lanjut, ia sepakat bahwa perlu dipikirkan bagaimana kebijakan pemerintah tidak tumpang tindih. Terakhir, rekomendasi untuk menjamin dan menjaga suplai. Dalam konteks Makassar ingin mengajukan diri sebagai kota gastronomi, misalnya, Jimpe menyarankan agar jangan sampai kita hanya memikirkan jika kota sebagai pasar, kita melupakan yang lain. Jika memang ingin mengangkat gastronomi, penting untuk juga menjaga suplai. Selain suplai, menjaga petani juga penting, termasuk menjaga regulasi untuk mereka. Ia memberi contoh tengkulak. Ia mempertanyakan keberadaan mereka yang seringkali
mereduksi keuntungan petani. Kemudian, katanya, kita yang di kota ini, kerap menjadi penghisap saudara kita sendiri di desa. Rekomendasi soal menjaga suplai, petani, dan regulasi ini, begitu ditekankan, dan harus dipikirkan matangmatang, jika memang ku l i n e r b e n ar- b e n ar d i branding sebagai ekonomi kreatif unggulan Kota Makassar. Menanggapi itu, Kwandie Salim Sinaga, ketua Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia ( P H R I ) k o t a M a k a s s a r, mengatakan bahwa Sara’ba sudah dipakai di hotel. Tidak lagi memakai cake dari luar. Ia juga mengatakan bahwa pelaku UKM, pernah menandatangani kontrak bersama hotel, agar
Tersedia di Kampung Buku MADU HUTAN BULU' SARAUNG DIAMBIL DARI LEBAH APIS DORSATA
Madu ini diproduksi oleh lebah hutan Bulu' Saraung diambil dan dikemas oleh warga desa Tompo' Bulu' yang tergabung dalam kelompok Sekolah Rakyat Petani (SRP) Tompo' Bulu'
kue-kue tradisional dipakai sebagai menu makanan dan minumannya. Pemerintah pada akhirnya harus melihat kemungkinan yang lain. Kemung kinan yang lebih masuk akal dan berdasar, serta tidak terburuburu. Hasil riset Tanahindie dan British Council, justru m e m b u k a k e mu n g k i n a n untuk menjadikan Makassar sebagai kota kreatif yang m e m - b r a n d i n g l i t e r at u r sebagai aktivitas ekonomi kreatifnya. Literatur kemudian bisa menjadi lokomotif yang menggandeng gastronomi dan subsektor ekonomi kreatif lainnya.[]