Tabloid SUARA USU Edisi 90

Page 1

www.suarausu-online.com

edisi 90/xviI/NOVEMBER 2012 | harga: Rp 3000 | issn 1410-7384

iNDEKS Laporan Khusus

Derita yang dirasakan bukan sekadar menghilangkan rasa candu terhadap narkoba, tapi juga berhadapan dengan kondisi sosial yang sulit menerima keberadaan mereka.

Potret Budaya

Menghibur keluarga yang ditinggalkan bila ada kematian, dilakukan dalam masyarakat Simalungun dengan gelaran Toping-toping dan tangis-tangis. Sekarang sulit dijumpai resepsi seperti ini.

2 I suara kita 4 I laporan utama 8 I opini 9 I dialog 10 I ragam 12 I hal persembahan 14 I laporan khusus 16 I mozaik 18 I potret budaya 19 I riset 20 I resensi 21 I iklan 23 I peristiwa 24 I profil


2 ­

suara kita

SUARA USU, EDISI 90, NOVEMBER 2012

suara suararedaksi redaksi

lepas Arogansi Senior:

Budaya Penjajah di Era Modern

M Redaksi

asa lalu ketika Belanda ceng­ kamkan kuku tajam di Nusan­ tara, mereka terapkan kebijakan politik untuk membatasi ruang gerak warga pribumi. Belanda ciptakan kelas sosial. Golongan dari tertinggi hingga terendah adalah masyarakat Eropa, Indo dan indlander atau pribumi. Diskriminasi terjadi di sini. Kesempatan un­ tuk memperoleh kebebasan berpolitik, bekerja hingga memperoleh pendidikan terjadi perbe­ daan. Segelintir masyarakat pribumi mengenyam pendidikan sekolah, itu pun dari golongan ningrat. Dalam memperoleh pekerjaan, paling banter jadi juru ketik di kantor tingkat desa. Budaya kelas sosial yang ditanamkan Belanda di negeri ini tak sekonyong-konyong menghilang hingga Indonesia 67 tahun merdeka. Budaya ini menjelma dalam bentuk dan pelaku yang berbeda, merasuk dalam lingkungan kampus tempat para kaum intelektual yang katanya menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dan anti penindasan. USU salah satunya. Coba kita tengok di Fakultas Pertanian (FP). Fakultas yang telah berdiri sejak tahun 1956 ini dike­ nal dengan budaya senioritas, mahasiswa lama pu­ nya kuasa dibanding mahasiswa tingkat awal. Ada aturan tidak tertulis yang disepakati sepihak, maha­ siswa baru dilarang ini-itu oleh senior. Padahal tak ada aturan tertulis dari pihak rektorat atau dekanat sebagai pembuat kebijakan di kampus ini. Misal, tempat parkir fakultas yang seharus­ nya bisa dinikmati bersama, ternyata hanya bisa digunakan oleh senior. Kalau masih berstatus mahasiswa baru, siap-siap pulang sambil dorong sepeda motor keluar kampus karena ban bocor. Budaya senioritas ini juga berlaku di kantin. Jika Anda adalah seorang mahasiswa baru, ja­ ngankan belanja di kantin, baru saja melangkah satu kaki memasuki kantin maka pasang-pasang mata mahasiswa akan tertuju pada Anda. Alasan mahasiswa baru dilarang menginjakkan kaki di kantin bertujuan untuk mendidik junior agar hor­ mat kepada senior. Selain dibatasinya kebebasan mahasiswa baru untuk merasakan fasilitas kampus di FP, pengin­ timidasian juga terjadi. Mahasiswa baru kerap dipanggil “botak”. Selain itu, mahasiswa baru juga “ditarik” oleh senior untuk melakukan halhal yang tidak disukai. Misal, mahasiswa baru di­ suruh menari-nari tanpa alasan. Pengintimidasian dan pengungkungan kebebasan dalam bentuk ini menimbulkan ketakutan para junior terhadap se­ nior. Proses ini bukan hanya dialami selama satu atau dua hari tapi satu tahun. Budaya ini sudah jadi tradisi dan menahun di FP, mungkin juga hal sama terjadi di fakultas lain. Lama-lama menjadi dendam dan kebiasaan yang wajar terjadi. Hingga mahasiswa baru yang sudah menjadi senior juga melakukan hal sama terhadap juniornya. Dan pihak dekanat pun menganggap ini merupakan salah satu cara untuk membuat senior dan junior menjadi dekat atau membuat ju­ nior menghormati para senior. Apakah tujuan baik itu perlu dilakukan dengan cara itu? Dengan cara menciptakan ketakutan. Penindasan, pembatasan hak dan penginti­ midasian yang terjadi di zaman penjajahan terjadi lagi. Ada tiga pasal yang mengatur itu, pasal per­ tama adalah senior tidak pernah salah. Kedua, bila senior salah lihat pasal pertama. Pasal tiga, maka itu jadilah senior!

­

ULANG TAHUN

Anggota Pers Mahasiswa SUARA USU berfoto bersama para alumni usai perayaan ulang tahun ke-17 di sekretariat Pers Mahasiswa SUARA USU, Sabtu (13/10). Ulang tahun SUARA USU sedianya jatuh pada tanggal 1 Juli. RIDHA ANNISA SEBAYANG | SUARA USU

Salam Jurnalistik! Tahun 2012 hampir sampai ke penghujungnya. Seiring dengan itu, SUARA USU pun telah mem­ persiapkan rincian tugas yang akan diselesaikan di cawu terakhir ini le­ wat rapat kerja catur wulan III awal November lalu. Tabloid edisi 90 ini menjadi bagian akhir dari rang­ kaian tabloid SUARA USU tahun ini. Meskipun begitu, SUARA USU tengah mempersiapkan produk ma­ jalah yang akan menyapa pembaca sekalian di akhir tahun. Banyaknya tanda tanya seputar pemerintahan mahasiswa (pema) baik skala universitas maupun fakultas membuat kami tergerak untuk mencari tahu sejarah adanya pema dan wujud pema yang ideal. Meskipun dirundung permasalah­ an-permasalahan seperti periode­ sasi yang tak tepat waktu, anggota yang hilang timbul, program kerja yang tak dapat dijalankan hingga tuntas, tak membuat pema lan­ tas surut. Bahkan ada pema yang

dapat berjalan dengan baik dan menemukan solusi di tengah ken­ dala-kendala tersebut. Untuk lebih lengkapnya, silakan simak rubrik Laporan Utama. Menjadi mantan pengguna narkoba membuat mereka harus berjuang kembali agar bisa hidup normal. Tak hanya berupaya keras melepaskan ketergantungan dari obat-obatan terlarang itu, mereka­ juga harus berusaha memulai lembaran hidup baru untuk dapat diterima masyarakat sekitar yang memandang mereka sebelah mata. Bagaimana kisah perjuangan mere­ ka? Buka rubrik Lapor­an Khusus. Sebagai penutup di tahun ini, kami juga menyajikan halaman spe­ sial yang hanya ada di edisi ­a­­k­hir tahun, Halaman Persembahan. Kali ini kami ingin mengajak pembaca bernostalgia sejenak mengenai sejarah SUARA USU. Awalnya adalah media yang dikelola univer­ sitas menjadi media yang dikelola mahasiswa. Tak hanya itu, pembaca

ralat Dalam rubrik Peristiwa Edisi 89 berjudul Pe­ milu FH dan FIB Belum Jelas memberitakan KPU FIB belum memiliki jadwal pemilu. Pa­ dahal saat berita ini diturunkan KPU FIB sudah memiliki jadwal. Maaf atas kesalahan ini.

suara sumbang Dua proklamator Indonesia baru dikukuhkan se­ bagai Pahlawan Nasional Yah, baru sekarang. Sampai beruban pula keluarga mereka nungguin. Bakal Calon Gubernur Sumatera Utara tebar slogan romantisme janji Bikin yang lebih nyata lah Tulang. Orang kita tak percaya kata-kata manis itu.

dapat memahami bagaimana pro­ses pengerjaan tabloid ini hingga ke­ tangan pembaca. Informasinya ada di halaman tengah tabloid ini. Untuk rubrik Potret Budaya, ada cerita toping-toping dan tangistangis dari adat Simalungun. Se­ buah acara hiburan dalam upacara kematian sebagai pelerai duka lara. Sementara di rubrik Profil, hadir Nabila Azhar, mahasiswa Fakultas Kedokteran USU yang acap me­ menangkan berbagai kontes ke­ cantikan, namun juga lihai berwi­ rausaha. Semoga informasi yang kami sajikan tiap lembarnya dapat menambah wawasan pembaca. Sekian pengantar dari redaksi SUARA USU. Terimakasih kami ucapkan kepada pembaca yang se­ tia menikmati setiap ulasan tabloid kami mulai dari awal tahun hingga menjelang akhir tahun ini. Sam­ pai ketemu di tabloid edisi terbaru tahun depan dengan ulasan yang le­bih menarik lagi. Akhir kata, se­ lamat membaca. (Redaksi)

suara pembaca Mobil-mobil di Sekitar Pintu 1 Persempit Jalan Hampir setiap hari di jam-jam kuliah jalan di Pintu 1 sering macet dan bikin susah pejalan kaki untuk me­ nyeberang. Harusnya ada solusi untuk parkiran mobil di sekitar Fakultas Kedokteran ini. Di Pintu 1 itu ja­ lan, bukan parkiran. Rati Handayani Fakultas Kesehatan Masyarakat 2012

Pemerataan Petugas Keamanan Menurut saya, keberadaan satpam tidak merata di USU ini. Contohnya di kampus saya Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam tidak ada satpam yang berjaga. Posnya ada tapi sering tutup. Jika seperti ini enggak he­ran kenapa USU masih sering kemalingan. Sonya Citra Bratisca Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam 2012


SUARA USU, EDISI 90, NOVEMBER 2012

suara kita

3

kata kita

Merebak Esensi Inaugurasi ke senior atau junior ke alum­ ni. Namun kerap terjadi penya­ anis pahit inau­ lahgunaan wewenang senior gurasi nyaring terhadap junior dalam pro­ ter­dengar saat sesnya. Tindakan yang meng­ musim penyam­ arah pada kekerasan fisik dan butan mahasis­wa pelecehan turut menghiasi ina­ baru tiba. Kebanyakan maha­ ugurasi. Hal ini pun ada yang siswa menganggap inau­gurasi menganggap lumrah ada juga sebagai media untuk men­ menolak. Berikut pendapat genal dan mengakrabkan diri beberapa mahasiswa tentang sesama mahasiswa baru, junior inaugu­rasi. Renti Rosmalis

M

Hafsah

Fakultas Ilmu Budaya 2011

Tisna Harmawan

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam 2007 Setelah diinaugurasi, akan timbul ikatan emosional yang erat sesama mahasiswa baru, senior dan alumni. Selain itu, bisa juga menumbuhkan kenyamanan dan keakraban antara junior dan senior. Sehingga dalam kehidupan kampus, junior tidak segan ke senior namun tetap menghargai seniornya. Meskipun ketika saya ikut inaugurasi dulu ada senior yang menjahili atau membentak itu semata-mata untuk meng­akrabkan diri. Jadi inaugurasi itu penting untuk diadakan, meskipun dari sisi akademik tidak begitu penting. Pokoknya jangan sampai tidak ada inaugurasi.

Mi’raj Purnama Sari

Fakultas Ekonomi 2012

Di kampus, banyak kegiatan dan kepa­ nitiaan yang bagus untuk menciptakan hubungan baik antara mahasiswa satu jurusan. Tidak mesti dengan inaugurasi, karena tidak memberikan dampak baik bagi mahasiswa. Apalagi jika dihiasi dengan kekerasan atau tekanan mental. Itu justru menciptakan mahasiswa yang bertindak sesukanya terhadap yang le­ mah. Jadi bagi saya inaugurasi tidak perlu diadakan.

Inaugurasi itu tidak penting diadakan. Inaugurasi bukan satu-satunya cara yang bisa digunakan untuk menciptakan keak­ raban antara mahasiswa. Banyak cara dan media lain dalam menciptakan solidaritas di kampus. Dengan forum diskusi atau kegiatan kampus yang lebih bermanfaat, keakraban pun bisa terjalin. Inaugurasi justru membuat gap antara mahasiswa baru dan lama, menciptakan perbedaan antara senior dan junior. Dan itu tidaklah baik.

Alief Yahutomo

Ricky Malinton Sianturi

Inaugurasi itu penting untuk dilaksanakan karena memberikan pengenalan kehidu­ pan kampus dan pengenalan senior bagi mahasiswa baru. Tapi sayang, inaugurasi sering diidentikkan dengan hal-hal negatif. Padahal jika dilaksanakan dengan benar, inaugurasi bisa membentuk jiwa maha­ siswa agar menyadari bahwa dirinya adalah seorang mahasiswa.

Meskipun fakultas saya tidak melak­ sanakan inaugurasi, tapi bagi saya itu penting. Karena di sana kita dapat meng­ akrabkan diri antar sesama mahasiswa baru, senior dan alumni juga. Kalau ada kontak fisik dan selagi kontak fisiknya tidak begitu keras, itu biasa saja. Itu cara untuk mengakrabkan diri.

Fakultas Pertanian 2011

Fakultas Teknik 2006

FOTO-FOTO: renti rosmalis | suara usu

Diterbitkan Oleh: Pers Mahasiswa SUARA USU I Pelindung: Rektor Universitas Sumatera Utara | Penasehat: Pembantu Rektor III Universitas Sumatera Utara I Pemimpin Umum: Harry Yassir Elhadidy Siregar I Sekretaris Umum: Kartini Zalukhu I Bendahara Umum: Andika Bakti I Pemimpin Redaksi: M Januar I Sekretaris Redaksi: Rida Helfrida Pasaribu | Redaktur Pelaksana: Febrian I Redaktur: Debora Blandina Sinambela, Hadissa Primanda I Redaktur Foto: Ridha Annisa Sebayang I Redaktur Artistik: Viki Aprilita I Koordinator Online: Muslim Ramli I Redaktur Online: Ipak Ayu H Nurcaya | Reporter: Apriani Novitasari, Aulia Adam, Cristine Falentina Simamora, Mezbah Simanjuntak I Fotografer: Sofiari Ananda I Desainer Grafis: Icha Decory, Audira Ainindya, Gio Ovanny Pratama I Ilustrator: Audira Ainindya, Aulia Adam I Pemimpin Perusahaan: Ade Fitriani | Sekretaris Perusahaan: Bania Cahya Dewi I Manajer Iklan dan Promosi: Sandra Cattelya I Manajer Produksi dan Sirkulasi: Baina Dwi Bestari I Desainer Grafis Perusahaan: Maya Anggraini S | Staf Perusahaan: Ferdiansyah, Ika Ayuni, Lilis Suryani I Kepala Litbang: Malinda Sari Sembiring I Sekretaris Litbang: Ratih Damara Barus I Koordinator Riset: Izzah Dienilah Saragih I Koordinator Kepustakaan: Sri Handayani Tampubolon I Koordinator Pengembang­ an SDM: Febri Hardiansyah Pohan I Staf Litbang: Guster C P Sihombing, Renti Rosmalis, Fachruni Adlia, Hendro H Siboro I Staf Ahli: Yulhasni, Agus Supratman, Tikwan Raya Siregar, Rosul Fauzi Sihotang, Yayuk Masitoh, Febry Ichwan Butsi, Rafika Aulia Hasibuan, Vinsensius Sitepu, Eka Dalanta Rehulina, Muliati Tambuse, Risnawati Sinulingga, Liston Aqurat Damanik, Mona Asriati, Fanny Yulia | ISSN: No. 1410-7384 I Alamat Redaksi, Promosi dan Sirkulasi: Jl. Universitas No. 32B Kampus USU, Padang Bulan, Medan-Sumatera Utara 20155 I E-mail: suarausu_persma@yahoo.com I Situs: HTTP://www.suarausu-online.com I Percetakan: PT Medan Media Grafika (Isi di luar tanggung jawab percetakan) I Tarif Iklan: Rubrik Ragam (BW) Rp 800/mm kolom, Rubrik Opini (BW) Rp 800/mm kolom, Rubrik Potret Budaya (FC) Rp 1200/mm kolom, Rubrik Dialog (BW) Rp 800/ mm kolom, Rubrik Riset (FC) Rp 1200/mm kolom, Rubrik Peristiwa (BW) Rp 800/mm kolom, Halaman Iklan (BW) Rp 500/mm kolom, Rubrik Profil (FC) Rp 1500/mm kolom I Informasi Pemasangan Iklan dan Berlanggan­an, Hubungi: 085218399677, 081260121260. DESAIN SAMPUL: VIKI APRILITA FOTO NAVIGASI: SOFIARI ANANDA DAN ICHA DECORY

Redaksi menerima tulisan berupa opini, puisi, dan cerpen. Untuk opini dan cerpen, tulisan maksimal 5000-6000 karakter. Tulisan harus disertai foto dan identitas penulis berupa fotokopi KTM atau KTP. Tulisan yang telah masuk menjadi milik redaksi dan apabila dimuat akan mendapat imbalan. Tulisan dapat dikirim ke email suarausutabloid@ymail.com


4 laporan utama

PEMA?

SUARA USU, EDISI 90, NOVEMBER 2012

Cerita Liku Perjalanan

Pemerintahan Mahasiswa Koordinator Liputan: Rida Helfrida Pasaribu Reporter: Fachruni Adlia, Febri Hardiansyah Pohan, Mezbah Simanjuntak, dan Rida Helfrida Pasaribu

RIDHA ANNISA SEBAYANG | SUARA USU

PMB

Penerimaan mahasiswa baru di FMIPA, Rabu (29/8). Kegiatan pema yang sering terlihat adalah saat penerimaan mahasiswa baru dan pemilu.

Seiring dengan posisinya sebagai miniatur peme­ rintahan negara, pemerintahan mahasiswa sulit menunjukkan pe­ rannya, hingga tak dianggap ada. Ter­ lalu banyak ken­ dala yang dihadapi dalam perjalanan­ nya menuju peme­ rintahan yang ideal.

Tinggi (SMPT), ikut ambil peran dengan memfasilitasi pertemuan-pertemuan untuk membahas masalah negara. Pertemuan tersebut melibatkan semua elemen organisasi ma­ hasiswa, baik organisasi intra maupun ekstra dan kelompok studi mahasiswa. Karena alasan itu pula, organisasi-orga­nisasi kampus kemudian menuntut adanya reformasi dari pihak rektorat, namun pihak rektorat menolak, malah bilang agar mahasiswa yang mereformasi diri sendiri. Rida Helfrida Pasaribu Seiring dengan masa itu, lvi Sumanti, Se­ turun Surat Keputusan Menteri kretaris Jenderal Pendidikan dan Kebudayaan Senat Mahasis­ Republik Indonesia Nomor 155/ wa Pergu­ru­an­ U/1998 tentang Pedoman Umum Ting­gi (SMPT) Organisasi Kemahasiswaan di USU coba mengingat kembali Perguruan Tinggi. Sebanyak 14 peristiwa di tahun tahun 1998. pasal yang terbagi dalam 7 bab Masa pecahnya reformasi. Ia tercantum di sana, tentang or­ bercerita saat itu mahasiswa ganisasi kemahasiswaan. Pada pasal 3 ayat 1 disebut­ dianggap sebagai garda de­ pan negara, yang dipandang kan bahwa di setiap perguruan masyarakat sebagai agen pe­ tinggi terdapat satu organisasi rubahan. Mahasiswa dianggap intra perguruan tinggi yang mampu menggulirkan rezim menaungi semua aktivitas ke­ Soeharto saat itu. Tak keting­ mahasiswaan. Atas dasar itu, galan mahasiswa USU melalui pihak rektorat memanggil pe­ Senat Mahasiswa Perguruan ngurus SMPT dan menyuruh

E

mereka untuk mengubah nama dan membentuk organisasi in­ tra. Saat itu, mayoritas maha­ siswa yang tergabung dalam SMPT merupakan mahasiswa tingkat akhir, namun rela mengenyampingkan urusan akademis mereka. Diputuskanlah untuk me­ ngadakan simposium untuk membahas organisasi intra tersebut. SMPT pun mengada­ kan rapat kecil untuk memper­ siapkan simposium. Banyak hal yang dibahas di dalamnya, termasuk perumusan undangundang organisasi yang kemu­ dian dikenal dengan Tata Lak­ sana Ormawa (TLO).

Ketika itu fungsi pema benar-benar hidup Syafrizal Helmi Presiden Pema USU Pertama Simposium pertama pun dilaksanakan, bertempat di Gelanggang Mahasiswa. Na­ mun ternyata, banyak hal

atau permasalahan yang tidak diterima, dan masih banyak perbaikan-perbaikan yang ha­ rus dilakukan. Akhirnya sim­ posium diadakan lagi sesuai dengan keadaan waktu itu. Elvi mengatakan tak hanya mahasiswa organisasi intra dan ekstra serta kelompok studi dan anggota senat mahasiswa yang hadir pada simposium tersebut. Pejabat kampus se­perti dekan dan pembantu dekan turut ter­ libat. Pada simposium kedua April 1999, hasil simposium disahkan Pembantu Rektor III masa itu, Isman Nuriadi. Dijelaskan Elvi, hasil simpo­ sium tersebut antara lain or­ ganisasi mahasiswa (ormawa) disebut dengan pemerintahan mahasiswa (pema), di mana Pema Universitas dipimpin oleh seorang presiden, dan gubernur memimpin pema fakultas. Kemudian dibentuk­ lah kelompok aspirasi maha­ siswa (KAM). Ketika itu tidak lebih dari sepuluh KAM yang ada. Tak lupa dibentuk pula struktur eksekutif dan legisla­ tif organisasi. Pada 27 Februari 1999 pe­

milihan raya atau kini lebih dikenal dengan pemilihan umum pertama pun dilak­ sanakan. Terpilihlah Syafrizal Helmi, mahasiswa Fakutas Ekonomi (FE) yang sekarang juga menjabat sebagai dosen FE sebagai Presiden Maha­ siswa USU pertama. Jumlah anggota Pema USU ketika Syafrizal menjabat seki­ tar 85 orang, yang dibagi ke dalam 20 kabinet. Syafrizal mengatakan saat itu pema tidak berada di bawah naungan rek­ torat, karena desakan keingi­ nan mahasiswa dan dilematis majelis mahasiswa, majelis mahasiswa pun mengirim surat permohonan ke Biro Rektor. Peran Pema USU tak hanya dirasakan mahasiswa, tapi juga masyarakat sekitar. Rakyat pun acap datang ke sekretariat pema, sekadar untuk bercerita atau bahkan meminta solusi. “Ketika itu fungsi pema benar-benar hid­ up,” kenang Syafrizal. Di masa pemerintahannya, Pema USU sempat menyeleng­ garakan kongres mahasiswa seSumatera Utara (Sumut) memba­ has permasalahan Sumut saat itu. Pernah juga diadakan pertemuan


laporan utama 5

PEMA?

SUARA USU, EDISI 90, NOVEMBER 2012

ANDIKA BAKTI | SUARA USU

Pelantikan pema tingkat nasional mengenai perta­ nian se-Indonesia dan menyoroti kegiatan-kegiat­an mahasis­wa. Pema juga mendukung banyak kegiatan-kegiatan mahasiswa dan sering juga me­ngadakan dialogdialog bersama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Keikutsertaan mahasiswa pun masih bagus, lebih dari 50 persen mahasiswa antusias untuk terlibat dalam pemilu.

Kondisi Pema Sekarang

Merintis kembali peme­ rintahan setelah hampir 3 ta­ hun kekosongan kekuasaan, Pema USU sekarang justru menemui banyak rintangan dalam perjalanannya. Dalam segi program kerja (progja) mi­ salnya, dari lima progja yang dipersiapkan, baru dua yang terlaksana, sementara periode kepengurusan tinggal sebentar lagi. Kelima progja itu antara lain kajian diskusi, konsolidasi intra dan ekstra, mewadahi minat dan bakat mahasiswa, advokasi mahasiswa yang responsif, dan yang terakhir adalah menciptakan budaya gerakan yang dinamis seperti gerakan aksi. Dijelaskan Presiden maha­ siswa USU Mitra Akbar Nasu­ tion, periode ini, dua progja yang terlaksana adalah mewadahi minat bakat dalam bidang olah­ raga seperti liga futsal dan ka­ jian diskusi dengan mengadakan pertemuan antara Pema USU dengan pema-pema fakultas. Mitra me­ngaku, terakhir kali mengadakan pertemuan tersebut menjelang penerimaan maha­ siswa baru (PMB). “Setelah itu jarang mengadakan pertemuan kembali,” ujarnya. Namun ia mengusahakan segera membuat pertemuan untuk mendiskusikan keadaan pema-pema fakultas dalam waktu dekat. Mitra mengatakan, sulit­ nya menjalankan progja yang tersisa karena banyak anggota yang tidak aktif, karena telah

Pelantikan pengurus Pema USU periode 2011-2012 Desember tahun lalu di Peradilan Semu FH USU. me­nyelesaikan masa studi­ nya. Bahkan, lima dari menteri dalam kabinetnya telah wisuda. Selain itu, sulitnya menemu­ kan jadwal dari anggota yang masih aktif untuk mengadakan pertemuan. Alhasil, Pema USU tak punya jadwal pertemuan tetap. “Pertemuan-pertemuan kondisional sesuai kepenting­ an bersama,” ungkapnya. Tak hanya kehilangan men­ teri, wakil presiden (wapres) pun juga sudah wisuda, dan ti­ dak ada penggantinya hingga sekarang. Mitra bilang, posisi

Kalau memang seperti itu ya tidak apa-apa, biarlah mahasiswa yang menilai kami bagaimana pun itu. Mitra Akbar Nasution Presiden Pema USU 2012 wapres tidak akan diganti untuk tahun ini, namun dilakukan di akhir kepengurusan saja, seiring dengan pergantian kabinet. Hal ini dilakukan agar kepengurusan yang baru bisa merancang aturan baru mengenai wapres tersebut. Terlebih, masalah ini tidak dia­ tur dalam TLO yang seharusnya menjadi rujukan. Tak hanya itu, koordinasi antara Pema USU dengan Maje­ lis Permuyawaratan Mahasiswa Universitasn (MPMU) juga tak berjalan baik. Hal ini terlihat dari draf progja Pema USU yang hingga saat ini belum sampai ke tangan MPMU. Padahal, agar sebuah progja bisa dijalankan adalah melalui MPMU, setelah dievaluasi oleh MPMU maka direvisi kembali oleh Pema USU, kemudian disahkan oleh Pembantu Rektor III. MPMU sebagai pengawas kinerja Pema USU mengaku telah meminta Pema USU un­

tuk segera menyerahkan draf tersebut. Namun, sepertinya ti­ dak ada peringatan secara tegas mengenai hal tersebut. “Mung­ kin kita akan rencanakan rapat paripurna, ya secara tak lang­ sung untuk mengharuskan pema kasih draf progjanya kan?” tanya ketua MPMU M Ibnu Sina Lubis Menanggapi hal ini Mi­ tra hanya berkomentar bahwa ada miss antara Pema USU dan MPMU. “Yah segera akan kami (Pema USU -red) serah­ kan lagilah secepatnya,” ung­ kap Mitra singkat. Kurangnya kedekatan de­ngan mahasiswa juga menjadi penye­ bab peran Pema USU kurang terdengar gaungnya. Kesannya tidak ada koordinasi dengan­ ma­ hasiswa, yang membuat banyak mahasiswa tidak mengetahui pema sehingga ber­asumsi bahwa Pema USU tidak terasa perannya. Pernyataan-pernyataan seperti itu tidak dibantah oleh Mitra. “Ka­ lau memang seperti itu ya tidak apa-apa, biarlah mahasiswa yang menilai kami bagaimana pun itu,” ungkapnya.

Pema Fakultas pun Bermasalah

Sengkarut masalah yang di­ hadapi pema pusat juga dialami di beberapa pema fakultas. Se­ perti di Fakultas Ilmu Budaya (FIB), tak punya pema selama satu periode. Hal ini disebab­ kan karena kericuhan yang ter­ jadi saat pemilu Mei tahun lalu, karena adanya kesalahan teknis saat pelaksanaannya. FIB telah mengadakan pe­ milu pada 29 Oktober lalu un­ tuk kepengurusan berikutnya. Namun belum mene­mui titik terang akibat proses penghi­ tungan dan pengesahan ditun­ da karena sejumlah mahasiswa yang protes akan kelebihan su­ rat suara yang dibuat. Kekosongan pema juga sempat dialami FE selama dua tahun, hingga tahun 2011 Viktor Lumbanraja akhirnya menjadi

gubernur FE. Viktor menga­ takan, kekosongan tersebut ter­ jadi karena banyak hal, terutama karena konflik internal keorgan­ isasian. Masalah anggota yang ti­ dak komitmen dengan tang­ gung jawab juga kendala yang paling banyak ditemui pema fakultas. Gubernur Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Iskandar mengungkapkan, dari 60 orang anggota pema yang ia rekrut, seperempatnya sudah tidak aktif lagi. Hal se­ rupa juga dialami Dheoziade Tutamana, Gubernur Fakultas Farmasi (FF). “Ada beberapa anggota yang kurang aktif dalam kepengurusan tahun ini, ada juga yang sudah tamat,” paparnya. Bahkan wakil gu­ bernurnya juga telah menyele­ saikan masa studi. Robi Arianta Sembiring, Gubernur Fakultas Teknik (FT) mengungkapkan ketidakaktif­ an pengurus yang dialaminya kebanyakan disebabkan kare­ na masalah waktu. Masalah manajemen waktu pengurus ini berdampak pada beberapa progja Pema FT yang tidak dapat dilak­ sanakan. Padahal, saat merekrut anggota, ia telah mewajibkan anggotanya untuk mengisi su­ rat kesediaan menjadi pengurus pema, namun ternyata kurang efektif. “Ada beberapa program kerja yang enggak terlaksana, kayak pelatihan software dan 3 on 3 (three on three–red) bas­ ket,” katanya. Selain masalah anggota, progja yang tidak berjalan juga penyebab dari pihak eksternal terutama dari dekanat. Di FT, tidak terlaksananya progja juga karena berbenturan dengan ke­ giatan rangkaian acara Dies Na­ talis FT. Robi mengaku progja yang ada tidak didukung pihak dekanat. “Dana yang cair dari USU dan fakultas itu kurang, jadi ya gini lah,” jelasnya. Dukungan fakultas yang be­ lum penuh juga menyebabkan Pema FF kurang berkontribusi dalam berbagai acara nasional. “Kita (Pema FF–red) jarang mengirim delegasi dalam even nasional karena fakultas belum

ada dana,” jelas Dheo. Dijelaskan Bobby Kur­ niawan, Gubernur Fakultas Psikologi (FPsi) mengalami hal serupa. Sulitnya mendapat izin yang sah dari dekanat membuat terjadi keterlambatan dalam melaksanakan sebuah acara. Pema FPsi juga berhadapan dengan masalah keapatisan mahasiswanya. Pasalnya Pema FPsi telah dua kali mengalami aklamasi dalam pembentukan pemanya. Bobby mengatakan, hal ini disebabkan kebanyakan mahasiswa lebih fokus terha­ dap studi mereka, yang jadwal­ nya padat dibandingkan ikut dalam organisasi. Satu masalah mengenai pema fakultas yang memiliki hubungan kurang baik dengan legislatif atau Majelis Permusya­ waratan Mahasiswa Fakultas (MPMF). Gubernur Fakultas Keperawatan (FKep) Annisa Sepwika Sari mengakui hal tersebut. Hubungan pema kepe­ rawatan dengan MPMF FKep tidak berjalan dengan baik seperti kurangnya komunikasi antara satu dengan lainnya. Se­ hingga Pema FKep menjalan­ kan kebijakan sendiri. Bahkan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga dibuat dengan mengadopsi sendiri dari TLO yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan fakultasnya tanpa ada pengawasan dari pihak MPMF. Pema FISIP juga mengang­ gap MPMF FISIP tidak mampu dalam mengawasi pema se­ hingga terjadi otonomi terhadap pema. “TLO yang dibuat juga ti­ dak sesuai dengan aturan-aturan yang ada,” ungkapnya. Elvi menilai banyaknya kendala yang dihadapi pema saat ini disebabkan tidak ad­ anya sinergi dan kesinambun­ gan dari berbagi pihak. Selain itu, kebanyakan sudah mening­ galkan tata laksana yang telah dibuat untuk menjadi rujukan. Ia menyarankan untuk men­ gamademen TLO yang ada, agar bisa difungsikan dengan baik. “Diadakanlah simposium seperti dulu, mahasiswa semua dilibatkan agar semua memi­ liki peran,” ujarnya.

RIDHA ANNISA SEBAYANG | SUARA USU

SEKRETARIAT PEMA

Sekretariat Pemerintahan Mahasiswa (Pema) USU, Jumat (9/11). Sekretariat Pema USU terbuka bagi setiap mahasiswa.


6 laporan utama

PEMA?

SUARA USU, EDISI 90, NOVEMBER 2012

Pema Berpikir Maka Pema Ada

Koordinator Liputan: Sri Handayani Tampubolon Reporter: Cristine Falentina, Hendro H Siboro, Maya Amggraini, Hadissa Primanda dan Sri Handayani Tampubolon

RIDHA ANNISA SEBAYANG|SUARA USU

DEMONSTRASI

Pema USU beberapa Pema Fakultas di USU tergabung dalam Front Mahasiswa Sumatera Utara (Fromsu) melakukan aksi demonstrasi menolak kenaikan BBM Maret 2012.

Di tengah liku ja­ lan pemerintahan mahasiswa (pema), ada TLO yang se­ benarnya bisa di­ jadikan pedoman. Pema harus tetap punya pencapaian baik meskipun di­ timpa banyak ma­ salah.

E

Sri Handayani Tampubolon

lvi Sumanti, Sekre­ taris Jenderal Senat Mahasiswa Pergu­ ruan Tinggi (SMPT) USU 1997 ditunjuk menjadi moderator dalam se­ buah simposium akbar kala itu. Acara tersebut diadakan untuk membahas perubahan nama SMPT menjadi pemerintahan mahasiswa (pema). Dijelaskan Elvi, hal itu diwacanakan kare­ na terdapat beberapa perbedaan dalam penggunaan nama terse­ but. Jika SMPT dipimpin oleh seorang ketua senat, maka pema punya presiden yang me­ megang kuasa. Seiring dengan perubahan nama, maka beralih

pulalah peran organisasi intra tersebut di tingkat universitas. Jalur koordinasi yang pada masa senat berupa komando langsung dari pihak rektorat, saat menjadi pema jalurnya beralih dengan koordinasi dengan mahasiswa. Artinya, pema tak hanya men­ jalankan perintah dari rektorat, namun juga dapat menjadi per­ panjangan tangan mahasiswa. Dengan demikian, pema di­ harapkan dapat berperan sebagai lembaga yang dapat dipercaya seluruh mahasiswa USU. “Jadi kalau mahasiswa ada masalah, saat itu mahasiswa datang dulu ke pema, baru pema yang bawa ke rektorat,” papar Elvi. Ditambahkan M Rikwan ES Manik, Ketua Umum SMPT periode 1997-1999, perbedaan yang paling mendasar adalah dari kesakralan namanya. Peng­ gunaan istilah presiden mengi­ syaratkan universitas sebagai se­ buah miniatur negara sehingga diharapkan mahasiswa dapat mengembangkan kemampuan kepemimpinannya. Karena itu, ia terbuka untuk siapa saja. Se­ lain itu, adanya pemerintahan mahasiswa (pema) bisa menjadi wadah bagi mahasiswa untuk belajar berpolitik di dalamnya. “Ia juga bisa dijadikan tempat

belajar menghargai orang lain,” tambah Rikwan. Seiring dengan per­­kem­­­­ba­ ngannya, saat ini pema di USU baik tingkat universitas maupun fakultas berupaya untuk memak­ simalkan perannya, agar sesuai dengan tujuan awal dibentuknya pema. Meskipun dirundung banyak permasalahan, namun tetap ada hal-hal positif yang dilakukan pema sebagai penampung as­ pirasi mahasiswa. Akhir tahun lalu hingga tahun ini saja ada beberapa pema yang melakukan aksi, baik itu masalah internal kampus atau masalah-masalah nasional. Pema Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) pernah melakukan aksi tolak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dan Ranca­ng­­an Undang-Undang Pendidikan Tinggi (RUU-PT) bebe­r­a­pa bu­­lan lalu dalam waktu berbeda. Gubernur FISIP Iskandar ­mengatakan sistem kerja Pema FISIP tahun ini lebih pe­ngadaan gerakan mahasiswa kampus ketimbang kegiatan dalam kam­ pus seperti seminar-seminar yang acap dilakukan di periode sebe­ lumnya. “Kebetulan muncul bebera­ pa kasus nasional yang perlu disi­

kapi tahun ini,” ujarnya. Iskan­ dar menambahkan bahwa aksi atau gerakan mahasiswa diada­ kan supaya dapat membangkit­ kan semangat mahasiswa yang saat ini lebih banyak apatis agar bisa berpikir secara kritis. Tak hanya Pema FISIP, Pema USU juga melakukan aksi tolak kenaikan harga BBM de­ngan berkoordinasi dengan pema-pema fakultas.

Jadi kalau mahasiswa ada masalah, saat itu mahasiswa datang dulu ke pema, baru pema yang bawa ke rektorat. Elvi Sumanti Ada juga cerita aksi damai dari Aliansi Mahasiswa Ekonomi Bersatu termasuk di dalamnya Pema Fakultas Ekonomi (FE) yang mengkritisi kebijakan-ke­ bijakan pihak dekanat kampus­ nya, akhir tahun lalu, dipimpin oleh Gubernur FE 2011 Viktor Lumbanraja.

Ada banyak tuntutan saat itu, di antaranya pembayaran saat mengurus administrasi, magang mahasiswa D III yang kurang edukatif, dan sistem Perbaikan Kartu Rencana Studi (PKRS) yang dipersulit. “PKRS hanya boleh mengu­ rangi jumlah mata kuliah yang diambil, tidak boleh menambah atau mengganti,” jelas Viktor. Berkat aksi tersebut, semester ini sistem PKRS tersebut lebih fleksibel sehingga mahasiswa yang tidak cocok dengan suatu mata kuliah, dapat mengganti­ nya dalam masa yang telah di­ tentukan. Sementara itu, Pema FK menjalankan perannya dengan membuka wadah bagi maha­ siswa lewat unit kegiatan maha­ siswa (UKM) internal fakultas seperti UKM Standing Commitee on Research Exchange (SCORE), dan UKM-UKM yang berada di bawah Departe­ men Pengabdian Masyarakat Pema yaitu UKM Scora, UKM Tim Bantuan Medis (TBM), dan UKM SCOPH. UKM SCORE sendiri ialah satu badan semi otonom yang berada di bawah Departemen Pendidikan dan Penelitian (Diklit) Pema FK, yang bergerak di bidang ilmiah, seperti karya ilmiah, poster-poster ilmiah dan esai ilmiah. Anggota SCORE dibekali seminar-seminar dan pembinaan saat ingin mengikuti lomba. Beberapa prestasi sudah diraih seperti menjadi sepuluh besar saat Temu Ilmiah Nasional di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta tanggal 12-16 Sep­ tember lalu. Selain itu juga lom­ ba Olimpiade Anatomi dengan Bahasa Inggris di Universitas Sriwijaya Palembang dan ban­ yak lagi. Menurut Direktur Eksekutif SCORE Anita Oktaviani peran pema sangat dirasakan oleh ma­ hasiswa FK. Koordinasi juga cukup baik, apalagi saat ada ke­ giatan. Pema mengadakan rapat kordinasi agar semua kegiatan bisa berjalan dan tidak ada jad­ wal yang bentrok. Menurut Ani­ ta komunikasi adalah kunci dari keberhasilan. “Kalau tidak baik bagaimana bisa menjalankan semuanya dengan baik,” jelas Anita. Hal serupa juga terjadi pada Pema Fakultas Psikologi (FPsi). Meskipun tersandung masalah keapatisan mahasiswa, namun sejauh ini progja yang me­reka rencanakan berjalan dengan baik, dan tidak menemukan ken­ dala berarti. Pema FPsi memang lebih mengutamakan program kerja (progja) yang lebih bermanfaat yang mendukung karier di masa depan juga akademik. Meskipun ada beberapa progja yang belum terlaksana, Bobby Kurniawan, Gubernur FPsi menyerahkan estafet kepada gubernur selan­


laporan utama 7

PEMA?

SUARA USU, EDISI 90, NOVEMBER 2012

jutnya untuk meneruskan atau tidak. Bobby berharap untuk kepengurusan selanjutnya agar anggota pema bisa lebih solid lagi. “Masalah yang terjadi di antara sesama anggota diharap­ kan di clear-kan di dalam, se­ hingga tercipta komunikasi yang lebih baik lagi,” ungkapnya. Untuk menanggulangi ketidakaktifan anggota yang berdampak pada kekosongan kepengurusan, Pema FPsi juga mengubah bentuk rekrutmen. Jika tahun lalu Pema FPsi ber­ anggotakan 60 orang, maka pada kepengurusan kali ini, Bobby hanya merekrut 30 orang saja. Ia berasumsi jika dalam satu de­ partemen beranggotakan sampai 10 orang, tidak semua anggota yang bekerja maksimal. Maka ia membuat dalam satu departe­ men cukup 4-5 orang saja yang dibutuhkan. “Agar masingma­sing anggota concern pada ma­sing-masing pekerjaannya,” jelas Bobby. FE dan Fakultas Kepera­ watan (FKep) yang kini baru mengadakan penggantian pema, turut menyiapkan sejumlah progja untuk menumbuhkan optimisme mahasiswa terhadap pema. Brilian Amial Rasyid, Gubernur FE 2012 mengatakan akan lebih memprioritaskan pada pengabdian masyarakat. Kegiatan yang sudah diren­ canakan adalah pengadaan bina desa pada rangkaian acara Dies Natalis FE yang akan digelar Desember mendatang. Sementara Gubernur FKep Annisa Sepwika Sari juga melakukan perubahan pada kepengurusannya tahun ini. Jika ditilik dari tahun lalu, ia merasa mayoritas mahasiswa FKep kurang peduli. Sehingga untuk mengetahui aspirasi mahasiswa FKep, pema sedang dalam tahap rancangan kotak curhat. “Agar bisa menjalankan fungsi sebagai penyalur aspirasi mahasiswa,” ungkapnya.

Jangan Lupakan TLO

Layaknya sebuah pemerin­ tahan, pada masa awal pema ter­ bentuk, dirumuskan pula sebuah undang-undang yang menjadi pedoman dalam melaksanakan

tugas. Hal ini juga tidak ditemui pada masa SMPT. Peraturanperaturan tersebut kemudian dinamakan Tata Laksana Or­ mawa (TLO). Dalam praktiknya, banyak hal yang ternyata tidak sesuai dengan apa yang telah dipapar­ kan dalam TLO tersebut. Dalam masalah fungsi pema di TLO misalnya, dikatakan salah satu fungsi Pema USU yaitu sebagai lembaga eksekutif yang melak­ sanakan kegiatan mahasiswa, pada umumnya juga sebagai penyalur aspirasi mahasiswa. Ini tak sepenuhnya terpenuhi, karena masih banyak maha­ siswa yang belum mengetahui keberadaan pema. Presiden Mahasiswa USU Mitra Akbar Nasution mengaku Pema USU tidak begitu dekat dengan mahasiswa, selain kare­ na tidak ada koordinasi langsung antara pema dan mahasiswa. “Kan udah ada gubernur yang menangani masalah-masalah di fakultasnya masing-masing,“ ungkap Mitra. Robi Arianta Sembiring, Gubernur Fakultas Teknik (FT) juga merasa kurangnya peranan Pema USU dengan Pema FT, selain dari sosialisasi Pema USU yang menurutnya belum efektif. Memang, secara hirarki tidak ada pengaruh Pema USU terha­ dap Pema FT. “Hanya berkoor­ dinasi dengan Pema USU pada waktu PMB (penerimaan maha­ siswa baru —red),” jelasnya. Saat ini, Pema USU juga te­ ngah kekosongan wakil presiden (wapres) karena telah wisuda. Padahal, dalam pasal 18 menge­ nai Ketentuan Khusus, pada ayat 2 dijelaskan bahwa presiden dan wakilnya tidak diperkenankan meninggalkan tugas maksimal 30 hari tanpa alasan yang jelas. Hal serupa juga terjadi pada Pema Fakultas Kesehatan Ma­ syarakat (FKM) yang kehilangan gubernurnya karena telah wisu­ da telah berencana mengangkat wakil gubernur (wagub) untuk menjadi gubernur pengganti, seperti yang diatur pasal 31 ayat 1 TLO. Namun ternyata wagub, diikuti sekretaris jenderal pema ikut menyusul wisuda. Sehingga kekosongan pemerintahan pun tak dapat dihindari. “Kepala

RIDA HELFRIDA PARASIBU |SUARA USU

PEMILU FIB

Seorang mahasiswa memasukkan surat suara ke kotak suara Pemilihan Umum Fakultas Ilmu Budaya, Senin (29/10).

bagian pun sudah pada wisuda, yah mau gimana lagi kan,” kata Heryanto, Ketua Majelis Permusyawaratan Mahasiswa Fakultas (MPMF) FKM. Merujuk TLO, seharusnya para pengurus organisasi intra harus menyelesaikan tugasnya selama satu periode kepengurusan yaitu satu tahun. Mau tak mau, harus merelakan menunda me­ nyelesaikan masa studinya. Jika memang tidak dapat dihindarkan, seharusnya posisi-posisi tersebut tidak dibiarkan kosong begitu saja. Masalah keanggotaan yang tidak konsisten, dalam TLO Pasal 30 dikatakan gubernur dan wakilnya berhak mengadakan reshuffle atau perubahan susunan kepengurusan selama masih menjabat. Dari segi kinerja, Pema USU sebenarnya punya media penga­ was yaitu (MPMU) seperti ter­ tera pada Pasal 8 ayat 2 TLO. MPMU juga seharusnya mem­ berikan kritikan dan saran ter­ hadap kebijakan-kebijakan yang diambil Pema USU, misalnya dalam pertemuan antara Pema USU, pema-pema fakultas, MPMU, dan pihak rektorat. M Ibnu Sina Lubis, Ketua MPMU pernah mengusulkan agar pema mengadakan perte­ muan rutin keseluruhan sebagai forum diskusi untuk membicara­ kan tentang keadaan Pema USU maupun pema fakultas. Namun usulan tersebut hanya ditangga­ pi secara formalitas, dan belum mendapat respon positif hingga sekarang. “Pihak rektorat juga bisa aktif mengenai hal ini,” harapnya. Rikwan memaparkan, saat TLO dirumuskan memang tak ada hukuman yang diberikan saat pemangku jabatan tak mema­ tuhi apa yang tertulis di dalam­ nya. TLO yang ada sebenarnya menggunakan sistem check and balance, artinya apa yang diker­ jakan harus sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan TLO. Ini mengandung unsur demokrasi di mana kesadaran adalah poin penting. Tak harus diiming­imingi hukuman dulu baru patuh akan aturan. Rikwan juga tak melarang adanya revisi TLO, mengingat ada beberapa hal yang mung­ kin tidak ditemui di dalamnya, namun lebih menyarankan un­ tuk menghindarinya. Ia bilang, pe­ngurus organisasi mahasiswa bisa lebih aktif bertanya dan berdiskusi pada senior atau orang yang sudah berpengalam­ an mengemban tugas dalam or­ ganisasi, bagaimana solusi dari permasalahan tersebut. MPMU dan MPMF harus menyadari perannya untuk me­ ngontrol kinerja pema.”Mereka dapat memanggil, memperta­ nyakan, dan mengkritisi ki­nerja pema,” ungkapnya. Artinya mere­kalah yang mengingat­ kan pema untuk tetap berada di jalannya, sehingga tidak lari dari koridor TLO. Dengan begitu,

revisi TLO sesungguhnya tak perlu dilakukan. Kalaupun memang ha­ rus ada bagian yang diubah, di TLO sendiri sudah dipaparkan pada pasal 12 ayat 2 bahwa MPMU punya hak amande­ men. Jadi MPMU berhak men­ gadakan perubahan terhadap TLO tanpa harus mengubah semuanya. Dijelaskan Rikwan, sebenar­

nya yang perlu digarisbawahi dalam hal ini adalah kesiapan mahasiswa yang ikut berparti­ sipasi dalam pemerintahan ini. Siapa pun itu, harusnya benarbenar paham fungsi dan peran­ an masing-masing serta tujuan organisasi. Mereka juga adalah orang yang paham konstitusi hingga tidak akan lari. “Jangan sampai membuat pemerintahan sendiri,” ujarnya.

Riset Laporan Utama Jajak pendapat ini dilakukan dengan melibatkan 384 maha­ siswa USU. Sampel diambil secara acak dengan memper­ timbangkan proporsionalitas di tiap fakultas. Kuisioner dise­ bar sejak 29 Oktober-9 November 2012. Dengan tingkat kepercayaan 95% dan sampling error 5%, jajak pendapat ini tidak dimaksudkan untuk mewakili seluruh pendapat mahasiswa USU. 1. Menurut Anda, bagaimana kinerja Pema USU? a.Memuaskan b. Kurang memuaskan

2. Bagaimana dengan kinerja Pema di fakultas Anda? a.Memuaskan b. Kurang memuaskan

3. Menurut Anda, apa masalah paling mendasar yang terjadi di Pema fakultas dan Pema USU? (Pilih salah satu) a.Periodisasi kepengurusan yang tidak jelas b.Kurangnya komitmen pengurus Pema c.Program kerja tidak jelas d.Masih mengedepankan ego dan kepentingan ­­ ma­sing-masing e.Kurang dekat dengan mahasiswa lainnya

4. Dari masalah di atas, solusi apa yang dapat ditawarkan?


8

opini

SUARA USU, EDISI 90, NOVEMBER 2012

Multithinking dalam Perspektif Ilmu Komputer & Psikologi Mohammad Andri Budiman

K

Foto: Dokumentasi Pribadi

omputer dapat melakukan multithinking, yaitu ‘me­ mikirkan’ lebih dari satu hal dalam satu waktu, apa­ bila ia memiliki lebih dari satu ‘otak’ (multiprosesor). Namun, pada komputer yang hanya memiliki satu pro­ sesor (uniprosesor) yang terjadi bukanlah multithinking, namun pseudo-multithinking.Pseudo, alias “pura-pura”, atau palsu. Mengapa pseudo? Karena pada sistem operasi komputer uniprosesor sebenarnya terdapat algoritma scheduling, misalnya algoritma round-robin yang berfungsi membagi data menjadi sejumlah unit ke­ cil dan memproses unit itu secara silihberganti. Pemrosesan tersebut terjadi jauh lebih cepat daripada kemampuan persepsi lima sensor manusia, sehingga Anda meli­ hat data tersebut seolah-olah diproses pada waktu yang bersamaan. Seolah-olah multithinking, seakan-akan multiprocessing, padahal bukan. Apabila manusia mencoba memikir­ kan dua hal di dalam waktu yang ber­ samaan secara sadar, maka hal itu ibarat orang yang menggantang asap, sia-sia! Cobalah Anda bagi pikiran sadar Anda menjadi seratus pikiran yang sangat kecil. Lalu proseslah pikiran tersebut secara ber­ gantian atau secara simultan. Dan setelah berulang kali mencoba dan gagal maka Anda akan berkesimpulan, manusia tak mampu memikirkan lebih dari satu hal dalam satu waktu di alam sadarnya. Pikiran alam bawah sadar manusia memiliki kemiripan dengan komputer uniprosesor, yang dapat memroses se­ seuatu dalam unit yang lebih kecil. Na­ mun, komputer uniprosesor melakukan­ nya secara lebih sistematis, akurat, dan cepat daripada manusia. Integritas data pada komputer lebih terjamin dengan adanya mekanisme errordetecting dan error-correcting otomatis yang tidak terdapat pada alam sadar ma­

Staf Pengajar Fakultas Ilmu Komputer dan Teknologi Informasi USU

AULIA ADAM | SUARA USU

AUDIRA AININDYA | SUARA USU

nusia. Komputer juga mampu untuk melakukan rekurs, yaitu proses terusmenerus mengulangi sebagian dirinya sendiri hingga tercapai kondisi tertentu. Rekurs skala besar tak bisa dilakukan manusia, karena pikiran sadar kita tidak memiliki stack atau struktur data yang padanya dapat dilakukan operasi pull and push terhadap data secepat kilat tanpa memengaruhi tugas lain.

Analogi Alam Sadar dan Bawah Sadar Manusia dalam Ilmu Komputer

Alam sadar kita ibarat RAM (random access memory). Saat komputer

SURAT DAN PENDAPAT Jalan Universitas No. 32 B, Kampus USU, Padang Bulan, Medan, Sumatera Utara suarausutabloid@ymail.com

083197363818

Pers Mahasiswa SUARA USU

@SUARAUSU

Redaksi menerima tulisan berupa Opini, Puisi, dan Cerpen. Untuk Opini dan Cerpen, tulisan maksimal 5000-6000 karakter. Tulisan harus disertai foto dan identitas penulis berupa fotokopi KTM atau KTP. Tulisan yang telah masuk menjadi milik redaksi dan apabila dimuat akan mendapat imbalan.

mati, data dalam RAM lenyap tanpa bekas. Begitu pula jika kita berniat me­ lupakan sesuatu saat ini juga secara sa­ dar, maka ia langsung terlupakan ibarat listrik off pada RAM. Sementara alam bawah sadar kita ibarat EPROM (erasable programmable read only memory) yang selalu mengingat sesuatu kendati di alam sadar telah dilu­ pakan. Namun, tidak mudah untuk ‘me­ ngeluarkannya’ kembali menjadi sebuah pikiran sadar yang ‘siap pakai’. Karena itu, saat Anda menjawab soal ujian, Anda sering kesulitan untuk mengingat kembali apa yang telah diajarkan di kelas, bukan? Contoh lainnya adalah saat se­ seorang melakukan kesalahan pada kita. Memaafkan seseorang itu mudah, namun melupakan perbuatan keji yang pernah dilakukannya itu sulit. Kendati begitu, pengalaman pahit dapat di-erase dengan menggantikannya dengan pe­ ngalaman manis (reprogram). Lalu, manusia yang dapat berpikir tentang dua hal di alam sadarnya dalam satu waktu, maka hal itu ibarat menge­ jar dua kelinci sekaligus. Bila yang satu tertangkap, maka yang kedua akan ka­ bur. Dan yang lebih sering lagi terjadi. Kedua-duanya malah kabur. Manusia mempunyai bagian-bagian otak yang bekerja secara harmonis, na­ mun itu tidak berarti Anda secara sadar dapat menganalisis siapa pembunuh Hedwig dalam novel Harry Potter, se­ mentara pada saat yang sama, Anda secara sadar juga mengerjakan hitungan kalkulus diferensial yang rumit.

Multithinking dan multitasking ber­ beda. Bila Anda sedang makan maka tentu saja Anda juga sambil menghirup dan membuang udara alias bernafas sekaligus. Itulah multitasking. Hanya saja, makan di­ lakukan secara sadar, namun bernafas di­ lakukan secara tak-sadar melalui jaringan saraf dan sistem organ otonom. Kejeniusan manusia tidak selalu identik dengan kecepatan memproses sesuatu di dalam otaknya, namun ham­ pir selalu ditandai dengan fokus. Fokus lalu kreatif. Kreatif kemudian imajinatif. Imajinatif maka jenius. Sedangkan keje­ niusan komputer terletak pada kecepa­ tannya dan kemampuannya untuk mem­ proses banyak hal secara sadar dalam satu waktu seperti pada kasus komputer multiprosesor. Tulisan ini hanyalah sebuah artikel untuk pembaca umum, tanpa gaya baha­ sa ala text book atau jurnal dengan sim­ bol sains lanjutan yang kemungkinan besar justru membuat kening berkerut. Ba­nyak riset yang perlu dilakukan apabi­ la kita ingin menghubungkan ilmu kom­ puter dan psikologi sehingga kita akan mampu mengembangkan android yang cerdas, bukan hanya ‘Android’ yang se­ batas nama sebuah sistem operasi. Akhirnya, marilah kita renung­ kan dua kalimat bijak Albert Einstein yaitu,“Imagination is more important than knowledge. For knowledge is limited to all we now know and understand, while imagination embraces the entire world, & all there ever will be to know & understand.”


dialog

SUARA USU, EDISI 90, NOVEMBER 2012

9

Perobohan Benteng Putri Hijau

Bukti Tak Menghargai Situs Sejarah RIDA HELFRIDA | suara usu

Biodata:

Nama: Dra. Misnah Shalihat M.Hum Tempat dan Tanggal Lahir: Bandung, 02 Februari 1963 Pendidikan terakhir: Pasca Sarjana Linguistik Humaniora USU Medan tahun 2002 Jabatan Sekarang: Kepala Seksi Perlindungan dan Pengawasan Bidang Sejarah Purbakala Riwayat Pendidikan: -SD Min Lat PGAN-Takengon 1976 -SMP PGRI Takengon 1979 -SMA M Takengon 1981 -S1 Bahasa Arab USU 1986 -S2 Linguistik USU 2002

B

enteng Putri Hijau adalah kawasan seluas 1800 me­ ter persegi peninggalan Kerajaan Aru di Deli Tua. Ia berfungsi sebagai per­ tahanan wilayah kekuasaan Melayu, untuk menangkal serangan bala tentara Aceh di bawah pimpinan Sultan Alaid­ din Riayat Shah Qahhar. Tak serupa benteng lain yang berbentuk tembok, ia hanya berbentuk gundukan tanah kom­ binasi alam dan buatan manusia yang memanjang dengan tinggi sekitar lima meter dan lebar empat meter. Namun kini, separuhnya sudah roboh dijadi­ kan lahan pemukiman akibat kurang­ nya perhatian dari pemerintah untuk lestarikan situs sejarah. Seperti apa kejelasannya? Si­mak perbincangan reporter SUARA USU Maya Anggraini dengan Kepala Seksi Sejarah Purbakala (Kasi Sepur) Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disbudpar) Sumatera Utara Misnah Shalihat, Selasa (06/11) lalu. Bagaimana cerita tentang permasalahan Benteng Putri Hijau ini? Kalau permasalahan sebenar­nya tidak ada, hanya masyarakat me­ng­ inginkan perumahan maka jadilah perumahan. Kalau masyarakat berke­ inginan setelah kesadarannya tinggi se­ bagai kawasan objek negara yang meng­ undang banyak datang pengunjung mereka pasti akan melestarikannya. Karena enggak semua juga rela tanah­

nya itu menjadi perumahan. Makanya itu tergantung masyarakatnya. Apa alasan benteng ini direlokasi? Kebutuhan lahan, karena pihak pengembang merasa tempat Benteng Putri Hijau nyaman, sejuk, dan stra­ tegis. Selain itu juga pasar yang men­ janjikan. Mere­ka (peng­­embang ―red) mencari loka­si geografis yang ra­mai, jauh dari ke­­bisingan. Proses perizinan perobohannya bagaimana? Sebenarnya ini adalah ketidak­ pahaman dan keawaman pemerintah se­­­­­­­­­­­­tempat (Pemerintah Deli Serdang –red), karena tidak ada sertifikatnya, kalau sudah ada sertifikatnya itu baru tidak boleh dirobohkan, ta­­­pi sampai se­ka­rang sertifikat i­­­­tu belum turun. Setelah diruntuhkan baru tahu kalau itu termasuk salah satu peninggalan sejarah. Jadi, sebenarnya bagaimana status Benteng Putri Hijau saat ini? Sekarang sudah disahkan oleh Bu­ pati Deli Serdang supaya dijadikan situs cagar budaya, sebelumnya be­ lum ada sertifikat untuk itu. Itu harus diakui pusat dulu, lalu diserahkan oleh provinsi. Dan itu pun sertifikatnya be­ lum turun hingga sekarang. Dengan begitu apakah pemerintah membiarkan situs sejarah itu hilang? Tidak, karena itu merupakan si­ tus cagar budaya. Serta dapat diman­ faatkan dan dikelola menjadi tempat wisata. Dari pihak kabupaten sudah mengeluarkan dana untuk penelitian komprehensif untuk sertifikat, itu kan mengundang tenaga ahli. Untuk provinsi sendiri sedang melakukan pembinaan di lingkungan benteng itu, supaya menjadi konteks wilayah se­ jarah. Bagaimana perhatian dari Disbudpar Sumut? Tentu saja ada. Dengan pedoman­ nya UU No 11 Tahun 2010 tentang cagar budaya. Dan kita tidak semba­ rangan bekerja. Yang dirobohkan su­ dah jadi perumahan dan sisanya sekitar enam kilometer akan dijadikan tempat wisata. Jadi awalnya itu kita napak ti­ las dulu, di situ dibuat jalan setapak, seolah-olah kita berimajinasi ke masa lalu. Lalu, seperti apa gambaran Benteng Putri Hijau jika telah menjadi cagar budaya? Di masa yang akan datang diren­ canakan benteng ini akan dijadikan

museum, tapi jangan berkhayal mu­ seum yang seperti Gedung Arca. Itu museumnya seperti khusus alam, yaitu bahwa inilah lokasi di mana pernah ter­ jadi peristiwa sejarah pada masa lalu. Ya mungkin hanya sejarawan aja yang bisa melukiskan detailnya, tapi nanti akan ada tulisan yang bisa dibaca oleh pengunjung tentang informasi bahwa di sini dulu ada benteng. Apalagi hal yang menarik dari banteng ini sehingga patut dijadikan cagar budaya? Benteng ini berbeda dengan ban­ teng biasanya. Benteng ini terbentuk dari tanah yang tidak ditemui di daerah lain bahkan di seluruh wilayah. Selain itu, ada kepercayaan, air yang ada di sana diyakini simbol dari peninggalan Benteng Putri Hijau, jadi kalau mau cantik mandi di air pancuran tersebut. Sekarang juga dipercaya untuk meng­ hilangkan penyakit atau sebagainya. Menurut Anda, siapa yang seharusnya paling bertanggung jawab untuk melin­ dungi situs sejarah ini ? Masyarakat setempat, karena meru­ pakan pondasi. Pejabat ada karena ada yang dipimpinnya. Abdi negara itu kan berganti-ganti ya kayak kami. Yang ti­

AUDIRA AININDYA | SUARA USU

dak berganti itu masyarakatnya. Kon­ teks masyarakat yang bermanfaat mana bisa menjanjikan dia hidup nyaman. Pe­ ran pemerintah hanya mengayomi mem­ berikan lahan, perlindungan, pendukung, penggerak, dan memberi arah. IKLAN


10

ragam

Febri Hardiansyah Fachruni Adlia

A

Pohan

SUARA USU, EDISI 90, NOVEMBER 2012 dan

ndre, bukan nama asli, adalah mahasiswa Fakultas Pertanian (FP) USU ang­ katan 2012. Ia masih i­ngat betul kejadian di hari per­ tama ia masuk kuliah. Siang itu, ia ja­ lan sendiri menuju ruang pustaka empat di lantai tiga gedung kuning FP. Saat menginjakkan kaki di tangga lantai tiga, seorang senior memanggilnya. Lelaki yang mengaku senior itu mem­ berikan sedikit tutorial untuknya. Tentang apa yang bisa ia lakukan dan beberapa hal yang tidak boleh dilakukan selama seta­ hun pertama dia menjadi mahasiswa. Senior itu pun menjelaskan kalau ma­ hasiswa baru dilarang parkir di kampus. Apabila ketahuan maka kendaraannya akan dikerjai senior. Kemudian maha­ siswa baru tidak boleh datang ke kantin. Terakhir apabila bertemu atau berpapasan dengan senior harus menundukkan kepala dan berkata permisi bang atau kak. “Kalau ke kampus enggak boleh sendiri-sendiri Dek, nanti “diculik”. Kalau enggak diker­ jain senior,” tegas senior itu kembali. Tak hanya itu saja, Andre juga berkisah saat ia dan kawan-kawan lain sedang jalan di kampus. Tiba-tiba seorang senior me­ manggil mereka dengan sebutan botak. “Waktu itu rame sama kawan-kawan, tapi enggak ada yang berani noleh sampai sekarang, takut dikerjai,” kata Andre. Hal yang disampaikan junioir seperti Andre dibenarkan Ananda, mahasiswa FP angkatan 2008, membenarkan apa yang dikatakan Andre. Ia mengaku bukan ingin mengerjai, justru ingin mendekatkan diri dengan juniornya. “Senior memang ter­ kadang suka memanggil mahasiswa baru yang belum dikenal,” kata Ananda. Tetapi ia kembali menegaskan bahwa hal itu me­ mang murni mendekatkan diri kepada ju­ niornya, terutama yang belum dikenal. Ananda juga menjelaskan alasan ma­ hasiswa baru FP tidak boleh ke kantin. Menurutnya mahasiswa baru belum bisa menjaga sikap. “Di sana (kantin –red) se­ nior-senior dan alumni. Takutnya tingkah mahasiswa baru ini sembarangan ke alumni dan senior. Jadi, mahasiswa baru ini diajari dulu gimana sikap dan tata kra­ ma mereka,” jelas Ananda. Selain itu, menurut Ananda perlu pembinaan sikap bagi mahasiswa baru agar memiliki etika sopan santun dalam bersosialisasi. Perlu diberi pembelajaran nilai moral yang baik seperti yang muda harus menghormati yang lebih tua begitu­ pun sebaliknya. Mereka juga harus didi­ dik agar menjadi kuat dalam proses dunia kerja nantinya. “Mereka harus diajari bu­ kan dihajari ya,” tegasnya. Praktik senioritas juga kerap ditemu­ kan di Joglo Alumni. Dinamakan demiki­ an karena dana pembuatan joglo tersebut berasal dari salah satu alumni FP. Tak ja­ rang beberapa sepeda motor bertengger parkir di jalan setapak itu. Beberapa ma­ hasiswa pun sering menghabiskan waktu di joglo.

Putih di Hitamnya Senioritas FP

Tujuan utamanya mendekatkan diri pada junior. Tapi terkadang cara yang digu­ nakan malah membuat si junior enggan berinteraksi dengan senior. Inilah ke­ adaan senioritas di Fakultas Pertanian.

RIDHA ANNISA SEBAYANG | SUARA USU

JOGLO ALUMNI

Beberapa mahasiswa senior Fakultas Pertanian (FP) sedang berkumpul di Joglo Alumni, Jumat (9/11). Mahasiswa baru takut untuk datang ke sini.

Ria, bukan nama asli, mahasiswa FP 2012, pernah menginjakkan kaki di joglo ini di tiga hari masa Penyambutan Mahasiswa Baru (PMB). Setelah itu tak pernah lagi. Alasannya karena adanya senior di sana. Ia pernah tahu salah seorang temannya pernah datang ke joglo. Lantas dia diusir oleh se­ nior yang ada di sana. “Dek, kalau masih stambuk baru belum boleh ke sini Dek,” kata Ria menirukan senior. Namun Ananda membantah hal tersebut. Ananda mengatakan tidak ada batasan stambuk berada di Joglo Alumni. Tidak ada paksaan atau larangan untuk mahasiswa baru ada di tempat tersebut. “Mau gabung ke sini ya gabung, yang ti­ dak mau gak masalah,” tegasnya.

Kenapa sih mau buat orang sukses tapi dengan cara yang dikerasin? Meutia Nauly Pembantu Dekan III FP Luhut Si­ hombing menganggap senioritas di FP masih bisa ditolerir. Bahkan ia berkata

bahwa senioritas berguna mempersatu­ kan antara senior dan junior. Selain itu, senioritas berguna bagi mahasiswa baru untuk mendapat pengalaman seputar ku­ liah dan kampus dari seniornya. Luhut mengakui metode yang digu­ nakan senior kurang pas, sehingga hal itu disalahartikan oleh si junior. Keja­ hilan-kejahilan yang dilakukan bukan hanya oleh mahasiswa senior di fakultas. Mungkin juga alumni yang mengaku senior. Beberapa mahasiswa baru yang tidak terima perlakuan senior pernah me­ lapor ke pihak dekanat. Namun beberapa laporan dari mereka tidak mencukupi fakta sehingga pihak dekanat tidak bisa mengambil tindakan. Luhut menganggap beberapa kasus yang dilaporkan sering terjadi penyelesaian pribadi antara korban dan tersangkanya. “Tanpa campur tangan kami terkadang masalahnya pun sudah selesai,” tegasnya.

Harus Merangkul, Bukan Menyiksa

Meutia Nauly, seorang ahli psikologi sosial memaparkan beberapa dampak dari senioritas yang terjadi. Ada berbagai efek traumatis yang dialami si korban. Walaupun hanya satu kali dikerjai mahasiswa baru itu bisa saja mengingatnya sehingga rasa takut itu terus menyerang. “Senioritas yang men­

jadi tradisi mengakibatkan tekanan mental berlebih terhadap mahasiswa baru yang dikerjai,” papar Meutia. Lebih jauh Meutia berpendapat bahwa bakal ada dua hal yang terjadi kedepannya, yaitu masa depan si korban akan hancur karena depresi karena di­kerjai berlebihan atau si korban akan sukses, tapi tetap den­ gan perasaan dendam. “Kenapa sih mau buat orang sukses tapi dengan cara yang dikerasin?” kata Meutia. Sinar Indera Kesuma dosen yang juga alumni Departemen Agribisnis. Ber­ cerita sering mendapati beberapa alumni yang nongkrong di tempat tertentu di FP pada jam kerja. Biasanya Sinar menyu­ruh mereka pergi karena memberikan contoh buruk bagi mahasiswa. “Sebenar­nya kita enggak bisa melarang mereka buat datang ke kampus ini karena ini juga almamater mereka, lagi pula kita juga butuh mereka untuk beberapa hal kayak dies natalis,” tu­ tup Sinar. Hanya saja Sinar berpendapat seniori­ tas dulu sama sekarang itu jauh berbeda. Senioritas yang ada sekarang cenderung tidak membina namun cenderung me­ nyiksa. “Kalau dulu, senior membina, walaupun disuruh yang aneh tapi mereka merangkul, bukan hanya menyiksa tak menentu,” tegasnya. IKLAN


ragam

SUARA USU, EDISI 90, NOVEMBER 2012

11

Aturan Jurnal Ilmiah Sarjana Tidak Tegas Izzah Dienillah Saragih dan Sofiari Ananda

L

ely Marta mahasiswa Sosio­ logi angkatan 2009 ini men­ datangi kantor Departemen Sosiologi untuk mengajukan skripsi pada 4 September lalu. Oleh kepala departemennya, Lina Sudarwati, Lely diingat­kan kelak ketika ingin mengambil ijazah, ia harus mem­ buat sebuah jurnal ilmiah yang merupa­ kan intisari dari skripsinya. Lely hanya disuruh mengambil inti­ sari saja. Seingat Lely tidak ada imbauan yang menyebut jurnal ilmiah sebagai syarat untuk sidang. “Dari tiap bab skrip­ si, disuruh membuat masing-masing tiga halaman untuk jurnal ilmiah,” rincinya. Aturan ini mutlak diikuti oleh Lely nanti. Dekanat Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) melalui Pem­ bantu Dekan (PD) I menekankan agar mahasiswa FISIP mengerjakan jurnal ilmiah untuk syarat mengambil ijazah. Konsekuen­sinya jika tidak membuat jurnal online ijazah, tak dapat diambil. “Pengaruh jurnal ilmiah ini besar, yakni untuk mengambil ijazah,” tegas Zakaria, PD I FISIP. Hal serupa juga dilakukan di Fakultas Farmasi. Beda dengan Fakultas Ilmu Komputer dan Teknologi Informasi (Fasilkom-TI). Mereka mensyaratkan mahasiswanya

Tinggi, jurnal ilmiah harus diserahkan sebelum ujian meja hijau. Tetapi di USU peraturan ini tidak tegas diterap­ kan. Jurnal boleh diserahkan sebelum atau sesudah ujian meja hijau. “Tapi ini kemudahan karena kalau diharuskan sebelum meja hijau khawatir memper­ menyerahkan jurnal ilmiah sebelum nyerahkannya langsung ke perpustakaan, lama mahasiswa,” ujarnya. meja hijau. ”Tidak akan menghambat tanpa diberitahu format dan cara penu­ proses sidang meja hijau. Karena tidak lisannya. Akibatnya, banyak format yang Kerikil Penghambat Salah satu kendala penerapan jurnal di-publish di jurnal,” ujar ketua Program salah dan harus diperbaiki, “Formatnya Studi Ilmu Komputer Poltak Sihom­bing. enggak dikasih tahu, langsung disuruh ka­ online yang dirasakan Poltak adalah dana kepengelolaan yang belum ada. Ia me­ Ia juga menambahkan alasan dibuat se­ sih ke perpus. Kan bi­ngung,” ujarnya. Sementara menu­ ngatakan, untuk pegawai yang me­ngurusi belum ujian meja hijau rut PD I Fakultas Ilmu pengumpulan jurnal, pengecekan, dan sebagai sari­ngan agar Budaya (FIB) M Hus­ seba­gainya hingga kini masih swadaya peraturan ini benarnan Lubis beranggap­ mereka saja. “Bagaimanapun tim penge­ benar dijalankan ma­ hasiswa dan maha­ Formatnya enggak dikasih an diterapkannya jur­ lola bekerja di luar jobdesk utama, dan fee siswa tidak disibukkan tahu, langsung disuruh kasih nal ini sebelum atau itu yang belum jelas,” ujarnya. Ia menam­ sesudah meja hijau di­ bahkan saat ini memang belum begitu de­ngan urusan lain se­ ke perpus. Kan bi­ngung. karenakan surat edar­ menjadi masalah karena jumlah maha­ perti daftar wisuda dan an yang multi­tafsir. siswanya masih sedikit. “Tetapi kedepan­ seba­gainya. Sementara Disebutkan bahwa nya bagaimana?” tanyanya. di Fakultas Kesehatan Mengenai anggaran pengelolaan jur­ Masyarakat (FKM), Daher Frans Pasaribu mahasiswa menye­ rahkan jurnal tersebut nal online, Prof Zulkifli menegaskan, hal jurnal ilmiah termasuk sebagai syarat memperoleh ijazah, jadi itu sudah diatur di tingkat universitas dan sebagai syarat pendaftaran wisuda. Keluhan kerumitan aturan jurnal il­ implementasinya bisa jadi sebelum atau diatur oleh pihak universitas. Dijanjikan miah diutarakan Daher Frans Pasaribu sesudah sidang meja hijau. ”Jadi saya mo­ Desember nanti anggaran langsung turun mahasiswa Departemen Sastra Jepang hon, kiranya SK tersebut ditinjau kembali. dari universitas. Lepas itu, barulah segala angkatan 2008 yang saat ini menyusun Kalau bisa dibuat sebagai prasyarat meja bentuk pos anggaran jurnal online ini di­ ajukan oleh fakultas, dan disetujui atau skripsi. Ia mengaku bingung dengan hijau,” ujarnya. Pembantu Rektor I Prof Zulki­ tidak oleh universitas. Setelah disetujui, peraturan baru ini. Pasalnya, dari temantemannya yang sudah ujian meja hijau fli Nasution mengatakan, merujuk surat barulah turun, “Ujungnya tetap sama diimbau untuk membuat jurnal dan me­ edar­an Direktorat Jenderal Pendidikan disediakan universitas,” tutupnya.

Sesuai aturan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Agustus 2012 jurnal ilmiah mutlak sebagai syarat kelulusan untuk menjadi sarjana. Sejumlah fakultas menjadikannya syarat mengikuti meja hijau, syarat mengambil ijazah hingga syarat daftar wisuda.

Ragam “Cita Rasa” Pengelolaan Kantin di USU Tiap fakultas punya aturan berbeda me­ nyangkut perizinan kantin hingga masalah penyewaan. Ada indikasi beberapa fakultas tak mau transparan masalah pengelolaan hingga aliran sewa-menyewa. Guster Sihombing

Awal 2009 lalu diumumkan lelang ke­ pada masyarakat umum membuka kantin di Fakultas Kedokteran (FK). Terpilihlah

orang tua Sivia sebagai pemenang lelang. Agustus 2009 orang tua Sivia pun membu­ ka Kantin dengan nama Kantin Internasi­ onal Fakultas Kedokteran, tepat di sebelah parkiran sepeda motor FK. Kini kantin itu diusahakan Sivia Pratiwi. Untuk masalah penyewaan tempat ini, Sivia menuturkan bahwa pihak FK ber­ peran sebagai mediator untuk mengurusi birokrasi penyewaan tempat. Pembayaran langsung ke biro rektorat setiap tahunnya. Ditanyai berapa nominal yang ia setor per­ tahunnya ke biro rektorat, Sivia tak mau sebut. Beranjak ke Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), terasa suasana kon­ tras. Bau asap rokok, sampah berserakan

RIDHA ANNISA SEBAYANG | SUARA USU

KANTIN FK

Kantin Internasional Fakultas Kedokteran (FK) USU, Sabtu (3/11). Pemilik kantin ini menyetor langsung uang sewa ke rektorat.

di lantai dan suara berisik mewarnai kantin ini. Yuli adalah salah satu pedagang yang sudah delapan tahun buka usaha jualan makanan di sana. Awalnya ia jualan di sana berdasarkan info dari suaminya. “Suami saya dosen di sini, jadi dikasih tahu ada kantin yang kosong,” kata Yuli. Untuk masalah perizinan tempat, Yuli mengaku selama ini berurusan dengan Pembantu Dekan (PD) II FISIP. Tiap ta­ hunnya ia menyetor uang sewa kepada PD II. Lagi-lagi mereka tak mau sebut nomi­ nalnya. Lain lagi di Fakultas Psikologi (FPsi) kantin dikelola koperasi fakultas yang terdiri dari pegawai dan dosen dan sudah memiliki akte notaris. “Melalui koperasi ini, dilelang siapa yang akan mengelola nantinya. Hasilnya dibagi kepada ang­ gota koperasi, jadi fakultas tak meme­ gang dana dari penyewaan kantin ini,” kata Lili Garliah, Pembantu Dekan II FPsi. Berbeda dengan fakultas lain, Fakultas Ekonomi (FE) mempunyai Kantin FEMI yang berseberangan dengan Mushola FE. Kantin dijadikan semacam laborato­ rium mahasiswa FE untuk membuat usaha. Peng­usaha yang mengelola kantin adalah mahasiswa-mahasiswa wirausaha FE yang serius berbisnis. Mereka difasilitasi tempat dan kesempatan. Mengadopsi konsep kantin di National University of Singapore, kantin ini pun menerapkan sistem self service yaitu ambil makanan yang ingin dimakan tinggal bayar ke kasir jika sudah selesai.

Sepintas, memang terlihat adanya perbedaan sistem pengelolaan kantin di sejumlah fakultas di USU. Ada fakultas yang hanya menjadi mediator, selebihnya pemilik kantinlah yang berurusan dengan rektorat. Ada pula fakultas yang punya ke­ wenangan penuh baik dalam hal perizinan tempat maupun masalah sewa. Pembantu Rektor V USU Yusuf Husni mengatakan perbedaan aturan pengelo­ laan kantin ini disebabkan adanya otonomi fakultas. Jadi untuk masalah perizinan me­ lalui pihak fakultas. Ia mencontohkan misal­ nya fakultas sudah punya gedung untuk dijadikan kantin, maka fakultas yang meng­ urus siapa yang berhak menyewa kantin. Namun untuk pembayaran tetap disetor ke Rektorat. “Segala pembayaran langsung dibayar pengelola kantin kepada dekanat. Dekanat nantinya menyetor ke rekening USU,” kata, Jumat (9/11). Sementara untuk penambahan fasili­ tas kantin, Prof Iryanto Staf Ahli Rektor juga menambahkan setiap fakultas bisa meng­ajukannya dalam Rancangan Kerja Anggaran Tahunan. ”Kalau mau me­ nambah kantin di fakultas, tidak boleh sembarangan. Semua itu masuk rencana pembangunan USU,” ungkapnya. Beragam pemandangan di setiap kantin inilah membuat Manajer USU ASRI, Delvin Defriza Harisdani gerah. Ditambah lagi tidak ada anggaran negara membiayai pembangunan tempat makan di kampus. Saat ini USU ASRI sudah merencanakan pembangunan fasilitas publik, seperti kantin.


Menapak Tilas Berdirinya SUARA USU Ala Mahasiswa Tak Pernah terpikir­ kan berapa lama SUARA USU bisa berta­han. Yang ada hanya keinginan untuk menerbitkan media buat salurkan aspirasi mahasiswa.

tergabung dengan penerbitan fakultas, tabloid tersebut. Karena tak sang­ yang sebelumnya telah bergabung pun seperti Humanika di FISIP dan Wacana gup mengerjakan sendiri, ia meminta mulai hilang. Semangat untuk mem­ di Fakultas Sastra, sekarang Fakultas bantuan dari pegawai Audiovisual buat sebuah media tak jua surut. Rusli Ilmu Budaya, serta beberapa penerbitan USU, Deni Adil dan Wahyudi. Me­reka kembali mencari mahasiswa yang di fakultas lain. Orang-orang ini dikum­ mengisi karikatur dan rubrik puisi kala itu rutin menulis di surat kabar. pulkan Rusli di sekretariat senat untuk serta sastra. Tabloid SUARA USU versi Ada dua nama, Yulhasni dari Wacana mendiskusikan niatannya membuat rektorat terbit setiap wisuda. Setelah Fakultas Sastra dan Muhammad Yasin media mahasiswa. beberapa tahun berjalan, tahun 1992 dari Fakultas Hukum. Mereka sepakat untuk buat media Iskandar melanjutkan studi magisternya Akhirnya mereka bertiga yang bagi mahasiswa seuniversitas. Maka ke Universitas Padjadjaran, Jawa Barat. kemudian menyelesaikan pengerjaan Rusli pun menemui pembantu rektor Sejak saat itu, tabloid bikinan USU tak tabloid. Rusli sebagai kepala pe­ng­ Ridha Annisa Sebayang (PR) III saat itu, Harlem Marpaung. lagi terbit. arah (pemimpin umum), mengurusi Rusli sampaikan pandangannya terkait Hingga kemudian mahasiswa keorga­nisasian dan hubungan SUARA ertengahan tahun 1994. pen­tingnya media. Gayung bersambut. yang merindukan punya media untuk USU dengan rektorat dan pihak lain, Saat itu mahasiswa sering Rusli dan kawan-kawan diberian izin salurkan aspirasi ke rektorat berinisiatif Yulhasni dan Yasin mengerjakan melakukan aksi demonstrasi untuk membuat media bagi mahasiswa. menerbitkan SUARA USU kembali. keredaksian tabloid. terkait dengan kebijakan Saat itu, cukup sulit untuk membuat 1 Juli 1995, berdekatan dengan rektorat dan pemerintahan. sebuah penerbitan. Diperlukan izin masuknya mahasiswa baru di USU, Tak jarang aksi demonstrasi berujung resmi dari pemerintah melalui dinas dipilih sebagai momentum terbitnya bentrok dengan petugas keamanan penera­ng­an. Untuk mendapatkannya tabloid perdana SUARA USU asuhan kampus. Terlebih saat mahasiswa tak hadapi birokrasi yang tak gampang. mahasiswa. Pada tanggal ini jua dipilih Kertas lebih mudah dapat bertemu langsung dengan rektor. Rusli teringat saat di awal masa-masa sebagai hari lahir Pers Mahasiswa SUAdalah Muhammad Rusli Hara­ kuliahnya, ada semacam tabloid yang ARA USU. Tak ada ragam gambar dan masuk ke ruang rektor hap, mahasiswa Administrasi Negara dibuat oleh Humas USU. Tabloid ini bi­ foto yang menghiasi halaman-halaman dibanding manusia. Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik asanya ia lihat saat ada wisuda ataupun tabloid edisi perdana. Belum ada sum­ (FISIP) USU angkatan 1990. Saat itu kegiatan-kegiatan tertentu. ber daya yang memadai. Bahkan kover ia menjabat sebagai ketua bidang minat Iskandar Zulkarnain, dosen Ilmu saja dibuat oleh Deni Adil, pegawai M Rusli Harahap dan bakat Senat Mahasiswa Perguruan Komunikasi FISIP, yang saat itu Audiovisual USU saat itu. Rusli lantas menelusuri surat izin terbit Tinggi (SMPT) USU, kini kita ke­ menjabat sebagai staf ahli Pembantu Memasuki pengerjaan tabloid edisi ke dinas pene­rangan Kota Medan. “Ru­ ketiga, Yulhasni berkisah, barulah nal dengan pemerintahan mahasiswa Rektor IV tahun 1990 membenarkan panya masih berlaku izin terbit untuk (pema). Dalam sebuah demonstrasi, adanya tabloid tersebut. Awalnya SUARA USU mengadakan perekrutan tabloid SUARA USU,” papar Rusli. Rusli miris melihat beringasnya ma­ tabloid ini, diusulkan untuk memuat anggota. “Kami enggak sanggup lah Rusli kembali mengumpulkan ma­ hasiswa untuk dapat bertemu langsung informasi seputar USU dan kegiatanngerjakannya kalo bertiga,” kata Yul. hasiswa yang sebelumnya telah sepakat Maka sambil mengerjakan tabloid dengan rektor. kegiatan yang ada di USU. Usulan “Waktu itu mahasiswa demo me­ ini disampaikan Pembantu Rektor IV membuat sebuah media. Mereka edisi ketiga, mereka juga melakukan merembukkan kembali konsep media ngenai kebijakan KKN,” ujar Rusli. USU, Prof Mundiyah Mochtar saat perekrutan anggota. Tak beda dengan yang akan dibuat. Semua merasa cocok proses perekrutan anggota yang saat KKN adalah singkatan dari kuliah itu. kerja nyata. Dalam demonstrasi itu Penerbitan ini juga dilatarbelakangi dengan nama SUARA USU dan konsep ini dijalani setiap anggota SUARA tabloid. Mengingat media tersebut ma­ USU. Dimulai dari proses wawancara, kata Rusli, mahasiswa memaksa kurang efektifnya penyampaian infor­ masuk ke dalam gedung biro rektor masi dari rektorat ke setiap fakultas dan sih baru akan dibuat, tabloid dirasa pas magang barulah kemudian menjadi untuk penerbitan ini. Terbit bulanan dan anggota Pers Mahasiswa SUARA USU. untuk dapat bertemu langsung dengan sebaliknya. Staf PR IV saat itu, Iskan­ tidak memuat terlalu banyak halaman. rektor. Namun, petugas perwakilan dar bersama Prof Aman dan Herman Sekarang, 17 tahun sudah semen­ Sehingga dinilai memungkinkan untuk jak SUARA USU dikelola mahasiswa dari rektorat meminta perwakilan ma­ Mawengkang diminta merumuskan. dikerjakan oleh mahasiswa. hasiswa saja yang masuk. Mahasiswa Melalui semacam diskusi, terpilihlah dan tetap berusaha mengambil peran­ Di tengah pengerjaan, pemimpin menolak dan memaksa agar mereka SUARA USU sebagai nama media de­ an yang diinginkan sejak awal yaitu re­daksi saat itu mengundurkan diri. semua dapat masuk menemui rektor. ngan format tabloid. menjadi media alternatif penyampai Tak hanya itu, satu per satu mahasiswa aspirasi mahasiswa. Kondisi ini yang kemudian mengil­ Iskandar diminta mengerjakan hami Rusli untuk mencari media alternatif yang dapat menyalurkan aspirasi mahasiswa selain melalui aksi demonstrasi. Rusli bukanlah orang jurnalistik. Ia bahkan tak paham sama sekali. Namun, ia yakin adanya media alternatif dapat menghindari aksi brutal yang kerap terjadi saat demonstrasi. “Saya hanya punya idealisme. Ingin mahasiswa punya media untuk me­ nyampaikan aspirasi,” tukas Rusli. Rusli punya pandangan tentang media. Kalau demo belum tentu rektor lihat, tapi kalau tulisan sudah sampai di meja rektor, pasti rektor akan baca. “Kertas lebih mudah masuk ke ruang rektor dibanding manusia,” kata Rusli berkelakar. Kemudian ia mulai mencari cara agar dapat membuat media. Rusli lalu berdiskusi dengan pegawai-pegawai Audiovisual USU saat itu. Dari diskusi ini, konsep media mengerucut ke arah tabloid. Setelah itu, sebagai Kepala Bi­ dang Minat dan Bakat SMPT USU, ia REPRO DOKUMENTASI SUARA USU | RIDHA ANNISA SEBAYANG | SUARA USU memiliki beberapa teman yang telah Sekretariat Pers Mahasiswa SUARA USU di awal tahun berdiri yang kemudian direnovasi.

P


ilustrasi & Naskah: aulia adam | suara usu


laporankhusus khusus 14 laporan 14

USU,90, EDISI 82, APRIL2012 2011 SUARASUARA USU, EDISI NOVEMBER

P

Ferdiansyah

ukul 05.00 pagi Eri Sutanto terbangun. Ia merasakan sakit di sekujur tubuh­ nya. Pegal-pegal, matanya berair, hidungnya juga ingusan. Eri gelisah me­ nahan rasa sakitnya, tapi tak kunjung hilang. Ia sakau. Beberapa jam sebelumnya, Eri mengonsumsi ganja yang dibeli dari bandar seharga seri­ bu rupiah per am, satuan ter­ kecil takaran ganja. Itu tahun 1996, waktu Eri tinggal di koskosan yang tak jauh dari SMA Kalam Kudus Medan. Eri lantas bangun untuk mencari ‘barang’ lagi demi menghilangkan rasa sakit di sekujur tubuhnya. Ia pergi me­ ninggalkan kamar kos dengan pakaian seadanya. Eri meng­ uap berkali-kali, padahal ia tak merasakan kantuk. Ia tak be­ rani mandi. “Orang sakau itu takut sama air, rasanya dingin kali kalau nyentuh air sampai badan pun mau beku,” terang­ nya. Sampai di tempat yang di­ tuju ia bertemu dengan bandar. Kebetulan uang Eri masih ada hingga ia tak perlu menjual jam, perhiasan ataupun menggadai televisi untuk membeli ba­ rang tersebut. Ia pergi ke suatu tempat, tidak mau disebutkan­ nya, yang biasa ia dan temantemannya gunakan menikmati narkoba. Tak berapa lama sakit di sekujur tubuhnya hilang. Ia seperti sehat kembali. Eri sebenarnya asli dari Ta­ rutung. Setelah lulus Sekolah Menengah Pertama (SMP), ia lanjut sekolah ke Medan. Sekolah di kota besar membuat pergaulan Eri juga berubah. Ia dapat teman yang ekonominya mapan. Eri sering diajak hurahura. Merokok, minum alko­ hol jadi kebiasaan barunya, sesekali ia ikut clubbing. Oleh teman barunya, Eri juga dike­ nalkan dengan ganja. Lingkungan sekolah Eri dekat dengan arus peredaran narkoba. Tak sulit menemui bandar kala itu. Eri sudah ke­ las 3 SMA. Sepulang sekolah oleh temannya, ia dikenalkan dengan seorang bandar. “Wak­ tu itu aku beli lima ribu, terus dikasih lebih sama dia (ban­ dar—red) makanya ngerasa enak aja,” tutur Eri. Iapun mu­ lai ketagihan narkoba. Dua tahun kemudian, Eri kuliah di salah satu universi­ tas swasta di Medan. Candu­ nya makin menjadi. Tak hanya ganja, ia mulai mengonsumsi heroin, sabu dan putaw yang harganya lebih mahal. Sebutir bisa mencapai seratus ribu ru­ piah. Eri pun mulai merasakan susahnya mendapatkan narko­ ba karena harganya mahal. Akhirnya, cara apapun ia gunakan demi mendapatkan

FOTO ILUSTRASI |RIDHA ANNISA SEBAYANG | SUARA USU

Derita Panjang Pengguna Narkoba Koordinator Liputan: Ferdiansyah Reporter: Baina Dwi Bestari, Guster CP Sihombing, Renti Rosmalis, dan Ferdiansyah Tidak ada kata sembuh bagi mereka, yang ada pulih. Tidak ada juga obat untuk penyakit yang mereka derita kecuali perjuangan panjang menahan kesakitan. uang, mulai dari cara yang ha­ lal sampai yang haram seperti pinjam uang, jual barang, me­ rampok, mencuri, memalak, hingga jadi bandar narkoba. Empat kali diciduk ia tidak pernah ditangkap karena tidak ada barang bukti. Eri mengaku orang tuanya tidak pernah tahu kalau ia su­ dah kecanduan narkoba. “Aku pulang setahun sekali pas Natal dan tahun baru. Aku juga eng­ gak mau cerita sama me­reka,

aku punya tato di badan aja mereka jangan sampai tau,” imbuhnya. Akhirnya titik jenuh datang saat Eri menjelang wisuda. Eri bosan dengan hidupnya yang tetap di perputaran yang begi­ tu-begitu saja. “Cari uang buat beli barang, cari uang abis beli barang, kayak gitu-gitu aja hidupnya,” keluh Eri. Ia akui susah keluar dari lingkaran narkoba ini. Pernah waktu selesai pesta narkoba

kecil-kecilan Eri bilang ke temannya kalau ia ingin keluar, berhenti memakai narkoba. “Kalian enggak capek? Aku pengen keluar dari sini,” kata Eri. “Kenapa abang pengen ke­ luar Bang?” sambung salah satu temannya. “Aku jenuh hidup kayak gini-gini aja, aku juga mau nolong kalian. Kalo enggak aku yang mulai keluar, siapa yang nolong kalian nanti?”

“Kau yakin enggak mau makek lagi bareng kita. Kita ini udah kayak saudara, Ri,” ujar temannya yang lain. “Aku cuma pengen kalian merasa hidup jangan buat kayak gini aja, masih banyak yang bisa dicari,” tambah Eri. Akhirnya pada tahun 2004 ketika Eri selesai wisuda, ni­ atnya untuk berhenti menjadi pecandu narkoba semakin bu­ lat. Ia pergi merantau ke luar kota selama setahun, awalnya ia kembali ke kampung halaman­ nya, Pekan Baru, Dumai, Duri, Pangkal Pinang sampai Batam demi mencari pekerjaan. Setahun kemudian ia kem­ bali ke Medan. Ia mulai me­ ngenal Badu, Direktur Yayasan GALATEA. Sebuah yayasan yang bergerak dalam penyuluh­ an dan rumah singgah para pecandu narkoba. GALATEA mengajak dan memberikan ma­ sukan maupun arahan untuk membantunya lepas dari nar­ koba. Eri ikut terapi Rumatan Metadone, terapi dengan obat berbentuk sirup, di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan. Obat ini bisa menahan sakau sampai 24 jam. Eri berhasil, namun ia sem­ pat relaps atau kembali pakai narkoba pada tahun 2005 sam­ pai 2007 dan kembali men­ candu narkoba, kali ini dalam bentuk narkoba suntik. Perlahan Eri coba sembuh dengan terapi tersebut hingga saat ini. Sekarang kehidupannya su­ dah banyak berubah. Eri banyak mengisi kehidupannya dengan kegiatan yang positif dengan memberi peringatan akan bahaya narkoba melalui seminar-semi­ nar dan penyuluhan-penyuluhan yang diadakan GALATEA, tem­ patnya bekerja sekarang. Lain cerita dengan Eka Prahadian Abdurahman, lebih sering orang-orang memanggil­ nya Mas Ewok. Ayah dan ibunya cerai saat ia berusia dua tahun. Ia tinggal nomaden sejak SD, ke rumah ibu, ke rumah ayah atau ke rumah nenek dari pihak ibu. Saat Natal tiba, biasanya akan ada pesta di rumah diselingi minum alkohol, keluarganya memang penggemar alkohol. Sesekali saat tak ada yang me­ lihat, Ewok menenggak alko­ hol tersebut. Hal ini yang lama kelamaan jadi kebiasaan baru­ nya. Sejak usia delapan tahun ia terbiasa minum alkohol. Nyimeng, sebutan lain untuk mengonsumsi ganja, dimulai Ewok waktu SMP. Ia tinggal bersama neneknya. Lingkungan yang kurang sehat jadi alasan Ewok terjerumus ke narkoba. Tak hanya narkoba, balap liar dan minum-minum jadi favoritnya. Teman-teman tongkrongannya kebanyakan anak pejabat tinggi TNI. “Mau kita teriak-teriak pun enggak ada yang berani ngusik,” ka­ tanya.


laporan khusus

SUARA USU, EDISI 90, NOVEMBER 2012

Kelakuan Ewok makin menjadi waktu SMA. Naik kelas dua, malah setiap hari ia mengonsumsi narkoba. Hingga di perguruan tinggi. Kekurangan uang dirasakan­ nya saat di perguruan tinggi. Ewok melakukan berbagai cara untuk memperoleh uang. Ia menjual barang-barang yang ada, mencuri, memeras bahkan merampok. Untuk merampok, Ewok tak sendiri. Ia beraksi bersama teman-teman pre­ mannya dan anak-anak pejabat TNI. “Teman-temanku banyak yang memiliki senjata api milik orang tua mereka. Sama sekali tak ada rasa takut, malah mera­ sa terlindungi dengan jabatan orang tua mereka,” ungkapnya dengan logat khas Jawa. Sampai di saat Ewok tidak punya uang, jauh dari kelu­ arga, banyak teman yang over dosis dan putus kuliah. Masamasa inilah yang membuat­ nya merasa hancur. “Just for today” menjadi semboyannya saat mencoba pulih dari narko­ ba. Pasang badan pun menjadi pilihan saat sakau. “Tidak ha­ rus saat itu juga berhenti, ada tahapan-tahapannya. Makanya saya hanya memikirkan hidup untuk hari itu saja dulu,” kat­ anya. Selama setahun ia mengi­ kuti training korps dasar re­ lawan Palang Merah Indonesia dan belajar di pesantren. Akhir­ nya 17 Juli 2001 ia berhenti total menggunakan narkoba hingga hari ini. Saat ini ia menggeluti du­ nia relawan adiksi narkoba dan dampak buruknya. Ia hijrah ke Sumatera tahun 2005 dan bekerja di Aceh pada International Comitte Red Cross (ICRC). Ia pun diminta UNI­ CEF dan Yasasan KITA (YA­ KITA) menyediakan program bagi anak muda Aceh dan ber­ jalan hingga sekarang. Saat mengikuti konferensi asia pasifik di Bali menge­ nai narkoba, ia juga ditawari menyediakan rumah singgah di Medan oleh Caritas Jer­ man. Dari tahun 2009 hingga

sekarang masih berjalan, dan ia menjabat sebagai Project Manager. “Kebahagiaan yang hakiki bukan dengan melayani diri sendiri, tapi dengan mela­ yani orang banyak,” tutupnya. Dari kacamata psikolog, Sri Supriyantini, yang juga Pembantu Dekan PD I Fakultas Psikologi USU menilai peng­ gunaan narkoba yang akhirakhir ini makin meluas seba­ gai suatu pergeseran zaman. Ia menyebutkan pergaulan yang tidak di kalangan dewasa saja, namun sudah merambah ke remaja yang masih duduk di SMP sangat rentan dengan narkoba karena faktor gengsi komunitas yang cukup tinggi. “Awalnya ya seseorang itu mungkin terpengaruh dalam satu komunitasnya, karena ada teman yang mencoba masa dia enggak. Lalu lanjut hingga dia merasa rasa komunitas itu juga semakin tinggi,” tutur Sri, Se­ lasa (7/11). Sri menyimpulkan peng­ guna narkoba adalah korban. Hal ini diperkuat dengan pere­ daran narkoba yang kini tidak hanya di kota saja tetapi sudah merambah ke desa-desa. “Nah, lingkungan yang berperan penting ke seseorang apalagi kalau ia belum punya wawasan yang cukup luas tentang ini,” imbuhnya. Masih penilaian Sri, dam­ paknya tidak hanya ke fisik pengguna saja, namun pastinya merambah ke pengaruh sosial pengguna narkoba itu. Ter­ kadang masyarakat juga belum bisa langsung menerima begitu saja keberadaan pengguna nar­ koba walaupun ia sudah pulih. “Intinya di peran orang terdekat dan pengawasan orang tua juga yang menjadi titik awal pence­ gahan bertambahnya pengguna narkoba,” tutur Sri. Yetti Syahriany punya pandangan lain. “Pengguna narkoba itu orang sakit dan harus diobati,” ujarnya yang menjabat Kepala Bidang Pem­ berdayaan Masyarakat Badan Narkotika Provinsi (BNP) Sumatera Utara ini. Ia tidak

SOFIARI ANANDA | SUARA USU

DISKUSI RUTIN

Eri (kanan) bersama tiga pengguna narkoba sedang melakukan Support Group Meeting atau diskusi dikalangan semua pecandu, Kamis (25/10) di GALATEA. Diskusi ini membahas tentang layanan kesehatan, advokasi kepolisian, informasi kesehatan dasar, dan informasi terbaru tentang semua hal.

15

SOFIARI ANANDA | SUARA USU

GOTONG ROYONG

Beberapa penghuni panti rehabilitasi Caritas sedang kerja bakti member­ sihkan pekarangan panti, Selasa (6/11). Hal ini bertujuan untuk meningkatkan rasa cinta lingkungan dan keakraban antar penghuni.

mau menyimpulkan pengguna narkoba seba­gai korban atau pelaku kriminal. Sebabnya, kembali ke latar belakang dan lingkungan. Yetti bilang, bisa saja orang tersebut memang korban namun bisa juga karena tingkah lakunya.

Pengguna narkoba itu orang sakit dan harus diobati. Yetti Syahriany Menilik Panti Rehabilitasi

Junius Barus, 34 tahun usianya. Sudah setahun ia mengabdi di panti rehabili­ tasi Caritas Medan. Setiap harinya ia datang dan bekerja sebagai konselor di recovery center Caritas Medan. Di sini ia memberikan materi-materi pada masyarakat penghuni panti rehabilitasi narkoba ten­ tang masa depan, narkoba dan dampaknya dan pelajaran dalam bermasyarakat. Sehari-harinya, para peng­ huni panti rehabilitasi dengan kegiatan-kegiatan yang telah dibuat oleh panti rehab. Setiap pagi mereka melakukan mor­ ning meeting. Dalam morning meeting mereka akan berbagi pengalaman satu sama lain, kekuatan serta harapan hidup yang lebih baik. Keseluruhan materi yang diberikan setiap hari dari Senin hingga Jumat memang lebih kepada sisi kehidupan yang mengajak mereka membangun kehidupan baru dan dampak narkoba bagi hidup bermasyara­ kat serta keluarga. Sesi malam akan ada night meeting dan non­ ton bareng hingga pukul 23.00 WIB. Selepas semua kegiatan tersebut semuanya mengistira­

hatkan tubuh. Sabtu dan Minggu merupakan hari bebas. Namun, terkadang ada juga kegiatankegiatan yang dibuat oleh staf panti rehab seperti kebersihan atau masak bersama. Untuk tahap pemulihan, Junius menjelaskan, awalnya pengguna narkoba yang baru masuk ke dalam panti rehab akan mengalami masa detox selama satu bulan. Detox merupakan masa pengeluaran racun dan zat-zat dari narkoba yang berada dalam tubuh. Na­ mun, lamanya masa detox ini juga tergantung jenis dari obatobatan yang digunakan. Untuk langkah awal, interview dan penggalian informasi terhadap pengguna narkoba dilakukan. Dari pengalaman Junius menghadapi orang-orang yang sakau, ia mengatakan sakau itu tidak separah yang masyara­ kat ketahui pada umumnya. “Semua tergantung emosi in­ dividunya, ada yang sampai menendang dinding, namun ada juga yang mampu mengu­ asai dirinya,” jelas Junius. Un­ tuk menangani klien-klien yang sedang sakau, Junius dan para staf lainnya akan mendampingi klien tersebut. Setelah melewati masa detox selama sebulan, masyarakat panti rehab akan mengikuti ke­ giatan yang telah dijadwalkan selama lima bulan ke depan. Selama enam bulan mereka mengalami masa pemulihan hingga pulih. “Tapi kita tidak bisa menjamin seseorang un­ tuk benar-benar pulih setelah dari sini,” jelas Junius. Untuk biaya selama di panti rehab, pihak panti mengenakan Rp 1,2 Juta per bulannya. Namun bagi yang tidak mampu mem­ bayar masih bisa diberi keringa­ nan biaya. “Mari kita bicarakan. Tidak menutup kemungkinan untuk itu,” terangnya. Lembaga-lembaga atau pu­sat rehabilitasi swasta se­

per­ti Caritas tetap melakukan koordinasi dengan Badan Nar­ kotika Nasional (BNN). BNN sendiri bergerak di bawah arah­ an langsung pemerintah. Yetti menjelaskan BNN punya dua LIDO, pusat rehabilitasi, yang ada di Sukabumi, Jawa Barat dan Badoka, Sulawesi Selatan. Metode pengobatan yang di­ berikan ke pengguna di masingmasing pusat rehabilitasi sama saja, namun program-program setiap pusat rehabilitasi yang mungkin berbeda. Ketika ditanya mengenai pemberian jarum suntik gratis dari GALATEA atau Caritas, Yetti menjawab, “Bagi-bagi jarum suntik itu program me­reka (swasta—red) bukan dari BNN.” Ia menambahkan pe­ngobatan ke pengguna narkoba tidak bisa se­ cara langsung se­perti penyakit lain. Ada ta­hapan yang harus dilewati terlebih dahulu. “Misal­ nya tahap detox, pendekatan ke mereka­nya, pemeriksaan kes­ ehatannya gitu lah,” tambahnya. Mengenai data pasti peng­ guna narkoba atau yang sedang direhabilitasi BNN belum pu­ nya. Yetti bilang, saat ini me­ mang belum jelas masalah pendataan karena di pusat-pu­ sat rehabilitasi yang juga tidak punya data jelas. “Tidak ada data tahun lalu berapa peng­ guna, tahun ini berapa karena belum jelas,” ungkap Yetti. Harapan Yetti, tetap harus ada sinergi bukan hanya dari BNN saja namun juga ma­ syarakat, keluarga dan instansi yang terkait.”BNN juga tidak bisa kerja sendiri, jadi mesti ada kerjasama yang baik di segala bidang dan sektor kelu­ arga sendiri,” tutupnya. Eri dan Ewok adalah dua dari segelintir orang yang ter­ jebak arus peredaran narkoba. Seperti kata Sri, mereka korban. Namun Yetti dari pihak BNN bilang mereka orang sakit yang harus diobati.


16 mozaik

SUARA USU, EDISI 90, NOVEMBER 2012

cerpen

Titik Mati Fatamorgana Sabrina Ridha Sinaga Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam 2010

B

erbicaralah kepada Tuhan, Dia lebih mendengarkan.” “Pihak kedua tak me­ restui. Bagaimana?” “Kau tahu, Tuhan pa­ ling berkuasa dan Dia pula yang dapat merestui atau tidak. Pergilah ambil air suci yang mengalir, bersujud kepadaNya dan ceritalah.” Padangannya teduh saat mengu­ capkan kalimat terakhir. Tanpa pikir panjang, aku bergegas menuju kamar mandi, menghidupakan keran yang akan memberikanku air mengalir. Aku ber­ wudu dan melaksanakan perintah yang Ia berikan. Tak sengaja tetesan air bening mengalir pelan dari pelupuk mataku saat mengadahkan tangan seraya berdoa. Kulipat apa yang kukenakan saat ber­ sujud kepada-Nya. Gundah hati perlahan terkikis. Hanya terkikis, belum hilang. Kudatangi ayah yang kulihat sedang duduk di teras. “Yah, adik tadi sudah cerita sama Dia.” “Bagus. Apa yang adik ceritakan?” “Semua, Yah,” jawabku singkat. “Tinggal menunggu jawaban saja ya, Dik,” jawab ayah dengan senyum di bibirnya. Aku meninggalkan ayah yang sedang asik menikmati bau malam. Kubiarkan ia dalam waktu malamnya. Aku kembali ke dalam rumah dan tiba-tiba saja Andi menanyakan hal yang aneh kepadaku. “Kau berbicara dengan siapa di teras rumah?” “Ayah.” “Ayah?” Aku tak menggubris pertanyaan Andi dan membiarkan tanda tanya bersarang dalam perkataanya. Aku berlalu menuju kamar tidurku yang terletak di sebelah kamar ayah dan ibu. Matahari pagi memunculkan sinarnya melalui sela jendela kamar. Tepat sinarnya jatuh di mataku yang tertutup. Memaksaku bangun. “Ayah mana, Bu?” “Kau selalu menanyakan hal ini setiap bangun pagi.” Kali ini yang men­ jawab pertanyaan Andi, bukan ibu. “Sudahlah,” lerai ibu. “Ayah sudah pergi sejak dini hari, Dind!” jawab ibu. “Kapan ayah pulang?” “Nanti.” Lalu ibu meninggalkanku dan berjalan ke kamarnya. Kulihat Andi menggerakkan kepala­ nya ke kiri dan ke kanan. Aku menatap­ nya dan bertanya, “Ada yang salah?” Andi juga meninggalkanku saat kulon­ tarkan pertanyaan itu. Malam kembali menyapaku, tapi kini bintang tak muncul. Kulihat ayah sudah pulang dan duduk di kursi teras rumah. “Ayah dari mana? Tadi pagi pergi kok nggak pamit?” Ayah mengelus kepalaku dan hanya

memberikan senyum. Aku duduk di kursi sebelah dan kembali menceritakan apa yang kualami hari ini. Berakhir cerita yang kuceritakan tapi tak ada reaksi dari ayah. Ia hanya diam dan sekali lagi terse­ nyum. Senyumnya manis sekali. “Kau cerita lagi dengan ayah?” tanya ibu yang tiba-tiba saja menghampiriku. “Iya, Bu. Tapi ayah nggak kasih tang­ gapan.” “Apa yang kau ceritakan, Nak?” “Cerita tentang mimpiku, Bu. Aku cerita sama ayah. Aku mau jadi pelukis,” ucapku semangat. Ibu hanya tersenyum kepadaku namun sorot mata ibu tak sejalan dengan ukiran senyum dari bibirnya. “Masuklah ke dalam. Ayah mungkin sedang lelah jadi tak dapat menanggapi ceritamu”. “Bu, ayah sudah makan?” “Sudah, Nak. Saat kau mandi tadi ayah sudah menyantap makanannya.” Pertanyaan yang sering kulontarkan dan baru pertama kali ibu memberikan jawaban. “Ayah kok nggak makan sama Dinda?” “Ayah capek. Sedang tidur pulas. Jangan kau bangunk­ an. Mari makan sama Ibu”. Ku­ santap makan malam bersama ibu, kali ini tanpa ayah. Ada yang berbeda, biasanya di meja kecil ini aku bercerita dengan ayah dan tak jarang pula ia menyuapkan makanan untukku. “Ayah sakit, Bu?” “Iya, Nak.” Ibu hanya menjawab pertanyaanku dengan singkat membuat isi kepalaku ingin menanyakan hal lebih lanjut. “Sakit apa, Bu?” “Sudahlah, kau tak perlu tahu.” Ibu mematikan pertanyaanku. Aku hanya diam mencoba menerka-nerka ayah sakit apa. Jam di kamarku menunjukkan angka sepuluh. Jam segini ibu biasanya sudah tertidur pulas. Aku beranjak dari kamar menuju kamar ibu yang tentunya juga ka­ mar ayah, sedikit kuintip isi kamar ingin melihat keadaan ayah, tapi tak ada. *** Aku sengaja bangun lebih awal untuk melihat ayah pergi ke kantor tapi tak juga kudapatkan sosok lelaki itu di rumah. Aku menyelonong masuk ke dalam

kamar ibu untuk memberikan sebuah pertanyaan pagi. “Di mana Ayah?” “Sudah pergi, Nak,” jawab ibu lembut. Kembali pagi memberi kekecewaan kepadaku. Pertanyaanku saat mengha­ dap-Nya tak dijawab dengan tanda titik. Masih diberi tanda tanya dan kembali aku harus mencari sendiri di mana tanda titik bersembunyi. Aku duduk pagi di teras rumah. Kuli­ hat bangku di sebelah kosong. Biasanya ada sosok lain yang menemani. Aku menghela napas dan memikirkan kata yang kuberikan kepada Tuhan. Dalam hati, aku berdialog tanya dengan Tuhan. “Tuhan, sudah dua hari aku tak melihat sosok ayah. Ayah pergi kemana?Aku rindu bercerita dengan ayah.” Pagi bergeser dan siang menyapa

“Asik. Besok pagi kan, Bu? Jangan siang. Aku tak mau kelamaan berjumpa dengan ayah”. *** Pukul delapan pagi ibu membangun­ kanku. Memisahkan aku dengan dunia mimpi. Lalu aku bergegas mandi dan berpakaian. Aku tak sabar berjumpa dengan ayah. Sudah beberapa hari mata dan hati rindu akan sosoknya. Ibu mengajakku ke tempat yang sunyi. Tak ada suara manusia yang kudengar. Hanya ada suara angin. Kuli­ hat nisan putih berjejer dengan rapinya. Tanda tanyaku semakin berkumpul. Lalu aku dan ibu berhenti di salah satu nisan. “Kau sekarang sudah berjumpa dengan ayah, Nak”. Kupandangi wajah ibu yang dibaluti jilbab hitam. Air matanya mene­ tes. Ibu mengelus nisan bertuliskan nama ayah. “Ayah sudah tidur pulas.

AULIA ADAM | suara usu

dengan terik matahari. Jawaban juga tak diberikan. Aku sedikit kesal dan me­ nyalahkan Tuhan. Tapi aku buru-buru mengucapkan Astaghfirullah saat pikiran seperti itu menyambar. Malam ini aku harus berbicara dengan ibu dan menanyakan keberadaan ayah. Aku harus memberanikan diri. Saat ibu sedang duduk asik menikmati layar berukuran empat belas inci, aku meng­ hampiri. “Ibu, ayah sekarang di mana?” Ibu terpaku mendengar pertanyaan yang kulontarkan. Sorot matanya kosong sehingga aku tak dapat menangkap jawa­ ban dari pertanyaan. Aku bertanya sekali lagi. “Ibu, Ayah sekarang di mana?” Kini sorot mata ibu berubah. Mata ibu sedikit memerah. Kudengar ibu mengatur napasnya yang berantakan. Aku menung­ gu kata jawaban dari mulut ibu. “Besok. Kau ikut ibu ya. Kita ber­ jumpa dengan ayah.”

Saat ayah tidur, kau pingsan sehingga tak dapat mengantar ayah ke tempat terakhirnya. Sebelum ayah pergi, kali­ mat terakhir yang diucapkannya hanya namamu, Nak. Saat di teras rumah, mungkin ayah menghampirimu dengan wujud yang lain”. Aku terdiam. Pilu hati ini mende­ ngar perkataan ibu semenit yang lalu. Kupandangi nisan di depanku. Lalu bertanya, “Adakah waktu yang diberi­ kan agar aku berjumpa lagi dengan Ayah?” “Dalam mimpi kau diberikan waktu yang leluasa. Nak.” Aku dan ibu pulang meninggalkan ayah sendiri menikmati alam terba­ runya. Kini, semua pertanyaan yang terkunci telah terbuka. Tanda tanya yang kuhantarkan kepada Tuhan kini dijawab dengan sebuah titik, tak hanya titik tapi titik tegas yang tak perlu diubah lagi.


mozaik

SUARA USU, EDISI 90, NOVEMBER 2012

sorot

puisi

Senandung Ibu Lazuardi Pratama, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik 2012

AULIA ADAM | suara usu

Nina bobo oh nina bobo Senandung nina bobo menggema lembut tersapu irama dalam memori kisah lama pada malam yang selalu sama Kalau tidak bobo digigit nyamuk Tak lelah menampik dukaku tak letih menjaga lentera dari sisi tidurku tak berpeluh menemani di setiap waktuku selalu kau basuh ketika air mata mengalir dari pipi gemasku Tidurlah sayang, anakku manis Senja lalu menghiasi dari lebarmu menyembunyikan pilu yang menumpuk disudut matamu langkah lemah berpijar lalu nafas terhembus Kalau tidak bobo digigit nyamuk Nisan hanya nisan liang hanya liang senandung nina bobo menggema namun kali ini untukmu

17

Zakiyah Rizki Sihombing, Fakultas Ilmu sosial dan Ilmu Politik 2012

Lapo Tuak dan Orang Batak

Dia hidup di antara mutiara yang siap ber­ sinar dan memancarkan auranya Sedangkan aku di sini dijamahi sekumpulan pengecut seperti sampah dan aku juga tak lebih baik dari sampah itu

S

Tikus-Tikus Nakal

Dia memaknai hidup dengan mengejar keter­ tinggalannya dari semua pejuang yang sedang berlari Aku tertawa duduk manis untuk setiap mulut yang mengemukakan orasi yang bahkan aku tak lebih baik dari mereka Dia diasah oleh para seniman handal yang bahkan saat dibuang ke lumpur pun masih tetap dihargai Sementara aku terpojok oleh makianku terhadap setiap pemuka yang semena–mena datang dan pergi Dia mengawali hari dengan senyuman atas tempat yang ia pilih dan raih sendiri Selagi aku menangisi hari dan tempat ini semakin hari semakin menginjak diri Dan dia, akan semakin maju menentang dan menaklukkan masa depannya yang terbentang luas ke depan cerah, secerah matanya mengucap syukur. Dan tentu saja, aku masih ada di kegelapan mengurungku menetap dan terikat di sebuah tempat memuakkan yang bahkan tujuannya pun aku tak tahu

ilustrasi: aulia adam | suara usu

Andika Bakti

uatu malam di kedai yang terdiri dari empat meja memanjang. Pada salah satu meja, dengan satu gitar Charles siahaan bersama empat rekannya mel­ antunkan beberapa lagu kesukaan mer­ eka. Tuak menjadi menu utama malam itu. Ada ular goreng dan kacang tanah sebagai makanan pendampingnya, mereka menyebutnya tambul. Setiap orangnya sudah meneguk sedikitnya lima gelas minuman berbahan dasar aren ini sambil mengobrol sesama mereka. Begitulah suasana salah satu lapo tuak di Medan. Saat mendengar lapo tuak, yang terpikir adalah rumah makan yang dipenuhi oleh orang-orang penikmat tuak. Tempat orang-orang yang meng­ habiskan waktunya dengan sebatas duduk-duduk, markombur (mengobrol—red), bermain catur, bernyanyi, atau hanya makan lalu pulang. Lapo tuak sebenarnya sama seperti rumah makan lainnya, hanya warung biasa. Di lapo tuak, penjual menyediakan makanan khas batak dan minum­ an layaknya sebuah rumah makan. Namun ada sedikit perbedaan dibanding rumah makan lainnya, semua lapo tuak pasti menyediakan tuak, minuman tradisional yang dibuat dari kelapa atau aren yang dicampur raru. Keberadaan lapo tuak memang sering menim­ bulkan kontroversi, terutama mengenai lokasi. Tapi jika kita amati dengan cermat, sangat jarang lapo didirikan di tengah pemukiman penduduk. Biasanya lapo didirikan di tempat sepi dan jauh dari kera­ maian. Orang batak juga memiliki cara berpikir tersen­ diri untuk membuat sebuah lapo. Menjual makanan ekstrem adalah alasan orang Batak mencari tempat ‘aman’ untuk membuat lapo, agar usaha mereka tidak mengganggu warga sekitar. Namun ada suatu kebudayaan yang melekat pada lapo tuak. Lapo membesarkan orang Batak, orang Batak membesarkan lapo, seperti itulah stereotypenya. Budaya diskusi orang Batak dibesarkan di lapo tuak. Charles menganggap kata lapo bukan sekedar memiliki arti kedai tapi akronim dari lapangan politik. Karena di sinilah orang-orang yang memiliki latar belakang berbeda berkumpul. Membicarakan soal keseharian, pendidikan, hingga perpolitikan. Tanpa disadari budaya inilah yang membentuk karak­ ter masyarakat Batak. Tuak adalah produk yang mengandung etanol atau alkohol, itulah sebabnya tuak dinilai negatif oleh kebanyakan orang, minuman ini tidak baik jika dikonsumsi berlebihan. Namun bagi sebagian masyarakat Batak menilai tuak juga memiliki khasiat. Selain menghangatkan tubuh, tuak juga bisa menghindari penyakit gula yang disebabkan kurangnya olahraga. Meninggalkan lapo tuak sangat sulit dilakukan oleh orang Batak. Kenyataannya, Lapo berkem­ bang dari waktu ke waktu. Kini lapo tuak tidak hanya ada di Sumatera Utara, di beberapa daerah seperti Jakarta, Surabaya, dan beberapa daerah lainnya juga sudah gampang ditemui lapo-lapo tuak. Memang, lapo tuak dan orang Batak menjadi hal yang tak terpisahkan.


18

S

potret budaya

Ipak Ayu H Nurcaya

yahdan, Ratu Puangbolon, Ratu Kerajaan Simalungun tengah rasa tersayat duka tak terperi kala sang buah hati yang masih bayi pergi mendahuluinya. Ia meratap akan kese­dihannya itu, sambil mendekap mayat sang bayi. Tak lagi ia hiraukan bau bangkai yang menyeruak. Malangnya, tak ada satu pun yang berani melepaskan bayi tersebut dari dekapan sang ratu. “Oh.., anakku, Tuan Rondahain. Mase ma poda holaho. Huja maholi bahenon harajaon raya on?” (“Oh, anakku, Tuan Rondahin, kenapa engkau cepat pulang? Kemanalah nanti kerajaan raya ini?”). Seperti itulah penggalan martangis (tangistangis)­ dari sang ratu. Pihak kerajaan pun mencari akal agar ratu kembali seperti semula. Mereka ke­ mudian mengumumkan kepada seluruh rakyat agar membantu pihak kerajaan melepaskan mayat bayi tersebut dari sang ratu. Lalu datanglah lima orang pemuda memainkan martoping atau disebut toping-toping. Martoping adalah tarian menggunakan topeng. Dahulu, topeng tersebut dibuat dari pelepah dedaunan, kini ­ke­­ba­­nya­­k­­­an­ terbuat dari kayu. Ada dua jenis topeng yang digunakan, yaitu toping dalahi, topeng yang me­ nyerupai wajah lelaki dan toping daboru yang mirip wajah perempuan. Seorang lagi memakai huda-huda, atau kuda-kuda yang merupakan bagian penting dalam toping-toping dan tangis-tangis. Ia dibuat dari kain dan memiliki paruh burung enggang hingga menyerupai kepala burung enggang. Tak lupa pemain juga diberi ekor agar semakin menyerupai kuda. Mereka pun menari dengan huda-huda di taman belakang istana diiringi musik yang menggelegar. Tarian tersebut sangat lucu dan menghibur, sehingga mencuri perhatian ratu. Akhirnya, ia pun melepaskan mayat bayi­nya dan keluar untuk melihat pertunjukan yang tengah dimainkan. Darmawan Purba, dosen Departemen Etno­ musikologi Fakultas Ilmu Budaya sekaligus budayawan mengatakan, ada nilai filosofis yang terkandung dalam budaya toping­-toping dan tangis-tangis ini. Dari hasil penelitian yang dilakukannya, prosesi ini hanya boleh dilakukan pada upacara kematian saur matua, yaitu ke­ matian seseorang di masa tua dengan meninggalkan anak dan cucu dalam satu keluarga di Simalungun. “Karena saur matua merupakan kematian yang pa­­li­­ng didamba orang Simalungun, yang ditinggal patutlah berbahagia,” kata Darmawan. Sebelum martoping, ada seseorang yang melakukan martangis atau menangis. Syairnya tidak harus seperti yang ratu ucapkan zaman dulu. Ia berupa ungkapan kesedihan bagi yang ditinggal atau terkadang berbagai kenangan kebaikan semasa hidup yang meninggal. Setelah itu, pasangan martoping menari bebas, asal ceria, lucu, dan menghibur untuk mengajak yang berduka agar tak larut dalam kesedihannya. Tidak ada gerakan pasti untuk martoping ini. Musiknya tidak sembara­ ngan, harus asli daerah Simalungun, terutama gondang simalungun. Huda-huda akan mengisyaratkan agar para keluarga dan pelayat berbahagia karena telah ditinggalkan di masa yang tepat bagi seorang meninggalkan dunia.

SUARA USU, EDISI 90, NOVEMBER 2012

Toping-Toping dan Tangis-Tangis

Pelerai Duka Cita Adat Simalungun Ialah pertunjukan hiburan bagi mereka yang berduka. Namun, kini budaya ini juga mendekati kepunahan.

ICHA DECORY | SUARA USU

TOPING TOPING Hampir Punah

Pertunjukan toping-toping dan tangis-tangis di Pekan Raya Sumatera Utara (PRSU), Selasa (10/14). Toping-toping bertujuan untuk menghibur keluarga yang ditimpa kemalangan.

November tahun lalu, Jhon Mechael Purba, alumni Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam yang juga anggota Ikatan Mahasiswa Simalungun (IMAS) memainkan toping-toping dan tangis-tangis bersama empat orang temannya. Ia mengenakan jubah hitam di tubuhnya, lengkap dengan topeng. Mechael bilang, kostum itu berasal dari salah satu sanggar budaya Simalungun di Medan. Alunan musik perlahan menggema. Seorang marta­ngis yang ber­ ada di dekat pemusiknya mulai bersyair. Setelah itu secara berurutan, sepasang pemuda yang memakai toping dalahi dan toping daboru masuk, diikuti huda-huda, dilanjutkan sepasang pemuda lagi sebagai penutup. Mereka mulai menari bebas. Tidak hanya berlaga di pang­ gung, pemain martoping pun turun menyapa setiap hadirin. Ada yang memberi saweran berupa uang. Ada yang hanya tertawa geli, dan ada juga yang berlari ketakutan. Mechael mengaku bangga pernah terlibat dalam perkenalan dan pelestarian salah satu budaya asalnya di Pagelaran Seni dan Budaya Simalungun tersebut. “Budaya ini hampir punah, bahkan seumur hidupku enggak pernah melihat budaya ini di acara kematian yang asli,” katanya.

Tahun 1990, Darmawan juga pernah mementaskan toping-toping dan tangis-tangis dalam rangka Festi­ val Topeng Nasional di Bandung. Untuk kostum, ia pinjam di Museum Simalungun. Sementara huda-huda ia buat sendiri dari paruh enggang. Diakui Darmawan, toping-toping dan tangis-tangis kini sudah jarang ditemukan. Banyaknya hal lain yang dilakukan saat upacara kematian membuat prosesi ini jadi jarang dilakukan, hanya sebatas upacara saur matua. Alasan lain, banyak yang beranggapan upacara adat ini hanya ada dan boleh dilakukan di zaman kerajaan dulu. Richardo Saragih, Ketua IMAS menyatakan kepri­ hatinan serupa. Karena itu, melestarikan segala budaya Simalungun merupakan salah satu program kerja IMAS, termasuk toping-toping dan tangis-tangis ini. Alhasil, tak jarang mereka mendapat panggilan tampil di acara-acara pagelaran seni budaya, seperti di Pekan Raya Sumatera Utara (PRSU), April lalu. “Punahnya satu kebudayaan karena generasi muda ini enggak mau belajar sama orang tuanya,” kata Richardo. Padahal, menurutnya toping-toping dan tangis-tangis ini salah satu warisan budaya luhur yang memperkaya budaya Indonesia. IKLAN


riset

SUARA USU, EDISI 90, NOVEMBER 2012

Budaya Diskusi Mahasiswa USU

Masih Punya Peminat Ada banyak forum yang bisa dimanfaatkan mahasiswa untuk memompa budaya diskusi. Namun kenyataannya kata diskusi masih jauh dari kamus mahasiswa USU.

I

Izzah Dienillah Saragih

dealnya, budaya diskusi adalah sesuatu yang se­ harusnya melekat pada mahasiswa, sebagai pe­ nyandang status strata tertinggi dunia pendidikan. Sedikitnya waktu yang di­ habiskan di ruang kelas, tak sebanding dengan materi yang seharusnya dipelajari oleh ma­ hasiswa, sehingga mahasiswa butuh forum lain untuk “bela­ jar”. Sesungguhnya, ini dapat membantu pemahaman maha­ siswa mengenai materi terse­ but, terlebih dengan adanya tukar pikiran antar sesama ma­ hasiswa. Tak hanya itu, adanya isuisu atau permasalahan baik di sekitar kampus maupun skala nasional sewajarnya patut di­ kritisi oleh mahasiswa. Selain menambah wawasan, diskusi akan hal-hal tersebut dapat membuka pola pikir mahasiswa sehingga lebih luas dalam me­ nyikapi sesuatu. Intinya, dis­ kusi adalah sebuah wadah, yang bisa dimanfaatkan ma­ hasiswa untuk pengemba­ngan dirinya. Namun, bagaimana sesungguhnya budaya diskusi yang tumbuh di kampus USU sendiri? Apakah mahasiswa telah menyadari pentingnya diskusi di masa sekarang atau tetap memilih menjadi maha­ siswa apatis? Atas dasar hal tersebut, ba­ gian Penelitian dan Pengem­ bangan (Litbang) SUARA USU mengadakan jajak pendapat mengenai budaya diskusi yang ada di USU. Dari hasil jajak pendapat yang dilakukan, hasil yang didapat hampir seimbang. Sebanyak 58 % mahasiswa menyatakan memiliki kelom­ pok diskusi dan 42 % lainnya me­ngaku tidak punya. Sebanyak 55 % mahasiswa yang tergabung dalam kelom­ pok diskusi biasanya berdis­ kusi tentang materi perkulia­ han, setiap kelompok mereka mengadakan pertemuan. Salah satunya perkumpulan Gemar Belajar (Gembel) di Fakultas Hukum (FH). Awalnya bebe­ rapa orang mahasiswa angka­ tan 2007 merasa perlu mem­ buat satu kelompok diskusi untuk membahas materi perku­ liahan. Lama kelamaan, pemi­ natnya semakin ramai. Sejak dibentuk Desember 2007, kini tercatat ada 103 orang anggota Gembel. Mekanisme diskusin­

ya, tiap sesi ada moderator dan pemateri dari senior tetapi yang membuat bahan mahasiswa angkatan yang bersangkutan. Presiden Gembel Kastro Sitorus, mahasiswa FH 2010 mengatakan selain kegiatan diskusi, mereka juga membuat kegiatan seperti debat, kun­ jungan ilmiah, dan seminar. “Kalau bagi saya kelompok diskusi efektif meningkatkan minat belajar,” ujarnya. Ditambahkan Sastro Gu­ nawan, mahasiswa FH 2009 yang lebih dulu bergabung de­ngan Gembel, kelompok diskusi tak hanya berfungsi membentuk mahasiswa dari segi akademis saja. “Tapi juga membentuk karakter,” tam­ bahnya. Selanjutnya, ada 24 persen mahasiswa mendiskusikan isuisu berkembang dari berbagai topik, seperti Kelompok Dis­ kusi Aksi Sosial (KDAS) yang telah ada sejak 2002 lalu. Ja­ kob Siringo Ringo, mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya (FIB) 2008 yang tergabung dalam KDAS merasa bahwa kelom­ pok diskusi adalah organisasi yang langka. Ia menambahkan tiap orang bebas berekspresi, mengutarakan tiap pendapat serta kekritisannya terhadap suatu masalah ketika berdis­ kusi. KDAS sen­diri biasanya membahas permasalahan politik, ekonomi, filsafat, so­ sial, budaya, dan sebagainya. Berbeda dengan Gembel yang khusus untuk mahasiswa FH, KDAS terbuka untuk umum. “Siapa pun boleh ikut,” kata Jakob. Dilihat dari intensitasnya, 77 persen mahasiswa yang berdiskusi mengadakan perte­ muan 1-2 kali dalam seminggu. Gembel misalnya, memiliki waktu khusus hari Sabtu untuk membahas materi perkuliahan. Namun dijelaskan Kastro, in­ tensitasnya akan meningkat saat menjelang ujian. Semen­ tara KDAS rutin menggelar pertemuan 2 kali seminggu. Sementara sebanyak 14 pers­ en lainnya berdiskusi 3-4 kali seminggu, dan sisanya tidak memiliki frekuensi pertemuan yang tetap sebanyak 9 persen. Namun sayangnya, ada 48 persen mahasiswa yang me­ milih tidak bergabung dengan kelompok diskusi manapun. Sebagian besar responden yai­ tu 38 persen beralasan sibuk

dan tidak punya cukup waktu sehingga mereka tidak sempat untuk bergabung ke dalam ke­ lompok diskusi. Lalu 24 persen dari mereka tidak tertarik den­ gan kelompok diskusi maha­ siswa. Ada juga yang mengaku tidak mengetahui informasi mengenai adanya kelompok diskusi mahasiswa di fakultas­ nya sebanyak 35 persen dan 3 persen sisanya tidak men­ jawab. Jakob tak memungkiri jika semangat mahasiswa un­ tuk berdiskusi memudar. Itu terlihat dari partisipasi ma­ hasiswa di kampusnya dalam kegiatan diskusi, yang kadang ikut kadang tidak. Sedang­ kan menurut Sastro, hal itu bisa jadi karena sistem Satuan Kredit Semester yang mem­ buat mahasiswa menjadi lebih individualis, “Dengan kelom­ pok diskusi sebetulnya mem­ bentuk mahasiswa tidak apatis lagi”, ungkapnya. Pembantu Dekan I FIB, M Husnan Lubis menilai ke­ beradaan kelompok diskusi positif ada di mahasiswa. Tetapi, memang secara hi­ rarki tidak pernah dibentuk oleh fakultas. Disinggung mengenai sistem perkuliahan yang membuat mahasiswa jadi individualis dan eng­ gan berdiskusi kelompok, ia justru menyanggah, “Semua kurikulum terbuka untuk dis­ kusi. Tinggal lagi mahasiswa yang jeli memanfaatkannya” ujarnya. Hal ini dibenarkan Pem­ bantu Rektor I Prof Zulki­ fli Nasution, yang mengatakan beberapa jenis kurikulum sep­ erti Kurikulum Berbasis Kom­ petensi (KBK) mendukung dibentuknya kelompok diskusi mahasiswa, terutama yang membahas masalah perkulia­ han. Ia juga sepakat bahwa kampus harus “hidup” dengan kegiatan-kegiatan positif, salah satunya kelompok mahasiswa. “Yang tak boleh itu kalau ma­ hasiswanya diam-diam saja”, tambahnya. Begitupun, diatur atau tidak di dalam kurikulum, ditambah­ kan Jakob, kelompok diskusi tetaplah wadah esensial bagi mahasiswa. “Kelompok disku­ si adalah tempat dengan orien­ tasi kekritisan dalam berpikir. Jadi sudah saatnya mahasiswa bongkar kebiasaan apatis itu,” tutup Jakob.

19

Metode Jajak Pendapat Litbang

Jajak pendapat ini dilakukan dengan melibatkan 384 mahasiswa USU. Sampel diambil secara acak dengan mempertimbangkan pro­ porsionalitas di tiap fakultas. Kuisioner disebar pada 15 Oktober - 6 November 2012. Dengan tingkat kepercayaan 95 persen dan sampling error 5 persen, jajak pendapat ini tidak dimaksudkan untuk mewakili seluruh pendapat mahasiswa USU. 1) Apakah Anda tergabung ke dalam kelompok diskusi mahasiswa?

Tidak Ya

2) Jika tidak, apa alasan Anda?

Tidak ada waktu Tidak tertarik Tidak tahu informasi tentang kelompok diskusi Tidak jawab

Pertanyaan sela jutnya diisi apabila menjawab YA pada pertanyaan nomor 1 3) Dalam seminggu, berapa kali kelompok diskusi Anda melakukan pertemuan?

1-2 kali 3 -4 kali Tidak tentu

4) Isu apa yang sering Anda dan kelompok Anda diskusikan?

Isu politik, sosial, budaya yang berkembang

Pelajaran di perkuliahan

Tidak jawab

Keagamaan ILUSTRASI-ILUSTRASI : AUDIRA AININDYA | SUARA USU


20 resensi

SUARA USU, EDISI 90, NOVEMBER 2012

Lakon

Masa Depan Indonesia Judul Penulis Penerbit Jumlah Halaman Tahun Harga

: Menerawang Indonesia : Prof (Emeritus) Dorodjatun Kuntjoro Jakti, PHd : Alvabet : 274 : 2012 : Rp 70.000

Indonesia masuk dalam kelompok menuju negara gagal. Apakah situasi sosial, politik, dan ekonomi saat ini maupun masa lalu menjadi titik kebangkitan atau pertanda kehancuran Indonesia?

SOFIARI ANANDA | SUARA USU

B

Debora Blandina Sinambela

isa dikatakan, buku jenis “penerawangan” seperti ini jarang kita temukan di In­ donesia. Prof Dorodjatun mene­rawang Indonesia di ta­ hun 2030 dengan alasan tingkat ketergan­ tungan Indonesia masa itu berada pada titik terendah. Selepas Perang Dunia II, bekas negara jajahan termasuk Indonesia melakukan pem­ bangunan guna memperbaiki kondisi ekono­ mi, politik, dan sosialnya. Mereka mencoba menganti sistem kolonial ke sistem baru yang dirasa cocok. Pada masa itu ada dua sistem pembangu­ nan yang menjadi contoh. Negara berhaluan Marxis meniru model Totaliarisme Uniso­ viet. Negara Asia non-Marxis meniru model Keynesian. Dalam perjalanannya model pembangunan totaliarisme menghasilkan kri­ sis yang dikenal dengan tragedi sosial. Ternyata hanya dengan membuat proyek­ si tentang prakiraan-prakiraan sebuah rencana per­ubahan tidak mampu mengungkapkan krisis. Atau apakah untuk menghindari krisis harus mengakhiri sistem lama, lembaga-lem­ baga lama dan cara-cara lama. Berkaca dari kejadian pasca perang dunia itu maka dilaku­ kan penerawangan untuk Indonesia. Buku ini menawarkan sebuah pene­ rawangan secara kualitatif perihal ke­ beradaan bangsa-negara Indonesia tahun 2030. Diupayakan penerawangan ke masa

depan tentang proses-proses yang berpo­ tensi dalam pembangunan maupun krisis yang muncul. Prof Dorodjatun mengkualifikasikan dua lakon Indonesia yang mungkin terjadi di masa yang akan datang. Kedua lakon ini sangat bertolak belakang. Indonesia ­dengan lakon Raksasa Asean yang tidak berdaya di­ simpulkan sejumlah ahli. Saat ini, Indonesia berada pada garis batas ­ den­gan kelompokkelompok negara gagal seperti Myanmar dan Timor Leste. Penyebabnya adalah potensi alam yang menjadi ladang yang memicu korupsi, kolu­ si, dan nepotisme. Dikotomi Jawa-luar Jawa merupakan sumber perpecahan yang masih berpotensi kuat. Arus penduduk dan arus dana ma­ sih mengalir ke Jawa padahal Jawa sudah menunjukkan degenerasi yang cepat dari daya dukungnya Namun di samping munculnya ketidak­ teraturan pemerintahan Indonesia, kita ti­ dak bisa menutup mata atas keberhasilan yang diraih Indonesia. Di usia saat ini, Indonesia mampu banting setir dari sistem politik, ekonomi, dan ideologi ke arah yang lebih baik. Bahkan sebagai negara majemuk mampu melewati konflik internal yang ber­ potensi perpecahan, apalagi menyangkut suku, agama, ras, dan adat. Keberhasilan inilah yang dilihat penulis sehingga Indonesia digambarkan lakon Pusat Kebangkitan Masyarakat Asean. Keberhasi­ lan yang sifatnya mendasar itu menyebabkan Indonesia menjadi unsur penting menjaga ke­ stabilan dan kemajuan di Asia Tenggara. Buku ini patut dijadikan pegangan ma­ syarakat Indonesia umumnya, dan untuk para pemimpin maupun calon-calon pemimpin khususnya. Analisis buku ini didukung pemaparan fakta yang kuat yang menunjuk­ kan potensi Indonesia menjadi pusat pem­ bangunan. Hanya saja bahasa buku ini susah di­ mengerti. Penulis menggunakan pemaparan dengan kalimat panjang dan penggunaan is­ tilah asing. Dengan materi pembahasan yang cukup berat disertai pemaparan sejarah, . Namun di akhir tulisan, penulis menekankan bahwa ini hanya sebuah pe­ nerawangan. Dalam perjalanan Indonesia akan banyak rintangan yang tidak terduga. Seperti apakah nasib Indonesia ke depan tak lepas dari pemimpinnya. Diharapkan pemimpin bersumber dari semangat per­ juangan kemerdekaan dengan terobosan baru membawa Indonesia keluar dari ke­ miskinan dan keterbelakangan.

Konspirasi 48 Jam Judul Buku Pengarang Penerbit Tahun terbit Jumlah halaman Harga

: Negeri Para Bedebah : Tere Liye : Gramedia Pustaka Utama : 2012 : 433 halaman : Rp 60.000

“Akulah orang per­ tama yang menyebut dua kata ajaib itu, dampak sistemis.”

Izzah Dienillah Saragih

Tidak seperti karya sebe­ lumnya semisal, Hafal­an Shalat Delisa atau Kau, Aku dan Sepucuk Angpau Merah yang mengharubiru serta mendayudayu, kali ini Tere Liye me­ nyuguhkan sebuah novel dengan latar krisis ekonomi global tahun 2008. Salah satu tokoh dalam novel ini ialah Thomas, konsultan fi­ nansial yang cemerlang. Ia adalah kepo­nakan Om Liem, seorang pengusaha ulung dan pemilik Bank Semesta yang dinyatakan bangkrut. Semua aset nasabah ludes. Bahkan Om Liem teran­ cam dipenjara karena dugaan praktek kotor bisnisnya tersebut. Tante Thomas, istri Om Liem, yang tak kuat mendengar berita tersebut jatuh sakit. Thomas coba menolong sang paman, meskipun Thomas mem­ benci dan sembunyikan identitas sebagai seorang keponakan aki­ bat luka di masa lalu, Om Liem dan istri hanya­lah keluarga kecil yang ia punya. Berada di tengah kepungan polisi saat penangkapan Om Liem dan tantenya yang masih tergun­ cang, membuat Thomas berada di antara dua pilihan. Membiarkan semua terjadi hingga merelakan Om Liem ber­akhir dalam tahanan atau bertindak membalikkan ke­ adaan. Ia pun curiga ada bedebah lain yang memiliki kepentingan dibalik pailit Bank Semesta. Thomas dengan otak brilian merancang skenario untuk menye­ lamatkan Bank Semesta dalam waktu kurang dari 48 jam, se­ belum bank tersebut dinyatakan bangkrut. Ada banyak konspirasi, serta intrik licik dipaparkan dalam cerita ini, yang boleh jadi ada di kehidup­an nyata. Thomas kum­ pulkan media, bilang Bank Se­ mesta tak boleh ditutup karena akan menimbulkan dampak siste­ mis bagi perekonomian nasional. Kemudian, ia mendatangi menteri dengan berlembar berkas surat

SOFIARI ANANDA | SUARA USU

jaminan Bank Semesta. Bahkan, ia terbang ke Bali menjumpai putera mahkota, guna memulus­ kan jalan agar pemerintah me­ nalangi Bank Semesta. Tensi novel yang terus ­meninggi dan bergerak cepat hingga akhir cerita membuat kita terpesona, dan setelah­nya baru berpikir, mungkinkah seorang Thomas bisa melakukan segala bentuk lobi-melobi, tipu-menipu, dalam kurun waktu kurang dari 48 jam? Bagian ini sedikit tidak masuk akal memang, mengingat Thomas melakukan beberapa kali perjalanan ke luar negeri dan luar kota dalam waktu singkat. Selain itu, penulis juga ter­ kadang tidak konsisten dengan beberapa istilah ekonomi yang dibuat, misalnya istilah bang­krut kadang disebut collapse, atau kalah kliring sehingga sedikit membingungkan pembaca. Membaca novel ini, membuat kita langsung teringat dengan skandal besar yang terjadi di ne­ geri ini, Bank Century. Tere Liye memaksa pembaca mengaitkan setiap potongan-potongan ske­ nario yang Thomas jalin dengan kejadian yang terjadi pada kasus Bank Century. Menyamakan apa yang terjadi pada Bank Century dengan Bank Semesta. Terlepas dari itu, ini hanyalah sebuah fiksi. Fiksi mendekati nyata, mungkin. Meskipun alur yang ditawarkan bergerak maju mundur, namun tetap bisa di­ mengerti pembaca. Akhir cerita penulis memilih menggantung penutup cerita dan membiarkan pembaca berkhayal dengan penu­ tup versi masing-masing. Sebuah novel yang boleh Anda masukkan ke dalam daftar baca, karena bisa dibaca oleh siapa saja.


SUARA USU, EDISI 90, NOVEMBER 2012

iklan

21


22

iklan

SUARA USU, EDISI 90, NOVEMBER 2012


peristiwa

SUARA USU, EDISI 90, NOVEMBER 2012

Tim Horas Kembali Ikuti

Peresmian RS USU

Kompetisi Mobil Hemat Energi

Belum Pasti

Peresmian Tak Pasti

Baina Dwi Bestari

Lobi utama Rumah Sakit USU, Selasa (18/9). Peresmian RS USU masih tak pasti dan menunggu kepastian dari Presiden RI. RIDHA ANNISA SEBAYANG I SUARA USU

S

Debora Blandina Sinambela

etelah rencana peresmian Rumah Sakit (RS) USU di Oktober lalu tak jadi dilangsungkan, hingga seka­ rang tak ada jadwal pasti kapan di­ langsungkannya peresmian ini. Ma­ salahnya surat permohonan yang sudah dikirim kepada presiden untuk meresmikan RS USU belum juga mendapat balasan dari sekretaris negara. “Surat yang sudah dikirim ke sekretaris negara tidak bisa ditarik lagi, mau tidak mau kita harus tunggu jawaban dari Presiden,” ujar Kepala Biro Humas USU Bisru Hafi, Selasa (6/11). Bisru menegaskan, sejak awal memang su­ dah direncanakan peresmian rumah sakit ini segera dilangsungkan. Namun ternyata banyak permasalahan yang tidak diduga. Mengingat RS USU ini proyek percontohan rumah sakit pen­ didikan di Sumatera Utara sekaligus di bawah Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, menurut Bisru harus ada dari pemerintah yang meresmi­ kan RS ini. ”Kalau presiden tak bisa, kita punya alternatif menteri pendidikan. Tapi harus jelas dulu bagaimana jawaban surat dari presiden,” tegas Bisru.

23

Selain masalah menunggu kepastian pre­ siden, sarana dan prasarana layaknya sebuah rumah sakit belum terpenuhi. Hingga sekarang USU masih berusaha melengkapi sarana penun­ jang untuk beroperasi. ”Belum lengkap, belum ada perubahan,” tegas Direktur RS USU Prof Chairul Yoel. Berdasarkan keterangan Prof Yoel, peralatan dari Islamic Development Bank tak kunjung cair sehingga rumah sakit tidak boleh beroperasi. Kelengkapan peralatan masih berada di kisaran 30 persen. Itu pun peralatan untuk poli penya­ kit anak, poli mata, radiologi dan laboratorium. Peralatan yang paling dibutuhkan seperti Unit Gawat Darurat, kebidanan, bedah dan penyakit dalam belum juga diterima. Baginda Yusuf Siregar, Gubernur Fakultas Kedokteran memaklumi ketertundaan ini. Menurut dia, secara fisik RS USU memang sudah terlihat rampung. Namun apabila sarana yang dibutuhkan belum terpenuhi, rumah sakit jangan diresmikan dulu. Hanya saja ia berharap masalah penundaan ini jangan berlarut-larut karena berhubungan dengan keperluan maha­ siswa. “Maunya secepatnya beroperasi biar kita yang mau co-ass terbantu,” ujar Baginda.

SETELAH berangkat ke Sepang untuk mengikuti kompetisi Shell Eco-Marathon Asia, dalam rangka kompetisi pembuatan mobil hemat energi Juli lalu, kali ini Tim Horas kembali mengi­ kuti kompetisi sejenis bertaraf nasional yang diadakan oleh In­ stitut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya. Kompetisi yang disebut Indonesian Energy Marathon Challenge (IEMC) 2012 ini diadakan tanggal 21-25 November mendatang. Untuk mengikuti kompetisi ini, Tim Horas kembali merancang dan membuat mobil baru dengan kategori Urban Concept, kendaraan roda empat berbahan bakar fosil. Senin (5/11) lalu, mobil kedua rakitan mereka yang diberi nama Mesin USU H-2 telah resmi diluncurkan di Pendopo USU. “Tanggal 12 nanti akan dikirim ke Surabaya,” ujar Ketua Tim Horas Munawir Rosyadi Siregar. Mengenai biaya untuk mengikuti kompetisi, Munawir menambahkan, Tim Horas tidak kesulitan karena masih ada surplus dari dana kompetisi ke Sepang lalu. Anggaran lain­ nya diperoleh dari pihak universitas, Pemerintah Kota Medan dan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara. Para alumni Teknik Mesin USU juga turut bersumbangsih dalam pendanaan Tim Horas, yang juga merupakan pendanaan terbesar yang didapat. “Target kita di kompetisi ini jadi juara nasional supaya ke de­ pannya lebih mudah lagi mendapat dukungan terutama dalam hal biaya,” harapnya. IEMC sendiri merupakan acara nasional yang diadakan un­ tuk menguji kemampuan merancang dan membangun kenda­ raan yang aman, irit, dan ramah lingkungan. Kompetisi ini diselenggarakan oleh Mahasiwa ITS bekerja sama dengan Di­ rektorat Jenderal Pendidikan Tinggi yang diikuti oleh seluruh universitas, institut, dan politektik di Indonesia.

M JANUAR I SUARA USU

Mesin USU H-2

Tim HORAS berfoto bersama dengan mobil baru rancangan mereka yang akan diperlombakan di Surabaya pada 21-25 November 2012, Senin (5/11). Mesin USU H-2 merupakan modifikasi dari mobil sebelumnya.

KPU FIB Tunda Penghitungan dan Pengesahan Suara Debora Blandina Sinambela

Komisi Pemilihan Umum (KPU) Fakultas Ilmu Budaya (FIB) USU menunda proses penghitungan suara hasil pemilihan gubernur yang diselenggara­ kan Senin (29/10) silam. Ini dilakukan untuk mere­ dam massa yang jika dilanjutkan memicu kericuhan. Hal ini pun berakibat belum bisa disahkannya suara dan belum ditandatanganinya berita acara. “Ini ben­ tuk antisipasi biar tidak sampai terjadi kericuhan,” papar ketua KPU FIB Maghaga Perangin-angin. Maghaga menyampaikan saat dilangsungkan penghitungan suara, sejumlah peserta pemilu meng­ ajukan protes atas berlebihnya surat suara yang di­ cetak. Menurut mereka yang memprotes, KPU ha­ rusnya melebihkan mencetak surat suara sebanyak 2 persen dari 3116 daftar pemilu tetap yaitu sekitar 60 buah surat suara. Namun yang dilebihkan ber­ jumlah 400-an.”Ada yang mencurigai KPU akan memanfaatkan surat suara berlebih untuk meraup suara,” ujar Maghaga. Menanggapi protes tersebut, Maghaga menjelas­

kan alasan dilebihkannya surat suara sebanyak itu berkaitan dengan biaya cetak surat suara. Semakin banyak mencetak surat suara maka semakin murah harga yang harus dibayar. “Masalahnya banyak kawan-kawan belum dewasa berorganisasi. Beru­ saha mencari-cari kesalahan KPU dan tidak bisa menerima menang atau kalah,” ujar Mahaga. Selain itu, hilangnya sejumlah surat suara untuk suara pemilihan gubernur juga menjadi permasalah­an. Anggota KAM Insan Cita Rian Rizki Siahaan me­ngatakan dari 1435 total pemilih, surat suara yang terkumpul kembali sekitar 1300-an. termasuk surat suara yang salah kamar juga belum dibacakan. “Surat suara­nya hilang lebih dari 2 persen, tidak boleh main sah kan gitu aja. Harus jelas kemana surat suara itu,” tegas Rian. Terkait hal itu, Maghaga membuka diri jika ada su­ rat gugatan dimasukkan ke KPU . Namun hingga kini KPU belum menerima gugatan secara resmi. “Kami akan sosialisasikan kepada setiap peserta pemilu ma­ salah gugatan. KPU akan menanggapi keluhan jika dilayangkan melalui surat gugatan. Semua ada aturan mainnya sesuai juklak (petunjuk laksana, -red), dan

juknis (petunjuk teknis, -red),” ujar Maghaga. Mahaga juga mengakui belum membacakan 45 surat suara yang salah kamar tersebut. Hingga be­ rita ini diturunkan surat suara tersebut direncanakan akan dibacakan kembali ketika skors ini dicabut. “Minggu depan kita akan lanjutkan ketertundaan dan pengesahan berita acara. Selanjutnya pengesah­ an dan pleno,” papar Maghaga. Harapan untuk segera dilanjutkan kembali agen­ da tertunda juga dipaparkan oleh Rian. Ia menilai seharusnya segera dilakukan mediasi mengundang semua peserta pemilu. “Kalau KPU dewasa, segera lakukan mediasi,” tegas Rian. Sama halnya dengan Ketua KAM Perubahan Rayking Simare-mare, ia menilai ketertundaan ini terlalu lama. Benry, calon gubernur yang memperoleh suara terbanyak mengatakan akan tetap memperjuangkan pemilu ini. Komunikasi dengan KPU tetap dilaku­ kan mempertanyakan kejelasan pemilihan sekaligus mencari solusinya. “Kita tidak mau mengecewakan kawan-kawan yang sudah memberi suaranya. Ja­ ngan sampai pema kosong lagi,” tegas Benry.


24

profil

SUARA USU, EDISI 90, NOVEMBER 2012

H Aulia Adam

Nama Lahir Pendidikan Prestasi Organisasi

­

: Cut Nabila Azhar : Medan, 2 Maret 1991 : 1. SD Harapan 1 (1997 - 2003) 2. SMP Harapan 1 (2003 - 2006) 3. SMA Negeri 1 Medan (2006 - 2009) 4. Mahasiswa FK USU (2009 - sekarang) : 1. Dara Utama Kota Medan 2. Puteri Sumateri Utara 2010 3. Runner Up 2 Puteri Indonesia Favorit 2010 : 1. Anggota HIPMI SUMUT (2009 - sekarang) 2. Anggota ISSI (Ikatan Sport Sepeda Indonesia) 3. Duta PMI SUMUT SOFIARI ANANDA|SUARA USU

Nabila Azhar

Usahawan, Model dan Calon Dokter Mendapati karir mulus sebagai model, diam-diam ia punya bakat sebagai usahawan. Risoles buatannya yang telah sampai luar negeri, jadi bukti keseriusannya.

anya memakai kaus ­le­­ng­an­­ ­panjang garisgaris, jilbab merah muda, jeans dan sneakers senada. Tampilannya bak maha­ siswa pada umumnya. Dia adalah Cut Nabila Azhar adalah mahasiswa Fakultas Kedokteran (FK) USU stambuk 2009. Meski masih tergolong muda, Nabila adalah mahasiswa yang aktif. Tak hanya kuliah, ia juga seorang model. Ia kerap lenggak-lenggok di cat walk nasional bahkan panggung hiburan Singapura dan Malaysia. Selain itu, mahasiswa semester tujuh ini juga berstatus pemenang ajang JakaDara Utama Kota Medan 2009. Sebuah ajang yang diadakan Dinas Pariwisata Kota Medan tiap setahun sekali. Nabila juga peraih gelar Puteri SUMUT 2010 dan Runner Up 2 Puteri SUMUT terfa­ vorit 2010. Sejak kecil, Nabila sudah pelajari banyak jenis tetarian. Tari daerah Me­ layu, Batak Toba, Simalungun hingga caca, salsa dan rumba. Saat SMP Nabila mulai mema­ suki dunia model. Ibu Nabila, Chairani Shariff,­ sengaja menceburkan anaknya yang saat itu punya sedikit masalah dengan berat badan. “Dulu Nabila itu gemuk, belum tau dandan, makanya saya suruh ikut lomba modeling biar termoti­ vasi untuk kurus,” kenang Chairani. Wirausahawan Andal Di balik bakat seni yang ia miliki, diam-diam Nabila juga tertarik pada du­ nia bisnis. Chairani teringat, saat Nabila berusia 5 atau 6 tahun, keluarganya sempat keheranan karena harus mem­ bayar tagihan telepon rumah sebesar 500 ribu rupiah. “Zaman itu sudah mahal. Kami heran karena pas dicek, enggak ada nomor yang aneh-aneh. Cuma nomor rumah mami dan kakak saya,” tutur Chairani. Selidik punya selidik, ternyata Nabila kecil pelakunya. Ia, secara diam-diam, menelepon nenek atau tantenya setiap pagi. Yang dibicarakan bukan topik yang biasa diobrolkan anak seusianya. “Dia ngobrol tentang kurs uang sama neneknya, entah tahu dari mana pun saya tak tahu,” ujar Chairani. Saat ini, Nabila juga tengah mengge­ luti usaha baru di bidang kuliner. Ia men­

jual risoles. Pasar produksinya bukan lagi teman kampus atau tetangga rumah, tapi sampai ke Singapura dan Malaysia. “Awalnya saya kurang yakin juga dengan usaha ini. Karena risoles buatan saya itu cukup mahal harganya. Takut tidak ada yang mau beli,” pungkas Nabila, Selasa (16/10). Namun ketakutan Nabila tak terbukti, tak dinyana risoles buatannya malah berkembang jadi usaha rumahan beromzet puluhan juta. Ia jual risoles-nya per paket seharga Rp 55 ribu. Dalam satu paketnya berisi sepuluh buah dan bisa laku sepuluh hingga 20 paket per hari. Risoles itu sengaja dikenalkan ke pasar sebagai buah tangan, sehingga baru dibuat ketika ada pesanan. “Biasanya lebih banyak pesan yang belum digoreng untuk jadi oleholeh,” cerita Nabila. Untuk sementara, Nabila masih menjadikan risolesnya sebagai usaha rumahan. “Yang bantuin aku buat, juga masih orang rumah. Soalnya, di rumah pun udah cukup ribet. Takutnya, makin keteteran kalau buat outlet,” tambah Nabila. Pendidikan Nomor Satu Meski sukses sebagai entertainer sekaligus usahawan, Nabila tetap menomorsatukan pendidikan. “Di entertainment ini kan jual tampang ya, dan enggak selamanya kita cantik dan muda. Jadi pendidikan itu memang penting untuk masa depan,” lontarnya. Di kampus sendiri, Nabila mengaku tidak terlalu aktif mengikuti organi­sasi kampus. Pernah suatu kali, Nabila mendapatkan tawaran bermain film dari suatu rumah produksi saat sedang berli­ bur dengan keluarga di Jakarta. Kesem­ patan itu terpaksa ditolak karena jadwal yang diberikan pihak rumah produksi tersebut terbentur dengan jadwal isi Kartu Rencana Studi (KRS). Chairani sendiri tetap menanamkan pentingnya pendidikan ke anak bung­ sunya. “Percuma kalau kita cantik tapi enggak pintar, enggak bakal bertahan lama kecantikan itu,” tandasnya. Nabila sendiri tak berharap dokter sebagai pekerjaan utama kelak, meski tertarik mengambil fokus sebagai spe­ sialis kandungan untuk spesialis nanti. Ia lebih tertarik pada dunia bisnis yang menurutnya lebih mengasyikan. “Kalau aku, maunya dokter itu sebagai skill aja, bukan sumber cari duit,” tutupnya. IKLAN


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.