6 minute read

Deru Dendam

Next Article
Perjalanan Pulang

Perjalanan Pulang

Nur Rozikin

Silir angin berhembus pelan. Dua bulan terakhir ini malam terasa kian temaram. Agaknya cicak yang menempel tidak ber- aturan pada dinding lusuh yang dipenuhi oleh sarang laba-laba itu hanya menyaksikan tubuh tergeletak di ubin putih. Tidak ada darah, tidak ada luka, tapi tetap saja ada rasa sakit yang mendera.

Advertisement

Tanpa suara dan tanpa ada seorangpun yang terlihat atau menolongnya. Rumahnya sepi meski sebelum itu ia telah me- nangis dan merintih keras, keras sekali. Rasanya suara itu mampu terdengar hingga perempatan jalan yang jaraknya kurang lebih seratus meter.

”Ibu, bu. Kenapa dibawah ? Ibu jatuh ? kenapa pintu ter- buka” Ujar pria paruh baya yang tidak bisa menghindari raut heran.

Wanita itu tidak bergerak sedikit pun. Masih pada po- sisi terlentang tak beraturan. Pria itu kemudian mengangkat- nya ke singgasana. Memijat tubuh wanita itu dengan pelan dan me- ngipasinya. Lambat laun, matanya mulai terbuka. Menatap langit-langit atap rumah yang sudah sedikit lusuh. Sepertinya, cicak-cicak yang menjadi saksi hanya bisa bungkam. Wanita itu tersadar dengan wajah takut dan gusar.

”Tubuhnya melayang pak. Matanya merah dan terbang setelah mencekik leher ibu.” Ucapnya disertai rintihan tangis. Bedanya, tangis kali ini sudah tidak senyaring malam itu.

”Ibu hanya lelah. Ronda malam bapak aman-aman saja kok” pria itu mencoba menenangkan.

”Tapi pak…..” Belum sempat menimpali, wanita itu telah berada dalam rengkuhannya.

Mentari kian menjulang tinggi. Mamancarkan sinar baru yang kemungkinan sinarmya sama seperti sinar kemarin. Lurah Ali dengan rapinya beranjak keluar rumah menaiki mobil dinas yang telah disediakan oleh desa dengan tujuan pribadi. Iya, menjenguk Santi yang seorang diri di rumah sakit.

Sepanjang jalan, sumpah serapah selalu keluar dari mulutnya. Namun setelah keluar dari mobil, ia memasang kembali raut bijaksana dengan rahang yang juga gagah menjulang seolah ia adalah manusia paling penting dalam pusaran dunia ini.

Gubuk lusuh pinggir jalan yang tidak terlalu ramai itu menyita perhatiannya. Sepatu yang telah di semir meng- kilap hingga menyakiti mata kecil semut-semut jalanan itu telah membaur dengan debu-debu. Sejujurnya, ia setengah hati untuk turun. Tetapi, demi citra yang telah diunggulkan itu, ia merelakan diri.

”Mimpi apa saya tadi malam, warung kecil ini di datangi oleh Pak Lurah. Silahkan pak, ingin minum apa ? Kopi ?” Ramah dan sumringah wanita tua itu menawarkan minum.

kecil ”Boleh, kopinya satu mbok.” Ucapnya sambil tersenyum

“ Siap pak. Tunggu sebentar ya. Saya buatkan untuk bapak muda yang tampan dan mapan ini.” Ucap wanita tua itu.

“Tentu bu. Saya tunggu.” Ujarnya dengan masih terus tersenyum.

Sambil memilih-milih makanan, ia pun tak lupa mengecek ponselnya. Ada dua panggilan yang terlewatkan dan lima pesan yang belum dibacanya. Ia hanyaa mengecek, tidak berniat membalas telpon ataupun pesan.

“ Kalau lurahnya setampan ini, siapa sih yang berani nolak untuk dijadikan istri? Sudah mapan, tampan, berwibawa, baik hati pula.” Kalimat itu terlontar dari salah satu warganya.

cara. “Bapak bisa saja.” Jawabnya sambil menepuk si lawan bi-

“Loh, benar loh. Saya yang seorang petani gini kalau di- tolak perempuan sudah wajar. Tapi kalo lurah Ali, yang ada tentu lurah Ali menolak perempuan-perempuan itu bukan?” Timpal wanita tua pemilik warung dengan membawakan kopi panas.

Lurah Ali hanya menggeleng kecil sembari terus tersenyum ramah. Dalam pikirnya ia sedang bergulat dengan kenyataan. Tapi tidak ada yang tahu, apalagi memahami. Setelah cukup lama ia berada disana dengan menyeruput kopi itu, ia teringat tujuan awal.

“Sudah bu, berapa ya ini semua?” Tanya Lurah Ali sembari menyodorkan dua lembar uang seratus ribu.

ribu saja tidak ada pak. Untuk siapa makanan sebanyak ini? Untuk pacar Pak Ali?” Sambil tertawa pemilik warung menanyakan hal yang tidak penting itu kepada Lurah Ali.

“Tidak, ini untuk temen-temen kantor bu. Supaya tambah semangat kerjanya. Kalau pacar saya pasti nanti tak ajak kesini saja biar memilih sendiri mana yang dia mau.” Sambil membalas gurauan pemilik warung, ia bangkit dari duduknya.

“ Kebanyakan uangnya pak, saya tunggu kehadiran pacar pak Ali nanti kalau kesini saja ya.” Wanita tua itu masih dengan sikap ramahnya.

“Tidak usah bu, anggap saja rejeki. Saya ikhlas.” Ujar Lurah Ali.

Usai kembali masuk ke dalam mobil dinas yang tak kalah gagah oleh postur tubuhnya, Lurah Ali menerima telepon lagi.

“Salah sasaran. Yang menolak lamaranku itu Santi, bukan si tua tidak berguna itu. Tapi tidak apa, Santi sudah sebatang kara. Akan aku pastikan ia yang mengemis agar aku menjadi suami- nya. Atau paling tidak akan aku buat dia menyesal seumur hidup karena telah menolak ku.” Jelas Lurah Ali pada si penelpon.

Iya, tentu yang diucapkan warga itu salah besar. Cinta Ali pupus, lamarannya ditolak oleh gadis paling cantik di desanya. Namanya Santi, gadis anggun yang hanya tinggal bersama neneknya. Santi menolak Lurah Ali bukan tanpa alasan. Santi tidak mencintanya dan ia tidak ingin menikah di usia yang baru menginjak 17 tahun. Ia masih ingin sekolah setinggi mungkin dan akan merawat neneknya sampai kapanpun. Toh nenek Santi juga

tidak merestui Santi dengan Lurah Ali.

Lurah Ali seolah sudah tidak punya harga diri. Mapan dan tampan saja ternyata tidak cukup untuk menaklukkan hati gadis desa seperti Santi. Ia marah, merasa bahwa Santi terlalu naif. Alhasil, niat hitam itu terus memenuhi pikirannya. Bukan hanya cinta saja yang ada dalam hatinya, namun cinta itu telah berubah menjadi lebih dari mencintai. Iya, mencintai dalam kebencian dengan harapan suatu masa Santi akan rugi besar dan menyesal karena menyiakannya.

Tepat sekali, Lurah Ali menyuruh orang lain untuk melukai- nya. Sayang, nyawa yang melayang bukan nyawa Santi, melainkan Neneknya. Lalu Santi? Hanya luka ringan pada fisiknya tapi hatinya luka dalam, seperti teriris dan tidak lagi punya semangat hidup. Panutannya, Satu-satunya orang tua, serta penyemangat- nya telah pergi. Ia sebatang kara, tanpa sanak saudara.

Senja mulai menyambangi pertiwi. Sinar mentari kian meredup, menutup hari panjang dengan berganti bintang. Aroma petrichor telah merasuk dalam hidung. Hujan di bulan juli adalah hal yang jarang terjadi. Prediksi musim seolah sudah goyah, tidak lagi tepat sasaran. Padahal lima menit lalu udara masih panas, tetapi lima menit kemudian, udara bisa saja langsung dingin dan mematikan. Setidak pasti itu musim saat ini.

Gelegar petir ternyata ikut menyambut kepulangan mentari. Mbak Antik kembali merasakan perasaan yang sama se-

perti setelah terkapar dilantai beberapa hari lalu. Takut dan cemas jika saja ada yang datang selain suaminya. Apalagi hutang dari orang-orang itu belum juga tutup buku. Belum juga sosok mis- terius yang seolah selalu mengintainya. Pintu rumah terbuka, tapi dengan suara yang pelan memanggilnya.

“Bu, masak yang enak ya.” Ujar pria paruh baya itu sembari menyodorkan segepok duit hasil judi hari ini.

“Bapak selalu saja mengagetkan. Banyak sekali dapatnya. Ibu sudah masak. Sebentar, ibu bangunkan Ali.” Sambung Mbak Antik dengan rasa lega dan sedikit lebih tenang.

“Ya beginilah hidup bu, Adikmu Lurah kondang, di ba- nggakan semua orang. Sementara kakak iparnya tidak jauh dari seorang pejudi handal.” Ujar pria itu.

Ketukan pintu kamar itu tidak ada yang menyahut. Sudah dari pukul dua Lurah Ali tidak keluar dari persinggahannya. Tanpa suara apapun dan sepertinya lampunya mati. Tidak biasanya ia tidur selama itu. Jantung Mbak Antik seperti berdetak lebih cepat dari biasanya.

“Ali, buka. Li, Ali.” Ujar Mbak Antik sembari terus me- ngetuk pintu.

“Liii, Ali, ayo makan malam. Mas Bowo sudah pulang.” Terus Mbak Antik.

Rasanya sia-sia saja mengetuk pintu itu. Setelah memegang gagang pintu, ternyata memang tidak dikunci. Setelah masuk dan membuka pintu, Mbak Antik bukan lagi ingin pingsan atau se-

kedar merinding. Ia mendapati tubuh adiknya telah bersimbah darah dengan tujuh pisau menancap pada bagian tubuhnya. Menancap di kepala, perut, dada, lengan, tangan, kaki dan bagian kemaluannya. Tubuhnya digantung, darahnya mengalir hingga sampai pada telapak kaki Mbak Antik. Mbak Antik hanya me- matung, tidak kuat menopang tubuhnya.

“Mas Bowo!!!” Ia menjerit sejadinya.

Baru saja menyeruput kopi, Mas Bowo lari dengan panik ke arah sumber suara istrinya. Matanya membulat sempurna, mulutnya menganga lebar seolah tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Adiknya yang menjadi kebanggaan masyarakat di desa ini ternyata sudah terlepas dari sukmanya. Di depannya, terdapat sesosok itu. Wanita tua memakai kebaya putih dengan jarik motif merak warna coklat. Wanita tua itu menyingrai ngeri sembari menginang. Giginya telah menguning kemerahan, rambutnya bersanggul rapih. Kakinya tidak lagi menapak lantai.

“Ali Mati.” Ucapnya dengan gelegar tawa.

Semarang, 1 Februari 2022

This article is from: