ERUPSI Volume 10 | Oktober 2016
Hutan Rawa Gambut ŠAchmad Ridha Junaid
Jaringan Konservasionis Muda Indonesia
Goresan:
Pentingnya Melindungi Hutan Rawa Gambut Indonesia Dalam Perspektif Biodiversitas Oleh Achmad Ridha Junaid
www.tamboramuda.org
tambora.muda@gmail.com
ERUPSI Vol. 10 | www.tamboramuda.org
1
u co us eb tic Nyc
ca ng ©
Cha irun as Adha Putra
konten 1 6 12 13 17 18
1
GORESAN TAMU TAMBORA KONFERENSI SEMINAR Vacancy GRANT
ERUPSI Vol. 10 | www.tamboramuda.org
G
GORESAN Pentingnya Melindungi Hutan Rawa Gambut Indonesia Dalam Perspektif Biodiversitas Oleh e-mail
: Achmad Ridha Junaid - Ornitologist, Fauna & Flora International - Indonesia Programme : achmad.ridha.junaid@gmail.com
T
idak dapat dipungkiri bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang sangat kaya akan sumber daya alamnya. Salah satunya adalah ekosistem hutan rawa gambut. Ekosistem ini merupakan ekosistem yang sangat unik dan umumnya terdapat di kawasan tropis dengan luas total mencapai 440.000 km2. Sekitar 60% diantaranya terdapat di Asia Tenggara seperti Thailand, Malaysia, Brunei, dan proporsi terbesar terdapat di Indonesia1,2.
dengan diameter pohon yang kecil dan tidak dapat tumbuh tinggi. Disisi lain, kandungan organik tanah yang tinggi menyebabkan kondisi air menjadi sangat asam (pH 4 atau lebih rendah). Pada bagian bagan tepi lahan gambut biasanya masih mendapatkan nutrisi dari tanah mineral dan air hujan sehingga vegetasi di atasnya masih dicirikan dengan pohon berdiameter besar dan mampu tumbuh tinggi2.
Terbentuk dari akumulasi materi organik terutama sisa tanaman berkayu yang tidak terdekomposisi secara sempurna karena tergenangi oleh air. Proses ini terjadi pada daerah dengan drainase yang kurang baik, seperti daerah yang cekungan atau lembah, dimana materi organik terakumulasi selama ribuan tahun hingga tutupannya melebih ketinggian permukaan air tanah. Sebagai hasilnya, terbentuk lahan gambut berbentuk kubah (ombrogenus) yang kedalaman kubah gambutnya (peat dome) mampu mencapai 20 m. Lahan gambut ini bertindak sebagai reservoir raksasa dan pada daerah peat dome, kandungan nutrisi utamanya hanya berasal dari serapan air hujan sehingga memiliki karakter oligotrofik karena input mineral yang sangat rendah. Kondisi tersebut juga yang menyebabkan vegetasi peat dome dicirikan
Dua dekade lalu, atau mungkin hingga saat ini, akses yang sulit dan anggapan bahwa hutan rawa gambut mendukung lebih sedikit keanekaragaman biodiversitas dibandingkan hutan diatas tanah mineral, menjadi alasan ekosistem ini kurang dilirik dan mendapat perhatian dari banyak ilmuwan. Pada sisi lain, terdapat anggapan bahwa ekosistem ini adalah hamparan yang kurang memiliki nilai penting sehingga perlu dikonversi agar dapat menguntungkan bagi masyarakat lokal dan negara. Disaat masih banyak aspek dari hutan rawa gambut yang belum dapat dipahami dengan baik dan perannya masih dikesampingkan, sebagian besar kawasannya telah menghilang akibat perambahan, kebakaran dan konversi lahan menjadi perkebunan dan industri. ERUPSI Vol. 10 | www.tamboramuda.org
1
Namun dalam satu dekade terakhir mulai banyak perhatian yang tertuju kepada hutan rawa gambut di Indonesia maupun global karena perannya sebagai “gudang� yang dapat menyimpan karbon dalam jumlah yang sangat besar dan berpotensi untuk terlepas ke atmosfer. Hutan rawa gambut di Indonesia sendiri diperkirakan menyimpan karbon sebanyak 55 gigaton3,4. Nilai tersebut bahkan enam kali lebih besar dibandingkan dengan emisi karbon hasil pembakaran bahan bakar fosil pada tahun 20061. Dengan potensi ini, hutan rawa gambut di Indonesia kemudian menjelma menjadi “bom waktu emisi karbon� yang dapat meledak jika deforestasi secara masif terus terjadi. Hanya dari aspek penyimpanan karbon saja, sudah tidak ada keraguan lagi akan peran vital yang dimiliki hutan rawa gambut. Kemudian akan berkali lipat peran pentingnya jika menilik kehidupan yang berjalan di atasnya.
Kondisi hutan rawa gambut yang telah terdegradasi. Didominasi oleh tumbuhan pandan dan hanya tersisa sedikit pepohonan besar. ŠAchmad Ridha Junaid
Meskipun keanekaragaman biodiversitas rendah akibat kandungan nutrisi tanah dan produktivitas rendah2,5, hutan rawa gambut di Indonesia menjadi tempat perlindungan bagi banyak biodiversitas dataran rendah. Ekosistem ini juga mendukung banyak spesies langka, spesies terancam dan spesies yang sangat terspesialisasi dengan ekosistem ini. Beberapa diantaranya adalah mamalia besar karismatik yang statusnya kritis atau critically endangered (CR) berdasarkan IUCN Red List seperti seperti harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) dan orangutan (Pongo spp.). Spesies yang berstatus terancam atau Endangered (EN) seperti tapir (Tapirus indicus),
2
ERUPSI Vol. 10 | www.tamboramuda.org
macan dahan (Neofelis diardi) dan bekantan (Nasalis larvatus) juga menjadikan ekosistem ini sebagai habitatnya6,7. Salah satu kawasan yang masih menyisakan hutan rawa gambut yang cukup luas di Pulau Sumatera terdapat di Provinsi Riau. Hutan rawa gambut di kawasan ini setidaknya mendukung 4 dari 6 spesies kucing liar yang dapat ditemukan di Sumatera, yaitu harimau sumatera, macan dahan, kucing batu (Pardofelis marmorata) dan kucing kuwuk (Prionailurus bengalensis)8. Keempat kucing liar tersebut menjadi sangat rentan mengingat laju hilangnya tutupan hutan rawa gambut di Riau cukup tinggi terutama diakibatkan oleh alih fungsi lahan menjadi lahan perkebunan. Selain itu, kucing tandang (Prionailurus planiceps) yang berstatus terancam juga ditemukan di ekosistem serupa di kawan Taman Nasional Berbak, Jambi. Hutan rawa gambut juga sangat penting untuk konservasi beberapa jenis primata. Di Taman Nasional Gunung Palung, Kalimantan Barat, hutan rawa gambut primer memiliki kepadatan sarang (49% lebih banyak) dan jumlah individu (31% lebih banyak) orangutan kalimantan yang lebih banyak dibandingkan dengan hutan dataran rendah di atas tanah mineral. Sementara itu, hutan rawa gambut di Sebangau, Kalimantan Tengah mampu mendukung populasi tunggal orangutan terbesar di Kalimantan2. Hutan rawa gambut juga penting bagi konservasi jenis primata lainnya seperti surili serawak (Presbytis chrysomelas) yang juga ditetapkan sebagai spesies dengan status CR serta empat spesies endemik dari Pulau Siberut yaitu bilou (Hylobates klossi), lutung mentawai (Presbytis potenziani), beruk mentawai (Macaca siberu) dan monyet ekor babi (Simias concolor)9,10. Selain mamalia dan primata, hutan rawa gambut juga memiliki peranan penting bagi habitat banyak burung residen dan habitat persinggahan burung migran. Tidak kurang dari 30% burung di seluruh daratan Kalimantan dan Sumatera dapat ditemukan di ekosistem hutan rawa gambut2,11. Termasuk di dalamnya adalah rangkong gading (Rhinoplax vigil) yang saat ini ditetapkan sebagai spesies CR dan tiga spesies EN lainnya yaitu mentok rimba (Cairina scutulata), bangau storm (Ciconia stormi) dan bangau bluwok (Mycteria cinerea). Tujuh spesies burung rentan/vulnerable (VU) dan 58 spesies
Setornis criniger ŠAchmad Ridha Junaid
burung mendekati terancam/near threatened (NT) juga memanfaatkan hutan rawa gambut sebagai habitatnya2,11. Spesies VU seperti sempidan merah (Lophura erythrophthalma) dan puyuh hitam (Melanoperdix nira) dianggap perlu mendapat perhatian yang lebih untuk konservasi mengingat wilayah jelajah spesies tersebut yang tidak luas dan sangat bergantung pada habitat hutan. Demikian juga dengan empuloh paruh-kait (Setornis criniger; VU) dan asi dada-kelabu (Ophrydornis albogularis; NT) yang merupakan spesies burung spesialis habitat hutan rawa gambut. Kondisi yang serupa yang ditemukan pada kelompok amfibi dan reptil, tidak kurang dari 2 spesies EN dan 5 spesies VU mampu beradaptasi pada kondisi air asam hutan rawa gambut2. Selain terancam akibat hilangnya habitat, spesies EN seperti kura-kura berduri (Heosemys spinosa) dan biuku (Orlitia borneensis) terancam oleh aktivitas perburuan. Tidak jarang juga spesies tersebut terperangkap ke dalam bubu dan tajur (alat penangkap ikan) yang dipasang oleh nelayan yang kemudian dijual ke pengepul. Spesies VU yang dapat ditemukan di hutan rawa gambut seperti king kobra (Ophiophagus hannah), kura-kura batok (Cuora amboinensis), labi-labi (Amyda cartilaginea), buaya senyulong (Tomistoma schlegelii)11. Namun secara umum, amfibi dan reptil merupakan kelompok yang masih belum banyak diketahui dan kurang tereksplorasi di ekosistem unik ini, sehingga masih memungkinkan ditemukannya catatan pertemuan baru atau bahkan penemuan spesies baru yang terspesialisasi pada habitat tersebut. Sebagai contoh katak rawa (Hylarana rawa) yang baru saja terdeskripsi dan dikenal dalam dunia sains pada tahun 2012. Ditemukan di Suaka Margasatwa Giam-Siak Kecil, Riau yang masih merupakan ekosistem hutan rawa gambut. Hingga saat ini spesies tersebut diketahui hanya memiliki persebaran yang kecil di kawasan Sumatera dan berasosiasi dengan habitat berair asam12. Status keterancamannya pun masih belum ditetapkan oleh IUCN Red List karena dibutuhkan survei ekologi lebih lanjut. Diantara kelompok fauna lainnya, ikan menempati kekayaan spesies endemik terbanyak untuk habitat hutan rawa gambut. Dalam salah studi yang dilakukan Posa dkk. 2011, menyebutkan bawah dari 219 spesies ikan yang ditemukan, 80 spesies diantaranya ERUPSI Vol. 10 | www.tamboramuda.org
3
terbatas hanya pada sungai hitam ekosistem rawa gambut. Salah satu diantaranya yaitu spesies ikan miniatur, Paedocypris progenetica, yang ditemukan di Sumatera dan juga ditetapkan sebagai hewan vertebrata terkecil di dunia2,13. Sejak tahun 1993, para ahli ikan telah menetapkan setidaknya 45 spesies ikan miniatur di seluruh perairan air tawar Asia, 11 spesies diantaranya terspesialisasi di ekosistem rawa gambut. Seiring dengan bertambahnya penemuan baru, jumlah tersebut terus bertambah menjadi 20 spesies dan beberapa diantaranya masih menunggu untuk dideskripsikan sebagai spesies baru13. Dari pemaparan singkat beberapa kelompok fauna saja kita sudah mendapatkan gambaran bahwa hutan rawa gambut mendukung banyak spesies terancam, spesies endemik dan spesies yang terspesialisasi pada ekosistem ini. Bahkan beberapa spesies yang terancam dan hidup dalam populasi kecil mungkin saja masih belum terdeteksi dikarenakan masih minimnya eksplorasi biodiversitas di ekosistem ini. Hal tersebut juga sekaligus menggambarkan peran penting hutan rawa gambut sebagai benteng pertahanan dari kepunahan bagi spesies terancam yang hidup di dalamnya. Namun hingga saat ini, terlepas dari peran pentingnya sebagai gudang karbon, hutan rawa gambut masih dianggap sebagai ekosistem dengan prioritas konservasi yang rendah khususnya di Indonesia. Masih banyak informasi terkait nilai penting biodiversitas hutan rawa gambut yang belum diketahui dan ini menjadi peluang besar bagi semua pihak termasuk kader konservasi muda untuk mengeksplorasi ekosistem unik ini sebelum tutupan hijaunya menghilang bersama dengan deru mesin berat yang semakin keras. Daftar pustaka 1. Miettinen, J., Shi, C. & Liew, S. C. Two decades of destruction in Southeast Asia’s peat swamp forests. Front. Ecol. Environ. 10, 124–128 (2012). 2. Posa, M. R. C., Wijedasa, L. S. & Corlett, R. T. Biodiversity and Conservation of Tropical Peat Swamp Forests. Bioscience 61, 49–57 (2011). 3. Page, S. E. et al. A record of Late Pleistocene and Holocene carbon accumulation and climate change from an equatorial peat bog (Kalimantan, Indonesia): implications for past, present and future carbon dynamics. J.
4
ERUPSI Vol. 10 | www.tamboramuda.org
Quat. Sci. 19, 625–635 (2004). 4. Jaenicke, J., Rieley, J. O., Mott, C., Kimman, P. & Siegert, F. Determination of the amount of carbon stored in Indonesian peatlands. Geoderma 147, 151–158 (2008). 5. Fujita, M. S. et al. Mammals and Birds in Bukit batu Area of Giam Siak Kecil - Bukit Batu Biosphere Reserve, Riau, Indonesia. Kyoto Work. Pap. Area Stud. 128, 1–73 (2014). 6. Yule, C. M. Loss of biodiversity and ecosystem functioning in Indo-Malayan peat swamp forests. Biodivers. Conserv. 19, 393–409 (2010). 7. Panjaitan, C. N., Perbatakusuma, E. A., Laura, D. & Mayers, K. Technical Report: Mammalian Biodiversity Survey in Berbak National Park 2007-2012. (2012). 8. Sunarto, S., Kelly, M. J., Parakkasi, K. & Hutajulu, M. B. Cat coexistence in central Sumatra: Ecological characteristics, spatial and temporal overlap, and implications for management. J. Zool. 296, 104–115 (2015). 9. Phillips, V. D. Peatswamp ecology and sustainable development in Borneo. Biodivers. Conserv. 7, 651–671 (1998). 10. Quinten, M. C., Waltert, M., Syamsuri, F. & Hodges, J. K. Peat swamp forest supports high primate densities on Siberut Island, Sumatra, Indonesia. Oryx 44, 147 (2010). 11. FFI. Biodiversity Survey Report in Restorasi Eksistem Riau (unpublished). (2016). 12. Matsui, M., Mumpuni & Hamidy, A. Description of a New Species of Hylarana from Sumatra (Amphibia, Anura). Curr. Herpetol. 31, 38–46 (2012). 13. Kottelat, M., Britz, R., Hui, T. H. & Witte, K.E. Paedocypris, a new genus of Southeast Asian cyprinid fish with a remarkable sexual dimorphism, comprises the world’s smallest vertebrate. Proc. Biol. Sci. 273, 895–899 (2006).
Hylarana rawa ©Achmad Ridha Junaid
ERUPSI Vol. 10 | www.tamboramuda.org
5
T
TAMU TAMBORA Catatan Lapangan: Survei Persepsi dan Konflik Komodo di Pota dan Riung, Flores Oleh e-mail
: Reza Septian, Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Muhammadiyah Prof.DR.HAMKA : reza.septianm@gmail.com
Tari caci, Tari perang dari Flores ŠReza Septian
Bukan tanpa alasan saya di sana. Sebuah kesempatan besar yang membawa saya datang ke pulau eksotis ini. Kesempatan besar untuk dapat bergabung dalam sebuah riset.
D
ari desa ke desa, kemudian masuk ke dusun-dusun hingga singgah dari satu rumah ke rumah lain, itulah yang saya rasakan selama satu bulan tinggal di Flores. Tepatnya di Pota dan Riung, Flores Utara. Bermacam kepribadian, profesi dan suku saya temui di sana . Tak seperti yang diduga sebelumnya. Semua berbaur, beramah tamah penuh kehangatan.
Bermula dari keingintahuan saya mengenai dunia konservasi. Muncul banyak pertanyaan dalam benak saya: Apa itu konservasi?, Apa saja kerja seorang konservasionis? Kemudian membayangkan. Bagaimana rasanya menjadi seorang konservasionis? Pada akhirnya kesempatan itu datang, kesempatan bergabung menjadi volunteer dalam sebuah studi sosial
6
ERUPSI Vol. 10 | www.tamboramuda.org
bersama para konservasionis yang sudah ahli di bidangnya. Kesempatan ini merupakan sebuah pengalaman yang sangat luar biasa bagi saya. Saya terpilih menjadi relawan Studi Sosial Konflik manusia dengan Komodo di Flores Utara selama satu bulan bersama tim gabungan Komodo Survival Program. Proses pemilihan relawan ini diawali dengan menyeleksi CV pelamar, dari 156 aplikan dipilih 6 calon volunteer untuk diwawancarai. Hasil wawancara dan beragam masukkan serta diskusi mengenai pemilihan relawan ini akhirnya tim seleksi memilih 2 volunteer. Pada mulanya, saya merasa pesimis saat mengajukan diri untuk menjadi relawan. Bagaimana tidak? Saya tidak memiliki latar
belakang biologi maupun ekologi –atau disiplin yang relevan dengan konservasi,– saya hanya mahasiswa jurnalisitk yang minim pengalaman konservasi. Tapi satu hal yang menguatkan saya adalah rasa keingintahuan yang besar. Benar saja, rasa keingintahuan yang besar tentang dunia konservasi membawa saya terlibat dalam studi sosial ini. Tim gabungan studi sosial ini terdiri dari tiga orang yang memiliki disiplin ilmu yang berbedabeda yaitu Ardiantiono (Biologi UI), Shafia Zahra (Biologi UI) dan Puspita I. Kamil (Psikologi UI). Staf Komodo Survival Program yaitu Achmad Ariefiandy., Deni Purwandana, dan Sanggar A. Nasu. Meskipun mereka memiliki disiplin ilmu berbeda tetapi punya tujuan yang sama. Kemudian rekan setia saya selama satu bulan, Maria E. Jamu. Maria (Manajemen Universitas Sanata Dharma) adalah satu relawan lainnya yang terpilih dalam studi ini. Kelebihan utama yang Maria miliki namun tidak dimiliki oleh kami yaitu kemampuannya dalam berbahasa Manggarai. Maria banyak membantu kami dalam hal berbahasa daerah, maklum saja Ia putri asli Manggarai.
antara ternak masyarakat dan Komodo. Selain dua hal tersebut, Tim memberikan edukasi kepada warga dan siswa-siswi sekolah dasar tentang pelestarian Komodo melalui film dan buku cerita. Dua lokasi yang menjadi sampel riset ini adalah Pota dan Riung, Flores Utara, NTT. Di Pota, Kecamatan Sambi Rampas Tim memilih lima desa dan satu kelurahan yaitu Desa Gololijun, Desa Nampar Sepang, Desa Nanga Baur, Desa Nanga Mbaling, Desa Nanga Baras dan Kelurahan Pota. Untuk di Kecamatan Riung, Tim memilih dua desa dan satu kelurahan yaitu Desa Sambinasi, Desa Tadho dan Kelurahan Nangamese. Pemilihan lokasi tersebut berdasarkan hasil pemetaan yang terindikasi terdapat keberadaan Komodo dan memiliki tingkat konflik manusia dengan Komodo yang tinggi. Terbukti dari pengakuan beberapa warga di Kecamatan Sambi Rampas, pada tahun 1980 hingga 1990an banyak Komodo yang memangsa ternak warga. Biasanya ternak milik warga yang diserang atau dimangsa Komodo itu pada saat digembalakan di kebun atau di hutan dekat
Studi sosial Konflik Manusia dengan Komodo ini merupakan lanjutan dari rangkaian seri penelitian sebelumnya di Pulau Longos. Menariknya, riset kali ini tidak hanya terpaku pada monitoring biawak Komodo saja, tapi fokus juga pada sosial masyaraktnya. Mengapa demikian? Masyarakat mempunyai andil besar dalam upaya menjaga dan melestarikan lingkungan. Kemudian pertanyaan besar dalam riset ini adalah apakah manusia dapat berdampingan hidup dengan Komodo? Tim melakukan survey konflik dengan alat ukur berupa kuesioner dan mewawancarai warga di setiap desa. Kemudian, Tim juga mengenalisis persepsi masyarakat terhadap lingkungannya termasuk seperti apa pandangannya terhadap Komodo di daerahnya. Perlu diketahui, konflik yang dimaksud bukan hanya singgungan antara masyarakat dan Komodo, tetapi juga singgungan
Bersama dengan tim saat mewawancarai beberapa orang masayarakat setempat ŠReza Septian
gunung. Meskipun satu tahun belakangan ini peristiwa tersebut sudah jarang terjadi. Banyak warga yang geram dengan maraknya serangan Komodo terhadap ternak. Beberapa mencoba memburu dan membunuh Komodo dengan jerat dan perangkap yang mereka ERUPSI Vol. 10 | www.tamboramuda.org
7
pasang. Tak jarang, Komodo kerap menjadi “kambing hitam” saat ternak salah seorang warga terluka atau terbunuh. Namun, ketika dikonfirmasi ulang dengan melihat langsung luka pada ternaknya, itu merupakan serangan anjing dan babi hutan. Minimnya sosialisasi dan pemahaman warga terhadap perlindungan Komodo menjadi salah satu faktor maraknya perburuan Komodo kala itu. Tapi berjalannya waktu, banyak warga yang mulai menyadari pentingnya keberadaan hewan langka tersebut. Perlu diketahui bahwa
keberadaan Komodo di Flores Utara ini memang perlu banyak perhatian. Akibatnya, masih banyak warga yang mengagap hewan tersebut liar dan menjadi hama karena sering menyerang ternak. Selain survei konflik, Tim melakukan edukasi ke sekolah-sekolah di setiap desa. Memberikan wawasan baru kepada siswa tentang pelestarian Komodo. Melalui buku cerita dan pemutaran film,. Dengan buku cerita, diharapkan dapat mengedukasi para generasi muda di Pota dan Riung untuk menyadari bersama mengenai
Kegiatan edukasi ke sekolah dasar untuk meningkatkan awareness generasi muda dalam pelestarian komodo ©Reza Septian
pelestarian Komodo. Agar mereka tahu betapa pentingnya keberadaan Komodo di daerahnya. Selain itu, kami berbagi seputar pengalaman yang telah Tim KSP lakukan selama di Flores. Mulai dari meneliti, melakukan pengukuran dan penghitungan populasi Komodo. Sampai akhirnya terjun langsung ke masyarakat seperti ini. Banyak hal menarik yang Saya dapatkan selama ikut tergabung dalam studi ini. salah satunya mengenai kehidupan serta budaya masyarakat Flores. Tidak seperti yang Saya bayangkan sebelumnya, toleransi dan kerukunan agama masyarakatnya sangat kuat sekali. Hal yang mungkin sudah sulit ditemukan di kota-kota besar. Di balik segala kekurangannya, masyarakat di sini sangat menjunjung kerukunan dalam hidup beragama.
8
ERUPSI Vol. 10 | www.tamboramuda.org
Saya menyadari upaya konservasi memang tidak bisa dilakukan dengan sepihak saja. Lebih dari itu, peran serta partisipasi masyarakat setempat akan jauh lebih baik dan efektif. Selain itu, manfaatnya pun akan langsung dapat dirasakan oleh mereka. Saya jadi teringat ucapan Tim saat itu, “Kita tidak bisa serta merta mengatakan bahwa Komodo ini dilindungi, tapi tidak mendatangkan manfaat untuk masyarakat. Namun, justru mengancam ternak-ternak mereka. Maka dari situ harus ada upaya nyata misalnya membuat mitigasi konflik, membekali masyarakat dengan keterampilan, dan upaya pendekatan sosial lainnya. Dengan demikian, masyarakat akan merasakan manfaatnya. Tanpa kita minta untuk menjaga Komodo, mereka akan sendirinya sadar dengan keberadaan Komodo dapat mendatangkan manfaat.untuk daerahnya”
Berkumpulnya Generasi Muda Pejuang Konservasi Dalam Student Conference On Conservation Sciences (SCCS), Bengaluru 2016 Oleh e-mail
: Sandy Leo, Biologi (2012) Universitas Indonesia : sandy.leo@sci.ui.ac.id
“Permasalahan mengenai keanekaragaman hayati sejatinya merupakan isu global yang harus diperhatikan bersama oleh setiap negara di dunia untuk menciptakan alam yang lestari dan berkelanjutan�
Student Conference on Conservation Sciences (SCCS) merupakan sebuah ajang ilmiah yang mempertemukan konservasionis muda dengan praktisi konservasi biodiversitas di seluruh dunia. SCCS diadakan setiap tahun di berbagai belahan dunia, yakni meliputi Cambridge, Australia, Bangalore, Beijing, New York dan Hungaria. Tahun ini, Sandy Leo, Anggun Aiyla Nova dan Intan Nurazzizah yang merupakan mahasiswa dari Universitas Indonesia berkesempatan untuk menjadi delegasi Indonesia mengikuti kegiatan SCCS yang dilaksanakan di Bangalore, India. SCCS Bangalore merupakan cabang dari SCCS Cambridge, Inggris yang dimulai sejak tahun 2010, tahun 2016 ini merupakan tahun ke-tujuh dari pelaksanaan SCCS Bangalore. SCCS Bangalore 2016 berlangsung pada tanggal 21-24 September 2016, bertempat di JN Tata Auditorium, Indian Institute of Sciences (IISc). Konferensi ini diikuti oleh Âą 15 presenter oral dan 70 presenter poster yang berasal dari berbagai negara, seperti: India, Sri Lanka, Nepal, Papua Nugini, Indonesia dan Belanda. Beragam talk show, workshop dan presentasi juga disajikan dalam konferensi ini. Workshop
yang disajikan tentunya menarik dan dapat menunjang peserta untuk menerapkannya dalam praktik konservasi. Terdapat workshop yang mengajarkan penggunaan beberapa software (seperti: R Statistic, QGIS, CAD, MEGA dan Siriema), ada pula workshop yang mengajarkan desain penelitian dalam ekologi, mengkalkulasi keanekaragaman filogeni, cara menulis proposal untuk pengajuan grant (hibah), menyampaikan pesan konservasi melalui tulisan dan fotografi, taksonomi herpetofauna dasar dan masih banyak lagi workshop lainnya. Setiap peserta diberikan kebebasan untuk menghadiri workshop yang dapat menunjang kebutuhannya, akan tetapi peserta dibatasi hanya bisa mengikuti satu workshop setiap harinya. Selain workshop, sesi presentasi baik secara oral maupun poster juga tidak kalah menarik, beragam penelitian dapat disajikan dengan baik oleh masing-masing presenter. Sebagian besar penelitian mengangkat topik mengenai hewan karismatik di India, seperti: singa, gajah, harimau dan Cetacean (kelompok mamalia laut seperti lumba-lumba dan paus). Tetapi, ada pula
ERUPSI Vol. 10 | www.tamboramuda.org
9
yang membahas mengenai ekologi lanskap, genetika dan etnobotani. Semua penelitian yang dipresentasikan dapat menjelaskan berbagai permasalahan yang sedang dihadapi di setiap tempat, serta solusi yang ikut disimpulkan untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Terdapat beberapa permasalahan yang menyangkut isu konservasi serupa di beberapa Negara dan menjadi topik diskusi yang sangat menarik saat berlangsungnya SCSS. Isu konservasi yang menarik diskusi antara lain: perburuan liar, degradasi habitat dan ekosistem dan konflik antara manusia dan hewan liar. Permasalahan dalam konservasi merupakan permasalahan yang terjadi secara global yang harus diperhatikan serta dicari solusi penyelesaiannya bersama-sama. Solusi yang didapatkan tentu harus berpihak pada seluruh elemen yang ada, baik masyarakat, lingkungan dan satwa liar yang hidup di dalamnya. Sehingga, seluruh komponen dapat terpelihara dengan baik, mampu hidup berdampingan dan sumber daya alam yang dihasilkan dapat digunakan secara bijak dan berkelanjutan. Bagi kami, mendapatkan kesempatan untuk mengikuti konferensi internasional seperti SCCS Bangalore ini merupakan sebuah pengalaman yang sangat berharga. Mampu membuka wawasan untuk mengetahui apa isu konservasi yang terjadi pada belahan bumi lain dan sangat menyenangkan dapat memiliki banyak sahabat baru dengan latar belakang yang hebat dan beragam, seperti master dan doktor. Semoga generasi muda Indonesia lainnya dapat segera menyiapkan presentasi dan berangkat menuju konferensi internasional di berbagai belahan dunia.
10
ERUPSI Vol. 10 | www.tamboramuda.org
Theloderma margaritifer ŠFartis Alhadi
ERUPSI Vol. 10 | www.tamboramuda.org
11
K
KONFERENSI Simposium Forest Share 2 HMH ‘SELVA’ ITB Waktu Lokasi
: 19-20 November 2016 : Kampus ITB Jatinangor
Simposium FOREST SHARE 2 yang bertemakan Forest Restoration: Challenges and Opportunities mengangkat isu-isu penting seputar restorasi hutan seperti: »» Pengelolaan Restorasi Hutan Gambut »» Restorasi Hutan dari Berbagai Praktisi »» Talkshow Restorasi Hutan berbasis Masyarakat Selain simposium, akan ada field trip yang akan dilakukan setelahnya. Tunggu apalagi? Cari tahu infonya disini: http://www. tamboramuda.org/2016/10/hmh-selva-itbpresents-forest-share-2.html
Konferensi Peneliti dan Pemerhati Burung ke-3 Deadline : 31 Desember 2016 (Abstrak) Lokasi : Kampus Kampus Universitas Udayana, Bali Menghadirkan topik utama simposium meliputi burung di habitat alaminya, burung di luar habitat alaminya atau di habitat yang dimodifikasi, serta topik khusus tentang burung Curik Bali. Tanggal penting : »» 31 Desember 2016 : batas akhir penerimaan abstrak »» 10 Januari 2017 : pengumuman abstrak diterima »» 1 Februari 2017 : Batas akhir penerimaan naskah lengkap (full paper) »» 2-3 Februari 2017 : symposium »» 4 februari 2017 : workshop Biaya symposium : mahasiswa dan umum : 150rb – 300rb; workshop: 100rb CP: Eswaryanti K Yuni (081239992669)/email: luh_eswaryanti@unud.ac.id Info selanjutnya: http://www.tamboramuda. org/2016/10/konferensi-peneliti-danpemerhati.html
12
ERUPSI Vol. 10 | www.tamboramuda.org
Leucopsar rothschildi ŠNuruliawati
S
SEMINAR Seminar Nasional dan Workshop : Eksistensi satwa endemik di rumah sendiri, Curik Bali Waktu Lokasi
: 12-13 November 2016 : Auditorium GMSK, Kampus IPB Dramaga, Bogor
Seminar dan workshop ini merupakan salah satu upaya dalam mensosialisasikan eksistensi satwa liar di Indonesia yang keberadaannya terancam punah. Curik bali merupakan hewan yg bisa dan boleh dibudayakan. Mari gali lebih dalam informasi mengenai satwa endemik Indonesia khususnya Curik bali di Seminar Nasional dan Workshop Himpro Satwa Liar FKH IPB Daftarkan dirimu sekarang! Cp : I Putu Gede Kusuma Yuda (081293731981)/ Line : tudekusumayuda; Jevin Nur Effendy (081310143975)/Line: vineffendy Info selengkapnya: http://www.tamboramuda.org/2016/10/ seminar-nasional-dan-workshop-2016. html ERUPSI Vol. 10 | www.tamboramuda.org
13
122 Tahun Perayaan Musem Zoologi Bogor Waktu Lokasi
: 9 -27 November 2016 : Museum Zoologi Bogor (MZB), Kebun Raya Bogor
Dalam rangka merayakan 122 tahun berdirinya, Museum Zoologi Bogor menyelenggarakan pameran, demo pembuatan taksidermi dan talkshow mengenai penelitian di MZB. Mengangkat materi terkait herpetofauna, mamalia dan seranggang. Info selanjutnya silahkan kunjungi laman berikut: http://www.tamboramuda. org/2016/10/perayaan-122-tahun-museum-zoologi-bogor.html
Seminar Nasional dalam Isu Isu Terbaru di Bidang Medis Satwa Primata Indonesia – IPB Deadline : 21 November 2016 (registrasi) Lokasi : Salak Tower Hotel, Bogor Seminar Nasional yang diangkat dari isu penyakit menular baru yang disebabkan oleh pathogen yang berevolusi. Ordo primate (manusia dan satwa primata) memiliki kemiripan karakteristik fisiologi dan genetic yang dapat beresiko menyebabkan penyebaran silang penyakit antar keduanya. Bidang medik konservasi merupakan salah satu bidang interdisipliner yang memfokuskan pada interkseksi antara lingkungan, manusia, dan dan non-manusia sebagai inang dan pathogen. Melalui medik konservasi dan ecohealth diharapkan dapat mempertahankan kesinambungan antara kesehatan dan kesejahteraan manusia dan hewan melalui ekosistem yang lebih sehat dan ekologi yang seimbang. Topik yang dapat dipilih antara lain : »» Beberapa info atau isu terkini pada satwa primate Indonesia »» Keberagaman satwa primate jenis kera, monyet, dan prosimian »» Medis konseravsi dan integrasi dengan kesehatan ekosistem Info selanjutnya: http://www.tamboramuda.org/2016/10/seminar-nasionaldalam-isu-isu-terbaru.html
14
ERUPSI Vol. 10 | www.tamboramuda.org
Pongo abelii ©Chairunas Adha Putra
ERUPSI Vol. 10 | www.tamboramuda.org
15
Seminar Nasional HIMAKOVA Waktu: 19 November 2016 Lokasi: Andi Hakim Nasution (AHN) IPB Darmaga, Bogor, Jawa Barat Mengangkat tema “Menggali Potensi Keanekaragaman Hayati dan Kearifan Lokal Masyarakat Setempat untuk Mendukung Pembangunan Berkelanjutan”, seminar ini akan mengungkap keajaiban biodiversitas flora, fauna, dan budaya masyarakat yang merupakan hasil kegiatan anggota HIMAKOVA, yaitu: Deklarasi IPB Sebagai Kampus Biodiversitas Pertama di Indonesia pada tanggal 22 April 2016 di Institut Pertanian Bogor, Jawa Bara SURILI (Studi Konservasi Lingkungan) yang dilaksanakan pada tanggal 13 Juli – 27 Juli 2016 di Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Bukit Baling, Provinsi Riau. Info lebih lengkap: http://www.tamboramuda.org/2016/10/seminar-nasionalhimakova-2016.html
16
ERUPSI Vol. 10 | www.tamboramuda.org
V
Vacancy Internship program with Misool Baseftin, Raja Ampat, Indonesia Batas waktu aplikasi : 15 November 2016 Lokasi : Raja Ampat, Indonesia Periode Internship : Nov 2016-May 2017 Program Internship bersama Misool meliputi kegiatan kegiatan sebagai berikut : »» Restorasi karang »» Pusat pengunjung »» Satu hari bersama ranger Persyaratan yang dibutuhkan adalah sebagai berikut : Fresh graduate, bersedia menjalani internship selama 6 bulan, mengirimkan dokumen sbb : CV, surat pernyataan kelulusan dan ijazah, surat lamaran, artikel mengenai project yang dipilih (max. 300 kata), surat keterangan kesehatan, bersedia ditempatkan di tempat terpencil. Kirim aplikasi ke : hyusamandra@yahoo.com/ dany_ichiiba@yahoo.co.id/ hikmah. baseftin@gmail.com Untuk informasi lebih lanjut: http://www.tamboramuda.org/2016/11/blog-post. html
ERUPSI Vol. 10 | www.tamboramuda.org
17
G
GRANT Future Conservationist Award - Conservation Leadership Programme Deadline : 28 November 2016; Lokasi : Asia dan Pasifik Grant penelitian hingga $12.500 akan diberikan kepada proyek konservasi dengan prioritas tinggi yang berjalan selama 3 hingga 12 bulan. Proyeknya harus meningkatkan pemahaman dan keterampilan, serta memperbaiki persepsi mengenai konservasi, dan menurunkan ancaman terhadap biodiversitas. Hasil dari penelitian juga dapat bermanfaat untuk rencana konservasi dan prioritasnya baik di level nasional maupun internasional. Indonesia salah satu negara di Asia dan Pasifik yang dapat mendaftar grant penelitian ini loh! Selengkapnya dapat membuka link berikut ini: http://www.tamboramuda.org/2016/11/conservation-leadershipprogram-future.html
18
ERUPSI Vol. 10 | www.tamboramuda.org
Pterois volitans ©Chairunas Adha Putra
ERUPSI Newsletter Team
Achmad Ridha Junaid
Zahrah Afifah
Nuruliawati “Nuy”
Putri Diana
ERUPSI Vol. 10 | www.tamboramuda.org
19
Potret matahari saat benca kabut asap 2015 ŠAchmad Ridha Junaid
Mari bergabung dalam jaringan Tambora, kunjungi
www.tamboramuda.org
20
Tambora Muda @tamboramuda
ERUPSI Vol. 10 | www.tamboramuda.org