Majalah purakasastra edisi x

Page 1

LIRISISME ?

Puisi ; Luapan Alamiah? Mendobrak Jurusan Lirisisme? Pribadi Liris Yang Kontemplatif Ketika Usmad Ganggang Berkata Tentang Sastra

EDISI X DESEMBER 2016


purakasastra

Kata Pengantar Metodologi berpikir manusia indonesia banyak direngkuh oleh lirisisme. Lirisis menjelma menjadi subyek yang hampir hadir dalam setiap karya sastra. Lantas, para penulis sastra seolah-olah akal budinya dikorupsi oleh cara berpikir liris. Entahkah ini sebuah kesalahan yang patut digolongkan kedalam kegagalan intelektualitas? Ataukah bagian dari logika kebenaran yang pantas diagungkan dan digaungkan? Majalah Purakasastra akan menjawabnya.

Majalah Purakasastra pada edisi ini mengulas sedemikian rupa gagasan tentang Lirisis. Para pembaca akan menemukan jawaban atas banyak pertanyaan tentang Lirisisme. Kami berharap tema yang digagas dan ditelaah oleh Tim redaksi membantu para pembaca untuk keluar dari kebuntuan ideologi sastra, terutama tentang teka-teki Lirisisme.

Selamat Membaca

Purakasastra

Majalahpurakasastra

@purakasastra

Purakasastra.blogspot.com

i


TIM REDAKSI Pemimpin Redaksi

: Richard Ricky Sehajun

Dewan Redaksi

: Dian Rusdi Alfa Anisa Neng Holip Gabryella Wardah Hany Juwita Nurul Latifah

Editor

: Dian Rusdi Gabryella Wardah

Desain Sampul dan Tata Letak : Gabryella Wardah

Kami menerima tulisan berupa kajian sastra, puisi, artikel, prosa, cerpen, drama, infomasi sastra, rresensi, ulasan tokoh, dll. Tulisan berkaitan dengan sastra. Silakan dikirim ke alamat redaksi :

artikelpurakasastra@gmail.com

Kontak Majalah: Richard Ricky Sehajun (0852 3346 7893)

ii


Daftar Isi 01. Kata pengatar……………………………………………………………………….. i 02. Catatan Anomali…………………………………………………………………… ii 03. Daftar isi ……………………………………………………………………………… iii 04. Catatan Anomali………………………………………………………………….

1

05. Kajian Sastra ……………………………………………………………………….. 3 06. Puisi ; Luapan Alamiah………………………………………………………… 4 07.

Mendobrak Jurusan Lirisisme…………………………………………………. 6

08. Lentera sastra……………………………………………………………………….. 10 09. Pribadi Liris Yang Berkontemplatif………………………………………… 11 10. Catatan Pe ndek Tentang Lirisisme dalam Sastra…………………….. 15 11.

Sastracyber…………………………………………………………………………….. 16

12. Lirisme di Era Postmodernisme………………………………………………… 17 13. Pengaruh Lirisisme dalam Sastra……………………………………………… 19 14. Purakarya……………………………………………………………………………… 20 15. Puisi-puisi Viola Anandya Marsha……………………………………….……. 21 16. Puisi-puisi Karya Kiara Vie…………………………………………………….… 23 17. Cerpen : Pesanku di saatku Bangun nanti…………………………………. 25 18. Parasastra…………………………………………………………………………..…. 27 19. Ketika Usman D. Ganggang Berkata Tentang Sastra………………….. 28 20. Infosastra…………………………………………………………………………………. 33

iii


Cacatan anomali

LIRISISME Liris, kerapkali dicap miris. Kemirisan itu, terletak pada skema sastra yang rawan berucap liris. Ucapan liris, seolah-olah menjadi penguasa atas teks sastra. Lantas, ia dituding tersangka dalam kasus korupsi akal budi manusia. Begitulah umpatan dari para anti lirisisme. Para anti lirisisme, melabel lirisisme sebagai pembunuh kejam bagi nasib sastra. Sebabnya, hal ini menimbulkan kesan bahwa setiap karya sastra harus liris. Ia disangka mutlak perlu, demi efek bobot makna. Padahal karya sastra memiliki metodologi kongnitif dan sarkastis. Cakupan liris, menyentuh macam-macam karya sastra, seperti Puisi, Prosa dan Drama. Jadi, ada puisi liris, Prosa liris dan drama liris. Liris dalam sastra, dianggap sebagai satu aliran. Karena diangap sebagai salah satu aliran, maka orang Indonesia menyebutnya sebagai “lirisisme”. Logika bahasa ini, sebenarnnya berasal dari logika para filsuf Yunani. Filsuf Yunani menyebutnya “ismos”. Penambahan “Isme” dalam filsafat Yunani, untuk mengatakan soal kepercayaan, ajaran, paham. Bahasa inggris menyebutnya “ ism”. Bahasa Indonesia menyebutnya, “ISME”. Sesunggngguhnya, sebutan Indonesia ini, dipengaruhi oleh gaya bicara para filsuf Perancis. Sekedar diketahui, gaya berpikir ini, muncul pada abad pertengahan. Pada abad pertengahan, rasio (akal budi) sangat diagungkan. Abad ini, orang berlomba-lomba membangun cara berpikir baru. Mereka mengambil metode, mempertanyakan segala cara berpikir lama, sembari menelurkan cara berpikir baru. Pada traktat inilah, revolusi pendapat terlahir. Sebuah revolusi cemerlang, dimana orang dengan garang membuat karya sastra sekaligus bebas berpendapat. Ada sama, pun pula ada beda. Orang berusaha menganalisis, merefleksikan kembali segala apa yang ada. Begitu banyaknya pendapat tersebut, campur baur, maka orang mulai mengkotak-kotakkan diri. Artinya, berusaha untuk membuat kelompok tersendiri dan memiliki spiritualitas sendiri. Setiap Kelompok punya cara berpikir sendiri, yang diikat oleh satu ajaran, kepercayaan atau pun paham tersendiri.Nah, pertanyaan pentingnnya adalah mengapa Bahasa Indonesia menggunakan Sufiks “isme?”. Karena manusia Indonesia dipengaruhi oleh para filsuf Barat.

Namun, sekarang orang Indonesia juga

dipengaruhi oleh bahasa Inggris, sehingga munculah istilah : Modernism, absurdism, dll Metodologi berpikir liris, dimengerti dalam ranah emosional. Emosional tidak diterka secara sempit. Ia adalah bahasa umum untuk golongan perasaan. Sebuah bahasa yang membahasa kan perasaan marah, sedih, suka cita, duka cita, keterharuan.

1


Ada sebuah kenyataan bahwa refleksi karya sastra Indonesia, lebih banyak menelurkan karya liris. Seolah – oleh logika liris adalh sebuah keharusan yang mengharukan. Lantas, strategi liris, meraup ideology sastra Indonesia. Ia menjelma menjadi pengetahuan yang mau tidk mau, harus ada dalam karya sstra. Padahal, sejatinya sastra liris, hanya sebuah porsi alterntif, bagi kehadiran karya sastra. Sebabnya, Liris adalah bagian dari Prosa, bukan sebaliknya? Penjelasan ini ditilik dari cakupan sastra dalam perspektif teks dan narasi.

Oleh : Ricky Richard Sehajun

Perubahan itu, selalu dimulai dari diri sendiri

2


KAJIAN SASTRA

3


Oleh : Gabryella Wardah

PUISI; LUAPAN ALAMIAH ? Robert Pinksky, pernah berkata “Pengetahuan dari pendengaran kita untuk memahami satu larik puisi adalah pengetahuan pola bahasa yang sudah terbiasa pada kita sejak masih bayi.� Sejak bayi, manusia memiliki pengalaman mendengarkan berbagai bunyian, seperti musik, lagu, percakapan, dll. Bunyi-bunyian tersebut bisa didengar, dirasakan oleh bayi. Apa yang didengar dan dirasakan itu, menimbulkan ekspresi wajah yang sedih, gembira tertawa ataupun ketakutan. Inilah yang disebut dengan pengalaman seni seorang bayi. Pengalaman seni ini, belum bisa dimengerti atau diicerna akal sang bayi dari sisi makna. Mereka hanya bisa merasakan dan berekspresi secara alamiah tanpa perlu menganalisa. Mereka menikmati. Bagi Robert Pinsky, tak ada manual instruksi yang bisa lebih membantu memahami puisi selain mendengar dengan cermat bunyi yang tebersit dalam setiap puisi yang dibaca. Puisi, bisa dinikmati seperti percakapan, lagu, tanpa perlu pengetahuan khusus dalam cara mengerti. Tidak semua puisi harus dan wajib untuk dimengerti makna semantiknya. Orang hanya butuh kata penyejuk, alunan kata menarik dengan rima dan irama yang menggugah. Hal ini kerap kita alami jika berhadapan dengan karya sastra metrik tradisional. Kita bisa mencerna karya kumpulan puisi William Butler Yeats atau Ben Johnson, juga membaca kumpulan puisi William Carlos Williams dan Wallace Stevens, jika ingin mengerti tentang alunan free verse. Jika bersoal dengan metrik balada ke dalam puisi modern, baca kumpulan puisi Thomas Hardy. [1] Persoalan manusia zaman sekarang adalah terlalu menekankan makna filosofis dari sebuah karya sastra. Penekanan tersebut mengubah cara memahami puisi hanya dari kepadatan makna. Sehingga baik atau tidaknya puisi, tergantung nilai makna filosofis dan kepadatan makna yang diusung. Tentu ini tidak salah. Namun, ada permasalahan dalam konteks ini, yaitu barangkali orang lupa dengan alunan irama dan aluran rima, yang kerap menggugah hati dan pikiran. Orang kadang hanya untuk mendengar dan menanggapi ulasan karya dengan perasaannya saja. Orang yang tidak terlalu memedulikan unsur analisa filosofis dalam sebuah karya, tidak bisa serta merta dianggap “amatiran’. Lee Sieg[2] mengatakan, “Sebagai akibat diakademikannya sastra, orang-orang literer ketika mengapresiasi fiksi menganggap perasaan dan persepsi merupakan ungkapan bagi seorang amatir. Bahkan di luar tembok universitas, dalam kritik sastra kita masih juga menemukan bahasan tentang alam sadar dan ironi, karakter dan karikatur, realisme sejarah dan realisme psikologis, dan lain sebagainya. Penekanan pola mengerti dari unsur filosofis dan makna, bisa saja terjebak dalam pikiran kualifikasi puisi. Kualifikasi membaca dan kualifikasi membuat puisi. Dalam konteks membaca, orang akan merasa tidak punya kualifikasi tertentu dalam membaca puisi. Sedangkan dalam konteks membuat puisi, orang tidak merasa punya kualitas merangkai kata yang padat makna. Bahkan akhirnya orang merasa awam dalam membuat karya sastra.

4


Padahal setiap orang bisa saja menciptakan karya tertentu secara alami dari dalam jiwa dan pikirannya tanpa harus memperhatikan guratan kepadatan makna dan muatan nada filosofis yang tajam dan menukik. Orang, dengan kemampuanya bisa berekspresi seni dengan jiwa dan raganya, tanpa ada analisa yang rumit dan ruwet. Dalam ranah pemahaman inilah ada perbedaan persepsi antara seorang Penganalisa, akademisi atau mungkin kritikus sastra dengan orang yang menikmati seni sebagai sebuah ekspresi jiwa dan perasaan yang alamiah. Bagi penulis yang menikmati seni sebagai sebuah ekspresi jiwa dan perasaan, karya sastra merupakan ungkapan dan tanggapannya terhadap peta aktivitas manusia dan pengalaman kesehariannya yang sederhana. Barangkali mereka menulis dalam waktu yang tidak ditentukan. Artinya bisa saja menulis waktu mood, pada perjalanan, istrahat renang, dll. Mereka menulis tanpa memikirkaatn kualifikasi teori, tanpa perlu membuka referensi metode penulisaan sastra yang baik dan baku. Mereka menulis dengan ekspresi sederhana, bahasa sederhana. Karena itu menikmati puisi mereka, tidak harus memakai teori sastra yang rumit dan ketat. Lazimnya, orang-orang yang tidak terlalu memikirkan teori ketat, dapat menghasilkan puisi yang lirisis. Karya mereka terkesan mengalun lembut dengan rima dan irama yang bagus. Oleh : Gabryella Wardah

[1] Bdk. Sidang pleno Konferensi Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia di Manado, 25-27 Agustus 2004. [2] Lee Siegel dalam pengantar novel DH Lawrence, The Lost Girl

Orang kadang hanya untuk mendengar dan menanggapi ulasan karya dengan perasaannya saja dan tidak terlalu memedulikan unsur analisa filosofis dalam sebuah karya. Ini tidak bisa serta merta dianggap “amatiran’.

5


Oleh : Ricky Richard Sehajun

MENDOBRAK JURUSAN LIRISISME?

A. Pengantar Lirisisme dalam peta per-puisi-an Indonesia disinyalir sangat mempengaruhi ruang kreativitas para penyair. Ia menjadi imperium dalam kesusastraan Indonesia. Seolah-olah lirisisme engan dilemparkan. Ia dipikirkan bercumbu dengan para penyair. Tentu ini, bukan menegasikan, tidak ada yang berpikir di luar jurusan Lirisisme. Bahwasannya, ada bentukan tata bahasa sendiri yang bukan dalam koridor lirisisme. B. Lirisisme Lirisme dimengerti sebagai tulisan bernuansa romantis yang dengan segera mengundang empaty atau simpati pada diri penulis maupun pembaca. Muatan kekuatannya terletak pada struktur puisi dengan ulasan cerita dan makna impresi-melankolis. Jelas sungguh melibatkan kontemplasi perasaan yang dalam daripada olahan kognisi. Karena itu, dalam setiap puisi yang dibuat hampir tidak ada kata-kata “kasar� atau sarkas yang ditulis oleh penyair. Menurut saya, Liirisme dalam pola puisi Indonesia menjelma menjadi ideology yang telah diraup oleh para penyair. Pembaca puisi pun, lebih senang dengan tipe puisi yang bernuansa lirisisme. Dan lagi, banyak penyair punya kecenderungan untuk “memantapkan� lirisisme. Kita perhatikan penggalan puisi Lirisisme, berikut : DARA JELITA Dara jelita terdiam di tepi kolam menatap titik-titik air yang jatuh dari pancuran sesekali ia senyum mengeletik dibalut wajah riang karena cubitan manja dari percikan air dingin Dara indah itu.. menatap lurus matanya berenang menyebrang melewati hentakan kaki para pelancong

6


Senja hari sehabis gerimis langit ditaburi kalang kabut terjungkal mayat pemuda tampan berdinas tepat di samping dudukan bidadari manis Aneh... bidadari berulah pongah di tengah kerumunan mata gemetar ia tampak tak peduli sejenakpun Matanya mengisyarat kepuasan seolah-olah melihat siaran berita gembira entahkah dia bersykur dengan kematian itu? ataukah mayat itu di bunuh olehnya? Dari bibir manisnya perlahan-lahan berkata, “Hai engkau, penyebab petaka untuk duniaku Pemerkosa akal budi kaum muda Jadilah mayat terhormat Engkau telah mencipta banyak ratapan Engkau pria perrenggut nasib anakmu�. Sebait kata yg terlontar dari bibir bidadari manis itu membelalakkan mata pelihat mayat tanggisan segera berhenti semua mata memandang penuh tanya pada bidadari Si bidadari, sebelum beranjak dari kerumunan masa ia melempar mayat dengan dompet merah dalam dompet itu tertulis tanda pengenal Dewan Perwakilan Rakyat ( Ricky Richard Sehajun)

Puisi semacam di atas tentu berbeda dengan puisi yang bernuansa kognisi. Puisi “dara jelita� menggunakan teknik naratif. Barangkali sangat enak dibaca sambil minum kopi atau berbaring. Sebagai catatan, setiap puisi, aliran apa pun tetap menghadirkan unsure kongnitif. Tapi tidak radikal. Tentu, berbeda dengan puisi yang secara radikal bersifat kongnitif.

7

7


C. Kongnitif Perhatikan contoh puisi berikut ; ADA Adalah Ada yang tunggal Keberadaan-Nya tak terjungkal Dia datang kepada yang tiada Supaya yang tiada menjadi ada Ada mengisi kekosongan yang ada Manusia ada karena keberadaan-Nya Ada-Nya Ada tak terjangkau letupan nalar Ia tak berubah tetap berada pada benar Akal budipun mau tak mau mengagungkan Ada Budi tak ayal lagi berada dalam rengkuhan Ada Ada bertahta di luar singgasana segala yang ada Ia menjadi pemicu hadirnnya segala yang ada Ada itu essensi Essensi yang mendahului eksistensi Ada itu abadi tak terjerjelaskan oleh intuisi (Puisi dalam kemasan aliran metafisika ; Ricky Richrd Sehajun) Banyak orang mengatakan puisi yang bernuansa kongnitif, sangat membosankan. Rumit. Samar. Susah dicerna. Menelusuri ide sang penyair sangat sukar. Butuh konsentrasi tinggi untuk memahaminnya. Puisi ini lahir dari kemurnian logika berpikir. Bersifat olah pikiran. Kebanyakan pembaca dihadapkan pada kesulitan besar untuk menafsirkan dan menangkap makna. Dari puisi inilah, lahir ungkapan yang disebut sastra samar.

8


D.

Sarkastis (Kasar)

Perhatikan contoh berikut……. Kamu Perawan? Hai kamu! Penjaja Vagina di tempur gelap Jangan mengaku perawan! Bukankah, vaginamu telah usang? Ditancap selaksa penis besar nan panjang? Vaginamu adalah jualanmu …………. Tidak banyak orang menulis puisi ini. Sebab ketika orang membacannya, penulis akan dituduh sebagai orang sarkas, vulgar, amoral, dll. Apalagi munurut orang-orang yang tidak tahu soal nuansa puisi sarkastis. Siapa yang rela dituduh demikian? Puisi ini bersifat tegas, kasar dan vulgar. Ia sangat membangkitkan situasi ketidaknyamanan bagi penikmat, tersinggung. Keberanian seorang penyair biasannya, dipertaruhkan dalam puisi ini. Dan kedewasaan (emosional) pembaca juga dipertaruhkan dalam puisi ini. Teknik penulisannya, bisa naratif-- kongnitif.

E. Catatan Ketiga nuansa puisi di atas selalu menimbulkan perdebatan. Kritikan. Sebab setiap orang bisa memahami puisi dari sudut pandangnnya masing-masing. Tetapi, saya mengajak para penyair untuk mulai menulis puisi di luar nuansa Lirisisme. Buatlah puisi kongnitif dan sarkastis.

Hermeneutika puisi, tergantung dari eksistensi manusia

9


LENTERA

SASTRA

10


PRIBADI LIRIS YANG BERKONTEMPLATIF

Persoalan karakter keperibadian manusia berkaitan dengan sebuah pertanyaan mendasar. Who Am I? Pertanyaan siapakah aku inibermaksud untuk mengetahui keseluruhan kehidupanmanusia. Kita tidak hanya mengenal diri sebentar saja dan atau di tempat tertentu. Permenu ngan identitas manusia membutuhkan proses panjang. Sekurang-kurangnya manusia m ampu melewati dinamika pengenalan diri dari hari ke hari. Dalam konteks pribadi liris, kesadaran mengenai kontemplasi diutamakan. Kelabilan perasaan menjadi hal yang perlu diperhatikan. Maka kontemplasi tidak sekedar metode tetapi kewajiban dan salah satu keutamaan yang harus disadari dengan baik. Lantas kita bertanya, mengapa kontemplasi merupakan salah satu keutamaan terpenting bagi pribadi liris? Alasannya tidak terlepas dari diri sendiri. Bahwa pribadi liris merupakan pribadi yang secara sepontaniah didominasi oleh perasaan. Nalar absen. Perasaan lebih berperan aktif dari nalar. Oleh sebab itu, kontemplasi sangat dibutuhkan guna meransang dan mengaktifkan nalar dalam pemrosesan penemuan kesejatian diri. Pengenalan Diri-Pribadi Liris Pertanyaan Who Am I(siapakah aku ini) merupakan bentuk pertanyaan dasar dalam proses pengenalan diri. Pertanyaan who Am Idialamatkan kepada diri sendiri, orang lain, dan bahkan kepada Yang Empunya Kehidupan. Bagiku, siapakah aku ini? Siapakah aku bagi sesamaku? Dan, siapakah aku bagi Sang Empunya Kehidupan? Pertanyaan-pertanyaan tersebut memunculkan pertanyaan lain. Mengapa saya bertanya tentang siapakah aku bagi diriku, orang lain dan Sang Pencipta? Inilah seni pengenalan akan identitas keperibadian manusia. Dewasa ini, manusia mengenal diri secara kebetulan. Manusia belum menyelam ke kedalaman hidup. Hal tersebut terlihat dari cara hidup manusia yang belum menghadirkan kesejatiannya. Manusia menjadi asing dari dirinya sendiri, orang lain dan bahkan dari sang Pencipta. Manusia memusatkan diri pada akuegonya. Aku bukanlah aku dari duniaku sendiri. Aku adalah aku yang palsu. Atau aku bukanlah aku yang sejati. Dan atau aku adalah aku yang instan kerama keabsenan nalarku. Cara mengenal dan dikenal tentang karakter keperibadian masih tetap misteri. Meski demikian, manusia wajib mengenal sesamanya. Hal tersebut terungkap dari apa yang tampak. Atau pengenalan identitas manusia diketahui sesuai dengan bentuk pengungkapan diri. Dan manusia itu dapat mengetahui sesamanya sejauh dia mampu mengenalnya. Pengenalan identitas manusia berkaitan dengan karakter keperibadiannyayang sangat utuh. Identitas seseorang dapat diketahui dari profil hidup dan kehidupannya setiap hari. Hal ini bermaksud agar sikap pengertian, kepedulian, keakrapan, cintakasih dan sebagainya dapat terwujud dalam relasi sosial. Dengan demikian, hidup ini merupakan simponi yang bernuansa romantika dalam relasi antarsesama.

11


Profil keperibadian manusia tidak sama. Ketaksamaan profil tersebut dikarenakan oleh pelbagai bentuk situasi dan konteks yang berbeda.Perbedaan latarbelakang ini sangat memengaruhi karakter keperibadian seseorang. Ada manusia yang secara alamiahnya memiliki pusat energi pada nalar, hati/perasaan dan perut. Bagi pribadi liris, hati merupakan pusat energi. Dari pusat energi ini, dia menyalurkan energi-energinya untuk beraktivitas sehari-sehari. Karakter pribadi liris merupakan pribadi yang mengedepankan senandung kemesraan hati atau perasaan. Peribadi liris bermain dengan perasaan. Gerak alamiahnya lebih pada perasaan. Cara berpikir mereka adalah cara merasa. Logika nalar mereka adalah logika merasa/perasaan. Dominasi perasaan lebih terwujud daripada cara berpikir. Perasaan lebih menunjukkan taringnya daripada nalar. Kekuatan perasaan sangat menentukan hidup dan keperibadiannya. Perasaan merupakandaya/kemampuan untuk merasakan realitas kehidupan. Perasaan sangat berperan aktif untuk mengkontemplasikan realitas. Dinamika kehidupan dirasakan dan diolah dalam pusat energi. Semua aspek kehidupan sangat memengaruhi bentuk-bentuk perasaan. Dan perasaan dapat menentukan dunia seseorang. Dengan demikian perasaan merupakan realitas yang dapat membentuk karakter manusia. Dominasi perasaan pribadi liris mengedepankan keindahan, seni, romantika kehidupan. Dia mengekspresikan pelbagai bentuk perasaannya kepada publik. Gerak hati dan perasaannya lebih pada sesuatu yang memesona. Perasaan cinta/kasih sayang dan benci, bahagia dan derita, suka dan duka, senang dan sedih, suasana kemesraan dan kehampaan, keindahan, keunikan, dan perasaan lainnya merupakan bagian dari seni hidup dan pergulatannya. Pelbagai bentuk perasaan merupakan bagian dari kehidupan. Pribadi liris mampu menggapai harmoni kehidupan dengan bijak dan indah, tatkala dia tidak mengabsenkan logika nalar. Meski nalar kurang memiliki ruang dalam perasaan, setidak-tidaknya berkat kehadiran nalar tersebut, perasaan semakin nampak berbinar. Maksudnya, perasaan semakin membuat manusia menjadi dewasa. Penemuan kesejatian diri semakin terwujud karena ada kerja sama antara perasaan dan nalar. Nalar diwajibkan untuk melibatkan diri dalam gerak aktif perasaan. Kehadiran nalar mengefektifkan daya kerja perasaan. Perasaan tanpa keterlibatan nalar maka pribadi liris itu mengalami keabsenan kedewasaan. Dia dikatakan pribadi yang sangat labil yang membawa dampak negatif bagi diri sendiri maupun sesama. Sang pribadi liris merupakan pribadi yang suka kontemplasi. Berkat kerja sama perasaan dan nalar ini, permenungan tentang dunia kehidupannya semakin matang. Hati menghening cipta. Batin merenung. Energi perasaaan dan nalar terarah pada apa yang dia rasakan. Dia dan perasaannya hadir dalam suatu realitas. Oleh karenanya, suasana keheningan sangat dia perlukan untuk menemukan beribu mutiara pelangi di balik realitas.

12


Pribadi yang Berkontemplatif Pribadi liris yang berkontempltifbukan berarti dia tidak mau dan mampu berbicara. Atau dia sengaja tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Pribadi liris yang berkontemplatif tidak dapat dikatakan sebagai pendiam. Meskipun perasaan mencari keheningan tetapi dia masih bisa berbicara kepada orang lain. Dia tidak berbeda jauh dari manusia lain yang mampu berbicara tentang aneka seni kehidupan. Pribadi yang kontemplatif merupakan pribadi yang menjadi karakter bawaannya yakni suasana kontemplatif. Dia menjadikan kontemplasi sebagai budaya yang selalu dihidupinya dalam keseharian hidup. Baginya, kontemplasi merupakan harga yang tak ternilai yang membuat dia mampu menemukan identitas kesejatiannya. Mulutnya boleh tak diam, tetapi hatinya menciptakankeheningan. Atau setidaknya dia menyadari bahwa keheningan merupakan bagian dari hidupnya. Keheningan berada pada bagian terdalam hidupnya. Dia tidak mengungkapkan perasaan heningnya kepada orang lain. Bahkan orang lain menganggap atau menduga-duga apabila dia tak mampu menyelam ke dalam dunia keheningan. Sebab dia berbicara sebagaimana orang yang suka berbicara bahkan lebih dominan dari orang tersebut. Dia bercanda seperti orang lain bercanda. Dan dia beraktivitas seperti orang lain beraktivitas. Dia sama dengan orang lain kecuali cara menghening cipta. Keunikan ini membuat mata orang tertutup untuk melihat siapakah dia yang sesungguhnya. Pribadi liris yang berkontemplatif memiliki keperibadian seperti pohon cemara. Dia nampak rapuh di mata orang lain tetapi di ruang keheningan dia sangat tangguh dan tanggap untuk menghadirkan pelbagai dinamika dan bahkan persoalan hidup. Dia menghadirkan situasi yang tidak sedap itu dalam perasaan, kemudian diolah dan sari-sarinya dicicipi. Sari-sari buahpersoalan tersebut membuat wajahnya berkilaukilau seperti purnama. Sari-sari yang dimaksudkan yakni nilai-nilai kehidupan yang dapat mengikis jeruji penderitaan. Dengan demikian, hidup ini bagai bulir-bulir padi berisi di antara ilalang.

Relevansi Persoalan mengenai Who am i yang diperuntukkan kepada pribadi liris tidak terlepas dari persoalan identitas manusia. Pertanyaan siapakah aku ini menjadi pertanyaan hakiki untuk menemukan kesejatian hidup di tengah dunia keterasingan diri. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, manusia khususnya pribadi liris mencari jati dirinya dalam keheningan. Pribadi liris mengenal perasaan-perasannya dalam lautan keheningan. Namun peribadi liris juga menggunakan nalar sebagai sarana dalam pemrosesan penemuannya. Hal yang perlu diperhatikan bahwa pribadi liris menyadari arti penting dari keheningan. Bahwasannya, keheningan tidak hanya sebagai jalan atau metode tetapi lebih dari itu sebagai kewajiban dan salah satu keutamaan hidup. Suasana keheningan diciptakannya dan diperbiasaan dalam kehidupan setiap hari. Namun keheningan batin tidak perlu diperlihatkan kepada siapa pun. Sebab aktivitas keheningan batin sifatnya personal. Dan di tempat keheningan tersebut ada perjumpaan antara seorang diri dengan sang PRIBADI sejati. Dia adalah DIA yang dapat men-sejati-kan manusia dari kelabilan dan keterasingan diri.

13


Keheningan batin tidak memenjarakan mulut untuk berbicara dengan siapa saja dan tentang apa saja yang baik dan benar. Mulut boleh berbicara tetapi hati tetap menghening!!! Semuanya harus berjalan dengan penuh kesadaran. Dengan demikian keindahan harmoni membuat hidup ini berjalan bak air sungai mengalir tanpa henti. (Oleh: Nasarius Fidin, penulis sekaligus penikmat tulisan-tulisan dari para penulis lain)

Diam bukan berarti tak berpengetahuan Diam adalah Proses merenung dan mengumpulkan pengetahuan Hingga suatu hari nanti pengetahuan akan melimpah ruah

14


CATATAN PENDEK TENTANG LIRISISME DALAM SASTRA Oleh: Hany Juwita Bahasa liris memiliki kekuatan tersendiri dalam kesusastraan. Di mana bahasa yang digunakan bukanlah yang biasa diucapkan sebagai komunikasi keseharian. Hal itu dapat mempengaruhi perasaan pembaca khususnya pada puisi, sehingga pembaca terbawa suasana tertentu. Bahasa liris memungkinkan pembaca atau pendengar dapat berpikir dan berbahasa lembut dan indah. Penggunaan bahasa liris lahir dari minat penulis yang juga mencerminkan kekayaan bahasa serta ide alam sadarnya untuk mengungkapkan sesuatu secara berbeda. Pembaca pun demikian, akan memilih sendiri mana yang menarik menurut seleranya. Kita tak dapat memaksakan orang untuk menulis atau berkata-kata dalam karyanya sebagaimana yang kita inginkan. Lirisme dalam sastra modern Indonesia, paling tidak, kita bisa menikmatinya dari karya-karya Gunawan Muhamad, Sapardi Djoko Damono, Abdul Hadi W.M. Mungkin dari dari karya-karya mereka bertiga penyair Indonesia generasi berikutnya mendapatkan pengaruh lirisme. Atau mungkin juga dari Mbahnya liriisme, Gustave Flaubert (1821_1880), penyair Prancis. Para pujangga 45 terlihat lebih eksis dengan simbol, diksi, rima, bathin, dan strukturnya justru dengan adanya liris dalam karya-karya mereka. Berbeda dengan penulis sekarang yang cenderung berkiblat ke faham baru surealisme. Bisa saja lahir hal-hal baru dalam sastra, tapi intinya tidak ada yang baru, semua sudah dituliskan oleh orangorang sebelumnya. Dan para pujangga terdahulu dengan lirismenya tetap saja tak terkalahkan. Jati diri sebuah karya sastra justru akan lebih terlihat dengan dengan tetap melestarikan bahasa liris dalam setiap diksi dan struktur dari karya sastra itu sendiri saat di mana lirisme dalam berkarya sudah mulai ditinggalkan. Hakekat berkarya kreatif adalah kebebasan berekspresi, tapi bukan kebebasan berekspresi bablas yang harus menghadirkan adanya faham atau gata kepenulisan baru yang justru akan semakin membuat keberadaan sastra itu sendiri semakin rancu dan terpuruk. Sebab, kebebasan tetap butuh kedisiplinan dan tanggung jawab. Para penulis juga tidak bisa memaksa masyarakat untuk bisa menikmati suatu karya karena peminat akan bertemu secara alami.Masih banyak para penikmat sastra saat ini yang tentunya masih merindukan kehadiran karya-karya sastra dengan tampilan syair, bait, dan larik berbahasa liris yang selalu estetis tak lekang oleh masa. Lirisme dalam sastra memberi ruang pada dua daya kreatif yaitu imajinasi dan improvisasi bergerak lebih bebas. Maka sudah sewajarnya liris dalam sastra tetap kita jaga, rawat, dan lestarikan dengan penuh cinta. Sebagai 'Permata Mulia' yang diwariskan oleh para pujangga pendahulu kita.

15


16


Oleh ; Dian Rusdi

LIRISME DI ERA POSTMODERNISME Berbicara tentang lirisisme tak lepas dari salah satu jenis karya sastra yaitu puisi. liris dalam puisi meruapakn rangkaian kata-kata dalam puisi yang biasanya mendayu-dayu. Baik berupa puisi untuk kekasih, tentang kesepian, alam, religi dll. Puisi lirisime sendiri lahir sejak adanya era puisi itu sendiri, meskipun mungkin awalnya lirisisme tidak terpisahkan dari jenis-jenis puisi lainnya. Seiring waktu puisi liris, mempunyai tempat dan kelasnya sendiri serta ciri khas tersendiri. Hal ini diakui oleh para pakar sastra termasuk di Indonesia ini. Puisi lirisme sangat mengagungkan keindahan, baik secara estetika diksi, majas, maupun bunyi. Penyair harus cerdas memilh kata, mengolah kata, agar karya yang lahir akan menghasilkan sebuah karya sastra yang berdimensi liris dan bermakna. Hal ini bertujuan supaya penikmat atau pembaca, merasakan dan terbawa oleh permainan pola liris dan suasana puisi tersebut. Adalah suatu kesuksesan, jika para penyair bisa mengajak para pembaca untuk ikut merasakan atas segala suasana dari apa yang telah ditulisnya dalam puisi. Hal ini tidak mudah. Ada banyak penyair yang kesulitan menghasilkan karya liris, yang mengandung roh sekaligus memberi makna yang dalam. Kesulitan ini, bisa dipicu oleh ketidaktahuan dalam membuat puisi liris atau pun tidak tahu apa itu puisi liris. Orang hanya sekedar meluangkan isi pikiran dan hatinya, tanpa memikirkan efek lirisis dalam puisinya. Soal penafsiran adalah urusan pembaca. Bagi penulis, yang terpenting adalah membuat puisi mempostingnya dalam jejaring social. Hal ini tentu wajar- wajar saja, dalam era posmodernisme. Apa lagi disertai alat akses dan wadah eksplorasi pikiran-perasaan yang banyak dan bebas. Para penyair era postmodernisme bisa cepat menulis sebuah puisi. Ini kemajuan yang patut diacungkan jempol. Namun, Begitu banyak dan bebasnya orang yang menulis puisi, lambat laun orang terjebak dalam “mengandalkan aturan puisi sendiri�. Orang tidak lagi mengikuti aturan dalam puisi yang sudah ditetapkan, atau barangkali tidak tahu bagaimana menulis puisi menurut aturan puisi itu sendiri. Lihat saja, seperti yang ditambilkan dalam dunia maya atau jejaring-jejaring social, grup-grup sastra. Banyak puisi yang diproduksi tanpa memakai judul, kata-kata lebay tanpa diksi yang pas, tak mngindahkan tanda baca serta bunyi. Sehingga konstruksi kalimat yang terltulis pun menjadi alay atau tanpa makna yang kuat. Padahal bukan mustahil bisa menghasilkan karya-karya yang berkualitas jika mau membenahi dan memperhatikan struktur dalam menulis puisi. Setiap orang tentu saja bisa belajar dari para ahli sastra yang bersedia membagikan tips-tips menulis yang baik. Selain itu, di dunia maya, ada banyak menemukan puisi-puisi berkualitas dan memiliki dimensi lirisis. Para penulis sangat apik memerhatikan, bagaimana menulis yang baik, bersikap professional pada setiap karya yang dihasilkan. Sehingga karya lirisis yang dihasilkan bisa dinikmati dan direnungkan maknanya.

17


Puisi liris punya kelas tersendiri di hati para penikmatnya, karena diksi yang dipakai bisa meluluhkan hati. Lirisme memang sangat dekat dengan hati-perasaan. Hal ini tidak berarti bahwa puisi jenis lain, jauh dari hati, karena pada hakikatnya puisi memang curahan dari pikiran dan hati. Pengungkapan liris bisa terdapat pada puisi maupun prosa. Dalam prosa, ada muatan kisah yang tersusun dalam kalimat secara berurutan dan sambung-menyambung sehingga terbentuk suatu kisah lirisis. Sebagai contoh, akan ditampilkan penggalan cerita yang berbentuk prosa berikut ini: Malin adalah seorang penduduk yang miskin di Negeri Tanah Hijau. Pekerjaannya hanya menjual kayu bakar. Pada suatu hari Malin datang ke rumah Pak Lodan yang kaya raya. “Pak Lodan, apa Bapak mau membeli kayu bakarku ini?” ujar Malin “Hmm… bagaimana kalau kutukar dengan dua genggam beras? Kalau tak mau bawa saja kembali kau bakar itu. Aku bisa menyuruh pembantuku mencarinya di hutan! Ketus Pak Lodan angkuh. “Baiklah. Tak apa ditukar dengan dua genggam beras,” Malin mengalah. Kemudian Pak Lodan menyuruh pembantunya memberikan dua genggam beras yang buruk. Malin adalah seorang penjual kayu bakar yang rajin, walau kakinya pincang sebelah, dia mencari kayu bakar di hutan. Kadang Ia menyabit rumput untuk makanan ternak atau menjaga padi di sawah dari gangguan burung-burung. Kemudian Ia menerima upah beras, namun upah yang diterimanya sangat sedikit. Ada-ada saja alasannya itu. Penggalan kisah di atas merupakan, salah satu bentuk kehadiran liris dalam karya prosa. Tentu ada banyak kisah lain, yang ditemukan dalam sumber sumber buku maupun internet. Jika kita memperhatikan dalam media social (cyber) ada banyak tulisan liris. Bahkan para penyair dalam era Postmodernisme yang ditandai dengan kemajuan teknologi dan kebebasan berkarya sastra, akan ditemukan banyak karya liris. Oleh ; Dian Rusdi

18


Oleh: St. Emyani Bebas Banet

PENGARUH LIRISME DALAM SASTRA Lirisme artinya faham atau aliran liris yang menulis pengalaman pribadi. Padahal, seperti ide itu datangnya dari bisa dari luar diri pribadi. Maka, sastra yang sekarang tidak harus lirisme. kalau bisa mungkin bisa mencoba ke arah surealisme. Liris Tempoe doloe banyak kita jumpai dalam sastra. Di mana sangar banyak cerita dengan bertemakan roman-roman asmara tentang diri yang mendayu-dayu. Di situ hanya terlihat estetis (indah) kata dengan lambangnya saja. Kemudian dengan perkembangan dunia sastra juga bergeser dengan memakai kata-kata dan simbol-simbol yang bukan hanya menitik beratkan pada keindahan diksi. Tapi lebih pada kedalaman makna. Di zamannya Chairil Anwar lirisme sempat bermasalah dengan 'Aku' nya. Tapi era sekarang ini, sepertinya lirisme bersastra sudah semakin memudar. Sastrawan itu sebagai pemantik kejadian dan Sang Pemantik harus kreatif dan inovatif. Biarlah lirisme merupakan faham sastrawan pendahulu. Kita pun apresiatif. Dengan mencari dan teus mencari jati diri sastra yang ada sekarang. Dan, tidak harus liris lebih ekpresif dengan ide dan imajinasi mencipta dari yang belum ada menjadi ada (baru). Dengan lajunya kreatifitas seni sastra tidak harus sastra dengan faham liris...Tidak! Dan yang kreatif itu mencari dan mencari terus, tidak stagnasi. Lirisme adalah faham atau aliran sastra terdahulu. Sekarang ini ke depan seyogyanya menemukan dan menemukan lagi. Begitu juga dalam seni yang lainnya. Sebagai misal, seni tari. Tidak harus berjumpa pada wiromo, wirogo, dan wiroso. Begitu juga dunia seni lukis, juga tidak hanya bertumpu pada faham naturalis dan realis. Kemudian juga berkembang, seperti surealis, badaisme, hingga abstrak. Begitu juga seni sastra, jangan hanya buntu dan mandek pada lirisme, harus berkembang dan berkembang

Kekacauan besar dalam ruang kepribadiaan manusia Bisa jadi karena persoalan linguistic

19


PURAKARYA

20


PUISI-PUISI: Viola Anandya Marsha (Vareen Meutia Astari)

KENANGAN SEPI Langit sepertinya bergelung resah, sedari pagi mendung mengatung namun hujan tak kunjung turunkan rintik Embun berderet bagai semut berjalan menetesi kuncup-kuncup bunga, angin mengeluh dan mendesah kala hujan menyentuh ujung bumi Masih birukah telaga cinta kita? Yang sekian lama diamuk sepi tak berkesudahan, kegelapan seperti pusara bagiku Tangis, juga ratap adalah dahaga yang pahit kutelan Tak bisa kusembunyikan secuil duri hatiku, prasangka bercampur racun ketakutan, trauma‌. Kala jiwa terbungkus rapi oleh kelu, bak musafir tertawan dahaga di gurun sahara dalam keseorangan mengantongi takdir Pupuskan mimpi dari puluhan ratap yang kupijaki sirna sebelum musim berganti cerita Kau yang dulu ada pada buncahi dada pergi menelan bara, terbakar hangus menjadi abu seiring janji madah yang berupa entah Liur membulir angkara rasa Riau, 30 september 2016 tanah lancangkuning

21


SETANGKUP ASA

Inikah romansa seiring terik mematik Gerai lembayung tersapu angin Getar jiwa dalam alunan tak bersuara Bermelodi rindu iramakan gundah Sebening embun harap nan menggugah Seiring tatap membucah dada Kata gelisah pada setumpuk asa Mendekap ingin yang berupa entah Setangkup asa dalam untaian larik Ulurkan tangan, harapkan kau sambut mesra Meski gigiran terbaca sunyi Dadaku gemertak, berdetak-detak Kala rahim cinta terhembas pesisir Raga melahirkan nista ambisi Terjamak perih indukan sepi Altar usah merangkai mimpi

22


Puisi-Puisi : Karya Kiara Vie

GIE Engkau masih merukuni kenang itu Gie? Pada pematang kening sepanjang sungging kekasihmu yang pergi sejak empat belas purnama lalu, hingga dalam kurun kesal dadamu begitu bidang Mencangkok ingatan, memupuk kebencian kian makmur dalam tumbuhnya di celah jantung “Ini bukan cinta biasa.� Jawabmu di antara gagap tak tanggap mengawini waktu, lalu bola matamu meleleh lebih lumer dari lilin di ruang tamu yang pada setiap malamnya kau nyalakan untuk dia, yang masih juga kau sebut kekasih. Banyak sekali puisi tumpah di sana, berpesta pora antara rindu juga isak sesal yang senak. Gie, sekala waktu Abak pernah bilang tentang cinta yang tidak serta-merta bersama. Pun tak pula kita bersesal sepanjang usia. Bukankah hidup selayaknya tetap berjalan? Pada sebuah ketentuan yang acap dilupakan, yaitu oleh Sang Cipta Segala Maha Lalu sampai kapan larutnmu akan surut?

DIALOG SEPTEMBER Aku telah membeli begitu banyak air mata dari rumah-rumah suwung peninggalan para penghuni ingkar itu, Sean. Meletakkan rapi di dada juga keningku yang bergelombang, dan terkadang kudiamkan sampai didihnya luber ke pipi. Tapi lebih sering kunyanyikan bersama rentak dini, menjelang subuh. Sekali waktu kau berkunjung, dan kulihat kau tercenung. Memandang lesi dengan bibir menggigil sepucat bayi yang kehilangan peluk ibu. "Masih kurangkah duka kita, Hun?" Langkahmu surut ke sudut, memengang tepian pintu, menyusun kata-kata, tapi urung kau lahirkan. Sebab perihmu datang lebih awal, berjejal-jejal. Tak mengapa, Sayang. Aku akan kehilangan teman berbincang jika kau pergi nanti, sedang bunda telah cukup renta bersama perih Putri kesayangannya, sibuk menimang doa-doa baru, pinta agar duka tidaklah piatu. Lantas, bagaimana caraku menyiasati sepi? Selain memandang berulang bulan datar, mengingatmu, lalu kembali bercengkerama dengannya, air mata yang membasahi sejuta cerita. Aku, Sean. Aku rela tua di gigir september ini, semenjakmu tiba tadi siang sebelum kau bilang bahwa pertalian kita akan dipercepat. Kau takut akan kehilangan janji kita? Sean. Aku ini perempuan. Dan se-naif-naifnya ingatan, tak mungkin janji itu kulepas. Atau kau punya rencana berbeda? Mulailah mengerti dan menganggapku sebagai kekasih, Sayang. Bukan sepasang janji januari yang pernah kuabai dulu, sebelum cinta itu tumbuh dan mekar di jantungku. Kiar 9 September 2016.

23


PERBINCANGAN KITA

Kita pernah sama-sama tertawa, pernah juga saling menertawakan sebelum air mata itu tumpah seperti ter. Segetir mimpi yang kelelahan disablim pagi, lalu dada seolah melepuh terpanggang duka bertubi-tubi. Meninggalkan kenang segersang lading, semisal gemerisik lalang rapuh yang memekakkan telinga dengan nyanyian musim kemarau. Rimbun-rimbun masih menghitung kurun, dadamu retak, mimpiku koyak. Behamburan keduanya di sepanjang pematang tanpa arah tuju, bahkan ketika hendak itu harus menanam luka baru. Sempat memang asa itu tersemat di bibir hujan. Namun keadaan urung jatuhkan segarnya pada kening meski setetes. Kupikir kau dan kekasihmu adalah sepasang ngunngun yang tak lebur meski jutaan musim tertidur di rumah mimpi. Kupikir juga engkau tak kecewa andai perempuanmu itu lupa meyuguhkan setia pada jamuan rindu kau tunggu sepanjang malam. Tapi barangkali dugaku dungu, entahlah.

Sedang aku hanyalah semisal kisah munafik di petang gerah yang memilih kalah ketika belahan jantungku memiliki debar lain. Memunguti gigil baru yang bukan dari peluhku. Memasang tenda sederhana di pelataran rumah, menertawai tangis, bahkan simpuh paling emis yang pernah kutadahkan di kakinya Entahlah, apa jangan-jangan garis tangan kita memang sama? Hanya uratku tentu lebih lentur, sedang tekadmu sekeras karang. Kukuh menimang masin juga ombak tak kenal mukim itu. Lalu, seperti katamu. “Seyogyanya kita menggenapi. Melupa kepada masa lalu, melerai nestapa, sebelum hati benar-benar batu. Kiar 20092016

24


Oleh : Lepperchaunt Zee

PESANKU DI SAATKU BANGUN NANTI

Berharap ku selalu selamanya hidup dalam angan-angan, ohh tidak..angan-angan ku terenggut saat masa kecil ku yang dinodai oleh kelalaian kedua orang tua ku. Ohh tidak.. kelalaian mereka disebabkan faktor kesenjangan ekonomi bagi sebagian orang menyebutnya, kondisi dimana ada penyebab yg mutlak tidak bisa dijadikan unsur kesalahan..Aku, dunia dan imajinasi sebuah tim yang kompak di setiap saat dahulu.. Menghabiskan banyak kegembiraan dan kekonyolan kanak-kanak setiap waktu tanpa perlu merasa lapar dan haus, terkadang kami menambahkan beberapa anggota dari teman satu gang ku tuk menaklukan kerajan jahat kesunyian komplek dan membunuh banyak monster kesuntukan dan kepedihan di sekitar perumahan kami.. Mungkin setiap peradaban butuh evolusi terhadap mahluk di ruang lingkupnya, hingga tanpa disadari muncul lah satu persatu kegagalan revolusi-revolusi, yeah dalam persepsiku ku memang saat itu merupakan revolusi dalam bentuk kegagalan.. Banyak pengorbanan, air mata, rasa sakit dan kelaparan dalam jiwa yang ku persembahkan, apapun bentuk dari akhir itu semua, telah berhasil mendesak dan memojokan ku melewati garis yg bertuliskan tahap dewasa..Sekarang ku disini berdiri sendiri tanpa di temani timku dan aliansi-aliansi yang dulu pernah ada, berdiri selangkah dari garis itu ku cuma bisa membeku...beku di kepala, organ dalam hingga ke arloji yg sedang ku pakai sekali pun.. Ohh tidak ku tidak punya tujuan dan ku juga tidak punya klu tuk berbuat apa, berusaha meyakinkan diri bahwa ku mempunyai persedian bekal? Berusaha mengusap mata dan dada ku sambil berulang-ulang ku berkata maaf..didepan ku hanya terbentang jalan asing tanpa ada satu orang pun orang melintasinya.. Ku coba tuk duduk sejenak tuk mengindari kebingungan selanjutnya hingga tanpa tersadar ku telah terduduk disana selama waktu yang telah cukup lama rupanya..di tempat asing ini sendirian berhasil menghilangkan sebagian wajah ku dan ku lupa gimana caranya berdiri dari posisi duduk ku yang konyol ini..

25


Angin, elemen penolong yg membantuku datang tiba-tiba, memandikan kan ku dan meminumkan ku seteguk susu dari balik jubah nya, berusaha keras membangunkan ku dari posisi duduk konyol ku, ku sedikit benci wajah nya yang mengingatkan ku kepada ayah ku..ketika ku sapa dia, dia cuma bisa bersembunyi di balik tudungnya..dia memberikan ku sepucuk surat dari tangannya, dari ibu mu katanya lirih, tapi ku tidak memperdulikan perkataannya hanya kusambut surat itu di barengi pertanyaan ku terhadapnya..apa kau mengenal ayah ku? dia berpaling begitu saja sambil menyembunyikan wajahnya.. Berdiri memegang secarik kertas dari ibuku..Tangisan ku dari dalam mengingat namanya, sumber penyesalan ku sehabis melakukan dosa, matahari yang hilang disaat ku jauh darinya..apa yang salah antara diriku dan dirinya hingga langkah kehidupan kami berdua selalu tertimpa langit yang jatuh? Penyelamat ku yang tidak bersayap itu pastinya selalu menghargai legalitas ku berada di bumi ini.. Di saat ku mengingat semua hal itu ku berteriak "keeepppaaarraat kau dunia" berkali-kali ku terjatuh beliau menangkap ku, berkali-kali beliau membelaku dari kemarahan tetangga, berkali-kali beliau menangisi ku saat ku sakit, berkali-kali memasang wajah maaf kepada seluruh dunia atas ulah ku, berkali-kali. Sungguh sangat tidak ingin ku membuka apalagi membaca surat tersebut tentunya..inilah yang ku butuhkan, ku adalah sebuah produk gagal, ku adalah eksperimen gagal, ku adalah kesendirian kekal, ku adalah kebanggaan ibuku tercinta, ku adalah kalimat musuhku.. Mengheningkan diri menutup mata..ku yakin ku melangkah menjauhi garis terkutuk itu, dengan gigi geraham ku gertakan iya..Dan kan selalu ku ingat bahwa ku tidak akan pernah sekalipun terduduk maupun tertidur sejak ku melangkah barusan..bagian terbaik dari diri ku adalah faktanya ku bukan siapa-siapa ku bukan apapun tapi diri ku sendiri..

26


PARASASTRA

Gambar ;St. Paulus rasul

27


KETIKA USMAND DERSA GANGGANG BERKATA TENTANG SASTRA

Tim redaksi Majalah Purakasastra, dengan bangga berdiskusi dengan seorang sastrawan bernama Usmand D. Ganggan g. Kita akan simak, bagaimana pengalaman dan ide cemerlangnya dalam bergulat dengan sastra. A. Siapakah Usmand Dersa Ganggang? Usman Dersa Ganggang (Usmand), lahir di Bambor Kabupaten Manggarai Barat Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Ia menikah dengan Layly Rosyat Alboneh, gadis peranakan Pontianak Kalimantan Barat dan Sabu Kabupaten Kupang. Usmand, lulusan kuliah dari Bina Sarana Informatika (BSI) dengan konsentrasi Teknik Informatika dan S-1 di Universitas Mpu Tantular di Jakarta Timur. Pada masa kuliah beliau aktif menjadi wartawan pada SKM DIAN Ende-Flores dan Majalah Taman Mini Indonesia Indah (TMII) Jakarta Timur; Koresponden tetap pada Majalah Gelora-Grasindo Jakarta Pusat, Humas HMI cabang Kupang, wartawan Harian Cendana Pos, dan penulis lepas di berbagai koran dan majalah, baik di pusat maupun lokal. Hingga kini tetap eksis dalam menulis di harian dan majalah, baik di tingkat lokal maupun pusat. Lalu bertugas secara khusus mengisi rubrik Sorot Puisi pada Harian Suara Mandiri, Surat Kabar Cendana Pos, Pos Kupang, Surat Kabar Amanat, dan Surat Kabar Komodo Pos juga membantu rubrik puisi pada Radio Bima FM, dan belum lama ini membidani majalah Kesehatan “Habussalam� media Komunikasi antarmahasiswa Akbid. Tahun 1983, sampai sekarang, beliu adalah sorang guru dan dosen di beberapa perguruan tinggi..Sperti di Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Sunan Giri Bima, Sekolah Tinggi Keguruan Ilmu Keguruan (STKIK) Taman Siswa Bima, dan Sekolah Tinggi Ilmu Agama Islam (STAIS) Sultan Abdul Kahir Bima; dosen di AKPER Mataram-Bima serta Akbid Harapan Bunda dan STIKES Yahya-Bima.

28


Usmand juga berkarya dalam bentuk buku yang telah diterbitkan adalah: Bunga Pasir (Antalogi Puisi bersama rekan Komunitas Kertas: 2007); Antalogi Puisi Pelacur: (2009); Ketika Cinta Terbantai Sepi (Antalogi Puisi) 2011; Kompilasi Cerita Rakyat Nusa Tenggara Timur (NTT); Sayap Bulan 2005); Kematian Sasando (Antalogi Puisi bersama Sastrawan NTT) 2013; Senja di Pantai Kupang (Antalogi Cerpen bersama Sastrawan NTT) 2013; Apresiasi Puisi Putra Cendana; Cermin Cinta (kumpulan esai); Antalogi Puisi Pengantin Langit (bersama 50 sastrawan nasional, 2013 diluncurkan di Jakarta Barat), dan yang masih dalam proses adalah, �Senandung Rindu� berupa kumpulan Puisi dan �Kebohongan Indah� dan sejumlah buku pendidikan yang dibukukan sendiri antara lain: Celoteh Sang Guru; Demi Anakku Kucermati Kesalahan; dan Profesionalisme Guru. Ada banyak bukunya, yang masih disimpan dalam bentuk naskah saja karena masalahnya, iya sama dengan penulis lainnya, apalagi kalau bukan karena soal dana, ungkapnya. B. Ketika Usmand D. Ganggang Jatuh hati pada sastra Usmand jatuh hati pada Sastra lantaran kebiasaannya sewaktu kecil, gemar mendengarkan dongeng.

Ini mmpengaruhi imajinasi, berpikir logis, yang kemudain

dipertajam dengan belajar Bahasa dan Sastra di perguruan tinggi. Baginya belajar sastra amat memikat hati. Ia mampu menahan kita untuk duduk berjam-jam dan meninggalkan kegiatan lain. Bahkan kadang-kadang dapat membuat kita lupa makan dan minum. Apa yang menyebabkannya? Ada dua hal yang membuat saya terpukau: (1) Karya sastra dapat menggoda batin pembacanya dengan pertanyaan-pertanyaan yang minta dijawab. Pembaca terasa dipaksa membaca terus karena yakin bahwa jawaban pertanyaanpertanyaan tersebut ada atau terdapat pada baris-baris berikutnya; dan (2) Kemampuan menghanyutkan diri pembaca masuk ke dalam arus cerita. Karya sastra berhasil meniadakan jarak antara pembaca dengan aku-lirik dan dia-lirik karena itu perasaan kadang-kadang terhanyut ke dalam karya tersebut. Bagi Usmand, belajar sastra akan memperoleh kreatifitas berbahasa, baik secara represif maupun produktif. Dalam rangka memperoleh kreativitas, mesti terlebih dahulu tahu tentang karya sastra baru dan lama, seperti puisi, cerpen, novel, drama, pantun, hikayat, mitos, dongeng, dll. Pengetahuan akan karya sastra dapat dipelajari melalui buku-buku sastra, dialog dengan sastrawan atau pun diskusi dengan pengamat sastra. Kreativitas yang dikukuhkan dalam labirin karya sastra, sejatinya merupakan deskripsi pengalaman, sastrawan itu sendiri maupun pengalaman orang lain yang diakses sastrawan ke dalam arena imajinasinya.

29


Kedua pengalaman itu disandingkan dengan hasil penggelandangan imajinasinya, berdasarkan

niat beserta visi-misi yang berterus terang. Hasil pengalaman yang

tercetuskan dalam tulisan, diarahkan pada kebutuhan penulis dan penikmat (pembaca).

C.

PENGALAMAN DITOLAK Menulis butuh proses belajar yang terus menerus. Ada pengaman kegembiraan

maupun pegalaman ditolak. Tulisan Usmand telah beberapa kali ditolak. Bagi usmand, penolakan oleh tim redaksi meruakan hal yang wajar. Penulis tidak boleh tersinggung atau emosional. Kita harus punya “kebesaran hati untuk menerima itu sebagai bagian dari proses belajar menjadi penulis yang hebat”. Ada hal yang menarik dari catatan redaksi yang kerap saya terima ketika tulisan saya tidak dipublikasikan yaitu “Saya menunggu artikel – artikel Anda lainnya!” Catatan dari tim redaksi ini, semacam “obat kuat” bagi saya untuk tekun, menulis lagi dan lagi. D. Mengapa Usmand Menulis dan Menulis lagi? Dalam berbagai genre karya sastra, ada berbagai macam aliran. Sebagai penulis, saya tidak mngolongkan berbagai tulisan saya ke dalam satu jenis aliran sastra. Bagi saya, pengolongan itu diserahkan pada analisa pembaca. Barangkali mereka tahu soal trsebut. Menulis focus pada genre sastra tertentu, memang kerap dilakukan oleh tokoh sastra tertentu. Namun, yang terpnting bagi saya adalah menulis secara trus menerus. Barangkali perlu diungkapkan bahwa kegiatan tulis menulis yang saya lakukan, dilatarbelakangi oleh metodologi berpikir yang telah dialami, didengar, dilihat dan diimajinasikan. Saya memiliki pengalaman batin “menggugah” ketika seorang sastrawan Dami N Toda dan Hendryk Berybe datang ke kelas kami (jurusan bahasa). Saat itu mereka melontarkan kata-kata bijak, seperti “Dengan membaca kita mengenal isi alam ini. Sementara dengan menulis, kita dikenal dunia”. Sejak saat itulah saya jatuh cinta pada dunia tulis-menulis termasuk sastra. Saya mulai menulis untuk majalah dinding sekolah. Pengalaman jatuh cinta pada sastra ini, lebih lanjut dijaga dan diarahkan pada saat saya sebagai wartawan. Bagi saya, kegiatan membaca dan menulis adalah kebutuhan.

30


E. Badai Kritik Banyak para penulis dihempas badai kritik. Badai itu memporak-porandakan bangunan psikologis-emosional. Hal ini terlihat jelas pada para penulis muda. Kerap kali kritikan yang dilontarkan dapat mematikan kreativitas dan niat menulis, jika bangunan psikologi kita tidak kuat. Bagi saya, tulisan apapun, pasti memiliki celah untuk dikeritik. Artinya bahwa tak ada tulisan yang sempurna. Selalu memiliki sisi kelebihan dan kekurangan yang menghadirkan celah bagi para kritikus untuk melancangkan kritikan. Lantas, kritik sesungguhnya sudah menjadi bagian intregral dari sebuah karya tulis. Karena dianggap integral, maka tak ada karya tulisan yang tanpa kritik. Setiap penulis mengalaminya. Persoalan kritik dari para kritikus, harusnya dilihat dalam nilai positif. Bukan negative. Kritik merupakan suatu tanda bahwa orang membaca, merenung, mempertimbangkan dan menilai karya tulis kita. Dia mencintai tulisan kita. Sebab tidak mungkin dia membaca jikalau ia tidak jatuh cinta pada karya tersebut. Selain itu, kita bisa men-cek atau melihat kembali bagian tulisan (omongan) kita yang mendapat kritik. Jikalau memang kritikan itu bisa dipertanggungjawabkan keakuratannya, maka menjadi kewajiban ilmiah bagi kita untuk menerima. F. Sastra dalam Zaman sekarang Zaman sekarang buku-buku yang dijual setidak laris dulu. Kita tidak tahu pasti apakah itu karena perkembangan era digital? Di mana orang lebih memilih membaca dari internet dari pada buku-buku? Lantas, kita boleh bertanya, apakah Ini tanda baik atau tanda buruk bagi perkembangan sastra Indonesia. Sepertinya, kita memiliki penilaian masing-masing mengenai hal ini.

Bagi

saya,

kehadiran

era

digital

memungkinkan orang bisa mengakses karya sastra. Di sana kita bisa melihat berbagai macam karya sastra, entah itu berbobot (bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah) atau hanya sekedar tulisan “lepas� saja. Berdasarkan pengamatan saya, minat baca “ilmiah� masyarakat sekarang sangat kurang. Barangkali orang setiap hari membaca, tetapi bukan karya tulisan yang sesuai dengan norma ilmiah yang diakui. Ada beberapa hal yang kirannya dapat di kaji yaitu Pertama, di era sastra cyber, ada perkembangan yang lumayan maju. Banyak Antalogi puisi yang diterbitkan remaja . Ini patut di apresiasi. Kedua, di media cetak, ada rubric harian yang menyediakan hari khusus untuk diisi dengan karya sastra.

31


Dan ternyata , di antara karya yang diterbitkan media cetak itu adalah hasil karya penulis pemula. Ketiga sementara di media elektornik,

banyak penulis pemula

menghadirkan karya sastranya baik puisi, cerpen, drama, maupun novel. Keempat, tentu kita tidak hanya sampai di situ saja. Perlu ada terobosan agar penulis pemula termotivasi , perlulah, dicari kiat – kiat jitu merangsang mereka untuk mengakrabi sastra secara serius. Ke depannya, diperlukan terobosan baru dalam menghadirkan intuisi kreatif mereka. Untuk menghargai karya – karya mereka, perlulah karya mereka dibedah serta memberikan kritik demi perbaikan karya – karya yang mereka tulis . Dengan demikian, apresiasi sastra benar – benar berjalan sesuai dengan harapan dalam tujuan pendidikan yang tercantum dalam UU Sistem Pendidikan Nasional, yaitu mencerdaskan anak bangsa negeri ini. Selanjutnya, karya –karya mereka dikirim ke harian dan majalah. Saya yakin, jika karya mereka terbit di harian dan majalah, mereka merasa senang, sehingga mereka akan berlomba – lomba mengirimkan tulisannya ke Koran dan majalah. Geliat sastra dan geletar

jatuh cintanya penulis pemula

diaplous. Bagaimanapun juga, kita harus akui bahwa

pada sastra perlu

generasi muda

sudah

menunjukkan hasil kerjanya, kita lihat saja perkembangan pesat, di FB dan media cetak lainnya. Jadi, teruslah mereka didorong untuk terus mengakrabi karya sastra. Akhirnya,kita

harus buka mata lebar-lebar, ternyata nasib sastrawan yang

menjadi pelaku sastra masih seperti dulu. Mereka masih dilihat sebelah mata. Karena itu, peran masyarakat untuk menghargai karya sastra dan peran pemerintah harus terbukti nyata. Barangkali ada solusi terbaik bagi nasib sastrawan, para penulis dan hasil karya tulis dari anak-anak bangsa ini. Mari kita menghargai karya sastrawan, lalu mencari terobosan jitu tentang usaha menumbuh-kembangkan sastra kepada generasi muda. *Tulisan ini berdasarkan wawancara dari Pemimpin Majalah Purakasastra (Ricky Richard Sehajun) dengan Usmand Dersa Ganggang.

32


INFOSASTRA

Informasi sastra ini berkaitan dengan silaturahmi (KOPDAR) forum sastra Indonesia (forsasindo). Kegiatan ini merupakan bagian dari program temu sastrawan, pegiat sastra dan awak media yang dipelopori oleh tim forsasindo. Kegiatan ini didukung oleh media Brigar dan akan menampilkan beberapa acara, seperti baca puisi, musikalisasi puisi, drama, dialog sastra, dll. Panitia mengundang seluruh anggota Forsasindo di seluruh wilayah Indonesia dalam rangka mengikuti kegiatan tersebut, yang akan dilaksanakan : Hari/ tanggal

: Sabtu, 25 Februari 2017

Tempat

: Jln. Jatibaru-No. 28-Tanah Abang-Jakarta Pusat

Waktu

: 10.00 s/d Selesai

Acara ini akan liput oleh beberapa media.

33


Purakasastra adalah majalah sastra independen yang turut serta dalam usaha membangun dan mengembangkan dunia kesusastraan nasional dalam koridor menghormati religiusitas/ norma agama dan menjunjung tinggi keberagamaan. Majalah Purakasastra menerima sumbangan naskah untuk dipublikasikan melalui media ini. Sumbangan naskah tersebut dapat berupa kajian sastra, liputan kegiatan sastra, tips menulis, karya sastra, resensi buku, foto artistik dan lain-lain. Naskah tulisan atau foto atau ilustrasi yang dikirim ke majalah Purakasastra harus orisinal (asli), tidak menjiplak, dan tidak mengandung unsur kekerasan, atau pornografi. Penulis atau pengirim foto atau ilustrasi bertanggung jawab penuh atas orisinalitas naskah tulisannya atau orisinalitas foto/ ilustrasi yang dikirim ke Redaksi. Redaksi berhak menyunting naskah dan memodifikasi atau membuang bagian-bagian tertentu dari foto atau ilustrasi bila diperlukan.


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.