8 minute read

Mahakarya Empu Suropati

Next Article
Deru Dendam

Deru Dendam

Umi Salamah

“Sebagian besar ladang di daerah Ayamalas ludes di- makan hama, Pak. 80% kemungkinan bakal gagal panen. Beberapa buruh yang ngaku belum dibayar ada di luar buat nagih upah.”

Advertisement

Hartawan terbelalak mendengar pernyataan dari salah satu orang kepercayaannya. Keningnya berkerut dalam dan tajam. Di kursi kerjanya, pria berusia awal empat puluhan itu berdecak kesal.

“Upah apa lagi? Bukannya sudah saya kasih? Kerja ngurus sawah saja tidak becus, tapi minta upah terus. Suruh mereka pergi!”

Yudi membasahi bibirnya yang kering, lantas menelan ludah susah payah. Ia duduk di hadapan Hartawan dengan dada yang bergemuruh dan tubuh berbanjir keringat.

“M-masalahnya ….. mereka bersikeras meminta upah ka- rena belum mendapatkan uang sepeser pun. Sepertinya uang yang Bapak beri ke Mas Ilyas untuk upah pekerja, dibawa lari oleh dia. Saya dengar, sudah seminggu dia pergi dari rumah tanpa pamit.”

Hartawan nyaris menggebrak meja. Namun, pria itu mengurungkan niatannya. Ia sandarkan punggung pada kursi, kemudian memijit keningnya yang mulai pening. Lagi-lagi ia kecolongan. Beberapa bulan terakhir, ia ditimpa kemalangan bertubi-tubi. Mulai dari menurunnya omzet bisnis yang ia jalankan, peternakan sapi yang kebakaran hingga tak menyisakan apa pun,

hingga ladang yang terancam gagal panen. Malas berdebat lebih panjang, Hartawan mengeluarkan beberapa lembar uang seratus ribuan dan memberikannya pada Yudi.

Sebelum meminta pria yang lebih muda darinya itu pergi, Hartawan lebih dulu bertanya,

“Ada kabar apa dari calon sebelah?”

“Sejauh yang saya lihat, calon sebelah punya peluang lebih besar untuk menang di Pilkada tahun ini, Pak. Sejak kemarin, sudah banyak warga yang menolak sogokan kita karena lebih mendukung calon sebelah.”

Hartawan terhenyak. Fakta itu membuatnya pikirannya semakin carut-marut.

“Lho, kok bisa? Sebenarnya kamu dan yang lain itu kerja atau malah leha-leha saja?! Saya tidak mau tahu, cari dukungan sebanyak mungkin dari warga kalaupun itu harus mengeluarkan banyak uang. Kumpulkan orang-orang malam ini untuk rapat! Sana kamu keluar!”

Sepeninggal Yudi dari ruang kerjanya, Hartawan kembali menyandarkan punggung pada kursi. Ia pejamkan matanya, ber- usaha membuang jauh segala prasangka buruk akan takdirnya di masa depan. Impiannya untuk menjadi seorang kepala desa sudah di depan mata. Hartawan tak akan membiarkan segala peluh dan uang yang ia keluarkan sia-sia begitu saja. Bagaimanapun caranya, ia harus bisa menang.

Hartawan duduk di kursi rotan teras rumahnya sembari menikmati sepuntung Marlboro yang tinggal setengah. Asapnya berpendar, larut bersama udara pagi yang masih tanpa noda. Sesekali ia mengangguk ramah ketika ada warga yang menyapa saat melewati depan rumahnya. Meski setelah itu, ia kembali memasang ekspresi serius. Kondisi pria itu tak lebih dari seseorang yang tengah diserbu oleh beratnya beban pikiran.

Hartawan tak ingin mempercayai takdir lewat mimpi yang ia yakini sebagai ilusi. Namun, sudah berhari-hari ia me- mimpikan hal sama, yang lambat laun pun mulai memengaruhi pikirannya untuk percaya. Yaitu mimpi tentang Mbah Mijan yang memintanya mengambil sebuah keris untuk membantunya ke- luar dari segala permasalahan yang tengah ia hadapi.

“Kamu sekarang sudah jadi orang besar. Tapi, suksesmu tidak akan lama jika kamu tetap berjalan sendiri. Pesaingmu ba- nyak. Datangilah Empu Suropati di Bukit Selok. Minta keris sakti milikku yang dia rawat selama ini. Pelihara pusaka itu untuk mendapatkan keselamatan dan kemasyhuran! Kalau tidak, mungkin sebentar lagi orang lain akan menggantikan posisimu dan kamu akan hidup melarat lagi.”

Ucapan Mbah Mijan masih begitu terngiang di benak Hartawan. Hari demi hari berlalu, dana yang ia punya makin menipis. Sementara segala bisnis yang ia jalani pun tak dapat menutup kekurangan. Tentu, Hartawan ingin menghindari kemungkinan ucapan Mbah Mijan menjadi nyata. Setelah bertahun-tahun pontang-panting, Hartawan akhirnya dapat menikmati hidup. Layaknya nama yang orang tuanya berikan, Hartawan tumbuh

menjadi pria dengan segudang kekayaan. Sungguh tak dapat ia bayangkan jika harus kembali bernasib miskin seperti dulu.

Mbah Mijan menjadi seseorang yang berperan besar dalam kesuksesaannya sekarang. Ia yang mengajarinya berbisnis sampai kaya, meski sadar jika cara yang digunakannya tak benar. Hartawan pernah menjadi orang hina dan menyerahkan harga di- rinya sebelum menjadi jutawan. Ia berpikir hanya harus berhasil melangsungkan hidup di dunia walau seharam apa pun cara- nya. Hartawan tak peduli, sebab dari awal ia tak percaya pada ke- besaran Tuhan. Karena ia pikir, kalau Tuhan memang me- nyayangi hambanya, pasti sejak dulu Hartawan tak ditempatkan pada kemelaratan. Mbah Mijan menjadi satu-satunya orang yang dapat ia percaya bahkan sampai kini ketika orang itu sudah tiada.

“Bagaimana? Sudah kamu dapatkan informasi tentang Empu Suropati?” Hartawan melempar tanya pada Yudi yang baru datang bersama motornya.

“Saya sudah dapatkan alamatnya, Pak. Beliau adalah pembuat keris. Saya bisa antar Bapak ke rumahnya jika Bapak ingin menemui Empu Suropati.”

Hartawan lekas mengangguk. “Ya, tentu. Kita ke sana sekarang.”

Hartawan membuang puntung rokoknya, lantas mengajak Yudi untuk bergegas. Butuh waktu sekitar tiga jam menggunakan mobil untuk sampai di Jambe Lima. Tempat itu terletak di Bukit Selok yang terkenal dengan berbagai kisah mistisnya. Banyak pertapaan yang merupakan tempat keramat dengan pengunjung dari

bermacam daerah. Kisah bahwa Bukit Selok dulunya adalah tempat bersemayam para dewa, membuat masyarakat kukuh datang untuk mencari kemasyhuran. Mereka melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki sebab mobil tak dapat masuk lebih dalam. Tak lama, mereka tiba di sebuah pondok kayu yang terletak cukup jauh dari pemukiman. Sekelilingnya semak belukar. Beberapa sisi pondok itu bahkan telah keropos digerogoti rayap.

“Siapa kalian?”

Hartawan dan Yudi kompak menoleh ke belakang tatkala mendengar suara seseorang. Pria tua berdiri di sana dengan rahang mengeras dan dahi berkerut. Ia memandang sengit dua orang asing di hadapannya sembari mengelus berewoknya yang telah memutih.

“Apakah Anda.... Empu Suropati?” tanya Hartawan untuk memastikan.

“Ya. Siapa kalian?”

“Saya Hartawan. Saya datang ke sini untuk sebuah keperluan.”

“Aku tidak menerima tamu asing.” Empu Suropati tak lepas memperhatikan Hartawan. Bukan orang yang akan memberi- nya untung, pikirnya. Pria itu berjalan melewati Hartawan untuk memasuki pondoknya. Namun, suara dari Hartawan kembali menghentikan langkahnya.

“Saya cucu dari Mbah Mijan. Saya ke sini untuk mengambil keris milik beliau.”

Empu Suropati tampak berpikir sejenak sampai akhirnya berkata, “Masuklah! Hanya kamu, tidak dengan orang di sebelahmu.”

Hartawan meninggalkan Yudi untuk menyusul Empu Suropati memasuki pondoknya. Sampai di dalam, pintu lekas dikunci rapat. Remang, ruangan hanya diterangi oleh cahaya mentari yang menelusup lewat ventilasi. Hampir setiap sisi tergantung pusaka dan benda keramat lainnya. Di bagian belakang, terdapat ruang sebagai tempat pembuatan keris. Nuansa mistis di dalam ruangan itu membuat bulu kuduk Hartawan meremang.

“Apa yang membawamu kemari?” tanya Empu Suropati.

Hartawan berdeham, membasahi kerongkongannya yang terasa kering. “Mbah Mijan memberi petuah pada saya untuk mengambil kerisnya yang selama ini Anda pelihara.”

Empu Suropati tertawa mendengar penjelasan Hartawan. “Miliknya? Aku membuat keris itu bukan untuk Mijan. Itu milikku dan kamu tidak punya hak untuk memeliharanya.”

“Mbah Mijan mengatakan bahwa itu miliknya dan di- wariskan untuk saya. Beri saya keris itu! Saya akan membayarnya berapa pun yang Anda mau.”

“Aku bahkan tidak ingin memperlihatkannya padamu. Pergilah! Cari orang lain yang bisa membuat kekayaanmu abadi. Kamu tidak akan bisa memelihara keris itu. Aku tuannya.”

Hartawan mulai diserang emosi. Pria tua di hadapannya berlagak seolah begitu sakti. Angkuh bukan main. “Anda akan

menyesal karena menolak uang saya hanya untuk sebuah keris.” Usai mengucapkan hal itu, Hartawan berlalu. Ia sudah ber- sumpah untuk tak lagi menjadi orang yang sudi memohon-mohon.

Setelah hari itu, Hartawan kira hidupnya akan baik-baik saja. Namun, setiap malam ia tak dapat tidur tenang sebab selalu mendapat mimpi yang sama tentang perintah Mbah Mijan. Tak hanya itu, kemalangan pun makin datang bertubi-tubi. “Ambil keris itu dari Empu Suropati bagaimanapun caranya! Bunuh dia kalau memang harus!” tegas Hartawan pada Yudi dan empat anak buah yang berdiri di hadapannya. Ia bisa gila jika terus mendapat kesialan seperti ini.

Esoknya, keris yang dimaksud oleh Hartawan berhasil direbut. Keris berbahan logam itu tampak apik. Terdapat ukiran ular berkepala dua bercorak emas melintang di tengah mata keris. Gagangnya terbuat dari kayu yang dipahat membentuk sosok Semar—tokoh Punakawan dalam pewayangan. Hartawan tersenyum puas sembari mengelus mata keris dengan jarinya.

Berhari-hari Hartawan memelihara keris itu, keajaiban pun mulai membanjirinya. Ia bahkan berhasil menduduki tahta sebagai kepala desa. Dan yang paling membuat Hartawan takjub adalah Galuh—istrinya—berkata jika wanita itu tengah berbadan dua. “Ini pasti karena keris sakti Mbah Mijan. Keris itu memang pembawa keajaiban. Sebentar lagi aku akan memiliki anak.” Tak habis Hartawan mengelu-elukan keris yang diambil- nya dari Empu Suropati. Selama ini, dari sekian kemasyhuran yang ia punya hanya satu yang tak pernah Hartawan dapatkan,

yaitu keturunan. Bukan sebab ia atau istrinya mandul. Entah kutukan apa yang membuatnya demikian. Bahkan dirinya bukan menikah hanya sekali. Istrinya yang sekarang adalah wanita ke enam yang berhasil ia pinang. Kabar baik ini tentu membuatnya senang bukan main.

Sibuknya segala tanggung jawab yang ia emban, membuat kesehatan Hartawan hari demi hari mulai menurun. Ia terbujur sakit di kamarnya sejak seminggu terakhir. Makin hari, ia makin tak berdaya. Anehnya, penyakit yang ia derita tak dapat dideteksi dengan pasti oleh medis. Namun, Hartawan seringkali mengeluh kesakitan yang bahkan ia sendiri tak dapat menunjukkan di mana letak sakit itu. Galuh merawat suaminya yang terbaring lemah di ranjang selagi perutnya makin membuncit. Menyerah dengan dokter yang selalu mengatakan tidak ada yang salah dengan suaminya, Galuh mendatangkan seorang dukun. Ia takut jika suaminya terkena kutukan dari orang sakti.

“Apa yang baru saja dilakukan olehmu?” Seorang dukun bertanya usai berkomat-kamit membaca mantra. “Apakah kamu baru saja mengambil hak milik orang lain? Kamu mengambil pusaka sakti tanpa izin dari pemiliknya?”

“Keris dari Empu Suropati, saya mengambilnya tanpa izin.” Hartawan bergumam dengan suara lemahnya. Sekujur tubuhnya sama sekali tak dapat digerakkan. Kepalanya seakan ditimpa beban berkilo-kilo hingga terasa begitu berat. Urat-urat bertonjolan di lehernya beserta keringat dingin yang membanjir.

“Mintalah sang empu datang ke sini! Ajukan permintaan maaf padanya! Itu yang saat ini bisa menolongmu.”

Usai mendengarkan saran dari dukun itu, Hartawan meminta Yudi untuk memanggil Empu Suropati datang ke rumahnya. Namun, tak semudah itu setelah apa yang sudah dirinya perbuat. Hingga setelah menunggu dengan keadaan makin sekarat, Empu Suropati akhirnya berkenan untuk datang. Auranya yang mencekam membuat atmosfer di kamar Hartawan menjadi amat mengerikan. Hartawan yang terbaring di ranjang menatap takut Empu Suropati yang kini duduk di sebelahnya. Bibirnya yang terasa kelu, susah payah mengucapkan kata maaf.

“Ma-af, ma-afkan aku … Empu,” rintihnya dengan suara yang nyaris tak terdengar. Setitik cairan bening merembas dari matanya yang memerah. Kesakitan yang menghajar tubuh ber- hasil meruntuhkan seorang Hartawan yang terkenal keras dan tak pernah meneteskan air mata.

Empu Suropati tersenyum, tetapi senyumnya tetap memberi kesan menyeramkan.

“Minta maaflah pada Tuhan! Apa yang kamu dapat dengan mengambil keris itu dariku? Kemasyhuran? Kekayaan? Keturunan? Lantas, apa yang tubuhmu sendiri dapatkan? Kesakitan? Kemalangan? Sekarang, apa yang kamu harapkan?”

“Sembuh.” Hartawan makin dibanjiri air mata.

“Hanya itu? Mintalah pada Tuhanmu! Dia yang memberi hidup dan mati. Keris itu pada akhirnya tidak memberikanmu apa-apa. Aku sengaja membiarkan para anak buahmu me- ngambil keris itu dariku. Dan kamu dengan bangganya bersyukur pada keajaiban dari sebuah logam. Aku pun sudah bilang bahwa orang sepertimu tidaklah mampu untuk memelihara keris itu. Mintalah ampun pada Tuhan yang telah kau khianati!”

Cilacap, 20 Maret 2022

This article is from: