Purakasastra | SEPTEMBER 2016 1
Kata Pengantar Cerpen menggugah rasa, sekaligus menghadirkan gairah pergumulan pengetahuan praktis dan abstraksi. Ia mengangkat secara wajar maupun tidak wajar persoalan eksistensi semesta. Dalam cerpen ditemukan berbagai ekspresi kritis dan kristalisasi kritik terhadap metode pertanyaan, “Bagaimana manusia hidup?’ Jawaban atas pertanyaan tersebut bisa terulas jelaskan dalam tubuh cerpen. Sebagai sebuah karya sastra, Cerpen merupakan salah satu genre sastra yang mendeskripsikan kehidupan dalam masa tertentu. Banyak kisah dari kehidupan yang sudah diangkat oleh penulis-penulis hebat menjadi sebuah cerpen. Berbagai pesan yang terkandung di dalamnya dapat dijadikan anutan hidup. Dalam kerangka pikir inilah, Majalah Purakasastra dengan bangga mengupas tema Cerpen.
Kiranya
kupasan
ini
menjadi
jawaban
atas
pertanyaan tentang cerpen. Selamat Membaca!
‘Ricky’
Kami menerima naskah berupa esai, proses kreatif, kritik sastra, cerpen, puisi, cerita mini, tips menulis, info komunitas, biografi dan opini sastra cyber. Silakan kirim naskah anda dengan menyertakan biodata dan foto penulis melalui email redaksipuraka@gmail.com. Purakasastra | SEPTEMBER 2016 2
EDISI 9 TAHUN II –
SEPTEMBER 2016
PEMIMPIN REDAKSI : Ricky Richard Sehajun REDAKTUR PELAKSANA: Ade Junita DEWAN RUBRIK : Dian Rusdi Muhammad Ridwan Kholis Nurul Latifah Alfa Anisa Ellyas Rawamaju Neng Holip
Keterangan sampul edisi 8: Judul: Menemukan Simbol Oleh: Ade Junita Media: Photoshop CS5 Ukuran: 670 px X 728 px Resolusi: 72 pixels/inch
EDITOR : Nurul Latifah Zahara Putri Ricky Richard Sehajun
Purakasastra adalah majalah sastra independen yang turut serta dalam usaha membangun dan mengembangkan dunia kesusastraan nasional.
DESAIN GRAFIS DAN TATA LETAK : Ade Junita
DESAIN SAMPUL : Ade Junita
Temukan kami di: Purakasastra Majalahpurakasastra
Untuk informasi pemasangan iklan, kritik dan saran silakan layangkan melalui email redaksipuraka@gmail.com.
@purakasastra
Majalah Purakasastra
purakasastra.blogspot.com
Kontak person: 0852 3346 7893 #Beberapa foto ilustrasi dalam majalah ini diambil dari Google.
Purakasastra | SEPTEMBER 2016 3
CATATAN ANOMALI
Narasi Sosial Dalam Cerpen
7
KAJIAN SASTRA
Sudut Pandang dan Alur Cerpen
10
Nasionalisme Para Sastrawan Kita
13
Inovasi Tiada Henti Lahirkan Puisigrafi
17
PARASASTRA
Ali Akbar Navis: Harimau Sumatra yang Mengaum Lewat Karya Sastra
20
SASTRA CYBER
Mengintip Pesan Antologi Cerpen Atas Nama
Parasastra. Hal. 20
Cinta: “JADILAH PELAKU CINTA” (Merespon Antologi Cerpen Komunitas Pena)
26
PURAKARYA Cerpen:
Semburat Gerimis Rindu Gadis Muslimah
31
INFO SASTRA
Serba-serbi Literasi di Indonesia
35
Purakarya. Hal. 31
PURAKASASTRA | APRIL 2016 4
Sastra Cyber. Hal. 26
CATATAN ANOMALI CATATAN ANOMALI
pengarang cerpen berada dalam posisi penjelas realitas.
S
astra merupakan kristalisasi ekspresi
manusia. Terutama ekspresi perasaan, imajinasi dan peta pikiran. Ekspresi lahir dari bingkai komunitas sosial dan invidual. Semuannya itu, bertitik tolak dari sistem kejiwaan manusia. Sistem itu berusaha menjalankan hidup manusia dengan prinsip kebaikan. Namun, kaidah perwujudan prinsip kebaikan bentrok dengan berbagai persoalan keseharian manusia. Refleksi beserta pergumulan pengarang cerpen berada dalam lingkup ini. Pengarang, dengan segala rasa, imajinasi berusaha menyerap dan memotret persoalan semesta. Ia bisa menampilkan sisi realitas yang mungkin tidak bisa dijelaskan secara tuntas. Dan
Spesifiksinya, ia menarasikan realitas. Cerpen punya narasi. Narasi tersembul dari strategi logika. Logika memiliki skema sistematis. Sistematika penulisan cerpen lahir dari kandungan analisis realitas kontekstual. Juga, imajinatif. Ia terkait erat dengan aktivitas mendengar, menerka, memahami, merefleksikan dan mengkotemplasikan segala kejadian. Entah kejadian yang individual maupun sosial. Sejatinya, analisis narasi sosial merupakan peziarahan intektual kaum teoretikus yang tertarik pada suatu studi teks sastra. Studi teks sastra, membawa orang pada metodologi berpikir budaya. Sebab, penulis sastra (cerpen) terlekang dengan kontek budaya yang digenggamnya. Ia menulis cerpen dengan PURAKASASTRA | SEPTEMBER 2016 7
CATATAN ANOMALI CATATAN ANOMALI
latar budaya dan aktivitas harian manusia.
beserta dampak bagi semesta. Viktor Turner
Budaya dan aktvitas inilah yang memberi
memberi pola bagus dalam menelusuri narasi
peluang bagi refleksi mendalam soal cerpen.
sosial dalam realitas. Pola yang dimaksd adalah
Refleksi itu terinspirasi pada pola eksistensi soal
Dramas, Fields and Metaphors (1974) dan The
maanusia.
Anthropology of Performance (1986).Turner
Dalam narasi sosial ada berbagai strategi
mengusulkan bahwa karya sastra mesti berpusat
yang dipakai. Metode pemakaian itu tergantung
pada proses Sosial-kultur. Proses itu memberi
dari cara berpikir, pengalaman dan daya
fase-fase yang bercirikan universal. Di antaranya
imajinasi pengarang. Pengarang bisa
adalah Fase kritis, pembangkangan (melawan),
menarasikan kejelekan atau kebaikan sang
introvert (penarikan diri) dan penyatuan
tokoh cerpen. Bisa juga, memangku strategi
kembali.
kebebasan yang dianut tokoh dalam menjalani rutinitas hidup. Rutinitas itu dihermeneutikakan. Traktat
Fase krisis merupakan narasi skisma sosial saat masyarakat menentukan sikap terhadap apa yang dialaminya. Fase
hermeneutika tergantung dari pola sudut
pembangkangan (melawan) terkait narasi
pandang dalam study perkara. Perkara realiatas
pelanggaran publik atas sistem budaya dan tata
inilah yang digodok oleh teks cerpen. Bisa jadi,
aturan. Fase introvert (menarik diri) bersoal
narasi teks cerpen merupakan rekonstrusi sistem
upaya penyelesaian konflik dan arbitrasi yang
nilai tatanan sosial, agama, kebudayaan,
dimulai. Fase penyatuan kembali menjelaskan
pendidikan, etika dan moralitas .
tentang bersatunya kembali orang-orang yang
Analisa sosial dalam narasi cerpen memiliki tujuan. Yakni, untuk memetakan dan
berkonflik sekaligus pemulihan kembali skisma yang telah terjadi. Begitulah!.
merumuskan kisah soal sosial, peristiwa historis
Kursi Taman. Karya: Kiki
PURAKASASTRA | SEPTEMBER 2016 8
D. Karya: Ade Junita
Purakasastra | SEPTEMBER 2016 9
KAJIAN SASTRA
Bernaung. Karya: Kiki
Oleh: Ida Mustika Dewi
S
astra merupakan kegiatan seni yang mewujudkan gagasan seseorang melalui pandangan terhadap lingkungan sosial yang berada di sekelilingnya dengan menggunakan bahasa yang indah. Setiap karya sastra memiliki skema atau alur kisah. dan Cerpen memiliki alur kisah. Alur dalam cerpen memiliki skema tertentu dalam menciptakan nuansa
menarik. Ia hadirr sebagai hasil perenungan pengarang terhadap fenomena yang ada. Sastra sebagai karya fiksi memiliki pemahaman yang lebih mendalam bukan hanya sekadar cerita khayal atau angan dari pengarang, melainkan wujud dari kreativitas pengarang dalam menggali dan mengolah gagasan yang ada di pikirannya.
Purakasastra | SEPTEMBER 2016 10
KAJIAN SASTRA Cara menganalisisnya harus mencermati sedetail mungkin alur cerita, urutan peristiwa. Lalu, lihat dan tulis kapan cerita itu dimulai dan diakhiri. Jika cerita diawali dari waktu lalu menuju waktu sekarang, berarti cerita tersebut beralur maju, demikian sebaliknya. Untuk sudut pandang, adalah posisi pengarang dalam membawakan ceritanya. Bisa jadi ia menjadi tokoh dalam cerita tersebut (pengarang berada di dalam cerita). Namun, bisa juga dia hanya menjadi pencerita saja (pengarang berada di luar cerita). Sudut pandang dibagi menjadi dua yaitu: 1. Sudut pandang orang pertama Pada sudut pandang orang pertama, posisi pengarang berada di dalam cerita.Ia terlibat dalam cerita, bisa tokoh utama atau pun tokoh pembantu. Salah satu ciri sudut pandang orang pertama adalah penggunaan kata ganti “aku” dalam cerita. 2. Sudut pandang orang ketiga Pada sudut pandang orang ketiga, pengarang berada di luar cerita.Artinya dia tidak terlibat dalam cerita.Pengarang berposisi seperti dalang atau pencerita saja.Ciri utama sudut pandang orang ketiga adalah penggunaan kata “dia” atau “nama-
Ada yang Bukan Bulan. Karya: Ade Junita
nama tokoh”. Cara menganalisis sudut pandang berkaitan dengan penceritaan penulis. Jika pengarang memakai istilah aku untuk menghidupkan tokoh, seolah-olah dia menceritakan pengalamannya sendiri maka itu sudut pandang orang pertama. Bila memakai istilah dia, berarti itu adalah sudut pandang orang ketiga Tentu saja, pengarang berusaha secara maksimal mengarahkan pembaca kepada gambaran-gambaran realita kehidupan melalui ulasan cerita yang ditulisanya, sehingga pembaca dapat memahami secara utuh maksud dan tujuan pengarang. Selain itu, pembaca dapat mengambil hikmah, pelajaran, atau pesan yang ingin disampaikan pengarang. Alur adalah rangkaian cerita dari awal sampai akhir yang merupakan rangkaian peristiwa lain yang dihubungkan dengan kausalitasnya, sehingga peristiwa pertama menyebabkan terjadinya peristiwa kedua, peristiwa kedua menyebabkan terjadinya peristiwa ketiga, dan demikian selanjutnya, hingga pada dasarnya peristiwa terakhir ditentukan oleh peristiwa pertama (Sumardjo dan Saini: 1988: 139). Alur menurut jenisnya terbagi menjadi beberapa bagian sebagai berikut. Alur maju o yaitu alur yang tersusun dari mulai pengenalan, keadaan bergerak, kemudaian pada tahap pertikaian menuju klimaks dan peleraian. Alur mundur (flashback) o Yakni alur yang disebabkan pengarang Purakasastra | SEPTEMBER 2016 11
KAJIAN SASTRA menempatkan akhir cerita lebih dahulu lalu kembalai mengulas awal cerita (arus sorot balik). Alur campuran adalah rangkaian peristiwa yang terjadi mulai dari tahap pertikaian, klimaks tahap pengenalan dan diakhiri dengan tahapan penyelesaian. Sudut pandang dan alur cerpen dapat mengethui karakter pelaku dan konflik dalam cerpen dan novel. Menurut Aminuddin (2011: 81) seringkali lewat tingkah laku seseorang kita dapat menentukan perwatakannya. Perwatakan atau karakter tokoh cerita dapat ditelusuri melalui hal-hal sebagai berikut: Tuturan pengarang terhadap karakteristik perilakunya Gambaran yang diberikan pengarang lewat gambaran lingkungan kehidupan nya maupun cara berpakaian Menunjukkan bagaimana perilakunya Melihat bagaiamana tokoh itu berbicara tentang dirinya sendiri Memahami bagaimana jalan pikirannya Melihat bagaimana tokoh lain berbicara tentangnya Melihat bagaimana tokoh lain berbicara dengannya
Melihat bagaimana tokohtokoh yang lain memberikan reaksi terhadapnya Melihat bagaimana tokoh itu dalam mereaksi tokoh yang lainnya (Aminuddin, 2011: 80-81). Karya sastra imajinatif adalah karya sastra yang dihasilkan dari olah imajinasi pengarang, sehingga tidak benar sama dengan kenyataan. Karya sastra nonimajinatif diangkat dari kehidupan nyata yang benar-benar terjadi, kemudian dikemas dalam bahasa yang indah. Dalam karya cerpen harus ada amanat atau pesan yang ingin disampaikan kepada pembaca. Jika tidak ada, pesan atau amanat, mengandaikan karya tersebut tidak berguna bagi para pembaca. Karya tersebut dinyatakan gagal memberikan sumbangan pikiran bagi khalayak. Selain itu Tipografi berkaitan dengan tata wajah karya sastra. Tipografi merupakan teknik memilih dan menata huruf pada satu karya. Hal ini untuk menciptakan kesan tertentu, guna kenyamanan membaca semaksimal mungkin. Tipografi merupakan unsur pembeda dalam karya sastra. Kehadiranya memberi membaca gambaran soal jenis karya sastra. Misalnya, termasuk puisi, prosa, atau pun Drama.
"Manusia tak akan tahu kekuatan maksimalnya sampai ia berada dalam kondisi di mana ia dipaksa kuat untuk bisa bertahan." Merry Riana-Mimpi Sejuta Dolar Purakasastra | SEPTEMBER 2016 12
KAJIAN SASTRA
Senja di Pantai. Karya: Ade Junita
Esai Cep Subhan KM Tak pernah jelas benar kapan lahirnya nasionalisme, tapi jika kita percaya pada Nationalism and Modernism-nya Anthony D. Smith maka ada hubungan yang erat antara kelahiran nasionalisme dengan kemunculan kaum intelektual. Itulah tampaknya penyebab mengapa persoalan kapan tepatnya lahirnya kebangkitan nasional di negeri kita kerap kali jadi bahan diskusi. Sebab jawaban dari perdebatan itu memiliki andil yang kuat untuk menentukan apakah kita bangsa yang sudah lama memiliki kaum intelektual atau justru baru kemarin sore kita meninggalkan dunia primitif. Nasion, dari mana kata nasionalisme
sempit sebagai kesetiaan tunggal ke dalam
berasal, adalah bagian yang—bersama
dan penutupan diri dari luar. Inilah
dengan negara, state—selalu mendampingi
barangkali yang dimaksud oleh Homi K.
pembahasan nasionalisme. Sebuah
Bhaba ketika dalam pengantar Nation and
kenyataan yang seringkali menimbulkan
Narrations ia menyatakan bahwa nasion—
salah kaprah: nasionalisme diartikan secara Purakasastra | SEPTEMBER 2016 13
KAJIAN SASTRA sebagaimana kisah—kehilangan asal-
luar=terjemahan ke dalam bahasa luar)
usulnya dalam mitos-mitos waktu.
menolak “dari” (dari luar=terjemahan puisi
Kita mungkin perlu bersyukur bahwa nasionalisme sempit seperti itu—yaitu
dari bahasa luar). Situasi itu berkebalikan dari penyair-
nasionalisme yang hanya menerima kata
penyair generasi masa lampau yang
“ke”, ke dalam dan ke luar, tapi menolak kata
sebelum sajak-sajak mereka diterjemahkan
“dari”, dari luar—adalah sesuatu yang tak
ke dalam bahasa luar, seringkali mereka
pernah dimiliki para penyair di negeri kita.
telah melahirkan sajak-sajak terjemahan.
Angkatan Pujangga Baru misalnya, jika kita
Amir Hamzah menerjemahkan
mereduksinya menjadi Sutan Takdir, maka
Bhagawadgita, Chairil Anwar
akan kita temukan gejala berkiblat ke Barat
menerjemahkan beberapa sajak: karya Rilke,
meski tentu saja kadarnya masih perlu
Hsu Cih Mo, John Cornford, dan Goenawan
diperdebatkan. Angkatan selanjutnya,
Mohamad misalnya memulai debutnya
Angkatan 45, merupakan kumpulan sosok-
dengan menerjemahkan sajak Emily
sosok yang percaya bahwa mereka adalah
Dickinson.
“ahli waris kebudayaan dunia”. Angkatan 66,
Sebuah karya terjemahan yang baik
Goenawan Mohamad dan kawan-kawan,
akan menjadi khazanah yang memperkaya
adalah mereka yang mencetuskan
bahasa dan kesusasteraan sasarannya,
Manifestasi Kebudayaan, suatu testamen
demikian tulis Acep Zamzam Noer dalam
bahwa bangsa Indonesia ada di tengah
pengantar antologi terjemahan puisi-puisi
“masyarakat bangsa-bangsa”.
Mao Ze Dong ke dalam bahasa Indonesia.
Dengan mengatakan “adalah sesuatu
Dengan kata lain, ketika seorang
yang tak pernah dimiliki”, maka tulisan ini
penerjemah menerjemahkan sajak dari
mendasarkan statemen tersebut pada masa-
bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia,
masa lampau sebelum memandang pada
maka terjemahan itu akan memperkaya
situasi kepenyairan masa kini: sedikit banyak
bahasa dan kesusasteraan Indonesia.
ada kecenderungan berkembangnya
Demikian juga sebaliknya, jika seseorang
nasionalisme sempit pada kalangan tertentu
menerjemahkan sajak Indonesia ke dalam
penyair kontemporer. Kecenderungan ini
bahasa Inggris misalnya, maka terjemahan
dapat terlihat dari sedikitnya para penyair
itu akan memperkaya bahasa dan
melakukan terjemahan sajak-sajak penyair
kesusasteraan Inggris.
luar nasion, dan sebaliknya semakin banyak
Kita mungkin harus merasa kagum
sajak-sajak penyair nasion diterjemahkan ke
ketika melihat terjemahan Chairil Anwar atas
dalam bahasa luar: bukti bahwa ada
A Song of the Sea-nya Hsu Chih Mo, melihat
nasionalisme yang hanya menerima “ke” (ke
betapa kayanya kosakata yang dimiliki Purakasastra | SEPTEMBER 2016 14
KAJIAN SASTRA penyair muda itu (terjemahan itu
Jika kita melihat dari sudut pandang
dipublikasikan ketika ia berumur 26 tahun)
pragmatisme (dan juga nasionalisme), maka
padahal ketika itu belum ada kamus
penerjemahan sajak asing ke dalam bahasa
Tesaurus ataupun Google Translate. Ia
kita justru lebih menguntungkan kondisi
misalnya menerjemahkan the evening blow
kebahasaan dan kesastraan Indonesia
dengan angin malam menderu (bandingkan
dibandingkan sebaliknya. Tetapi ternyata
juga dengan terjemahan Taufik Ismail atas
kenyataan di lapangan sekarang justru
the answer my friend is blowin’ in the wind,
terbalik, sajak-sajak penyair Indonesia
satu bait dari Blowin’ in the Wind-nya Bob
sedang beken diterjemahkan ke dalam
Dylan menjadi jawabnya temanku, ada
bahasa asing, terutama Inggris.
dalam angin berembusan), suatu jenis
Kita mungkin bisa beralasan bahwa
terjemah puisi bebas yang jelas memerlukan
penerjemahan sajak penyair-penyair kita ke
kemampuan penguasaan kosakata bahasa
dalam bahasa Inggris bisa membantu
sasaran yang sangat tinggi. Diksi blow tak
mempopulerkan penyair-penyair kita ke luar
harus diterjemahkan dengan berhembus
negeri, kita juga bisa beralasan bahwa laku
seperti banyak ditemukan dalam kamus
itu bisa menambah satu tambahan
Inggris-Indonesia tetapi bisa diartikan
kebanggaan dalam biografi para penyair kita
dengan menderu. Pada tataran ini
bahwa sajaknya sudah diterjemahkan ke
pertimbangan aspek estetika jelas
dalam sekian bahasa misalnya, suatu
menentukan pilihan diksi, pertimbangan
pertanda go international. Tetapi tidakkah
yang tak mungkin muncul jika penerjemah
sebenarnya jika memang sajak-sajak yang
hanya mengandalkan mesin penerjemah
dihasilkan oleh penyair kita “bagus” maka
karena pertimbangan itu muncul dengan
dengan sendirinya orang-orang asing—para
mendasarkan pada zauq, cita rasa.
pecinta sastra, para peneliti sastra
Sebaliknya, terjemahan Senja di
indonesia—akan tertarik untuk
Pelabuhan Kecil-nya Chairil ke dalam bahasa
menerjemahkan sajak-sajak itu ke dalam
Inggris yang dilakukan oleh Burton Raffel
bahasa mereka? Tidakkah gejala narsisme ini
juga membantu mempopulerkan kata Prau
hanya satu gejala—mengutip Goenawan
sebagai satu kata dalam bahasa Inggris yang
Mohamad—“keterpencilan kesusasteraan
diserap dari bahasa Melayu. Kosakata itu
kita”: rakyat Indonesia sendiri baru sekian
sampai sekarang bisa ditemukan dalam
persen mengenal nama penyair yang berdiri
salah satu kamus babon Bahasa Inggris yang
di menara gading merasa menjadi seorang
sama populernya dengan kamus Oxford:
begawan penunjuk jalan kebenaran yang
Kamus Webster.
hanya turun ke desa setahun sekali ketika mengeluarkan titahnya, sementara Purakasastra | SEPTEMBER 2016 15
KAJIAN SASTRA keterpencilan itu membuat penyair-penyair
Dengan kata lain: suatu nasionalisme
kita merasa kesepian dan menyalahkan
yang mencakup “ke” dan “dari”. Seambigu
perbedaan intelektual mereka dengan rakyat
apapun pandangan bahwa ada aspek
biasa sehingga kemudian mereka lebih
universal dalam karya sastra akan tetapi ada
mementingkan go international supaya bisa
baiknya kita mendengarkan suara TS Eliot
sedikit membanggakan diri?
dari awal abad 20 tentang “komunitas
Semua itu memang baru prasangka,
bawah sadar antara penyair dengan generasi
selalu terkandung penggeneralisiran dalam
penyair sebelumnya”. Tak ada penyair yang
prasangka, selalu ada yang hiperbolik dalam
lahir langsung merangkai kata, semua
sebuah duga. Tetapi mungkin ada baiknya
penyair selalu belajar dari generasi
jika kita mulai mempertanyakan
terdahulu, tanpa batas geografi, tanpa batas
kemungkinan prasangka ini demi
waktu. Sastra menolak dominasi ruang
perkembangan kesusasteraan kita sendiri,
ataupun waktu. Maka kita yang hidup zaman
sama pentingnya dengan mempertanyakan
sekarang sesekali masih menengok drama-
para penyair yang lebih mementingkan
drama Sophokles, menonton film yang
menerjemahkan karyanya ke dalam bahasa
dibuat dari tokoh-tokoh Homer, menyitir
inggris daripada menerjemahkan karya
sajak-sajak Amir Hamzah, membaca karya-
penyair asing ke dalam bahasa indonesia.
karya Hamka, Pramoedya, Sitor
Tentu, ada juga yang bisa berkilah
Situmorang…
bahwa mereka tidak anti bahasa Inggris, hanya saja mereka lebih mementingkan
Biodata Penulis:
lokalitas: suatu bentuk yang mereka sebut
Cep Subhan KM, Penerjemah, novelis,
nasionalisme. Akan tetapi benarkah
cerpenis, esais yang sedang mengelola
demikian? Jauh-jauh hari Sukarno sudah memperingatkan nasionalisme sempit semacam itu dengan mengatakan bahwa “nasionalisme harus tumbuh dalam taman sari internasionalisme”.
Sanggar Sarasila Yogyakarta. Salah satu buku terjemahannya adalah Musyawarah Burung – Fariduddin Attar (OAK: 2016). Esainya “Kawabata, Daun Bambu, Dan Kisah Yang Bermula Dari Titik” menjadi pengantar buku terjemahan kompilasi karya-karya Kawabata dan termaktub dalam Jurnal Sajak.
“Tidak selalu orang lari dari sesuatu karena ketakutan atau ancaman. Kita juga bisa pergi karena kebencian, kesedihan, ataupun karena harapan.” Tere Liye, Rindu Purakasastra | SEPTEMBER 2016 16
KAJIAN SASTRA
Oleh: Real Teguh Judul Buku
: PER[T]EMPU[R]AN
Penulis
: Lenang Manggala
Ilustrator
: Marien Gadea
Penerbit
: Kekata Publisher, Surakarta
Cetakan
: I, Januari 2016
Tebal
: xii + 170 halaman
ISBN
: 978-602-6915-40-5
Per[t]empu[r]an adalah fiksi dewasa. Berisi sealbum puisigrafi yang ditulis oleh Lenang Manggala sebagai penampil puisi dan prosa. Berkolaborasi dengan perempuan berkebangsaan Spanyol, Marien Gadea sebagai ilustrator. Untuk pertama kali, bukubuku puisigrafi di Indonesia—termasuk buku “Per[t]empu[r]an”—dipelopori oleh penerbit Kekata Publisher. Kebaruan ide dalam pengemasan ini akan memberi semangat bersastra jadi lebih bergairah. Berpuisi memang butuh intelegensia. Puisi yang diracik dengan segenap daya cipta, karsa, dan rasa, terlepas dari tampilan yang lebih ringkas dan singkat dibaca, tetap mampu menghipnotis pembaca. Meski dengan sedikit kata, tapi kaya makna dan justru bisa ditafsirkan lebih luas daripada narasi atau prosa. Kata John Wain (1976), “Puisi itu menari, prosa itu jalan kaki”. Ibarat di sepakbola, puisi adalah penyerang yang
meliuk-liuk menggiring bola. Prosa adalah penjaga gawangnya. Puisi kontemporer berkembang pesat ibarat peluru atau anak panah yang melesat. Di era digital ini, primadona penulis atau penyair muda tumbuh bermunculan. Seperti Lenang Manggala ini, masih berumur 23 tahun dan mampu menampilkan penyajian Purakasastra | SEPTEMBER 2016 17
KAJIAN SASTRA baru dalam karyanya. Ia memoles puisi dan prosa sama baiknya. Ia juga menampilkan dirinya dengan dua perwajahan, seorang lelaki dan perempuan. Benar ini fiksi dewasa beraroma perempuan, tapi tidak lantas memvulgarkan isi. Terlepas bagaimana persepsi tiap pembaca, kurang lebih akan terfokus pada grafis, bukan teks puisinya. Selain itu, judul “Per[t]empu[r]an” yang bermakna ganda sebenarnya mengambang dalam pelafalan, meski bisa dibaca “Pertempuran” atau “Perempuan”. Jalan. Karya: Kiki Dalam penciptaan karya sastra seperti puisi, Dulce et utile (menghibur dan mendidik) tidak boleh dihilangkan, karena dua hal ini adalah ruhnya. Serta sembilan bahan pokok menulis puisi sebagai raganya, yaitu bunyi, diksi, rima, ritme, citraan, majas, tema, amanat atau pesan moral, dan judul. Sealbum puisi dengan grafis hitam putih. Berisi 51 judul setebal 170 halaman. Tema hujan mendramatisir suasana puisigrafi ini, juga dihadirkan sebagai prolog berjudul “Hujan”. Tema lainnya adalah
perempuan yang bermakna kemajemukan, bisa penggambaran sosok atau keintiman. Berpadu selingan kopi, seperti pada puisi berjudul “Perempuan dalam Secangkir Kopi Hitam” (hal. 44) dan “Secangkir Kopi yang Meraba Diri” (hal. 48). Juga ada tema sosial, seperti puisi berjudul “Sepucuk Surat di Bawah Senja” (hal. 39) menyinggung tragedi di tahun 1998, lalu puisi berjudul “Memuja Tanpa Jeda” (hal. 162) menggambarkan orang pinggiran, kehidupan janda tua pemetik kopi, dan petani cengkeh yang ditertawakan cukong-cukong. Lenang Manggala juga tampil liar, nakal, bahkan manja dalam mengolah diksi dan majas. Misalnya, pada bagian puisi di halaman 160, berjudul “Kekanak yang Tumbuh dalam Tubuhmu”.
“Aku ingin menjadi lapangan yang menampung pelarianmu dari tidur siang yang dipaksakan ibumu Menjadi acara kartun yang menculikmu dari angka-angka yang mengaum di tas sekolahmu” Bagaimanapun, buku puisigrafi ini adalah pembeda. Kehadirannya layak mendapat apresiasi. Sebagai penyegaran ketika jenuh terhadap apa yang sebelumnya sudah banyak beredar dengan kesan biasa. (*) Biodata: Real Teguh adalah nama pena dari Teguh Wibowo. Tulisannya pernah dimuat di majalah Mimbar, tabloid Warta Trenggalek, jurnal sastra Aksara, harian Malang Post, Merah Putih Pos, Koran Madura, dan terhimpun dalam 36 buku antologi bersama. E-mail: realteguh3@gmail.com. Facebook: Real Teguh.
Purakasastra | SEPTEMBER 2016 18
Rumput. Karya: Lembayung
Purakasastra | SEPTEMBER 2016 19
PARASASTRA
Riwayat Hidup Haji Ali Akbar Navis atau lebih dikenal dengan nama A.A. Navis. Adalah seorang sastrawan dan budayawan terkemuka di Indonesia yang menjadikan menulis sebagai alat dalam kehidupannya. Lahir di Kampung Jawa, Padangpanjang, Sumatera Barat, 17 November 1924 dan wafat pada 22 Maret 2003, pada umur 79 tahun. Meninggalnya Navis membuat dunia sastra Indonesia kehilangan salah seorang sastrawan besar. Navis telah lama mengidap komplikasi jantung, asma, dan diabetes. Dua hari sebelum meninggal dunia, ia masih meminta putrinya untuk membalas surat kepada Kongres Budaya Padang bahwa ia tidak bisa ikut Kongres di Bali. Serta minta dikirimkan surat balasan agar bersedia mencetak cerpen terakhir kepada Balai Pustaka. Ia meninggalkan satu orang istri, Aksari Yasin, yang dinikahi tahun 1957 dan tujuh orang anak yakni Dini Akbari, Lusi Berbasari, Dedi Andika, Lenggogini, Gemala Ranti, Rinto Amanda, dan Rika Anggraini, serta 13 cucu. Ia dikebumikan di Taman Pemakaman Umum (TPU) Tunggul Hitam, Padang.
Riwayat Pendidikan Navis memulai pendidikan formalnya dengan memasuki sekolah Indonesisch Nederiandsch School (INS) di daerah Kayutaman selama sebelas tahun. Kebetulan jarak antara rumah dan sekolah Navis cukup jauh. Perjalanan panjang yang ditempuhnya setiap hari itu dimanfaatkannya untuk membaca buku sastra yang dibelinya. Selama sekolah di INS, selain mendapat pelajaran utama, Navis juga mendapat pelajaran kesenian dan berbagai keterampilan. Pendidikan Navis, secara formal, hanya sampai di INS. Selanjutnya, ia belajar secara otodidak. Akan tetapi, kegemarannya membaca buku (bukan hanya buku sastra, juga berbagai ilmu pengetahuan lain) memungkinkan intelektualnya berkembang. Bahkan, ia terlihat menonjol dari teman seusianya. Dari berbagai bacaan yang diperolehnya, Navis kemudian mulai menulis kritik dan esai. Ia berusaha menyoroti kelemahan cerpen Indonesia dan mencari kekuatan cerpen asing. Ketika menulis cerpennya sendiri, kelemahan cerpen Indonesia itu dicoba diperbaikinya dengan
Purakasastra | SEPTEMBER 2016 20
PARASASTRA memadukannya dengan kekuatan cerpen asing.
atas kerjasama Yayasan Adikarya Ikapi dan The Ford Foundation, sebagai kado ulang tahun pada saat usianya genap 75 tahun. Jodoh berisi sepuluh buah cerpen yang ditulisnya sendiri, yakni Jodoh (cerpen pemenang pertama sayembara Kincir Emas Radio Nederland Wereldemroep, 1975), Cerita 3 Malam, Kisah Seorang Hero, Cina Buta, Perebutan, Kawin (cerpen pemenang majalah Femina, 1979), Kisah Seorang Pengantin, Maria, Nora, dan Ibu. Ada yang ditulis tahun 1990-an, dan ada yang ditulis
Proses Kreatif Navis adalah sosok yang terbuka dan apa adanya. Kritik-kritik sosialnya mengalir, membangunkan kesadaran setiap pribadi, agar hidup lebih bermakna. Ia selalu mengatakan yang hitam itu hitam dan yang putih itu putih. Karena aksinya yang ceplasceplos itu, ia dijuliki 'Sang Pencemooh'. Ia amat gelisah melihat negeri ini digerogoti para koruptor. Pada suatu kesempatan ia mengatakan Walaupun ia sadar, mungkin kendati menulis adalah alat justru ia orang yang pertama utamanya dalam kehidupan, tapi jika dikasih memilih, ia akan kali ditembak. Sebab, "semua pilih jadi penguasa untuk orang tidak suka ada orang menangkapi para koruptor. yang menyikat koruptor," Walaupun ia tahu risikonya, katanya seperti pesimis mungkin dalam tiga bulan, ia tentang kekuatan pena untuk justru akan duluan ditembak mati oleh para koruptor itu. memberantas korupsi. Pria Minang yang untuk terkenal tidak harus merantau secara fisik ini, namanya menjulang dalam tahun 1950-an. sastra Indonesia sejak cerpennya yang Padahal menulis bukanlah pekerjaan fenomenal, Robohnya Surau Kami, terpilih mudah, tapi memerlukan energi pemikiran menjadi terbaik kedua majalah sastra Kisah, serius dan santai. "Tidak semua gagasan (1955). Yang roboh itu bukan dalam dapat diimplementasikan dalam sebuah pengertian fisik, tapi tata nilai. Hal yang tulisan, dan bahkan kadang-kadang terjadi saat ini di negeri ini. Sebuah cerpen memerlukan waktu 20 tahun untuk yang dinilai sangat berani. Kisah yang melahirkan sebuah tulisan. Kendati menjungkirbalikkan logika awam tentang demikian, ada juga tulisan yang dapat bagaimana seorang alim justru dimasukkan diselesaikan dalam waktu sehari saja. ke dalam neraka. Karena dengan Namun, semua itu harus dilaksanakan kealimannya, orang itu melalaikan pekerjaan dengan tekun tanpa harus putus asa. Saya dunia sehingga tetap menjadi miskin. Ia merasa tidak pernah tua dalam menulis memang sosok budayawan besar, kreatif, segala sesuatu termasuk cerpen," katanya produktif, konsisten, pemikirannya jauh ke dalam suatu diskusi di Jakarta. depan, dan jujur pada dirinya sendiri. Menurutnya, menulis harus dijadikan Sebagai seorang penulis, ia tak kebiasaan dan kebutuhan dalam kehidupan. pernah merasa tua. Pada usia gaek ia masih Ia sendiri memang terus menulis, sepanjang saja menulis. Buku terakhirnya, berjudul hidup, sampai tua. Mengapa? "Soalnya, Jodoh, diterbitkan oleh Grasindo, Jakarta senjata saya hanya menulis," katanya. Purakasastra | SEPTEMBER 2016 21
PARASASTRA Baginya, menulis adalah salah satu alat dalam kehidupannya. "Menulis itu alat, bukan pula alat pokok untuk mencetuskan ideologi saya. Jadi waktu ada mood menulis novel, menulis novel. Ada mood menulis cerpen, ya menulis cerpen," katanya seperti dikutip Kompas, Minggu, 7 Desember 1997. Pandangan dan Pemikiran Navis menyinggung tentang karya sastra yang baik. Menurutnya, yang terpenting bagi seorang sastrawan adalah karyanya awet atau tidak. Ada karya yang bagus, tapi seperti kereta api; lewat saja. Itu banyak dan di mana-mana terjadi. Ia sendiri mengaku menulis dengan satu visi. Ia bukan mencari ketenaran. Dalam konteks ini, ia amat merisaukan pendidikan nasional saat ini. Dari SD sampai perguruan tinggi, orang hanya boleh menerima, tidak diajarkan mengemukakan pikiran. Anak-anak tidak diajarkan pandai menulis oleh karena menulis itu membuka pikiran. Anak-anak tidak diajarkan membaca karena membaca itu memberikan anak-anak perbandinganperbandingan. Di perguruan tinggi orang tidak pandai membaca, orang tidak pandai menulis, jadi terjadi pembodohan terhadap generasi-generasi akibat dari kekuasaan. Maka, andai ia berkesempatan jadi menteri, ia akan memfungsikan sastra. "Sekarang sastra itu fungsinya apa?" tanyanya lirih. Pelajaran sastra adalah pelajaran orang berpikir kritis. Orang berpikir kritis dan orang memahami konsepkonsep hidup. Kita baca, karya mana saja yang baik, itu berarti menyuruh orang berpikir berbuat betul. Lalu karya-karya itu konsepnya yang jahat lawan yang buruk. Dalam karya sastra bisa terjadi yang jahat itu yang dimenangkan, tapi bukan artinya sastra memuja yang jahat. Ia melihat, perkembangan sastra di Indonesia sedang macet. Banyak karya-karya sastra di
Indonesia menceritakan hal-hal orang-orang munafik. Diajarkan itu ke anak-anak tentang orang munafik di tengah masyarakat kita yang banyak munafik. Anak-anak kan jadi tajam. Oleh karena itu pemerintah tampaknya tidak mengajarkan sastra supaya orang tidak melihat orang-orang yang munafik, umpamanya. Hal ini tak terlepas dari mental korup para elit bangsa ini. Maka andai ia diberi pilihan alat kekuasaan, atau menulis dan berbicara, yang dia pilih adalah kekuasaan. Untuk apa? Untuk menyikat semua koruptor. Walaupun ia sadar, mungkin justru ia orang yang pertama kali ditembak. Sebab, "semua orang tidak suka ada orang yang menyikat koruptor," katanya seperti pesimis tentang kekuatan pena untuk memberantas korupsi. Karier Pegawai babrik porselin di Padang (1944-1947). Kepala Bagian Kesenian Jawatan Kebudayaan Provinsi Sumatera Barat di Bukittinggi (1955-1957). Pemimpin redaksi harian Semangat di Padang (1971-1972). Anggota DPRD Sumatera Barat mewakili Golongan Karya (1971-1982). Ketua Yayasan Ruang Pendidik INS Kayu Tanam sejak 1969). Buah Karya Navis mengaku mulai menulis sejak tahun 1950, namun hasil karyanya baru mendapat perhatian dari media cetak sekitar 1955, dan telah menghasilkan sebanyak 65 karya sastra dalam berbagai bentuk. Ia telah menulis 22 buku, ditambah lima antologi bersama sastrawan lainnya, dan delapan antologi luar negeri, serta 106 makalah yang ditulisnya untuk berbagai kegiatan akademis di dalam maupun di luar negeri dan dihimpun dalam buku Yang Berjalan Sepanjang Jalan. Novel terbarunya, Purakasastra | SEPTEMBER 2016 22
PARASASTRA Saraswati, diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2002. Cerpennya Robohnya Surau Kami dan Pak Menteri Mau Datang telah diterjemahkan ke bahasa Inggris, Jerman, Perancis, Jepang, dan Malaysia. Beberapa karyanya: a. Cerita Pendek 1. “Cerita Tiga Malam”, Roman, Thn. V, No.3, 1958:25--26 2. “Terasing”, Aneka, Thn. VII, No. 33, 1956:12--13 3. “Cinta Buta”, Roman, Thn. IV, No. 3, 1957 4. “Man Rabuka”, Siasat, Thn. XI, No. 542, 1957:14--15 5. “Tiada Membawa Nyawa”, Waktu, Thn. XIV, No.5, 1961 6. “Perebutan”, Star Weekly, Thu. XVI, No. 807, 1961 7. “Jodoh”, Kompas, Thn. Xl, No. 236, 6 April 1976: 6 b. Kumpulan Cerita Pendek 1. Bianglala (1963). 2. Hujan Panas (1964). 3. Di Lintasan Mendung (cerita bersambung,
1983). 4. Robohnya Surau Kami, Jakarta: Gramedia, 1986. 5. Hujan Panas dan Kabut Musim, Jakarta: Jambatan, 1990. 6. Cerita Rakyat dari Sumatera Barat 1 (1994). 7. Cerita Rakyat dari Sumatera Barat 2 (1998). 8. Cerita Rakyat dari Sumatera Barat 3 (2001). 9. Kabut Negeri Si Dali (2001). 10. Bertanya Kerbau Pada Pedati (2002). 11. Antologi Lengkap Cerpen A.A. Navis (2005). c. Kumpulan Puisi “Dermaga dengan Empat Sekoci” (kumpulan 34 puisi), Bukittinggi: Nusantara, 1975. d. Novel 1. Saraswati: Si Gadis dalam Sunyi, Jakarta: Pradnya Paramita, 1970. 2. Kemarau, Jakarta: Grasindo, 1992. 3. Gerhana (2004). e. Karya Nonfiksi 1. “SuratSurat Drama”, Budaya, Thn.X, JanuariFebruari 1961. 2. “Hamka Sebagai
Jejak Air. Karya: Ade Junita
Purakasastra | SEPTEMBER 2016 23
PARASASTRA Pengarang Roman”, Berita Bibliografi, Thn.X, No.2, Juni 1964. 3. “Warna Lokal dalam Novel Minangkabau”, Sinar Harapan, 16 Mel 1981. 4. “Memadukan Kawasan dengan Karya Sastra.”, Suara Karya, 1978. 5. “Kepenulisan Belum Bisa Diandalkan sebagai Sudut Lain. Karya: Ade Junita Ladang Hidup”, Suara Pembaruan, 1989. 6. “Menelaah Orang Minangkabau dari Novel Indonesia Modern”, Bahasa dan Sastra, Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1977. 7. Filsafat dan Strategi Pendidikan M. Sjafei: Ruang Pendidik INS Kayutanam (1996). 8. Dialektika Minangkabau (sebagai editor, 1983). 9. Alam Terkembang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau (1984). 10. Pasang Surut Pengusaha Pejuang: Otobiografi Hasjim Ning (1986). 11. Otobiografi A.A. Navis: Satiris dan Suara Kritis dari Daerah (1994).
Tidak sama. Karya: Ade Junita
12. Surat dan Kenangan Haji (1994). 13. Yang Berjalan Sepanjang Jalan (1999). Hadiah dan Penghargaan Atas karya dan jasa-jasanya bagi dunia sastra, seni dan budaya, A.A. Navis telah dianugerahi beberapa penghargaan, yaitu: 1. Pemengang I Sayembara Kincir Emas, Radio Nederland Wereldemroep (1975) untuk cerpen “Jodoh”. 2. Pemenang penulis cerpen majalah Femina (1979) untuk cerpen “Kawin”. 3. Hadiah Seni dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI (1988) untuk novel Kemarau. 4. Lencana Kebudayaan dari Universitas Andalas Padang (1989). 5. Lencana Jasawan di bidang seni dan budaya dari Gubernur Sumatera Barat (1990). 6. Hadiah Sastra dari Mendikbud (1992). 7. Hadiah Sastra Asean/Sea Write Award (1994). 8. Anugerah Buku Utama dari UNESCO/IKAPI (1999). 9. Satya Lencana Kebudayaan dari Pemerintah RI (2000). (*) Referensi: http://www.kupasbuku.com/biografi/a-a-navissastrawan-pencemooh https://sites.google.com/site/sastrawanindonesia /home/siapakah-a-a-navis http://melayuonline.com/ind/personage/dig/247 https://id.wikipedia.org/wiki/A.A._Navis
Purakasastra | SEPTEMBER 2016 24
PURAKASASTRA | SEPTEMBER 2016 25 Pagi yang Terlalu Dini. Karya: Lembayung Senja
SASTRA CYBER
Sepi. Karya: Pea
Mengintip Pesan Antalogi Cerpen Atas Nama Cinta:
“Jadilah Pelaku Cinta!” (Merespon Antalogi Cerpen Komunitas PENA) Catatan: Usman D.Ganggang *)
A
wal Juni 2016 , kemarin, saya diminta oleh Saudara Syamsuddin Kadir, dari Komunitas PENA, untuk memberi KATA PENGANTAR sebuah Antalogi Cerpen yang bertajuk “ ATAS NAMA CINTA”. Sebuah topik mentereng,yang tak habis-habisnya dibicarakan banyak pihak. Meskipun demikian, sahabat kita dari Komunitas Pena
terus berusaha dengan modal ‘3 K” (kerja keras, kerja cerdas, dan kerja ihklas) menggali kembali topik tersebut hingga tuntas. Dan gilirannya bakal dicetak pada penerbit Mitra Pemuda. Dari tutur Sang Ketua Komunitas diketahui bahwa , Antalogi ini hadir dari masukan berharga kawan kawan yang tergabung dalam komunitas PURAKASASTRA | SEPTEMBER 2016 26
SASTRA CYBER yang dibentuknya, sejak beberapa tahun silam. Saya bangga sekaligus bersyukur atas permintaan ini, selain bangga dengan kreativitas para cerpenis-nya yang katanya masih muda-muda , juga bangga dengan hadirnya antalogi ini, membuktikan bahwa sudah terjawab anjuran kritikus sastra, terkait fakta riil di masyarakat, terutama beberapa dekade terakhir ini, kuat dugaan lesuhnya hasil karya cerpen para generasi muda. Iya, boleh jadi , sekali lagi, generasi muda sudah bangkit mengakrabi lagi dunia baca-tulis dari kelesuhan yang sering dibicarakan para kritikus sastra. Kebanggaan selanjutnya, adalah hadirnya “Antalogi Cerpen”, ini, menggugah saya untuk mencatat info segar terkait kisah-kasih dan kasih-kisah para tokoh yang dilukiskan para cerpenis-nya, dalam bahasa yang segar sekaligus enak dibaca hingga tuntas. Juga tentunya kehadiran “Antalogi Cerpen Atas Nama Cinta” ini, merupakan penghargaan buat saya. Dan, lantaran rasa bangga itu, begitu saya terima Antalogi tersebut, langsung saya lahap hingga tuntas.. Membaca antologi cerpen karya Komunitas Pena ini, kita sepertinya sedang menjelajah ke persoalan cinta yang kini rada terpinggirkan oleh hadirnya dua arus yaitu arus modernisasi dan arus globalisasi. Ujungnya, cinta yang merupakan harapan setiap individu, menjadi sebuah kebutuhan, dan karena kurang berhati-hati, oleh pelaku cinta, akhirnya cinta yang didambakan tadi,’ terbantai’ oleh sepi, karena sepi juga telah melabuhkan sunyi. di atas bongkah karang yang menganga. Hadirnya, Antalogi cerpen bertajuk sentral “Atas Nama Cinta”, adalah sebuah bukti bahwa motivasi komunitas ini, sudah berusaha mencari langkah praktis guna mengantisipasi persoalan cinta yang terbantai oleh dua arus yang sudah disebutkan di atas.
Bagaimanapun juga, komunitas ini telah menghadirkan cerpen - sebuah wacana berguna karena di dalamnya terdapat nilai demi kebutuhan dalam keseharian - di tengah masyarakat, telah membuahkan hasil. Perhatikan saja jumlahnya .mencapai 12 judul terangkum dalam sebuah Antalogi. Naskah cerpen tersebut semuanya karya generasi muda yang tergabung dalam Komunitas Pena. Inilah judul dan nama cerpenisnya. (1) Penantian Gadis Berjilbab Oleh Eni Suhaeni ; (2) Berkah Cinta Oleh A.A. Syakira ; (3)CintakuTermakan Usia Oleh Ade Fitriyani ; (4) Di Penghujung Doaku Oleh Ardhiena Esya ; (5) Bukan Sekadar Jawaban atas Doaku Oleh Da’watun Hikmah ; (6) Senyum Terakhir Oleh Hikmatul Maula ; (7) Ketika Takdir yang Berkata Oleh Fadilatul Atqiya ; (8) Kabur Tanpa Kabar Oleh Leni Nur’azizah -; (9) Gadis Kecil Pengintip Surga Oleh Mar’atus Solikha ; (10) Sang Pelipur LaraOleh Ikah Mudrikah; (11) Air Mata Cinta untuk Hafizah Oleh Uum Heroyati ; (12) Antara Belo dan Bejo Oleh Vivi Zulfiah Patutlah diaplous, karena para generasi muda ini, telah membuktikan bahwa kegiatan baca – tulis sudah dijadikan sebuah kebutuhan yang tidak ditawar-tawar lagi, Mereka paham, berawal dari kegiatan membaca dan menulis merupakan sebuah kegiatan kreatif yang perlu ditumbuhkembangkan dalam keseharian. Mereka juga tahu, jika semakin banyak membaca semakin banyak pula yang mereka ketahui. Iya, semakin banyak juga karya yang diciptakan dalam bentuk karya kreatif yang amat bermanfaat, bukan saja untuk kebutuhan sendiri tetapi juga demi memenuhi kebutuhan masyarakat di lingkungan di mana mereka berada. Dengan dijadikannya membaca sebagai sebuah kebutuhan maka mereka berusaha menghadirkan intuisi kreatifnya dalam bentuk cerpen. Di mana kesemua karya itu, merupakan hasil penggelandangan imajinasi PURAKASASTRA | SEPTEMBER 2016 27
SASTRA CYBER
Jauh. Karya: LK
yang bahasanya segar bermula dari penggunaan majasnya sekaligus aluralurnya menggugah para penikmat/pembaca, hingga memotivasi pembaca/ penikmat untuk terlibat dalam mencermati isinya, bahkan lantaran alur serta konfliknya tanpa terasa, penikmat dan pembaca , terseret ke dalamnya. Nah, mengapa memilih topik sentral terkait “CINTA”, hingga kemudian, mereka sepakat memilih nama Antalogi Cerpen ini, dengan nama yang menggugah lagi keren dan gaul yaitu : “ Atas Nama Cinta”. Boleh jadi referensinya berbeda, tapi ujungnya bermuara pada hakikat cinta itu sendiri. Iya, redaksi bahasanya boleh berbeda, tapi tujuannya sama, yaitu menghadikan cinta pada tempatnya yang benar. Boleh jadi juga, ide komunitas ini mengacu pada cinta yang ditulis Acep Sambodja dalam bukunya Cara Mudah Menulis Fiksi (2007), Asep Sambodja menulis demikian, “ Cinta adalah persoalan yang tak pernah habis dibicarakan. Setiap zaman memiliki kisah cintanya sendirisendiri”. Tentu, yang perlu diperhatikan tentang “keabadian” cerita-cerita itu karena ada konflik yang mengakibatkan sang tokoh harus memperjuangkan cintanya untuk mendapatkan kebahagiaan. Dengan
demikian cinta di sini adalah cinta yang membutuhkan perjuangan, penuh berkeringat, penuh pengorbanan, karena halhal yang demikianlah yang membuat suatu cerita menjadi lebih memikat. Dalam Antalogi “Atas Nama Cinta” ini, telah menawarkan sederet kisah yang memikat hati para penikmat sastra, dan tentunya menarik untuk diselami lebih dalam, karena makna yang ada dalam cerpen tersebut telah menawarkan sejumlah nilai yang bermanfaat bagi penikmat. Seperti cerpen (1) “Penantian Gadis Berjilbab “karya Eni Suhaeni , kepada penikmat diberitahu bahwa dalam bercinta dibutuhkan kesabaran yang luar biasa. Jawaban ini terjadi, boleh jadi terjawab dari judulnya saja sudah terungkap, apalagi jika penikmat mencermati isinya dengan saksama. Begitu juga jika penikmat berhadapan dengan cerpen “ (2) Berkah Cinta” karya A.A. Syakira . Dari judulnya saja, kita dibertahu bahwa sesuatu yang diperjuangkan melalui berkeringat, serta pengorbanan yang tak kenal lelah, insya Allah akan memperoleh berkah baginya. Intinya, para penulis cerpen ini, memahami betul tentang pentingnya memilih judul yang memotivasi penikmat atau pembaca untuk menelusuri isi cerpennya. Tentu, judul yang diangkat, berawal dari topik dan tema yang saling mendukung dalam pelukisan isi cerpen, sehingga pembaca mampu menahan untuk duduk berjam-jam dan meninggalkan kegiatan lain. Bahkan kadang-kadang dapat membuat pembaca atau penikmat lupa makan dan minum lantaran hadirnya judul cerpen yang dapat diibaratkan dengan PURAKASASTRA | SEPTEMBER 2016 28
SASTRA CYBER sebuah pintu, oleh penulis cerpen dalam antalogi ini, dan diharapkan penikmat atau pembaca, dapat membuka dengan ’kunci’ yang cocok, untuk bisa masuk ke dalam isinya. Lalu, apa yang menyebabkannya, penikmat atau pembaca berjam-jam dalam menelusuri isi Antalogi Cerpen ini ? Hemat saya, Dari Dalam. Karya: LK sekurang-kurangnya ada hal yang membuat penikmat atau pembaca terpukau, antara lain : (1) Karya sastra (cerpen) yang ditulis pengarangnya, dapat menggoda batin pembacanya dengan pertanyaan-pertanyaan yang minta dijawab. Pembaca terasa dipaksa oleh judul yang diibaratkan sebagai pintu tadi, lalu penikmat atau pembaca membacanya karena ‘pintu’nya sudah dibuka dan seterusnya yakin bahwa jawaban pertanyaan-pertanyaan tersebut ada atau terdapat pada baris-baris berikutnya; dan (2) Kemampuan menghanyutkan diri pembaca atau penikmat untuk masuk ke dalam arus cerita; dan (3) Karya sastra berhasil meniadakan jarak antara pembaca dengan aku-lirik (aku-yang diceritakan) dan ‘dia-lirik’ (dia yang diceritakan), karena itu perasaan kadangkadang terhanyut ke dalam karya tersebut. Nah, apakah kita sebagai penikmat atau pembaca tidak tergugah dengan juduljudul berikutnya dalam Antalogi ini? Kita gunakan kunci untuk membukanya, OK? Judul berikutnya : (3)CintakuTermakan Usia Oleh Ade Fitriyani ; (4) Di Penghujung Doaku Oleh Ardhiena Esya ; (5) Bukan Sekadar Jawaban atas Doaku Oleh Da’watun Hikmah ; (6) Senyum Terakhir Oleh Hikmatul Maula ; (7) Ketika Takdir yang Berkata Oleh Fadilatul Atqiya ; (8) Kabur Tanpa Kabar Oleh Leni
Nur’azizah -; (9) Gadis Kecil Pengintip Surga Oleh Mar’atus Solikha ; (10) Sang Pelipur LaraOleh Ikah Mudrikah; (11) Air Mata Cinta untuk Hafizah Oleh Uum Heroyati ; (12) Antara Belo dan Bejo Oleh Vivi Zulfiah. Jika sudah, maka gunakan pertanyaan pola “Bapak Si Dia” (Bagaimana, Mengapa. Kapan. Siapa; Di mana, dan Apa?). Sekedar contoh, “Bagaimana kesan Anda terhadap Cerpen “CintakuTermakan Usia ?” ; Mengapa cerpen ini, diberi judul “CintakuTermakan Usia ?”; Kapan cerpen “CintakuTermakan Usia”; Siapa saja tokoh dalam “CintakuTermakan Usia ?’ ; Di mana terjadinya konflik antartokoh?”; Apa tema cerpen “CintakuTermakan Usia ?” Begitun seterusnya dari cerpen (4) hingga cerpen ke -12. Impulan saya, setelah menikmati isi cerpen para cerpenis di atas, sekali lagi melalui pola pertanyaan “Bapak Si Dia” tadi, adalah para penulis tidak mau menjadi “Guru Cinta”. Pasalnya, kalau masih berusaha untuk jadi ‘Guru Cinta’, akan mati muda. Iya, fakta riil di lapangan, penikmat atau pembaca tidak mau digurui, “Ah..., teori!” gumam mereka. Contoh lain, sekali lagi, ini fakta, anak-anak generasi muda sekarang tidak mau diperintah orang tuanya. Yang
PURAKASASTRA | SEPTEMBER 2016 29
SASTRA CYBER paling sedih lagi, guru di sekolah, menjadi sakit hati ketika anak diajak untuk belajar, tidak mau, dan ketika guru mencubitnya, maka anak didiknya melaporkan kepada orang tuanya, dan dalam sekita orang tuanya mengadu ke polisi, dan ujungnya menjadi warga hotel prodeo. Itu sebabnya, para cerpenis dalam Atalogi Cerpen: “Atas Nama Cinta”, berusaha sedapat mengkin menghindari pelukisannya seperti kerjanya ‘guru’ yaitu menjelaskan cinta dan tetek bengeknya. Tokoh-tokoh yang ditampilkan cerpenis, lebih dominan berpola tingkah laku bukan sebagai guru, akan tetapi sebagai pelaku cinta. Konkretnya, jika dicermati isi cerpen dari cerpen pertama hingga cerpen ke-12, tampak kepada kita sebagai penikmat atau pembaca bahwa cerpen-cerpen tersebut, dominan pelukisannya dalam bentuk ‘sebagai pelaku cinta”.Inti pesannya adalah,”Jadilah pelaku cinta sejati sehingga timbul sebuah kebersamaan sejati pula, Sekali lagi para cerpenisnya, paham bahwa kebersamaan sejati dalam cinta adalah, sebuah keniscayaan. Bagaimanapun juga, kebersamaan sejati itu adalah nyanyian yang harmonis dari kejujuran dan tanggung jawab. Apa maknanya? Sekurang-kurangnya kepada kita sebagai penikmat atau pembaca, diberitahu, kejujuran itu penting artinya, dalam artian mampu berbuat tidak manipulatif.alias tidak ada dusta di antara kita. Sementara tanggung jawab, artinya mampu mengatakan kepada diri sendiri bahwa tindakannya itu baik dan benar. Nah, ini berati, ‘aku-lirik’ dan ‘dia-lirik’ dalam Antalog Cerpen “Atas Nama Cinta” akan butuh comit. “Apa itu?” tanya kita sekenanya. “Jadilah pelaku cinta sejati! Jangan jadi guru cinta!” adalah jawabannya. Untuk mendapatkan pemahaman terhadap isi cerpen yang terungkit dan terangkat di atasya , memang butuh “3 K” (kerja keras, kerja cerdas, dan kerja ikhlas).
Bagaimanapun, sebuah teks sastra (seperti cerpen) senantiasa membawa konteks bagi dirinya sendiri. Teks cerpen di atas, tidak dapat dipahami isinya, jika penikmat atau pembaca tidak memahami konteks dari teks secara menyeluruh. Konkretnya, orang tidak mungkin memahami sebuah cerpen jika membacanya sepotong-sepotong Perlulah disadari bahwa teks sastra (seperti cerpen) senantiasa mengandaikan suatu representasi dari sebuah kosmos yang diciptakan oleh si pengarangnya. Pembaca atau penikmat dapat memulai membaca sebuah cerpen dari tengah atau bagian belakang, tapi tokh ujungnya harus menyelesaikan seluruh isinya untuk mendapatkan pemahaman yang utuh.Gampangnya, teks cerpen yang merupakan bagian dari karya sastra itu, mengajak pembaca untuk menyelami segala hal yang dimunculkan oleh susunan kalimat dalam teks cerpen.Dan karena teks cerpen (sastra) merupakan bentuk ungkapan yang bersifat personal, maka ia akan membawa penikmat atau pembaca kepada konteks makna wacana yang mengacu pada keberadaan diri si pembaca atau penikmat. Sebuah cerita pendek dapat berbicara alam, cinta dan Tuhan, dll. Iya, sastra bukan rumusan atau penjelasan mengenai alam, cinta, Tuhan melainkan pantulan dari pengalaman personal si manusia dalam hubungannya dengan alam, cinta dan Tuhan.***) Sumber: Usman D,Ganggang dalam “Kebersamaan Mana Kau Titipkan (Untuk Abang yang telah jatuh cinta) dalam esai Usman D.Ganggang dalam “Kalau Jatuh Cinta, jatuhlah ke Belakang!” (cerpen) Usman D.Ganggang dalam “Kompilasi Puisi “Ketika Cita Terbantai Sepi” Wicaksono Adi dalam “Merebut Kembali Kemurnian Diri
Usman Dersa Ganggang, Dosen dan Seorang tokoh sastracyber Bambor-Kempo, Manggarai Barat, Flores, Nusa Tenggara Timur, 15 -02-1957 PURAKASASTRA | SEPTEMBER 2016 30
PURAKARYA
Setengah. Karya: LK
Mentari senja, kini bersandar di depan Pantai Labuanbajo.. Sementara sun sat dekat Pulau Kambing dan Pulau Monyet, kian memerah. Lalu di Pantai Pede selatan Kota Labuanbajo, tiba-tiba , berubah. Berawal dari sedikit mendung, akhirnya gerimis pun turun .Semakin senja merentang panjang, ujungnya, Kota Labuanbajo dibantai hujan yang bukan gerimis lagi, seperti dugaan semula. Parahnya, hujan tak mau kompromi untuk berhenti turun. Dan,dalam situasi seperti ini, aku pun tiba-tiba rindu kepada sahabat-sahabatku yang jarang jumpa darat. “Ah, sudah lama aku tak jumpai mereka”, batinku. Setelah rindu kukemas, dalam doa, aku pun diam sejenak. Ah.. mumpung malam belum merentang panjang, dan belum terpikir untuk berlayar ke pulau kapuk, mestinya aku bunuh kesepian ini, dengan menulis cerita. “Bukankah dengan menulis sesuatu dapat menuntaskan masalah?” batinku lagi. Iya, tulis cerita untuk aku tinggalkan buat si gadisku, si mata wayang, pemberian-Nya, yang sering kusapa Non Muslimah dari nama panjang: Muslimah Ndung Welarunus, yang kini , sedang galau di kamarnya. Sebab, kusadari, tak ada yang jamin, esok bisa bangun seperti sediakala. Biarlah catatan ini, dijadikan bahan permenungan buat Non Muslimah yang sangat kusayangi. Haem..,
tiba-tiba si manisku Muslimah datang menggoda, membuyarkan imajinasiku yang sedang menggelandang jauh, mendekati kaki langit sepanjang pantai indah Labuanbajo senja itu. Tak seberapa lama, pipiku dicium, lalu segera kudengar desis dari jarak dekat, "Pua mau tidur?"tanyanya membuyarkan lamunanku. "Belum ,Nak! Ada yang perlu Pua bantu? "tanyaku sambil membalas ciumnya. "Kalau begitu, aku teruskan curhat yang terpotong, kemarin, Pua", pintanya "Boleh!" jawabku sambil pasang senyum di bibir, sebentar-sebentar , kuperhatikan wajahnya kian berseri setelah kujawab boleh melanjutkan curhatnya yang terpotong kemarin. "Gini, Pua. dia itu, masih menari dalam jiwaku", desisnya "Haem...., siapa tuh? Tanyaku sembari menambahkan,” Dekat atau jauh?" "Jauh tapi dekat Pua", timpalnya dengan tetap pasang senyum di bibir tipisnya. Kalau begitu, dia masih ada ruang buat ananda untuk mengadakan pendekatan (pdkt). Tapi apakah ananda sudah tahu isyarat seorang cowok yang berusaha mengadakan PDKT? "Uraikan isyarat itu, Pua!" perintahnya "Hehehe..., perintah atau minta penjelasan?" tambahku "Maafkan ananda Pua, kan ananda masih belajar !" "Kalau begitu, simak baik-baik!" perintahku. “Pastilah, Pua!” jawabnya menunggu penjelasanku, tentang ciri-ciri PURAKASASTRA | SEPTEMBER 2016 31
PURAKARYA seorang cowok yang sedang melakukan penjajagan alias PDKT terhadap lawan jenisnya. Pertama, kataku, si cowok selalu menghadirkan kata manis, hehehe.. semanis madu pembicaraannya jika sedang berkomunikasi dengan lawan jenisnya. Apa tujuannya? Setidaknya, mau mengambil hati lawan jenisnya ‘kan? Nah, pernahkah ananda mengalami hal yang diceritakan Pua itu? Muslimah tidak menjawabnya, kecuali, telinganya dia pasang dengan baik dan sebentar-sebentar pasang senyum, manis sekali. Kedua, selalu datang tanpa diundang. Ke mana pun ananda pergi pasti bertemu dengan dia. Tidak perlulah ananda tanya, mengapa demikian? Pasalnya, ketika rindu sudah membucah, pastilah mencair. Intinya, yang namanya rindu pada seseorang, tidak dapat ditutupi. Kesemuanya, tergambar jelas pada wajah kita. Aku melihat wajahnya berseri-seri seakan mau memberitahu bahwa seseorang yang dia rindukan. “Siapa lagi kalau bukan pacarnya?” batinku . Nak, kataku selanjutnya, mengertikah ananda tentang rindu? Sesuatu dikatakan rindu, tentu sebelumnya sudah ada pendekatan. Biasanya, dalam sebuah komunikasi dengan si dia, berawal dari sebuah pendekatan ( pdkt) yang paling mujarab, biar dianggap ada perhatian. Ketiga, selalu beri hadiah, hehehe.., biasanya baju-baju mahal. "Keempat, haem..., maunya. Cari sendiri ananda!" tambahku sembari memberi nasihat, "Selalulah curhat pada Pua, atau Inemu! Jangan pernah pada orang yang tidak jelas asal-usulnya!" pintaku mengelus-elus rambutnya yang tergurai panjang. Hehehe.., sudahlah kamu masih kecil ko. Tak akan lari gunung dikejar. Dunia ini tidak sebesar kol dan tidak selebar daun kelor! "Kamu harus banyak belajar tentang hidup ini!", nasihatku "Melalui apa Pua?" "Melalui membaca" "Apalagi, Pua?' "Melalui menulis!" "Lagi, ayah?" Ayah lagi? Hehehehe..., maunya, "Cari sendirlah yang lainnya!"perintahku. Selagi hangat curhatku dengan si manisku,Muslimah, tiba-tiba Kamis malam itu, aku ditelpon seorang sahabat kental
sejak SMA tempo doeloe.Dan rupanya si Muslimah manisku, simak suara itu. Seterusnya, paham kalau Pua-nya sedang bertelpon serius dengan sahabatnyanya. Muslimah pun, akhirnya, tinggalkan Pua-nya untuk selanjunya, si manisku ke kamarnya lagi. ”Assalamualaikum wr.wb”, salamnya. Dan langsung saja aku jawab,” Wassalamualaikum wr.wb. Gimana kabar Bung?” lanjutku. Kemudian berhenti. Iya, Lama kutunggu jawabannya. Entahlah, dia sedang berpikir tentang apa, kurang tahu, aku. Yang jelas, cukup lama aku, menunggu ceritanya. Maklum lama tak jumpa darat setelah berpisah dari sebuah universitas di belahan timur Nusantara, apalagi tidak ada kabar beritanya, tapi aku sendiri tak tega menutupnya. Bagaimana pun juga dia adalah sahabat kentalku sejak lama, bahkan sejak SMA di salah satu SMA terfavorit di Ruteng Manggarai. Menunggu cerita selanjutnya, aku alihkan perhatian, dan mulai mengingatingat. Dia sekarang duduk sebagai pejabat tinggi di salah satu instansi pemerintah Walikota Kupang. Meski dia, seorang pejabat, tapi cara hidupnya, biasa-biasa saja. Dan di atas segalanya, dia taat dan selalu aplikasikan ajaran agamanya. Tapi itu dulu, bagaimana dia sekarang, aku tak tahu. Terakhir, Muslimah anak cewekku yang juga semata wayang, pernah bercerita, anak Omnya yang cowok bernama Hakim Momangmose yang semata wayang juga , kuliah. “Sudah semester terakhir,”ujar Muslimah suatu ketika. Artinya, tahun ini juga dia akan menyelesaikan kuliahnya dari Universitas Mpu Tantular Jakarta Timur. Lamunanku akhirnya terbuyar setelah telpon berdering lagi.“Em…, lama juga kita enggak saling kirim info, ya Bung!”ujarnya tersendatsendat. “Lalu, nomor HP, Bung sering ganti nomornya, sehingga aku juga kesulitan dalam menghubungimu”., jawabku sejujurnya. “Maafkan aku Bung! Nomor HPku sering aku ganti, tentu ada alasannya,Bung!” ia memberi argumen sekenanya, karena pada akhirnya tokh, dia enggan untuk menjelaskannya kepadaku. PURAKASASTRA | SEPTEMBER 2016 32
PURAKARYA Namun begitu, saya tetap menanyakan sebab-musababnya, supaya jadi terang dan jelas. “Salah satunya, apa, Bung?”, aku bertanya, biar terang, eh …maksudku, dapat dipahami alasannya, lalu kukaitkan dengan peristiwa yang barusan kualami, mengapa, ia tergagap-gagap berbicara sekaligus bernada sedih sekali. “Ada apa sebenarnya?” bathinku. Semakin ditanya demikian, malah membuat dia lama menjawabnya. Meski demikian, sebagai sahabat kental, aku tak tega untuk memutuskan hubungan telpon.Aku juga semakin bertanya-tanya, ada apa sebenarnya, sampai dia memperlambat pembicaraannya.”Jangan-jangan ada kabar duka di sana”, dugaku meraba-raba kegagapannya. “Maafkan aku Bung!” dia meretas pembicaraannya. E…., gimana ya, justru saat aku merindukannya, haem….dia tinggalkan aku begitu saja. Aku, enggak habis pikir Bung! Aku sungguh sedih , mengapa begitu cepat dia pulang?” dia bertanya lagi. “Ada apa Bung? Koq tersendat-sendat dialognya. Aku enggak bisa bersabar. Katakan terus terang, biar aku puas juga.Aku juga enggak langsung pastikan, ada duka di sana. “Aem…., aku sedih, Bung! Dan…..em, aku sedih Bung! Anakku, di
Jakarta…., sedang aku di Kupang!”. Kemudian terdengar isak- tangisnya yang menyayat hati. Tiba-tiba aku kaget setengah mati. Anak cewekku Muslimah, terjatuh di depanku. Aku juga kaget, sejak kapan dia pulang dari dari kamarnya? Atau, mungkin dia sejak tadi mendengarkan percakapan Pua-nya. Dan, koq kue yang dia bawa untuk dihidangkan buat aku juga jatuh berserakan. Ah… kenapa anak cewekku jadinya begini. Aku tidak sempat lagi bertanya, mengapa anakku ini, tapi langsung kugendong.Dan Ine-nya pun langsung menangis di depanku. “Mengapa anakku, hah?” Ine-nya marah-marah padaku. Ah.., koq berantakan begini? Aku enggak habis berpikir, koq Ine-nya marah-marah aku lagi.Lalu aku pun menjawab juga, “Muslimah terjatuh di depanku. Bukan karena aku!” ujarku dengan bernada tinggi. “Kenapa, dia jatuh?” tanya Ine-nya lagi. “Tidak tahu aku!” jawabku serius. Kemudian No HP-ku berdering lagi. “Jawab Pua!” tiba-tiba anakku Muslimah sadar sekaligus memintaku untuk segera menjawab telpon itu. Alhamdulillah, anakku sudah sadar. Karena itu, tanpa berlama-lama lagi, aku langsung jawab,“Iya, Nak! Aku akan menjawab. Tapi kamu , kenapa terjatuh?” “Kim, Pua! Kim Pua, Kim sakit,
Jatuh. Karya: Pea
PURAKASASTRA | SEPTEMBER 2016 33
PURAKARYA Pua?” “Kim, anaknya Pak Usman di Kupang?” tanyaku. “Iya, anak sahabat kental Pua, kan?”. “Wah, gimana kamu tahu?” “Tadi kan Pua berdialog dengan ayahnya ,Kak Hakim, kan?” “Iya, barusan saja,” jawabku, sembari menambahkan, “Dia sedih,Nak!” Dialog kami terhenti sebentar. Karena HP-ku berdering lagi. “Bung! Jawab dong telponku!” perintah sahabatku dari seberang. “Iya, gimana?” “Aku sedih sekali…. Bung!” “Sedih kenapa? Koq, sedih terus –terus!” tanyaku terburu-buru. Eh…tiba-tiba anak cewekku Muslimah, langsung bangun dan merampas HP-ku,“Kim sakit berat, Om?” tanya Muslimah sambil menangis, kepada om-nya. “Wah, mengapa kamu menangis Muslimah?”tanya Omnya dari seberang. “Gimana Kim, Om? Kenapa Om tidak berterus terang padaku kalau Kak Hakim sakit?” “Kim sudah sehat seperti sediakala, Muslimah”, jelas Om-nya. “Lalu, mengapa Om sedih sekali?’ tanya Muslimah “Iya, Om sedih…, karena Ramadhan bulan yang teramat suci lagi penuh berkah itu sudah berlalu begitu cepat, Muslimah!” “Jadi, bukan karena Kak Hakim sakit?” desak Muslimah Mendengar jawaban itu, aku pun paham, mengapa Muslimah terjatuh. Dan Ine-nya pun pasang senyum. Ternyata, anak cewekku yang cantik lagi manis ini, punya hubungan khusus dengan anaknya Pak Usman di Kupang.Akhirnya, Ine-nya melirik sambil mengerdipkan matanya, kepadaku, seakan memberitahu kepadaku untuk segera, diam, tidak tahu menahu hubungan Muslimah dengan anaknya Pak Usman di Kupang. Rupanya, Muslimah gadisku ini, menyadari kekeliruan dalam menyimak pembicaraanku dengan Omnya di Kupang. “Pua, maafkan aku. Ine, maafkan aku.Aku
keliru menanggapi pembicaraan Pua dengan om dari Kupang. Lalu. tanpa disuruh, Muslimah ke dapur mengambil lagi kue fitri yang dia kerjakan sendiri sehabis pulang shalat Isha bersama teman-temannya . “Pua,Ine, silakan dimakan kue fitri yang Muslimah sendiri buat tadi malam!” ajaknya sembari pasang senyum yang tak terlukis dengan kata-kata. “Muslimah…., Muslimah!” ujar Ine-nya “Iya, Muslimah, anak kita yang cantik lagi manis, tapi …. “Tapi kenapa Pua…?” dia berpura tanya “Iya, seminggu lagi kita ke Kupang jumpai mertuamu itu!” ajak Ine-nya “ Hanya, mertua, aja Ine?”jawab Muslimah tanpa melirik bagaimana ekspresi Ine-nya “Iya, sekalian!” sambungku. “Dasar….!”, gumam Ine-nya datar serendah ,redanya hujan di samping rumah. Dan akhirnya, tokh aku tak peduli, cerita yang disusun sejak tadi, begitupun tentang sahabatku yang lantaran percakapannya, anak gadisku nyaris sakit karena simak pembicaraanku. Mudah-mudahan bukan menguji kesetiaan putri kesayanganku tentang cintanya kepada Hakim (Kim) anak Sahabat kentalku di Kupang, yang penting bagiku, kue fitri buatan Muslimah putri semata wayangku, tidak terjatuh berserakan lagi. “Nak, hati-hati, jaga dirimu, kamu sedang diuji!”kucium testanya, dan cepatcepat dia memeluku, “Terima kasih, Pua! ” desisnya sembari menambahkan, “Berarti setelah kita kita menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan kemarin itu, kita masih diuji sejauhmana kesabaran kita dalam menghadapi sejumlah masalah. ***) Catatan: Pua = ayah ; Ine = ibu/mama (Bahasa Daerah Manggarai Barat-NTT)
Barangkali tak perlu kesepahaman mengenai bahasa untuk menyambungkan perasaan. Sesekali memang cukup dengan mengerti bagaimana kesedihan itu ada. (Danau dan Senja – Ade J. Asnira) PURAKASASTRA | SEPTEMBER 2016 34
INFO SASTRA
Setengah II. Karya: LK
Oleh: Real Teguh
Komunitas, organisasi, atau sekolah kepenulisan di Tanah Air terus menggelorakan spirit literasinya. Baik offline maupun online, semua memiliki tujuan dan tekad yang sama, membangun peradaban bangsa ini menjadi lebih bermartabat dan berprestasi. Suatu kabar gembira dan patut diapresiasi. Inilah di antaranya, serba-serbi literasi yang dapat penulis rangkum. Di luar yang sudah tercatat ini masih banyak geliat literasi yang lainnya. Be A Writer (BAW) Community Didirikan oleh Leyla Hana pada tahun 2011 dan telah beranggotakan lebih dari 500 orang. Memiliki kegiatan offline seperti BAW Goes to School, kegiatan online berupa kelas menulis dan bersama para anggotanya telah membukukan tulisan mereka dalam beberapa antologi. Forum Aktif Menulis (FAM) FAM berdiri tanggal 2 Maret 2012 oleh Muhammad Subhan, penulis asal Padangpanjang dan Aliya Nurlela, penulis
asal Camis. FAM memiliki misi: menggelorakan semangat cinta membaca buku dan menulis karangan. Sebab, dengan membaca buku dan menulis karangan, bangsa-bangsa di dunia membangun peradabannya. Mereka maju dan unggul di segala bidang. Forum Lingkar Pena (FLP) Organisasi yang didirikan tanggal 22 Februari 1997 di Jakarta oleh Helvy Tiana Rosa, Asma Nadia, dan Maimon Herawati. Mulai tahun 1998 dirintis FLP cabang
PURAKASASTRA | SEPTEMBER 2016 35
INFO SASTRA pertama di Bontang oleh Muthi Masfuah. Tahun 1999 menyusul FLP Aceh, FLP Yogyakarta, FLP Semarang, FLP Solo dan sebagainya. Jumlah anggotanya telah mencapai sepuluh ribu penulis lebih, tersebar juga di Amerika, Jepang, Jerman, Inggris, Hong Kong, Mesir, Arab Saudi, Malaysia, Australia, dll. Indonesia Writing Edu Center (IWEC) Klub penulis cilik dengan rentang usia 6-13 tahun, sebagai wadah pembelajaran yang menstimulasi kecakapan linguistik, baik lisan maupun tulisan, sehingga menumbuhkan minat membaca, menulis, dan eksplorasi lingkungan. Sekolah linguistik yang memiliki motto “Menembus Dunia dengan Menulis� ini telah meluncurkan buku antologi cerpen berjudul Adventure Time karya murid-muridnya. Komunitas Bisa Menulis (KBM) Sebuah forum terbuka yang didirikan oleh Isa Alamsyah dan tim penulis Asma Nadia di grup facebook. Tiap harinya, grup ini paling sering dikunjungi dan disimak oleh pegiat literasi. Sampai dengan artikel ini ditulis (3 Agustus 2016 jam 21.00 WIB), anggotanya sudah mencapai 145.644 orang (akun). Komunitas Dari Negeri Poci Media komunikasi dan silaturahmi para alumni atau penyair yang puisi-puisinya pernah dimuat dalam buku seri Antologi Puisi Dari Negeri Poci sejak tahun 1993. Admin grupnya adalah Adri Darmadji Woko, Hendrawan Nadesul, Prijono Tjipto Herijanto, dan Kurniawan Junaedhi. Komunitas Kampus Fiksi DIVA Press Kelas pelatihan menulis fiksi (novel) yang diadakan sebulan sekali (dua hari) per angkatan dengan angkatan yang berbeda pula. Diadakan pada hari Sabtu-Minggu di Yogyakarta. Wisuda dilakukan dua tahun sekali untuk yang sudah berhasil menerbitkan novelnya.
Komunitas Penulis Kreatif (KPKers) Wadah berkumpulnya para penulis Indonesia yang berada di dalam maupun di luar negeri. Anggotanya juga tersebar di Hong Kong, Taiwan, Malaysia, Jepang, dan Korea Selatan. Berniat ingin melahirkan penulis-penulis Indonesia yang multitalenta, berjiwa writerpreneur, dan menghasilkan karyanya ke pentas dunia literasi nasional dan internasional. Komunitas Sastra Indonesia (KSI) Berdiri tahun 1996. KSI terus berupaya mendorong pertumbuhan dan perkembangan sastra Indonesia ke arah yang lebih sehat dan kondusif untuk ikut melahirkan para penulis baru dan karyakarya yang bermanfaat bagi masyarakat. KSI telah berkembang luas di dalam dan luar negeri. Majelis Pena Inspirasi (MPI) Didirikan oleh Kang Arofik, tanggal 1 Januari 2015 di Sumenep, Madura. Juga memiliki penerbitan buku, Andita Mediatama. Quantum Litera Center (QLC) Komunitas kepenulisan dan penerbitan buku. Didirikan pada 2010 oleh Nurani Soyomukti di Trenggalek, Jawa Timur. Rumahkayu Indonesia Komunitas kepenulisan dan penerbitan buku. Berdiri tanggal 1 Januari 2013 di Padang oleh penulis Alizar Tanjung. Sanggar Kepenulisan PENA Ananda Club Didirikan di Tulungagung dengan agenda yang terkenal Festival Bonorowo Menulis. Sastra Minggu Sebuah grup facebook yang didirikan oleh Riza Multazam Luthfy. Guna berbagi kabar pemuatan karya tulis pada tiap akhir pekan dari berbagai media massa. Juga berbagi informasi kegiatan seni, budaya, PURAKASASTRA | SEPTEMBER 2016 36
INFOSASTRA sastra, dan penerbitan buku baru. Ini adalah grup yang sangat steril dan sampai dengan artikel ini ditulis (3 Agustus 2016 jam 21.00 WIB), 18.229 orang (akun) telah bergabung. Sinergia Writing Club (SWC) Lembaga pimpinan Amelia Hirawan ini tidak hanya sekadar melatih kemampuan menulis anak, melainkan juga mengembangkan pribadi mereka secara keseluruhan. Sirikit School of Writing Sekolah kepenulisan berbasis pengalaman. Didirikan di Surabaya oleh Sirikit Syah. Taman Fiksi Didirikan tanggal 23 Maret 2015. Wadah penulis dan penggemar fiksi berbagi cerita, saling bertanya, menyemangati, dan mengkritisi karya anggota. Admin grupnya adalah Farick Ziat, Kurnia Effendi, Handri TM,
Ayi Yufridar, Guntur Alam, Ricardo Marbun, Palris Jaya, dan Redy Kuswanto. Untuk Sahabat (UNSA) Komunitas berslogan “Gelora Literasi dalam Lingkar Persahabatan Sejati� ini berdiri tanggal 27 Januari 2010 oleh Dang Aji. Memiliki penerbitan buku UNSA Press. Writing Revolution Perusahaan industri kreatif yang mengelola sekolah menulis online, penerbitan, percetakan, dan training center. Berdiri sejak 10 November 2010 dengan anggota ribuan orang dari seluruh Indonesia dan luar negeri. (*) (Surabaya, 03 Agustus 2016) _______ Diolah dari berbagai sumber. Real Teguh, pencinta buku dan pegiat literasi
PURAKASASTRA | SEPTEMBER 2016 37
PURAKASASTRA | SEPTEMBER 2016 38