![](https://static.isu.pub/fe/default-story-images/news.jpg?width=720&quality=85%2C50)
3 minute read
Epilog
Reka Ulang
Sampai pada lembar ini, entah turut membacanya sampai akhir atau sekadar menjejaki judul dan gambar dari delapan cerpen yang ada, atau mungkin mengayak ulang lantas mengeja mana yang kiranya paling menarik untuk dipilih.
Advertisement
Apapun itu saya meyakini pembaca menangkap lebih dari residu teks, melainkan rekaan ulang realitas manusia dengan se- gala persoalannya yang mendampingi, baik sosial, lingkungan, kebatinan, termasuk keyakinan diri sendiri.
Sederet warna-warni kehidupan manusia yang terpotret apik dalam medium bahasa ini tidaklah berlebihan jika ke- hadiran karya warga Kampoeng Sastra Soeket SKM Amanat selalu dinanti-nanti. Sastra, sebagaimana dimaksud Sapardi Djoko Damono dan Plato yang pada intinya menampilkan gambaran kehidupan sosial dan alam semesta yang nyata.
Sastra sebagai karya seni, untuk menikmatinya sebagai pembaca saya hendak euforia untuk mengambil lebih banyak hikmah dan pelajaran dari himpunan cerpen yang disodorkan. Namun sayang kesan buru-buru dan rayu pengurus Soeket Teki memberi waktu tak lebih dari empat kali putaran penuh jarum jam untuk membaca dan menyampaikan.
Membacai (v) awal cerpen, menu cerita dibuka cukup apik dengan judul “Mahakarya Empu Suropati”. Penulis memilih bahasa yang ringan dan renyah untuk membingkai mitos dan kepercayaan masyarakat terhadap pusaka bertuah yang saat ini masih berkembang dan ditutup dengan poin penting untuk percaya
sepenuhnya pada Yang Maha Kuasa.
Kemudian estetis potret cerita yang kental metafora dan simbol-simbol bahasa pada judul “Cermin” dan “Sarah” me- maksa untuk membacanya berulang. Tambal sulam waktu pe- rihal hedonisme, keteguhan, keyakinan agama dengan makna ber- sayap pada cerpen “Sarah” cukup menguras emosi bagi pembacanya. Cerpen “Cermin” di luar kemelut seorang penguasa dan panggung politik, cerita ini lamat-lamat mengantarkan ingatanku pada seorang anonim yang pernah berkata, bahwa ke- benaran sejati itu ada dalam hati nurani seseorang. Lantas ia mencontohkan, ketika hendak mencuri pasti terdapat bisikan alasan yang membenarkan di antaranya kebutuhan beberapa alasan lain yang menyertai. Pada bisikan lain, bahwa mencuri itu salah apapun alasannya, demikian nurani.
Tentu tak kalah menariknya cerpen “Lahir dari Rahim Luka” yang menjadi judul cover ini sempat membuatku salah kira. Alih-alih menutup mata nama penulis di awal baca, menerka-nerka pengarangnya seorang laki-laki yang bersembunyi di balik tokoh utama perempuan serupa Eka Kurniawan dengan salah satu karya monumentalnya “Cantik itu Luka” yang tentunya identik dengan bahasan tabu bagi anggapan kebanyakan orang. Sebagai perempuan (penulis Lahir dari Rahim Luka), saya kira cukup berani ketika menulis kata-kata binal yang banyak di- hindari teman sejawatnya.
Kisah-kisah kolosal keluarga dan percintaan juga turut andil memberi warna tersendiri dalam kumpulan cerita pendek Soeket Teki kali ini. Seperti Perjalanan Pulang, Deru Dendam, dan
Ruang Kosong. Mereka hendak memotret liku-liku kehidupan bahwa ada kalanya seseorang tidak sedang baik-baik saja, bahkan terkadang cinta yang dipercayai hanya berakhir berahi dan ke- matian.
Cerita tiga babak dan ending kejutan menjadi dominasi dalam kumpulan cerita pendek ini. Namun ada juga penulis rendah hati dalam cerpen “Perjalanan Pulang”, ia menjadi pembeda lantaran memilih memberitahu kepada pembaca akhir dari cerita yang disusunnya.
Bermula narasi tokoh Rana, seorang perempuan yang mencari lelaki yang amat dibencinya, kemudian diperjelas dalam perjalanananya pulang bertemu lelaki tua bernama Suhandi yang memiliki rute dan tujuan kampung halaman sama dan ingin bertemu anaknya. Setelah dialog, tokoh Rana berpikir wajah Suhandi tidak asing. Meski bisa ditebak sejak awal bahwa kedua tokoh ini sebenarnya keluarga, penulis kian teguh mendaramatiskan alur cerita bahwa pada akhirnya yang paling terkejut dalam pertemuan adalah bapak- anak, pembaca tidak ambil bagian.
Barangkali mustahil semua adalah dunia khayali dari ma- sing-masing penulis, sembari memainkan perannya akan intermedialitas mereka turut mengkritisi dan mengajak semua untuk menengok ulang apa-apa yang telah luput dari ingatan selama ini.
Pada gilirannya setelah membaca antologi cerpen ini satu hal yang menyembul tanda tanya ialah, beberapa tahun terakhir karya-karya cerita pendek Soeket Teki selalu identik dengan kisah perempuan dengan segala kompleksitas dan unek-uneknya. Entah sebermulanya dari mana, yang pasti karya-karya seperti ini
selalu dinanti—nanti. Ibarat tak terpengaruh iklan sabun televisi bahwa cantik itu digambarkan langsing, putih, dan tinggi.