9 minute read

Cermin

Akhmad Baihaqi Arsyad

Lagi-lagi suara itu kembali menggema. Seketika, Bara terkesiap dan terguncang dari duduknya dengan mata setengah kantuk. Tanpa lebih dahulu mengusap keringatnya yang berbau sengak, dia meraih-raih gagang laci meja sekitar setengah meter dari dia duduk. Ditariknya laci itu dengan tangan kirinya dan langsung disambarnya sebuah pistol tanpa harus melihat letaknya. Ya, barangkali seperti punya mata di ujung jemari, tangan kanannya sudah paham betul di mana letak dan bagaimana pistolnya berposisi.

Advertisement

“Sial! Suara itu lagi!” umpatnya sambil beranjak dari duduknya.

Dengan genggaman pistol yang jari tengahnya telah siap menarik pelatuknya, kedua mata Bara mulai terjaga. Pandangannya siaga, membidik semua sisi. Mungkin bila ada sedikit saja suara, sedikit saja klebatan gerakan, jari tengahnya akan refleks memantik pelatuknya, dan dorrr...!

Seperti suara seorang lelaki. Ya, suara itu yang selalu membuat Bara merasa terintimidasi. Meneror dirinya. Hanya dengan satu kalimat. Ya, Bara selalu mendengar suara lelaki yang me- lontarkan satu kalimat. Meski agak lamat-lamat, namun suaranya selalu bisa terbaca oleh telinga Bara.

“Sial! Kenapa suara itu muncul lagi!” Hanya suara itu.

Suara lelaki yang melontarkan satu kalimat singkat dengan nada yang mengintimidasi. Yang mengancam, bagi diri Bara.

“Dia harus kubunuh!” gumamnya sambil napasnya te- rengah patah-patah.

Sebuah pistol di tangan kanannya makin di- genggamnya kuat-kuat. Semakin kalimat singkat itu menyita pikirannya penuh-penuh, semakin keberingasan dalam dirinya meluap-luap untuk membunuh.

Bara memelototi semua sisi. Depan, belakang serta kanan dan kiri. Namun, lagi-lagi seperti biasanya, tak ditemuinya siapa-siapa. Dia langkahkan kakinya menuju sudut demi sudut ruang kantornya. Kamar mandi, ruang istirahat, ruang tamu, juga di bawah setiap meja bahkan kursi. Dan tak ada siapa-siapa. Bara tergesa, segera membuka pintu masuk ruang kantornya. Tengok kanan kiri, juga tiada siapa-siapa. Karena tak ditemuinya lelaki yang melontarkan satu kalimat yang mengintimidasinya itu ak- hirnya dia mulai meyakinkan dirinya bahwa memang tidak ada siapa-siapa.

Dia langkahkan kakinya kembali menuju ke kursi hi- droliknya, sambil betul-betul meyakinkan diri sepenuhnya bahwa yang tersisa hanyalah kesunyian. Dia terduduk, terdiam, men- ghela napasnya sambil memutar-mutar posisinya, sambil sesekali kembali mengumpat. Bara berdiam menenangkan diri sambil memikirkan satu kalimat singkat itu. Kalimat yang selalu dilontarkan seorang lelaki yang tidak bisa dia dapati meskipun sudah dia cari.Siapa sangka dari sebuah kalimat singkat itulah kemudian lahir mengalir dalam keseluruhan ruang pikiran Bara

sebagai teror yang hebat. Ya, hanya satu kalimat. Barangkali itulah alasan mengapa sebuah pistol berada di laci mejanya.

Ditempatkannya kembali pistol itu di posisi semula. Dengan napas yang masih agak tersengal, Bara mulai meraih tisu di atas meja kantornya. Sekali dicerabut tiga helai tisu itu dijumputnya. Tisu impor. Tisu yang lembutnya melebihi lembut sutra. Mulailah Bara mengusapkan tisu yang lembutnya melebihi lembut sutra itu untuk menghilangkan keringatnya yang berbau sengak di sekujur tubuhnya. Dia mengusap-usap keringatnya berulang kali. Lagi, lagi dan lagi. Tapi, seperti biasanya. Bau sengaknya tetap ada. Bara pun sudah tahu harus bagaimana. Dijumput- nya lagi tiga helai tisu, dan dia hanya perlu mengusap-usap per- mukaan tubunya hingga keringatnya tak lagi tegas di muka. Tentu, bau sengaknya tetap tak bisa hilang. Cuma sedikit mereda. Ya, cuma sedikit. Dan pasti Bara tahu betul akan hal itu. Atau, lebih tepatnya dia sudah terbiasa dengan bau sengak keringatnya itu.

Bara tak perlu membuang tisu bekas usapan keringatnya itu ke tempat sampah. Dia hanya perlu mengumpulkannya jadi satu ke tempat khusus di sebuah laci mejanya yang kuncinya hanya dia seorang yang tahu. Kunci rahasia. Namun, lelaki yang melontarkan satu kalimat itu? Ya, Bara kali ini mulai meyakini bahwa lelaki yang mengintimidasi itu pasti juga tahu. Jelas, ka- rena lelaki itu seperti ada di dalam ruang kantornya. Tak heran, mantap sudah niat Bara untuk menghabisi lelaki itu dengan satu pantik pelatuk pistolya. Mungkin hanya Bara seorang dan lelaki yang bersuara itu yang paham bau keringatnya. Sementara yang lain tak akan tahu akan bau sengak keringatnya. Ya, dia cukup menyemprotkan parfum impor yang dibelinya di luar negeri yang

bisa mengharumkan segalanya. Yang wanginya melebih hal yang paling wangi di dunia ini. Tak hanya bisa mengharumkan badan, tapi juga bisa mengharumkan kata-kata yang keluar dari mulut Bara. Kini, berkat keilmuan yang dikuasainya, Bara ternyata bisa membuat wangi parfum itu tahan lama.

Bara selalu menyiapkan sebotol kecil parfum impor itu di saku celananya kalau-kalau dia ketemu orang lain dia hanya perlu menyemprotkannya ke seluruh bajunya, seluruh tubuhnya, juga mukanya bahkan mulut dan lubang hidungnya. Ya, agar bau sengaknya tak tercium orang lain. Hanya wangi yang wanginya melebihi hal yang paling wangi di dunia ini. Lubang hidung juga dia semprot supaya dia juga bisa sedikit melupakan bau sengaknya. Melupakan. Sedikit. Bukan menghilangkan, karena sejatinya Bara masih mencium bau sengaknya.

Telepon kantor berbunyi. Sambil duduk, Bara mengangkatnya dan tampak bicara. Sementara dia berbicara di telpon, keringatnya mengalir di wajahnya dan tampak menguap. Masih sambil berbicara, keringatnya mengalir baunya sengak. Diusapnya keringat itu dengan tisu dan kemudian disemprotkan par- fumnya. Berbicara, berkeringat, diusap dan disemprot. Berbicara, berkeringat, diusap dan disemprot. Berulang-ulang begitu sampai Bara kemudian menutup teleponnya.

Lalu dia menyandarkan punggungnya pada san- daran kursi sambil tersenyum tipis. Pandangannya langsung tertuju pada tumpukan map coklat di atas meja. Dia membuka map paling atas yang telah dieratkan dengan bendel tali pengait.

Dokumen? Ah, bukan. Bara hanya manganggap isi map coklat itu sebagai lembaran-lembaran kertas yang hanya perlu di coretcoret sedikit dengan pulpen miliknya. Pulpen yang dibelinya dari Italy. High quality. Dengan tinta impor dari Amerika yang lekuk goresan hasil dari perpaduan pulpen dan tinta itu konon tak akan lekang oleh waktu. Dari lembaran-lembaran di dalam map coklat, Bara tampak hanya memperhatikan deretan angka-angka yang ada dalam lembar kertas itu kemudian mencoret-coret, tepatnya mengganti angka sesuai keinginannya.

Tiap bara selesai mencoret angka-angka dan me- ngubahnya, muncul aliran keringat yang baunya seperti biasanya, se-ngak. Mengalir jelas di mukanya, lalu menguap. Beberapa buih keringatnya juga netes di kertas. Seketika Bara menjumput tisu, mengusapnya kemudian merogoh saku celana untuk me- ngambil parfumnya. Dia semprotkan ke kertas tadi agar kertas- nya jadi wangi yang wanginya melebihi hal yang paling wangi di dunia ini. Selalu setelah mencoret angka, dia berkeringat, diusapnya dengan tisu, lalu disemprot parfum. Mencoret, berkeringat, diusap lalu disemprot. Berulang-ulang begitu. Selalu berkeringat dan keringatnya selalu bau sengak. Keringat. Ya, bukankah bagi kebanyakan orang keringat adalah tanda keseriusan seseorang yang mencari rezeki. Ah, lebih tepatnya uang, bagi diri Bara.

Untuk sedikit menghilangkan kesunyian, Bara menghidupkan TV di ruangannya. Sesuai jam tayang biasanya, pukul 12 ada kabar siang. Di layar TV dengan gambar bening yang lebar layarnya selebar layar bioskop itu nampak wajah Bara di sorot dekat. Seperti aktor utama dalam sebuah film drama yang setiap geraknya selalu tampak, scene by scene. Bara disambut orang-

orang, tepatnya para warga desa dengan kegirangan. Bara masih ingat adegan sekaligus dialog yang dia ucapkan kepada mereka. Seruan tepuk tangan dan sorak sorai sesekali pecah di sela-sela kata-kata yang diucap Bara. Dari ruang kantornya, Bara sesekali hanya menyimak suara TV. Sambil memegang smarphone milik- nya, dia mengecek akun twitter, instagram dan fanpage di Facebook-nya. Bagaimanapun Bara juga masih sibuk menghitung like dan komentar para netizen yang begitu riuh kata-kata dukungan dan terima kasih di masing-masing tweet, post dan caption yang telah dia rangkai.

Saat kembali menoleh ke layar TV, Bara melihat dirinya tengah beradegan menaruh kedua tangannya di pundak salah satu warga sambil mengucap tegas

“Terima kasih karena masih bertahan hidup sampai saat ini.” Ucapnya.

“Hidup kalian adalah hidupku juga.” Sambil matanya menatap dalam-dalam satu demi satu warga yang menyambutnya dengan meriah tadi.

Kemudian biji-biji air mata netes dari beberapa warga yang berdiri tepat di depan Bara. Sementara yang lainnya ada yang sedikit mengusap matanya dan ada yang nampak menarik napas dalam-dalam.

“Hidup Pak Bara.” sorak salah seorang bapak-bapak yang mengenakan caping yang berdiri agak belakang.

Kemudian diakhiri dengan berswafoto. Sambil masih terduduk, Bara kembali menatap smartphone miliknya dan mem-

balas satu per satu komentar pada postingan instagram yang tak lain adalah postingan hasil swafoto tadi. Dia juga mengecek hashtag yang menjadi trending topik di twitter tiap lima belas menit sekali. Hasilnya masih sama, urutan teratas berturut-turut #DukungBaraJadiPresiden, #BaraBersih&Peduli.

TV di kantornya ternyata masih terus menyala. Sementara tak terasa Bara telah begitu pulas tertidur di atas kursi hidroliknya. Smartphone milik Bara yang tergeletak di atas mejanya bergetar-getar dan sesekali layarnya menyala-nyala. Nampak sebuah panggilan WhatsApp dari kontak yang diberi nama Istriku dengan foto Bara terpampang bersama seorang perempuan, mungkin ya istrinya itu, sedang memegang bingkai bunga yang bertuliskan 10th. Bara lantas terbangun dari tidurnya dan diraihnya Smartphone miliknya. Saat hendak menggeser layar smartphone dengan jari jempol kanannya dengan niat untuk mengangkat panggilan itu, panggilannya terlanjur berakhir tanpa sempat Bara angkat. Hanya telat setengah detik mungkin. Layar- nya kemudian nampak terbaca 7 panggilan tak terjawab. Juga lima kontak berjajar berurutan yang mengirimkan pesan WhatsApp pada Bara. Bara menatap layarnya tanpa membukanya pesannya. Empat kontak itu berurutan bertuliskan nama Vendor 3, PT. Jalan Surga 7, Proyek 8, Rekan Kerja New yang tidak nampak penggalan pesannya. Hanya nama kontak paling atas yang mengirim pesan terbaru yang terbaca sepenggal. Ya, dari kontak yang diberi nama Istriku.

“Pah, ditanyain Chika mau pulang jam be....” dan lan-

jutannya tidak terbaca. Bara pasti sudah bisa mengira-ira lanjutan pesannya. Bara berkemas dan siap-siap bergegas pulang menuju apartemen miliknya, tepatnya apartemen barunya.

“Hari ini, mungkin apel.” ucapnya pelan sambil me- mikirkan di mana toko buah terdekat untuk oleh-oleh istri dan anaknya.

Tentu, apel itu akan dibelinya untuk istri dan anaknya menggunakan uang Bara sendiri. Uang dari hasil keringatnya sendiri. Ya, keringatnya sendiri.

Bara menatap arlojinya. Ternyata jarumnya sudah ber- henti berdetak-detak. Arloji kinetik. Arloji yang jarumnya bisa merangkak jika tangan Bara tetap bergerak. Bara lalu mencocokkan arlojinya dengan jam pada Smartphone-nya. Bara memutar jarum pendeknya hingga menunjuk angka 4 sedikit menuju arah angka 5, dan jarum panjangnya menunjuk angka 3. Ternyata dua jam sudah Bara terlelap di atas kursi hidroliknya. Bara ke- mudian menggoyangkan tangannya. Seketika gerigi-gerigi emas asli dalam rangkaian arloji nampak bergerak-gerak. Sebagian gerigi lainnya berdetak-detak.

Bara menatap sebuah foto yang dipajangnya di meja. Fotonya bersama istri dan anaknya yang diambil kira-kira setengah tahun yang lalu di depan pintu apartemen barunya. Bara tersenyum sejenak, beranjak dari duduknya sedikit lalu mengelus foto itu. Saat Bara hendak kembali duduk, salah satu sepatunya me- nyenggol tiang bendera yang berada tepat di belakangnya. Bara sedikit menoleh dan memandangi bendera yang tidak berkibar itu. Bendera yang tulisannya hanya sedikit terbaca Kementeri-

an.... dan bagian sisanya tertutup lipatan-lipatan.

“Sudah hampir 1 tahun,” ucapnya lirih dan Bara sedikit tersenyum.

Saat Bara hendak berdiri tiba-tiba suara lelaki itu muncul kembali. Satu kalimat itu kembali terdengar. Kali ini bukan lamat-lamat, tapi sangat jelas dan tegas. Berulang-ulang. Suasana mendadak sunyi. Refleks Bara meraih gagang laci dengan tangan kirinya dan segera menyambar pistol di dalam laci dengan tangan kanannya lagi. Dia genggam pistol itu erat-erat. Jari tengahnya siap memantik pelatuknya. Bara berdiri, dan mendadak semua sisi ruangan kantornya berwarna abu-abu. Tiada yang berubah selain warnanya. Menjadi serba abu-abu. Kelabu. Suara itu kemudian berhenti. Namun, ruang kantornya masih abu-abu. Di salah satu sudut ruang kantornya tiba-tiba ada yang nampak berwarna. Bukan berwarna, Bara melihat itu seperti ada sedikit cahaya yang mancar. Bara mendekatinya. Ternyata cahaya dari sebuah pintu. Dengan posisi siaga, kalau-kalau ada lelaki yang dia cari itu, dia akan sigap menarik pelatuk pistol yang sudah ada di genggamannya. Bara lalu membuka pintunya.

Bara terkesiap. Benar-benar didapatinya seorang lelaki berdiri di depannya. Jelas sekali. Lelaki itu berdiri tegak meng- hadap Bara. Tatapannya tajam, menatap mata Bara dalam-dalam. Di dada lelaki itu seperti muncul gambar istri dan anak Bara yang memancarkan cahaya. Kedua mata Bara nampak berkaca-kaca. Seperti akan jatuh bulir-bulir air dari kedua matanya. Bara berkeringat. Keringatnya lebat. Lebih jelas dan lebih tegas dari biasanya. Bau sengak keringatnya tebal semerbak. Lebih sengak

dari biasanya. Tubuhnya memanas. Tangannya gemetar. Wajah- nya memerah. Bara menatap tajam bibir lelaki itu. Dia nampak ingin melontarkan satu kalimat yang selama ini menerornya. Bara mengacungkan pistolnya. Jari tengah tangan sudah setengah memantik pelatuk pistolnya. Lelaki itu ternyata melakukan hal yang sama.

Lalu lelaki itu berteriak. “Koruptor harus dihukum mati!” Dorrrrrrr.... pyarrrrrrrr... Pecahan cermin berhamburan oleh satu peluru pistol, tepat di depan Bara.

Yogyakarta, Maret-Mei 2021

This article is from: