3 minute read

Regulasi Pelabelan Produk Pangan Berbasis Kedelai

Produk pangan berbasis kedelai sangat beragam di Indonesia. Dalam perjalanannya, produk olahan berbasis kedelai harus memenuhi persyaratan keamanan, mutu, dan label.

Persyaratan keamanan antara lain seperti (1) Bahan Tambahan

Advertisement

Pangan (BTP) yang tercantum dalam PerBPOM No. 11 Tahun 2019; (2) cemaran kimia, logam, dan mikroba yang tercantum dalam PerBPOM No.

8 Tahun 2018 serta PerBPOM No. 9

Tahun 2022, dan PerBPOM No. 13 Tahun

2019; (3) persyaratan PRG, iradiasi, dan steril komersial. Selain persyaratan keamanan, juga terdapat pula persyaratan mutu seperti yang tertera pada kategori pangan dalam PerBPOM

No. 34 Tahun 2019 dan Persyaratan

Label seperti yang tertera dalam

PerBPOM No. 31 tahun 2019 yang kemudian diubah PerBPOM No. 20 tahun 2021. Selain itu, juga terdapat klaim label. Selain kategori pangan pada persyaratan mutu yang bersifat wajib, juga terdapat SNI yang bersifat sukarela kecuali untuk beberapa jenis produk yang sudah diberlakukan wajib. SNI dapat diberlakukan wajib oleh instansi teknis yang terkait, dalam hal berkaitan dengan keselamatan, pelestarian fungsi lingkungan hidup dan/atau pertimbangan ekonomi.

Produk olahan kedelai

Produk olahan kedelai berdasarkan kategori pangan dapat dikategorikan pada (1) kategori pangan 02.1.2 lemak dan minyak nabati,

(2) kategori pangan 06.4 pasta dan mi, (3) kategori pangan 06.2.1 tepung, (4) kategori pangan 06.8 produk-produk kedelai, dan (4) kategori pangan 12.9 bumbu dan kondimen dari kedelai.

Untuk ketentuan pengaturan label pangan olahan ada beberapa hal yang perlu diperhatikan seperti kriteria dan informasi wajib yang ada pada produk.

“Label pangan olahan bertujuan untuk memberikan informasi yang benar dan jelas kepada masyarakat tentang produk pangan yang dikemas sebelum membeli dan/atau mengonsumsi pangan. Hal ini sesuai dengan yang tertera dalam

Pasal 96 Undang-Undang Pangan di mana informasi yang benar dan jelas terkait denga nasal, keamanan, mutu, kandungan gizi, dan keterangan lain yang diperlukan,” tutur Koordinator

Kelompok Substansi Standardisasi

Pangan Olahan Keperluan Gizi Khusus, Klaim, dan Informasi Nilai Gizi, serta

Pangan dengan Proses Tertentu dan Cara Produksi Pangan Tertentu, Direktorat

Standardisasi Pangan Olahan, Badan

POM, Sofhiani Dewi, STP., M.Si dalam

Expert Meeting – Soybean Indonesia beberapa waktu lalu.

Selain melindungi dari informasi yang tidak benar, tidak jelas, dan menyesatkan mengenai pangan olahan, pengaturan label juga memiliki manfaat bagi pelaku usaha sebagai acuan dalam pencantuman label pada produk pangan olahan. Bagi pemerintah label pangan bisa menjadi alat pengawasan pangan olahan. Berdasarkan Peraturan BPOM

No. 31 Tahun 2018 tentang Label

Pangan Olahan sebagaimana telah diubah dalam Peraturan BPOM No. 20

Tahun 2021, label pangan olahan paling sedikit memuat informasi: (1) nama produk, meliputi nama jenis dan nama dagang (bila ada), (2) daftar bahan yang digunakan, (3) berat bersih atau isi bersih, (4) nama dan alamat pihak yang memproduksi atau mengimpor, (5) halal bagi yang dipersyaratkan, (6) tanggal dan kode produksi, (7) keterangan kedaluwarsa, (8) nomor izin edar, (9) asal usul bahan pangan tertentu. “Untuk informasi wajib pada bagian yang paling mudah dilihat dan dibaca adalah bagian satu sisi pandang yang terlihat ketika produk dipajang dan memuat keterangan yang sangat penting diketahui oleh konsumen sesuai ketentuan peraturan yang berlaku,” imbuh Sofhiani.

Aspek pelabelan untuk ekspor

Untuk kesiapan ekspor, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan pada produk. Pertama adalah dengan memastikan label telah sesuai dengan standar umum pelabelan pangan dalam kemasan. Standar ini berlaku untuk semua pangan dalam kemasan yang akan dijual kepada konsumen atau untuk tujuan katering dan aspek tertentu yang berkaitan dengan penyajiannya. “Pada dasarnya, standar ini tidak jauh berbeda dengan standar yang di Indonesia. Informasi harus benar, tidak menyesatkan atau menipu, atau cenderung menimbulkan kesan keliru mengenai karakternya dalam hal apap pun, terutama dalam hal klaim,” ujar Guru Besar Departemen Ilmu dan

Teknologi Pangan, Prof. Dr. Purwiyatno Hariyadi. Selain itu, tidak merujuk atau mengisyaratkan produk lain (menggiring konsumen supaya ‘menganggap’ bahwa produk pangan tersebut berbuhubungan dengan produk lain tertentu.

Selanjutnya, untuk label yang wajib tertera pada produk keamsan salah satunya adalah bahan pangan dan ingridien (bahan baku). Untuk bahan pangan dan ingridien yang diketahui menyebabkan hipersensitivitas harus selalu dinyatakan. Berikut adalah jenisjenis baha baku tersebut: (1) sereal yang mengandung gluten yakni gandum, rye, barley, oat, spelt atau hibridisasinya dan produknya, (2) crustacea dan produknya, (3) telur dan produk telur, (4) ikan dan produk ikan, (5) kacang tanah, kedelai, dan hasil-hasilnya, (6) susu dan produk susu (termasuk laktosa), (7) kacang pohom dan produk kacang, dan (8) sulfit dalam konsentrasi 10 mg/kg atau lebih.

“Selain standar umum pelabelan pangan dalam kemasan yang mengacu pada CXS 1-1985, ada pula standar umum pelabelan pangan dalam kemasan (wadah) non-ritel yang mengacu pada CXS 346-2021 serta standar umum pelabelan dan klaim untuk pangan diet khusus dalam kemasan dan standar pelabelan dan klaim untuk pangan keperluan medis khusus (PKMK) sebagai acuan yang digunakan untuk kesiapan ekspor,” imbuh Purwiyatno. Namun, yang juga tidak kalah pentingnya adalah menyesuaikan produk masing-masing dengan standar yang diperlukan. Fri-35

This article is from: