6 minute read
PEMBARUAN PRINSIP UMUM HIGIENE PANGAN CODEX (CXC 1-1969): VERSI 2020
Seperti slogan yang digaungkan oleh FAO, If it’s not safe, it’s not food. Salah satu cara untuk memastikan produk yang dihasilkan aman dari kontaminasi adalah dengan penerapan Codex Hazard Analysis and Critical Control Points (HACCP) atau Sistem Analisa Bahaya dan
Pengendalian Titik Kritis. Sistem HACCP adalah sebuah sistem untuk menjamin keamanan pangan yang diperkenalkan melalui persyaratan Codex Alimentarius
Advertisement
Commission pada tahun 1969.
Tahun 1969 Codex Committee on Food Hygiene (CCFH) mengeluarkan dokumen CXC 1-1969 yang berjudul
General Principles of Food Hygiene yang dilengkapi dengan Lampiran tentang
HACCP. Sejak diadopsi pertama kali pada tahun 1969, CXC 1-1969 telah mengalami beberapa kali amandemen dan revisi. Hingga pada tahun 2020 lalu, CAC merevisi CAC RCP 1-1969 menjadi versi terbaru, yaitu CXC 1-1969 General Principles of Food Hygiene. Untuk tujuan kemanan pangan, CXC 1-1969 ini diadopsi secara identik di Indonesia menjadi SNI CXC 1-1969 Prinsip Umum
Higiene Pangan yang ditetapkan oleh
Badan Standar Nasional tahun 2021.
“Diskusi tentang pentingnya dokumen ini direvisi sebenarnya sudah dimulai dari tahun 2015. Hal ini dilakukan tentunya sebagai upaya perbaikan terus-menerus, yang menyesuaikan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Selain itu, banyaknya teknologi baru yang diaplikasikan untuk pengolahan pangan, perlu adanya suatu upaya pembaruan standar yang
ada,” tutur Dosen Departemen Ilmu
dan Teknologi Pangan IPB University sekaligus Senior Scientist SEAFAST Center
IPB University, Prof. Dr. Purwiyatno
Hariyadi, dalam FoodReview Indonesia
Webinar dengan tema Update on General
Principle of Food Hygiene (CXC 1-1969) beberapa waktu lalu.
Namun, alasan utama revisi dokumen tersebut, lanjut Purwiyatno, adalah penekanan pentingnya General Hygiene
Practices (GHP) dan HACCP yang sebelumnya hanya lampiran. Pada dokumen terbaru ini, struktur dokumen dibagi menjadi bab pertama yang fokus pada GHP dan bab kedua fokus pada sistem HACCP.
Perubahan besar lain dalam dokumen
CXC 1-1969 versi 2020 di antaranya pada susunan struktur isi, salah satunya perubahan pada bagian Pendahuluan menjadi Penggunaan, Tujuan menjadi
Prinsip Umum, dan Ruang Lingkup menjadi Definisi. Selain itu, bagian
Definisi dalam Codex HACCP 2020 telah diperluas. Misalnya, terdapat definisi baru untuk tingkat yang dapat diterima, otoritas yang kompeten, sistem higiene pangan, serta cara higiene yang baik.
Good Hygiene Practices (GHP)
Revisi tahun 2020, bab pertama atau chapter 1 fokus membahas cara higiene yang baik atau good hygiene practices, dan terdapat beberapa tambahan dibandingkan versi sebelumnya.
“Penambahan tersebut seperti poin-poin yang tertuang di dalamnya diuraikan secara lebih detail atau science-based dan ditata ulang,” jelas Purwiyatno.
Bagian 1, berisi Pengenalan dan Pengendalian Bahaya Pangan. Bahasan pada bagian ini menekankan pada pentingnya food business operator (FBO) memiliki pengetahuan tentang pangan dan proses produksinya agar dapat mengimplementasikan GHP secara efektif.
Bagian 2, yakni Produksi Primer. Produksi primer harus dikelola dengan cara yang memastikan bahwa pangan aman dan sesuai untuk penggunaan yang dimaksudkan. Jika diperlukan, ini akan mencakup: i) penilaian kesesuaian air yang digunakan di tempat yang dapat menimbulkan bahaya, misalnya, irigasi tanaman, kegiatan pembilasan, dll.; ii) menghindari penggunaan area yang lingkungannya mengancam keselamatan makanan (misalnya tempat yang terkontaminasi); iii) mengendalikan kontaminan, hama, dan penyakit hewan dan tumbuhan, sejauh dapat dipraktikkan untuk meminimalkan ancaman terhadap keamanan pangan (misalnya penggunaan pestisida dan obat-obatan hewan yang tepat); iv)
Mengadopsi praktik dan langkah- langkah untuk memastikan pangan diproduksi dalam kondisi higienis yang tepat (misalnya membersihkan dan memelihara peralatan panen, pembilasan, praktik pemerahan yang higienis).
Bagian 3, Establishment – Desain fasilitas dan peralatan. Di bagian ini membahas sifat operasi dan risiko yang terkait, tempat, peralatan, dan fasilitas harus ditempatkan, dirancang, dan dibangun sedemikian rupa. Terdapat penambahan uraian yakni ‘tersedia fasilitas kamar kecil yang memadai dan sesuai untuk personel’. “Singkatnya, di bagian 3 ini membahas tentang penguatan dan identifikasi kontrol kontaminasi serta kontaminasi silang untuk desain dan tata letak, fasilitas, dan peralatan,” tambah Purwiyatno.
Bagian 4, Pelatihan dan Kompetensi. Semua yang terlibat dalam operasi pangan yang secara langsung atau tidak langsung bersentuhan dengan pangan harus memiliki pemahaman yang cukup tentang higiene pangan untuk memastikan bahwa mereka memiliki kompetensi yang sesuai dengan operasi yang akan dilakukan. Dalam bagian ini dijelaskan apa saja pelatihan yang dibutuhkan agar setiap personel memiliki kompetensi yang dibutuhkan. Ringkasnya, bagian ini membahas pelatihan kebersihan yang memadai, penyertaan staf dalam pemeliharaan, pelatihan tentang penggunaan dan pemeliharaan instrumen dan perlengkapan, serta kesadaran akan dampak tugas terhadap keamanan makanan.
Bagian 5, Pembentukan Pemeliharaan, Pembersihan dan Disinfeksi, dan Pengendalian Hama. Pada bagian ini menambahkan perincian tentang metode pembersihan dan disinfeksi, pemantauan efektivitas pembersihan dan sanitasi, pengendalian hama, serta pengelolaan limbah. Bagian 6, Kebersihan Personil. Menambahkan detail tentang kesadaran personel tentang pentingnya kebersihan diri, perawatan luka, kebersihan diri, perilaku pribadi, serta instruksi dan pengawasan pengunjung.
Bagian 7, Pengendalian Operasi. Bagian ini merumuskan persyaratan desain yang berkaitan dengan bahan baku dan bahan lainnya, komposisi/ formulasi, produksi, pengolahan, distribusi, dan penggunaan konsumen yang harus dipenuhi. Terdapat poinpoin tambahan tentang (7.1.1) Deskripsi Produk, (7.1.2) Deskripsi Proses, (7.1.3)
Pertimbangan Efektivitas GHP, (7.1.4)
Pemantauan dan Tindakan Perbaikan, dan (7.1.5) Verifikasi. Selain itu, ada penambahan detail ke aspek utama GHP, seperti Kontaminasi Fisik, Kontaminasi Kimia, Bahan Masuk, dan Prosedur Penarikan. Termasuk spesifikasi mikrobiologi, fisik, kimia dan alergen.
Bagian 8: Informasi Produk & Kesadaran Konsumen. Terdapat penambahan uraian pada poin Ketertelusuran, Pelabelan Produk (alergen) yakni ‘Sistem ketertelusuran/ penelusuran produk harus dirancang dan diterapkan sesuai dengan Prinsip
Ketertelusuran/Penelusuran Produk sebagai Alat dalam Sistem Pemeriksaan dan Sertifikasi Pangan (CXG 60-2006), terutama untuk memungkinkan penarikan kembali produk, jika diperlukan’ serta Standar Umum
Pelabelan Makanan Kemasan (CXS 1-1985) berlaku.
Bagian 9, Transportasi (Umum: Pangan harus dilindungi secara memadai selama transportasi). Terdapat referensi tambahan untuk Kode Praktik
Higienis untuk Pengangkutan Pangan dalam Curah dan Pangan Semi-Kemasan (Code of Hygienic Practice for the Transport of Food in Bulk and SemiPacked Food/ CXC 47-2001).
Sistem HACCP dan pedoman
pelaksanaannya
Dalam kesempatan yang sama, Dosen
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
IPB University sekaligus Senior Scientist
SEAFAST Center IPB University, Prof. Dr. Ratih Dewanti-Hariyadi memaparkan perubahan HACCP pada CXC 1-1969
Versi 2020. Sebelum menerapkan
HACCP, FBO seharusnya sudah membangun program prasyarat dasar
(PPD) atau prerequisite programmes
(PRP) termasuk GHP. “PPD harus sudah dibangun dengan baik, beroperasi dengan baik, dan terverifikasi untuk memfasilitasi implementasi HACCP yang berhasil. Aplikasi HACCP tidak akan efektif tanpa implementasi PRP termasuk GHP,” kata Ratih.
Pada semua jenis FBO, awareness dari manajemen dan komitmen tentang keamanan pangan penting agar implementasi HACCP efektif, termasuk misalnya training HACCP untuk manajemen dan personal. Sistem HACCP pada dokumen yang baru, kata
Ratih, tidak ada perubahan signifikan dibandingkan sebelumnya. Yakni mengidentifikasi dan meningkatkan pengendalian bahaya signifikan, jika diperlukan, melebihi dari apa yang dapat dicapai oleh GHP.
Sistem HACCP difokuskan pada pengendalian Critical Control Points (CCPs), dengan menetapkan Critical Limits (CL) untuk tindakan pengendalian pada CCP dan tindakan korektif jika
CL tidak tercapai, serta menghasilkan rekaman yang ditinjau ulang sebelum produk dirilis, sehingga HACCP memberikan pengendalian konsisten dan dapat diverifikasi, lebih dari apa yang dapat dicapai oleh GHP. “Sistem
HACCP harus ditinjau ulang secara periodik dan jika ada perubahan yang dapat berpengaruh pada bahaya potensial dan/atau tindakan pengendalian, seperti proses baru, ingridien baru, produk baru, maupun alat baru. Peninjauan ulang periodik juga harus dilakukan jika aplikasi prinsip
HACCP menghasilkan tidak adanya CCP, untuk mengkaji apakah kebutuhan akan CCP berubah,” jelas Ratih.
Ratih juga menambahkan, terdapat fleksibilitas untuk bisnis kecil dan/atau mikro. Hambatan mengaplikasikan HACCP pada UMKM disadari karena terbatasnya sumber daya maupun resources. Pendekatan untuk mengadaptasi HACCP dilakukan untuk membantu otoritas berwenang mendukung UMKM, misalnya mengembangkan sistem berbasiskan
HACCP sesuai tujuh prinsip HACCP tetapi tidak memenuhi urutan atau langkah yang tercantum dalam dokumen Codex.
Meskipun fleksibilitas diperlukan, kata Ratih, tetapi seluruh prinsip seharusnya dipertimbangkan dalam mengembangkan sistem HACCP.
Fleksibilitas ini mempertimbangkan jenis operasi bisinis, sumberdaya manusia dan finansial, infrastruktur, pengetahuan dan risiko terkait produk. Misalnya, dokumentasi hasil pengawasan hanya dibuat jika ada penyimpangan dan tidak pada semua pengawasan untuk mengurangi beban.
UMKM tidak selalu memiliki sumberdaya dan kepakaran untuk mengembangkan dan mengimplementasikan sistem HACCP. Dalam situasi tersebut, saran ahli dapat diperoleh dari luar seperti asosiasi dagang, pakar independen, maupun otoritas berwenang. Literatur dan panduan HACCP yang spesifik untuk sektor tertentu dapat digunakan sebagai acuan, demikian juga panduan HACCP yang yang telah dikembangkan pakar yang spesifik untuk pangan atau proses yang diinginkan.
Sistem HACCP pada dokumen yang baru, tidak ada perubahan signifikan dibandingkan sebelumnya. Adapun perbedaannya adalah pada langkah awal pertama tim HACCP dan lingkup, langkah awal ketiga tujuan penggunaan dan pengguna, mengidentifikasi tindakan pengendalian, batas kritis tervalidasi, serta validasi rencana HACCP dan prosedur verifikasi. 12 langkah/ prinsip dalam penerapan HACCP sebelum dan sesudah revisi dapat dilihat pada Gambar 1 dan Gambar 2.
Selalu dibutuhkan validasi dalam
Sistem Manajemen Keamanan Pangan di tingkat FBO, baik di tingkat GHP, SSOP, maupun HACCP, validasi secara
Gambar 1. HACCP sebelum revisi 2020
Sumber: Ratih-Hariyadi (2023)
Gambar 2. HACCP setelah revisi 2020
Sumber: Ratih-Hariyadi - Update on General Principles of Food Hygiene (CXC 1-1969): Chapter 2. HACCP System and Guidelines for Its Application (2023) ilmiah dibutuhkan untuk mendapatkan bukti bahwa tindakan pengendalian akan mampu mengendalikan bahaya ke tingkat penerimaan jika diterapkan dengan benar. Validasi pada princip HACCP memastikan bahwa sistem mampu mengendalikan bahaya siginifikan yang relevan, mengidentifikasi bahaya, Critical Control
Point (CCP), batas kritis, tindakan pengendalian, frekuensi dan jenis pemantauan CCP, tindakan korektif, frekuensi dan jenis verifikasi, serta jenis informasi yang tercatat. Adapun untuk validasi bisa menggunakan standar Codex Alimentarius CXG 69-2008
Guidelines for The Validation of Food Safety Control Measure. Fri-37