Yard - Edisi 1, September 2017/First Edition, September 2017

Page 1

Edisi 01, September 2017

Bukan hal yang mudah untuk melakoni hidup di kota besar seperti Makassar. Ibu kota provinsi Sulawesi Selatan yang disebutsebut sebagai Gerbang Indonesia Timur itu menjadi mula dan muara akan banyak hal, termasuk halaman rumah. Hidup di kota saja sudah sulit, bagaimana dengan hidup di kawasan yang menjadi pusat aktivitas perkantoran dan mall sebuah kota, seperti di Kecamatan Panakukkang ini? Jalanan rumah yang kian menyempit serta halaman rumah yang makin terhimpit memaksa masyarakatnya, warga biasa, untuk terus memutar roda kreativitas agar bertahan hidup dan bersiasat akan kemungkinan-kemungkinan terburuk. Karena pada akhirnya kita tidak bisa berharap pada siapapun jika kapitalisme terus mendesak kita hingga ke dalam rumah. Jumardan Muhammad


K

ampung Paropo, Kampung Rama, dan perkampungan di Jalan Sukaria adalah tiga kawasan hunian padat di Kecamatan Panakkukang, Kota Makassar. Setengah abad lalu, tahun 1961, wilayah Panakkukang masih termasuk satu dari delapan kecamatan di Kabupaten Gowa. Sepuluh tahun kemudian keluar Peraturan Pemerintah No. 51/1971 tentang perluasan wilayah kotamadya Ujung Pandang sebagai ibukota provinsi Sulawesi Selatan. Berdasarkan PP tersebut Gowa akhirnya menyerahkan Kecamatan Panakkukang dan Tamalate beserta Desa Barombong (sebelumnya salah satu desa di Kecamatan Pallangga).1 Colombijn et.al 2 mengutip Jellinek (1991) kampung-kampung tak jarang hadir di perkotaan lebih sering merupakan wilayah pedesaan yang tercakup dalam perluasan ruang kota. Perkembang­an Panakkukang, terutama pada Paropo-Rama-Sukaria, seperti menegaskan itu. Sejak diperluas pada masa HM Daeng Patompo pada 1 September 1971, sekaligus

PENGANTAR mengganti nama dari “Makassar” ke “Ujung Pandang”, perkembang­ an permukiman Kota Makassar menjalar ke arah timur dan selatan. Pusat perekonomian yang awalnya berada di sekitaran kawasan bagian barat, tepatnya Kecamatan Wajo, bergerak ke bagian tengah, yakni Kecamatan Panakkukang.3 Hingga dasawarsa 1980, daerah ini masih berupa hamparan 4.000 hektare sawah tadah hujan, kampung kecil berpenghuni jarang, dan tempat mengeksekusi pencuri yang tertangkap di kampung sekitarnya, seperti Tamamaung, Borong, Kassi Kassi, dan Bontocinde. Panakkukang lantas berubah total sejak terbitnya keputusan DPRD Tahun 1974 yang menjadikannya sebagai pusat permukiman yang memenuhi persyaratan hidup sehat dan layak serta lengkap dengan berbagai sarana yang dikembangkan oleh PT Timurama.4 Kawasan Panakkukang kini menjadi pusat perdagangan barang dan jasa. Sejumlah usaha seperti mode dan kuliner berkembang di Jalan Boulevard dan Jalan Penga­

yoman, bahkan fenomena terakhir yang tampak adalah pertumbuhan hotel. 5 Tampaknya, kehadiran Mal Panakkukang yang menjadi pusat perbelanjaan tujuan utama di Makassar dan letaknya di bagian tengah Kota Makassar, berpe­ ngaruh besar atas kecenderungan ini. Kantor pusat pemerintahan Provinsi Sulawesi Selatan juga berada dalam area Kecamatan Panakkukang. Perkembangan Panakkukang ini lantas jadi dasar bagi kami untuk melihat bagaimana proses yang terjadi di (tiga) perkampungan Makassar terkait properti pribadi, terutama tanah, dengan menggunakan kata kunci “halaman rumah”, sebagai basis material hunian dan produksi. Benarkah kian dekatnya pusat perekonomian kota akan berpengaruh pada tanah dan hunian warga? Mungkin pertanyaan itu bisa saja tidak terjawab langsung lewat penelitian. Namun catatan-catatan yang dikumpulkan menjadi tumpuan berikutnya dalam meneliti kota, titik yang jadi perhatian Tanahindie.

Syarifuddin Dg. Kulle, Zainuddin Tika, Najamuddin, Sejarah Gowa Menentang Penjajah, Makassar: Pustaka Refleksi, 2007, hl. 19. Freek Colombijn et.al, “Kampung Perkotaan Indonesia: Kajian Historis-Antropologis terhadap Kesenjangan Sosial dan Ruang Kota”, dalam Johny A. Khusyairi dan La Ode Rabani (ed.), Kampung Perkotaan: Kajian Historis-Antropologis atas Kesenjangan Sosial dan Ruang Kota, Yogyakarta: New Elmatera, t.t., hl. xii. 3 Drs. Abu Hamid et.al, Perkampungan di Perkotaan sebagai Wujud Proses Adaptasi Sosial di Daerah Sulawesi Selatan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, Jakarta, 1985, hl. 21-23. 4 Disari dari Winarni KS, Makassar dari Jendela Pete-Pete, Makassar: Panyingkul! – Ininnawa, 2009, hl. 169-171. 5 “Penelitian Ekonomi Kreatif Makassar Tahun 2015”, Tanahindie – British Council, 2015, belum diterbitkan. 1 2

YARD diterbitkan oleh Tanahindie bekerja sama dengan Arts Collaboratory dan Stichting Doen. PENANGGUNG JAWAB Anwar Jimpe Rachman; REDAKTUR Ade Awaluddin Firman, Ahmad Musafir, Andi Ilmi Utami Irwan, Andi Muh. Nashrullah­, Arfan Rahman, Fauzan Al Ayyuby, Handi Nurdiawan, M Iqbal Burhan, Nurasiyah, Rafsanjani. ALAMAT REDAKSI Kampung Buku, Jalan Abdullah Daeng Sirua 192 E, Makassar, Indonesia 90231. Redaksi menerima sumbangan materi publikasi, seperti esai, karya sastra, karya foto, ilustrasi, dan komik melalui tanahindie@gmail.com - www.tanahindie.org


Tanahindie merekrut beberapa anak muda untuk meneliti, memot­ret, dan menggambar apa saja yang mereka temui di tiga perkampungan ini. Kami meluaskan percobaan-percobaan de­ ngan memakai banyak alat, cara, juga siasat. Mereka ikuti banyak proses— mulai lokakarya/workshop, kelas penelitian dan penulisan, berangkat ke lapang­an, diskusi yang melibatkan dosen/praktisi, evaluasi, dan begitu seterusnya, yang berkali-kali. Petikanpetikan penemuan mereka kemudian jadi bagian dalam buku dan sajian dalam buletin Yard edisi pertama ini. Sambil mereka berproses, Tanahindie juga mengajak beberapa kawan di beberapa tempat. Kami yakin, fenomena di Makassar sama saja yang terjadi di kota lain di Indonesia, meski dengan skala berbeda. Kami undang beberapa kawan dekat di Flores, Solo, dan Yogyakarta untuk urunan menulis bagaimana pengalaman mereka dengan halaman rumah. Tulisan Suwandi, melengkapi hasil penelitian tim, menceritakan bagaimana warga Kampung Paropo, Makassar, terus mempertahankan tradisi berkesenian lewat latihan dan pentas di halaman rumah. Yang kami pelajari dari ini adalah merawat kesenian se­ perti halnya merawat halaman rumah, terdesak banyak hal, termasuk bertahan di petak-petak sempit perkampungan yang mulai hilang karena desakan pusat perputaran modal yang jaraknya amat dekat dari mereka. Kami pun mengajak Melky Koli Baran, pekerja sosial yang berbasis di sekitaran Larantuka, Flores Timur. Dalam tulisannya, Melky menceritakan musim basah

yang hanya berlangsung tiga bulan di sana memunculkan kebudayaan menanam di halaman, sesuatu yang belakangan muncul. Lalu gambaran Melky dilengkapi oleh hasil penelitian Fitriani A Dalay di Desa Soga, Kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan, perihal bagaimana halaman rumah berperan dalam menopang kehidupan rumah tangga. Dari ranah hukum, Ibrahim, salah seorang pengacara yang mendampingi komunitas adat Seko di Luwu Timur, menceritakan bagaimana masyarakat adat berusaha pertahankan tanah adat dan kampung halaman mereka dari kepungan modal. S a l e h Ab d u l l a h d e n g a n potong­an­­­-potongan pengalaman hidupnya di beberapa tempat, juga dialog dengan beberapa kawannya yang bergiat di pertanian dan gerakan sosial budaya, menyerukan pentingnya halaman rumah sebagai ruang (space) dan ranah (sphere) satu tahap penting meng­hubungkan ulang sesuatu yang diberai oleh proses kapitalisme. Proses ini dicontohkan oleh Liza Marzaman tentang bagaimana warga dua kampung pesisir di Makassar, dengan didampingi beberapa kelompok pemerhati kota, berusaha mempertahankan ruang hidup mereka yang sedang diba­yangi penggusuran akibat rencana perluasan pembangunan kawasan pesisir. Sawedi Muhammad, dosen Sosiologi Universitas Hasanuddin, juga memberi penegasan bahwa bagi warga kota, halaman rumah adalah model replikasi dari impian-impian ideal seorang warga terkait bagaimana kota seharusnya

dibangun dan diimpikan sebagai kota yang berkelanjutan. Hitungan matematis dari tulisan Taufik Dhany, seorang peneliti lingkungan, mendadarkan bagaimana manfaat halaman rumah dalam hitungan kajian lingkungan. Dalam tulisannya, ia menyodorkan beberapa hasil penelitian bagaimana pohon yang ditanam di halaman menurunkan suhu sekitar rumah—hal yang bisa direplikasi oleh pemerintah terkait mengapa penting membiarkan pohon tumbuh di ruang-ruang kota. Namun halaman rumah adalah wajah masyarakat. Dari penelusuran Muhaimin Zulhair, kita bisa juga melihat bagaimana halaman menjadi ruang sekaligus ranah bagi warga mengekspresikan diri mereka. Yoshi Fajar Kresno Murti, seorang arsitek, menyodorkan pada kita bagaimana asal muasal halaman menjadi bagian dari hunian dan bagaimana ruang-ruang itu kini menjadi perihal yang, atau setidaknya, terdesak oleh komersialisasi bahkan di wilayah tersempit dan paling intim, yakni rumah. Halaman-halaman terbitan buletin ini merupakan proses lanjutan bagi para peneliti muda dalam melatih diri mereka bekerja bersama (lantaran barisan pengasuh buletin ini ada yang belakangan bergabung), belajar patuh pada tenggat waktu, memaknai hal-hal kecil yang menyusun hal besar, dan yang terpenting, ruang bermain dan berdialog dengan lapislapis perihal, serta menggauli ekspresi bermacam bentuk. Mereka menunggu (karya) kalian! 3/Yard


PAROPO Oleh: Nurasiyah

P

rogram penelitian Halaman Rumah merupakan program kedua yang saya kerjakan setelah sebelumnya menyelesaikan program Bom Benang pada tahun 2016. Menulis dengan bermodal data yang didapatkan di lapangan bagi saya adalah hal yang baru. Sejak SMA hingga semester lima di bangku kuliah, saya sering menulis cerpen dan puisi. Kedua jenis tulisan ini jelas jauh berbeda dalam hal isi. Saya sempat berpikir tidak dapat menyelesaikan program ini hingga akhir. Tapi setelah melewati beberapa proses, saya paham bahwa semuanya berdasarkan kemauan, bukan kemampuan saja. Saya seorang mahasiswa dan pekerja seni kampus. Saya melihat seni sebagai konsumsi penonton saja. Semuanya berawal dan ber­ akhir di panggung. Seni hanya milik mereka yang mendapatkan tepuk 4/Yard

tangan dan sorak ramai penonton. Saya melihat sesuatu yang berbeda di Bom Benang 2016. Warga sebagai seniman. Mereka merancang, mendiskusikan, dan membuat pameran dari karyanya sendiri. Awal tahun 2017, saya bergabung di tim kerja Halaman Rumah. Bekerja dengan tim yang baru bukanlah hal yang mudah: beradaptasi dan membangun kekuatan kerja.

Empat orang asisten peneliti berhasil menyelesaikan tulisan di tiga kampung. Saya merasa kurang komunikasi dan pertemuan di antara kami. Alhasil, terlihat be­ kerja sendiri-sendiri hingga tulisan mendekati deadline, tanpa adanya diskusi bersama tentang sejauh mana data yang didapatkan di lapangan. Dalam proses reading dan review data, proses pertemuan


mulai rutin. Saya mulai akrab berbincang tentang data di lapa­ ngan, komunikasi kami mulai lancar, dan saya paham kalau kami saling membutuhkan untuk menyelesaikan tulisan di tiga kampung ini. Banyak pengalaman yang saya dapatkan selama menjalani proses penelitian di beberapa lokasi. Utamanya tentang membiasakan mengakrabkan diri dengan warga. Bagi seseorang yang baru belajar meneliti seperti saya, sangat sulit untuk memulai perbincangan de­ ngan narasumber. Butuh waktu dan ketekunan untuk berada di lokasi untuk membuat warga percaya agar bisa berbagi informasi dengan kita. Tidak hanya itu, secara tidak langsung juga saya belajar tentang sejarah kota yang saya diami sekarang. Seperti di Paropo, ternyata ada tokoh pahlawan yaitu Janggo Paropo yang menjadi panutan warga sekitar. Menjalani proses penelitian seolah membawa saya pada masa lalu dan masa depan secara bersamaan. Di beberapa lokasi saya biasa dicurigai. Bukan hal yang mudah membuat warga

percaya dengan keberadaan kita di kampungnya. Meneliti di lapangan membuat saya mengalami banyak hal. Termasuk juga memanajemen waktu bekerja. Saya sempat kewalahan mengatur waktu selama proses penelitian ini berjalan. Pagi sampai malam harus diatur sedemikian rupa untuk menjalankan semua kegiatan. Menyeimbangkan waktu kuliah, berkomunitas, dan juga

berlembaga di kampus. Tidak ada cara terbaik untuk menyelamatkan tulisan selain rutin ke lapangan untuk mengamati dan mewawancarai narasumber. Saya tidak bosan mengerjakan program ini, pola kerja yang diterapkan di kampus sangat berbeda yang diterapkan di Tanahindie. Walaupun kadang ketika kembali ke kampus, saya mulai merasa jenuh dengan pola kerja mahasiswa pada umumnya. 5/Yard


PAROPO

Oleh: Fauzan Al Ayyuby

A

walnya saya terlibat dalam tim peneliti di Bom Benang 2016. Kemudian tahun 2017 terlibat penelitian Halaman Rumah. Dari Februari hingga Juli tahun ini, saya mengunjungi tiga lokasi di Makassar: Paropo, Sukaria, dan Kampung Rama. Dari tiga lokasi ini, saya cukup akrab dengan Sukaria karena telah meneliti di sana saat Bom Benang. Kampung Rama adalah lokasi pertama yang saya datangi. Di kampus sebelum menuju ke Kampung Rama, beberapa teman yang lama dan cukup akrab dengan Makassar, mengatakan bahwa Kampung Rama adalah daerah yang berbahaya. Saya agak was-was. Bermodalkan pengetahuan awal tentang Kampung Rama yang saya dengar dari beberapa teman, saya memacu motor sangat pelan ketika masuk melalui lorong dari arah Panaikang. Tapi tidak seperti apa yang saya pikirkan, ternyata Kampung Rama agak sepi. Bahkan saya sampai bingung, data apa yang akan saya dapat di sini. Setelah masuk ke lorong-lorong, saya

6/Yard


PAROPO

bertemu dengan Pak RT di wilayah itu, di RT 1 tepatnya. Sebelum itu, saya bertemu dengan seorang lelaki berumur 70-an tahun. Ketika saya ingin berbicara dengannya, ia mengeluarkan bahasa-bahasa yang tidak saya mengerti, untung istrinya keluar dan berkata pada saya untuk mencari orang lain saja untuk ditanyai. Di Kampung Rama, kuburan

Islam Paropo tepatnya, saya pernah duduk menunggu penjaga makam Toa Bokka (To Malaja) dari jam 4 sore hingga magrib, lalu pulang dengan tangan kosong karena penjaganya tak datang-datang. Saya belajar bersabar dari penelitian ini, sebab tidak selalu ada jawaban saat itu juga. Mungkin karena saya selalu terpaku pada pertanyaan yang akan saya bawa, bukan jawaban apa yang

datang, dicari, ditemui, atau membuka diri dari mulut-mulut orang yang saya temui di tiga kampung ini. Tiga kampung ini di kepung pusatpusat ekonomi. Di Sukaria sendiri, saya sempat menghitung jumlah ga’de-ga’de (warung) yang halaman rumahnya lebih hanyak dimanfaatkan untuk kebutuhan ekonomi daripada tempat bermain atau berkumpul keluarga di halaman rumah, misalnya.

7/Yard


RAMA Oleh: Rafsanjani

M

a r e t 2 0 1 7 , p e rtama kali terlibat d a l a m pro g r a m penelitian yang diadakan oleh Tanahindie.­ Program yang berlangsung sejak Februari lalu, mengangkat isu halaman rumah di tiga lokasi yang terbilang padat penghuni, yakni Sukaria, Rama, dan Paropo. Selama proses penelitian ‘terjun’ langsung ke lapangan melihat, mengamati, dan memberanikan diri untuk berinteraksi dengan warga yang belum dikenal sebelumnya merupakan pengalaman yang berharga. Setidaknya, penelitian lapang­an memberikan realitas sesungguhnya yang terdapat di lapangan. Menelusuri setiap lorong melihat deretan rumah tanpa teras terlebih dengan halaman, jalanan yang digunakan anakanak untuk bermain merupakan potret permukiman padat penduduk. Mendengar cerita dari warga mulai dari sejarah 8/Yard

dan perkembangan kota, kebiasaan warga, pekerjaan yang dila­­­­­­­­­k o­n i­­­n ya, tentang ‘sesuatu’ yang baru di lingkungan sekitar, sampai de­ ngan peng­alaman pribadi sebagai masyarakat pendatang. Saya meyakini bahwa setiap orang punya cerita yang patut untuk dibagi, minimal kita mendapat sudut pandang baru dari peristiwa yang pernah terjadi. Kita seringkali sangat mengerti tentang ­informasi-informasi dari media, namun luput mengenali orang-orang di sekitar sendiri, orang-orang yang sesungguh­ nya kita dapat petik beberapa pelajaran darinya. Yohanna Putu, seorang ibu rumah tangga yang memanfaatkan bekas tempat cat dan kaleng susu untuk menanam tanaman yang dapat dikonsumsi langsung sebagai sayuran dan juga obat-obatan. “Banyak orang yang menanam, hanya sekadar menanam tanpa mengetahui manfaat dari tanaman itu sendiri,” katanya.


RAMA

Oleh: A. Ilmi Utami Irwan

K

ota dan segala problematikanya sangat menarik untuk disimak. Segala hiruk pikuk dan problematikanya memberi banyak pertanyaan bagi saya. Mengapa begini? Mengapa kota berwajah seperti ini? Dan mengapa masyarakatnya berlaku seperti itu? Maka ketika ada tawaran untuk terlibat dalam penelitian kota, ini menjadi kesempatan yang sangat bagus untuk saya belajar dan mencoba menelisik lebih jauh tentang kota. Mengetahui problema, tidak sekadar bertanya di permukaan. Tapi berani mencari jawaban de­ ngan meneliti. Akhirnya saya memutuskan terlibat dalam penelitian Halaman Rumah yang berlangsung dari Februari hingga Agustus. Penelitian ini mengambil lokasi di tiga kampung Paropo, Rama, dan Sukaria. Tiga tempat ini cukup mewakili kondisi kampung yang terjebak di tengah padat kota Makassar. Melibatkan diri secara penuh dalam penelitian ini merupakan komitmen bagi kami, para peneliti. Proses panjang yang cukup menyita waktu dan membutuhkan manajemen yang baik. Proses penelitian Halaman Rumah dimulai dari tahapan workshop sebagai bagian pembekalan bagi para peneliti sebelum terjun ke lapangan. Setelah dirasa cukup membekali diri, barulah kami turun ke lapangan, bertemu dengan para narasumber. Ini adalah tahapan yang cukup menyita waktu dan pikiran. Betapa pun kami merasa cukup saat pembekalan di workshop, tapi tetap saja, tantangan-tantangan di saat turun lapangan menguras tenaga, pikiran bahkan emosi kami. B er temu narasumb er di lapang­an tidak selamanya berjalan

mulus. Di tahap awal, tidak jarang saya mendapati narasumber yang menolak untuk diwawancarai. Ba­nyak hal yang menjadi alasan mereka menaruh curiga terhadap para peneliti, yang bagi mereka adalah orang asing. Toleransi masyarakat kota terhadap minoritas menjadi catatan penting di sini. Tahapan penelitian sambil tetap berkonsultasi dan berdiskusi dengan tim cukup membantu memudahkan proses di lapangan. Setiap hasil temuan dan kendala di lapangan kami laporkan, entah untuk didiskusikan ataupun mencari jalan keluar. Satu tahapan yang juga tidak kalah pentingnya dalam proses penelitian ini adalah pembacaan. Hasil temuan yang telah kami

olah dan tuliskan dibaca kembali bersama tim. Mencocokkan masing-masing data hasil temuan peneliti, dan kemudian melakukan penyempurnaan dengan turun kembali ke lapangan. Selain memperoleh berbagai temuan terkait halaman, budaya dan sejarah kampung, termasuk gambaran ekonomi masyarakat, penelitan ini juga memberi panda­ng­­­­an baru kepada diri saya. Dari sana saya belajar bagaimana membuka diri terhadap lingkungan yang baru, tidak memberi justifikasi terhadap orang, nilai mereka dan apa pun hal yang diperoleh di lapangan. Penelitian ini juga melatih disiplin diri dan manajemen waktu saya. Satu yang perlu disempurna9/Yard


RAMA

kan adalah pembekalan tentang teori ilmu kota. Menelisik tentang kota, seharusnya memberi pengetahuan yang lebih luas secara teoretis tentang kota, sejarah, dan budaya. Agar kami memiliki perbandingan terhadap apa yang kami temukan di lapangan dengan teori ideal yang telah ada. Selain itu, agar setiap peneliti menjadi paham tentang kota secara utuh, baik di tataran teoretis maupun fakta di lapangan. Tetapi bagaimana pun, hal tersebut tidak mengurangi suka cita saya terlibat sebagai bagian dari tim penelitian Halaman Rumah. Sekali lagi, ini adalah pengalaman yang sangat menyenangkan. Penelitian ini membawa saya menelisik lebih jauh tentang persoalan kota dengan fokus observasi di tiga kampung berpopulasi padat, yakni Sukaria, Rama, dan Paropo. Bagaimana ketiga kampung ini bertahan dengan nilai budaya dan sejarah mereka, pola interaksi de­ ngan kawasan di sekitar mereka serta bagaimana ketiga kampung ini memposisikan diri sebagai bagian dari sebuah kota metropolitan. Di sini, saya menggali banyak cerita. Dari ibu rumah tangga yang menjual tanahnya sepetak demi sepetak, hingga kini berbagi tinggal di atas lahan sempit bersama anakanak, menantu, dan cucunya. Atau anak-anak yang saban hari hanya bisa menggunakan bagian jalan untuk tempat bermain. Juga seorang ibu yang sangat ingin bercocok tanam di halaman tapi jarak pintu rumahnya dan jalanan tidaklah lebih dari satu meter. Menyaksikan kondisi mereka kemudian menimbulkan banyak pertanyaan bagi saya. Sampai kapan mereka akan bertahan? Betulkah mereka adalah masalah bagi kota? Haruskah mereka merangsek maju mengambil alih kota atau malah mundur mencari tempat tinggal lain? 10/Yard


SUKARIA

11/Yard


Rangkaian kegiatan pengayaan penelitian Halaman Rumah, mulai lokakarya, dialog, dan kelas penelitian-penulisan di Kampung Buku, Makassar, selama Februari – Agustus 2017 yang diikuti beberapa para pegiat komunitas, dosen, peneliti, sampai mahasiswa.

12/Yard


13/Yard


14/Yard


15/Yard


Pertemuan tim kerja Bom Benang 2017

16/Yard


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.