![](https://assets.isu.pub/document-structure/221112081822-858a62a3d40d00284cd19f7f6e085e1c/v1/72cbddfb3e4cd2e6df5cd376316f3f1e.jpeg?width=720&quality=85%2C50)
8 minute read
Perjalanan Pulang
Nur Aeni Safira
Deru mesin beradu saling bersahutan di jalanan. Motor, mobil, bus kota, taksi, mikrolet, hingga bajaj berbaris tak karuan di belakang garis zebra, menunggu lampu yang merah menyala. Rana menyaksikan bapak tua pengemudi bajaj terbatuk-batuk. Mungkin terlalu sering menghirup asap-asap hitam yang men- jadi kabut di tengah kota. Macet dan polusi memang menjadi bagian muram dari megahnya ibu kota. Tetapi, sore ini Rana akan meninggalkannya. Tempat dimana orang-orang yang datang dari berbagai penjuru mempertaruhkan kehidupan. Menggantungkan mimpi-mimpi, bertahan, memungut cita-cita yang jatuh ber- serakan.
Advertisement
Rana akan meninggalkan Ibu Kota. Meletakkan impiannya sejenak saja, menjemput rindu yang tertinggal di kampung ha- laman. Pulang.
Rana datang ke Ibu Kota bukan saja untuk mewujudkan mimpi. Ia datang untuk mencari seorang lelaki. Lelaki yang sa- ngat dibenci, dan paling dirindukan nya. Di kampung, dunia terasa berjalan lebih pelan. Udara yang dihirup lebih bersahabat. Suasana terasa lebih tenang. Namun, tidak dengan hati Rana. Hatinya telah dibakar oleh seorang lelaki. Membara di keheningan. Rana melangkah dari tempat yang hening ke Ibu kota. Mempertaruhkan mimpi, melampiaskan kemarahan, dan menantang dunia. Entah apa yang dicari dari lelaki itu, tetapi niatnya tak pernah padam barang sedikit. Sekali lagi, ia pulang bukan untuk menyerah.
Ibu kota tidak pernah tidur, tidak pernah berhenti bekerja. Bahkan ketika Rana ingin pergi, Ibu Kota tetap saja sibuk. Per- jalanan menuju stasiun cukup panjang. Bukan karena jaraknya, tetapi karena ibu kota terlalu sibuk. Ia berlali mengejar waktu, dan benar-benar berlari mengejar kereta yang hampir berlalu.
Gerbong yang ditempatinya lebih ramai diisi oleh barang dibandingkan manusia. Menatap layar telepon genggam terasa lebih menarik, ketimbang harus berbicara dengan penumpang lain. Sesosok pria paruh baya dengan topi coklat di depannya sibuk menatap arah keluar jendela yang dihiasi rintik hujan. Urat wajahnya keluar seperti akar pohon beringin dengan kumis lebat. Namun tatapannya sendu seakan dipenuhi kerinduan. Rana se- sekali melirik. Tiba-tiba, “Mbak” pria itu menyapa Rana.
“Iya” jawab Rana dengan nada lirih.
“Turun dimana?” tanya pria itu.
“Saya turun di Stasiun Purwokerto pak, bapak turun dimana?”
“Sama kalau begitu. Sudah lama saya tidak berkunjung ke sana.”
“Bapak asli sana?” Rana penasaran.
apa?” “Bukan, tetapi anak saya tinggal disana. Nama mbak si-
“Saya Rana, Pak”
“Mbak Rana, salam kenal saya Suhandi.”
“Nggih pak,” jawab Rana menghargai lawan bicaranya.
Wajah pria paruh baya itu tampak tak asing, seolah ia pernah mengenalnya. Namun, ia tak menghiraukan segala kemiripan yang ada pada pria itu dengan seseorang yang ia kenal. Perjalanan pulang ramai diisi keheningan karena semua orang lebih sibuk memperhatikan diri mereka masing-masing dibandingkan orang lain.
“Bapa, tinggal di Jakarta juga?” Tanya Rana setelah cukup lama hening.
“Iya, saya sudah lama tinggal di Jakarta dan baru kali ini saya pulang,” terangnya.
“Pulang ke rumah bertemu keluarga ya pak,” Rana dengan nada bergurau.
“Bukan mbak, sebenarnya saya mau ketemu seseorang di sana dan ada urusan juga,” jawab Pak Suhandi dengan senyum kecil.
“Begitu ternyata,” Rana mencoba mengakhiri obrolan de- ngan secepatnya.
Akan tetapi, Pak Suhandi baru memulai cerita tentang dirinya yang mengundang rasa penasaran Rana. Cerita yang membuat dirinya mengingat tentang masa kecil dan beberapa hal yang sangat ia ingin lupakan.
“Mba Rana, mirip sama putri saya kalau saya lihat,” celetuk Pak Suhandi.
“Iyakah pak? Kalau boleh tahu usianya berapa pa” jawab Rana yang juga penasaran.
“Mungkin seumuran mba Rana. Pas kecil dia anaknya manis sekali, apa-apa harus dengan ayahnya. Dulu sempat saya belikan boneka, dia pegang terus dibawa kemana-mana,” Pak Suhandi bercerita dengan suara yang lirih tetapi terdengar sedikit bergetar. Tatapan matanya begitu dalam.
Demi melihat ekspresi Pak Suhandi, Rana mulai me- ngernyitkan dahi dan sedikit tersenyum.
“Wah, sama seperti saya dulu juga ada satu boneka yang saya sayang tetapi sudah dibuang karena usang dan rusak,” mata Rana berbinar.
“Ternyata setiap anak perempuan hampir sama, putri saya pasti juga sama cantiknya dengan mba Rana,” pujinya pada Rana.
“Terima kasih pak atas pujiannya.”
“Saya sudah lama sekali nggak ketemu sama dia. Bahkan sekarang saya tidak tahu dia ada di mana.”
Mendengar kalimat itu, Rana bingung harus bereaksi se- perti apa. Dari beberapa percakapan, dia menyimpulkan kalau Pak Suhandi memang sudah lama tidak bertemu dengan putri- nya, tapi dia awalnya tidak begitu peduli dan sungkan untuk tahu lebih jauh.
“Saya pergi ke Jakarta ninggalin putri dan istri saya mbak.” Tiba-tiba Pak Suhandi melanjutkan ceritanya.
Ekspresi Rana langsung berubah. Seketika wajahnya memerah, matanya tajam memandang Pak Suhandi. Jari-jarinya menguat menggenggam tas di pangkuannya. Kata-kata yang ingin dikeluarkan Rana tercekat di tenggorokan. Hatinya yang belum padam kini mulai membara lagi. Rana sejatinya bukan perempuan perasa. Tapi mendengar pengakuan Pak Suhandi, emosinya tersulut. Sementara itu, Pak Suhandi tidak begitu kaget dengan respon Rana. Ia menyadari betul itu memang kesalahannya. Melihat Rana seolah melihat kesalahan masa lalu yang terbungkus rapi dihadapkan dihadapannya.
“Dulu, saya sayang sekali sama istri dan putri saya. Se- perti ayah-ayah yang lain, bertemu mereka setelah letih bekerja, seperti memberi nafas baru. Apapun yang diinginkan putri saya, saya selalu berusaha banting tulang memenuhinya. Saya lahir dari keluarga miskin, sejak kecil kalau mau apa-apa harus be- kerja. Saya tidak ingin putri saya merasakan penderitaan seperti itu. Jadi meskipun waktu itu kami bukanlah orang yang berada, saya selalu berusaha memberikan yang terbaik untuknya.
“Namun, suatu ketika rumah lama saya terbakar. Be- runtung waktu itu tidak ada yang di rumah. Sejak saat itu perekonomian saya menurun drastis. Saya sering cekcok sama istri saya. Tapi saya tidak pernah sekalipun ingin terlihat seperti itu di depan putri saya, saya sangat sayang sama dia.”
Matanya Pak Suhandi berkaca-kaca. Seperti ada energi yang membuat ia bercerita masa kelamnya kepada seorang gadis
yang hanya kebetulan duduk di depannya ketika ia menumpang kereta. Pendingin di kereta seakan tidak berfungsi. Kini udara terasa cukup panas di antara mereka berdua. Penumpang lainnya sibuk dengan aktivitasnya sendiri. Ada yang tidur, main Hp, atau sekadar melihat ke jendela menyaksikan gelap. Sementara Rana, ia mendengarkan dengan seksama apa yang diceritakan Pak Suhandi, tanpa memotong barang sekali.
“Mbak Rana, bukan benar-benar karena musibah yang membuat saya berubah jadi seperti itu. Rumah saya terbakar sebab ada yang membakarnya. Masalah kerjaan. Istri saya tahu, ia yang sejak awal tidak ingin saya bekerja di tempat itu, mulai sering menyalahkan saya. Kehilangan kepercayaan seorang istri ialah hal yang sangat buruk bagi saya. Di luar rumah, konflik datang silih berganti, dan ketika pulang, saya tidak lagi dipercaya istri sendiri. Hanya putri saya yang menjadi harapan hidup saya. Tetapi, suatu malam kesalahan terbesar saya lakukan. Saya mengamuk bahkan di depan putri yang paling saya sayangi. Sejak saat itu, saya memutuskan menghilang dari kehidupan mereka.
Rana tidak merespon apapun. Pikirannya justru melayang jauh ke belakang. Semua pahit hidup seakan berkumpul di atas kursi kereta sore itu.
Lima belas tahun lalu, ketika dirinya masih menjadi anakanak yang polos, Rana berpikir ia adalah anak paling beruntung karena memiliki kedua orang tua yang selalu mencurahkan cinta dan kasih sayang padanya. Sampai suatu saat ia mengetahui se-
suatu yang merubah hidupnya hingga detik ini.
Hujan malam itu, masih teringat jelas dalam ingatannya. Aroma dan suara hujan yang bersatu dengan petir menambah suasana yang sudah kacau. Suara barang-barang jatuh terus menerus berdentang sesekali diiringi dengan suara teriakan.
“Udah!! sakit badanku sampean gebukin terus tiap hari. Mikir ada anakmu,” ucap seorang perempuan yang sedari tadi menahan rasa sakit dengan badan membiru.
“Ya ini salahmu, kenapa melawan suamimu sendiri,” gertak pria yang sedari tadi memukuli istrinya sendiri.
Dari balik pintu kamarnya, Rana kecil mendengar semua pertengkaran kedua orang tuanya. Tangis ibunya yang menyayat hati ditambah suara ayahnya yang semakin keras. Ia mencoba menghentikan ayahnya untuk berhenti memukuli ibunya yang kepalanya mengucurkan darah. “Udah!! Kasian ibu,” teriak Rana kecil yang mencoba menghentikan ayahnya.
“Bangsat!! Bocah cilik ga usah ikutan, diam!!.” Untuk pertama kalinya Rana melihat sosok ayahnya yang brutal dan kasar.
Ayah Rana tidak lagi mencerminkan sosok kepala keluarga yang ia kenal penuh kehangatan dan kasih sayang. Ia juga baru mengetahui jika ayahnya sering memukuli ibunya yang baru Rana ketahui malam itu.Ketika ayahnya mabuk dan kalah bermain judi istrinya sering dijadikan pelampiasan. Tetapi, sang ibu tak pernah sekalipun menceritakan kebusukan ayahnya di depan putri semata wayangnya. Sejak saat itu, ayahnya menghilang dari dunia.
Kereta yang ditumpangi Rana telah sampai di stasiun pemberhentian. Ia segera bergegas dan berpamitan dengan Pak Suhandi yang dalam perjalanan terus menceritakan masa kecil putrinya.
“Pak Suhandi, saya doakan Bapak bisa bertemu de- ngan putri bapak lagi. Dengan sebab apapun, bapak memang te- lah melakukan kesalahan besar, tetapi bapak masih ingin mem- perbaikinya. Mendengar cerita Pak Suhandi, saya teringat dengan ayah saya. Dia mungkin sama seperti bapak, tapi dia tidak pernah ingin kembalii.
” Rana lalu berdiri meninggalkan Pak Suhandi yang masih terduduk. Hatinya kini semakin terbakar. Ia memutuskan tidak ingin kembali merindukan sang ayah. Hanya tinggal kebencian yang ada. Setelah turun dari kereta, ia hanya perlu berubah menjadi gadis cilik yang ingin bertemu dengan ibunya lagi.
Di rumah, Ibu Rana sudah menanti kepulangan putri semata wayangnya dengan menghidangkan makanan kesukaan- nya.
“Kamu lain kali, seringlah pulang biar rumah ga sepi,” keluh ibunya. Saat ini mereka tinggal di salah satu komplek perumahan. Jadi memang suasana lebih sepi dibanding kampung yang beberapa tahun lalu mereka tinggali.
“Ya maaf bu, Rana juga masih banyak pekerjaan disana”
Ibunya yang sudah lama tidak berjumpa menghujani Rana dengan banyak pertanyaan. Ketika keduanya hanyut dalam ob- rolan hangat ibu dan anak rumah mereka kedatangan tamu. Tamu yang datang ke rumah mereka tampak tak asing bagi Rana.
“Pak Suhandi? Kenapa bisa tahu rumah saya?” Rana penasaran karena sedari tadi ia tidak menceritakan alamat rumah.
bali. “Benar, ini rumah bu Rahayu?” lelaki itu memastikan kem-
“Iya benar, saya anaknya”
Sekujur tubuh Pak Suhandi bergetar hebat. Otot-otot dan urat sarafnya menegang menyerupai akar-akar kayu beringin di kulit kurus itu. Setelah bertahun-tahun mencari, akhirnya me- nemukan rumah mereka. Kebahagiaan tiada tara menumpahkan air mata dari atas pipi yang keriput. Ia berlutut di kaki pe- rempuan yang ada di depannya. Memohon maaf. Rana bingung. Ia perlahan mundur dan berusaha mengangkat tubuh lelaki ter- sebut.
“Ada apa ya pak? Coba bapak tenang dulu.”
“Aku ayahmu nak, Suhandi ayahmu.”
Rana yang tak percaya ia akhirnya bertemu dengan ayah -nya. Setelah mencoba mencarinya dan tak menemukan keberadaanya ia datang di hadapannya. Setelah kebencian me- lunturkan segala kerinduannya. Hanya baru kemarin sore.
“Saya ayahmu, Nak.”
“Bukan, ayah saya sudah mati,”