Purakasastra edisi 6

Page 1

PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 1


DARI REDAKSI

Sahabat Purakasastra, Tata kemapanan hidup, kerap kali membawa manusia pada zona aman. Jika kenyamanan, sudah digenggam sampai pada puncaknya, maka kesempatan berubah sangat minimalis. Orang tidak lagi kritik atas realitas yang kritis. Sebab, mengeritik dan atau terlibat menjadi aktor perubahan sosial dapat saja menciderai kenyamanan yang telah diraih. Logika, sastra tidaklah demikian. Ia selalu tanggap dan peka terhadap realitas sosial. Barangkali sastra dan sastrawan, tak pernah tinggal diam. Ia terus bergerak untuk menemukan hal~hal baru. Proses pergerakan itulah, yang diulas dalam tema majalah purakasastra edisi ini. Pembaca dihadapkan pada tulisan berisi gugatan kritis dan provokatif, dalam jalur mencapai kebaikan bersama. Ada berbagai ulasan, analisis yang menukik dan menohok dalam edisi majalah kali ini. Tema yang diusung adalah SASTRA DAN PERUBAHAN SOSIAL. Realitas sosial yang penuh dengan guncangan maut, tragedi amoral, pencideraan religius, membawa sastra ikut berceloteh lantang. Ia berceloteh teruntuk kebahagiaan dan kesejahtraan bersama.

Selamat membaca!

Kami menerima naskah berupa esai, proses kreatif, kritik sastra, cerpen, puisi, cerita mini, tips menulis, info komunitas, biografi dan opini sastra cyber. Silakan kirim naskah anda dengan menyertakan biodata dan foto penulis melalui email redaksipuraka@gmail.com.

PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 2


EDISI 6 TAHUN II –

FEBRUARI 2016

PEMIMPIN REDAKSI : Ricky Richard Sehajun REDAKTUR PELAKSANA: Ade Junita DEWAN RUBRIK : Dian Rusdi Muhammad Ridwan Kholis Nurul Latifah Riska Hermawati Ellyas Rawamaju Nilam Ikhwani Adi Septa Suganda Zahara Putri Elfridus Silman Yessy Oktaviani Rizal

Keterangan sampul edisi 6: Judul: Sastra dan Perubahan Sosial Oleh: Ade Junita Media: Photoshop CS5 Ukuran: 78,3 x 110,68 Resolusi: 97,324 pixels/inch

EDITOR : Nurul Latifah Riska Hermawati Zahara Putri

Purakasastra adalah majalah sastra independen yang turut serta dalam usaha membangun dan mengembangkan dunia kesusastraan nasional.

DESAIN GRAFIS DAN TATA LETAK : Ade Junita Fina Wardatul Ummah

Untuk informasi pemasangan iklan, kritik dan saran silakan layangkan melalui email redaksipuraka@gmail.com.

DESAIN SAMPUL : Karna Mustaqim Ade Junita

Temukan kami di: Purakasastra Majalahpurakasastra

@purakasastra

Majalah Purakasastra

purakasastra.blogspot.com

Kontak person: 0852 3346 7893 #Beberapa foto ilustrasi dalam majalah ini diambil dari Google.

PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 3


 CATATAN ANOMALI Ketika Sastra Menggugat

Parasastra: Emha Ainun Nadjib

4

 KAJIAN SASTRA Ketika Karya Sastra Menjadi Doktrin Bagi Pembaca (Pada Masa Pemasungan Karya Sastra) 7 Sastra Dan Perubahan Sosial 11 Sastra Dan Simbiosis Mutualisme 15  LENTERA SASTRA Menulis Karya Sastra Menulis Kritik Sastra

18 21

 PARASASTRA Penyair Dalam Pengaruh Kehidupan Sosial (Emha Ainun Nadjib) 24  PURAKARYA Puisi: Endy Langobelen: Tapak di Suatu Simpang Puisi Saat Berbuka Puasa Cerpen: Raden Panji Dan Roro Proboretno M.F. Hazim: Cahaya bening Kinanthi Anggraini, M.Pd: Di Ujung Piloritas Daun, Kulamar Lelaki Merah Hati Tombak Teheran: Mahmoud Ahmadijenad Cerpen: Tingeling Dia Yang Pergi dan Tak Ingin Kembali Kado Tahun Baru

Hal. 24

Kajian Sastra: Sastra dan Perubahan Sosial Hal. 11

28 29 30 34

35 37 38 42 46

Purakarya: Dia Yang Pergi dan Tak Ingin Kembali Hal. 42

 SASTRA CYBER Peran Sastra Cyber Dalam Perubahan Sosial Dan Budaya 51 Peran Sastra Cyber Dalam Mendorong Perubahan Sosial 53

PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 3


CATATAN ANOMALI

Oleh : Ricky Richard Sehajun

Dunia kerap menampilkan teater ambigu. Di sini tawa. Di sana air mata. Di sana-sini tersembur teriakan emosional. Pada tahta kursi mewah pejabat berpangku tangan. Pada timbunan sampah sang pemulung mengais rejeki. Ulah pejabat kerap dimarahi. Ulah pemulung kerap dikasihani. Masalah merebak, manusia jatuh tertimpa dilema. Penuh penderitan. Kebahagiaan secepat kilat berlalu. Ceria sekelebat saja menggelar. Hidup dibayangi ratapan. Ada kemiskinan. Kemelaratan. Sakit hati. Dukacita. Tak punya harapan. Inilah panggung Indonesia. Sebuah panggung pertunjukan dengan drama wajah carutmarut bangsa. Segenggam kisah piluan, tentang tata hukum yang dibumbui muslihat. Sajian menu penyelesaain masalah kerap dipatokkan dengan nilai uang. Kebenaran takluk di hadapan uang. Inilah dimensi pelecehan manusia terhadap kebenaran. Jika kebenaran dilecehkan, maka ruang kejujuran menjadi sempit bahkan tertutup. Jika ruang kejujuran tertutup niscaya etika saling mengasihi dan transparansi tidak mendapat aplikasinya dalam hidup keseharian. Mungkinkah Indonesia menjelma menjadi ruang tanpa etika saling mengasihi, sampai-sampai harga diri dan hak asasi tidak diperhitungkan lagi?Lantas, muncul pertanyaan gugatan dalam nada provokatif, “Bagaimanakah manusia Indonesia mendefinisikan dirinya?

Bagaimana manusia Indonesia mendefenisikan sesamanya? Thomas Hobbes mendefinisikan manusia sebagai serigala bagi yang lainnya. Kalaupun definisi Hobbesian terkesan mengerikan, tetapi banyak orang menghayatinya. Orang menolak namun pada kesempatan lain ia bermain-main dengan penghayatan definisi Hobbesian. Definisi Hobbesian, mau tidak mau, logika sosial manusia Indonesia terarah pada jalan hukum rimba, siapa yang kuat, dia yang menang. Kuat dalam pengertian materi, fisik dan psikologis. Dalam bingkai pergulatan hukum rimba, siapa yang meraih kebahagiaan dan kepuasan? Adakah manusia yang menjadi sutradara untuk kebahagiaan manusia?Ataukah sepenuhnya bergantung pada takdir Allah? Ketika realitas sosial manusia dibantai oleh logika semrawut, sastra angkat bicara. Sastra menggugat. Namun, bisakah sastra menjadi pahlawan atas realitas sosial yang penuh dengan kisruh KKN, amoral, ketidakjujuran? Sastra memulai permainannya dengan mendasarkan diri pada retorika tanda. Tanda dimengerti dalam ranah bahasa. Itu berarti bahasa menjadi aktor

Sumber foto ilustrasi pada halaman ini: https://danangprobotanoyo.wordpress.com/2012/03/12/siapa-suruh-datang-ke-jakartakeberpihakan-pada-kaum-urban-dimuat-koran-tempo/

PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 4


CATATAN ANOMALI perubahan bagi realitas sosial. Sejatinya, bahasa menjadikan manusia bersahabat dan bermusuhan. Oleh karena bahasa adalah bagian dari sastra, maka sastra bisa menghadirkan sahabat, juga bisa menghadirkan musuh. Musuh menjadi sahabat, ketika dipadukan dengan cinta. Adalah cinta mengubah segalanya. Ia berkibar laksana bendera kemenangan yang berkibar dengan langkah darah. Dalam langkah darah tersebut, sastra ikut menasehati. Ia seolah-olah menjadi pelaku psikologi yang menerjang langkah diluar ketentuan langkah darah. Atau ia menerjang perilaku amoral dengan kata-kata garang. Ia memberi kritik terhadap perilaku yang diluar ketentuan normatif-legal. Atau ia menjadi pelaku istimewa di tengah kerumunan pasar yang punya logika salah tapi dilegalkan demi tumpukan uang. Uang mempermainkan hukum. Para penegak hukum turut dipermainkan oleh uang. Mereka seolah-olah bekerjasama untuk melancarkan serangan terhadap kebenaran yang dituturkan bahasa. Sastra Punya harga jual yang tinggi. Ia bisa meraup pasar pengetahuan.Pasar pengetahuan yang memiliki alat tukar, yakni KATA. Kata yang terbentuk dari huruf-huruf, lalu beranjang menjadi kalimat. Kata menjadi emblem kolaboratif lahirnya perubahan sosial. Perubahan sosialitas yang tanpa dibeli dengan uang dan tanpa mencekik leher kebenaran. Semua perubahan harus menuju pada manusia

beradab. Telusuran ini, menggugat skenario perpecahan negeri ini yang banyak dirangsang logika dan tindakan kebiadaban. Kemasan biadab muncul dalam banyak rupa. Ia bertajuk politik curang, korupsi, sogokan, dan sejenisnya. Struktur kebiadaban lahir dari pergulatan rencana yang terstruktur, logis dan kerap bermotif materialistik. Adalah kata, juga menjadi jerat dalam rencana. Artinya kebiadaban bisa dipicu tutur kata. Lebih tepatnya, tuturan rencana busuk yang mendapat aplikasinya dalam realitas. Kata menjadi senjata tajam yang menghancurkan jiwa. Ia bisa menjadi pembunuh di mulut orang fasik. Namun bisa juga menjadi penyelamat dimulut orang baik. Peta perubahan menuju “yang baik” sejatinya berada dalam genggaman mulut “penyelamat”. Lantas, dalam ranah sastra perubahan itu terpaut pada dua ambang yakni mulut penyelamat dan mulut orang fasik. Orang fasik merupakan sebutan lancang untuk orang-orang yang berhaluan buruk. Mereka adalah penghantar nasib sosial menuju neraka. Mereka adalah pengingkar kebenaran sekaligus pendobrak ketulusan. Dalam nada provokatif, kita bersoal, kemanakah sastra membawa manusia Indonesia? Tentu ke arah yang baik! Baik untuk orang lain. Kebaikan yang dihadirkan harus terarah pada kebaikan bersama. Lantas, sastra menggugat dalam konteks menuju kebaikan bersama (Bonum Comune). ¤ (Ricky/Puraka)

Setelah berusia tua, Socrates, belajar musik. Lalu ada orang berkata padanya,” apakah engkau tidak malu belajar di usia tua?”. Dia menjawab,” Aku merasa lebih malu menjadi orang yang bodoh di usia tua”. PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 5


PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 6 Dermaga di Pantai Morosari, Demak Karya: Latifa


KAJIAN SASTRA

Rumput Batu Karya: Ade Junita

Ketika Karya Sastra Menjadi Doktrin Untuk Pembaca (Pada Masa Pemasungan Karya Sastra)

S

ecara umum banyak yang mengartikan karya sastra adalah ungkapan pikiran dan perasaan pengarang, di mana hampir seluruhnya merupakan karangan fiksi atau imajinatif belaka. Karya sastra dianggap sebagai bualan yang cerita di dalamnya hanya untuk hiburan semata. Ini jika kita lihat dari sudut pandang awam, yang pada kenyataannya secara tidak langsung pemahaman ini merambat hingga ke ranah masyarakat luas. Lain halnya dengan pemahaman para pegi sastra, bahkan di kalangan profesional. Minimnya pengetahuan masyarakat dan sedikitnya minat baca terhadap karya sastra menjadi faktor yang memengaruhi pandangan bahwa karya sastra hanya berkutat pada dimensi khayalan, mengadaada dalam merangkai peristiwa dan kata. Padahal, jika ditelusuri lebih jauh karya sastra seringkali diangkat berdasarkan realitas kehidupan sosial, budaya, agama, hingga kejiwaan manusia.

Karya sastra adalah wadah untuk menuangkan inspirasi, ide-ide, serta ekspresi dari gambaran-gambaran berbagai pengalaman pengarang. Sastra bukan hanya refleksi sosial, melainkan merepresentasi sebuah gagasan tentang dunia atau gagasan atas realitas sosiologis yang melampaui waktunya. Karya sastra yang baik adalah sebuah karya yang dapat memberikan kontribusi bagi masyarakat. Hubungan sastra dengan masyarakat pendukung nilainilai kebudayaan tidak dapat dipisahkan, karena sastra menyajikan kehidupan dan sebagian besar terdiri atas kenyataan sosial (masyarakat), walaupun karya sastra meniru alam dan dunia subjektif manusia (Wellek dan Warren). Dengan demikian, sastra tidaklah sematamata soal hasil imajinasi atau khayalan, karya sastra seringkali memiliki relevansi bagi kehidupan nyata, karena karya sastra hadir dari gambaran realitas kehidupan. Datang dari berbagai aspek, yang kemudian dituangkan dalam sebuah karya. Bahkan

PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 7


KAJIAN SASTRA masyarakat karena tingkat apresiasi masyarakat terhadap karya seni, khususnya seni sastra dan drama kontemporer masih rendah, mengganggu ketertiban dan keamanan karena para seniman, katanya sukar diatur. (Ekarini Saraswati: Sosiologi Sastra). Hal ini menunjukkan bahwa “ketakutan” yang dirasakan oleh rezim Orde Baru sangatlah jelas, bahwa karya sastra dapat menjadi “doktrin” atau mempengaruhi pikiran rakyat. Sehingga rakyat dapat dengan peka mengetahui pembodohan-pembodohan yang digelontorkan oleh rezim Orde Baru. Pada masa itu pula banyak karya sastra yang dibredel, dilarang beredar dengan alasanalasan berkedok prosedur izin terbit. Selain itu, disebabkan banyaknya karya sastra yang terlalu berani vokal mengkritisi pemerintahan dalam karyanya. Guna menjaga wibawa dengan mengatasnamakan kekuasaan, maka alasan mereka adalah bahwa karya sastra yang hadir pada masa itu bersifat pencemaran nama baik, hingga pemberontakan. Pada saat itulah, kemudian terbit Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang mengatur pelarangan buku bertebaran tanpa kontrol pemerintah. Pasal 154 KUHP misalnya, berbunyi: “Barangsiapa

Karya sastra menjadi hal yang begitu “ditakuti” oleh kaum penindas alias penjajah, hingga kalangan pemerintah atau pemimpin. Banyak terjadi pembredelan karya sastra hingga membuat kreativitas mengalami keterpasungan. ketika karya sastra disajikan dalam bentuk fabel sekali pun, tetap ada hubungan antara cerita dengan nilai-nilai kehidupan masyarakat, dalam pesan moral misalnya. Di mana pesan moral yang terkandung dapat dijadikan acuan juga pembelajaran bagi masyarakat. Bahkan, tak ayal suatu karya sastra dapat mendoktrin pola pikir pembaca terlebih lagi jika karya sastra yang dibuat bersifat pro terhadap pihak yang dirugikan. Menengok kembali pada masa lalu, zaman penjajahan, komunis hingga orde baru. Karya sastra menjadi hal yang begitu “ditakuti” oleh kaum penindas alias penjajah, hingga kalangan pemerintah atau pemimpin. Banyak terjadi pembredelan karya sastra hingga membuat kreativitas mengalami keterpasungan, contohnya pada masa Orde Baru, menurut Satoto hal itu disebabkan oleh sistem birokrasi, paradigma, serta sikap dan perilaku elite politik dan penguasa. Pihak penguasa beranggapan bahwa perilaku seniman telah menjurus ke hal-hal yang destruktif yang bisa mengganggu ketertiban dan keamanan masyarakat yang pada gilirannya bisa mengancam eksistensi dan integritas bangsa dan negara. Alasan tidak diberi izin oleh aparat keamanan sangatlah klise, misalnya karya tersebut bertentangan dengan ideologi negara Indonesia, yakni pancasila, prosedur perizinan yang salah, meresahkan

di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebenciaan, atau penghinaan terhadap pemerintah Indonesia, maka diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun atau denda paling banyak tiga ratus juta”. Bersamaan dengan terbitnya KUHP, maka gerak-gerik para sastrawan, seniman, budayawan, penyair, dan mahasiswa selalu dibayang-bayangi oleh ketatnya pengawasan intelijen negara. Akibatnya, karya-karya fenomenal dan menakjubkan dari mereka tidak bisa dinikmati oleh pembaca setia. Namun demikian, para

PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 8


KAJIAN SASTRA komunis karena masuk Lembaga Kebudajaan Rakyat atau dikenal dengan Lekra. Lembaga ini merupakan organisasi kebudayaan sayap kiri di Indonesia yang didirikan atas inisiatif D.N. Aidit, Nyoto, M.S. Ashar, dan A.S. Dharta pada tanggal 17 Agustus 1950. Selama masa pembuangan itu, Pramoedya banyak menghasilkan Rumput Negatif karya tulis. TemaKarya: Ade Junita tema yang dipilihnya pun merupakan tema sensitif, sarat dengan kritik sosial dan politik, yang membuat kuping pemerintah Orde Baru panas dan dituding sebagai penyebar ajaran komunis. Karya-karya tulis Pram pun dijadikan bacaan terlarang, dilarang beredar, dan diberangus. Tetralogi Bumi Manusia atau disebut juga Tetralogi Buru atau Tetralogi Pulau Buru merupakan karya Pram yang diselesaikannya di Pulau Buru. Jauh sebelum itu, pada masa "Demokrasi Terpimpin" tahun 1959, Pram pernah mengkritik kebijakan Presiden Soekarno.

sastrawan tidaklah tinggal diam ketika terjadi pembekuan terhadap karya-karyanya yang dianggap oposisi. Melalui seminarseminar dan berbagai forum diskusilah semua dapat diungkap dengan rapi. Sekilas tentang karya-karya sastra serta pengarang yang pernah menjadi korban pembredelan antara lain: • Penyair W.S. Rendra. Sejak dulu, karyakarya puisi dan drama Rendra memang selalu berbau protes. Karena karya-karyanya pula, ia masuk penjara di zaman Orde Baru (1978), pementasan karya-karyanya pun dilarang. Ketika itu, karya drama Rendra yang terkenal berjudul “Barangsiapa di muka umum menyatakan “SEKDA” dan “Mastodon dan perasaan permusuhan, kebenciaan, atau Burung Kondor” dilarang untuk dipentaskan di Taman Ismail penghinaan terhadap pemerintah Marzuki. Indonesia, maka diancam dengan pidana • Pramoedya Ananta Toer, pernah penjara paling lama tujuh tahun atau mengalami pembuangan selama 14 tahun di Pulau Buru tanpa denda paling banyak tiga ratus juta”. pengadilan. Dia dituding pro

PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 9


KAJIAN SASTRA Karya Pram “Rumah Kaca” juga pernah dibredel pada masa Orde Baru karena dituding telah menyebarkan paham Marxisme. Masih banyak karya yang pernah mengalami pembredelan dari masa ke masa. Dengan alasan yang klasik, yang pada kenyataannya karya sastra justru menjadi momok yang “menakutkan” karena dapat memengaruhi bahkan mendoktrin seseorang, terlebih lagi jika karya sastra tersebut membongkar rezim ketidak-adilan, bentuk protes dan kritik pada birokrasi, suara untuk rakyat tertindas, dan ideologi lain yang bertolak belakang dengan pemerintah. Oleh karena karya sastra sesungguhnya hadir dari realitas kehidupan manusia, maka akan sangat berpengaruh bagi manusia sebagai pembaca. Bagaimana dengan masa kini? Benarkah sekarang keadaannya berbeda, karena sekarang adalah era kebebasan berekpresi

(katanya)? Dengan landasan bahwa semuanya telah diatur dalam UndangUndang Pers dan diberikan kebebasaan untuk melahirkan karya yang bersifat apa pun. Kalau pun bebas, kenapa masih banyak media bungkam, bahkan sampai ciut untuk mengekspos aksi dan aspirasi rakyat yang berpeluh keringat memadati jalan hingga mengerubung istana? Bahkan tidak sedikit karya yang katanya berkualitas, tapi tak ayal hanya disibukkan oleh dilema, kegalauan, dan cerita-cerita lainnya yang pada akhirnya membuat mental pembaca menjadi cengeng? Ini sisi lain dari yang katanya bebas. Semoga bukan bebas “terkendali”. Meskipun memang masih banyak karyakarya yang tidak mati dan masih berani vokal pada aspek kehidupan yang lebih penting. Teruslah berkarya, teruslah berekspresi, dan menjadi sebuah jembatan aspirasi.¤ (Yessy/Puraka)

Pasar Rongsok Plered Karya : Ade Junita PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 10


KAJIAN SASTRA

Pasar Rongsok Plered Karya : Ade Junita

Dan Perubahan Sosial Oleh : Eugen Sardono, SMM

Di abad mutakhir, para peminat sastra sangat sedikit. Kebanyakan orang lebih suka mengungkapkan sesuatu secara langsung daripada melalui puisi, pantun atau pun karya sastra lainnya. Menurut data yang dikemukan oleh UNESCO, minat membaca orang Indonesia hanya mencapai 0,001 %. Artinya, diantara seribu orang, hanya ada satu orang yang memiliki minat membaca yang tinggi. Kurangnya minat membaca mengakibatkan rendahnya keinginan seseorang menikmati karya sastra. Sebagai konsekuensi logisnya, karya sastra justru tidak sampai kepada masyarakat. Kiranya ini menjadi tantangan perkembangan karya sastra di Indonesia, yang masih tak mampu menggerakkan perubahan sosial. Lebih jauh, ada yang mengatakan karya sastra seperti puisi, pantun, drama adalah sebuah penipuan

tehadap perasaan. Orang tidak mengungkapkan apa yang benar, namun orang memolesnya untuk menyembunyikan kenyataan yang sebenarnya. Ada sebuah ketersembunyian realitas dalam hal ini. Pendapat seperti ini sesunggunya tidak bisa diterima. Keindahan karya sastra terletak pada maknanya. Bukan kekuatan kata-kata

PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 11


KAJIAN SASTRA yang indah, tetapi lebih pada ungkapan makna yang disampaikan. Sastra menghidupkan dan membangkitkan jiwa untuk berimajinasi. Sastra memiliki jiwa yang bisa menghidupi orang. Ketika orang membaca karya sastra, ada sebuah gerakan-keluar yaitu gerakan menuju apa yang ada di atas tulisan tersebut. Sastra adalah salinan realitas yang sangat original. Banyak pemimpinpemimpin besar sangat takut akan karya sastra. Karena karya sastra menulis kepedihan yang tiada tara dengan sesuatu yang secara implisit dan eksplisit bisa diketahui. Selain itu, ruang gerak (ruang jangkau) sastra selalu menerobos temboktembok besar. Karena itu sastra sangat berpengaruh terhadap perubahan sosial. Banyak revolusi dan perjuangan besar diawali dari sentuhan dunia sastra. Dalam sejarah kehidupan bangsa Indonesia, sastra menjadi emblematis perubahan. Pada masa pemerintahan Soeharto, karya sastra yang mengkritisi kehidupan pemerintahan dilarang untuk dipublikasikan. Kehadiran karya sastra tidak dapat dilepaskan dengan fenomena sosial budaya yang lain, seperti politik, ekonomi, dan agama. Fenomena ini dapat ditandai dengan sebuah ungkapan, sastra adalah bahasa. Karena sastra adalah bahasa, maka sastra adalah rumah dari ada, yang menjadikan adanya bahasa in se. Saya mencoba menggiring pembaca untuk melihat cetak-biru dari pengaruh sastra bagi realitas sosial. Pertama, sastra adalah roh. Kekuatan sastra itu kata. Kata, dalam bahasa Yunani diartikan sebagai Logos. Logos, sesuatu yang bisa meniup perubahan. Maka, pilihan untuk diam bukanlah pilihan yang jitu. Diam meman emas, tetapi ketika emas itu didiami terus maka emas itu akan berkarat. Dalam

Filsafat India, perkataan adalah seorang dewa atau juga dinamakan Vic. Kata-kaya diakui memiliki identitas kemurnian, Vic, Logos. Perkataan merupakan sebuah cetusan keluar dan apa yang dimiliki oleh dunia (manusia). Namun, logos dalam dirinya memuat sebuah berkat atau kutukan. Ketika logos bisa memberikan sebuah proses pertumbuhan, maka logos bisa berfungsi untuk menumbuhkan persatuan. Sebaliknya, ketika logos hadir sebagai sebuah bom nuklir yang bisa membombardir tatanan kehidupan, maka akan menjadi sebuah keresahan tersendiri. Tidak bermaksud menjelaskan apa kedalaman logos, saya mencoba menggiring kepada pemahaman tentang sastra. Dari logos tadi melahirkan karya sastra. Jadi, ketika orang ber-logos tidak sertamerta berhenti di perkataan, tetapi lebih dari itu harus mengandung makna. Ketika, kata-kata itu kehilangan makna, maka kata-kata itu pun tidak bedanya dengan angin lalu. Maka, puisi itu bukan soal indahnya kata-kata, pun cerpen. Puisi itu bukan soal kata-kata yang romantis-love. Puisi harus bisa mendulang makna. Kekuatan sebuah puisi terletak di isinya. Kedalaman isinya bisa membawa sebuah perubahan yang mendalam. Maka, sangat keliru ketika orang mengatakan, puisi itu adalah peniupan terhadap realitas. Puisi justru memiliki khasanah tersendiri dalam menginformasikan pesan kepada responder atau pembaca. Persoalan

Kerendahan seseorang di ketahui melalui dua hal : banyak berbicara tentang hal-hal yang tidak berguna,dan bercerita padahal tidak di tanya. (Plato)

PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 12


KAJIAN SASTRA di sini, apakah semua orang membacanya? Kembali pada fenomena budaya membaca di tanah air kita. Kedua, sastra mampu mendongkrak keburukan. Dalam karya sastra, orang mau

urusan politik, orang bisa meletupkan dalam sebuah gugahan saastra. Dunia kepemimpinan Indonesia tahu, bahwa roman-roman sastra Indonesia pada tahun 1920-an selain merupakan cermin sosial juga memantik proses perubahan sosial yang terjadi di dalam kehidupan negara Indonesia. Keempat, Sastra dan kemajuan pendidikan. Sastra lahir di dalam tubuh pendidikan. Dan sastra pula bermuara ke rahim pendidikan yang malahirkan dia, sastra. Tanpa sastra mungkin kehidupan pendidikan adalah sebuah kesalahan atau bisa dikatakan skandal yang besar. Sastra yang baik adalah sastra yang setia kepada pendidikan. Pendidikan apa saja, moral, keagamaan, dan lain sebagainya. Melihat sastra sebagai lawan atau musuh adalah sebuah pilihan yang keliru untuk bisa memajukan pendidikan di Indonesia. Ingat saja, data yang sudah dibeberkan di atas. Tingkat minat membaca Indonesia masih jauh dari standar dibandingkan dengan negara lain. Maka, sejatinya pendidikan di Indonesia harus melihat kembali peranan sastra dan sastra juga harus bisa melihat kembali peranan pendidikan. Keduanya adalah satu mata uang logam yang tidak bisa dipisahkan. "Bukanlah kesadaran manusia yang menentukan keberadaan mereka, melainkan keberadaan sosial yang menentukan kesadaran mereka”1. Dari semuanya itu, saya bisa melihat bahwa sastra adalah unik di dalam dirinya. Sastra kadang penuh dengan simbol dan kata-kata yang ‘pelik’, ‘rumit’, dan ‘ruwet’. Justru kedalamannya bisa dilihat dari simbol dan kata-kata kiasan itu. Itu adalah salinan realitas yang menghantar orang untuk seni berpikir. Berpikir lurus adalah kebiasaan dan

Berpikir lurus adalah kebiasaan dan lazim terjadi di dalam kolam kehidupan. Tetapi, mencari isi dan makna dibalik apa yang ditulis adalah lebih sulit dan lebih bernilai ketika orang masuk dalam ‘teks’ sastra. berbicara. Dalam filsafat Heiddegger mengatakan bahwa keterlalun kalau orang menjadi penonton dalam diri subjek yang dilemparkan. Maka, dibutuhkan negara yang bias membangkitkan rasa satra di tanah air. Tidak bias tidak, juga kadang pesan dari karya sastra itu sendiri menukik dan menendang hati nurani yang bebal. Maka, ketika ada persoalan, perlu ada orang yang bisa mengangkatnya kepermukaan, dengan demikian memantikkan kesadaran orang untuk bisa membaca dan menilai secara kritis sebuah persoalan. Saat itulah, peran sastra menjadi penting. Ketiga, sastra mendongkrak tatanan politik. Sejauh ini begitu banyak tokoh atau penyair yang mencoba meluapkan pergulatan hati mereka dalam karya sastra. Politik adalah soal kehidupan. Politik soal tata Negara dan kepemerintahan. Politik adalah the art of managing the country. Maka, sastra adalah seni untuk bisa mendobrak kebobrokan politik. Karena manusia pada hakikatnya adalah berpolitik. Sebagai warga negara, orang hidup dalam lingkaran tata kelola negara. segala macam ketidaknyamanan dan ketidaksetabilan

1

Karl Marx dan Friedrich Engels (1859). PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 13


KAJIAN SASTRA lazim terjadi di dalam kolam kehidupan. Tetapi, mencari isi dan makna dibalik apa yang ditulis adalah lebih sulit dan lebih bernilai ketika orang masuk dalam ‘teks’ sastra. Maka, sastra itu adalah soal rasa. Karena berbicara soal rasa, maka pertamapertama yang dimiliki adalah jatuh cinta. Selayaknya orang jatuh cinta, maka sastra pun harus sampai pada taraf jatuh cinta. Ketika semua warga Indonesia jatuh cinta pada sastra, maka orang Indonesia dengan sendirinya akan berubah. Kita mencoba melihat kebudayaan Yunani Kuno yang berdevosi dengan keunggulan akal budi mereka. Maka gagasan-gagasan mereka melebar dan mengembangkan sayapnya di dunia sekarang. Hampir semua pemikiran

barat memakai catatan kaki Filsafat Yunani, terutama sastra yang dibuka oleh para filsuf sebelumnya. Ada seorang yang mengatakan, “Untuk membangun rumah yang luas dan besar sangat mudah. Namun untuk membangun kerangka berpikir sangat sulit”. Maka, dengan kesadaran itu, orang harus bisa membangun paradigma berpikir agar bisa membawa sebuah perubahan. Dan akhirnya saya bisa mengatakan bahwa, mungkin perubahan sosial tanpa sastra adalah suatu kesalahan. ¤

[Penulis adalah Penyair Kocak-Montfortan. Saat ini sedang menempuh Pendidikan Filsafat di STF Widya Sasana Malang].

Batang Jagung dan Fajar Ungu Karya: Ade Junita

”Orang yang berilmu mengetahui orang bodoh karena dia pernah bodoh, sedangkan orang yang bodoh tidak mengetahui orang berilmu karena dia tidak pernah berilmu.” Plato.

PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 14


KAJIAN SASTRA

Oleh : Erna Winarsih Wiyono

S

astra bukan sekedar aksara-aksara yang berjalan di ujung pena merupa puisi, syair, cerpen, cerbung, cermis,

cermin, pantun, gurindam, atau bentuk lainnya. Sastra sudah memulai kinerjanya pada titik awal keberadaan nenek moyang dan leluhur. Pada pendapat umum, komponen sastra kebanyakan dititikberatkan pada puisi dan puisi kembali, padahal bila cermat dan jeli sesungguhnya sastra telah menjadi bagian dari keseharian dan khazanah kehidupan. Lingkup ruang sastra pun tidak selalu mendayu-dayu,

namun bisa dan sangat mungkin untuk mempresentasi pada segala keadaan. Sebagai contoh pengungkapan rasa syukur dan kekaguman pada hasil karya Sang Maha Pencipta, membahas moral, sopan santun, etika, tata krama dalam laku dan bahasa serta logat. Sastra juga digunakan dalam bersosialisasi atau bergaul dengan masyarakat di segala jenjang dan kalangan, juga untuk mengemukakan opini dalam suatu musyawarah untuk mufakat. Sastra menjadi acuan tak terduga untuk menyentil secara gamblang maupun halus pada kisah suatu negeri atas pemerintah dan para perangkatnya. Sastra menjadi penyokong utama, mengeluarkan aspirasi yang tersembunyi melalui berbagai bentuk karya ataupun

Batu Pekarangan Karya: Adi Septa Suganda

PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 15


KAJIAN SASTRA media. Sastra berdiri pada garis-garis terdepan yang menetralkan anarkis tanpa aturan. Sastra mengumpulkan dukungan moril dan juga materiil (bila dalam komitmen ketentuan yang bertautan), untuk berteriak lantang, membuka kisah-kisah sejarah (fakta) tentang yang terjadi di lapangan. Kejadian sesungguhnya bahkan per detik dapat diabadikan dalam sastra di mana para pelaku sastra mengeluarkan ideidenya berdasarkan apa yang mereka lihat, dengar, dan turut mereka rasakan. Sastra membuka pandora, kasuskasus yang berdebu dan sudah lama dilupakan orang. Kisruh Korupsi. Sindiran-sindiran halus namun tepat langsung mengenai sasaran. Diramu dengan aksen budaya humor dalam kesan santai. Berikut Kolusi, Nepotisme, dan Amoral, sastra turut berperan di dalamnya. Tak banyak orang menyadari bahwa sastra dapat menjadi pahlawan atas realitas sosial yang sedang berlangsung di bumi

pertiwi ini. Para penyair, pujangga, punggawa, budayawan, seniman, penari, penyanyi, semua termasuk lingkup sastra menjadi pelaku dan pegiat sastra untuk lebih membuka mata hati dunia khususnya mereka-mereka yang bertaut dengan urusan carut marut negeri ini. Mengetuk nurani pelaku yang terkait melalui solidaritas suarasuara bangsa yang masih peduli dengan nasib masa depan negerinya. Sastra tak bisa dianggap remeh. Sastra hadir untuk membela hak yang tertindas, dan sastra bukan “pahlawan kesianganâ€?. Sastra dan simbiosis mutualisme diartikan saling sokong menyokong, mensupport sebagai sarana untuk merenung dalam tatanan yang berbeda dengan para demonstran. Sastra tidak meletup-letup penuh amarah. Lewat pesan santun dan damai ia bersuara lantang untuk kebangkitan negeri ini menjadi lebih baik dari waktu-waktu sebelumnya. Salam Literasi dan Budaya, Kota Bogor, Jawa Barat - Indonesia. ¤

Rumput Batu Cadas Karya: Ade Junita

PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 16


Foto: Senja Karya: Latifa

PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 17


LENTERA SASTRA

Menulis sastra itu gampang-gampang susah. Bagi mereka yang berjiwa seni akan terasa lebih gampang. Mereka cukup mencolek sedikit ide dari memori benaknya, dan selanjutnya tinggal mengembangkan ide tersebut hingga menjadi sebuah tulisan.

Hal ini tidak berlaku bagi kita yang dalam kadar tertentu, boleh dibilang berotak “bebal”, terutama dalam hal tulis menulis. Ide boleh ramai bermunculan di benak, lewat berbagai kegiatan, aktifitas dan perjalanan, namun sangat sulit untuk menggoreskannya dalam kata-kata aduhai, sarat makna, dan melambai-lambai mengaduk emosi, dalam tinta sastra (puisi, cerpen dan lain sebagainya). Barangkali ketika anda hendak mulai menulis, pikiran anda telah membawa anda jauh pada bayangan bahwa tulisan anda sudah menjadi sebuah karya yang indah, muncul di harian terkemuka, dan telah dibaca serta diulas beberapa tokoh ternama, dan hebatnya lagi telah menjadi trending topik di dunia maya. Namun apa daya, ketika anda sejenak menutup mata, anda kembali pada diri anda, dan anda menemukan bahwa anda belum menulis satu aksara pun. Sedih bukan…?

Sebenarnya yang perlu anda lakukan adalah mulai menulis. Selalu ada getaran seni yang bergejolak di dalam jiwa setiap pribadi. Anda hanya membutuhkan sejumput ide, kemauan untuk menuangkannya, dan yang terakhir, pengetahuan akan dunia sastra. Ide merupakan suatu kekayaan intelektual, merupakan “nyawa” bagi setiap karya sastra. Kemudian kemauan. Kita semua tahu bahwa tidak ada sesuatu pun akan terjadi bila tidak didukung oleh kemauan, keinginan untuk segera melakukan. Sedangkan pengetahuan sastra adalah pengetahuan akan penulis, buku-buku sastra, karya sastra, dan produk sastra. Pengetahuan yang mengajarkan cara menulis yang baik. Ada banyak metode menulis sastra yang telah diterbitkan oleh beberapa penerbit ternama. Yang penting dari metode menulis sastra adalah adanya bahan sastra yang dicoba untuk diunduh dalam kepemilikan sastra. Setelah anda

Sumber foto ilustrasi pada halaman ini: http://www.plimbi.com/article/159688/menulis-bakat-atau-keterampilan

PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 18


LENTERA SASTRA memperoleh bahan-bahan yang telah anda pikirkan, cobalah untuk mengembangkannya dalam bentuk, tema, judul, dan uraian yang anda susun. Yang terpenting adalah anda memulainya dengan segera. Carilah Referensi Lebih Banyak Dunia sastra adalah dunia imajiner manusia yang mencoba untuk menyajikan karya sastra dan karya seni dalam dunia tulis-menulis. Walau begitu, tidak lantas menulis sastra tidak butuh referensi. Memang dalam karya sastra tidak ditemui adanya catatan kaki dari kutipan seperti yang ditemui dalam karya ilmiah. Yang ditemui hanyalah catatan tangan. Namun, dengan banyak membaca buku selain menambah wawasan akan dunia sastra itu sendiri, juga akan menambah perbendaharaan kosakata, sehingga sewaktu menulis anda tidak terhenti lantaran tidak menemukan kata yang cocok untuk membahasakan imajinasi yang ada. Selain itu, untuk mempertajam dan memperluas wawasan maka harus rajin membaca tulisantulisan sastra hasil karya orang lain. So, bacalah buku sebanyak mungkin, terutama yang berkaitan dengan dunia sastra. Bagi anda yang menggunakan internet, tentu lebih mudah. Banyak bahan-bahan cerita, naskah, dan metode menulis yang bisa anda pelajari. Anda cukup meng-klik search, maka semuanya akan muncul di layar anda.

Tuliskan saja ide-ide yang anda miliki. Setelah naskah selesai, anda dapat memperbaikinya dengan mengganti katakata yang kurang tepat dalam pemakaiannya dengan kata-kata yang anda anggap lebih baik. Dalam penulisan puisi dikenal istilah diksi. Diksi dalam puisi fungsinya adalah: 1. Memberi kesan lebih kuat

Temukan Ide dan Mulailah Menulis

Jejak Pasir "Pada tahap awal, menulislah dengan Karya: Ade Junit

hati. Setelah itu perbaiki tulisanmu dengan pikiran. Kunci pertama dalam menulis bukan berpikir, melainkan mengungkapkan apa saja yang kalian rasakan", demikian kata William Forester dalam Film Finding Forester yang dikutip Carmel Brid dalam buku

Menulis Dengan Emosi.

2. Memberi kesan indah 3. Menjadikan puisi lebih menarik Meskipun tidak selalu, tapi penggunaan diksi yang baik dapat mempengaruhi nilai dari karya sastra.

PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 19


LENTERA SASTRA Berimajinasilah

Yang

terpenting

adalah

anda

telah

Kembangkan imajinasi mencoba menulis sastra. Pengetahuan anda menjadi tulisan kreatif yang mudah diikuti. Kemukakan akan estetika, metode menulis, dan persoalan yang sedang anda bahan-bahan cerita mendukung garap. Tulislah judulnya, kemudian mulailah dengan pekerjaan anda. paragraf yang sedang anda kerjakan. Tulisan kreatif Pengetahuan mengajarkan kita untuk berdasarkan imajinasi akan memberikan belajar. Belajar apa saja, termasuk dunia nuansa personalitas. Kembangkan paragraf sastra. Yang terpenting adalah anda telah demi paragraf sehingga tercipta lembarmencoba menulis sastra. Pengetahuan akan lembar sastra yang anda kehendaki. estetika, metode menulis, dan bahan-bahan Setidaknya ada langkah maju yang telah cerita mendukung pekerjaan anda. Persoalan anda kerjakan. Jika anda tidak yakin dengan hidup sehari-hari menjadi mengendap, judul, tema konflik, permasalahan, dan tata menjadi sesuatu yang bisa anda renungkan, cara penyelesaian masalah, cobalah baca dan kemudian bawalah menjadi karya sastra buku tentang sastra. Yang terpenting adalah yang bermutu. Semakin banyak persoalan kemampuan anda dalam berolah kalimat. semakin baik. Semakin cerdas anda memilah Berikan aksen tersendiri dalam karya yang dan memilih informasi yang mampu anda sedang anda kerjakan itu. raih, akan menampilkan beragam persoalan Sederhanakan judul anda. Sederhanakan kalimat-kalimat yang anda susun. Sederhanakan persoalan. Kemudian anda kembangkan dalam karangan yang semakin bervariasi. Menulis itu mudah. Menulis itu cerdas. Menulis itu kreatif. Ada sejumlah pengertian yang bisa diasah dan dikembangkan menjadi kalimat-kalimat cerdas yang bisa anda kerjakan.

yang bisa dikerjakan melalui sastra. Sastra adalah sastra, dan metodenya juga metode sastra. Cerdas, kreatif, imajinatif, dan berkesenian. Tanamkan sikap sederhana dalam mengemukakan persoalan. Sederhanakan akhir cerita yang anda susun. Selamat bekerja! ¤ (Ellyas/Puraka)

Langit Senja. Karya: Uki PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 20


LENTERA SASTRA

Pohon Malam Negatif Karya: Ade Junita

K

ritik sastra adalah salah satu cabang ilmu sastra untuk menghakimi suatu karya sastra. Kritik sastra mencakup penilaian guna memberi keputusan bermutu-tidaknya suatu karya sastra. Kritik sastra biasanya dihasilkan oleh kritikus sastra. Penting bagi seorang kritikus sastra untuk memiliki wawasan mengenai ilmuilmu lain yang berkaitan dengan karya sastra, sejarah, biografi, penciptaan karya sastra, latar belakang karya sastra, dan ilmu lain yang terkait. Kritik sastra memungkinkan suatu karya dapat dianalisis, diklasifikasi dan akhirnya dinilai. Seorang kritikus sastra mengurai pemikiran, paham-paham, filsafat, pandangan hidup yang terdapat dalam suatu karya sastra. Sebuah kritik sastra yang baik harus menyertakan alasan-alasan dan bukti-bukti baik langsung maupun tidak langsung dalam penilaiannya. Pengertian Kritik Sastra Istilah “kritik” (sastra) berasal dari bahasa Yunani yaitu “Krites” yang berarti hakim. Krites sendiri berasal dari “Krinein” yang berarti menghakimi. Kriterion yang berarti “dasar penghakiman” dan kritikos

yang berarti hakim kesusastraan (Wallek, 1978: 21). Kritik sastra merupakan studi sastra yang langsung berhadapan dengan karya sastra, secara langsung membicarakan karya sastra dengan penekanan pada penilaian (Wallek, 1978: 35). Hal ini sesuai dengan pengertian kritik sastra modern juga. Seperti dikemukakan oleh H. B. Jassin (1959: 44-45), yaitu kritik sastra merupakan pertimbangan baik buruk karya sastra, penerangan dan penghakiman karya sastra. Aspek-Aspek Kritik Sastra Aspek-aspek pokok kritik sastra menurut Hill (1966: 6) yaitu analisis, interpretasi dan evaluasi. 1) Analisis Analisis merupakan penguraian terhadap unsur-unsur yang membangun karya sastra. 2) Interpretatif Interpretasi adalah penafsiran karya sastra, dalam arti luas adalah penafsiran kepada semua aspek karya saatra. 3) Evaluasi

PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 21


LENTERA SASTRA Fungsi Kritik Sastra Kritik sastra merupakan studi sastra yang secara langsung berhadapan dengan karya sastra dengan fokus utama penilaian. Sementara fungsi kritik sastra adalah: 1. Mengembangkan ilmu sastra sendiri. Kritik sastra dapat mengembangkan teori sastra dan sejarah sastra. 2. Mengembangkan kesusastraan. Kritik sastra mengembangkan kesusastraan suatu bangsa dengan penilaiannya. 3. 4. Memberikan masukan terhadap masyarakat umum. Hasil analisis kritik sastra dapat membantu masyarakat dalam memahami dan mengapresiasi suatu karya sastra. Teori Pendekatan dalam Kritik Sastra Beberapa pendekatan yang ada dalam kritik sastra adalah : Pendekatan Stukturalis, tokoh-tokohnya : Ferdinand de Saussure, Levi Strauss, Jonathan Culler.  Pendekatan Poststrukturalis, tokohtokohnya : Roland Barthes, Jaques Lacan, Jaques Derrida  Pendekatan Feminis, tokohtokohnya :Simeone de Beauvoir, Michele Barrett, Kate Milett. Jenis-Jenis Kritik Sastra Jenis kritik sastra dapat dikelompokan berdasarkan beberapa sudut pandang. 1) Berdasarkan Metode a. Kritik Induktif Kritik sastra yang

menguraikan unsur-unsur karya sastra berdasarkan fenomenafenomena yang ada secara objektif. b. Kritik Impresionistik Kritik sastra yang berusaha dengan kata-kata menggambarkan sifat-sifat yang terasa dalam bagian –bagian khusus. c. Kritik Judisial Kritik sastra yang berusaha menganalisis dan menerangkan efek-efek karya sastra berdasarkan pokok, organisasi tekhnik dan gaya. 2)

Berdasarkan Bentuk a. Kritik sastra teoritis, prinsipprinsip kritik sastra sebagai dasar pengkritikan karya sastra. b. Kritik sastra praktis, penerapan kritik sastra pada karya sastra.

3)

Berdasarkan Orientasinya a. Kritik Mimetik b. Kritik Pragmatik c. Kritik Ekspresif d. Kritik objektif

4)

Berdasarkan Penulis dan Corak Kritiknya a. Kritik sastrawan, kritik sastra yang ditulis oleh sastrawan, biasanya bercorak ekspresif dan impresionistik. b. Kritik akademik, kritik sastra yang ditulis oleh umum, bercorak ekspresif dan impresionistik.

   PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 22


KAJIAN SASTRA Cara Menulis Kritik Sastra Kritik sastra adalah tanggapan objektif dari seseorang terhadap suatu karya orang lain dengan menguraikan secara rinci baik buruknya sebuah karya. 1. Pilihlah pengarang yang anda sukai Agar kritik sastra mudah dilakukan, pilihlah pengarang yang anda sukai. Karena dengan mengandalkan hal itu anda bisa leluasa menulis dengan pengetahuan yang memadai terhadap biodata, karakter tulisan dan karya-karyanya. Sehingga persepsi yang anda kemukakan tidak akan menjadi abstrak. 2. Pilihlah materi yang paling anda kuasai Penguasaan materi perlu juga dipertimbangkan dalam pembuatan kritik sastra. Sebab, dengan itu anda dapat mengeksplorasi pendapat anda dengan landasan yang tepat sehingga dapat dipertanggungjawabkan dan diterima oleh semua pihak. 3. Masukkanlah beberapa pandangan orang terhadap karya tersebut Memasukan pendapat orang

atau ahli dalam kritik sastra yang anda buat akan membantu mempertajam kritik sastra tersebut. Hal itu juga dapat memberikan gambaran hal-hal apa saja yang harus anda kritik sehingga kritik sastra anda tepat sasaran. 4. Mulailah menulis kritik Jika telah menetapkan tujuan dan motivasi, segeralah menulis. Jangan ditunda, karena dengan terus berusaha menulis ide-ide akan muncul dan mengalir sedikit demi sedikit. Kesimpulan Kritik sastra merupakan salah satu studi sastra yang meliputi tiga bidang: teori sastra, sejarah sastra, dan kritik sastra. Kritik sastra merupakan studi sastra yang langsung berhadapan dengan karya sastra, secara langsung membicarakan karya sastra dengan penekanan pada penilaiannya. SALAM SASTRA-SEMOGA SUKSES. (seperti dikutip dari Wikipedia dan berbagai sumber) ¤(Ellyas/Puraka)

Pembangunan Tol Cipali. Karya: Uki

PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 23


PARASASTRA

DALAM PENGARUH KEHIDUPAN SOSIAL

M

ungkin anda pernah membaca sebuah syair dengan isi pesan kehidupan di dunia, atau sebuah jalan hidup yang tertuang dari sebuah prosa bertajuk hidup sebagai insan dan kemasyarakatan. Adalah budayawan, agamawan, penyair Emha Ainun Nadjib atau yang sering disapa Cak Nun. Beliau merupakan salah satu penyair yang banyak menelurkan sebuah pandangan hidup lewat sebuah puisi, maupun esai. Dari pemikirannya Cak Nun memberikan pelajaran dan pengalaman tentang keagamaan, nafas islami juga politik. Lahir 27 Mei 1953 di Jombang dengan nama Muhamad Ainun Nadjib, anak ke 4 dari 15 bersaudara ini hidup dalam lingkungan islami. Mengenyam pendidikan di pondok modern Darussalam Gontor dan juga fakultas ekonomi Universitas Gajah Mada (UGM). Dalam dunia sastra suami dari Novia Kolopaking dan bapak dari Sabrang Mowo Damar Panuluh (Noe Letto), Emha Ainun Nadjib kerap menulis pandangannya tentang estetika hidup yang ia kemas dalam puisi dan buku-buku, bahkan beliau adalah penyair yang aktif menulis. Hb Jassin pernah berkata "Cak Nun adalah penulis yang genius". Karena saking aktifnya dia menulis hingga sampai saat ini terbukti ada 40-an judul buku yang ia karang dan juga puluhan puisi.

Puisi Cak Nun diantaranya: Antara Tiga Kota Begitu Engkau Bersujud Dari Bentangan Langit Ditanyakan KepadanNya Doa Sehelai Daun Kering Ikrar Ketika Engkau Bersembahyang Kita Masuki Pasar Riba Kudekap Kusayang-Sayang Memecah Mengutuhkan Sepenggal Puisi Cak Nun Seribu Masjid Satu Jumlahnya Tahajjud Cintaku Dan judul buku-bukunya diantaranya: Dari Pojok Sejarah (1985), Sastra yang Membebaskan (1985) Secangkir Kopi Jon Pakir (1990), Markesot Bertutur (1993), Markesot Bertutur Lagi (1994), Opini Plesetan (1996), Gerakan Punakawan (1994), Surat Kepada Kanjeng Nabi (1996),

Sumber foto: http://www.ciputranews.com/tokoh-nusantara/emha-ainun-najib-seorang-budayawan-dan-intelektual-muslim

PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 24


PARASASTRA Indonesia Bagian Penting dari Desa Saya (1994) Berikut 2 puisi Emha Ainun Nadjib yang menggambarkan kehidupan:

Antara Tiga Kota Oleh : Emha Ainun Nadjib Di yogya aku lelap tertidur Angin di sisiku mendengkur Seluruh kota pun bagai dalam kubu Pohon-pohon semua mengantuk Di sini kamu harus belajar berlatih Tetap hidup sambil mengantuk Ke manakah harus kuhadapkan muka Agar seimbang antara tidur dan jaga? Jakarta menghardik nasibku Melecut menghantam pundakku Tiada ruang bagi diamku Matahari memelototiku Bising suaranya mencampakkanku Jatuh bergelut debu Ke manakah harus kuhadapkan muka Agar seimbang antara tidur dan jaga? Surabaya seperti di tengahnya Tak tidur seperti kerbau tua Tak juga membelalakkan mata Tetapi di sana ada kasihku Yang hilang kembangnya Jika aku mendekatinya Ke manakah harus kuhadapkan muka Agar seimbang antara tidur dan jaga? Antologi Puisi XIV Penyair Yogya, MALIOBORO,1997

Dari Bentangan Langit Oleh : Emha Ainun Nadjib Dari bentangan langit yang semu Ia, kemarau itu, datang kepadamu Tumbuh perlahan. Berhembus amat

panjang Menyapu lautan. Mengekal tanah berbongkahan menyapu hutan ! Mengekal tanah berbongkahan ! datang kepadamu, Ia, kemarau itu dari Tuhan, yang senantia diam dari tangan-Nya. Dari Tangan yang dingin dan tak menyapa yang senyap. Yang tak menoleh barang sekejap. Antologi Puisi XIV Penyair Yogya, MALIOBORO,1997

Cak Nun memandang

hidup itu

adalah hak hakiki, asal dijalankan dengan

benar

dan

mengikuti

Al

Quran, sunnah dan hadist dengan mengkaji

dari

perspektif

yang

berbeda. Cak Nun kerap diundang dalam acara-acara keagamaan membacakan puisi di depan khalayak penonton, seperti biasa syairnya bersentuhan dengan masalah sosial, pendidikan keagamaan, politik dan budaya. Namun bisa dikatakan lewat pandanganpandangan itu orang akan terkesima lewat kesadaran diri, bersosial. Cak Nun memandang hidup itu adalah hak hakiki, asal dijalankan dengan benar dan mengikuti Al Quran, sunnah dan hadist dengan mengkaji dari perspektif yang berbeda. Sebagai agamawan dan budayawan Cak Nun banyak menyinggung soal ini, membicarakan istilah-istilah dalam agama, sering materi yang ia lontarkan ketika nimbrung bareng, di undangan suatu acara materi menyoal keseharian, masalahmasalah hidup manusia, yang bersyukur

Sumber foto ilustrasi pada halaman ini: https://fotoisme.wordpress.com/2010/08/11/emha-ainun-najib/

PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 25


PARASASTRA karena dapat rizki, berbagi kesesama dan beramal, juga tentang masalah-masalah ketika manusia mendapat cobaan, bukan hanya sekitar hidup seseorang. Cak Nun juga menyinggung masalah nasional dari bencana alam, korupsi di Indonesia dan sebagainya. Cak Nun seperti masuk dalam semua aspek , agama, sosial, politik, hukum, seni dan budaya. Dalam semua itu Cak Nun berpandangan hal-hal yang menurutnya lebih diutamakan dan logika dari sekedar totem dalam masyarakat. Dalam dunia teater multi-kesenian Yogya bersama Halim HD jaringan kesenian melalui Sanggar Bambu aktif di Teater Dinasti Cak Nun menghasilkan repertoar serta pementasan drama:  Geger Wong Ngoyak Macan (1989, tentang pemerintahan 'Raja' Soeharto)  Patung Kekasih (1989, tentang pengkultusan)  Keajaiban Lik Par (1980, tentang eksploitasi rakyat oleh berbagai institusi modern)  Mas Dukun (1982, tentang gagalnya lembaga kepemimpinan modern)  Kemudian bersama Teater Salahudin

 

mementaskan Santri-Santri Khidhir (1990, di lapangan Gontor dengan seluruh santri menjadi pemain, serta 35.000 penonton di alun-alun madiun) Lautan Jilbab (1990, dipentaskan secara massal di Yogya, Surabaya dan Makassar) Kiai Sableng dan Baginda Faruq (1993) Juga mementaskan Perahu Retak (1992, tentang Indonesia Orba yang digambarkan melalui situasi konflik prakerajaan Mataram, sebagai buku diterbitkan oleh Garda Pustaka) di samping Sidang Para Setan, Pak Kanjeng, serta Duta Dari Masa Depan. Dan yang terbaru adalah pementasan teater Tikungan Iblis yang diadakan di Yogyakarta dan Jakarta bersama Teater Dinasti Teater Nabi Darurat Rasul AdHoc bersama Teater Perdikan dan Letto yang menggambarkan betapa rusaknya manusia Indonesia sehingga hanya manusia sekelas Nabi yang bisa membenahinya (2012). ¤ (Rizal/Puraka)

Sumber: Wikipedia Sumber foto: google

Ujung batang jerami Jaba Lor Karya: Priescha Sumber foto ilustrasi pada halaman ini: http://www.caknun.com/author/emha-ainun-nadjib/

PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 26


PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 27


PURAKARYA PUISI Tapak di Suatu Simpang Oleh: Endy Langobelen

Debu berbaring di ujung aspal Memahat tapak memandang waktu Yang terhenti seketika biduk ‘kan berlayar Mengarungi bebatuan tak bertuan

Saban hari, Mata ini seakan sesat menimang siasat Langkah ini seakan menutup sebuah skenario Menutup lembaran suatu petualangan Suatu peperangan melawan kemerdekaan

Telunjuk tinggal pasrah kepada arah Kepada jalan yang tak pasti ‘tuk ditempuh Kepada sungai saat beriak keras Mencari surau tuk berteduh saat hujan Beringin saat angin menerpa Tak kunjung pula telinga mendengar Mata pun tak lagi terpandang Pikiran tak lagi berangan Tapak pun risau memilih jalan di suatu simpang

Hokeng, 16 Mei ‘15

PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 28


PURAKARYA PUISI Puisi Saat Berbuka Puasa Oleh: Endy Langobelen

Bu, bulan puasa menyabit Bintangnya menerang tak berkedip Dinginnya sudah kusimpan baik, dalam sarung Hangatnya kubiarkan di ujung pintu Barangkali dosa mengetuk mata

Bu, Ibu! Kok diam? Mata Ibu kenapa? Tampak bernoda, Bu. Ada luka meninta Ibu puasa, kan?

Duk… Duk… Duk… Sudah buka, Bu. Ini, yang kuhidangkan buat Ibu Sepiring puisi ‘tuk berbuka puasa Silakan disantap, Bu!

Jogja, Juni ‘15

Biodata Penulis: Endy Langobelen, Lahir di Sorong, 20 april 1996. Tamat dari SMA Seminari San Dominggo Hokeng tahun 2015. Berdomisili di Desa Lamawara - Kec. Ile Ape – Kab. Lembata – Prov. NTT

PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 29


PURAKARYA CERPEN

Dikisahkan kembali oleh: Abdul Mukhid Konon pada zaman dahulu, di Kadipaten Malang ada seorang putri Adipati yang cantik jelita dan sakti mandraguna. Putri itu bernama Roro Ayu Proboretno. Untuk melatih ilmu beladirinya, Proboretno kerap berlatih dan bertapa di Gua Amprong. Kecantikan dan kelihaian ilmu beladirinya termasyhur di berbagai tempat di seluruh pulau Jawa yang saat itu telah berdiri Kerajaan Mataran Islam. Maka tidak mengherankan jika banyak laki-laki yang

ingin memperistri Proboretno. Suatu hari, ayah Proboretno yang tak lain adalah Adipati Malang, mengumumkan sebuah sayembara, yaitu siapa pun yang bisa mengalahkan kesaktian putrinya, akan diangkat sebagai menantu atau menjadi suami Proboretno. Berita sayembara itu pun segera menyebar ke berbagai daerah. Di daerah Japanan, ada seorang pemuda yang amat antusias ingin memenangkan sayembara

Sumber foto ilustrasi pada halaman ini: http://impalaub.or.id/identitas-vertikal/ PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 30


PURAKARYA CERPEN dan memperistri Proboretno. Nama pemuda itu adalah Sumolewo. Ketangkasan ilmu beladirinya juga terkenal di berbagai daerah. Sumolewo mempunyai seorang guru bernama Ki Jakpar Sodiq. Sumolewo menyampaikan keinginannya untuk mengikuti sayembara tersebut kepada gurunya. “Guru, saya ingin ikut sayembara. Sudah lama saya memendam keinginan untuk memperistri Proboretno,� kata Sumolewo ketika menghadap di sebuah ruangan khusus di padepokan. Ki Jakpar Sodiq mengernyitkan dahi, kemudian terdiam. Sejurus kemudian beliau memejamkan mata untuk beberapa lama. Sementara itu, Sumolewo masih tertunduk, menanti dengan harap-harap cemas jawaban dari gurunya. Beberapa saat kemudian, sang guru membuka mata dan menarik napas dalamdalam. “Aku tidak menyarankan kamu untuk ikut. Akan tetapi, aku juga tidak mungkin melarangmu. Aku lihat tekadmu begitu kuat. Hanya saja, aku ingatkan padamu. Kau tidak akan bisa memenangkan sayembara itu. Akan ada seseorang berkumis, tinggi besar dan amat sakti yang mengalahkanmu.� Sumolewo segera berpamitan setelah mendengar wejangan gurunya. Perasaannya campur aduk antara kecewa dan gusar. Kecewa karena sang guru tidak

mendukungnya, dan gusar atas ramalan gurunya. Namun begitu, keinginannya untuk memperistri Proboretno jauh lebih besar dari rasa kecewa dan gusar itu. Dia tetap bertekad ingin mengikuti dan memenangkan sayembara. Akhirnya, Sumolewo mengumpulkan beberapa orang kepercayaannya. Bersama mereka, Sumolewo menghadang siapa pun yang sesuai dengan ciri-ciri yang digambarkan gurunya dan hendak masuk ke Kadipaten Malang melalui gerbang utara untuk mengikuti sayembara. Penghadangan dilakukan di Kali Mati, sebuah daerah di sekitar kota Lawang sekarang. Disebut Kali Getih (dari bahasa Jawa yang artinya Sungai Darah) karena orang-orang yang dihadang itu dibunuh dan dibuang di sungai dengan darah berceceran. Siapa pun yang lewat daerah itu akan ditanyai. Kalau dia orang Madura, maka dia langsung diserang dan dibunuh. Sementara itu, di Pulau Madura, Adipati Sumenep Raden Panji Pulang Jiwa juga mendengar tentang sayembara itu. Raden Panji terkenal amat sakti dan gagah berani. Tubuhnya tinggi besar tetapi gerakannya amat cekatan. Raden Panji mempunyai tunggangan kesayangan berupa seekor kuda yang diberi nama Sosro Bahu. Agaknya Adipati Sumenep itu juga tertarik untuk mengikuti sayembara dan memperistri Proboretno. Berkat kesaktiannya, Raden Panji Pulang Jiwa Raja Mataram memandang hal ini sebagai mengetahui kalau ada pemberontakan dan mengirim pasukan ke Penghadangan terhadap para calon peserta sayembara dari Malang. Pasukan dari Mataram dipimpin Madura yang lewat daerah oleh Joko Bodho. Sementara pasukan dari Malang Utara. Maka dari itu, dia Malang dipimpin pasangan suami istri pun memutuskan untuk lewat jalur sebelah timur, tepatnya di Raden Panji Pulang Jiwa dan Roro Ayu daerah Kedung Kandang. Proboretno. Daerah tersebut merupakan pusat hewan pemeliharaan

PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 31


PURAKARYA CERPEN Kadipaten Malang saat itu. Berkat strategi ini, Raden Panji selamat dari hadangan Sumolewo dan kawan-kawan. *** Syahdan, pada hari yang ditentukan para pendekar dari berbagai penjuru daerah berkumpul untuk mengikuti sayembara. Peraturan sayembara itu adalah para pendekar itu bertarung saling mengalahkan sampai ada satu pemenang. Yang terbaik di antara para pendekar itu akan bertarung menghadapi Proboretno, dan jika dia bisa mengalahkan Proboretno, maka dia berhak menjadi suami sang Putri Adipati. Setelah pertandingan berlangsung beberapa lama, tinggal dua orang pendekar yang berhadapan. Mereka adalah Sumolewo dan Raden Panji. Kedua orang itu pun beradu kesaktian. Mereka bertarung dengan amat sengit, mulai pertarungan tangan kosong, menggunakan senjata sampai mengeluarkan ajian. Setelah jurus demi jurus berlalu, Sumolewo berhasil dikalahkan, dan Raden Panji Pulang Jiwa keluar sebagai pemenang. Maka, sebagai pemenang Raden Panji berhak menantang Proboretno. Sekalipun seorang wanita, ternyata Proboretno sangat tangguh. Pertarungan keduanya berlangsung seimbang dan lama. Pada suatu kesempatan, Proboretno terdesak dan melarikan diri untuk berlindung agar terhindar dari kekalahan.

Dia berlindung di gerbang bekas benteng Kerajaan Singasari. Proboretno mengira dirinya sudah aman, tetapi Raden Panji benar-benar sakti sehingga bisa menembus gerbang itu dan mengalahkan sang Putri. Maka sesuai ketentuan sayembara, dan berhak mempersunting Roro Ayu Proboretno. *** Pesta perkawinan pun dilangsungkan dengan amat meriah. Bukan hanya para pejabat Kadipaten yang hadir, tetapi juga dari kalangan rakyat jelata. Pesta rakyat digelar tujuh hari tujuh malam dengan berbagai hidangan dan hiburan gratis untuk rakyat. Singkat cerita, perkawinan antara melahirkan sebuah keluarga bahagia. Keduanya juga dikenal santun dan murah hati kepada rakyat jelata. Dari perkawinan keduanya membuahkan seorang putra yang bernama Raden Panji Wulung atau dikenal juga dengan sebutan Raden Panji Saputra. Pada masa itu sebenarnya Malang dan daerah-daerah di Jawa Timur lainnya berada di bawah kekuasaan Kerajaan Mataram. Akan tetapi, daerah-daerah yang dikenal dengan sebutan Brang Wetan (Kawasan Timur) ini menolak tunduk pada Mataram. Raja Mataram memandang hal ini sebagai pemberontakan dan mengirim pasukan ke Malang. Pasukan dari Mataram dipimpin oleh Joko Bodho. Sementara pasukan dari Malang dipimpin pasangan

PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 32


PURAKARYA CERPEN suami istri Raden Panji Pulang Jiwa dan Roro Ayu Proboretno. Akhirnya, pada suatu kesempatan Joko Bodho berhadapan dengan Proboretno. Karena ingin memenangkan pertarungan, Joko Bodho memutuskan untuk menggunakan keris sakti dari gurunya. Sebenarnya dia sudah diingatkan gurunya bahwa tuah sakti keris itu akan hilang kalau digunakan untuk membunuh wanita. Karena terpaksa, akhirnya Joko Bodho menghunus kerisnya dan mengakhiri hidup Proboretno. Mendengar kematian istrinya, Raden Panji marah. Dengan menunggang kuda Sosro Bahu, dia mengejar dan membunuh banyak pasukan Mataram. Joko Bodho yang sudah tidak memiliki senjata ampuh, akhirnya dengan mudah dikalahkan dan dibunuh oleh Raden Panji. Pasukan Mataram gusar karena banyak korban berjatuhan dari pihak mereka. Akhirnya mereka merancang sebuah siasat untuk menjebak dan mengalahkan Raden Panji. Siasat yang mereka lakukan adalah dengan membawa seorang putri

Mataram yang mirip dengan Proboretno dan dibuatkan sebuah panggung untuk menyanyi. Di jalanan menuju panggung itu diberi sebuah jebakan berupa sumur. Begitu mendengar dan melihat seorang putri yang amat mirip dengan istrinya, Raden Panji mendekat melalui jalan menuju panggung. Tanpa disadarinya, dia terjebak di sumur maut dan dikeroyok puluhan prajurit Mataram. Raden Panji akhirnya dimakamkan di sebuah tempat di kota yang sekarang menjadi ibukota Kabupaten Malang, yaitu Kepanjen. Kata Kepanjen sendiri berasal dari kata Kepanjian, yang berarti tempat Raden Panji. Makamnya sekarang berada di belakang Kantor Diknas Kabupaten Malang di Kepanjen.¤ Biodata Penulis: Abdul Mukhid, lahir di Malang 22 Februari 1974. Karya-karyanya tersebar di media maupun antologi puisi dan cerpen seperti Dian Sastro for President #2 Reloaded, Ponari for President, Grafiti Imaji, Ketawang Puspawarna, Pelangi Sastra Malang dan buku puisi tunggal Tulislah Namaku Dengan Abu. Kini bekerja penerjemah dan penulis lepas.

Bukit Majalengka. Karya: Uki

PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 33


PURAKARYA PUISI Cahaya Bening Oleh: M.F. Hazim

Mataku memancarkan cahaya bening Saat kau melihatnya Itu membuat diriku menjadi transparan Jiwaku yang rumit dan gusar Tak pernah bisa kusembunyikan Aku takkan bisa berbohong Karena mataku selalu memancarkan cahaya bening

Kita memiliki jembatan harapan Yang selamanya kan membentang Mengantar sewadah kristal yang manis Sebanyak itu yang aku berikan Coba bayangkan

Dalam gerak angin yang berlalu Bersama waktu Mimpi nyata ini takkan terlupakan

2015

Biodata Penulis: Nama lengkap penulis Mukhammad Faris Hazim. Saat ini tinggal di Sidoarjo. Blog: hazimwriter.blogspot.com. Penulis telah menerbitkan beberapa karya puisi dan cerpen dalam buku antologi.

PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 34


PURAKARYA PUISI Di Ujung Piloritas Daun, Kulamar Lelaki Merah Hati Oleh: Kinanthi Anggraini, M.Pd 1 Seringkali Tuhan Alam tertutup embun Menyamar roh haus di pancuran bulu Dan bangkit dalam doa

Aku memetik keterasingan tanpa sentuhan jarimu kidung-kidung di atas mawar dan desahan panjang dari pembebasan

Maka, aku menyalakan mata Saat batang tuli Pada suara tangis malam afotik di lembah Swan Misteri suci mencarimu Menuruni tiap lekuk bibir Pipi dan kening yang bingung Mencari tetes keringat jatuh di dada merekah milikku

Merintih manis Dalam prosa hidup Milik sajak yang kuubah sedikit mencoba meredam gelora kecupan kekasih Berwarna kekhawatiran wajar Di jari-jari mata angin

Selimutmu tertinggal Dihangati nyala api hutan Serangan liar turun dari bintang kejora mata gemintang Sedang menukar warna darahku Dengan padang rumput tanpa api Membuai ingatan di kebun kita sampai liang lahat Sampai tumbuh bunga bakung Sampai hilang perasaan aneh Sampai mutlak mencintai 2 Musim gugur mendengar Kisah-kisah gelombang akar disembunyikan pohon Dari temaram harum bunga Jendelaku dirasuki cinta napas bagai lautan mengering di ingatan senyuman bumi

3 Adakah sekecup ciuman, penyair? Panorama kenangan itu Mengitari seringan awan Warna berbeda di sisi tanah Di puncak senja rumah kita kelak Apakah gaib itu menyiapkan cinta? Saat cadar dadaku melahirkan anak Buah melagukan dendang hampa Pada angin sepoi yang rumit Mandilah bersamaku Di kolam pelangi Saat kau datang 4 Kerinduan ini adalah sarang dari pohon almond Menggubah kabut menjadi matahari Kelemahan ramah keagungan batin Cabang-cabang yang mati Tanpa partikel puisimu Meskipun getar nada memecah sunyi Menghabiskan air mata di dasar jurang Terbelenggu gelap impian Kau masih berkedip Bagai ruh yang hidup di cermin jernih kugantungkan bunga untukmu PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 35


PURAKARYA PUISI Di langit tiang pualam 5 Seringkali Tuhan Alam tertutup embun Menyamar roh haus di pancuran bulu Dan bangkit dalam doa daunku Maka, aku berlayar harapan Di depan pintu denyar Saat gerimis luruh pada pias Menabuh genting Seperti bunga tidur yang mekar siang hari Rindu meminangmu Di deretan potret berjejer Menyampaikan pinangan pada tali temali Perapian pohon pangkal duri Di depan muntahan serangga Aku mencoba mengikuti embun Berbekal botol mengkerut kertas lusuh catatan usang bekas air mata Merambat pada rumput liar Yang bosan jadi kupu-kupu 6 Aku membawakan Rose dalam gelas arum manis Untuk melamarmu. Garut, Maret 2015

PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 36


PURAKARYA PUISI Tombak Teheran

: Mahmoud Ahmadijenad

Melihatnya berkaca di depan cermin pagi itu. Kudengar ia berbicara dengan bayangannya saat: "Ingat, kau tak lebih dari seorang pelayan. Hari depanmu dipenuhi dengan tanggungjawab besar yaitu melayani Iran". Setelahnya tas merah yang disiapkan istrinya tak lupa terbawa. Berisi roti isi keju yang ia makan dengan gembira. Karena telah lama, ia meniadakan sajian istimewa. Yang berlaku untuk orang nomer satu di negaranya. Semenjak hari pertama presiden ini menjabat. Seluruh karpet istana disumbangkan ke masjid-masjid kurang terawat. Tak lupa menyebutkan kekayaan yang ia punya. Mobil Peugeut tahun1977, rekening bank saldo minimum, sejumlah gaji dan rumah renta peninggalan 40 tahun lalu dari ayahnya. Tempat lingkungan kumuh, kota Teheran bernama. Sementara, aku mengagumi cara memperlakukan jajaran kabinetnya. Kerap memanggil untuk berkumpul di istana diberikan selembar dokumen untuk selalu mereka ingat. Berisi arahan hidup sederhana sesuai keringat. Dan juga rekening pribadi dan saudara, yang selalu diawasi dengan ketat oleh negara. Tak berhenti sampai di situ bijakkannya. Fasilitas pesawat kepresidenan telah ia ganti pesawat kargo. Untuk menepis kepentingan pribadi dan ego. Berimbas pada hematnya pajak masyarakat. Dan kelas ekonomi tak lupa ia pilih untuk berangkat. Inilah pria yang menggelar karpet di pinggir jalan. Saat mendengar panggilan ibadah berupa adzan. Dan bermuara suatu kebiasaan. Untuk senantiasa berbaur warga, tanpa harus beribadah di baris paling depan. Sesekali tak sengaja melihatnya bercengkrama. Bukan dengan menteri atau duta besar negara. Melainkan dengan pelayan kebersihan atau tukang kebun di depan istana. Jakarta, Maret 2015

Biodata Penulis : Kinanthi Anggraini, M.Pd lahir di Magetan, 17 Januari 1990. Karya puisinya pernah dimuat di beberapa media massa. Prestasi lain yang diraihnya yaitu menjadi Juara 1 Puisi Terbaik pilihan Gerbang Sastra, Bali (2014) Buku puisi tunggalnya berjudul Mata Elang Biru (Pustaka Puitika, 2014) Alumni Pascasarjana Pendidikan Sains UNS ini sekarang tinggal di Garut, Jawa Barat.

PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 37


PURAKARYA CERPEN

Oleh: Ade J. Asnira Baru saja ia rebahkan tubuhnya di atas ranjang namun tiba-tiba saja ia merasakan sakit di kepala yang begitu menusuk. Seakan beribu-ribu paku tajam dan panas ditancapkan. Pandangannya menjadi tak jelas. Ia sibuk dengan rasa sakit yang menggila di kepalanya. Menyusul kemudian ia merasakan panas di seluruh tubuhnya. Panas yang juga menggila dan membuat keringat bermunculan di seluruh tubuhnya. Lelaki itu mencoba berdiri namun semakin sakit. Ia rebahkan lagi tubuhnya dengan kasar. Serasa tertusuk-tusuk seluruh badannya dengan benda tajam. Tembok, jam dinding, poster, cermin, lemari, semuanya terlihat menertawakannya. Di kedua matanya, semua benda itu benarbenar menjadi makhluk hidup dengan kedua mata bulat besar dan merah, dengan alis tebal dan panjang, hidung besar dan berair, dan yang lebih membuatnya ngeri semua benda itu mempunyai mulut dengan taringtaring panjang yang terbahak-bahak menertawakannya. Hingga suara-suara tawa benda-benda itu memekakkan telinganya. Ia tidak tahan dengan sakit yang ia rasakan. Ia menarik-narik rambut panjangnya sendiri. Ia juga terus berusaha menutup telinganya dari suara-suara tawa

yang semakin memusingkan itu. Sedangkan panas tubuhnya pun semakin membakar kulitnya. Dengan kasar ia tarik kaos yang ia kenakan. Sembari mengerang, kaos itu sobek di kedua tangannya. Kemudian dilemparnya kaos itu ke sembarang arah. “Aaaarrrggghh….!” Hari sudah malam, Ratni yang sedang tidur dan mendengar teriakan adiknya, Sardi, seketika itu juga berlari mendekat. Diraihnya gagang pintu kamar Sardi. Ia ikut was-was, dadanya bergemuruh. Ratni panik karena pintu kamar Sardi terkunci dari dalam. “Sardi…!” “Buka Sardi…! Sira nang apa?i”1 Berulang kali Ratni mencoba membuka pintu kamar Sardi namun tak bisa. “Sardi…!” Tak ada sahutan sama sekali dari dalam kamar Sardi. Hanya erangan yang kembali terdengar. Suara gaduh jelas terdengar dari dalam kamar. Tak ambil pusing, Ratni keluar rumah dan berteriak-teriak minta tolong. “TOLONG…! TOLONG…!”

1

Kamu kenapa? PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 38


PURAKARYA CERPEN Hening malam itu pecah oleh teriakan lantang Ratni ke segala arah. Beberapa tetangga yang mendengar seketika keluar rumah dan menghampiri Ratni. Ratni menuntun ke dalam rumah. Tak perlu dijelaskan, tetangga yang saat itu masuk ke dalam rumah bisa mengerti sendiri apa yang sedang terjadi. Erangan dan suara gaduh dari dalam kamar Sardi masih jelas terdengar. Ratni hanya perlu mengatakan pintu terkunci maka tetangga yang masuk pun tahu pintu kamar Sardi terkunci sedangkan Sardi sendiri sedang mengerang dan kesakitan entah terkena apa. Dalam hitungan ke tiga, dua orang lelaki mendobrak pintu tersebut. Pintu terbuka. *** Ini jelas bukan sakit biasa. Sardi kalap melihat apapun yang menghampirinya. Dua orang yang pertama kali masuk dan mencoba menelikung kedua tangan Sardi tak pernah berhasil. Kedua orang itu kewalahan. Sampai-sampai salah satu dari kedua orang itu sempat terkena pukulan tangan Sardi yang menyerang sembarangan. Tak lama kemudian Mang Komsin yang berbadan besar dan dikenal bertenaga besar pula datang dengan lelaki lainnya. Mang Komsin pun mencoba ikut menenangkan. “Edan…! Tenaganya bukan seperti tenaga Sardi!” kata Mang Komsin sambil geleng-geleng di tengah kesibukannya mencoba membantu menenangkan Sardi. Ratni yang kini terduduk lemas melihat dengan nanar peristiwa itu. Pikirannya ikut tak menentu. Di matanya, lelaki yang kini mengamuk tak jelas itu bukanlah Sardi. Teriakan dan sorot matanya bukan seperti yang ia tahu. Meskipun ia sudah biasa melihat Sardi ngamuk setiap kali pulang nonton organ atau main

perempuan dan main judi, tapi Sardi yang malam itu tidak seperti yang ia kenal. Ratni benar-benar merasa melihat sisi lain dari adik lelakinya itu. “Panggil Wa Pelet2…!” kata salah seorang yang ikut mengerubung di rumah Ratni dini hari itu. “Hari masih gelap gini manggil Wa Pelet?” seorang lain menimpali. “Nanti ngganggu…” “Daripada tambah parah ngamuknya,” jawab lelaki yang mengusulkan. “Iya, benar. Ini pasti bukan sakit biasa.” “Kalau begitu biar saya saja yang panggil,” kata seorang bapak sembari beranjak keluar dari rumah Ratni dan menuju rumahnya kembali. Disusul kemudian terdengar derum suara motor di kejauhan. “Panas, Mbok…!” “Aduh lara…!!!” erang Sardi. Di tengah kegaduhan Sardi yang terus saja mengerang, jika diingat-ingat lagi sebenarnya tak ada yang aneh dari diri Sardi. Ratni tahu benar seharian itu Sardi ke mana dan melakukan apa. Maka ia katakan yang sebenar-benarnya saat Bik Yum menanyakan apa yang dilakukan Sardi sore tadi. Yang ia tahu Sardi nglayab dengan Rato, Dul dan Simin ke Gunung Gundul. Semua warga sudah tahu bahwa Gunung Gundul sebenarnya hanyalah kelokan jalan dengan warung remang-remang berjejer dan jalan itu menuju gunung yang sudah gundul karena diambil isi perutnya untuk produksi semen. Dan baru jam 2 dini hari Sardi pulang. Setelah itu yang Ratni tahu hanyalah Sardi yang mengerang keras dari dalam kamarnya. Benar-benar tak ada yang aneh dari gelagat Sardi sebelumnya. Bik Yum yang 2

Pelad. PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 39


PURAKARYA CERPEN mendengar penuturan Ratni pun tak bisa memperkirakan apa sebenarnya yang terjadi pada Sardi. Sampai sepuluh menit kemudian

memandangi Sardi. Erangan Sardi masih terdengar. Sesekali keras dan sesekali melemah. Hingga terdengar dari kejauhan bunyi sholawat yang memang selalu dipujikan sebelum Dan tepat ketika sayup-sayup terdengar waktu shubuh tiba, kedua bibir Wa Pelet bergerak-gerak. adzan, Wa Pelet berdiri seraya mengambil Lelaki tua itu sedang melafalkan sesuatu. segelas air putih di depannya. Detik Dengan isyarat Wa berikutnya segala apa yang dilakukan Wa Pelet minta disediakan air putih di hadapannya. Setelah Pelet menjadi perhatian oleh semua orang air putih tersebut yang menyaksikan. disandingkan, kembali ia membacakan sesuatu seperti… do’a. Tapi semua orang yang menyaksikan kejadian itu tak mengerti apa dari kejauhan terdengar kembali suara yang dilafalkan Wa Pelet. Mereka hanya motor yang semakin lama semakin yakin bahwa apa yang dilafalkan Wa Pelet terdengar mendekat. adalah sebuah mantra untuk menghilangkan “Wa Pelet sudah datang,” suara penyakit atau semacamnya. seseorang setengah berbisik. Dan tepat ketika sayup-sayup Lelaki beruban dan kurus yang terdengar adzan, Wa Pelet berdiri seraya dikenal sebagai Wa Pelet itu bergegas turun mengambil segelas air putih di depannya. dari motor dan membelah kerumuman Detik berikutnya segala apa yang dilakukan warga yang sedari tadi berjejal di depan Wa Pelet menjadi perhatian oleh semua rumah Ratni. Sesampainya di dalam Wa orang yang menyaksikan. Pelet menanyakan hal yang sama persis Dibasuhnya muka Sardi dengan air dengan apa yang ditanyakan Bik Yum putih yang Wa Pelet bawa. Basuhan pertama sebelumnya pada Ratni. Wa Pelet pun membuat Sardi mengerang. Basuhan ke dua menggelengkan kepalanya setelah erangan Sardi melemah. Dan pada basuhan mendengar penuturan ulang dari mulut ke tiga mulut Sardi tertutup hanya kedua Ratni. matanya kini melotot pada Wa Pelet. Sejenak kemudian Wa Pelet duduk “Tingeling…! Tingeling…! bersila di depan pintu kamar Sardi. Matanya Tingeling…!” kata Wa Pelet sambil tepat tertuju pada Sardi yang masih memegangi kepala Sardi dan sedikit kelojotan. Ketiga lelaki termasuk Mang menghentakkannya. Komsin yang masih terus berusaha Ajaib. Sorot mata Sardi langsung menenangkan Sardi tampak lebih kepayahan melemah dan seluruh tubuhnya yang tadi dari sebelumnya. Namun erangan Sardi kuat memberontak pun melemah. mulai melemah. Wa Pelet merasakan hawa Ratni menghembuskan nafas lega. panas memenuhi ruangan kamar. Keributan Usai sudah. di luar seketika surut. Hanya bunyi bebisik “Tingeling cila uh ulip nging yang kini terdengar. ndungnya. Tingeling nging engelan. Wis Kurang lebih 20 menit lamanya Wa wayas…!” Pelet hanya duduk di pintu kamar sambil

PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 40


PURAKARYA CERPEN Baru setelah Wa Pelet sudah kembali di antar pulang, seseorang berkata, “Kata istrinya, yang dilakukan Wa Pelet sebenarnya hanya berdo’a. Tapi sangat manjur.” “Do’a orang seperti Wa Pelet kan ana sing ngrewangi…. Ada yang membantu.” Tegalkarang, 14-09-15 22:54

Catatan: - Tingeling berasal dari kata sing eling yang mempunyai arti sadarlah; yang sadar. Bermaksud untuk menegaskan pada seseorang supaya sadar dengan apa yang telah dilakukan. Kata Tingeling biasa digunakan oleh orang Cirebon saat memberi pelajaran sambil memukul dan mengingatkan bahwa kesalahan harus diakhiri dengan bertobat. ¤

Biodata penulis: Ade J. Asnira saat ini berdomisili di Taoyuan Taiwan. Beberapa cerpennya pernah diterbitkan dalam antologi sebagai berikut: Melukis Ka’bah (Lovrinz Publishing-Mayor), Empati Demi Surgawi (Kaifa PublishingMayor), Kisah Dari Rumah Kambira (Smart Writing Publishing-Indie), Secawan Harapan (AG Litera-Indie). Beberapa puisinya pernah juga dimuat dalam antologi Suara Yang Terbungkam (Nida Dwi Karya PublishingIndie), NOL (Deka Publishing). Penulis bisa dihubungi melalui junitaade08@gmail.com.

Belalang dan Sawah. Karya: Uki

PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 41


PURAKARYA CERPEN

Oleh : Eva Riyanty Lubis

M

alam-malamnya mendadak menyeramkan. Embusan angin yang biasanya dia cintai tak mampu lagi membuatnya tenang. Apalagi kerlap-kerlip bintang di langit. Baginya, mereka seolah tersenyum sinis. Dia tak ada teman. Manusia pun satu-persatu menjauhinya. Entahlah. Dia yang menjauh, atau dia yang dijauhi. Jalan Untuk Pergi. Karya: Rizal Dinda telah berubah. Tidak lagi riang. Tidak ada tawa bahagia. Senyum kenal dengan baik. Masalahnya, kenapa simpulnya padam seketika. Tubuh sekarang kamu bisa suka dengan lelaki yang mungilnya pun mendadak semakin baru kamu kenal? Dua hari, Dinda!” mengecil. Seolah bumilah yang membuat Dinda tertawa kecil. Sudah menduga dia seperti ini. Matanya menebar ketakutan. kalimat yang akan keluar dari bibir Siti. Harapannya pupus satu persatu. “Siti, cinta itu bisa datang kapan saja, *** di mana saja dan pada siapa saja,” kata “Kau beneran suka pada lelaki itu?” Dinda diplomatis. tanya Siti dengan kening berkerut. Malam itu “Jiah! Sejak kapan kau percaya mereka tengah duduk berdua di balai taman dengan kalimat murahan itu?” Siti gelengkota geleng kepala tidak percaya. “Dari awal aku Dinda menyipitkan mata seraya kurang setuju dengan hobi travelling-mu itu. berujar, “Ada yang salah?” Masa capek-capek kerja dari Senin sampai “Nda, aku nggak habis pikir deh. Jum’at, Sabtu sama Minggunya selalu kau Sudah empat tahun kita merantau di kota habiskan dengan jalan-jalan?” Medan ini. Ada banyak lelaki yang suka dan “Aduhhh Sitiiii…. Stop deh! Jangan mendekatimu. Sebagian dari mereka aku kaya emakku. Aku suka jalan-jalan. Dan

PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 42


PURAKARYA CERPEN kamu juga tahu kalau salah satu impian terbesarku adalah keliling Indonesia. Aku ingin menikmati keindahan alam yang diberikan Sang Pencipta ini.” “Oke, oke. Aku terima. Kembali ke topik utama. Aku nggak setuju kalau kamu suka sama lelaki itu. Siapa namanya?” “Karno,” tegas Dinda cepat. “Whatever-lah! Pokoknya aku nggak setuju. Tampangnya aja tua gitu. Janganjangan udah punya bini. Ihhhh seraaaam!” Dinda memang sudah menunjukkan foto Karno kepada Siti. Waktu itu Dinda pergi ke Gunung Simeru. Di sanalah dia bertemu dengan Karno. Orang Jawa yang sedari kecil tinggal di Bali. Sesungguhnya tidak ada yang begitu istimewa dari Karno. Tubuhnya tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu pendek. Badannya tidak gemuk dan tidak juga kurus. Kulitnya sawo matang. Pas bertemu Dinda, cambangnya malah sedang awut-awutnya. Wajahnya pun benar-benar khas Asia. Jadi, apa yang membuat Dinda jatuh cinta pada pandangan pertama kepada lelaki itu? “Haduh, Siti. Seharusnya kamu ngasih support kepadaku. Bukan malah berpikiran negatif seperti ini.” Hari-hari Dinda semakin berwarna. Karena ada Karno di sisinya. Meski mereka hanya bisa berhubungan jarak jauh, dia memberikan harapan besar pada hubungan itu. *** Dinda tengah terserang dingin teramat akut kala Karno menemukannya.

Lelaki bercambang itu menutupi tubuh Dinda dengan jaket tebal miliknya. Dinda telah kehilangan tenaga. Namun dia masih sanggup untuk memandangi sang penolong. Tanpa banyak bicara, Karno memapah Dinda untuk masuk ke dalam tendanya. Sedang tenda milik Dinda bermasalah sehingga tidak bisa didirikan. Waktu itu, Dinda hanya seorang diri ke gunung Simeru. Dia memang terbiasa sendiri. Menurutnya solo traveller tidak selamanya seorang diri. Sebab dia pasti akan menemukan banyak orang selama perjalanan. Namun untuk perjalanan kali ini, seharusnya dia memang tidak seorang diri. Karno memberikan air hangat kepada Dinda. Dinda meneguk sebanyak yang dia butuhkan. “Istirahatlah. Semua bakalan baikbaik saja,” ucap Karno setengah berbisik. Dan setelah itu, tiba-tiba saja Dinda terlelap dalam mimpi indahnya. Keesokan paginya, Dinda sudah berhasil mendapatkan kembali tenaganya. Dia mencari sang penyelamat. “Terima kasih,” kata Dinda tulus. Karno pun membalas dengan senyuman terbaiknya. “Tidak masalah. Kau sudah baikan?” “Ya.” “Bersyukurlah pada-Nya.” Dinda kembali menganggukkan kepala. “Kau seorang diri?” tanya Karno kemudian. “Tidak. Ada kau dan yang lainnya di

“Dan kehilangan tak pernah lebih pedih dari mencintaimu. Sementara melupakanmu, hanyalah caraku menipu rasa sakit.”(Agus Noor). PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 43


PURAKARYA CERPEN sini,” jawab Dinda sembari memandang orang-orang disekeliling mereka. Karno terkekeh. “Aku tahu kalau kau itu perempuan yang tangguh.” “Aku tidak bilang seperti itu,” jawab Dinda dengan rona merah yang tiba-tiba menjalari wajahnya. “Kau selalu seorang diri?” “Hmmm…. Lebih sering, iya.” Karno menganggukkan kepala. “Sudah kuduga. Oh ya, kau pasti lapar. Aku ada kue. Silahkan dimakan dulu. Perjalanan masih panjang.” Karno menyodorkan dua bungkus roti kecil kepada Dinda. Dinda pun menerimanya. “Alam ini sangat indah,” ucap Karno sembari tidak melepaskan pandangan pada hamparan hijau di sekeliling mereka. “Ya. Tidak ada yang lebih indah selain menikmati keindahan alam hadiah dari Sang Pencipta ini.” “Akan lebih baik kalau menikmatinya dengan pasangan,” sahut Karno terkekeh. “Hmm…. Aku kurang setuju,” jawab Dinda tegas. “Apalagi perempuan seperti kamu. Kejadian tadi malam sudah sangat fatal. Bagaimana kalau sampai terjadi sesuatu sedangkan kamu hanya seorang diri ke sini?” Dinda terdiam. Memang selama ini dia tidak begitu merasa bermasalah bepergian seorang diri. Namun yang dialaminya kemarin malam benar-benar di luar perkiraannya. “Oh ya, aku Karno.” “Din… Dinda,” jawab Dinda gelagapan. Setelah itu, Dinda memutuskan untuk jatuh cinta kepada Karno. Tanpa pertimbangan apapun. Yang dia tahu, Karno telah berhasil menyentuh hatinya yang terdalam dengan waktu yang sangat singkat. Ya, Karno berhasil membuka hati Dinda yang telah terkunci sekian lama. ***

“Kamu pacaran dengan lelaki yang tidak jelas!” gusar ibunya Dinda kala Dinda pulang ke kampung halamannya, Semarang. “Siapa bilang tidak jelas sih, Bu?” “Kalau jelas, dia seharusnya datang ke rumah kita. Memperkenalkan diri pada Ibu, Bapak dan saudara-saudaramu!” “Dia lagi sibuk, Bu!” jawab Dinda tidak ingin Karno disalahkan. “Pokoknya Ibu ingin kamu segera menikah! Ingat usiamu, Dinda!” Dinda memang anak tertua. Dia memiliki lima orang adik yang rata-rata kesemuanya masih bersekolah. “Bu, Dinda belum ingin menikah. Dinda masih harus bekerja. Ibu yang sabar dong! Lagian zaman sekarang ini menikah muda lebih banyak efek negative-nya. Ibu nggak lihat di tivi banyak kasus perceraian karena menikah muda?” “Kamu tidak muda lagi, Nda! 27 tahun! Sebaiknya kamu berhenti merantau dari Medan dan pulang ke sini. Nikah dan jadi ibu yang baik. Toh selama merantau uangmu selalu kamu hamburkan dengan jalan-jalan nggak jelas itu.” *** Pertemuan kedua Dinda dengan Karno. Dinda berkunjung ke Bali sesuai keinginan lelaki yang telah menjadi kekasihnya itu. Seharian mereka habiskan dengan berjalan-jalan ke sana kemari. Melepaskan rindu yang telah menggunung. Malamnya, tanpa pikir panjang, Dinda menyerahkan diri seutuhnya kepada lelaki itu. Karno menghilang. Dinda sudah menelusuri jejak lelaki itu. Namun dia tetap tidak menemukannya. Perasaannya hancur lebur seketika. Sedangkan janin di dalam kandungannya kian hari kian membesar. Ketika usia kehamilan Dinda memasuki enam bulan, dia menemukan fakta menyakitkan. Karno sudah memiliki istri. Namun selingkuhannya bertebaran di

PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 44


PURAKARYA CERPEN mana-mana. Dinda meminta pertanggungjawaban, sayang permintaannya ditolak oleh Karno. Hati Dinda remuk. Apalagi tidak ada lagi orang yang ada di saat dia kesusahan seperti ini. Semua menjauh. Memandang rendah kepadanya. Seolah dia kotoran paling menjijikkan di atas bumi.

“Jangan pernah berpuas diri di titik yang sama. Teruslah berputar.” Dee-Supernova: Akar

Dia tak lagi ingin apa-apa dari bumi. Dia ingin ditelan. Tenggelam bersama asa. Karena menurutnya, itulah yang terbaik baginya saat ini. Lalu Tuhan menjawab pinta Dinda. Ketika proses persalinan Dinda selesai, dia pergi menghadap Yang Maha Kuasa. Sedang bayi perempuannya menangis hebat sepanjang malam. ¤ Biodata Penulis Eva Riyanty Lubis, lahir di Padangsidimpuan, Sumatera Utara, pada 13 Mei 1992. Karya berupa cerpen, puisi, artikel, tulisan perjalanan dan resensi yang telah dimuat ada di Smile E-Magz, Majalah Inspirasi, Batak Pos, Majalah Imut, Annida Online, Riau Hari Ini, Radar Bojonegoro, Waspada, Medan Bisnis, Analisa Medan, Tabloid Gaul, Kompas Anak, Majalah Gadis dan Majalah Reader’s Digest. Sedangkan novel yang sudah terbit berjudul Me And My Heart (Zettu, Desember 2012), Rasa Hati (Hi-fest Publishing, Desember 2013), Putri Ping (Indiva, April 2014), dan Perfect Day (Elex Media, Desember 2014).

Jembatan Kecil. Karya: Layung Kemuning

PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 45


PURAKARYA CERPEN

Disapu angin. Karya: Uki

Oleh : Nur Aini Salsabila Airmataku masih terus mengalir, seolah-olah turut berkisah tentang kepedihan hidup yang tak kunjung pamit dari wajah. Merenggut manis senyumku dan menggantinya dengan wajah sangar yang cemberut. Rumit, itu yang dia ucapkan minggu lalu saat aku mengutarakan untuk mengadopsi seorang anak. Bahkan cicakcicak pun enggan bersuara ketika dia mulai menentang keinginanku. "Bagaimana bisa kamu berfikir seperti itu?" katanya sedikit ketus. "Kita bahkan belum mempunya rumah, dan masih tinggal di rumah kontrakan sudah berani membebani diri dengan mengadopsi anak. Nyamuk-nyamuk yang numpang hidup di kontrakan ini saja, yang setiap harinya kenyang dengan darah kita saja tahu hidup kita susah, sampai-sampai membeli obat nyamuk saja tiada mampu, masih saja gaya-

gayaan membantu keluarga oranglain. Siapa suruh mereka melahirkan banyak anak jikalau mereka tidak mampu mengurus dan membiayai anak-anaknya? Pokoknya aku sebagai imammu tidak setuju kau mengadopsi anak!" Nada bicaranya makin terdengar meninggi. Kami memang tidak berasal dari keluarga yang berada, suamiku hanya seorang buruh pabrik, dan aku hanya seorang buruh cuci. Gaji kami berdua sebulan jika digabungin tidak lebih dari Rp. 2 juta. Dengan gaji pas-pasan seperti itu memang menambah biaya jika harus mengadopsi atau memilki seorang anak. Kebutuhan dapur, air, listrik dan biaya sewa rumah ini jika ditotalkan mencapai satu setengah juta. belum lagi jika ada keperluan mendadak yang mengharuskan keluarnya biaya, seperti sakit, sembako naik dari harga standar.

PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 46


PURAKARYA CERPEN Namun dua tahun ini aku sangat merasa kesepian tanpa kehadiran seorang anak dalam rumah kontrakan ini. Terkadang jika berjalan di emperan toko yang menjual pakaian dan aksesoris anak, hatiku begitu miris. Seakan-akan ingin sekali turut membeli beberapa helai dan membawanya pulang ke rumah. Tidak jarang aku berhenti lama hanya untuk sekedar melihat aktivitas dalam toko, seperti para ibu-ibu hamil yang mengelus-elus perutnya dan asyik memilih pakaian untuk anak yang masih dalam kandungannya. Ataupun sekedar melihat suami-suami yang begitu romantis menemani istri dan anaknya belanja pakaian anak model-model masa kini yang begitu lucu dalam pandangan mataku.

Ah, aku hanya mampu menelan ludah, bagaimana bisa punya anak, jikalau waktu dan perhatian dari suami saja jarang aku dapatkan, gumamku dalam hati. *** ‘Malam ini aku lembur sayang.’ Pesan singkat yang dikirimkan suamiku bertandang dalam kotak pesan hapeku. Lagi-lagi malam tahun baru ini kulalui sendiri. Aku tahu, setiap malam tahun baru karyawan pabrik tempat suamiku bekerja, selalu mendapat perintah lembur karena tingginya pesanan dan kurangnya tenaga kerja aktif. Ya, sebagian dari karyawan pabrik memilih cuti dan berlibur bersama anak-istrinya, menikmati liburan akhir tahun dengan berkumpul bersama orang-orang yang dikasihinya. Sedangkan kami hanya bisa melaluinya di dua tempat yang berbeda, tanpa adanya makan malam

bersama, kata-kata romantis ataupun pelukan kasih sayang sebagai tanda keharmonisan hubungan. Bahkan fikiranku yang dangkal ini terkadang menyimpulkan bahwa dia tidak mencintaiku. Ah, tidak! Aku tidak ingin itu terjadi walaupun pernikahan kami terjadi hanya karena perjodohan orangtua semata, tanpa cinta pada pandangan pertama, tanpa permainan lirikan mata. Tapi tetap saja pikiran itu mengganjal. Apalagi jika mengingat ketika dia berada di rumah dia lebih banyak menghabiskan waktu menonton bola dan sibuk mengurusi peliharaannya sendiri daripada bercakap-cakap atau bercanda tawa denganku. Ya, pernikahan sakral yang menjadi kaku karena adanya keengganan saling menerima dan belajar berbagi rasa. Dimana kami memilih memikul rasa yang kami hadapi pada bahu masing-masing. Terkadang juga lebih memilih menenggelamkannya pada bantal yang mulai kehilangan empuknya karena seringnya kebasahan air mataku. *** Aku sudah terbiasa melalui tahun baru hanya dengan suara petasan, kembang api dan suara musik electon dari para rumah tetangga, serta mencium aroma sate dan harumnya ketupat dari bilik kamar yang tak berdaun jendela, hidungku bahkan juga sudah mampu menebak si pembuat sate hanya dengan mencium aromanya, ya aku sudah hafal betul. Mereka berpesta pora, merayakan pergantian tahun dengan terompet sekali pakai, yang menurut

“Seseorang semestinya memutuskan bersama orang lain karena menemukan keutuhannya tercermin, bukan ketakutannya akan sepi.� (Dee – Rectoverso)

PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 47


PURAKARYA CERPEN

Papan Pijak. Karya: Layung Kemuning

suamiku kelakuan mereka hanya menghambur-hamburkan uang semata. Sementara aku hanya bisa terbaring, merebahkan tubuh karena lelah sambil mengkhayalkan masa pergantian tahun baru kemarin, ketika aku masih menjadi seorang gadis cantik dan periang. Tidak diragukan, kecantikan dan kemolekan tubuh membuatku seperti kembang desa yang pastinya membuat mabuk mata lelaki yang memandang. Saat-saat siapapun ingin, bahkan berlomba-lomba ingin memilikiku. Hingga akhirnya orang tuaku memilih dia untuk menjadi suamiku, dan karena baktiku kepada orang tua, aku tunduk untuk dimilikinya lahir batin, walaupun wajahnya tidak semenarik dan setampan kumbangkumbang yang dulu selalu gencar menggodaku. *** Pemandangan tahun baru seperti ini tidak lagi asing bagiku, maklum saja aku dan suami mengontrak rumah di kawasan yang penduduknya termasuk orang elit dan aku menyandarkan penghasilanku pada upah dari mereka sebagai buruh cuci panggilan.Dari cerita para Ibu-Ibu majikan, dapat kusimpulkan rata-rata pekerjaan suami mereka adalah pengusaha sukses dalam bidang pemerintahan maupun swasta. Perbedaan yang cukup signifikan ini yang membuatku susah bergaul dengan mereka. Ya, malu miskin sendiri.

*** Jam di dinding menunjukkan pukul 00.00, setengah jam lagi suamiku pulang, aku tidak berharap dia membawa sekotak sate, martabak manis atau sebungkus es krim coklat kesukaanku. Aku hanya berharap dia datang dan memeluk untuk menandakan kalau dia menerimaku sebagai istrinya, agar rasa kesepian ini terusir. Aku menunggunya di sofa sambil berbaring, kesibukan sebagai buruh cuci sedikit membuat pinggang dan punggungku pegal-pegal. Dan membuatku kehilangan kesadaran, larut dalam lelap dan lelah yang senantisa membelengguku. Entah sudah berapa lama aku tertidur, ketika aku terjaga belum juga ada tanda-tanda kedatangannya. Aku mengambil hape di atas meja dan mencoba menghubunginya, namun suara dari balik telpon genggam sana begitu mengagetkanku. "Halo, ini siapa?" Suara perempuan terdengar nyaring di telingaku, aku mulai panik dan membanting hapeku ke lantai. Tepat dugaanku, dia pasti masih berhubungan dengan mantannya. Seperti sinetron di tv yang sekarang banyak bercerita tentang perselingkuhan. Emosiku memuncak, airmataku tak terbendung. Tunggu saja, bila nanti kau datang aku akan mencekik lehermu, menjambak-jambak rambutmu sampai PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 48


PURAKARYA CERPEN engkau mengakui semuanya, gumamku nyaris tak terdengar. Dan pekatnya subuh kembali membawaku kedalam buaiannya hingga pagi menjelang. *** Jam menunjukkan pukul 06.00 pagi, suara gedoran dari balik pintu membuatku terkejut bukan kepalang. Seperti dentuman petasan yang kudengar semalam ketika kalender menggugurkan angka 31 nya dan menyisakan angka 1. Aku yang sedari tadi membereskan perabotan di dapur, sudah mempersiapkan sebilah pisau di balik sakuku. Ya aku telah merencanakannya sematang mungkin. Jika dia tidak bisa kumiliki, orang lain pun tidak boleh memilikinya. Niat untuk menghabisinya telah bersarang dalam. Pernikahan tidak seperti ini, aku akan bahagia selepas ini, meskipun masa depan harus kujalani dalam jeruji besi atau di .... Entahlah! Aku telah gelap mata sambil sedikit berlari kecil menyongsongnya, seluruh tubuhku bergetar menerka-nerka kejadian apa yang akan terjadi selanjutnya.Namun alangkah kagetnya ketika aku membuka pintu, sosok Ibu tua langsung memeluk tubuhku, aaahh aku pasti bermimipi. "Ibu, ini Ibu kan?� kataku sedikit tak percaya. Ibu mencubitku agak keras di pipi. "Iya Nak, ini Ibu, suamimu menjemput Ibu di kampung semalam untuk menemanimu, dan Ibu mengajak keponakan kamu untuk ikut serta, kata suamimu engkau sudah sangat ingin mempunyai anak," tunjuknya ke bayi yang sedang digendong suamiku. "Dan suara yang kamu dengar semalam itu suara sepupumu, Ibu menyuruhnya mengangkat telpon darimu, karena suamimu sudah tertidur pulas karena menempuh perjalanan jauh tanpa istirahat, Nak." Terang Ibu panjang lebar melanjutkan

pembicaraan. "Ibu berniat memberitahukanmu namun telponnya langsung terputus tiba-tiba." Mataku berkaca-kaca, mungkin Ibu tidak dapat membaca perubahan ekspresi wajahku saat itu, namun sejuta sesal atas kebodohanku tidak mempercayai suamiku sendiri menampakkan wujud istri durhaka di wajahku. Subhanallah, walhamduliilah .... Aku berlari memeluk suamiku dan memohon maaf untuk kesalahpahamanku. Aku menyadari kesalahanku, ternyata suamiku hanya ingin aku mengadopsi anak dari keluarga aku sendiri, bukan dari orang yang sama sekali tidak bertalian darah denganku. Kurasa ini kado terindah darimu Tuhan, yang kau titipkan ke tangan suamiku yang berwajah pangeran. Pisau yang berada di balik sakuku pasti ikut tersenyum karena tidak berhasil melukai dan menggores sedikitpun kulit dari orang yang soleh seperti suamiku. Atau mungkin menarik napas leganya karena terhindar dari cipratan darah dan napsu binatangku yang terbersit beberapa jam lalu. "Selamat tahun baru honey," kecupan yang mendarat di keningku menutup kekesalan dan menggantinya dengan senyum kebahagiaan. Sekaligus membuyarkan ingatan tentang pisau di balik sakuku. Aku mengangguk perlahan dalam hangatnya pelukannya, "Terima Kasih sayang," ucapku di tengah isak bahagia. Serasa ingin mendekapnya erat dan tak ingin lagi kulepaskan. Bahagia yang dia persembahkan hari ini, akan kubayar dengan sepenuh bakti. "Terima kasih Tuhan, Ibu, Ayah. Telah kau pilihkan dan izinkan dia menjadi seorang imam, sebaik-baiknya imam, dalam hidupku." Gumamku dalam hati. ¤

PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 49


PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 50


SASTRA CYBER

dalam Perubahan sosial dan Budaya Perubahan Sosial dan Budaya. Perkembangan suatu bangsa dari jaman ke jaman memang selalu berubah-ubah, tergantung segala sesuatu yang mengimprovisasinya. Adalah pemandangan yang tak aneh di jaman yang serba modern ini, di mana segala sesuatu yang berseberangan tentunya akan menuai efek negatif di kalangan tertentu. Dulu sebelum era internet masuk ke tanah air Indonesia mungkin keadaannya sangat berbeda, apalagi di jaman orde baru, di mana segala sesuatu yang mencuat ke permukaan khususnya melecehkan pemerintahan, saya yakin tak akan lama ia bisa lantang-lantang bicara. Di mana nilainilai adat dan budaya masih dikatakan lekat. Sehingga sebagian orang masih berpikir dua kali terhadap hal-hal yang berkenaan dengan tabu. Meskipun respek yang terlihat di jaman itu seperti demikian, namun sebagian orang di jaman ini tak kurang dan masih banyak yang bertahan dengan adat dan budaya yang berlaku turun temurun di

daerahnya.

Peran Sastra Cyber Dalam Perubahan Sosial dan Budaya. Keberadaan internet yang hampir menjangkau pelosok-pelosok tentunya membawa perubahan yang sangat aktif di dunia nyata. Peranan-peranan yang digunakan dalam sosial media seperti facebook, twitter, blog dan lain-lain memunculkan generasi-generasi sastra baru. Dengan mempunyai nama komunitas tersendiri yaitu “sastra cyber". Sastra Cyber pun terus berkembang mengikuti perkembangan yang terjadi di dunia nyata. Terlebih hampir semua jenis ponsel di jaman ini sangat mendukung, sehingga jaringannya bisa diakses dari mana pun dan kapan pun. Munculnya segala apa yang bisa merusak moral di internet sangat begitu mudah di temukan. Tak jarang juga terdengar berita tentang yang tak lazim di kalangan masyarakat kita, dan asal muasalnya semua menunjuk kepada internet. Maka dari itu kerusakan moral dan budaya

“Seseorang yang melakukan kesalahan dan tidak membetulkannya telah melakukan satu kesalahan lagi.� Confucius.

PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 51

Sumber foto: http://www.anneahira.com/faktor-pendorong-perubahan-sosial.htm


SASTRA CYBER sudah jelas terlihat lambat-laun semakin menggerogoti bangsa ini. Baiklah kita kembali ke topik utama kita di mana-peran-sastra cyber sangat aktif mengikuti segala hal yang terjadi di dunia nyata. Meskipun keberadaannya tak bisa di pisahkan dari hal yang berbau internet namun sastra cyber selalu terus bergerak seperti memonitori segala hal yang terjadi. Munculnya event-event sastra, karya-karya sastra yang selalu bersinggungan dengan adanya budaya yang terlunta, perubahan sosial-penindasan kaum kapitalis-dsb. Tentunya tak aneh bagi yang selalu berselancar di dunia maya (cyber) karena pastinya sangat mudah ditemukan khususnya bagi para pengguna sosial media facebook. Sebagai contoh karya puisi di bawah ini. Budaya Yang Terlunta; Oleh: Dian Rusdi

Budayaku di ambang kematian Mendera di setiap jiwa Tak ada lagi seruling Gembala Tak ada lagi tetabuhan Gendang, Kecapi, Kolintang Hanya sedikit saja. Terlindas roda jaman Lebih memunculkan seni :Tak berpendidikan, Budaya negeriku terlunta. 07/11/2013 22:42 Munculnya lomba dan karya sastra di dunia cyber yang mengusung tema pembelaan hak, kekecewaan, kebudayaan yang hilang, rakyat yang kelaparan dan lain sebagainya, menjadi satu tolak ukur bahwa sastra cyber sangat aktif berperan dalam perkembangan—perubahan—sosial khususnya di tanah air kita tercinta ini. ¤ (D.Rusdi/Puraka)

Terik di Pantai Guanyin. Karya: Ade Junita

PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 52


SASTRA CYBER

Bebas Mobil Karya: Ade Junita

Artikel yang akan saya bahas kali ini adalah tentang peran serta sastra cyber dalam mendorong perubahan sosial di tanah air. Sebenarnya peran sastra cyber di dunia nyata telah berlangsung lama, tapi mungkin kita jarang memerhatikan hal-hal kecil seperti ini, karena terlalu fokus pada sesuatu yang bersifat nyata dan terlihat mata. Setiap waktu lingkaran hidup tak berhenti berubah, seperti roda yang terus berputar. Perubahan sosiologi di tatanan masyarakat pun sedikit demi sedikit terlihat, seiring generasi dan keadaan yang melingkupi di sekitarnya. Sastra cyber tidak hanya berkutik mengenai kegiatan-kegiatan semacam diskusi dan lain sebagainya yang terjadi dan terus berlangsung melalui dunia cyber. Apalagi internet telah lama digunakan untuk

berbagi informasi. Adanya email atau surel lainnya telah ikut serta dalam memberi pergerakan sosial dalam masyarakat baik dalam jangkauan sempit ataupun luas. Dalam realitasnya sastra telah berhasil memberikan pengaruh yang besar pada tatanan masyarakat meskipun melalui jalur cyber. Meski demikian selalu ada dua sisi yang perlu dipertimbangkan dengan serius mengingat pengaruh dampak dari fakta ini adalah perubahan sosial. PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 53


SASTRA CYBER Dorongan Sastra dari Dunia Cyber Peran sastra cyber dalam mendorong perubahan sosial semakin gencar dilakukan, menyebar ke segala penjuru bumi. Demi menyeimbangi dan menekan perubahan sosial yang ada di kalangan masyarakat. Sebagai contoh, munculnya event-event menulis yang menghasilkan bukubuku sastra bernuansa religi, perkembangan akhlaq yang baik, runtuhnya sebuah akidah, efek buruk sebuah pergaulan, dsb. Atau pementasan-pementasan sastra atau drama, sastra yang dijadikan sebuah film, pertemuanpertemuan antar sesama penikmat sastra-kopdar-, dan sebagainya. Jelas itu adalah sebagian dari peran sastra cyber dalam mendorong perubahan sosial kepada dunia nyata. Mendorong agar kita tak melebihi batas dalam sebuah pergaulan atau sebagainya. Yang bisa menghancurkan jati diri Dalam Kios Buku kita sebagai makhluq yang Karya: Rizal bersosial. Mungkin memang kita jarang sekali memperhatikan hal tersebut, karena kesibukan atau juga terlalu bertele-tele. Padahal jika kita mau menengok serta mengajarkan minat membaca kepada anakanak kita, pasti akan sangat bermanfaat untuk perkembangan di masa depannya. Peran sastra--cyber--dalam mendorong perubahan sosial serta perkembangan akhlaq yang baik semakin terlihat jelas jika saja kita mau memperhatikan hal-hal kecil

seperti itu, contoh kecilnya bisa kita arahkan anak-anak untuk tidak hanya membaca komik saja melainkan buku pengetahuan mengenai bahasa dan budaya terutama sastra yang mengajarkan tingkah laku manusia di tengah-tengah masyarakat. Karena bukan mustahil hal yang besar itu bisa kita mulai dari hal-hal sederhana saja. ¤ (D.Rusdi/Puraka)

“Salah satu penemuan terbesar umat manusia adalah bahwa mereka bisa melakukan hal-hal yang sebelumnya mereka sangka tidak bisa dilakukan.� Henry Ford PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 54


PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 55


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.