![](https://assets.isu.pub/document-structure/221112081822-858a62a3d40d00284cd19f7f6e085e1c/v1/ef80c0250d4cbc29bdf696c70868c6c8.jpeg?width=720&quality=85%2C50)
7 minute read
Lahir dari Rahim Luka
Nurul Fitriyanti
Kepulan asap menyeruak, menyebar diantara angin malam. Menelisik setiap jengkal udara dan memberikan warna putih layaknya kabut. Aroma cengkeh dan tembakau nyaris melukai lubang hidung, meski sebenarnya paru-paru yang telah bekerja untuk mengeluarkannya kembali, adalah bentuk menyicil pe- nyakit-penyakit di masa mendatang. Asap itu keluar lagi, kembali bersatu dengan udara, lalu menghilang begitu saja bersaksikan lampu lima watt yang terpasang di bagian tengah ruangan. Sudah tiga batang rokok tandas dihisap. Dihisap sedalam mungkin seolah sangat ingin menghilangkan rasa sakit.
Advertisement
Rokok, pelengkap imajinasi dan separuh dari obat gelisah manusia. Manusia-manusia menyukainya, menikmatinya, dan memilihnya menjadi teman. Entah akan menjadi teman masa depan atau teman hingga menunggu ajal. Terserah apa kata ma- nusia-manusia suci di pihak seberang tentang rokok. Namun untuk penikmatnya, rokok menjadi sumber energi.
“Apakah rokok punya gender?” Tanyanya.
“Tidak.” Jawab pria di depannya.
“Lalu kenapa perokok perempuan lebih banyak dihakimi dan dipermasalahkan?”
“Karena perempuan istimewa.” Jawabnya lagi setelah cukup lama hening.
“Klasik, alasan yang monoton!” Ujarnya.
Menjadi perempuan bukan sebuah pilihan. Namun segala hal tentang Perempuan, ia pasti terjebak dengan ribuan pilihan dalam hidup. Belum lagi menuruti segala ekspektasi konyol yang diciptakan oleh manusia-manusia seberang. Lekuk tubuh, keanggunan, wajah yang ayu, kesopanan, keperawanan, bahkan jika ada satu saja yang cacat, predikat menjadi perempuan sempurna hanyalah sebuah angan. Tidak akan ada habisnya jika berbicara tentang perempuan.
“Aku keluar dari perut seorang perempuan perokok dan pecandu. Hingga beranjak dewasa, segalanya tetap berjalan baik. Sampai aku cacat.” Ucapnya sembari tersenyum kecu.
“Cacat?” Tanya pria itu.
“Iya, Aku mandul, cerai dan gagal menjadi sosok istri, apalagi seorang ibu.” Jelasnya.
“Aku tetap mencintaimu.” Pria itu kembali bersuara.
“Tidak perlu repot-repot mencintaiku. Aku tidak butuh laki-laki. Kau mau apa dariku? Susu? Paha? Selakangan? Apa? Katakan saja. Tapi kalau kau minta anak dari rahim ku, lebih baik kubur saja mimpimu itu dalam-dalam.” Terangnya dengan se- dikit penekanan.
“Cinta bukan hanya tentang selakangan, Rahayu.” Suara pria itu tetap tenang.
“Lalu tentang apa? Hartaku? Aku hanya seorang pelacur yang numpang makan di dunia ini, jangan berharap lebih.”
“Aku tetap mencintaimu.” Pria itu mengatakannya lagi dan kini hanya dibalas dengan senyum sinis Rahayu.
Barangkali, di sudut bumi ini ada perempuan yang tidak menginginkan kehamilan? Mustahil rasanya. Karena bumi pun tidak memiliki sudut. Naluri perempuan tidak sembrono dalam mengarungi segala zaman. Cita-cita tertinggi setiap pe- rempuan adalah melahirkan. Selain itu, hanya sebuah alur untuk kepantasan hidup.
Rahim menjadi bagian inti paling berharga dalam tubuh perempuan. Rahim merupakan bagian tubuh paling isti- mewa. Dari dalam lubang yang tidak seberapa besarnya, akan lahir Kehidupan-kehidupan baru yang merindukan perjalanan menuju ajal. Sayang, Rahim Rahayu tidak lagi berfungsi seperti wanita-wanita umumnya.
“Aku menyukai rokok.” Ujar Rahayu.
“Aku menyukaimu.” Ujar pria itu.
Rahayu tidak membalas satu patah kata pun. Usai me- matikan rokok yang tersisa setengah dari kelingkingnya, ia berjalan keluar.
Pria itu masih terpaku dengan punggung Rahayu. Seperti ada yang menggelitikki bagian dalam dirinya.
Enam bulan setelah pertemuan itu, Angkringan Kretek tutup. Sepertinya salah hitung dalam berbisnis juga bisa mengakibatkan
bangkrut mendadak. Padahal, Angkringan Kretek masih menjadi primadona di daerah ini dari awal perintisannya. Pindah tempat? Tidak mungkin ada tempat yang lebih strategis dari ini. Berada di pusat kota, dekat dengan terminal dan kampus swasta dengan ragam penghuninya.
“Tidak sia-sia aku menunggumu di depan Angkringan yang sudah mati ini.” Ucapnya.
“Siapa yang menyuruhmu menungguku? Aku hanya menyuruh mu untuk melupakanku, Adi.” Jawab Rahayu.
tegas. “Aku mencintaimu dan aku akan melamarmu.” Ucapnya
“Kau bukan orang baru. Kau tahu seperti apa diriku, jadi sia-sia saja jika kau kawin denganku.” Rahayu mulai membuang pandangannya.
Masih sama dengan pertemuan yang lalu. Pertemuan kali ini habis terpakai untuk meributkan rasa dan kepercayaan.
“Menjadi Ibu adalah impian setiap perempuan Di. Aku tidak bisa menjadi seorang Ibu sekalipun kau berikan aku semesta dan segala isinya,”
“Aku mencintai rokok. Aku mencintai tembakau, cengkeh, asap, dan setiap sedotnya. Kau masih perjaka Adi, kau pantas mendapatkan perempuan baik-baik.” Jelas Rahayu.
Rahayu memang perokok aktif sejak usia delapan tahun, ia diajari oleh para pelanggan teman Ibunya. Terlalu dini memang, Tapi alur hidup yang ia jalani sudah sangat cukup untuk
menganggapnya sebagai perempuan yang telah dewasa sebelum masanya. Sedang Adi, lelaki jurnalis yang awalnya hanya menjadikan rahayu sebatas objek liputan. Sayang, Jatuh cinta tidak bisa disangkalnya. Ia ingin Rahayu menjadi objek peting dalam hidupnya.
Rahayu, perempuan malam yang malang. Tumbuh di lingkungan yang penuh kekelaman. Tidak pernah mengenal cinta, harapan, atau bahkan kebahagiaan. Hanya sebentar, ia me- rasakan kehidupan yang normal. Namun setelah menjadi janda muda sekaligus simpanan para jutawan, Rahayu hanya berpikir tentang hari esok. Uang, uang, uang dan kebebasan diatas se- gala kebahagiaan. Tubuhnya sempurna, perut rata, payudara besar, bokong yang binal, kulit halus sawo matang dan parasnya tidak perlu diragukan lagi. Rambutnya coklat keemasan, tidak hitam pekat. Itu yang menambah auranya khas seperti wanita jawa.
Rahayu anak jadah. Lahir dari rahim wanita yang juga perokok dan penghibur para pria. Ia tidak tahu siapa bapaknya. Ibunya mati setelah menyapihnya. Ia dijual kepada rekan ibunya, tentu untuk menutup segala utang piutang yang pernah ibunya lakukan demi melahirkannya. Namun dalam kekelamannya, Rahayu tumbuh menjadi perempuan cerdas.
“Rumah tangga yang hancur bukan hanya satu pihak saja yang bersalah. Tapi pihak lainnya juga tidak bisa dibenarkan. Mantan Suami yang pernah aku cintai ternyata tidak lebih dari
seorang bajingan. Aku semakin membenci semua laki-laki. Iya, aku pukul rata, aku membenci semua laki-laki.” Jelas Rahayu.
“Kenapa?” Tanya Adi.
“Aku pernah disekolahkan. Sekolah disamping gubuk kumuh Mang Udin. Nama gurunya Bu Yuni, Satu-satunya guru yang tidak pernah menghakimi apapun kenakalanku. Aku me- ngingatnya sebagai guru paling baik selain perjalanan hidupku.” Jelasnya.
Buku karya Yusuf Bilyarta Mangunwijaya yang berjudul Roro Mendut, pernah Bu Yuni pinjamkan untuknya. YB Mangunwijaya menyuguhkan sudut pandang yang berbeda ketika menilai pe- rempuan dan rokok. Rahayu terkesima dalam tulisan-tulisan itu.
Pada zaman pertumpahan darah, seorang Mendut yang merupakan putri boyongan atau tawanan Tumenggung Wira- guna, panglima Kerajaan Mataram memilih rokok sebagai bentuk lain perlawanan.
Sebagai perempuan Jawa, Mendut mencoba melakukan perlawanan atas keinginan seorang panglima yang akan menjadikannya istri, lebih tepatnya selir karena Wiraguna telah memiliki istri sah. Bahkan telah memiliki empat selir sekaligus. Selain tidak ada rasa cinta, Mendut juga telah menjatuhkan hatinya kepada lelaki bernama Pranacita. Bedanya, Rahayu terlalu jatuh cinta dengan pria yang disebutnya sebagai bajingan itu.
Selama menjadi tahanan Wiraguna, Mendut jelas-jelas menolak untuk dipersunting. Meskipun banyak pengorbanan yang telah dilakukan Wiraguna, Mendut tetap menolaknya. Sampai
akhirnya Wiraguna marah dan memberikan sanksi, yaitu Mendut harus membayar sebanyak lima tael kepadanya setiap hari dan tidak jadi dikawini.
Rokok memberinya inspirasi. Dirinya menerjunkan diri menjadi penjual sekaligus penikmat rokok. Sesuatu yang tentu membuat sosoknya sebagai perempuan Jawa tercoreng dengan kebiasaan mengisap rokok.
Rokok tidak ubahnya menjadi suatu strategi seorang perempuan Jawa yang berjuang memperoleh kembali otoritas hidupnya. Hanya dengan menjadi penikmat rokok, Mendut menunjukan sikapnya, menentang kekuasaan yang membuat kebebasan dalam menentukan jalan hidupnya sendiri. Rahayu ingin menjadi seperti Mendut. Kebebasan adalah tahta tertinggi dalam hidup Rahayu, Kira-kira begitu sudut pandangnya.
“Aku hanya ingin menjadi seperti Mendut. Perempuan terlalu rumit dalam menjalani hidup, tapi perempuan juga berhak untuk memilih jalan hidupnya. Dahulu suamiku membawa dua madunya pulang. Perempuan mana yang tidak marah? Usai aku minta pisah, ternyata ia lebih dahulu menghancurkan tubuhku. Ternyata rahimku rusak bukan karena rokok Di, melainkan penyakit tolol yang dibawa pria bajingan itu, ternyata ia lebih kejam dari Wiraguna.” Sekeras apapun hatinya, Rahayu tetaplah perempuan yang akan menjadi rapuh ketika mengingat itu. Bulir air dalam kelopak matanya sudah tidak bisa terbendung. Satu, dua, tiga tetes telah membasahi wajahnya yang ayu.
Setelah menjelaskan tentang patah hatinya, ia lebih memilih rokok untuk menjadi cinta matinya.
“Jika bisa, jika saja bisa aku lakukan, aku saja yang akan hamil, aku yang akan mengandung, aku yang akan melahirkan. Cinta tidak bisa memilih dimana ia akan bersemayam. Pada hati siapa ia akan tumbuh. Ternyata kau, Rahayu. Aku tidak berharap apapun. Aku hanya berharap rasaku ini tidak sia-sia. Aku hanya berharap cintaku tumbuh pada hati yang tepat.” Yakin Adi.
“Kau tidak realistis Adi, silahkan nikmati saja lintinganku ini.” Ujar Rahayu.
Mencintai rokok itu pilihan, mencintai seorang perokok juga pilihan. Menerima setiap rasa, lalu menghempaskannya. Siap untuk merawat perempuan yang rahimnya terenggut akan peng- khianatan cinta bukan persoalan yang sepele.
Setelah meyakinkan untuk mendapatkan cinta Rahayu, ternyata kebahagiaan adalah hal yang semu, sekejap dan ter- lampau pada perpisahan yang pedih.
Di depan gundukan tanah yang ditemani oleh gerimis se- mesta, cerita tentang Rahayu telah usai. Rahayu bersemayam dengan damai, bersama kebebasan yang diharapkannya.
Berbicara tentang kehilangan dan penderitaan, mencintai seseorang dan mencintai penderitaannya berarti harus menerima konsekuensi dari mana saja, entah itu semesta, manusia seberang, atau bahkan Tuhan sekalipun.
“Terima Kasih telah memilih menjadi istriku untuk sebuah kebebasan asap dan rahim. Kau tidak sempurna, tapi aku bangga mencintaimu.” Tutup Adi dalam ucapnya di pemakaman.
Kendal, Januari 2022
![](https://assets.isu.pub/document-structure/221112081822-858a62a3d40d00284cd19f7f6e085e1c/v1/59b5956bf31fee28a6f45556b00c5b4d.jpeg?width=720&quality=85%2C50)