9 minute read

Kemelut Sekar

Rizkyana Maghfiroh

Matahari belum mencapai ketinggian sempurna ketika Sekar meninggalkan rumah. Begitu terburu, tanpa sesuap nasi sebagai amunisi. Tampak sengaja memburu waktu, ingin lekas pergi meninggalkan suara tangis bayi dari kamar belakang. Ia bahkan belum pernah melihat wajah makhluk mungil itu.

Advertisement

“Nduk, sarapan dulu!” teriak Sumiyati dari kamar belakang.

“Nanti saja, Bu. Sekar sudah terlambat.”

“Sudah peras ASI?” Pertanyaan serupa yang selalu menggantung di pagi buta. Sekar tak menjawab apapun. Ia hanya sekilas melirik pada stoples berisi susu formula di pojok meja makan yang masih terisi hampir penuh.

“Sekar pamit, Bu!”

Pagi yang selalu sama. Sekar yang duduk termenung di tepi jendela, menatap hamparan sawah di sisi kanan rumah yang gelap pekat. Melalui beberapa jam sembari termenung menikmati halimun yang berebut mencumbui pipi. Kemudian, tangisan pertama dari bayi itu pada sekitar pukul enam pagi, sontak membuatnya lari terbirit ke kamar mandi.

Melakukan segala sesuatu dengan lebih lamban demi sebuah alasan “Sekar sudah terlambat”.

Pekerjaannya terbilang mudah dan fleksibel. Ia menjadi pekerja harian lepas di kebun seruni yang berjarak beberapa hektar dari rumahnya. Kendatipun, Sekar selalu berangkat pukul tujuh dan pulang sesaat sebelum matahari benar-benar bersembunyi. Ia selalu mencari-cari kegiatan—yang menghasilkan upah maupun tidak—agar tidak lekas pulang ke rumah.

Namun, kali ini ada sedikit yang berbeda. Selepas me- nyiram bunga-bunga seruni, ia memilih duduk di gubuk reyot di tepi kebun. Kelebatan peristiwa itu kembali menyergap. Menciptakan rasa ngilu di dada dan kepalanya. Sekar memejamkan mata, berharap agar rasa sakitnya reda. Berharap agar dapat hidup tenang dan tak lagi dihantui masa silam. Namun, apalah daya? Semakin Sekar mencoba mengusirnya, semakin kuat ingatan itu mencengkeram dan mencabik ketenangan.

Sebagai manusia yang lahir dan tumbuh di desa, sebenar- nya hidup Sekar tidak banyak huru-hara. Ia tumbuh menjadi gadis ramah dan penurut, meski tak begitu ceria. Tawanya telah lenyap direnggut realita bahwa ia tak punya cukup kesempatan untuk meraih mimpi yang telah ia rajut saban hari. Tapi itu bukan masalah berarti. Bagi Sekar, hidup harus tetap berlanjut. Seberapapun sulitnya.

Keluarga Sekar juga tidak berantakan, orang tuanya nyaris tak pernah bertengkar. Hanya saja, mereka terlalu sibuk me- ngurus sawah hingga tak banyak waktu dan momen yang dilalui bersama.

Lagi-lagi, Sekar tak pernah menganggapnya sebagai masalah besar.

Namun, rupanya Sekar keliru. Meski kakinya terus melangkah maju dan menganggap hidup terlalu singkat untuk di- ratapi, nyatanya terdapat satu ruang kosong dalam sudut hatinya. Dan ia tak pernah menyadari ruang itu.

Hingga akhirnya ia bertemu dengan Brata. Keponakan Bu Rusdi—pemilik kebun seruni tempat ia bekerja—yang membantu mengirim hasil panen ke kota atau membeli peralatan dan perlengkapan kebun. Dia lelaki biasa saja. Tak setampan aktor FTV yang Sekar lihat di televisi, tapi tetap memikat. Badannya tinggi kurus dengan kulit kecokelatan. Tak ada keahlian khusus yang menjadi nilai plus selain kegigihan dan kerja keras.

Akan tetapi, ada satu hal dari Brata yang tidak dimiliki oleh para lelaki desa yang sempat mendekati Sekar. Dari Brata, Sekar tahu tentang ruang kosong dalam dirinya. Bratalah yang mengisi ruang itu. Ia diam-diam menyelinap dan menetap. Ber- transformasi menggantikan sosok ayah yang selama ini selalu sibuk di sawah.

Dari Brata pula Sekar tahu rasanya diistimewakan. Brata yang mampu memberi cinta tanpa berlebihan. Tidak seperti cara pemuda lain yang justru membuat Sekar mual dan jijik. Brata yang memberinya rasa nyaman dengan segala bentuk per- hatian. Membuat Sekar terlena hingga tak sadar jika Brata telah memasuki diri dan kehidupannya terlalu dalam.

Warga telah kasak-kusuk, khawatir dengan kedekatan

mereka berdua. Terlebih pada status Brata yang dikategorikan sebagai warga pendatang. Tidak sekadar satu dua orang yang menyarankan agar Bu Sumiyati segera mengurus pernikahan mereka, yang hanya ditanggapi dengan senyum tipis.

Bu Sumiyati sendiri sempat memperingati Sekar, yang malah dibalas dengan kalimat,

“Biarlah, Bu. Mereka hanya melihat dan menduga. Tidak tahu yang sebenarnya. Sekar harap Ibu percaya dengan Sekar.”

Biarpun yakin anaknya bisa menjaga diri baik-baik, intuisi seorang ibu tak pernah keliru. Meski Sumiyati berusaha menekan firasat buruknya, hari-hari Sumiyati dipenuhi perasaan tidak enak. Dan sekali lagi, insting seorang ibu tak pernah salah.

Sore itu, tanpa janji sebelumnya, Brata menemui Sekar di kebun seruni. Meski agak terkejut dan bingung, Sekar tetap me- nyambut baik kedatangan Brata. Ada sesuatu yang berbeda dari Brata sore ini. Apa itu? Sekar tak dapat menyadarinya selain muka Brata yang tampak lusuh, tapi cara bicaranya menggebu penuh semangat.

Entah kebetulan atau sudah direncanakan, gerimis datang tanpa siaran mega kelabu. Sekonyong-konyong menghujam dua manusia yang tengah dilanda asmara. Mereka sontak meneduh di gubuk tepi kebun. Sembari berharap cemas agar gerimis tak semakin lebat, agar Sekar tidak pulang terlambat.

“Mas, boleh aku menanyakan sesuatu?” Sekar mencoba memecah senyap. Brata menaikkan alis kiri, tersenyum simpul. “Maaf seandainya pertanyaan ini membuat Mas Brata ter-

singgung. Sudah lama Sekar ingin menyampaikan, tapi belum ada kesempatan.”

“Ada apa?”

“Itu … sudah beberapa kali Ibu menanyakan tentang … sekali lagi maaf lho, Mas. Ibu meminta Mas Brata segera ke rumah untuk membicarakan hubungan kita. Tidak enak dengar omongan tetangga.”

Hanya butuh waktu sepersekian detik setelah kalimat itu terucap dan situasi berubah hening. Canggung dan dingin ber- iringan dengan petrikor yang menguar syahdu.

“Mas belum bisa jika harus melamarmu dalam waktu dekat, Dik.”

“Kenapa? Mas Brata serius denganku kan?”

“Dik Sekar masih bertanya? Apa sikap Mas selama ini tak cukup membuktikan keseriusanku?”

“Bukan begitu ….” Perasaan Sekar mulai gelisah. Antara takut kalimatnya menyakiti sang kekasih, juga karena sedari tadi Brata menatapnya lekat.

“Boleh Sekar tahu alasannya? Kalau soal biaya, tak perlulah dipikirkan, Mas. Kita menikah secara sederhana saja. Asal sah secara sipil dan agama.”

“Menikah kan bukan cuma soal cinta dan uang, Dik. Ada banyak hal yang perlu dipersiapkan. Mas tidak mau kalau Dik Sekar tidak bahagia setelah kita menikah.”

“Kenapa begitu? Memangnya Mas Brata mau menyakitiku? Aku selalu bahagia bersamamu, Mas. Bagaimanapun keadaannya.”

Tatapan Brata masih lekat, tetapi bibirnya saling rapat. Senyumnya sempat terbit singkat, membuat Sekar semakin bingung apa yang harus diperbuat. Ia berusaha mengalihkan pandang. Pada sendal yang sudah bercampur lumpur, atau seruni yang menggigil di antara riuh gemuruh hujan. Atau apapun, asal bukan pada mata Brata.

Namun, semenarik apapun objek yang tertangkap manik matanya, tak mampu menghalau sorak sorai dalam dada. Ia tetap kewalahan menenangkan dirinya sendiri. Terlebih lagi saat Brata mendekat, memangkas jarak di antara mereka berdua.

“Begini saja, Dik,” bisik Brata, tanpa peduli pada Sekar yang mulai meremas ujung kaos. Suaranya tenang dan dalam. “Kalau memang Dik Sekar masih ragu, kita buat semuanya menjadi mudah dan terang.”

“M-maksudnya?”

Brata menjawab dengan ciuman singkat di pipi kiri Sekar, yang membuat si empunya pipi terkejut dan menggeser tubuh- nya spontan hingga membentur dinding gubuk. Brata semakin mendekat. Tangannya menangkup kedua pipi Sekar, lembut dan … entahlah, Sekar merasa ada sensasi berbeda dari sentuhan Brata sore ini.

Belum sempat Sekar menafsirkan perasaannya, Brata sudah melumat bibir Sekar tanpa permisi. Sekar mematung. Ia ter-

lampau terkejut dengan apa yang dialami. Ia tak melakukan apapun, bahkan untuk sekadar mencerna keadaan.

“Dik … Sekar … Bratangkali dengan cara ini, Dik Sekar bisa lebih percaya. Setelah ini, kita akan benar-benar terikat. Tidak ada alasan untuk Mas meninggalkanmu. Ya?”

Sekar masih membatu, sementara tangan Brata sudah menggerayang ke berbagai titik. Membuka tabir, menyingkap tabu. Menembus batas hingga terlewat terlalu jauh.

Sekar terlonjak ketika petir menggelegar. Suasana yang sama seperti sore itu, sesaat sebelum dunianya hancur. Tanpa sadar pipinya telah basah tersapu air mata. Dadanya kembali sesak, merutuki kebodohan yang telah membawanya tersesat. Ia meremas sebagian rambut, berharap rasa sakit dapat tersalurkan.

Bodoh! Dasar perempuan bodoh! Harusnya kamu ber- teriak. Harusnya kamu menolak. Kenapa diam saja? Seharusnya kamu buang jauh-jauh pikiran bahwa lelaki brengsek itu satu- satunya manusia yang bisa memahamimu. Pikiran sesat. Harusnya kamu bersikap seperti pada lelaki lain. Seandainya kamu tidak pernah bertemu Brata. Seandainya sore itu tidak hujan.

Setahun telah berlalu, tapi sakitnya masih sama. Sekar tak menyalahkan perlakuan bejat lelaki itu, juga pada janji dan perhatian yang sebelumnya selalu digaungkan. Bagi Sekar, dialah yang salah dalam peristiwa itu. Dia yang bertanggung jawab atas kesialan yang menimpa dirinya. Dia yang memiliki kuasa untuk

menolak, malah diam terpekur seperti kehilangan jiwa. Shock.

Setahun telah terlewat, tetapi sesaknya tak hilang jua. Terlebih saat perut Sekar membesar, tanpa mual atau keluhan lain layaknya hamil muda pada umumnya. Belum lagi bisik-bisik warga sekitar yang menyayangkan.

Kelihatannya saja pendiam, ternyata diam-diam bunting.... Menolak lamaran pemuda sini yang jelas latar belakangnya, malah memilih pemuda asing yang tak tahu norma. Aduhh, selera remaja zaman sekarang… Eh, katanya dia sekeluarga tidak sadar kalau dia hamil… Wah, pasti saat lahiran nanti bakal mudah. Langsung clutt… Kasihan bayinya, ya, lahir tanpa ayah. Mana si lelaki kucrut itu sudah kabur entah ke mana…. Dan kalimat lain yang hanya membikin suasana makin runyam. Beruntung Sumiyati masih mau merawat Sekar dan anaknya. Beruntung pula Bu Rusdi masih mempekerjakan Sekar di kebun, sebagai bentuk tanggung jawab—meski tetap tak dapat mengubah apapun. Sekar juga tak punya pilihan lain. Ia terpaksa berdamai dengan keadaan, meski harus kembali mengisi hari di tempat dan suasana yang mengingatkannya pada awal kehancuran.

Sekar menatap sekitar. Pada hamparan kuntum seruni yang mulai mekar. Merah hati, biru terong, kuning, putih, lembayung, dan jambon. Berpadu memancarkan rona yang tak pernah gagal membuat Sekar terpesona. Menatap seruni adalah cara terbaik untuk mengembalikan kesadaran dan energi Sekar.

Tentang secercah harapan yang (semoga) masih dapat diperjuangkan. Tentang sejumput warna-warni kehidupan yang

masih bisa dinikmati, meski harus terseok mencari di antara tumpukan gelap dan kelabu. Tentang para bunga yang akan kembali tumbuh dan mekar, meski sebelumnya pernah layu maupun patah.

Bunga-bunga itu selalu mengingatkan pada Sekar bahwa hidup harus tetap berlanjut, seberapapun terjal jalan yang harus dipijak. Bunga-bunga itu juga mengajarkannya bahwa mempertahankan bagian dari hidup yang layu atau patah ha- nya akan semakin menyiksa jiwa dan raga. Dan kenapa tidak me- relakannya saja? Bukankah nanti akan tumbuh bunga baru yang lebih segar dan indah?

Tiba-tiba Sekar teringat pada tangis bayi yang selalu membuka pagi di rumahnya. Bayi yang belum pernah ia temui. Pada peristiwa sore itu, dirinyalah yang bersalah, bukan bayi itu. Tak sepantasnya ia bersikap abai. Bagaimana nasib bayi itu jika tidak mendapatkan sama sekali sosok orang tua dalam hidupnya? Apa yang akan bayi itu pikirkan jika dia terlahir ke dunia yang kejam, dari rahim seorang ibu yang tak kuasa menghentikan ‘kecelakaan’ itu? Jika kelahiran adalah anugerah dari Yang Maha Kuasa, bukankah berarti kelahirannya juga anugerah untuk Sekar?

Sekar terus merenung hingga sayup-sayup terdengar se- seorang meneriaki namanya. Bersahut-sahutan dengan suara bayu yang menerjang telinga. Tak lama kemudian Kinanti, adik perempuannya, datang dengan napas tersengal.

“Mbak Sekar! Ayo pulang! Ibu menangis di rumah, Seruni kejang-kejang, badannya panas!”

“Seruni? Siapa?”

“Anakmuuu!”

Seketika, Sekar menjatuhkan peralatan berkebun yang sedari tadi teronggok dalam pangkuan. Entah mendapat energi dari mana, Sekar berlari sekencang yang ia bisa. Meninggalkan Ki- nanti yang terbengong di antara bunga, yang bahkan melupakan napasnya belum teratur sempurna.

Sekar tak tahu perasaan jenis apa yang sedang dirasakan. Jantungnya terasa turun ke perut, seluruh tubuhnya lemas, tapi suatu energi mendorongnya untuk terus melaju membelah pematang sawah. Melawan jalanan berlumpur yang licin akibat hujan semalam.

Hati Sekar kian mencelos tatkala melihat ibunya berlinang air mata. Tergopoh menggendong bayi perempuan menuju mobil pick up yang entah dari mana pula. Ia segera mengambil alih Seruni, mendekapnya erat. Memburu lelaki yang duduk di balik kemudi agar segera membawa mereka ke rumah sakit.

Sekar menatap bayi mungil dalam dekapannya. Mulut- nya dicokol kain selendang agar tidak menggigit lidah selama kejang. Terlintas aroma amis darah yang masih tercetak jelas dalam ingatan, ketika ia melahirkan Seruni di ambin kamar. Juga pada sikapnya selama ini yang jangankan menggendong, menengok wajahnya pun tak pernah. Dan, aduhai! Betapa cantik anak ini… persis seperti seruni.

Maafkan saya, Nak. Maafkan Ibu. Kamu tidak bersalah. Tolong bertahan, ya? Sembuhlah… Ibu janji setelah ini akan bela-

jar menjadi ibu yang baik untukmu. Tolong beri Ibu kesempatan untuk menebus dosa Ibu padamu. Ya Tuhan. Memanglah aku perempuan kotor. Aku juga bukan Ibu yang baik. Tapi tolong selamatkan puteriku.

Kendal, 09 Februari 2022

This article is from: