkap tuntas misteri tersebut membutuhkan daya tafsiran yang menggetarkan. Penyair membuat puisi berdasarkan tafsirannya. Pembaca akan menafsir puisi yang telah ditafsirkan oleh penyair. Tafsiran pembaca, akan di tafsirkan juga, oleh pembaca yang lainnya. Lantas, puisi bernaung pada label tafsir di atas tafsir. Saya menyebutnya rentetan tafsiran atau tafsiran bertingkat.
Puisi itu multi tafsir. Pada lingkup tafsiran, puisi membawa orang pada pengalaman eksistensial. Yang dimaksud adalah orang dirujuk keluar dari dirinya, sembari membuka tabir identitasnya sebagai pembaca. Penafsir digenggam oleh pengalaman yang berada di luar kontrol dirinya. Jadi, dalam peristiwa menafsir, orang dibawa pada dimensi pengosongan diri. Penafsir menjemput sekaligus menyambut pribadi lain masuk ke dalam ruang pikiran dan rasanya.
Manusia sekarang kerap dihadapkan pada krisis penafsiran. Menelan tanpa mengunyah. Tidak mencerna secara saksama. Menerima begitu saja, apa yang dilihat dan didengarnya. Kerusuhan pertiwi, banyak ditimbulkan oleh kekeliruan menafsir. Lihat saja, bagaimana menafsir wajah hukum. Perang tafsiran menimbulkan kesan ambigu dalam wajah hukum. Tetapi ada perbedaan wajah puisi dan wajah hukum. Dalam puisi, penafsiran berbeda memberi kekayaan makna atas sebuah puisi. Dalam hukum, penafsiran berbeda memberi ketidaknyamanan, perdebatan irasional dan kekacauan.
Antara ide dan rasa penyair, dibungkus oleh ide dan rasa sang penafsir. Dalam konteks inilah, puisi menampilkan pola sosial yang dijiwai spirtualitas pengorbanan. Penafsir, rela dijajah akalbudinya untuk sebuah kebenaran pengetahuan awali. Penafsir bersenggamaan dengan teks serta bergerak menyatukan diri dengan ide sang Penyair. Persengamaan itulah yang membawa pembaca pada pengalaman totalitas makna. Sebuah pengalaman kemengertian yang dipicu oleh imajinasi dan rasa sang penyair.
foto karya Manaek Sinaga
PURAKASASTRA | APRIL 2015
4
PARASASTRA
SITOR SITUMORANG
foto karya Manaek Sinaga
itor Situmorang, lahir di Harianboho Tapanuli Utara, Sumatera Utara, 2 Oktober 1923. Anak kelima dari Sembilan bersaudara ini memiliki nama asli Raja Usu. Ayahnya adalah Ompu Babiat Situmorang yang pernah berjuang melawan tentara kolonial Belanda bersama Sisingamangaraja XII.
Saat itu ia tengah mengenyam pendidikan di MULO, Tarutung, Tapanuli Utara. Pernah suatu ketika, saat ia berkunjung ke rumah kakak lakilakinya di Sibolga, ia menemukan buku “Max Havelaar� karya Multatuli, ia mampu membaca buku itu dalam 2-3 hari, padahal saat itu ia masih duduk di kelas dua dan penguasaan bahasa Belanda yang masih minim. Sejak itu pun, ia merasa bahwa isi buku itu menyentuh kesadaran kebangsaannya.
Sejak lahir hingga remaja, ia dibesarkan dalam lingkungan masyarakat dengan kultur Batak yang sangat kental. Dalam hal pendidikan, dari kecil ia dididik dengan tradisi Belanda.
Lepas dari MULO, ia melanjutkan sekolah di AMS, Batavia tahun 1950-1952, ia berhasil lolos masuk ke sekolah itu tanpa tes.
Sejak kecil Sitor dikenal sebagai murid yang cerdas, kerap kali ia meraih rangking atas. Banyak guru yang mengungkapkan bahwa ia cepat tanggap dalam memahami materi pelajaran. Bahkan tak jarang ia diminta untuk menggantikan untuk mengajar, dengan kata lain, ia ditunjuk sebagai asisten guru.
Selanjutnya, Sitor melanjutkan pendidikannya di Universitas California, jurusan Sinematografi. Sitor mengawali karirnya sebagai wartawan di redaksi Harian Suara Nasional pada 1945-1946 di Tarutung, dan Harian Waspada pada tahun 1947, yang juga berada di wilayah Medan.
PURAKASASTRA | APRIL 2015
5
PARASASTRA
Tidak hanya itu, banyak pekerjaan atau karir yang digeluti Sitor, selepas dari wartawan untuk surat kabar Medan, Sitor menjadi koresponden untuk berita Indonesia dan warta dunia di Yogyakarta pada 1947-1948. Tidak hanya sampai di situ, berbagai hal digelutinya, seperti menjadi Pegawai Jawatan Kebudayaan Departemen P & K, Dosen Akademi Teater Nasional Indonesia, Anggota Dewan Nasional tahun 1958, Anggota MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara) mewakili kalangan seniman, Anggota Badan Pertimbangan Ilmu Pengetahuan pada 19611962, dan Ketua Lembaga Kebudayaan Nasional di Jakarta pada 1959-1965.
Kumpulan sajak “Peta Perjalanan” memperoleh Hadiah Puisi Dewan Kesenian Jakarta (1976)
Selain seorang yang sering berganti pekerjaan, Sitor juga kerap kali berpindah tempat tinggal, antara lain: di Singapura pada 1943, Amsterdam pada 1950-1951, Paris 1951-1952, Sitor pun pernah mengajar Bahasa Indonesia di Universitas Leiden, Belanda pada 1982-1990., kemudian ia pernah bermukim di Islamabad, Pakistan pada 1991.
9. “Sitor Situmorang Sastrawan 45”, Penyair
Sitor pernah terlibat dalam ideologi perjuangan pada akhir tahun 1950-an hingga awal 1960-an. Sebagai pengagum Ir. Soekarno, ia benar-benar melepaskan kesetiaannya pada angkatan’45 khususnya Chairil Anwar. Pada masa Orde Baru, Sitor dipenjara sebagai tahanan politik pada 19671974. Hingga pada akhirnya ia menjadi penyair terkemuka setelah meninggalnya Chairil Anwar. Banyak karya yang telah diciptakannya, serta meraih penghargaan antara lain: Kumpulan cerpen “Pertempuran dan Salju di Paris” mendapat Hadiah Sastra Nasional (1956)
1. “Surat Kertas Hijau”, kumpulan puisi (1954) 2. “Jalan Mutiara”, drama (1954) 3. “Dalam Sajak”, kumpulan puisi (1955) 4. “Wajah Tak Bernama”, kumpulan puisi (1956) 5. “Rapar Anak Jalang” (1955) - Zaman Baru, kumpulan puisi (1962) 6. “Pangeran”, kumpulan cerpen (1963) 7. “Sastra Revolusioner”, kumpulan esai (1965) 8. “Dinding Waktu”, kumpulan puisi (1976) Danau Toba, otobiografi (1981) 10. “Danau Toba”, kumpulan cerpen (1981) 11. “Angin Danau”, kumpulan puisi (1982) 12. “Bunga di Atas Batu”, kumpulan puisi (1989) 13. “Toba na Sae” (1993) dan “Guru Somalaing dan Modigliani Utusan Raja Rom”, sejarah local (1993). 14. “Rindu Kelana”, kumpulan puisi (1994) 17. Sitor juga menerjemahkan karya asing ke dalam bahasa Indonesia, yakni: “Sel”, terjemahan drama karya William Saroyan (1954) dan Hikayat “Lebak karya Rob Nieuwenhuys” (1977).
PURAKASASTRA | APRIL 2015
6
PARASASTRA
CATATAN SEPUTAR Aku ingin minum dari kehangatan harapan saudara-saudara. Aku ingin menjabat tangan saudara-saudara yang sibuk bekerja Aku ingin makan roti ini, roti komune, sebagai tanda pulihnya pergaulan, setiakawan dan harapan antara manusia, buat selama-lamanya dalam cinta, cita-cita dan kenyataan dunia sosialis. (Sitor Situmorang)
SITOR SITUMORANG
sumber: apakabarsidimpuan.com
erinduan ini tertuang dalam sajaknya yang ia beri judul, Makan Roti Komune. Menghayati dan mencoba berdialog dengan sajak Sitor Situmorang selalu memberi kita sesuatu. Dalam sajaknya yang ia beri judul, Makan Roti Komune kita seperti `dipaksa` untuk memahami konteks social politik dan kebudayaan ketika sajak itu ditulis menjelang tahun `65. Konstelasi politik nasional pada pemerintahan Sukarno pada saat itu yang terlibat dalam tarikmenarik dalam perebutan ideologi demokrasi dan ideologi komunisme tak urung melibatkan para aktivis budaya nasional (Lembaga Kebudayaan Nasional) kedalam polemik aksi dukung mendukung kedua ideology tersebut. Namun, bagi Sitor Situmorang, satu musuh terlalu banyak, seribu teman terlalu sedikit. Oleh karena itu, walau hidup pada masa polemik kebudayaan, ia bergaul dengan siapa saja, termasuk dengan sesama sastrawan, dan budayawa. Pertemanannya dengan Pramoedya Ananta Toer layaknya kedekatan yang tidak lekang oleh ketuaan. Persahabatan kedua sastrawan besar itu suatu ketika diperingati di Goethe House, Jakarta,
di mana Sitor membacakan puisinya ”Blora” sebagai kenangan untuk Pram yang lahir dikota yang dinyanyikan Sitor dalam sajaknya itu. Penyair dan dramawan Rendra memanggil Sitor dengan sapaan hormat dan bersahabat: Abang. Ketika Rendra meninggal 6 Agustus 2009, Sitor membacakan sajaknya di hadapan jasad temannya itu. Sajak yang dia bacakan itu semula berjudul ”Lagu Malamku Kini” Namun, sebagai penghormatan pada Rendara judulnya dia tulis ulang menjadi ”Lagu Malammu Kini,” dan semua akhiran ”ku” berubah menjadi ”mu”. Baginya, menulis sajak juga soal kepekaan bahasa. Bahasa itu bentuk budaya yang hidup dalam diri kita lewat pendengaran, pengalaman, bergaul dengan manusia lain. Ada bunyi, irama. Banyak pihak menganggap karya-karya Sitor banyak yang bernuansa nature dan diwarnai gaya sastra tradisional semacam pantun. Mengomentari hal ini, Sitor berucap : “Saya menggali tradisi lama karena saya terbentuk oleh tradisi itu. Sejak SMA yang terngiang di kepala saya adalah pantun-pantun..”. Ia, seakan menghidupkan kembali puisi lama yang tadinya sudah dilupakan orang karena dianggap ketinggalan zaman.
PURAKASASTRA | APRIL 2015
7
PARASASTRA
danau Toba: foto oleh Marihot Sitorus
Menurut dia, kemampuannya sebagai penyair terbina sejak kecil, melalui kedekatan dan penghayatannya pada acara-acara adat. Sebelum bersekolah sudah terbiasa mendengar pidatopidato yang bagus yang disampaikan oleh para tetua adat dalam bahasa Batak. “Sejak kecil saya terbiasa mendegar ibu-ibu mangandung,” kenang Sitor. Mangandung adalah satra lisan dalam masyarakat Toba, yang didendangkan seraya menangis dengan syair-syair yang menceritakan kisah hidup orang yang meninggal. Membaca banyak buku-buku sastra dan sejarah semakin mengasah ketajaman kepenyairannya. Ajip Rosidi mencatat: ”Sajak baginya menjadi semacam catatan harian, meski tidak ditulis setiap hari. Dari sajak-sajaknya kita bisa mengikuti perjalanan hidup Sitor sang petualang.” Tidak hanya perjalanan hidupnya, juga sikap politik yang telah dia pilih secara sadar dengan risiko yang agaknya sudah pernah dia bayangkan. Dibungkam! Dipenjarakan! Bertahun-tahun oleh rezim Orde Baru Suharto. Sitor Situmorang adalah penyair Indonesia paling produktif dibandingkan dengan sastrawan seangkatannya atau para pendahulunya. Dia telah menulis 103 puisi yang terkumpul dalam tiga antologi yang mengekalkan namanya dalam perpuisian modern Indonesia: Surat Kertas Hijau, Dalam Sajak, dan Wajah Tak Bernama. Dia melampaui ”si binatang jalang” yang dia kagumi, Chairil Anwar, yang hanya membukukan 69 puisi, Sanusi Pane 48, dan Amir Hamzah 52.
Dia, sebagaimana kata temannya, Pramoedya, toh ”tidak gepeng” dihantam palu godam dan popor Orde Baru. Merekalah yang menulis sejarah sejati bukan para penindasnya. Semangat dan konsisten dalam mempertahankan idealisme hingga usia senja. Begitulah kiranya sifat dan semangat juang dari putra Batak ini bila dideskripsikan. Sitor termasuk dalam jajaran sastrawan Angkatan 45. Menurut dia, keberadaan Angkatan 45 untuk menggantikan Angkatan Pujangga Baru. Menjelang pergeseran dalam babakan sejarah sastra Indonesia itu, berlangsung polemik yang monumental antara mereka yang mau mengadopsi Barat dan mereka yang dengan cemerlang bisa melihat kekuatan budaya Timur sebagai dasar bagi kemajuan bangsa. Perdebatan ini dikenal sebagai “Polemik Kebudayaan” Tahun 1953, Sitor mengusulkan satu dikotomi yang mirip dengan pandangan “Pujangga Baru” Hal ini bisa dibaca sebagai tanda bahwa harapannya akan revolusi kejiwaan belum juga terkabul dalam perkembangan budaya. Sebagai sastrawan Angkatan 45, Sitor mengagumi Chairil Anwar. Sementara pengaruh dari luar diterimanya dari Jean Paul Sartre, Albert Camus, dan Andre Malraux. Terutama Malraux banyak mempengaruhi pemikiran dan karyanya. Gagasan Malraux tentang “museum imajiner” dimodifikasi Sitor menjadi “living museum” atau museum hidup. Dan Malrauxlah yang banyak mempengaruhi kepenyairan Sitor. Karya Sitor tidak hanya kental dengan tradisi Batak yang kuat, tetapi juga dipengaruhi budaya Barat melalui sastrawan modern Belanda, seperti Slauerhoff. Tema karya Sitor yang menonjol: cinta semu atau tidak kekal, pengembaraan dan siklus abadi kematian dan kehidupan. warisan revolusi dalam diri Sitor adalah individualisme, harapan akan solidaritas dan keinginan ikut membentuk wajah dunia, paling sedikit wajah budaya Indonesia Modern. (editor: Van Gorg). Daftar Pustaka: wikipedia dan berbagai sumber.
PURAKASASTRA | APRIL 2015
8
KAJIAN SASTRA
BAGAIMANA
MEMBEDAH PUISI
foto karya Veronica
I. Pengantar Orang mungkin bisa membuat puisi. Tetapi tidak banyak orang yang bisa membedah puisi. Banyak penyair yang kesulitan membedah puisi orang lain. Harus diakaui membedah puisi bukanlah perkara gampangan. Butuh konsentrasi yang tinggi, untuk menelusuri jejak makna yang terkandaung dalam tulisan puisi. Belum lagi, persoalan para penyair yang menggunakan bahasa-bahasa khusus, yang tidak mudah dimengerti serta kemampuan para pembedah yang kurang mantap. Barangkali, dari persoalan seperti itulah yang menyebabkan munculnya krisis apresiator.
Ia seolah-olah menjadi medium langsung yang mempertemukan penyair dan pembaca, juga antar pembaca.” II. Bagaimana Membedah Puisi Kemampuan membedah karya puisi, tidak muncul begitu saja. Ia perlu diasah, dilatih sehingga menjadi tajam. Puisi bisa dikupas, jika orang dibawa pada pergumulan identitas unsur puisi. Unsur yang dimaksd yakni Intrinsik dan Ektrinsik. Unsur Intrinsik bermuara dari dalam tubuh puisi, mencakup; pergumulan tema, imajinasi dan rasa,
Kemampuan membedah karya puisi, tidak muncul begitu saja. Ia perlu diasah, dilatih sehingga menjadi tajam. Puisi bisa dikupas, jika orang dibawa pada pergumulan identitas unsur puisi. Unsur yang dimaksud yakni Intrinsik dan Ektrinsik. Mengutip apa yang dikatakan oleh Ricky Richard Sehajun, “ perkara bedah adalah perkara seni menafsir. Penyair lekat dengan, kebebasan dalam ‘mempermainkan’ kata menjadi puisi. Pun pula, apresiator lekat dengan kebebasan menafsir. Dalam perspektif tafsiran puisi, tidak ada yang disebut kegagalan menafsir. Gerak dan rentetan tafsir, yang kerap kali tidak sesuai dengan ide penyair, bukanlah sebuah kebodohan. Justru, menampilkan teater menarik dalam kontek pengembangan makna awali. Seorang Apresiator adalah pahlawan penjelas dalam teater puisi yang berwajah muram.
simbolis, musikalitas, diksi, penokohan, pencitraan, amanat/ pesan, makna, tipografi, rima, aliran dan jenis. Unsur ektrinsik bermuara dari luar tubuh puisi, mencakup ; konteks hidup penyair, situasi ekonomi, sosial, politik, agama, budaya, dll. Dalam membedah puisi, sebaiknya, dibedah perbait, sehingga nampak ulasan bedah yang komprehensif. Berikut teknik membedah puisi. 1. Ekstrinsik A. Biografi penyair (Menerka tokoh-tokoh yang mempengaruhi penyair) B. Situasi dan konteks puisi dibuat ( SosioKultur, agama, politik, dll) PURAKASASTRA | APRIL 2015
9
KAJIAN SASTRA foto karya Veronica
2. Intrinsik Puisi A. Pengantar Singkat Memberi latar belakang soal alasan membedah puisi. B. Pergumulan Tema atau Judul Judul sangat penting dalam puisi. Ia merupakan gagasan inti yang dikristalkan. Pada saat membaca judul, lontarkan beberapa pertanyaan. Misalnya; apa kira-kira yang ingin disampaikan oleh penyair dengan judul tersebut? Apa nanti ada kesesuaian antara judul dan tubuh puisi? Apakah puisi tersebut betul-betul mengulas tuntas soal judul? Siapa (objek) yang ditelusuri dalam perspektif penyair. C. Struktur fisik 1. Diksi (Simbolisasi dan majas) Menelususi penggunaan bahasa simbol. Penggunaan majas dan gaya bahasa yang dipakai. Mencari makna simbol, kata kiasan, majas yang diberikan oleh pengarang. Gaya kata yang berkaitan dengan tubuh teks puisi (misalnya, alam, manusia,binatang, dll). Tujuan, menemukan rasa estetika dan ragam bahasa yang dipakai. 2. Versifikasi : rima, ritma dan metrum. Rima adalah pengulangan bunyi untuk membentuk orkestrasi dalam puisi. Ritma/ Ritme: soal kenampakan gerakan bunyi tinggi dan rendah, keras dan lembut. Metrum : Irama dan tekanan suku kata setiap bait. Metrum juga akan terlihat ketika puisi dibacakan dengan baik, sesuai dengan tanda baca yang memberi alur tekanan dan rotasi nafas yang putus-sambung. Menggunakan rima apa dalam puisi? Termasuk penjelasan soal irama yang ditimbulkan oleh rima, sehingga memunculkan luapan orkestrasi yang indah dan kuat. 3. Tipografi (Tampilan teks). Telaah soal tampilan baris. Berapa baris dan bait. Aliran dan jenis Puisi. Soal, penggolongan puisi.
D. Struktur batin (sense, feeling, tone, intention) 1. Situasi batin (Imajinasi dan perasaan) Pembaca dibawa pada situasi real? Imajinatif?. Mengenai perasaan senang, sedih, menakutkan, khawatir, horor. 2. Menafsir Pesan (Amanat) Apa sesungguhnya yang disampaikan oleh penyair untuk pembaca. Apakah puisi tersebut merupakan jawaban atas sebuah masalah? Mengulas tokoh? Mendeskripsikan pengalaman pahit, suka duka. Apa yang ingin disampaikan penyair tentang dirinya? E. Kesimpulan Mencakup kesimpulan, kritik teks dan saran. Entah itu untuk teks maupun untuk pembaca. Bisa ditambahkan dengan catatan tertentu. III. Penutup Membedah puisi memang berada dalam konteks tafsiran, berdasarkan cara berpikir masingmasing orang. Barangkali tulisan ini, menjadi salah satu alternative penuntun bagi siapa saja yang ingin menafsir puisi. [1] Ricky Richard Sehajun, dalam catatan di Group Ruang Imajinasi, pengungakapan sastra dan kreatif bermain kata-kata. https://www.facebook.com/notes/ruang-imajinasipengungkapan-rasa-dan-kreatif-bermain-katakata/membedah-puisi/758477200856838. Akses, 15 Februari 2015. [2] Bdk. Catatan dari Ricky Richard Sehajun, dalam https://www.facebook.com/notes/ricky-richardqzjun/menulis-esai/951769388169010
PURAKASASTRA | APRIL 2015
10
KAJIAN SASTRA
CATATAN SEPUTAR DALAM
alah satu unsur penting yang mendukung kehadiran sebuah puisi adalah unsur musikalitas. Dikatakan penting, karena unsur ini merupakan unsur intrinsik (unsur yang membangun puisi yang datangnya dari dalam karya) itu sendiri. Bahkan pada unsur inilah terletak ciri utama sebuah puisi. Tanpa unsur ini, demikian Arsyad (1986: 2.21), rasanya tidak mungkinlah sebuah karya sastra disebut puisi.
Dalam unsur musikalitas inilah terdapat masalah
Harus diakui, unsur bunyi yang dihadirkan penyair dalam puisinya memang bermaksud untuk
akan berusaha mengambil alam sebagai simbol untuk membantu hadirnya sebuah makna (isi).
menyarankan makna. Tetapi fungsi utama sebuah bunyi dalam puisi adalah untuk membangun musikalitas atau kemerduan. Kemerduan puisi merupakan ciri puisi yang paling dominan. Dari kemerduan ini pula dapat diketahui bahwa puisi yang disusun seorang penyair , berusaha menyarankan makna kegembiraan, keceriaan, dan kehalusan yang disebut bunyi efoni atau pun bunyi yang menyarankan makna berat – berat, menyeramkan, mengerikan, menakutkan, yang sering disebut bunyi kokofoni.
rima (persajakan atau persamaan bunyi) dan masalah bunyi tadi, yakni bunyi efoni dan kokofoni. Rima atau persamaan bunyi itu terdapat dalam puisi dan biasanya terdapat secara vertikal ( kata – kata di antara baris /larik yang satu dengan baris yang lainnya) juga secara horizontal (pada kata – kata dalam sebuah baris/larik sebuah puisi). Rima atau persamaan bunyi ini akan lebih tampak pada karya sastra lama yakni pantun. Ciri utamanya adalah memiliki sampiran (alam sebagai perlambang) kemudian menuju pada isi dari perlambang yang diungkapkan. Pemantun
Selain itu, dikenali dengan pola rimanya (persajakan) , yakni pola : a b a b. Perhatikan contoh berikut ini: Anak ikan dipanggang saja Hendak dipindang tiada berkunyit Anak orang dipandang saja Hendak dipinang tiada berduit Pada larik (baris) pertama dengan larik ketiga ada persamaan bunyi a (a) sedangkan pada larik kedua dan keempat ada persamaan bunyi t (b).
PURAKASASTRA | APRIL 2015
11
KAJIAN SASTRA
Jelasnya, pola persajakan pada pantun adalah : a b a b . Dalam pola lama, persajakan ini jangan dilanggar karena kalau dilanggar akan menjadi tidak bernilai. Selain persajakan atau persamaan bunyi, demikian Arsyad (1986: 2.24), sebuah puisi dikatakan baik, jika didukung pula oleh unsur bunyi. Unsur ini akan jauh lebih penting dari persajakan seperti terurai di atas tadi. Pasalnya, di samping membangun musikalitas (kemerduan), unsur bunyi juga menyarankan makna – makna tertentu pada sebuah puisi. Dalam unsur bunyi terdapat dua bunyi yaitu efoni dan kokofoni. Bunyi efoni adalah bunyi yang menyarankan makna : kegembiraan, keceriaan, atau melambangkan
Mencermati puisi karya Sri Wulan di atas, kita akan berdecak kagum, betapa “aku – lirik” berusaha untuk berkomunikasi dengan merdu. Dengan kehalusan rasa pada dirinya, dia menyampaikan kehalusan rasanya melalui bunyi efoni (a, i, e) dalam beberapa kata.Kalau dihitung dengan cermat, betapa bunyi vocal i, a, dan e yang dominan. Dengan menimbang makna bunyi efoni ini, kepada kita diberitahu penyairnya dalam puisinya bahwa “aku – lirik” (aku yang diceritakan) dalam sepinya merindukan “dia – lirik” di seberang. Siapakah “dia = lirik”? Ya, bisa orangtua, bisa adik – kakak, bahkan bisa rindu kepada kekasihnya yang tidak berkontak baik lewat surat maupun melalui HP. Bandingkan
kehalusan atau yang bersifat kecil. Contoh bunyi vokal : a, i, e. Berikut ini contohnya:
dengan Puisi berjudul, “Dalam Rindu Pinta Cintaku”.
Titip Rindu
Gerimis masih menari sedang suara- suara letih jatuh menyentuh rasa merasuk jiwa
Aku menyapamu lembut dengan desah jiwa sukmaku, menembus haribaan suci dadamu, kemudian lirih suaramu mengerang dalam telingaku, Aku menggelinjang dalam sabana anugrah
dan dingin menyeruak
terindah
Karya Sri Wulan Punyacerita
hati beriak Kucukupkan gelisahku malam ini juga rindu, di tepian sudut yakin menepi
Gemetar bibir menyebut Asma dalam pinta untuk cinta, memuji setiap inci geletar hati,
maafkan jika aku hanya bisa menyenggol lirih menitipkan rindu telah membuncah
menembus kalbu memburu kilatan biru
sebab aku hanya lirih
Jika cinta membawa aku ke jurang nista,
Tercipta dari rintihan nafas menyeruak dari takdir sepi terkupas
duhai Kekasih, bunuhlah cinta dalam diriku, hingga tiada satu tempatpun untuknya
membentuk lokus -lokus diri tanpa batas terpajang di kosongan waktu Dan sepi pun lengkap... Makasar, Jin69a_190809
Jika cinta mengantarku ke haribaanmu, izinkan aku bahagia dengan cinta ini... atas kerelaan PURAKASASTRA | APRIL 2015
12
KAJIAN SASTRA
"kelam itu masih membalut kelopak hatiku adakah aku kan dapati senarai lentera di tengah kebutaan ini?" Terasa menindih, aku tertindih... kini hujan, matahari tak lagi menampakkan diri hanya bengis sadis lumpur dan cercaan cucuran atap aku menangis!!! dalam sepi rindu pinta cintaku Oleh : Vanera el arj “Aku – lirik”(hamba) dalam “Dalam Rindu Pinta Cintaku”, berkomunikasi dengan “DIA – lirik (Allah ). Dia takut, ngeri,bahkan seram dialami dalam pengembaraan imajinasinya. Karena itu, sebelum “aku – lirik’ berpasrah total setelah tiba dari pengembaraannya dia masih bertanya dalam hatinya sebagai bahan introspeksi: / "kelam itu masih membalut kelopak hatiku/ adakah aku kan dapati senarai lentera di tengah kebutaan ini?"//. Dan tampaknya,”aku – lirik” menjawab sendiri :/ hanya bengis sadis lumpur dan cercaan cucuran atap/aku menangis!!!/dalam sepi rindu pinta cintaku//.Inilah inti kerinduan “aku – lirik” pada sang Kekasih (Allah). Vokal – vokal u yang melekat pada diksi yang tepat di atas, seakan memberitahu kepada penikmat bahwa “aku – lirik” dalam kondisi takut, ngeri, seram ketika berkomunikasi dengan Sang Kekasih (Allah). Kondisi kengerian, keseraman, serta ketakutan yang diimbangi dengan kehadiran vocal u di dalamnya pertanda bahwa betapa “aku – lirik” kian rindu untuk mengusir sepi yang menyebabkan dia menangis.
foto: karya Latifa Kehadiran bunyi vocal u (termasuk kalau ada kehadiran vocal o) akan tercipta bunyi “kokofuni” (bunyi yang menyarankan makna kengerian, ketakutan, kegamangan, serta keseraman). Nah sekarang coba dihitung bunyi kokofoni dalam beberapa larik puisi vanera el arj di atas? Pasti akan tampak dominan vocal u tinimbang dengan bunyi i, e, dan a ( bunyi efoni) seperti pada puisi karya Sri Wulan dari Makasar. Selain bunyi kokofoni dan efoni, juga dihadirkan rima (persajakan) dalam kedua puisi tersebut. Perhatikan pada larik/baris: / jika cinta membawa aku ke jurang nista,/duhaiKekasih,/bunuhlah cinta dalam diriku,/hingga tiada satu tempatpun untuknya// Pada puisi “Dalam Rindu Pinta Cintaku” karya vanera el arj dan pada “Titip Rindu” karya Sri Wulan dari Makasar terbaca juga:/ dan dingin menyeruak/hati beriak//. Kesemuanya demi kemerduan menuju makna utuh. *) adalah penyair kelahiran Bambor – Kempo NTT , dan kini berdomisili di Sadia 1 Kota Bima –NTB.
PURAKASASTRA | APRIL 2015
13
KAJIAN SASTRA
iapa yang tidak mengenal puisi? Banyak orang yang membacanya, bahkan juga menciptakanya. Meskipun, secara teori pada umumnya, puisi ditafsirkan sebagai rangkaian kata-kata, menjadi suatu kalimat indah dan bermakna. Bukan penafsiran yang salah bukan? Puisi merupakan salah satu genre karya sastra. Ia merupakan bentuk suatu ungkapan dari penyair yang terbentuk dari imajinasi, lalu tertuang dalam rangkaian kata-kata, menjadi suatu kalimat yang indah dan bermakna. Ada yang berupa narasi kisah yang terkandung di dalamnya. Namun narasi itu, tidak sama seperti prosa, yang mengandung cerita,dengan tahapan alur atau kronologi di dalamnya. Dalam puisi, ungkapan yang disampaikan penyair, ada yang dapat langsung dimengerti oleh pembaca. Maksudnya, pesan-pesan yang terkandung dalam puisi dapat langsung ditafsirkan. Ada pula puisi yang menjadi multitafsir. Bahkan ada yang sama sekali sulit dipahami. Namun, bukanlah berarti bahwa puisi tersebut tidaklah bermakna. Suatu hal yang sangat berbeda, antara sulit dipahami dengan tidak bermakna.
Oleh karena puisi merupakan genre karya sastra, maka sama halnya dengan genre-genre lain seperti prosa, seni lukis, dan teater, puisi pun memiliki kategori aliran di dalamnya. Berdasarkan paham dualisme, aliran dalam sastra dibedakan menjadi dua aliran besar, yakni idealisme dan materialisme. Menurut KBBI (2007: 416) idealisme adalah aliran ilmu filsafat yang menganggap pikiran atau cita-cita sebagai satu-satunya hal yang benar yang dapat dicamkan dan dipahami. Realitas menurut para idealis terdiri atas ide-ide (pikiran-pikiran), jiwa dan hal-hal di luar benda material. Karenanya para idealis akan berusaha hidup menurut cita-cita dan patokan yang dianggap sempurna, berdasarkan hasil nalarnya. Dengan kata lain yang dimaksud realitas dalam pemahaman idealis adalah sesuatu yang kita pikirkan dengan akal kita. Adapun yang termasuk dalam aliran idealisme adalah aliran romantisisme, simbolisme, ekspresionisme, mistisisme, dan surealisme. Sedangkan yang termasuk dalam aliran materialisme adalah pandangan hidup yang mencari dasar segala sesuatu yang termasuk kehidupan manusia di dalam alam kebendaan semata-mata dengan mengesampingkan segala sesuatu yang mengatasi alam indra (KBBI, 2007: 723). Materialisme, berpandangan bahwa materi itu adalah realitas. Sedangkan ide hanyalah bagian dari interaksi dengan materi. Menurut aliran materalisme dunia bergantung pada materi. Adapun yang termasuk ke dalam aliran materialisme ialah aliran realisme, naturalisme, impresionisme, serta determinisme.
PURAKASASTRA | APRIL 2015
14
KAJIAN SASTRA
Dalam menentukkan aliran apakah suatu puisi, bukan perkara mudah. Tidak bisa dikategorikan begitu saja, seturut siapa pengarangnya atau penyairnya. Ada pula ditemukan penyair yang kerap kali menciptakan puisi mengenai realitas sosial, namun menghadirkan kata-kata yang sarat imajinatif, jauh di luar penafsiran pada umumnya. Secara sederhana penulis hanya akan menitik beratkan telaah surealisme dalam puisi. ď ś Surealisme Secara etimologi, surealisme diberasal dari bahasa Perancis yakni surrĂŠaliste. Sur berarti di atas. Realisme berarti paham melukiskan sesuatu sebagaimana kenyataannya. Ada juga yang menyebutkan surealisme dengan kata super realisme, atau hal-hal di atas realitas (logika). Istilah surealisme (bahasa Perancis) pertama kali digunakan oleh Guillame Apolliniare untuk menjelaskan salah satu judul drama surealisnya pada tahun 1917 yakni Les Mamelles de Tiresias atau lebih dikenal dengan sebutan balet parade. Baru pada tahun 1924 Andre Breton, dalam tulisannya, The First Manifesto of Surrealism, yang merupakan tulisan dari hasil eksperimennya mengenai metode penulisan yang spontan (otomatisme), dianggap sebagai awal lahirnya surealisme. Surealisme mementingkan aspek bawah sadar manusia dan nonrasional dalam citraan (di atas atau di luar realitas atau kenyataan). Aliran ini ingin melukiskan kehidupan dan pembicaraan alam bahwa sadar, alam mimpi. Segala peristiwa dilukiskan terjadi dalam waktu yang bersamaan dan serentak. Realitas mimpi dan khayalan seolah tidak ada batas-batasnya. Inilah yang disebut dengan super realisme atau melampai kenyataan. Surealisme mempunyai unsur kejutan sebagai ungkapan gerakan filosofis yang menunjukkan kebebasan kreativitas sampai melampaui batas logika. Surealisme sangat dipengaruhi oleh teori Psikoanalisis Sigmun Freud (1856-1939) seorang ahli pskitiatri Austria.
Psikoanalisis adalah ilmu psikologi yang mendalami alam sadar, bawah sadar, dan atas sadar manusia. Freud dengan psikoanalisis ingin mengungkap gejala histeria yang dialami manusia. Freud berpendapat bahwa gejala histeria traumatik yang dialami seseorang dapat disembuhkan melalui analisis kejiwaan yang dilakukan dengan kondisi kesadaran pasien. Psikoanalisis berbeda dengan praktik hipnotis yang biasanya dilakukan untuk menyembuhkan gejala histeria. Menurut Freud dengan menggali bawah sadar manusia, ia akan dapat dikembalikan pada kondisi semula. Breton, memanfaatkan psikoanalisis ini dalam eksperimennya untuk mengungkapkan alam bawah sadar melalui otomatisme (automatic drawing). Dalam ekperimen tersebut Breton memiliki pandangan bahwa kajian Freud tidak semata demi kepentingan psikoanalisis. Tetapi dapat juga diterapkan dalam seni, terutama tentang gagasan “asosiasi bebasâ€&#x; dan teknik menganalisis mimpi. Breton dalam Manifesto of Surrealism mengatakan bahwa surealisme adalah otomatisme psikis yang murni. Surealisme berdasarkan pada keyakinan tentang realitas yang superior dari kebebasan asosiasi kita yang telah lama ditinggalkan. Dalam kondisi keserbabisaan mimpi, pemikiran kita otomatis tanpa kontrol oleh kesadaran kita. Dan kajian psikoanalisas Breton, menggali segala sesuatu yang berada di belakang kesadaran (bawah sadar) dalam memahami proses kerja seniman. Freud mempunyai pemikiran bahwa mimpi yang tidak beraturan, lahir dari hasrat atau keinginan yang terpendam dalam alam bawah sadar. Maka pada paham surealisme, hasrat-hasrat yang terpendam keluar secara terbuka dan bebas. Karya sastra bercorak surealis umumnya susah dipahami karena gaya pengucapannya yang melompat-lompat dan kadang terasa agak kacau. Aliran ini terlalu mengagungkan kebebasan kreatif dan berimajinasi, sehingga hasil yang dicapai menjadi antilogika dan antirealitas.
PURAKASASTRA | APRIL 2015
15
KAJIAN SASTRA
Bisa jadi apa yang terungkap itu pada mulanya berangkat dari kenyataan sekitar. Tetapi karena goresan imajinasinya sudah demikian kuat, dan jauh dari pemahaman umumnya, maka seolah-olah apa yang diungkapkannya tidak ditemukan dalam realisme. Dengan demikian, karya sastra ber-genre puisi dapat dikatakan surealis, jika ada ungkapan imajinasi pengarang, (sastrawan) yang di luar batas penafsiran pada umumnya. Dengan kata lain, puisi itu sulit dipahami, tidak mudah diterka oleh pembaca. Namun puisi surealis tidak pula terlepas dari makna. Puisi surealis tetap memiliki makna dan keindahan. Puisi surealis cenderung terkesan absurd. Namun bukan termasuk absurdisme. Surealisme berbeda dengan absurdisme. Bedanya, absurdisme adalah ledakanledakan bawah sadar yang disertai penolakan serta pengingkaran terhadap kesadaran. Sedangkan surealisme dengan teknik otomatismenya menciptakan proses kreatif yang menempatkan diri pada ledakan bawah sadar yang didasarkan pada kesadaran. Segala hal dalam kesadaran dikeluarkan, secara otomatis. Kemudian diledakan oleh alam bawah sadar, lalu dikembalikan lagi pada kesadaran. Tidak mudah mengategorikan, apakah puisi yang dibuat para penyair merupakan surealisme. Tidak setiap penyair juga, bisa memiliki kepastian mengenai aliran puisi mana yang telah diungkapkannya. Butuh kajian yang lebih mendalam mengenai hal tersebut. Ada beberapa pengarang yang dikenal dengan karyapuisinya yang surealis, yakni Toto Sudarto, Afizal Malna, W. Haryanto, Mashuri, H.U. Mardi Luhung, Muhammad Aris dan Zaki Jubaidi. Mari kita simak tulisan di bawah ini.
Di dalam kulkas itu ada sebuah negara yang sibuk dengan jas, dasi dan mengurus makanan anjing. Sejak ia berdusta, aku tidak pernah memikirkannya lagi. Aku memakai rakit bambu, kembali pulang ke nenek moyangku. Mereka ternayata tak pernah tidur. Mereka sibuk menjaga pohon pisang di pinggir kali. Lalu mereka kembali mengajariku menyanyi. menabuh dan menari, Dari tubuhku berjatuhan telur-telur busuk. Nyayian sungai dan pesta-pesta batu. Aku berteman dengan seekor anjing yang sudah lama membenci negara yang tak pernah keluar dari dalam kulkas itu. Kulkas dengan partai-partai spanduk dan kaos oblong. Yang sibuk mencekik suara rakyat. Cahaya matahari sangat ramah di sini, menerangi bulubulu anjing. Dari puisi Afizal Malna, dapat dikategorikan sebagai surealisme. Ada pemakaian analogi-analogi yang di luar batas dugaan. Pemakaian objek untuk mengungkapkan sesuatu yang memiliki makna yang dalam. Contohnya pada kata “kulkasâ€? dalam larik: ‌Kulkas dengan partai-partai spanduk dan kaos oblong. Yang sibuk mencekik suara rakyat. Cahaya matahari sangat ramah di sini, menerangi bulu-bulu anjing‌ Kata tersebut bisa jadi analogi untuk pemerintahan, atau birokrasi. Pemerintahan dengan segala birokrasi, yang mengatakan dirinya cerdas, dan mampu menjadi pemimpin, dengan segala kampanye dan janji-janji palsu. Demikian selayang pendapat penulis. Bisa jadi, ada makna lain yang tersirat. Bagaimana dengan arti atau maknanya secara keseluruhan? Andalah sebagai pembaca yang memiliki kebebasan berimajinasi dan berekspresi untuk menafsirkannya, dengan segala pengetahuan, kecerdasan, dan tanpa asal-asalan.
Persahabatan Dengan Seekor Anjing Karya: Afizal Malna Aku tidur di depan sebuah kulkas Suaranya berdengung seperti kaos kakiku di siang hari yang terik.
Jumat, 27 Februari 2015 *) Yessy Oktaviani, Pegiat Sastra
PURAKASASTRA | APRIL 2015
16
PURAKASASTRA | APRIL 2015
17 foto: karya Manaek Sinaga
MENTADARUSI WAKTU dengan (Membedah Buku “MATAPANGARA” Karya Raedu Basha) oleh DIMAS INDIANA SENJA Waktu ke waktu Cekat kami jaga abad
setiap orang, namun waktu lebih dilihat sebagai kesempatan, uang dan karya yang terus berlangsung mengukir hidup yang tiada hentinya.
Menikam gelap Mengertak nyanyian jalang dengan kristal puisi! (Penjaga Abad, 25)
egitulah sekiranya Raedu Basha mengajak saya membaca-menulis-mengapresiasi puisi untuk keperluan menjaga abad, menjaga waktu. Puisipuisi Raedu Basha yang terkumpul dalam sebuah buku bertajuk “Matapangara” ini sangat didominasi dengan persoalan waktu. Entah dengan latarbelakang apa, entah dengan latardepan apa. Setidaknya, saya menginventarisir diksi-diksi yang mengarah pada persoalan waktu. Dan dari 27 puisi, hanya 3 yang tidak menyoal tentang waktu, yakni Ilir, Tiba di Sebuah Negeri, dan Radarparana. Tiap masyarakat memilki pandangan yang relatif berbeda tentang waktu yang mereka jalani. Sebagai contoh, masyarakat Barat melihat waktu sebagai sebuah garis lurus (linier). Konsep garis lurus tentang waktu diikuti dengan terbentuknya konsep tentang urutan kejadian. Dengan kata lain sejarah manusia dilihat sebagai sebuah proses perjalanan dalam sebuah garis waktu sejak zaman dulu, zaman sekarang dan zaman yang akan datang. Berbeda dengan masyarakat Barat, masysrakat Hindu melihat waktu sebagai sebuah siklus yang terus berulang tanpa akhir. Cara pandang terhadap waktu bukan hanya sekedar cara melihat detikan arloji pada dinding yang terus berputar tanpa henti dan menunggu komando dari
Kebebasan waktu terjadi di mana orang mampu memberikan segala karya, cipta, dan karsanya bagi semua. Sebagai sesuatu yang lekat dengan kehidupan. Waktu memang satu hal yang unik. Waktu sendiri setidaknya ada tiga, waktu lampau, waktu sekarang, waktu esok. Pun dengan puisi-puisi Raedu yang menyoal tentang waktu, yang kemudian saya invertarisir menjadi: a. Waktu dulu, Waktu dulu, waktu yang telah lampau, waktu yang sudah dialami, atau juga dinamai sejarah. Puisipuisi Raedu tentang masa yang telah berlalu menjadi semacam kenangan romantismeromantisme yang kini tidak lagi diketemukan. Antara lain dalam puisi “Hikayat Negeri Sorga” (hal 11). Adalah sebuah kenangan tentang negeri Sorga, yakni tempat di mana ia dilahirkan dan dibesarkan, bernama Madura. Perihal waktu lampau, Raedu memakai diksi “dahulu” dahulu dari rusuk baling-baling yang pasrah pada angin aku dapat menatap tangis haru moyangku airmatanya yang tawar dapat kucicipi bila kuasini dengan garam hingga dari airmatanya dapat kunisbatkan: perjuangan adalah ketabahan tanggul tambak menngulai ketegaran tambak membuah ketenangan PURAKASASTRA | APRIL 2015
18
Ini adalah romantisme masa lalu yang kini hanya dikenang oleh Raedu, yang kini sudah tidak ada atau hilang. Sebagaimana penjelasan Kuntowijoyo, sejarah akan banyak bertalian dengan kausalitas. Maka dalam puisi ini pun Raedu menuturkan potret masa kini yang membuatnya gelisah namun entah siapa telah berbual dalam syukurnya airlaut tiada mengasin lagi tambak hanya menanam lelah tambak hanya memanen sepi
Membunuh musuh di dalam diri adalah sebuah upaya muhasabah terhadap diri. Dilakukan dalam waktu yang sekarang, untuk mengingat segala apa yang terjadi di waktu lampau, untuk mempersiapkan waktu esok. nurani dan birahi bercakap tentang gairah yang bergelombang hati dan pikiran berkeluh ke mana hendak melangkah, o ke mana hendak melangkah? ke arah angin berseling siul seruling
Begitulah Raedu mencurahkan kegelisahannya, atas apa yang terjadi di Madura yang ia rasakan kini, berbeda ketika nun berabad lalu sewaktu Pangeran Katandur mengerjakan kalimahsyahadat/mengelilingi daratan Madura/;samudera mennggumpal kristalan putih/garam membuih/laut mendawuh di kening dermaga/ikan-ikan berlompatan di jantung segara/sungguh rekah tuhan menggelar sebuah negeri sorga/.
ataukah ke udara perkasa menerompa lautan
b. Waktu sekarang
di mana kutemu dirimu dalam gelap dalam sepi
Pada pembuka kumpulan puisi ini, sebuah puisi “Ternyata Sudah Sangat Malam” (hal 9) adalah isyarat Raedu tentang waktu yang sedang ia jalani, yang sedang ia hadirkan dirinya. Adalah sebuah permenungan yang sedang dialami Raedu di tengah malam, /bertekur sepi bertukar mimpi/detik-detik menghantarkan alur menungku.
menatapku begitu tajam seperti lotot elang
Puisi ini barangkali menjadi semacam muasal kebersadaran akan keberadaan dirinya, yang saat ini dengan kondisi yang sedemikian entah, apalagi judulnya begitu bermuatan penekanan tentang itu, “ternyata” mengindikasikan waktu sekarang yang baru ia sadari kehadirannya. Dalam waktu yang sekarang Raedu mengupayakan sebuah dialog batin
Kedua puisi ini mempunyai inti yang sama, sebuah laku muhasabah diri. Dialog diri. Bercermin pada diri. Di kesunyian malam. Sekalipun begitu, ada setangkup optimisitas yang ia ketemukan setelahnya
aku ksatria yang terluka dalam perang
menumpulkan penglihatan menghanguskan badan
kemudian menentang badai? Kalimat ini adalah pengharapan atas apa yang akan dilakukan ke depan, menghadapi waktu esok. Kesunyian yang dialami aku-lirik ini, mempunyai kesamaan dengan apa yang ada di puisi “Tadarus Kesunyian” (hal 50), di kesunyian ini kujumpa wujudku beringas meraba mimpi-mimpi kahfi
tapi ada sebaris kata yang tersimpan entah kalimat cinta atau kerikil Ababil yang siap kaulemparkan ke dasar badan aku masih tak paham
walau aku tak segagah Musa menerjal batu namun kulenguhkan langkah menelusuri Sinaimu di mana jelmamu melebihi perkasa matahari
aku tak ingin mati sebelum menang membunuh musuh di dalam diri… PURAKASASTRA | APRIL 2015
19
aku akan terus lagukan tanya pada rindu aku akan terus dendangkan tanya pada rindu walau bibir begitu luka mengeja kata takkan henti kulantunkan tadarus sunyi karena waktu teramat sepi sebab tatapmu masih tak kupahami foto: karya Latifa c. Waktu esok Kata orang, masa lalu adalah kenangan, masa sekarang adalah kenyataan, masa esok adalah harapan. Namun, apakah ketika didengungkan “harapan”, akan terlintas di bayangan, bahwa masa esok akan menjadi lebih baik? Pemikiran manusia sangat lekat dengan hal-hal yang idealis, namun kenyataan, atau realita kadang tidak seperti yang diharapkan. Barangkali kita mengingat tragedi Titanic 1992, sebuah pencapaian sains, yang disebut sebagai “yang tidak dapat tenggelam”, namun akhirnya justru tenggelam memakan banyak korban pada pelayaran pertama. Begitulah, realitas kadang bertabrakan dengan idealita atau pengharapanpengharapan, sekalipun persiapan untuk menghadapi waktu esok sudah sedemikian rapi. Setidaknya itu yang ditakutkan Raedu dalam rangka menyongsong hari esok, seperti dalam puisi “Pademaru” (hal 36), ia berkata
Hal ini menjadi sebuah kegelisahan seorang Raedu, terkhusus dalam meramalkan kemungkinankemungkinan terburuk yang akan terjadi pada tanah moyangnya: Madura. Seperti puisi “Menatap Las Vegas” (hal 32) menatap Las Vegas bangunan-bangunan menjulang mencakar langit atmosferku emosi karam di antara gemerlap lampu berdecaklah jagad Kuldesak sambil kueja mantra-mantra Sakera sekedar membuang ketir dan gemuruh yang ranggas di dalam otak inikah Madura kelak postmodernism megapolitan disajikan anakputuku
dalam tengadah tangan aku mengemis
hidangan dunia yang gila
setetes madumu lebur meresap ke runduk
di mana tak kudengar
khusyukku
nyanyian sumbang kakek lugu seperti tembang kae menjelang tidurku.
kecuplah keningku restui kembara ini kulanjutkan ke jauh waktu Waktu esok, adalah misteri. Begitu kira-kira. Segala kemungkinan bisa saja terjadi, di luar perencanaan-perencanaan. Bahkan sesuatu yang terjadi tiba-tiba.
Begitulah, ketakutan yang muncul di puisi Raedu, senada dengan apa yang diungkapkan Kevin O’Doneil dalam buku “Posmodernisme” (2013: 13), revolusi industri—yang nantinya berdampak pada modernism—menghasilkan komoditas dan kemewahan baru, tetapi apa bayarannya? Komunitas tradisional dimusnahkan dan lingkungan tercemar. PURAKASASTRA | APRIL 2015
20
foto: karya Latifa Kleden (2004;8-9) mengatakan bahwa karya sastra tidak dapat mengelak dari kondisi masyarakat dan situasi kebudayaan tempat karya itu dihasilkan, sekalipun pengarang dengan sengaja berusaha mengambil jarak dan bahkan melakukan transendensi secara sadar dari jebakan kondisi sosial dan berbagai masalah budaya yang ada di sekitarnya. Karya sastra adalah hasil pencurahan kedirian pengarang secara intensional dan terus-menerus kepada dunia sosialnya. Karya sastra yang diciptakan pengarang merupakan usaha coba-coba, yang di dalamnya terdapat kemungkinan-kemungkinan kontruksikonstruksi baru tentang dunia sosial yang dialaminya. Kenyataan hidup sehari-hari, sebagaimana yang diekspresikan juga dalam karya sastra, bersifat intersubjektif, dipahami bersama-sama oleh orangorang yang hidup dalam masyarakat sebagai kenyataan yang dialami, termasuk pengarang sebagai anggota masyarakatnya. Kendatipun kenyataan hidup sehari-hari merupakan dunia intersubjektif namun bukan berarti antara orang satu dengan orang yang lain selalu memiliki kesamaan perspektif dalam memandang dunia bersama. Sebaliknya setiap orang memiliki perbedaan pendangan.
Pun pengarang (baca:penyair). Perpsektif ini bukan hanya berbeda bahkan juga bertentangan. Namun, bagi Berger dan Luckman (1990:34), ada persesuaian yang berlangsung terus-menerus antara makna-makna orang yang satu dengan yang lain. Begitu juga dalam persoalan waktu itu sendiri. Untuk menutup tulisan singkat ini, saya mengutip puisi “Penjaga Abad� (hal 23)/ Puisi setia menjaga angka/dalam abjad semesta/jam kalender serta kode-kode misteri/di berantah buana mana/. Begitulah puisi. Suara hati penyair. penyair adalah pengungkap rahasia-rahasia/ seperti
bisu
namun
hakikat
suaranya/
mengumandan suara jagad raya/ suka duka diabadikannya dalam bahasa hati nurani!.
Pustaka Senja, Februari 2015. Dimas Indiana Senja, penyair dan esais. Pengasuh Komunitas Pondok Pena. Buku puisinya Nadhom Cinta (2012), dan Suluk Senja (2015).
PURAKASASTRA | APRIL 2015
21
BEBERAPA PUISI BESERTA
JENIS DAN ALIRANNYA oleh ADI SEPTA SUGANDA
1. Pengantar Sastra adalah suatu kegiatan kreatif, sebuah karya seni. Dan puisi bagian dari sastra. Puisi lahir dari kreatifitas akal dan juga imajinasi yang akan terus berkembang dari masa ke masa. Keratifitas-kreatifitas baru tercipta seiring perjalanan waktu dan bukan untuk menggilas keratifitas- kreatifitas yang lama. Yang lama bukan berarti using. Kreatifitas baru muncul untuk sesuatu yang baru, membawa suarasuara baru dan idealisme yang baru. Puisi terus berkembang, terus hidup. Berikut ada beberapa jenis puisi yang akan diulas, dilihat dari isi puisi dan jumlah barisnya, serta pengolongan aliran sastra. II. Beberapa Jenis Dan Aliran Puisi 1. Mahamantri mukya Gajah Mada Oleh:Wiwi Ardhanareswari Tanpamu tiada nama Nusantara Jerih payahmu tak kenal lelah Di bawah panji gula kelapa Bumi pertiwi berdiri megah Kau ikrarkan sumpah palapa Sabda maharaja di telapak kakimu Sang paduka hanyalah boneka Kuasa titah di genggamanmu Engkau manusi bukanlah Dewa Saat terlena akan kuasa Paduka lara kekasih tiada Bubat saksi duka nestapa
Terbuang istana nan megah Terasing bising kotaraja Tiada semangatmu kan punah Tuanmu datang berselimut iba Sang pertapa mengukir karya Bangun negri aman bestari Berjaya berjuta-juta pesona Ragamu moksa namau hakiki Bandungan, 11 November 2014 Puisi “Mahamantri mukya Gajah Mada” dilihat cara menyampaikan isi dan gagasanya adalah puis epik. Puisi epik, yakni suatu puisi yang di dalamnya mengandung cerita kepahlawanan. Kepahlawanan yang dimaksud berhubungan dengan legenda, kepercayaan atau sejarah. Puisi epik dibedakan menjadi folk epic dan literary epic. Folk epic yaitu jika nilai akhir puisi itu untuk dinyanyikan. Literary epic yaitu jika nilai akhir puisi itu untuk dibaca, dipahami, dan diresapi maknanya. Termasuk dalam aliran Heroisme, yakni Aliran yang mencuatkan nilai-nilai kepahlawanan, kecintaan terhadap tanah air dan figur teladan bangsa, serta semangat membela tanah air.
“Kadang-kadang, kata yang paling sederhana adalah yang paling indah. Dan paling efektif.” [Robert Cormier] PURAKASASTRA | APRIL 2015
22
2. GADIS PENGGODA Oleh : Guntur S.Y. Hening sunyi malam tak bertepi Detak jantung berdegub meresapi Hembus angin di ufuk senja Di ruang rindu aku tercumbu sayu Terkenang kisah bersama wanita perayu Di antara keramaian para penjaja Kau wanita berparas cantik Melenggang langkahmu membuat hasrat terpantik Lirih suaramu lembut buaianmu memanja Hati tak kuasa menahan goda Dengan bujuk rayunya mendebarkan dada Hasrat meluap nafsu pun meraja : Pujangga Luka 09 Januari 2015 Puisi “Gadis Penggoda” dilihat dari jumlah barisnya tergolong puisi Terzina yang tiap baitnya terdiri atas tiga baris. (puisi tiga seuntai). Dilihat dari isinya ialah jenis puisi Romansa. Berisi luapan perasaan cinta kasih. Romansa berasal dari bahasa Perancis yakni romantique, yang berarti keindahan perasaan, persoalan kasih sayang, rindu dendam, serta kasih mesra. Puisi “gadis Penggoda”, termasuk dalam Ironisme, Aliran yang mementingkan nada mengejek, kadang terus terang, kadang melalui sindiran-sindiran. Bisa juga, karya itu sebenarnya merupakan kritik tajam terhadap kondisi sosial atau perilaku tokoh tertentu. 3. SUJUDKU Oleh:Bidadari sastra timur Membasuh raga dengan tirta suci Tuk baluri diri atas pasrah jiwa Hadap sujud hadirat Illahi robbi Dalam sisi hati dalam perih Ikhlas dan tulus terlaku dalam tiap tafakur Lantunan ayat ayat suci iringi langkah Gema surau seakan dendang kan melody Begitu indah dalam ngiang indera
Serahkan diri dalam titik kepasrahan jiwa Pasrahkan hati atas ketulusan sukma Ratapi jejak dalam langkah lalui hidup Tiada arti diri saat di hadapMu Lafadznya tiada henti terlantun lisan Hingga tiada terasa bulir itu mengalir Meski rintik namun derai itu deras Harapkan terjabah semua doa juga angan Salam santun aksaraku Bidadari Sastra Timur Jakarta , 30 Januari 2015 Puisi “Sujudku” dilihat dari jumlah barisnya adalah puisi Kuatrain, puisi yang tiap baitnya terdiri dari empat baris (puisi empat seuntai), dan disebut puisi Himne, ialah sajak pujian kepada Tuhan atau sajak keagamaan.Beraliran Religiusme, aliran yang mementingkan nilai-nilai keagamaan atau renungan tentang Tuhan dan manusia di hadapan-Nya. Sastra religius dimiliki oleh setiap agama, juga oleh sastrawan yang punya penghayatan personal terhadap Tuhan. 4. Perempuan Malang Itu Oleh: Rahmi Di sudut malam yang henin Ku melihat seraut wajah Yang kian menua dan lemah tak berdaya,dan Sembari menghela nafasnya yang teregah-egah Perempuan renta yang begitu bersahaja, Terus berjalan dan melintasi lorong-lorong panjang dan penuh belantara Kini, perempuan malang itu Lumpuh tak berdaya Hanya mampu merintih atas sakit yang sedang di deritanya saat ini Perempuan malang itu Kaulah perempuan yang hebat, yang pernah ku temui Di sudut malam itu Banda Aceh,14 Nov 2014
PURAKASASTRA | APRIL 2015
23
Puisi “Perempuan Malang Itu” ialah Puisi Deskriptif jika melihat dari cara penyampaikan isi puisinya. Dalam puisi deskriptif, penyair memberi kesan terhadap suatu peristiwa atau fenomena yang dipandang menarik perhatian penyair. Jenis puisi yang dapat dikategorikan ke dalam jenis ini adalah satire, kritik sosial, dan puisi-puisi impresionistik. Termasuk dalam aliran Realisme yang mengutamakan realitas kehidupan. Sastra realis merupakan kutub seberan dari sastra imajis. Apa yang diungkapkan para pengarang realis adalah hal-hal yang nyata, yang pernah terjadi, bukan imajinatif belaka. 5. Pintu Dan Penjaga Pintu Oleh: Reinard L. Meo pada malam di pekarangan rumah seorang bijak, anak muda yang busuk akalnya teringat akan pesan guru yang lebih tolol darinya “…jika kau ingin mencuri, bertindaklah tegas dan lakukan secepat mungkin sebelum kau tertangkap!” anak muda yang busuk akalnya itu dengan spirit yang menggebu, berlari dan segenap jiwa melabrak pintu rumah seorang bijak yang sedang terlelap di dalamnya “Dubbb….krekkk…!” beberapa bulan kemudian anak muda yang busuk akalnya itu duduk menyambut Jemaah di pintu rumah ibadah kakinya pincang karena tulangnya patah rupanya, ia melabrak pintu duplikat pintu yang dilukis pada tembok oleh si orang bijak yang sebentar lagi akan memimpin ibadah di rumah ibadah itu (Ledalero, September 2014) Puisi “Pintu dan Penjaga Pintu” dilihat dari cara penyair menyampaikan isi karyanya ialah puiasi naratif. Puisi Naratif, ialah mengungkapkan cerita atau penjelasan penyair, baik secara sederhana, sugestif, atau kompleks. Beraliran Ironisme, aliran yang mementingkan nada mengejek, kadang terus terang, kadang melalui sindiran-sindiran. Bisa juga, karya itu sebenarnya merupakan kritik tajam terhadap kondisi sosial atau perilaku tokoh tertentu.
6. Nyanyian Musafir Pinggir Jalan Oleh:Rhet Imanuel Wajah kehidupan begitu banyak rupa. Diantara para pendosa, masih banyak mata melihat ketimpangan terjadi di muka bumi pertiwi. Hakim-menghakimi, timpang tindih tertumpah berbagai cawan yang tak menyorot rasa keadilan. Itulah sebuah garis dari perjalanan hidup. Muka telanjang, tertawa lebar dengan berbagai macam kotoran hewan. Melihat segala aspek, kembalilah pada sebuah realita kehidupan jalanan. Petinggi negeri berdiskusi pada keindahan taman kota. Berbagai aksi pun ditabuh, demi menyingkirkan para pemakai trotoar jalan. Layakkah? Terbesit suatu pertanyaan, bagi para penikmat yang menggemari wajah kusut, menggelar barang dagangannya demi sesuap nasi yang kian hari marak mengisi hari. Pastinya semua menginginkan keindahan. Pastinya bukan? Tentulah dengan berbagai wacana, mencoba menyingkirkan segala batu sandungan yang terlihat menjijikkan. Hanya dalam sekejap, taman pun terisolasi oleh wajah-wajah garang. Dilengkapi dengan sepatu PDL, menambah kebringasan untuk menendang para pembangkang. Semuanya tentu merindukan keindahan dan kedamaian di muka bumi, apalagi negeri tercinta kita Indonesia yang ada di segala pelosok wilayah. Namun, segala aturan yang tertulis, seperti buah simalakama. Entah seperti apa buah itu rupanya, tak ada yang mengerti. Hukum berpijak yang katanya tanpa alas kaki dan tak memiliki mata untuk melihat, ternyata masih berlaku di negeri ini. Lihatlah, mengatasi masalah tanpa solusi. Ibarat sedang berkuda, malah keledai yang ditumpangi. Benarlah nasib orang susah semakin susah. Yang seharusnya tajam ke atas, telah menikam orangorang bawah. Polemik yang menyimpang siurkan keadilan, telah tenggelam dan menyusahkan para etnis jalanan demi kepentingan golongan.
PURAKASASTRA | APRIL 2015
24
Bila dana santunan dapat dikucurkan untuk para orang yang telah terpulas di liang lahat, sedang para penikmatnya adalah ahli waris dari burung besi yang tenggelam di hamparan lautan. Senggol bacok menuju ranah hukum bila tak terkuras kucuran dana, yang memang telah dinanti-nantikan sungguh menggiurkan. Mengapa pemerintah tak mampu tangannya menjamah, bahkan memikirkan kehidupan mereka para penyandang jalanan; yang hanya mampu mengais rejeki dengan modal hutangan? Sungguh miris memang menatap wajah negeri. Menjadi musafir di negeri sendiri. Tak perduli, sekalipun wajah tertulis caci. Asalkan Bapak-bapak berdasi merasakan hidup senang, tak perlu susah menjadi dermawan bagi mereka yang masih berperang melawan hari. Dan sekali lagi, tanpa ada solusi bagai berada di tengah kota mati. Semarang, 06.01.15 Puisi “Nyanyian Musafir Pinggir Jalan” ialah puisi naratif kalau dilihat cara penyair menyampaikan isi dari karyanya. Puisi Naratif mengungkapkan cerita atau penjelasan penyair, baik secara sederhana, sugestif, atau kompleks.Beraliran Realisme Sosialis, ialah karya sastra secara realis yang digunakan untuk mencapai cita-cita perjuangan sosial. 7. Rindu Oleh: Reinard L. Meo kepada binatang malam kutitipkan rinduku binatang malam yang kurang darah itu bertamu ke kenisah rembulan dan mengujud rinduku, ia lalu tidur rembulan yang gemulai pada malam Sabtu itu menyimpan rinduku dan meminta pertolongan pada angin kala ia akan terpeleset di batas cakrawala angin yang elok rupawan itu berhembus berganti tempus hingga tempus dari locus ke locus lalu terkulai di pangkuan Ibuku yang sedang mengunyah sirih dan pinang menjelang Natal, sepucuk surat bertamu di bibir pintuku, didahului siulan tawon dengan tulisan tangan bertinta biru, Ibuku menyapa: “Nak, bukankah Ayahmu yang telah tiada itu pernah berpesan?
Meridukan Ibu berarti menyulam doa dan bertekun jadi makna! Mengapa binatang malam, rembulan, dan angin kau buat sibuk?” aku mengakhiri sembayang malam dengan maaf pada Ibuku, di sudut hati yang tetap keras kepala “Aku merindukanmu, Ibu, sungguh…!” (Ledalero, September 2014) Puisi “Rindu” ialah jenis puiuisi Naratif yang mengungkapkan cerita atau penjelasan penyair, baik secara sederhana, sugestif, atau kompleks.Beraliran Romantisisme, aliran karya sastra yang sangat mengutamakan perasaan, sehingga objek yang dikemukakan tidak lagi asli, tetapi telah bertambah dengan unsur perasaan si pengarang. Aliran ini dicirikan oleh minat pada alam dan cara hidup yang sederhana, minat pada pemandangan alam, perhatian pada kepercayaan asli, penekanan pada kespontanan dalam pikiran, tindakan, serta pengungkapan pikiran. III. Penutup Dari beberapa jenis puisi dan aliran puisi di atas, pastilah masih ada banyak lagi jenis dan aliran puisi yang belum sempat dituliskan disini,tapi ada hal yang perlu di garis bawahi yaitu puisi akan terus hidup dengan jenis-jenis baru dan dan kreatifitas dan idealisme yang baru. *Dikutip dari berbagai sumber.
foto: karya Ade Junita
PURAKASASTRA | APRIL 2015
25
PURAKASASTRA | APRIL 2015
26
foto: karya Latifa
erkas-berkas kerja masih menumpuk dan harus kubaca. Sepi, di sekitarku. Malam begini, cuma aku sebagai redaktur yang masih bekerja. Dalam sebuah ruangan di lantai 17 ada jendela sebagai lubang melihat pemandangan indahnya kota Jakarta di malam hari. Lampu-lampu menyala, kilat-kilat guntur menjulung dari langit hampir sampai pada sebuah gedung. Langit pun mendung sepertinya kota ini akan di guyur hujan. Waktu berjalan meniti hari, saat bintang-bintang kota pancarkan sinarnya, walau kecil memberi harapan. Hey.., itu bintang buatan dari cahaya lampu kendaraan dan penerangan jalan raya. Kuhisap rokok, pikiranku merayap ke dalam, pada tangkaitangkai mimpi dan bayang-bayang malam dalam lamunan. Lekuk-lekuk hati kian bersuara di peraduan gempita musik menghalau duka. Brengsek aku masih terus membaca tentang pembunuhan, peculikan yang belakangan ini di lakukan sekelompok orang-orang atas nama agama, yang berucap tentang kemurnian. "Tidak ada mewujudkan keinginan hingga banyak hujan air mata. "Darah itu masih basah, menempel tercecer di antara potongan-potongan tubuh manusia. Ku-seruput kopi hitam, dadaku sesak kembang kempis. Bagaimana dengan keluarga mereka. Sudah bertahun-tahun aku membaca laporan para wartawan, tapi baru kali ini aku merasa sangat terpengaruh.
HARINDRA ARDIYANTO SADEWO foto: karya Manaek Sinaga
“Semua kepentingan ada di dalam agama, ini sangat berbahaya jika orang-orang kotor mengatas namakannya…’‘Agama bukan menjadikan seseorang menjadi preman. Agama bukan untuk membantai banyak orang. Agama murni untuk menciptakan kedamaian. Sudah banyak orang-orang cerdas, tapi masih ada yang seperti ini…’ Berkas berita di kantor kubaca sampai tanganku gemetaran. Pada baris terakhir mereka semakin berulah. Mereka menjual “narkoba dan organ tubuh manusia” demi mendapatkan dana untuk kepentingan kelompok mereka. Ya, ini memang harus gambling. Biar masyarakat yang lainnya tidak ikutikutan dan membela terhadap kelompok mereka. Orang-orang busuk di balik kedok berlabel agama. Sungguh memilukan. Tuhan, apa gerangan yang ingin Engkau tampilkan? Bahkan tidak ada satu makhlukpun memahami sekenario Tuhan Semesta Alam. Aku ingat beberapa hari yang lalu, seorang pilot dibakar hidup-hidup. Ia mengalami proses pembakaran diri di dalam ruang tahanan dalam kondisi pengaruh obat bius yang tinggi. Gereja-gereja, Masjid-masjid serta tempat ibadah lainnya dan kampung-kampung tak luput dari kekejaman kelompok militant tersebut. Telpon bordering ‘kring..kring..kring..kring’ ku jawab , “Ayah lekas pulang". Cijantung, 2 Maret 2015 – Rumahku
PURAKASASTRA | APRIL 2015
27
foto: karya Manaek Sinaga
oleh HARINDRA ARDIYANTO SADEWO abu malam Jhoni keluar rumah, sekedar melunakkan pikiran, ketika sore banyak pekerjaan yang terlalu membuat dia sibuk. Kerap kali hari-harinya berlalu Begitu saja. Maklum, dia seorang mahasiswa yang sambil bekerja. Ini tentu, hal yang lumrah bagi penduduk Ibu kota. Sesekali Jhoni membahin “aku membutuhkan sesuatu yang ringan, lalu buatku tertawa atau suatu tempat yang memberi kesejukan, kebebasan, keharmonian dan perlahan menenangkan seluruh sisi tubuhku” Dia mengingat dalam dan menutup mata, pikirannya bergerak membelah belantara akal menuju tempat idaman. Banyak bukit berbatu yang di pisahkan oleh padang rumput hijau dan bentang langit luas, gumpalan kecil awan yang berarak kemerahan saat sore, serasa alam menempatkan keluh kesah kehidupan, di sisi lainnya. Sigur Ros, gambaran yang ada di video klip, pada lagu yang berjudul, Hoppipolla dan Olsen Olsen, ada tampilan puluhan orang berkumpul di kota kecil Islandia. Wajahwajah mereka terpampang dengan mata teduh, pikiran yang ringan bersama-sama menikmati suasana penuh senyum dan tawa.
Keharmonian telah menjadi milik mereka. Banyak orang takjub mendengar suara instrumental dari berbagai jenis alat musik, yang di komposisikan menjadi suara-suara nada berasakan harmoni lekat dengan kebebasan dan memberi kesejukan bagi penikmatnya. Krengg-kreenng-kreennng... Krenggkreenng-kreennng.. suara motor Jhoni mengawali langkahnya di jalan malam. Seperti biasannya, ia ke café di seberang perempatan Jalan Rasuna Said Kuningan Jakarta selatan. Di sana ia berkumpul dengan kawan-kawannya. Suasana café mengadopsi nuansa klasik, vintage namanya. Sorotan lampu membayang di retina serasa di buai seperti sekujur tubuh melebur kedalam alunan jazz. Oh tidak hanya jazz. Tetapi juga rock’n’roll dan blues. Alunan music seperti itu, sering dihadirkan oleh sang pemilik untuk memikat para pengunjung. “Jakarta ini sudah terlalu sumpek, banyak para perusuh dan kriminalitas, jadi membutuhkan tempat seperti art café untuk meredam keluh kesah kehidupan di Jakarta”, agar ketika pagi menjelang semangat seperti matahari terbit hadir dalam asa mereka. Sore hari sepulang kerja, kadang ia menyempatkan diri mampir ke warung kopi. Seruputan kopi hitam kala sore membuatnya merasa lega, sambil berbaur di sekitar lingkungan rumah untuk bersosialisasi. Tiba-tiba mata Jhony melihat tajam ke arah jam 12, ia meliahat sekujur tubuh yang disinari matahari, ada tetesan keringat.
PURAKASASTRA | APRIL 2015
28
foto: karya Ade Junita Ternyata tetangganya, seorang tukang ojek yang kini menjadi pemulung. “Bang.. ngopi..” tegor Jhony, “Yoo Jhon.” sapaan balik bang gomas di lanjutkan dengan kata “masih kurang nih Jhon, abang keliling lagi deh”, “Masya ALLah.” gumam Jhonny dalam hati ‘kagum dengan semangat si abang untuk kelangsungan hidup keluarga’. Peristiwa ini menandakan yang lemah bisa semakin melemah tergilas roda kota. Tersisih, entah kembali ke desa atau penduduk asli setempat dan dari keduanya akhirnya mati dalam garis kemiskinan. Sudah mau tujuh dekade dari kemerdekaan, kesengsaraan tak kunjung pudar. Industri Ibu kota di kuasai oleh orang asing. Buruhnya kebanyakan orang pribumi. Bahkan dari hasil bumi pertiwi, di setir oleh mereka yang berkejasama dengan pemerintah. Kulinya, ya orang-orang kita. Kesenjangan yang buat mata Jhony pedas,”ini adalah PR bersama.” Begitulah pikirnya. Orang tidak berkecukupan mengaplingi Taman Kota di Penjaringan Jakarta Barat untuk rumah tinggal. Ini salah siapa? Atau siapakah yang peduli? Bahkan aku tak mampu memberikan sesuatu yang bernilai buat mereka. Mereka adalah kaum kusam Jakarta Raya.
Besar sekali Ibu kota ini, sampai ada Taman Kota untuk tempat tinggal bagi mereka yang kurang mujur. Apakah mau dialokasikan oleh Pak Gubernur? atau hanya di ratakan karena di anggap sampah Kota. Negara ini di anggap maju karena tingkat pengangguran yang minim dan kemiskinan tidak merajai dimana-mana. Bukan kepalang mereka yang kaya rela melihat-lihat si miskin. Bahkan sebagian mereka masih bersikap apatis. Lalu metutup diri. Timbul-lah bercak di hati, noda-noda hitam di hati. Mereka memanggil kemarahan Sang Penguasa (Tuhan Semesta Alam). Ah siapa yang peduli? Bila melihat sesuatu yang indah dan berpeluang, barulah kepedulian itu ada dan menyebabkan ke anehan bagi si perasa. (Seni kehidupan adalah di antara banyak orang berwajah ganda, Masih sanggup bersikap Tulus) Cijantung, 10 Febuari 2015 (Rumahku) “Yang menyebabkan kalimat pertama begitu sulit adalah karena Anda terpaku padanya. Semua yang lain akan mengalir dari kalimat itu.” [Joan Didion]
PURAKASASTRA | APRIL 2015
29
foto: karya Latifa
S EBUAH INSPIRASI MENJELMA PUISI oleh ADE J. ASNIRA
Puisi merupakan bahasa jiwa, rasa dan hati. Tak pernah bisa dijelaskan dengan seksama dan terperinci, mengenai bagaimana sebuah tulisan bisa dikatakan puisi. Demikian juga, para penyair, novelis, cerpenis atau pegiat seni lainnya, mengakui bahwa tak ada sesuatu yang memagari puisi sehingga menjadi sebuah bentuk. Sebabnya, puisi merupakan sebuah kebebasan. A. Mustofa Bisri bertutur, “Saya tidak berpikir, apakah tulisan saya pantas atau tidak disebut puisi. Tugas saya hanya menuliskan apa yang ingin saya tulis.” Berkenaan dengan puisi tersebut, tim Purakasastra meringkas tentang tanya jawab bersama seorang penyair Bayu Ambuari. Karya tulisan Ambuari, sebagian besar telah beredar melalui media cetak. Ulasan berikut berkaitan dengan telaah seputar, apa saja yang mendasari sebuah puisi dibangun. 1. Inspirasi Tulisan apapun, tentu berawal dari sebuah inspirasi. Dan inspirasi, bisa didapat dari mana saja. Hal sesederhana apapun. Tak perlu jauh-jauh. Apa yang ada di sekitar kita, bisa dijadikan inspirasi. Apa yang kita lihat, kita dengar, kita baca, bisa jadi inspirasi. Unsur pembeda dari sebuah inspirasi adalah kepekaan dan perspektif, untuk mengolah inspirasi menjadi puisi.
Sebagai analogi, ketika seseorang punya tempe. Ia bisa mengolah sesuai dengan kemampuan dan keahliannya. Bisa menghasilkan, tempe goreng, orek tempe, mendoan, atau bisa dicampur dengan bahan lain. 2. Bentuk puisi Beberapa penulis pemula, seringkali kebingunan ketika hendak menulis puisi. Kebinggungan bisa lahir dari pertimbangkan bentuk puisi. Mengingat, banyaknya ragam bentuk puisi. Misalanya, bentuk puisi lama, puisi baru, puisi kontemporer, puisi pasca kontemporer, dll. Bayu Ambuari, dalam sesi tanya jawab soal puisi, mengatakan, “Saya menyukai banyak bentuk puisi. Kalaupun ternyata pada akhirnya, saya lebih banyak menulis puisi yang sifatnya narasi. Tulisan semacam itu, tanpa rencana awal bahwa saya mau menulis puisi dalam bentuk apa. Saya menulis, seperti mengalir begitu saja. Apakah bentuk umum, narasi dsb.” Dari sini bisa diketahui bahwa bentuk sebuah puisi akan mengikuti tema atau pokok pikiran yang disampaikan, bukan sebaliknya. 3. Tema Setiap manusia dengan latar belakang kehidupan yang beragam, tentu memiliki cara pandang yang berbeda. Dalam puisi atau karya seni lainnya, satu tema yang ditelusuri bisa berbeda dalam cara pandang, ketika diwujudkan melalui tangan yang berbeda.
PURAKASASTRA | APRIL 2015
30
LENTERASASTRA
foto: karya Latifa
foto: karya Latifa Namun, berjuta-juta bahkan mungkin tidak terhitungnya sebuah tema, inti yang bisa ditarik dari kesemuanya hanyalah satu, yakni cinta. Cinta merupakan sebab bisa mengarah ke alam, Tuhan, dsb. 4. Inti Seperti yang telah diungkapkan di awal tulisan ini, puisi merupakan bahasa jiwa, rasa dan hati, itu berarti puisi tidak mungkin lahir dari ketiadaan rasa yang berhubungan dengan apa yang ditulis. Karenanya, inti dari sebuah puisi adalah rasa yang melebur, bersama kesadaran jiwa, keselarahan hati dalam memahami dan mencermati suatu hal tertentu. Tahap ini bisa dikatakan dengan istilah peka. Seorang penyair secara tidak sengaja dengan kepekaannya akan menggunakan rasa, yang ia dapatkan dari sesuatu hal untuk mendapat sebuah inspirasi. Pada pembahasan terakhir, tentu bukan hal mudah untuk dilakoni. Sebab, penyair dituntut untuk peka terhadap banyak hal. Mulai dari hal kecil sampai hal yang besar, dalam pengalaman perjalanan hidupnya. Peka dalam konteks ini tidak sama dengan rasa peduli.
Peduli sekedar ikut merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain, kemudian membantu sebisa mungkin. Dalam KBBI, peduli diartikan dengan mengindahkan, memperhatikan atau menghiraukan. Sedangkan kata, peka dimengerti sebagai mudah merasa, mudah terangsang. Untuk sampai pada tahap peka, tipsnya sederhana. Selain banyak membaca, sediakan waktu untuk memahami sesuatu lebih dalam dan lebih jernih. Kepekaan ini yang dibutuhkan dalam membuat puisi. Pada akhirnya, sebuah hasil tidak akan ada, tanpa langkah awal. Sebuah puisi, tidak akan jadi tanpa sebuah inspirasi. Sebuah inspirasi tak akan tumbuh tanpa kepekaan dalam diri seseorang. Seorang penyair memiliki kebebasan luar biasa sejak huruf pertama dituliskan (Asep Sambodja).
“Ada banyak hal yang menunggu untuk ditulis. Dan di setiap langkah anda, anda melihat hal tersebut.� (bijakkata.com)
PURAKASASTRA | APRIL 2015
31
LENTERASASTRA
oleh ADE J. ASNIRA
emulai menulis, terutama puisi, bukanlah sebuah hal yang susah. Ada banyak kata yang bisa mewakili ide. Bahkan dari sebuah huruf pun bisa digunakan untuk memulai puisi. Perhatikan contoh puisi karya Jeihan, seorang pelukis sekaligus penyair, berikut ini : Indonesia VVVVVVVVVVVVVVVVV VVVVVVVVVVVVVVVVV VVVVVVVVVVVVVVVVV VVVVVVVVVVVVVVVVV VVVVVVVVVVVVVVVVV VVVVVVVVVVVVVVVVV VVVVVVVVVVVVVVVVV VVVVVVVVVVVVVVVVV VVVVVVVVVVVVVVVVV VVVVVVVVVVVVVVVVV VVVVVVVVVVVVVVVVV VVVVVVVVVVVVVVVVV VVVVVVVVVVVVVVVVV VVVVVVVVVVVVVVVVV VVVVVVVVVVVVVVVVV VVVVVVVVVVVVVVVVV VVVVVVVVVVVVVVVVV V VIVA PANCASILA!1 Dari puisi di atas, bisa dilihat bahwa dari sebuah kata, seorang penyair seperti Jeihan (dan sangat dimungkinkan banyak penyair lainnya juga) bisa menjelmakan idenya dari satu huruf saja. Bukan hal yang susah, kan?
Sebagai analogi, ketika seseorang punya tempe. Ia bisa mengolah sesuai dengan kemampuan dan keahliannya. Bisa menghasilkan, tempe goreng, orek tempe, mendoan, atau bisa dicampur dengan bahan lain. Contoh lain bisa diperhatikan pada puisi dengan judul, Luka, karya Sutardji Calzoum Bachri dengan hanya berisi “ha ha�. Seorang penyair, sejatinya telah dibebaskan dalam memilih kata dan huruf, untuk mewakilkan perasaan, ide dan atau imajinasinya. Menurut Asep Sambodja, penyair sekaligus Pembina teather UI (2007) dalam buku, Cara Mudah Menulis Fiksi, hal-hal yang membedakan antara puisi penyair satu dengan lainnya adalah pesan yang ingin disampaikannya dan dengan cara seperti apa, pesan itu disampaikan. Hambatan umum dalam menulis puisi adalah bagaimana seseorang mendapatkan ide yang baru. Perlu diketahui, sebuah ide datang dari siapa pun dan dari apa pun, sebenarnya bukanlah ide baru. Hanya saja ada hal yang membuat, kenapa ide itu serasa baru. Sudut pandang, sikap, idealisme, kepribadian, latar belakang dan banyak hal lain lagi, yang mempengaruhi lahirnya ide sehingga terasa berbeda atau baru. Namun, ketika seseorang menangkap ide yang dituangkan ke dalam puisi, sangat mungkin ide tersebut, sebenarnya adalah gabungan, rangkaian dari beberapa ide yang pernah ditemui dari karya lain. Hal demikian bukan menjiplak, melainkan memperbaharui. Artinya bahwa kita mengolah kembali gagasan dalam pendapat orang lain, dan tidak mencatat lurus (seperti teks atau ungkapan asli dari penulis awal).
PURAKASASTRA | APRIL 2015
32
LENTERASASTRA
foto: karya Ade Junita Jika, memang dicatat secara lurus tanpa olahan, maka wajib memberikan catatan kaki, sehingga tidak disebut sebagai plagiat. Dalam ranah puisi, gagasan orang lain dapat diolah kembali, untuk menambah bobot pesan dalam puisi. Puisi dituntut untuk mempunyai pesan yang kuat dan dalam. Kekuatan pesan dan kata-kata padat, yang lazimnya ada dalam puisi, malah menguatkan cara pandang yang mengungkapkan bahwa puisi merupakan bentuk utuh dari sebuah ide tanpa perlu dicerai-beraikan atau diuraikan lebih panjang lagi. Dalam puisi, ada banyak sekali kata yang mewakili ide sang penyair. Jika ide tersebut cukup terwakilkan dengan empat larik dan dalam setiap larik, cukup 1 atau 2 kata saja, maka sudah cukup untuk sebuah puisi. Seperti puisi, karya Remy Sylado, berikut ini:
MENTAL ORANG INDONESIA doa kala sadar dosa kala lupa. Jadi, untuk apa bersusah memikirkan puisi yang bagus seperti apa dan bagaimana? Tuliskan saja apa yang ada dalam benak. Pilih kata yang tepat. Dan jadilah Puisi. Karena seorang penyair memiliki kebebasan penuh dalam memilih kata untuk membuat puisinya. Palimanan, 21 Maret 2015
foto: karya Ade Junita
PURAKASASTRA | APRIL 2015
33
PURAKASASTRA | APRIL 2015 foto: karya Latifa
34
oleh Dian Rusdi ALIF, KUTIKULA BUMI, DAN DAUN GUGUR Alif Nisan merah Bertutur tentang tanah bumi yang terangkat Gugusan bintang Meteor sirna Alif Berlari Lautan api Daun gugur Bukan masanya Mentari yang hadir Bukan di ufuk timur Alif Bersembunyi Bebatuan terangkat Proyeksi Tangga langit Semua hadir Dalam waktu misterimu Alif Mau kemana? Apa ada yang tersisa Apa ada yang bertahan Jika ada dimana? Sunyi Tandus Berduri tangisan Alif Semua sirna Pada enam plakat yang tersisa Nur Cahaya Nur Abadi Nur Bawa aku masuk pada sabuk selamatmu Safety earth End days Senin, 27 Oktober 2014. By : Erna Winarsih Wiyono –
Beberapa anggota grup Forum Sastra Indonesia (Forsasindo), mungkin telah melihat, membaca dan membedah untuk menerka pesan puisi di atas. Ada beberapa versi pembedahan yang akan diungkapkan, berdasarkan perspekstif masing-masing orang. Barangkali dari beberapa pembedahan tersebut, memberi cara berpikir baru serta membantu pembaca menangkap pesan puisi secara mendalam. Puisi, karya Erna Winarsih Wiyono, yang berjudul, “Alif, Kutikula Bumi, dan Daun Gugur,” bergerak pada tema kehidupan dunia fana dan pengabdian diri kepada sang Ilahi. Sebuah pengabdian yang bertujuankan selamat dari perihnya azab di hari akhir dunia. Bahwasannya, suatu saat bumi beserta isinya, akan luluh lantah dan hancur. Demikian pun langit dan segala keindahannya. Manusia yang menerima cahaya petunjuk dari sang khaliq, beriman kepada rukun iman, selalu beramal shalih-lah yang akan selamat dari segala kepedihan dan kengerian di hari akhir nanti (Wallohu ’alam). Pertama : Jabugar Joeni Regar Regar menyinggung soal tautan tema. Menurutnya, dia memiliki tulisan dengan tema kondisi kehidupan manusia dan bumi 50 tahun ke depan. Tulisan tersebut, terinspirasi dari pengumuman PBB tentang jumlah penduduk bumi tahun 2011 yang mencapai 7 miliar jiwa. Materi pokok tulisan, mengulas efek kuantitas pertumbuhan penduduk dengan kondisi kualitas hidup di masa mendatang. Pada tulisan itu, disertakan bahasan rencana Richard Branson, pemilik maskapai Virgin. Branson, akan membuka jalan bagi manusia imigrasi ke Mars, beberapa puluh tahun ke depan. Tautan dengan puisi Erna adalah keserupaan ulasan tema, tentang bumi yang akan bergoncang. Luluh lantah.
PURAKASASTRA | APRIL 2015
35
SASTRACYBER
Bumi akan terdegradasi. Hal tersebut tidak disebabkan oleh siapa-siapa. Itu adalah garisan takdir manusia, takdir bumi, takdir alam. Untuk tiba ke takdir, peran manusia dengan segala kekurangannya adalah salah satu jalan takdir dari ribuan jalan yang dimiliki oleh takdir. Kedua : Djiwa YangTenang (Dian Rusdi) Alif, hanya pada-Nya kita minta pertolongan. Nisan merupakan tanda kematian. Nisan merah, mungkin menjadi tanda peringatan atau himbauan. Bahwasannya, bumi dan semesta serta segala isinya akan hancur . Kehancuran itu, digambarkan dengan bumi terangkat, gunung-gunung berterbangan seperti kapas, gugusan bintang dan meteor sirna. Mereka beradu, pecah tak tersisa. Alif, hanya berpegang pada Tuhan. Berlari. Lautan api. Semua tak bisa berlari. Diam dan tetap pada tempat manusia berpijak. Konsepsi religiusitasnya yakni semua amal, perbuatan ada balasannya. Niscaya, lautan api adalah balasannya.Semua akan terjadi tak terduga. Seperti daun yang gugur, sebelum masanya. Daun adalah simbol kehidupan. Berarti kehidupan akhir itu akan ditemu dan dialami secara tak terduga. Mentari hadir bukan di ufuk Timur. Jelas sesuatu yang kita anggap end day akan terjadi. Alif, hanya pada Tuhan kita berpegang. Bersembunyi. Namun, Tuhan tetap melihat. Semua makhluk-Nya, di bangunkan. Bebatuan pun ikut serta. Dalam Tuhan misterimu akan terjelaskan. Tak ada proyeksi. Tangga langit segera dibuka. Alif, mau kemana kita? Semua tempat sirna. Tak ada yang mampu bertahan selain kuasaNya. Sunyi, Gersang, kering. Tak ada yang mampu menolong kita. Segala yang kita banggakan, usahakan dan kumpulkan, tak bisa menyelamatkan kita. Semua harta tiada berguna. Semua sibuk dengan hisabannya masing-masing.
Meskipun ada penyesalan, tangisan yang keras, tetap tidak bisa menghindarkan kita dari kehancuran itu. Yang akan menjadi teman kita hanyalah amal perbuatan. Amal perbuatan kitalah yang memberikan pertolongan dan syafat. Alif, semua kehidupan sirna. Enam plakat yang tersisa. Mungkin enam pelakat yang tersisa merupakan himbauan atau semacam peringatan, yang bertautan dengan ke enam rukun iman dalam tatanan agama Islam. Barang siapa yang memercayai dan beriman kepada enam rukun iman, ia akan selamat. Beberapa rukun tersebut yakni: 1. Percaya kepada Allah 2. Percaya kepada Malaikat Allah 3. Percaya kepada Rosul dan Nabi Allah 4. Percaya kepada kitab Allah 5. Percaya kepada Hari Akhir 6. Percaya kepada Qodha dan Qodar Tafsiran lain, enam plakat yang tersisa, merupakan orang-orang yang memercayai atau mewaspadai enam tanda-tanda Hari Akhir Dunia. Hal ini sesuai sabda Nabi akhir jaman, Nabiyulloh Muhammad s.a.w. Waspadailah terhadap enam tanda terjadinya hari kiamat, yaitu. 1. Matahari terbit dari barat. 2. Keluarnya Dajjal. 3. Asap tebal. 4. Satwa melata berbicara (dabbah). 5. Petaka (kematian spesifik) perorangan 6. Petaka universal atau petaka umum (kiamat besar) Nur Cahaya. Nur Abadi. Aku memohon sabuk selamatmu. Cahaya dan Abadi adalah gambaran kekekalan dan kemahakuasaan. Pada sang Kuasa dimintakan cahaya beserta rahmat selamat. Harapan, tatkala segalanya sirna adalah manusia di beri cahaya-Nya atau syafaat-Nya. Cahaya-Nya itulah yang menyelamatkan bumi, meringankan segala sesuatu dan menghindarkan kita dari ketakutan akan Hari Akhir (End Day).
PURAKASASTRA | APRIL 2015
36
SASTRACYBER
ALIF, hanya Allah yang tahu. KUTIKULA BUMI, bisa di artikan keseluruhan bumi atau semesta. DAUN GUGUR, kehidupan yang berakhir. Apa yang terjadi dalam hidup manusia kerap kali datang tanpa diduga. Hari Akhirat (End Day) sangat misteri. Tak pernah ada yang tahu. Kita hanya bersikap waspada dan kepada Alif kita meminta pertolongan. Ketiga : Bintang Promethus Sajak, karya Erna Winarsih (Na), membuat dia merinding saat membacanya. Menurutnya, karya Na, hampir tidak pernah menggunakan kalimat yang utuh. Lebih banyak bermain-main secara chaotic. Dari satu kata ke kata yang lainnya. Dari satu frasa ke frasa yang lainnya. Kita jarang sekali menemukan karya puisi Na, yang berbentuk narasi. Juga, penggunaan alegori-alegori yang terkesan belum utuh. Metafor yang dipakai , seolah-olah memiliki lompatan-lompatan ide. Misalkan, kata, Alif, Nisan merah, Tangga langit. Pertanyaannya adalah apakah puisipuisi karya NA (jadi) tidak menarasikan sesuatu? Bagi orang yang tidak sering membaca karya Na, barangkali mengalami kesulitan merekam makna. Namun, bagi yang terbiasa, akan sedikit lebih tertolong. Berkenaan dengan puisi Na, pembaca sepertinya, diajak membayangkan anak kecil yang sedang melemparkan hologram di halaman rumah. Hologram itu, tidak nampak tiga-dimensi, kalau tidak menggunakan kacamata tertentu. Hologram ini khusus. Dalam artian, memiliki latar belakang berupa horizon dari pengarangnya. Tugas kita adalah membayangkannya, mengasumsikannya, menemukannya, sehingga bisa merasakan fantasi dari jenis “puisi petasan� karya NA tersebut. Metafor dan fantasi yang ditawarkan oleh puisi-puisi NA, hampir sudah sangat gamblang sebagai kata.
Gambaran kondisi mencekam, menakutkan, kesepian, sangat kuat dalam sajak di atas. Diceritakan, tanah dan bumi yang terangkat. Sesuatu terjadi pada gugusan bintang. Meteor-meteor sirna. Manusia-manusia berlari dikejar lautan api. Gunung meletus. Pohon-pohon tumbang. Matahari tak mengerti lagi arah. Ia muncul tidak di tempat biasanya. Manusia yang dibantai sepi itu, terus berlari mencari tempat persembunyian di antara gedunggedung. tetapi gedung-gedung terangkat. Ia berari lagi. Sekuat tenaga! Bertanya-tanya, namun, semua orang, rupanya sama bertanya-tanya. Mereka tidak mendapatkan jawaban satu dari yang lainnya. Mereka terisolasi dalam kepanikan. Kesepian. Alif! Dalam satu hari yang begitu mencekam. Tentang apa? Manusia bertanya-tanya. Tentang sebuah berita besar. Tiba-tiba dalam sajak itu bisu. Berhenti dalam ketakutan. Entah, mungkin pengarangnya sudah mati ditelan Nisan merah atau mati ketakutan saat menyaksikan bumi-bumi mengelupas. Mungkin juga, kehabisan nafas ketika dicekik sebuah puisi. Artinya, kehilangan Imaginasi. Lalu, penulis sepenuhnya menyerahkan nasib ke dalam iman. Iman tentang hari kemudian. Tentang keselamatan dan harapan hidup kembali. Persis di sinilah titik paling lesu. Seorang penyair, yang biasanya ditakuti para nabi, justru mengharapkan bantuan dari seorang mesiah. Gairah lantunan puisi di baris-baris terakhir, jadi ikut ngoyo. Perjuangan untuk tetap hidup, dipertahankan walau dalam kondisi mencekam. Namun, tiba-tiba mengambil keputusan untuk memasrahkan diri secara total, pada hidup yang kemudian. Sebuah kehidupan kekekalan. Seolah-olah sang penyair sudah linglung. Hidup keabadian, dijadikan saat untuk melupakan perjuangan hidup yang terus-menerus berada dalam kefanaan. Sebuah kehidupan dunia yang fana.
PURAKASASTRA | APRIL 2015
37
SASTRACYBER
foto: karya Latifa
Puisi ini sangat berbeda, ketika dibandingkan satu puisi dari Goenawan Mohammad yang mengatakan, “Dan malam membereskan daun. prosespun dimulai.” Di sini, justru angin membekukan musim gugur. Tak ada musim semi. Artinya, abadi tidak ada lagi, sebagaimana ditawarkan oleh pengarangnya. Epilog Sajak di atas, memiliki adegan mengharukan. Ada dialog berbentuk monolog. Disinyalir merupakan suara bawah sadar dari pengarang akan kecintaannya pada nasib-diri. Mau kemana? Apakah masih ada yang tersisa? Sunyi. Tandus. Berduri. Tangisan. Sebuah adegan yang begitu intim. Seolah-olah dialog ini terjadi antara subjek dewasa kepada subjek kekanankan. Ada letupan rasa kesadaran keibuan yang tibatiba muncul. Seberkas rasa yang ingin merangkul sosok keanakan, walaupun sosok kekanakan itu bergelut dengan segala macam kebandalan dan rasa lupa. Meskipun, akhirnya seorang ibu tersebut sama bingungnya, mengenai tujuan di mana tempat dan kapan waktu, kehancuran itu akan menjadi nyata. Barangkali, adegan tersebut merupakan puncak kesadaran spiritual pengarang dalam puisi ini.
foto: karya Latifa Seperti nasehat seorang ibu, yang sadar betul bahwa tangga langit merupakan proyeksi rasional dari langkah ke-kanakkanakan yang belum kuat. Semacam sebuah terapi untuk penguatan diri dan penenangan diri. Bahkan, bisa menjadi apologia dari segala hal yang pernah dilakukannya. Semacam sebuah penebusan dosa atau pun seperti doa yang dipersiapkan sebelum bertemu dengan Tuhan. Demikianlah beberapa cara pandang dalam membedah puisi berjudul, “Alif, Kutikula Bumi, dan Daun Gugur”. Tentu saja ada penafsiran lain lagi soal puisi ini. Tergantung dari sudut mana membedahnya. Karya di atas memberi dimensi kontemplasi atas realitas hidup manusia, dalam konteks keimanannya. Manusia diajak untuk menjalankan perintahNya serta menjauhi laranganNya.
“Di mana pun saya menemukan tempat untuk duduk dan menulis, di situlah rumah saya.” [Mary TallMountain]
Monolog dalam puisi di atas, dibayangkan seperti dzikir yang bertujuan menenangkan.
PURAKASASTRA | APRIL 2015
38
oleh DIAN RUSDI
erbincangan dengan para penikmat sastra, selalu memberikan wawasan-wawasan baru bagi kami. Termasuk perbincangan di media cyber. Dalam perbincangan tersebut, ada banyak telah yang menampilkan cara pandang berbeda dari setiap individu. Setiap telaah tentu, menyertakan sisi kelebihan dan kekurangan masing-masing. Berikut ini, kami sajikan menu berbincangan kami, dengan Bang Jabugart, kelahiran Sarimatondang- Sumatera Utara, 1963 yang lalu. Dia adalah salah satu penyair yang aktif dan produktif, dalam memposting karya-karya sastra. Perbincangan kami dengan Jabugart, sepurar dunia sastra cyber. Terutama berkaitan dengan maraknya postingan karya sastra di media sosial. Menurutnya, sastra cyber adalah pilihan dari beberapa pilihan. Tulisantulisan yang memanfaatkan fasilitas teknologi informasi sangat memberi kemudahan. Dengan mudah saja, memberi peluang bagi penulis untuk mengekspos karyanya, dalam berbagai metode postingan. Misalnya, ada yang menampilkan dalam bentuk gambar bertulisan atau pun tulisan bergambar. Para penulis, berusaha membuat desain, agar menarik perhatian pengguna jejaring sosial.
Dalam kontek postingan karya, Jabugart berkata, “Seleksi natural terhadap karya-karya yang diunggah berlangsung dari proses, stimulasi, guna peningkatan mutu tulisan. Juga membuka peluang seluas-luasnya bagi penulis otodidaker.� Jabugart, pendiri grup sastra BERANDA UNTAI KATA DAMAI (Bunda), mengatakan bahwa membuka group sastra sebelum era ebook, sangat sulit. “Ada beberapa grup di facebook yang saya tahu, yang mewadahi para penulis. Baik penulis pemula maupun yang sudah mapan. Salah satunya adalah grup Forum Sastra Indonesia atau yang lebih di kenal dengan Forsasindo. Saya suka dengan grup ini. Salah satu grup sastra yang prospeknya bagus. Saya salah satu anggota dari sekian puluh ribu anggota Forsasindo. Saya juga sesekali menulis di sana, saya pikir agar makin maksimal.� Kehadiran media sosial, memberi peluang cara belajar yang luas. Bisa saja, merancang belajar secara online, dengan membuka Class Room. Jabugart mengatakan, pengelola bisa membuka Class Room, sebagai wadah upaya peningkatan wawasan kepenulisan atau kesusastraan. Misalkan, grup Class Room, dibuka dengan memasukan beberapa orang yang berminat untuk mengikuti kursus kilat.
PURAKASASTRA | APRIL 2015
39
SASTRACYBER
foto: karya Latifa
foto: karya Latifa
Group Class Room, dibuat lebih dari satu. Itu tergantung dari banyaknya orang yang mau mengikuti cara belajar tersebut. Setiap Class Room, di huni oleh smemiliki satu pengajar dan 5 orang siswa. Pada hari terakhir kursus, diadakan ujian. Ujian ini bertujuan melihat dan mengetahui, apakah materi yang diajarkan bisa dimengerti dan diserap? Bisa saja peserta yang lulus di beri sertifikat.” Namun, untuk sampai pada tahap pembentukan Class Room, tentu ada sosialisasi kepada pengguna media sosial. Ada semacam promosi dan penggumuman tentang Class Room. Dalam sosialisasi tersebut, bisa dijelaskan mengenai perekrutan siswa. Misalnya, bagaimana proses mendaftar, persyaratan apa yang perlu dibutuhkan dan dipenuhi, menggunakan akun nama asli, dll. Program Class Room ini, bisa menjadi salah satu agenda kegiatan di bawah naungan Forsasindo.
Sebelum mengakhiri perbincangan, kami meminta saran dari beliau, untuk para penulis-penulis pemula dan adik-adik yang masih tahap belajar tentang kepenulisan. Beliau berharap, semoga tetap semangat untuk mengembangkan kreatifitas dalam kepenulisan. Entah di dunia nyata maupun di dunia cyber. “kalau tentang ilmu saya pikir relatif. Kalau pedoman, saya cuma rajin membaca referensi yang ada, di mana saja. Rajin menyimak tulisan-tulisan untuk menemukan hal-hal baru. Rajin mengekploitasi inspirasi, yang kadang muncul tidak mengenal tempat dan waktu serta keadaan dll.” Demikian kata Jabugart di akhir perbincangannya.
Sebelum mengakhiri perbincangan, kami meminta saran dari beliau, untuk para penulis-penulis pemula dan adik-adik yang masih tahap belajar tentang kepenulisan.
“Jangan pernah ragu meniru penulis lain. Setiap seniman yang tengah mengasah keterampilannya membutuhkan model. Pada akhirnya, Anda akan menemukan gaya sendiri dan menanggalkan kulit penulis yang Anda tiru.” [William Zinsser]
Biodata singkat: Nama : Jabugart Joeni Regar Nama Facebook : Jabugart Joeni Regar Lahir : Sarimatondang Sumatera Utara tahun 1963.
PURAKASASTRA | APRIL 2015
40
SEAN Literary Festival (ALF) kembali digelar di Jakarta pada 15-22 Maret 2015 lalu. Pada tahun ini ALF mengusung tema "Questions of Conscience". Abdul Khalik sebagai Direktur ALF menjelaskan, tema itu dipilih sebagai respons atas dinamika global dan perkembangan zaman utamanya terkait dengan laju konsumerisme dan perkembangan teknologi informasi. Penyelenggaraan ASEAN Literary Festival ini diorganisir oleh Yayasan Muara dengan support Hivos, Kementerian Luar Negeri dan Pemerintah DKI Jakarta serta beberapa pihak sponsor. Selain Founder, Abdul Khalik, event ini juga dibantu pengelolaannya oleh Steering Committee: Tommy F. Awuy, Jamil Maidan Flores, Damhuri Muhammad, dan Saras Dewi. Dalam penyelenggaraan yang kedua kali, ASEAN Literary Festival mengundang 20 negara dari ASEAN dan non ASEAN.
Jumlah ini lebih besar dari tahun sebelumnya yang hanya diikuti 14 negara. Para peserta yang mengikuti di antaranya Jerman, Brunei Darussalam, Singapura, Filipina, Malaysia, Vietnam, Belanda, Australia, Thailand, Kamboja, Myanmar, Korea Selatan, Cina, Jepang, Amerika Serikat, dan Nigeria. Ada banyak penulis, seniman, akademisi, penerbit, dan film yang ikut berpartisipasi meramaikan festival sastra ini. Pengisi acara ALF kali ini lebih banyak dari tahun sebelumnya, dari Indonesia yang berasal dari berbagai daerah di nusantara sampai pengisi dari negara lain. Berasal dari berbagai latar belakang bersatu dalam festival ini menyuarakan sastra, seperti Pianis kelas dunia Ananda Sukarlan menampilkan komposisinya yang terinspirasi dari karya sastra "La Ronde" karya Sitor Situmorang. Lalu dari Finlandia, datang Signmark sang rapper "bisu" yang pertama menembus world record Warner Music. Pada bidang perpuisian ada pembaca puisi terkemuka seperti Joko Pinurbo, Saut Situmorang, Khrisna Pabhicara, serta banyak penyanyi dan penari pengisi acara bergerak dalam semangat yang sama. Rangkaian gelaran acara yang berisi diskusi, workshop, lokakarya, literary trip, ALF movie screening dan pertunjukan seni serta bazaar ini terbuka untuk umum dan bebas biaya.
PURAKASASTRA | APRIL 2015
41
SASTRA Hanya beberapa workshop dikenakan biaya registrasi yang pastinya tidak merugikan pesertanya bila dibandingkan hasil/ ilmu/ pengetahuan yang didapat dengan biaya yang tidak lebih dari biaya nongkrong-nongkrong di cafe. Diskusi dan workshop mengharuskan peserta untuk registrasi sebelumnya, mengingat terbatasnya tempat untuk masing-masing kegiatan. Beberapa lokasi telah digunakan untuk pelaksanaan acara. Untuk rangkaian ASEAN Film Screening yang menayangkan film-film terpilih dari masing-masing negara diadakan di beberapa tempat seperti Universitas Indonesia, UIN Ciputat, Universitas Paramadina, Universitas Atmajaya dan Goethe Haus Institute. Literary trip membawa peserta dan publik ke tempat-tempat penting dan bersejarah dalam perkembangan sastra Indonesia. Sedangkan untuk agenda seni, budaya, dan sastra yang berlangsung tanggal 19-22 Maret berlokasi di kawasan Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta Pusat. Tahun ini juga kembali diserahkan ASEAN Literary Award kepada sastrawan ASEAN yang konsisten memperjuangan kebebasan, keadilan, dan kemanusiaan melalui karya-karyanya. Tahun lalu, ASEAN Literary Award diserahkan pada penyair Wiji Thukul dengan hadiah uang tunai US$ 5,000. Lahir dari sebuah cita-cita Diprakarsai oleh Yayasan Muara, yaitu lembaga nirlaba yang bergerak di bidang pendidikan, kesenian dan kesusastraan, ASEAN Literary Festival tahun ini menjadi tahun ke-2 pelaksanaannya. Yayasan Muara berdiri sejak tahun 2010 di Jakarta dan memiliki aktivitas yang cukup berpengaruh di bidangnya, diantaranya pendidikan di Sekolah Muara Bangsa, festival sastra seasia yang dinamai ASEAN Literary Festival, gerakan sosial berbasis budaya, hingga berbagai pertunjukan seni. Yayasan Muara didirikan oleh pasangan suami istri Abdul Khalik (jurnalis) dan Okky Madasari (novelis). Pada awalnya, Abdul dan Okky hanya ingin memanfaatkan lahan yang mereka miliki di jalan Muara, Jakarta Selatan untuk kegiatan anak-anak sekitar rumah mereka.
Dengan persiapan tak terlalu lama, berdirilah Taman Kanak-Kanak dan Kelompok Bermain Muara bangsa pada Juni 2010. Seiring waktu, Yayasan Muara terus mengembangkan aktivitas dengan tetap bertumpu pada satu pondasi gagasan, yakni cita-cita dan semangat untuk mencapai kebebasan dan mewujudkan nilai-nilai kemanusiaan melalui pendidikan, kesenian, dan kesusastraan. ASEAN Literary Festival ini menjadi salah satu jawaban atas keinginan untuk mengenal lebih jauh kesusastraan di negara ASEAN yang minim pembahasan bila dibandingkan dengan wilayahwilayah lain di dunia. Tujuan lain yang pasti adalah untuk menjadi bukti cita-cita menghadirkan sastra tetap menjadi karya yang berpihak pada kehidupan dan kemanusiaan. Negara-negara di kawasan ASEAN memiliki banyak hal yang bisa dibanggakan, termasuk prestasi penulis sastra. Sangat menyedihkan bahwa ketika kita memasuki pertengahan dekade kedua abad ke-21, Asia Tenggara belum menghasilkan pemenang hadiah Nobel dalam sastra. Jepang telah memiliki dua pemenang hadiah Nobel, salah satunya Haruki Murakami, Cina memiliki Mo Yan, sementara India Rabindranath Tagore memenangkan hadiah bagian pertama dari abad ke-20. Hari ini, penulis India seperti Arundhati Roy menikmati ketenaran di seluruh dunia. Namun demikian kita memiliki penulis yang telah mendapatkan pujian kritis dari banyak pihak, senama novelis akhir Pramoedya Ananta Toer dari Indonesia dan penyair epik Filipina Dr. Cirilo F. Bautista. Mereka telah membuktikan bahwa ASEAN, sebuah wilayah 600 juta orang, juga menghasilkan aktivis sastra yang berkualitas, bahkan jika mereka tidak mendapatkan dukungan yang seharusnya. Yoel Fermi Kaban sebagai Communication&Media mengungkapkan bahwa pergerakan literasi di Indonesia masih jauh dari yang diharapkan. Ditambah lagi dengan kekhawatiran akan generasi muda, bagaimana bila kita melihat minat baca masyarakat, bagaimanakah masa depan literasi Indonesia di tangan anak-anak muda ini. Hal tersebut juga menjadi fokus ALF kali ini, dengan lebih melibatkan penulis-penulis muda. [red: Latifa, narasumber: Yoel Fermi Kaban, Communication & Media]
PURAKASASTRA | APRIL 2015
42
SASTRA
onorogo adalah kota seni yang telah mendunia. Kota yang terkenal dengan kesenian Reog ini terletak di provinsi Jawa Timur. Di kota ini, berbagai komunitas seni, budaya dan sastra tumbuh berkembang dengan pesat. Banyak seniman handal yang lahir dan diakui eksistensinya berasal dari kota Ponorogo. Dalam bidang literasi, salah satu perwujudan geliat sastranya adalah komunitas Gebangtinatar. Komunitas Gebangtinatar berdiri pada tanggal 4 Juli 2011, atas prakarsa tujuh penyair lokal Ponorogo yaitu Nidhom Fauzi, Andry Deblenk, Kang Tokid, Sutrisno, Arif Santoso, Muhtar Wahid, dan Yoemi Noor. Berawal dari obrolan ringan saat ngangkring (ngopi di pinggir jalan) di trotoar jalan Sultan Agung Ponorogo, tercetuslah ide untuk membuat satu komunitas sastra yang bisa menampung dan membuka pola pikir para pemuda wilayah Ponorogo yang menyukai satra khususnya dan seni pada umumnya. Mengingat pada saat itu belum ada fasilitas yang mewadai para penggiat dan pencinta sastra di wilayah Ponorogo. Ada filosofi di balik nama komunitas ini.
Gebangtinatar diambil dari nama salah satu pondok pesantren terkenal di wilayah Ponorogo, yang dipimpin oleh Kyai Ageng Muhammad Besari sekitar abad 18. Dari pondok pesantren itu, sejarah mencatat lahirnya seorang pujangga besar bernama Ronggowarsito. Seorang pujangga jawa yang mempunyai sifat rendah hati. Dari jiwa sastranya, berbagai karya sastra fenomenal tercipta, yang sampai sekarang masih dikaji dan seakan menjelma menjadi asupan spiritual para penggiat sastra Indonesia. Berharap dengan mengambil nama Gebangtinatar, komunitas ini mampu melahirkan penyair, sastrawan maupun penggiat sastra yang mumpuni dan bersifat rendah hati layaknya Ronggowarsito. Saat ini, Gebangtinatar bersekretariat di Jalan Rumpuk no. 91 Kertosari Ponorogo. Nidhom Fauzi yang memegang jabatan sebagai ketua komunitas menuturkan bahwa komunitas Gebangtinatar mempunyai agenda kegiatan yang dilaksanakan mingguan, bulanan dan juga dua bulanan. Kegiatan mingguan berupa diskusi seni budaya, mengkaji persoalan dalam lingkup seni dan budaya kekinian yang dihadiri oleh seluruh anggota. Acara rutin dilakukan hari minggu malam setiap awal bulan, dikemas dalam sarasehan santai dengan tempat yang fleksibel. Selanjutnya, kegiatan bulanan berupa ngaji sastra dengan mengundang sastrawan, seniman, dan jurnalis dari lokal maupun yang telah bertaraf nasional.
PURAKASASTRA | APRIL 2015
43
SASTRA
Diharapkan dengan pengenalan secara langsung ke sekolah-sekolah bisa semakin menumbuhkan kecintaan generasi muda terhadap kebudayaan bangsa, sehingga mampu menjadi filter masuknya kebudayaan luar yang tidak sesuai dengan norma dan adat ketimuran.
Untuk kegiatan dua bulanan, semua dilaksanakan di gedung kesenian kota Ponorogo. Tempat tersebut didaulat untuk memfasilitasi dan memberikan ruang gerak bagi para seniman muda untuk mempresentasikan karya seninya baik berupa pertunjukan teater, pembacaan puisi, pameran ilustrasi dan sebagainya yang bernafas seni budaya. Sebagai bentuk pengenalan sastra pada generasi muda, komunitas ini telah bekerja sama dengan sekolah-sekolah di wilayah Ponorogo, diantaranya dengan mengisi kegiatan ekstrakurikuler, mengadakan seminar, workshop, latihan pembacaan puisi, pendampingan kepenulisan, menerbitkan buku, jurnal budaya, serta pembuatan buletin gratis.
Kegiatan dari komunitas ini tidak hanya berkutat dalam bidang seni dan budaya saja, tetapi juga bergerak dalam bidang sosial, diantaranya dengan memberi santunan kepada anak-anak yatim dan telantar, juga bakti sosial ke pemukiman masyarakat. Dari berbagai kegiatan yang dilaksanakan komunitas Gebangtinatar, semua dimaksudkan untuk membentuk seniman, penggiat sastra dan generasi muda Ponorogo yang nyastra, bersenibudaya dan berjiwa sosial sehingga sesuai dengan filosofi dan motto komunitas yaitu "Kita bukan sekedar tanah liat yang bernafas, berkaryalah!". (red: riska hermawati). (sumber: page GEBANGTINATAR PONOROGO KOMUNITAS SASTRA, Nidhom Fauzi, Andry Deblenk) foto: dokumen Gebangtinatar Ponorogo Komunitas Sastra
PURAKASASTRA | APRIL 2015
44
SASTRA
Hajatan Komunitas Teater Matahari
Sebagai wujud rasa cinta pada sastra dan budaya nusantara, para Buruh Migran Indonesia Hong Kong (BMI Hong Kong) yang tergabung dalam Komunitas Teater Matahari (KoTeMa) mengadakan acara lesehan sastra dan budaya yang bertajuk “Membangun Kesadaran Mencintai Budaya Nusantara�. Acara berlangsung pada minggu, 8 Maret 2015, bertempat di ruang Ramayana Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Hong Kong dengan menghadirkan narasumber Dra. Naning Pranoto, M.A, seorang penulis kreatif yang telah malang melintang di dunia sastra dan kepenulisan yang karya-karyanya vokal menyuarakan hak-hak perempuan dan fenomenal. Hadir pada kesempatan tersebut Consulate General of the Republic of Indonesia HKSAR Chalief Akbar, Ibu Helena (staf KJRI Hong Kong bidang Penerangan dan Budaya), Ibu Sri Hartatik, Jurnalis dari berbagai media massa berbahasa Indonesia di Hong Kong, serta para pecinta dan penggiat sastra buruh migran Indonesia. Mengambil konsep lesehan sesuai tema, acara berlangsung akrab, penuh kekeluargaan dan meriah. Tidak ada kesan jarak dan kesenjangan antara para buruh migran yang hadir dengan tamu undangan. Acara dimulai dengan menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya secara serempak oleh hadirin dan tamu undangan. Suasana terasa hening dan khidmat. Dilanjutkan ramah tamah dari Bapak Chalief Akbar dan Reni Setiowati yang menjadi ketua panitia. Penampilan pembuka sebelum memasuki sesi materi menyuguhkan Monolog Tangis Singo Barong.
Monolog ini bercerita tentang keprihatinan terhadap pudarnya pesona kebudayaan nusantara karena tergerus arus modernisasi dan gempuran budaya luar yang masuk ke dalam negeri. Kurang adanya kepedulian membuat generasi sekarang banyak yang tidak mengenal kesenian dan budaya asli nusantara yang pernah jaya di masanya. Generasi muda telah kehilangan jati dirinya karena lebih mengenal budaya barat yang tidak sesuai norma dan adat ketimuran negara kita. Dalam sesi materi, Ibu Naning Pranoto menyampaikan, "Menulis bukanlah bakat tetapi panggilan jiwa, dan menulis adalah terapi jiwa. Jadi menulislah agar kita bisa terhindar dari tekanan-tekanan kejiwaan.
PURAKASASTRA | APRIL 2015
45
SASTRA
Yang menjadi modal dalam menulis diantaranya diksi, kosa kata, ambisi punya karya, berani menghadapi konflik, membaca (buku dan semesta), serta menyadari menulis tidak ada yang lulus jadi harus terus berlatih agar tidak merasa sombong. Disamping itu ada tujuh cinta modal menulis yaitu cinta kepada Tuhan, diri sendiri, lingkungan, cinta kepada ilmu, kebenaran, kejujuran, dan cinta kepada benderang�. Ibu Naning Pranoto juga berbagi tips tentang menulis kreatif, monolog, dan cerita-cerita seputar kepenulisan. Pada sesi ini juga diadakan tanya jawab mengenai sastra dan budaya yang disambut antusias oleh para buruh migran Indonesia yang hadir. "Jangan terlalu cepat memvonis tulisan kita jelek dan jagalah mulut kita dari kata-kata kasar dan sombong", pesan penulis yang telah mengunjungi berbagai negara dalam rangka seminar tentang sastra dan budaya Indonesia itu.
Tetap Mencintai dan Melestarikan Ke-Khas-an Tanah Air Pada acara yang diselenggarakan secara gratis ini disuguhkan berbagai hiburan kesenian khas tanah air yang ditampilkan oleh para buruh migran Indonesia, diantaranya Monolog Tangis Singo Barong, Monolog dari Ibu Naning Pranoto berjudul Babu Kita, pembacaan puisi Sujiwo Tejo dari buku Republik Jancukers, drama Nasionalisme Tanpa Batas yang bercerita tentang kesemrawutan keadaan di Indonesia karena pengaruh gaya hidup hedonisme dari luar yang menuhankan uang. Tak ketinggalan pula sajian lagu dan tari-tarian daerah seperti tari Jaipong dan tari Gandrung khas dari Banyuwangi. Pancaran aura acara benar-benar santai layaknya lesehan / cangkrukan. Sembari menonton tari-tarian tradisional dihidangkan makanan ringan khas nusantara seperti gethuk, pisang rebus, kacang tanah rebus, madu mongso dan berbagai makanan lainnya. Hal ini dimaksudkan sebagai media pengingat dan tujuan semakin menumbuhkan kecintaan terhadap ke-khas-an tanah air para buruh migran Indonesia. Selain berbagai hiburan, ada juga kegiatan bagi-bagi buku. Buku karya Ibu Naning Pranoto dibagikan sebagai bonus bagi seratus pendaftar pertama. Untuk konteks sosial, pemberian bantuan buku creative writing dan seni menulis dari Ibu Rifa Arian, Pimpinan sekolah Global Mandiri diserahkan kepada Bapak Chalief Akbar sebagai penanggungjawabnya. Seperti kata Bung Karno, bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarah budayanya. "Semoga setelah acara ini kita kembali mencintai budaya nusantara. Karena kita adalah calon dan para ibu, apabila kita mampu menanamkan rasa kecintaan terhadap budaya nusantara yang kuat kepada anak-anak kita, itu akan menjadi filter dan tameng dari gempuran budaya luar yang tak sesuai dengan adat norma bangsa kita. Sehingga anak-anak kita tidak kehilangan jati dirinya." Ucap Laras Wati salah satu koordinator acara dalam penutupan acara lesehan sastra dan budaya BMI Hong Kong hari itu. [rep: Riska Hermawati]
PURAKASASTRA | APRIL 2015
46
SASTRA
MERAJUT PERSAHABATAN SASTRA Mengakhiri bulan Februari dan mengawali bulan Maret, acara bertajuk “Arus Sungai Sastra Magelang 2015” digelar. Bertempat di Kantor Penelitian, Pengembangan (Litbang) dan Statistik kota Magelang, Jl. Jendral Sudirman Nomor 46, Lembaga Nittramaya yang diketuai Bapak Bambang Eka Prasetya, bekerjasama dengan beberapa komunitas yang ada di Magelang, antara lain Membaca Magelang, Aliansi Sastra Magelang dan Bengkel Seni Universitas Tidar, telah sukses menyelenggarakan acara berskala nasional dengan nuansa kekeluargaan. Dua kegiatan yang menjadi agenda yaitu pada 28 Februari 2015 bertema “Malam Persahabatan Sastra Nusantara”, dan pada 1 Maret 2015 bertema “Gelegar Sastra Puncak Gunung Tidar” ternyata mampu membingkai semangat bersastra para peserta yang datang dari berbagai kalangan. Dalam kesempatan itu beberapa buku karya sastra pun diperkenalkan. Anie Din, penyair asal Singapura yang turut hadir bahkan membagikan 100 buku Antologi Puisi Bebas Melata “Menjala Kasih” sebagai souvenir bagi peserta. Penyair Kristine dari kota Malang Jawa Timur memperkenalkan Antologi Puisi “Pelangi Sukma”, dan Lembaga Nittramaya sebagai tuan rumah memperkenalkan Antologi Puisi 149 Penyair Nusantara “Merangkai Damai”.
Sebanyak 123 peserta dari seantero jagad nusantara hingga negeri tetangga hadir menyemarakkan acara. Sastrawan Magelang Raya yang hadir antara lain Ikke Idda, Fath W.S, Andika John Manggala, Murti Ningsih, Heri Susanti, Latifa Maylina Isharyanti, Puguh Muhammad Setyawan, Wiwit Wahyu Widayati, Aris Probodirdjo, dan Slamet Widodo. Sedangkan dari penyair nasional yaitu Juwaini Cak Ju, Andri Pituin Cianjur, Widi Suharto,Wardjito Soeharso, Lukni Maulana dan Aloeth Pathi. Sementara dari Malaysia ada Zulfidayani dan dari Singapura ada Anie Din.
Paduan Sastra, Seni dan Budaya Setelah melakukan registrasi dan menerima souvenir berupa alat tulis, buku Antologi Puisi Bebas Melata “Menjala Kasih” dan peta wisata kota Magelang, para peserta bersantai, beramahtamah dan bertukar sapa sembari menunggu kegiatan malam. Panitia telah menyiapkan dua aula sebagai tempat beristirahat peserta. Sederhana karena hanya beralas karpet, namun menyajikan rasa persahabatan dan kekeluargaan yang hangat.
PURAKASASTRA | APRIL 2015
47
SASTRA
Kegiatan pembuka bertema “Malam Persahabatan Sastra Nusantara� diisi dengan perform dari para penyair dan komunitas sastra yang sudah cukup ternama, seperti Walang (Watu Magelang), SMAPUT ( Solidaritas Masyarakat Pati Utara), Fileski (sastrawan pemain biola dari Surabaya), Musik Jodho Kemil, Kolaborasi Musik Puisi Daladi Ahmad (Magelang), Doni (Yogyakarta) dan Feryna Setyowati (Jakarta).
Beberapa pejabat dari pemerintah kota Magelang pun menyempatkan hadir pada acara tersebut. Danu Sang Bintang sebagai ketua panitia mengungkapkan bahwa acara ini dimaksudkan sebagai ajang silaturahmi para penggiat sastra dan juga pengenalan terhadap kota Magelang sebagai destinasi wisata Jawa Tengah yang kaya akan seni budaya leluhur. Malam pungkasan bulan terasa sangat meriah. Para penampil secara total menyuguhkan karya seni dan sastranya hingga mengundang decak kagum dan gelak tawa. Seperti penampilan Walang dan SMAPUT yang berupa teatrikal puisi, sedikit terasa mencekam dengan aroma dupa, taburan mawar dan sesajen. Berbeda dengan penampilan Fileski yang syahdu. Alunan dari senar biolanya seolah menyihir dan membawa semua yang menyaksikan terhanyut dalam bait puisi yang dibacakannya di sela-sela permainan musiknya. Jodho Kemil yang tampil terakhir membuat malam seolah tak hendak terpejam.
Atraksi musiknya yang unik menyatu dengan kekocakan para personilnya sehingga mereka harus tampil lebih panjang karena permintaan hadirin. Tabur puisi hingga puncak Tidar Hari kedua tanggal 1 maret 2015 kegiatan dipusatkan di Gunung Tidar. Gunung yang dikenal sebagai Paku Tanah Jawa ini memang tidak tinggi, hanya sekitar 503 mdpl, namun pepohonan yang tumbuh subur di sini mempunyai peran sangat vital sebagai paru-paru kota sehingga udara di kota Magelang selalu segar. Selain itu, Gunung yang terletak di daerah kelurahan Magersari kecamatan Magelang Selatan Jawa Tengah ini kaya akan sejarah leluhur, warisan budaya jawa masa lampau, sehingga panitia sengaja menjadikan Gunung Tidar sebagai kunjungan peserta Arus Sungai Sastra Magelang 2015 dengan maksud mengenalkan destinasi wisata dan budaya kota Magelang.
PURAKASASTRA | APRIL 2015
48
SASTRA
Sebelum berangkat, para peserta dikumpulkan untuk mendapatkan pengarahan. Dari segi etika pendakian, Ki Mbilung Sarawita meminta peserta berlaku sopan selama berada di Gunung Tidar serta tidak memperdebatkan hal-hal yang bersifat mitos, karena memang banyak cerita berkaitan dengan Gunung Tidar yang terkemas dalam berbagai versi, yang sampai saat ini masih sering menimbulkan rasa keingintahuan masyarakat awam. Dari segi proses kegiatan, semua peserta dijadwalkan menyuarakan puisi serentak di Gunung Tidar, di 4 pos yang telah disiapkan sepanjang jalur pendakian. Sebanyak 123 peserta dibagi dalam empat kelompok. Masing-masing kelompok berjumlah sekitar 28 sampai 30 orang yang didampingi 2 panitia dan 1 tim dokumentasi. Setelah berdoa dan berpose bersama, perjalanan dimulai dengan menyusuri Kali Manggis menuju Gunung Tidar. Sesampainya di kaki Tidar, sebuah tarian tradisional Topeng Ireng yang dimainkan anak-anak Kampung Magersari menyambut. Gerak lincah dan ekspresi wajah penari yang menggemaskan membuat peserta tak bisa menahan diri untuk ikut serta menari. Kesenian apik semacam ini sungguh perlu dijaga kelestariannya, sehingga cita rasa budaya negeri tidak musnah. Sungguh ini adalah perhelatan yang tidak sekedar sastra. Pemandangan yang tak kalah eloknya adalah kawanan kera di kaki Gunung Tidar. Namun mereka cukup ramah dan tidak mengganggu para pendaki. Salah satu peserta bahkan mendapatkan inspirasi puisi dari kawanan ini.
Kegiatan bermuara di puncak Gunung Tidar pada tengah hari. Gunung Tidar mempunyai tiga puncak yaitu puncak geografis, ditandai dengan adanya monumen Akademi Militer yang menjulang tinggi. Monumen ini sekaligus sebagai penanda bahwa Gunung Tidar masih merupakan kawasan AKMIL. Lalu puncak spiritual yang berada di salah satu petilasan dan satu lagi puncak yang diyakini sebagai Pakunya Tanah Jawa, karena di sanalah titik tengah tanah jawa. Ditandai dengan sebuah tugu bersimbol huruf Sa dalam tulisan jawa pada tiga sisinya. Menurut penuturan juru kunci, itu bermakna Sapa Salah Seleh(Siapa yang berbuat kesalahan pada akhir nya akan kalah). Sesi terakhir kegiatan di Gunung Tidar adalah prosesi ritual berjalan yang dipimpin oleh Ki E.S Wibowo dan Ki Mbilung Sarawita. Seluruh peserta mengikuti dengan berjalan beriringan mengitari pohon beringin, dilanjutkan ke makam Ki Ismoyo, lalu menyusuri jalan setapak, dan berakhir di tugu yang bertuliskan huruf Sa jawa. Ketika di makam Kiai Ismoyo, sekali lagi pembacaan puisi dipentaskan sebagai pamungkas dari rangkaian pembacaan puisi di Gunung Tidar. Rampunglah rangkaian acara Arus Sungai Sastra Magelang 2015 dengan menggelegarkan Puncak Gunung Tidar bertabur puisi, sesuai tema yang disematkan oleh panitia. Panitia dan peserta sangat bangga dan bahagia telah terlibat dalam kegiatan Gelegar Sastra Puncak Gunung Tidar. Semua merasakan silaturahmi yang indah dan memperoleh kesempatan saling belajar satu dengan yang lain. Dengan diselenggarakan kegiatan sastra di alam terbuka menggunakan space yang ada (tanpa persiapan panggung khusus) justru menimbulkan kesan yang mendalam. Semua kesederhanaan yang membalut acara ini menjadikan jiwa peserta menjadi hangat dan peduli, sebuah ritme keakraban yang timbul alami. Menurut Bapak Bambang Eka Prasetya, acara ini akan berlanjut dalam waktu dekat, berupa penerbitan Antologi Puisi dan Antologi Cerpen berbasis pengalaman batin para peserta saat menjalin harmoni dengan Gunung Tidar. Ada pula rencana menjadikan Gelegar Sastra Puncak Gunung Tidar sebagai event sastra dua tahunan. [rep: Latifa].
PURAKASASTRA | APRIL 2015
49
majalah Sastra
foto: karya Latifa
PURAKASASTRA | APRIL 2015
50