Koinonia 30042018

Page 1

K-O-I-N-O-N-I-A K-O-I-N-O-N-I-A

Vol. 5 Issue 13 | 30 April 2018

Head Office Newsletter

Inspiration

Sudahkah asesmenku membawa muridmuridku datang kepada Kristus?

D

alam kurikulum 13, pemerintah menetapkan menggunakan penilaian berbasis referensi kriteria. Dalam anugerah Tuhan, kita sepatutnya bersyukur bahwa pemerintah kita memikirkan untuk menyusun kurikulum yang bukan hanya menekankan Pendidikan yang holistis melalui KI 1 sampai KI 4 tetapi juga memberikan tempat yang baik bagi pertumbuhan kerohanian. Namun sebagai guru Kristen, seyogyanya kita menilai apakah penilaian berbasis krite-

ria ini memang benar-benar cocok diterapkan dalam Pendidikan Kristen. Penilaian berbasis referensi kriteria, merupakan sebuah desain asesmen dimana seorang murid diukur berdasarkan satu set rubrik penilaian yang biasanya mencakup kriteria-kriteria yang luas. Penilaian berbasis referensi kriteria, melatih anak-anak untuk mengukur dirinya dengan kriteria yang ditentukan sebelumnya. Ini memiliki tiga keuntungan jika kita hendak meninjaunya dari sudut pan-


K-O-I-N-O-N-I-A dang pendidikan yang berpusat pada pekerjaan penebusan Kristus: Penilaian berbasis kriteria referensi melatih anak memahami dirinya dan keunikannya sebagai ciptaan pembawa gambar dan rupa Allah yang unik. Ini penting dikarenakan keunikan manusia sebagai ciptaan Allah yang termulia membawa gambar dan rupa Allah adalah salah satu pilar dari doktrin manusia. Dengan kata lain, penilaian Kriteria berbasis referensi membantu anak memahami identitas dirinya sebagai gambar dan rupa Allah yang unik. Penilaian berbasis kriteria referensi melatih anak memahami kekurangan dan potensi untuk gagal, sehingga memudahkan kita untuk melatih anak-anak kita memahami potensi, natur dan status mereka sebagai orang yang berdosa. Dengan kata lain, tidak ada satu orangpun yang dapat memenuhi semua tuntutan kriteria referensi. Di sisi lain, tuntutan kriteria referensi mengajar anak untuk memiliki hidup yang sepadan dengan tuntutan referensi kriteria, sehingga efektif untuk mengajar anak untuk memiliki hidup berlandaskan pada Firman Allah (Biblicism).

penebusan Kristus yang menjadi satu-satunya kriteria yang membawa kita kepada keselamatan. Tidak ada seorang yang mampu sampai kepada standar kesempurnaan baik kriteria buatan manusia apalagi yang ditetapkan Bapa tanpa melalui Kristus. Ini menutup semua kemungkinan lain penyelesaian dosa dan menjadikan pekerjaan penebusan Kristus sebagai satu-satunya jawaban tuntas justifikasi keselamatan manusia, already saved (Yoh. 14:6). Maka bercermin dari tiga paparan di atas, kita dapat lebih memahami bahwa penilaian berbasis Kriteria bukan hanya lebih “Bible friendly� dikarenakan cara penilaian ini tidak membandingkan satu anak dengan anak lainnya serta menghargai keunikan manusia tetapi juga memiliki potensi yang amat besar untuk melatih anak dalam anugerah Allah untuk memahami berita injil, “the ultimate substitution, justification and reconciliation through redemptive work of Christ� dan karya penebusan Kristus di atas kayu salib dan kebangkitanNya yang mulia itu. Tantangannya, sudahkah kita? - Romandito Mahendrayudha

Maka penilaian berbasis kriteria harusnya membawa satu kesimpulan yang tak terbantahkan bahwa tidak ada yang sempurna kecuali Kristus. Hanya pekerjaan

sebab di dalam Dialah tersembunyi segala harta hikmat dan pengetahuan. Kolose 2:3


K-O-I-N-O-N-I-A Sharing

(Mencoba) Membangun Komunitas Kristen

M

embentuk suatu komunitas Kristen di sekolah bukanlah perkara yang mudah. Meski komunitas kita terbentuk karena memiliki visi misi yang sama, namun disadari bahwa setiap orang dalam komunitas (termasuk komunitas Kristen) adalah pribadi yang unik dan membawa natur dosa. Pribadi yang unik dan natur dosa ini akan menjadi semakin kompleks jika kita telisik sampai ke latar belakang keluarga, ras, asal usul, denominasi gereja, dll. Keunikan dan natur dosa itulah yang menyebabkan terjadinya friksi-friksi dalam berkomunitas. Friksi itu pulalah yang menyebabkan batu sandungan bagi sesama orang percaya. Bayangkan, suatu komunitas Kristen yang harusnya menjadi wadah bertumbuh justru menjadi batu sandungan! Pikirkan, mengapa kita memerlukan regulasi, prosedur, ataupun batasan-batasan dalam komunitas? Kadang terpikir bahwa adalah tugas dan tanggung jawab saya sebagai kepala sekolah untuk

mencegah dan menyingkirkan friksi-friksi tersebut. Ibarat seorang bodyguard yang selalu berupaya menyingkirkan segala ancaman, hambatan, gangguan, tekanan demi melindungi tuannya, demikian juga saya merasa perlu menghilangkan segala macam kemungkinan friksi yang bakal terjadi di dalam komunitas sekolah. Namun saya juga menyadari bahwa sekuat apapun saya berusaha mencegahnya, tetap saja ada celah yang menyebabkan friksi itu terjadi. Bukan berarti bahwa saya tidak perlu berusaha dan membiarkan semuanya terjadi apa adanya. Tetapi, di sini saya diajar untuk mengakui kelemahan, ketidakberdayaan dan kebergantungan pada Tuan saya. Jika friksi itu tidak terjadi, maka itu hanya anugerah Tuhan semata agar komunitas kita dapat menikmati berkat “lebih� cepat. Pada akhirnya, bukan saya yang melindungiNya, tetapi saya yang dilindungiNya. Bukan saya yang menolongNya, tetapi saya yang ditolongNya. Bukan saya yang mewujudkan kehendakNya, tetapi Dialah yang menyatakan kedaulatanNya.


K-O-I-N-O-N-I-A

Sergiovanni dalam bukunya Building Community in Schools menyampaikan bahwa In a community, the connections among people are not based on contracts but commitments. Dari hasil diskusi dengan sahabat saya yang telah mengupas buku ini, Sergiovanni menekankan kedewasaan dalam berkomunitas artinya komunitas sekolah yang benar adalah jika guru-guru dan semua warga sekolah datang ke sekolah setiap hari dan melayani bukan karena semata-mata didorong oleh kontrak kerja, melunaskan pinjaman beasiswa, dll. Bahkan tanpa ada kontrak pun, orang-orang tersebut masih setia bekerja dan setia pada komitmennya. “Komitmen” lebih tinggi derajatnya dari “kontrak”. Sebuah hubungan persahabatan tidak memerlukan kontrak. Sementara hubungan antara customer dan supplier memerlukan kontrak. Jika Sergiovanni menggunakan

nai prosedur fotokopi di sekolah (mengisi buku fotokopi dan diperiksa apa yang difotokopi) sebagai latihan untuk mengikuti proses, sama seperti Tuhan yang juga tidak menginginkan kita menjadi pribadi yang instan 2.

Komitmen kepada Tuhan di atas segalanya. Jika kita menemukan friksi-friksi dalam komunitas, pandanglah pada Tuhan. Di manapun di muka bumi ini tidak ada yang ideal. Bonhoeffer (teolog Jerman awal 1900-an) menyebutkan “seseorang yang sangat mencintai mimpi idealismenya tentang kehidupan komunitas dan melebihi realitas yang ada, sebenarnya telah merusak komunitas itu sendiri”. Jangan mimpi-mimpi kita membawa kita ke awan-awan sehingga tidak mau menerima dan menghadapi apa yang di hadapan kita saat ini.

Sebagai penutup, saya membagikan beberapa testimoni yang tentu saja tidak dapat mewakili pendapat umum (semoga di kesempatan lain, saya dapat melakukan survey yang lebih valid dan reliable), namun berharap dapat menjadi berkat bagi kita sekalian. Valencia Ervian Haryono (X IPA) Menjadi hal yang patut saya syukuri di mana saya dapat bersekolah dan menjalani masa – masa SMA saya di SDH Bangka. Hampir sekitar 8 bulan saya bersekolah di SDH Bangka, banyak hal yang telah saya dapatkan dan mengubah saya menjadi konteks orang-orang Amerika Utara yang memiliki etos kerja tinggi, penuh tanggung jawab serta kedewasaan dalam berpikir dan bertindak, bagaimana dengan kita? Siapkah kita berkomitmen tanpa kontrak kerja? Menggabungkan pemikiran-pemikiran di atas : 1.

Allah kita Allah yang teratur. Segala regulasi dan batasan yang dijalankan janganlah dipandang sebagai pengekangan, tetapi dipandang sebagai sarana untuk terus bertumbuh sehingga melahirkan komitmen yang konsisten. Bapak Teguh (guru SDH Bangka) dapat memak-


K-O-I-N-O-N-I-A

pribadi yang lebih baik. Salah satunya melalui proses pembelajaran dan komunitas di SDH Bangka yang secara tidak langsung membuat sisi pemalu saya mulai hilang. Meskipun saya termasuk orang yang cukup sering public speaking di luar sekolah, tetapi saya akan menjadi orang yang pemalu dan kurang percaya diri di tempat, lingkungan, dan suasana yang baru, termasuk di SDH Bangka pada awalnya. Namun, seiring berjalannya waktu, sifat pemalu dan kurangnya kepercayaan diri saya mulai hilang. Hal ini terjadi karena metode pembelajaran yang telah menumbuhkan rasa percaya diri saya di sekolah, seperti presentasi dan pelayanan chapel, khususnya memimpin KTB dalam kelompok saya. Selain itu, guru – guru dan teman – teman di SDH Bangka juga ramah, nyaman diajak berkomunikasi, dan friendly, hal inilah yang membuat saya cepat akrab dengan mereka dan rasa canggung saya dalam berkomunikasi / berkomunitas menjadi berkurang. Ibu Junita (Mama Matthew – III & Michelle – IB) Saya bersyukur menyekolahkan kedua anak saya di SDH Bangka. Saya telah bergabung di SDH Bangka sejak tahun pertama sekolah ini berdiri. Hal yang paling saya syukuri ada di dalam komunitas ini adalah ketika saya melihat kedua anakanak saya (grade 1 dan 3) bertumbuh dalam pengenalan akan Kristus. Jujur saya jarang memiliki waktu untuk membaca Alkitab bersama dengan anak-anak saya. Biasanya saya hanya mengajak mereka untuk berdoa dan bernyanyi pujian. Namun, ketika saya ajak mereka bernyanyi, anak-anak saya mengatakan bahwa mereka juga menyanyikan lagu yang sama di sekolah. Kemudian

mereka menceritakan cerita-cerita Alkitab yang mereka dapatkan pada devosi setiap pagi dan Chapel setiap minggunya. Terlebih ketika saya bertanya kepada anak saya siapakah Tuhan Yesus, anak saya menjawab bahwa Yesus adalah Juru Selamat kita, Yesus disalib untuk menebus dosa kita. Saya berharap SDH Bangka terus dapat menjadi sekolah yang menumbuhkan iman anak-anak saya. Terima kasih untuk komunitas SDH Bangka. Teguh Hermawan Yulianto (Homeroom Gr. V) Saya bersyukur kepada Tuhan karena Ia tidak pernah tidak menunjukkan kasihNya dalam kehidupan saya. Sekali lagi, Ia menunjukkan penyertaanNya melalui komunitas tempat saya berada: 1. Teman dan rekan kerja yang bukan hanya membawa penghiburan kepada saya ketika saya mulai lemah, namun komunitas ini juga yang memberikan pertumbuhan dalam kehidupan spiritual saya. 2. Bahkan, saya juga diberkati oleh murid-murid saya. Melalui mereka, saya belajar untuk menjadi pembawa berita sukacita, mengenalkan Kristus yang juga semakin mempertajam dan mengoreksi diri saya sendiri. Setiap devotion yang saya bawakan juga kembali semakin menegur dan mengingatkan saya akan Dia. Saya merasakan FirmanNya yang berbunyi “Besi menajamkan besi, manusia menajamkan sesamanya”. 3. Terakhir, komunitas ini memiliki support system yang memberikan nutrisi dalam pertumbuhan saya baik secara mental maupun spiritual (Wilik, Kepala Sekolah SDH Bangka)


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.