Edisi 06, Juli 2018
Program Residensi Tanahindie 2018 menjadi salah satu siasat Tanahindie bagi person dan kelompok dari manapun untuk belajar dan bekerja sama (penelitian, seni, pendokumentasian, dan bentuk lainnya)
Yard merupakan terbitan dwibulanan yang diterbitkan oleh Tanahindie. Tahun 2017 - 2018 penerbitannya bekerja sama dengan Arts Collaboratory dan Stichting Doen. Tanahindie Merayakan Halaman Rumah di Kampung Buku, kolaboratorium dan ruang dan ranah b ersama berwujud perpustakaan, m enyebarkan gagasan lewat berbagai kanal dan cara sebagai jalan produksi, reproduksi, dan distribusi pengetahuan. www.tanahindie.org
Penanggung Jawab: Anwar Jimpe Rachman
Grafika & Publikasi: Ade Awaluddin Firman
Redaktur: Ade Awaluddin Firman, Muhammad Iqbal Burhan, Rafsanjani, Fauzan Al Ayyuby
Ilustrator Muhammad Iqbal Burhan
Penulis: A. Noer Chalifah Ramadhany, Fakhiha Anugrah Prastica, Fauzan Al Ayyuby, Jalaluddin Rumi, Tim Mari Berbagi Seni, Sindikat Lapak Baca, Wahyu Chandra
Alamat Redaksi Kampung Buku, Jalan Abdullah Daeng Sirua 192 E, Makassar, Indonesia 90231.
Redaksi menerima sumbangan materi publikasi, seperti esai, karya sastra, karya foto, ilustrasi, dan komik melalui email:
Fanpage Facebook: Tanahindie Twitter: @dewiboelan Instagram: @tanahindie Youtube: Tanahindie Inc.
tanahindie@gmail.com
Layouter Fauzan Al Ayyuby
Kolaborator:
DIGITAL PUBLISHING: "YARD" https://issuu.com/tanahindie
Diskusi tentang Pilgub Sulsel diselenggarakan Mongabay dan Kampung Buku di Kampung Buku, Selasa (5/6/2018). Para panelis mengkritisi komitmen para kandidat gubernur dan wakil yang dianggap belum menjadikan isu lingkungan sebagai perhatian utama. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia
ISU LINGKUNGAN T IDAK MENJADI PERHATIAN UTAMA PARA CAGUB SULSEL
Dok. Tanahindie
Wahyu Chandra
P
erhelatan pemilihan gubernur dan wakil gubernur Sulawesi Selatan tak lama lagi. Namun dalam serangkaian kampanye para kandidat, baik di media massa, kampanye langsung hingga debat, belum terlihat g ambaran yang jelas bagaimana pengelolaan lingkungan hidup mereka. Dalam dialog Mongabay-Indonesia bekerja sama dengan Kampung Buku, di Kampung Buku, Selasa (5/6/2018) lalu, sejumlah sorotan disampaikan oleh kalangan akademisi dan a ktivis lingkungan di Sulsel. “Kalau dikaitkan dengan isu l ingkungan dalam kontestasi Pilgub, memang ada b eberapa catatancatatan yang penting. Dalam hal ini lingkungan masih dianggap sebagai isu sekunder atau malah tersier. Bukan isu yang bisa m enaikkan citra
elektoral yang bisa mengubah preferensi pemilih dengan cepat,” ungkap Luhur Andi Prianto, pengamat politik dari Universitas Muhammadiyah Makassar. Justru kemudian yang dianggap seksi adalah isu pembangunan berbasis sumber daya alam yang pro-pertumbuhan. Kalau ada kandidat berjanji akan membangun sesuatu, justru itu yang akan menaikkan modal elektoratnya. “Saya bicara dengan konsultan-konsultan politik, isu lingkungan memang dianggap tidak laku untuk menaikkan elektabilitas. Kalaupun dibicarakan, hanya pembicaraan sampingan saja,” tambah Luhur. Dikatakan Luhur bahwa inilah yang menjadi titik persoalannya. Bahkan dalam debat yang bertema lingkungan hidup pun perhatian akan 3/ Yard - Edisi 06, Juli 2018
hal ini tidak bisa diharapkan. Tak banyak gagasan terkait pengelolaan lingkungan hidup yang baik disampaikan oleh para kandidat.
Hal lain yang patut d isoroti adalah terkait integrasi isu lingkungan dalam agenda kebijakan publik. “ S a y a m a l a h m e l i h a t debat itu lebih pada a spek e ntertainment saja. Makanya yang paling d iperhatikan gestur-nya, bukan gagasan. Dalam debat itu s angat disayangkan bahwa
Hal lain yang patut disoroti adalah terkait integrasi isu lingkungan dalam agenda kebijakan publik. “Kalau kita p eriksa visi misinya, memang banyak istilah lingkungan, namun bagaimana mem-break down itu terutama nanti kita periksa di RPJMD pasti tidak akan operasional konsep-konsep itu. Pasti ada istilah-istilah lain yang tidak menggambarkan sama s ekali dengan aspek-aspek lebih ramah dan berpihak pada a spek lingkungan.” Luhur bahkan melihat keempat cagub ini cenderung bermain safe atau bermain aman. Misalnya tentang m asalah reklamasi yang tidak ada yang singgung. “Saya kira semua kandidat i t u p u n y a ke t e r k a i t a n d engan aktivitas reklamasi.
Dok. Tanahindie
isu lingkungan direduksi dan d isederhanakan, misalnya sekadar bicara tentang bank sampah, bukan lagi bicara tentang kebijakan sebagaimana diperjuangkan Walhi selama ini. Sehingga aspeknya terlalu teknis bukan aspek yang strategis, apalagi mengarah ke kebijakan yang lebih luas.” 4/ Yard - Edisi 06, Juli 2018
egitu d iungkit maka akan B mempermalukan diri sendiri. Sehingga ini tidak m engemuka.” Isu-isu lingkungan secara global juga tidak ada yang masuk dalam visi dan misi mereka. bagaimana dengan climate changes, yang tidak disinggung sama sekali.
“Sebaliknya, semua bicara tentang investasi, pertumbuhan, p embangunan infrastruktur, sehingga a spek lingkungan memang d itempatkan dalam posisi yang menyedihkan.” Asmar Exwar, a ktivis lingkungan yang juga m antan Direktur Eksekutif Walhi Sulsel, menilai pengarusutamaan isu lingkungan pada perhelatan demokrasi ini memang sangat penting, karena secara pasti akan ada salah satu kandidat yang terpilih dan nantinya akan memiliki kewenangan yang kuat dalam mengatur pengelolaan daerah lima tahun ke depan. “Kalau terjadi k esalahan salah urus lingkungan di awal maka dampaknya seperti sekarang. Dari beberapa dekade ini sumber daya alam kita diambil terus menerus, padahal itu makin lama menyusut.” Menurut Asmar, pengelolaan sumber daya alam selama ini selalu dilihat dari pengelolaan secara ekstraktif. Di Sulsel, misalnya terdapat dua tambang emas di Luwu, lalu ada nikel, dan tambang batuan di Takalar yang banyak menimbulkan masalah di mana-mana. Belum lagi kawasan karst yang dihancurkan untuk produksi semen. Menurutnya, saat ini jumlah izin pertambangan merujuk pada data tahun 2014 terdapat 414 izin pertambangan dengan luas wilayah konsesi 500 ribu hektar. Hutan di Sulsel seluas 2,1 juta hektar, sementara luas wilayah Sulsel hanya 4 juta hektar. “Jadi wilayah izin tambang ini cukup banyak mengambil wilayah. Belum lagi perkebunan yang masuk di wilayah-wilayah hutan dan kelola rakyat, lahan produktif masyarakat. Kemudian di sektor pesisir juga begitu pembangunan infrastruktur
yang juga sebenarnya banyak mengorbankan lingkungan dan masyarakat,” tambahnya. Menurutnya, selama ini pembangunan semata diarahkan pada investasi yang lebih menguntungkan korporasi dan mengorbankan masyarakat lokal. “Masyarakat mau masuk hutan ditangkap, tetapi kalau korporasi malah difasilitasi, dikawal tentara dan brimob. Jadi ada ketimpangan. Jadi kalau kita bilang sumber daya lama untuk siapa, lebih banyak untuk pemodal.” Yusran Nurdin Massa, peneliti dari Blue Forests juga menyampaikan kritikannya terkait visi dan misi calon gubernur, berdasarkan dokumen visi dan misi yang diserahkan ke KPU, yang dinilai belum secara jelas menggambarkan komitmen para kandidat tersebut terhadap isu lingkungan hidup. “Semua misi dari cagub tersebut sama sekali tidak ada yang menyatakan tentang p e l e s t ar i an l i ng ku ng an . Kemudian kita masuk ke strategi, memang ada yang memasukkan isu-isu pembangunan berkelanjutan yang bisa dikaitkan dengan isu lingkungan. Tetapi misi yang menjadi upaya yang akan didorong gubernur nantinya tidak memasukkan satu kata pun terkait lingkungan. A r t i ny a m e m a n g y a n g menjadi concern gubernur adalah isu pertumbuhan kawasan,” katanya. Menurutnya, jika pertumbuhan kawasan ini tidak dibingkai dengan isu perusakan lingkungan maka ini akan berdampak besar, sehingga sangat penting untuk mengingatkan kembali para kandidat gubernur tersebut. Yusran selanjutnya merinci sejumlah potensi ancaman yang
menjadi isu penting nantinya, seperti pertambangan, reklamasi dan energi. Khusus isu energi, sejumlah PLTU yang ada di Sulsel dibangun dan akan dibangun di kawasan pesisir, seperti di Lampoko, Kabupaten Barru, dan dua PLTU lagi di Kabupaten Jeneponto. Dampaknya sudah dirasakan di kedua daerah tersebut, seperti rusaknya ekosistem laut dan adanya kasus keracunan kerang. Satu lagi PLTU akan dibangun di Kabupaten Maros. “Jadi PLTU dibangun di pesisir kemungkinan untuk memudahkan pembuangan limbah yang langsung ke laut. Ini tidak diperhatikan dengan baik.”
Semua misi dari cagub tersebut sama sekali tidak ada yang menyatakan tentang pelestarian lingkungan. Polling Cagub Pada dialog ini Yusran juga menjelaskan hasil polling yang pernah mereka lakukan terkait k a ra k ter g ubernur ya ng diinginkan oleh masyarakat pesisi r, mel ibat k a n 385 responden dari seluruh wilayah kecamatan pesisir yang ada di Sulsel. Polling yang dilakukan pada Mei 2018 lalu menemukan beberapa hal penting terkait akses pada layanan publik dan bagaimana mengatasi perusakan
pesisir dan pulau-pulau kecil yang berdampak langsung terhadap masyarakat yang ada di pesisir dan pulau. “Pada umumnya harapan responden menuntut perbaikan akses layanan yang tidak sekadar layanan kelurahan dan administrasi pemerintahan, tetapi juga kepada akses ketersediaan atas sandang, pangan, dan papan,” katanya. Te r k a i t perusakan p esisir, responden berharap b a g a i m a n a p e r s o a l a n - persoalan destructive fishing bisa diselesaikan. Menurut Yu s r a n , s ek ar ang y ang me nj a d i perhatian pemerintah pusat adalah illegal fishing atau perikanan yang ilegal terutama p enangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan-nelayan asing. Nelayan Thailand datang ke Indonesia menangkap ikan, dibakar dan ditenggelamkan oleh Menteri Susi. Padahal isu yang sangat bersentuhan langsung dengan masyarakat pesisir adalah des tructive fishing, karena sasarannya adalah perairan-perairan pesisir atau lokasi terumbu karang yang merupakan wilayah tangkap nelayan-nelayan kecil. “Ini jadi persoalan di mana pemerintah belum sangat kuat mendorong penanganan des tructive fishing ini.” Menurut Yusran, harapan kepada gubernur terpilih mendatang akan memperhatikan hasil polling yang mereka lakukan, karena sebagian besar wilayah pesisir memang menjadi pusat-pusat pelaku destructive fishing. (Sumber: mongabay.co.id, 25 Juni 2018)
5/ Yard - Edisi 06, Juli 2018
Buku Edisi Sulawesi Barat Penerbit Ininnawa
Karya Kees Buijs Kees Buijs (1994) pernah bekerja di Sulawesi dalam bidang pembinaan warga Gereja Toraja Mamasa. Di samping melaksanakan tugas di Gereja, dia juga mengumpulkan banyak data antropologi agar kebudayaan Toraja Mamasa dapat disimpan dan dianalisa. Sebagai hasil studi antropologi tesisnya dipertahankan Universitas Leiden, Belanda, pada tahun 2004 dengan judul Powers of Blessing from the Wilderness and from Heaven.
Books, Merchandise, and Art Stuffs
LOKASI KAMPUNG BUKU
Jalan Abdullah Daeng Sirua, No. 192 E (Kompleks CV Dewi, Samping Kantor Lurah Pandang, Panakkukang, Makassar) BUKA SETIAP HARI Jam 11:00 s/d 22:00 WITA, Minggu, jam 12:00 s/d 23:00 WITA
KONTAK PEMESANAN BUKU WA/ Telepon: 0856 5668 1100/ 0411 433775 Email: distribusiininnawa@gmail.com Twitter: @kampung_buku Instagram: @kampungbuku Website: www.ininnawa.com Bukalapak: bukalapak.com/u/jualind Tokopedia: tokopedia.com/kampungbuku Shopee: shopee.co.id/kampung_buku KOLEKSI BUKU PENERBIT ININNAWA Selengkapnya di: www.ininnawa.com/terbitan KEDAI GERADERI KAMPUNG BUKU Take Your Coffee,☕ Find Your Books
Instagram: @kedaigeraderi
Sharing session Mari Berbagi Seni, di Rumata’ Art Space, tentang berbagi cerita tentang project yang dilakukan selama setahun.
MARI BERBAGI SENI
Foto: Muchdar
Laporan Tim Mari Berbagi Seni
M
ari Berbagi Seni (MBS) bekerja sama dengan Rumata’ Art Space dalam kegiatan pameran karya siswa dan sharing session dengan tema “Menumbuhkan Kemampuan Berpikir Kritis dan Inklusi Sosial Anak Muda Indonesia Melalui Seni.” Pameran ini diadakan di Rumata’ Art Space, Jalan Bontonompo, Kota Makassar selama dua hari, tepatnya 19-20 Juli 2018. Mari Berbagi Seni adalah sebuah gerakan berbagi seni yang dirintis sejak 2014 oleh Ganara. Art, sebuah sekolah seni di Jakarta. Di Makassar, MBS mulai berjalan dengan Pilot Project Berpikir Kritis dan Inklusi Sosial Melalui Seni, pada Juli 2017. Bergerak di Sekolah Menengah Kejuruan Negeri (SMKN) 8 Makassar dan Sekolah Menengah Atas Negeri (SMKN) 2 Makassar. Achmad Teguh Saputro Z, sebagai koordinator program pameran ini, dalam penjelasannya menyampaikan bahwa program MBS dengan tema Berpikir Kritis dan Inklusi Sosial Melalui Seni ini, tidak untuk menjadikan para siswa dapat menjadi seniman, karena di program ini seni hanya sebuah media agar siswa dapat lebih aktif dan terpacu untuk berpikir secara kritis dan berinklusi sosial dalam mengambil keputusan dan bertindak.
Pameran karya yang berlangsung dari jam 9 pagi sampai jam 5 sore itu, ada lima jenis karya yang terpajang dari hasil kegiatan modul kedua (Inklusi Sosial) di SMKN 8 Makassar dan SMKN 2 Makassar. Di antaranya, Ragam Rona, Still Life, Satu-satu Jadi Padu, Mandala, dan Keberagaman Alam Dalam Karya. Sebelah kiri samping pintu masuk dan meja registrasi, terpampang kain-kain berwarna warni dengan motif yang abstrak. Ini merupakan hasil karya siswa dari kegiatan “Ragam Rona”. Ragam Rona adalah karya dua dimensi yang memiliki berbagai bentuk macam pola yang diaplikasikan pada sebuah kain menggunakan busa yang telah diberi pewarna. Karya ini memiliki permukaan warna yang terang karena memakai warna primer. Dalam kegiatannya, para siswa diberikan satu perangkat untuk berkarya berupa kain, baki, busa cukur, kuas, dan karton tipis. Tiap siswa dalam kelompok akan diberikan pewarna makanan dengan warna yang berbeda-beda. Langkah pengerjaan dimulai dengan menuangkan isi busa ke atas baki, lalu diteteskan pewarna makanan dan membuat pola di atas busa tersebut. Kain yang telah disiapkan diletakkan di atas baki hingga pewarna yang ada menempel di permukaannya. Karya ini menyampaikan pesan bahwa terdapat 7/ Yard - Edisi 06, Juli 2018
Foto: Muchdar
keberagaman dalam berkesenian dengan melihat berbagai macam pola yang dihasilkan dari warnawarna tersebut. Setelah habis dengan Ragam Rona, kita bisa beranjak ke dinding sebelah kanan pintu masuk. Di sana kita bisa menemukan karya dari “Still Life” yang saling berhadapan. Still Life adalah karya dua dimensi berupa sketsa objek yang digambarkan dengan berbagai sudut pandang. Dalam prosesnya, fasilitator menyiapkan dan mengatur posisi objek-objek yang akan menjadi model gambar. Selama proses menggambar, posisi duduk siswa diatur sedemikian rupa hingga objek dapat terlihat dengan baik dari masing-masing tempat duduk. Kegiatan ini bertujuan agar siswa memahami keragaman sudut pandang dalam kehidupan keseharian. Tepat di samping karya Still Life, kita bisa menemukan kanvas-kanvas kotak bergambar yang digantung di papan kayu alas peti kemas. Lukisan pada kanvas-kanvas kotak ini adalah karya dari “Satu-satu Jadi Padu”. 8/ Yard - Edisi 06, Juli 2018
Satu-satu Jadi Padu adalah karya lukis dua dimensi yang terinspirasi dari seniman Eko Nugroho, memiliki ciri khas lukisan dari beragam elemen bentuk yang dipadukan menjadi sebuah objek hidup berwajah. Dalam berkesenian, para siswa diberikan bermacam bentuk yang akan secara acak mereka dapatkan dengan melempar dadu. Dari bentukbentuk yang mereka dapatkan, mereka diminta memadukan bentuk-bentuk tersebut menjadi sebuah karya lukis yang padu. Karya ini memiliki makna bahwa setiap perbedaan apapun yang ada di masyarakat bisa mengambil peran dalam lingkungan itu sendiri. Di ujung ruangan yang berpapasan dengan karya Satusatu Jadi Padu, kita dapat melihat hasil karya dari “Keberagaman Alam dalam Karya”. Karya ini berupa topi-topi yang digantung. Keberagaman Alam dalam Karya adalah lukisan yang diaplikasikan di atas media kain berupa topi, mengenai keragaman dan keunikan yang terdapat di penjuru Nusantara.
Dalam kegiatanya, siswa dapat memilih bagian motif, pola, atau bentuk lainnya yang menarik dari Indonesia untuk kemudian digambar dan dilukiskan. Karya ini bermakna bahwa setiap daerah memiliki keunikannya masing-masing. Yang terakhir, kita juga bisa melihat hasil dari karya “Mandala”, yang berupa bahan-bahan alam berupa daun dan batu yang disusun oleh siswa di atas karton putih berbentuk llingkaran. Diletakkannya di dalam kotak kaca tepat di depan topi-topi yang digantung. Mandala adalah istilah Sansekerta untuk diagram yang melambangkan keseimbangan alam semesta. Mandala merupakan seni desain yang berpola lingkaran dan titik sumbu sebagai pusatnya. Bahan yang digunakan adalah bendabenda dari alam yang berada di sekitar. Dalam membuatnya, para siswa dibentuk 3-4 orang dalam satu kelompok untuk menyusun, menyelaraskan, dan menyeimbangkan elemenelemen dari alam. Kegiatan ini bertujuan agar siswa mampu menyelaraskan ide dalam kelompok hingga memahami setiap elemen berkontribusi dalam keseimbangan di alam. Selain menjelaskan bagaimana kegiatan program Berpikir Kritis dan Inklusi Sosial Melalui Seni dan m emamerkan karya hasil kegitan siswa, acara dua hari itu juga diisi dengan kegiatan berbagi cerita dan kesan para fasilitator juga siswa selama berkegiatan dalam program tersebut.
SINDIKAT LAPAK BACA
Dok. Sindikat Lapak Baca
Sindikat Lapak Baca
P
ernahkah kita jumpai orang-orang di ruang-ruang umum di kota ini dengan buku di tangan? Atau kepala yang tertunduk bukan lagi pada wajah-wajah cantik dan gagah di gawai, melainkan pada hurufhuruf yang abadi dalam buku? Atau mungkin kita pernah mendengar percakapan dua orang di samping kita tentang bacaan apa yang baru saja mereka khatamkan? Dari seratus manusia, barangkali kita hanya akan menemukan beberapa saja yang menyempatkan untuk melakukan rutinitas (membaca) itu. Jangankan untuk membaca, menemukan manusia yang menggenggam buku di tempat umum adalah sebuah pemandangan yang langka. Berangkat dari kegelisahan mendapati kenyataan demikian, beberapa individu dan komunitas yang memiliki impian yang sama membumikan literasi, membentuk sebuah ruang yang mereka namai Sindikat Lapak Baca. Namun, titik fokus Sindikat Lapak Baca bukan sekadar menghidupi literasi, tetapi juga menyebarluaskan ide-ide untuk berbagi bacaan atau pengetahuan secara gratis. Ruang ini dimaksudkan untuk mengkritisi sistem kapitalisme yang memandang segala hal sebagai komoditas dan ingin
menunjukkan kepada masyarakat bahwa untuk menjadi cerdas tidak melulu harus mengeluarkan lembaran-lembaran duit. Maka dari itu, Sindikat Lapak Baca menjadi wadah bagi siapa saja yang memimpikan dunia yang tampak lebih baik dengan adanya ruang berbagi secara cuma-cuma dan menyenangkan. Saat ini, ada empat komunitas dan beberapa individu yang berkolaborasi dalam Sindikat Lapak Baca sejak terbentuknya pada tanggal 1 Juli 2018. Komunitas-komunitas dan individu-individu yang tadinya menggerakkan literasi secara sendiri-sendiri memilih melebur dalam satu wadah karena menyadari bahwa lebih banyak hal kreatif yang bisa mereka perbuat, jika melakukannya secara kolektif. Lapak baca yang diadakan setiap sore tersebut telah memberikan kesan tersendiri bagi anggota komunitas dan individu yang berkolaborasi dalam Sindikat Lapak Baca. Masing-masing dari mereka mendapatkan kenalan baru baik dari sesama pelapak maupun dari pengunjung. Lapakan ramai dengan obrolanobrolan perihal buku yang pernah mereka baca dan saling merekomendasikan bacaan, kemudian saling meminjamkan buku. Selain larut dalam bacaan, pelapak dan pengunjung juga larut dalam obrolan perihal film, musik, aktivitas sehari-hari, 9/ Yard - Edisi 06, Juli 2018
dan pembahasan yang selalu menarik dan tidak pernah luput – kekasih yang diidamkan dan mantan yang ingin dikaramkan. Meskipun lapak baca diadakan setiap hari, lapakan selalu ramai pengunjung – baik oleh pengunjung lama, maupun pengunjung baru, dari anakanak hingga orang dewasa. Mendapat respons positif dari pengunjung taman, Sindikat Lapak Baca bersemangat untuk menghadirkan kegiatan-Âkegiatan bermanfaat lain selain lapak baca, misalnya kelas kreatif. Kelas kreatif yang telah diadakan dan mendapat respons yang baik bagi pengunjung adalah Kelas Rajut. Banyak pelapak dan pengunjung, baik perempuan maupun laki-laki, yang belajar merajut. Merajut tidak kenal jenis kelamin, maka boleh dilakukan siapa saja tanpa memandang jenis kelamin. Selama kelas merajut, banyak peserta kelas yang terlihat menahan kesabaran karena merajut bukan sesuatu yang mudah. Selain kelas kreatif, Sindikat Lapak Baca juga sesekali mengagendakan nonton bareng dan diskusi film. Agenda perdana dengan nobar dan diskusi film Hichki yang telah diadakan di sekretariat salah satu komunitas yang bergabung di Sindikat Lapak Baca. Banyak pelapak dan pengunjung yang hadir
Fokus Sindikat Lapak Baca bukan sekadar menghidupi  literasi, tetapi juga menyebarluaskan ide-ide untuk berbagi bacaan atau pengetahuan secara gratis.
dan diskusi berlangsung alot karena film tersebut bertema pendidikan dan memberikan kritikan tajam terhadap realitas pendidikan kita hari ini. Selain kedua agenda tersebut, Sindikat Lapak Baca juga mengagendakan Kelas Bahasa Inggris dengan fasilitator dari salah satu pelapak. Kelas Bahasa Inggris dirasa perlu diadakan untuk menjawab kebutuhan teman-teman pelapak dan pengunjung yang ingin membaca buku-buku berbahasa Inggris. Selain itu, ada juga Malam Puisi yang diagendakan seminggu sekali. Malam Puisi ini diadakan untuk mewadahi teman-teman pelapak dan pengunjung yang senang menulis dan atau membaca puisi. Setiap orang bisa membacakan puisi karyanya sendiri atau karya orang lain. Setelah berjalan hampir sebulan, teman-teman yang tergabung di Sindikat Lapak
Baca mulai memiliki kedekatan emosional. Mereka pun mengobrolkan rencana untuk mendirikan perpustakaan yang dikelola mandiri secara bersama-sama. Mereka amat paham bahwa perpustakaan adalah surga bagi para pembaca karena bisa menjumpai dan membaca buku apa pun dengan gratis. Mereka amat sadar bahwa dengan melakukan itu maka pengetahuan tidak lagi menjadi milik golongan tertentu saja. Lalu segala bentuk kedunguan tidak sekadar dilawan, tetapi dapat dihapuskan dan bumi menjadi hunian yang lebih aman dan nyaman. Atas dasar keinginan berbagi nutrisi bagi otak, maka Sindikat Lapak Baca ada setiap harinya di Taman Sultan Hasanuddin, Gowa. Sebuah ruang kecil yang mampu membuat sore hari kita lebih bermakna. Salam literasi!
Residensi Tanahindie Wildan Maulana, salah satu peserta residensi di Tanahindie. Sejak Mei hingga Agustus 2018, ia merekam aktivitas penelitian dan penulisan Anak Muda dan Kota (AMdK). Dalam prosesnya, Wildan mengikuti peserta AMdK ke lokasi penelitian masing-masing peserta. Program Residensi Tanahindie 2018 menjadi salah satu siasat Tanahindie bagi person dan kelompok dari manapun untuk belajar dan bekerja sama (penelitian, seni, pendokumentasian, dan bentuk lainnya). Peserta residensi diikuti empat anak muda Makassar yang berkarya lintas genre. Keempatnya, Aziziah Diah Aprilya dan Ibe M Palogai (fotografi), A. Thezar Resandy (Seni Bunyi), dan Wildan Maulana (Video). Mereka diajak melihat tempat yang mereka tinggali dan mengeksplorasi gagasan melalui penelitian dengan cara mereka. Juga bertaut kerja-kerja di Tanahindie dengan ragam pendekatan.
10/ Yard - Edisi 06, Juli 2018
Per
Puisi oleh Fauzan Al Ayyuby Ilustrasi oleh Muhammad Iqbal Burhan
mulai: afeksi tuhan pada bumi adalah menciptakanmu. dari alam lain, menuju rahim. tulang-tulang merangkai gatra. sebuah takdir dari darah adalah rela. di mulut ibumu ia menjelma jerit. seperti derit pintu yang terbuka, menggoda anak kecil dari tidur siangnya. tuhan meliuk tubuh telungkup dalam simetris yang setangkup. tangan ayahmu tengadah merayu tuhan, “jadikanlah ia mahir untuk memilih mahar-maharmu, tuhan.� tangis pertamamu pecah. tapi semua orang tertawa.
Nabire, 18 Januari 2018.
11/ Yard - Edisi 06, Juli 2018
Dok. Klub Belajar Sipatokkong
KLUB BELAJAR SIPATÂÂOKKONG Fakhiha Anugrah Prastica
K
lub Belajar Sipatokkong adalah komunitas yang dibentuk dari inisiatif orangtua berjiwa muda yang memiliki Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Awalnya komunitas ini bernama Klub Belajar Terapis. Karena orang-orang yang ada di dalamnya adalah orang-orang yang bekerja sebagai terapis. November 2016, bermula dari bincang-bincang hangat pada sebuah kafe di Makassar oleh tujuh orang dengan latar belakang berbeda-beda yang akhirnya membuahkan sebuah gagasan dari mereka yang punya minat yang sama dalam hal kepedulian dan penanganan anak autis maka, dibentuk sebuah komunitas klub belajar relawan terapis Sipatokkong atau biasa disingkat dengan sebutan KBS. Orang-orang di dalamnya bukan lagi seorang terapis, tetapi orang-orang yang punya keinginan belajar menjadi seorang terapis, walaupun bukan dari disiplin ilmu kesehatan atau psikologi. Bahkan, seorang bapak yang memiliki anak berkebutuhan khusus dari ketujuh orang tadi, berubah haluan dari anak teknik menjadi 12/ Yard - Edisi 06, Juli 2018
terapis untuk anaknya sendiri maupun untuk anak dampingan Sipatokkong. Menjelang bulan Desember 2016, mulailah dilakukan pencarian dan observasi untuk calon anak dampingan Sipatokkong, serta dibuka pula penerimaan calon relawan terapis untuk angkatan pertama. Pada saat itu, belum dibuka secara umum. Hanya dari orang-orang terdekat kenalan dari ketujuh orang di atas. Tanggal 12 Desember 2016 untuk pertama kalinya dilakukan assessment dan juga pelatihan penanganan anak berkebutuhan khusus kepada para calon relawan dan juga kepada para orang tua dari sepuluh anak dampingan dengan diagnosis yang berbeda-beda. Tempat tinggal mereka masingmasing ada di daerah Daya, Pannampu, Maccini, Dahlia, Sunu, Veteran, Daeng Tata, dan dekat Rumah Sakit Pelamonia. Sipatokkong, nama yang diambil dari bahasa Bugis yang mempunyai arti saling mengokohkan, meneguhkan, dan atau menguatkan. Semua yang ada di lingkungan Sipatokkong punya peran untuk
saling menguatkan. Terkhusus kepada para orangtua ABK yang harus selalu diberi penguatan agar tidak menyerah terhadap keadaan anaknya sendiri. Klub Belajar Sipatokkong, selain sebagai tempat belajar menangani ABK bagi para relawan, juga memberikan pendampingan; terapi dan edukasi. Khususnya dengan anak yang berasal dari keluarga prasejahtera, yang mengalami gangguan perkembangan. Seperti autisme, cerebral palsy, down syndrome dan global delay development. Kegiatan ini dilatarbelakangi dengan melihat kenyataan peningkatan prevalensi ABK di Indonesia. Jika menggunakan asumsi PBB yang menyatakan bahwa paling sedikit 10% anak usia sekolah (5-14 tahun) m e ny an d ang ke butu h an khusus. Anak dengan kebutuhan khusus adalah anak yang secara signifikan (bermakna) mengalami kelainan/p enyimpangan (fisik, mental-intelektual, sosial, dan emosional) dalam proses pertumbuhan dan perkembangannya dibandingkan dengan anak-anak lain seusianya, sehingga mereka memerlukan pelayanan pendidikan khusus. Mengapa KBS menyasar ABK dari keluarga prasejahtera? Hal ini disebabkan karena minimnya informasi atau pengetahuan orangtua dari keluarga prasejahtera terkait dengan penanganan ABK. Seperti pengetahuan akan ilmu dan teknologi yang tidak dimiliki oleh orangtua ABK. Kenyataan lainnya, ketidakterjangkauan b i a y a p e n g o b at a n d a n penanganan (pemberian terapi) bagi ABK yang berasal dari keluarga prasejahtera. Mengingat
dalam realitanya, dana yang dibutuhkan untuk mengobati dan menangani (terapi) ABK cenderung memakan biaya yang mahal. Klub Belajar Sipatokkong juga menggalang dan memberikan berbagai pelatihan kepada para relawan yang nantinya akan menjadi terapis karena masih kurangnya tenaga terampil (terapis) untuk memberikan pendampingan dan penanganan dasar yang tepat bagi mereka yang tergolong ABK, baik itu di lembaga-lembaga pendidikan atau dari kalangan terdekat ABK itu sendiri. Te n ag a re l aw an d ar i b e r b a g ai k a l ang an d an profesi yang berbeda-beda, diberikan pelatihan tatalaksana penanganan ABK dengan metode applied behavior analysis yang disingkat ABA. Metode itu merupakan ilmu terapan yang menggunakan prosedur perubahan perilaku, untuk membantu individu membangun kemampuan dengan ukuran nilai-nilai yang ada di masyarakat. ABA yang dibuat oleh Prof. Ivar Lovaasse, telah melalui penelitian yang panjang pada tahun 1962. Setelah pelatihan tersebut, para relawan berkomitmen dalam kurun waktu 6 bulan pengabdian untuk wajib meluangkan waktu dalam memberikan pengajaran/ terapi minimal dua jam per pekan kepada 10 ABK keluarga prasejahtera. Jika berhalangan hadir di satu pekan, maka akan digantikan di pekan berikutnya dengan penambahan jumlah kedatangan ke rumah anak dampingan. Satu anak memiliki dua sampai tiga terapis yang akan datang tiap pekan bergantian di hari yang berbeda ataupun
datang bersamaan di waktu yang sama. Pada bulan ketujuh, Sipatokkong akan kembali membuka penerimaan calon relawan baru maupun anak dampingan baru. Sebelum mendapat pelatihan, orang yang mau bergabung bersama KBS diwajibkan melakukan obser vasi ke rumah tiga anak dampingan bersama relawan terapis. Hal ini bertujuan agar nantinya tidak kaget melihat keadaan si anak, sewaktu diterjunkan langsung ke lapangan untuk melakukan pendampingan. Setelah itu, dilakukan tes psikologi dan wawancara kepada calon relawan. Selain memberikan terapi tatalaksana penanganan ABK kepada anak dampingan dengan berbasis rumah atau home visit dengan menggunakan metode ABA. Sipatokkong juga punya program Support Parents Community, yaitu perkumpulan orang tua prasejahtera yang memiliki anak berkebutuhan khusus untuk saling memberikan dukungan, penguatan, serta memperoleh informasi terkait penanganan ABK. Dan juga aktif mengampanyekan kesadaran dan penerimaan terhadap ABK pada umumnya dan terkhusus pada ABK prasejahtera kepada masyarakat umum, melalui pemberian informasi maupun program kampanye lainnya yang diadakan pada tiap hari besar nasional, seperti memperingati hari kartini, hari kemerdekaan 17 Agustus, dan hari sumpah pemuda.
13/ Yard - Edisi 06, Juli 2018
Komik oleh Muhammad Iqbal Burhan
RESENSI BUKU: TORAJA DAN KEARIFANNYA A. Noer Chalifah Ramadhany
Judul Buku Pengarang Penerbit Tahun Terbit Cetakan
:S uku Toraja (Fanatisme Filosofi Leluhur) : Naqib Najah : Arus Timur : 2014 : ke-I (pertama)
Dimensi Buku
: x + 160 halaman
T
oraja berasal dari dua suku kata yakni To dan Riaja. To berarti orang, sementara Riaja berarti dari utara. Di sisi lain, ada juga yang mengartikan Toraja dengan orang yang datang dari barat, juga ada yang menyebutnya orang yang mendiami n egeri di atas. Sebutan Toraja dengan arti ‘orang yang datang dari barat’ berasal dari orang Luwu. Mereka menyebut Suku Toraja dengan To Riajang dengan arti barat, bukan utara. S ementara Toraja dengan arti ‘orang yang mendiami negeri di atas’ datang dari Pemerintah Kolonial Belanda. Pada tahun 1909, Pemerintah Kolonial Belanda sering menyebut suku yang menghuni di wilayah dataran tinggi tersebut dengan nama Toraja. Suku Bugis Sidenreng pun menyebut Suku Toraja dengan sebutan ‘orang
yang mendiami negeri di atas pegunungan’. Pendapat lain juga mengatakan Toraja berasal dari kata Toraya. To berarti orang, sementara Raya, dari kata Maraya, berarti besar. Dari Toraya atau Toriaja, masyarakat akhirnya memanggil suku ini dengan Toraja. Adapun kata Tana yang ada dalam Kabupaten Tana Toraja berarti negeri. Tana Toraja yang sebelumnya bernama Tondok Lepongan Bulan Tana Matari’ Allo yang berarti negeri dengan pemerintahan dan kemasyarakatan yang utuh-bulat bagaikan bulan dan matahari. Baru pada abad ke-17 masyarakat mengenal Tana Toraja, ketika mereka menjalin hubungan dengan daerah tetangga seperti: Bugis Bone, Sidenreng, dan Luwu. Jika dilihat dari sejarahnya, ternyata Suku Toraja berasal dari Teluk Tonkin, sebuah teluk yang terletak antara Vietnam dan Cina Selatan. Proto-Melayu adalah sebutan untuk salah satu kelompok Melayu. Secara migrasi, Melayu memang dibagi menjadi dua; Melayu-Proto dan Melayu Deutero. Proto-Melayu menyebar di Indonesia melalui: (1) jalur utara dan timur; dan (2) jalur barat dan selatan. Di jalur pertama, biasanya mereka menempuh rute Teluk Tonkin menuju Taiwan, Fillipina, Sulawesi, dan Maluku. Dari sinilah Suku Toraja mempunyai kaitan erat dengan 15/ Yard - Edisi 06, Juli 2018
Teluk Tonkin, Vietnam. Bahkan banyak yang menyebutkan bahwa Teluk Tonkin sebagai daerah asal mereka. Perlu diketahui bahwa Teluk Tonkin termasuk daerah yang kaya akan produksi beras. Dalam Suku Toraja terdapat lagi sub suku, yakni Toraja Seko (Suku Toraja yang melakukan perjalanan dari Luwu menuju daerah Seko), Toraja Duri (suku campuran antara Toraja dan Bugis), Toraja Mamasa, Toraja Kalumpang, dan Toraja Rongkong. Perpindahan dari satu tempat ke tempat lain tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan masa lalu. Itulah sebab adanya sub suku pada Suku Toraja. Manusia tidak hanya tumbuh dengan fisiknya. Manusia juga memiliki rohani yang juga tumbuh seiring berjalannya waktu. Spiritualisme menjadi salah satu kebutuhan rohani kita. Spritualisme yang ada pada Suku Toraja misalnya. Aluk Todolo sebagai dasar sprititualisme Suku Toraja. Aluk Todolo bisa juga disebut Alukta menjadi semacam aturan hidup. Aluk Todolo mempunyai peran penting di tengah masyarakat. Sebagai aturan yang menjadi penegas dalam sistem pemerintahan, sistem sosial, hingga kepercayaan. Dengan mempercayai Aluk Todolo, masyarakat menemukan rasa nyaman, tenang, dan kedamaian. Namun, ketika terjadi pengingkaran atau t ind a kan-t ind a kan yang bersifat melanggar aturan Aluk Todolo, dengan sendirinya malapetaka akan menimpa daerah sekitar. Suku Toraja yang percaya terhadap Aluk Todolo memang menjunjung tinggi nilai kejujuran. Siapa pun yang melanggar aturan, tanpa perlu
16/ Yard - Edisi 06, Juli 2018
pandang bulu, harus menerima hukuman sesuai dengan apa yang telah berlaku. Aturan tersebut sama sekali tidak memandang sanak keluarga, kerabat dekat, atau sahabat. Suku Toraja memiliki keunikan tradisi tersendiri. Contohnya ada pada upacara adat. Upacara kematian atau Rambu Solo antara lain berfungsi untuk membawa roh menuju pada transformasi: (1) Bombo (fase di mana arwah masih bergentayangan), (2) To Mebali Puang (kondisi di mana arwah berubah menjadi setingkat dewa), dan (3) Deata (transformasi menuju arwah pelindung). Ada yang menarik dari upacara Rambu Solo, yakni ketika seekor kerbau ditusuk dengan sebuah tombak sebelum jenazah diarak ke pemakaman. Prosesi Rambu Solo tidak berhenti sampai di situ. Setelah kerbau ditombak, seluruh anggota keluarga menginjak darah kerbau secara bergantian. Harapannya, agar ar wah keluarganya tidak sengsara. Selanjutnya ada upacara pergantian baju jenazah atau Ma’Nene, yang dipahami sebagai cara untuk memperhatikan mendiang nenek moyang. Di balik upacara Ma’Nene, ada kepercayaan yang mengikat yaitu aturan bahwa suamiistri tidak boleh menikah lagi pasca ditinggal meninggal pasangannya sebelum menjalankan upacara Ma’Nene tersebut. Lain halnya dalam upacara pernikahan atau Rambu Tuka’. Antara lain prosesi pernikahan di Suku Toraja terbilang sangat sederhana. Di sini, bukan penghulu agama yang bertugas mengesahkan sebuah pernikahan. Suku Toraja menunjuk pemerintah adat
atau yang biasa disebut Ada’. Satu bukti betapa sederhananya pernikahan di Suku Toraja bahwa tidak adanya kurban atau sesajen. Pernikahan yang megah biasanya hanya diselenggarakan oleh kaum bangsawan. Suku Toraja memiliki bahasa sendiri sebagai komunikasi harian. Secara garis besar, Bahasa Toraja mempunyai tiga dialek; Makale-Rantepao, Saluputti-Bonggakaradeng, Sillanan-Gandangbatu. Kuatnya karakter bahasa Toraja tidak lain karena faktor geografis. Kondisi tempat tinggal mereka yang berada di atas dataran tinggi, membuat Suku Toraja mempunyai karakter bahasa yang kuat dan tidak tercampuri bahasa lain. Masuknya dialek yang seolah menandakan percampuran Bahasa Toraja dengan bahasa lain, tidak lain karena pergeseran zaman. Pergeseran zaman yang menuntut komunikasi dalam bentuk multi-etnis secara tidak langsung membuat Bahasa Toraja menerima karakteristik dari bahasa lain. Transmigrasi penduduk dan penjajahan Belanda menjadi faktor penting terjadinya kombinasi karakter dalam Bahasa Toraja. Setiap suku mempunyai etika berbahasa yang berbedabeda. Lazimnya suku-suku yang ada di Indonesia, pada Suku Toraja dikenal dengan istilah Kada-kada Tominaa. Kada-kada Tominaa termasuk sastra Toraja yang dituturkan dalam upacara-upacara tertentu. Biasanya digunakan dalam upacara Rambu Solo’ dan Rambu Tuka’. Tominaa adalah tokoh adat Suku Toraja. Tominaa menjalankan peran penting dalam sebuah upacara adat. Ia berfungsi sebagai pendoa dan pemimpin dalam prosesi
pemberian sesajen. peninggalan sejarah, tempat- namun pembahasannya tetap Ketika Suku Toraja masih tempat yang sering dijadikan menjelaskan secara detail dari berada di era masa animisme, upacara adat, dan lain sebagainya. hal-hal yang umum diketahui dengan Aluk Todolo sebagai Selain itu, juga terdapat wisata oleh khalayak ramai sampai kepercayaan mereka, sosok budaya Ke’te Kesu’ (miniatur kepada hal-hal yang kurang yang ditunjuk sebagai Tominaa Toraja sebenarnya), Lemo orang mengetahuinya, juga dipandang dengan penuh (makam di dalam ‘Jeruk’), dan dengan penggunaan bahasa hormat. Kehormatan yang terus Londa (makam di dalam gua). yang sederhana sehingga dapat terjaga secara turun temurun. N a h , y a n g m e n j a d i memudahkan pembaca mengerti Kharisma yang begitu tinggi di kekurangan dari buku ini maksud dari isi buku ini. pundak Tominaa, Dalam buku mengharuskan ini, pengarang proses regenerasi m e n g i n g i n k an Satu bukti betapa sederhananya tidak bisa pembaca untuk diwariskan ke mengetahui lebih pernikahan di Suku Toraja bahwa tidak sembarang orang. banyak mengenai adanya kurban atau sesajen. Ta n a To r a j a S elain itu, maupun Su ku juga terdapat Toraja yang ada di seni literatur dalam Suku Toraja yang tetap adalah ide-ide pokok yang dalamnya. Bukan hanya pada awet hingga kini, biasa disebut tidak tersusun secara sistematis destinasi wisatanya, akan tetapi dengan Londe. Londe merupakan dengan pembahasan yang juga nilai-nilai sosial, kearifan seni berpantun khas Suku Toraja. berulang, bisa dilihat pada lokal, dan kekayaan budaya yang Londe berarti pantun, Ma’Londe BAB I yang seharusnya hanya dimilikinya. Disarankan bagi berarti aktivitas berpantun, membahas keadaan geografis traveller untuk membaca buku sementara Silonde adalah saling Tana Toraja, namun juga ini sebagai dasar pegangan untuk berpantun. Londe menjadi disinggung mengenai asal usul berkunjung ke Tana Toraja. media untuk mengungkapkan atau sejarah Tana Toraja yang Itulah sebab mengapa buku pendapat, perasaan, hingga pada dasarnya pembahasan ini layak untuk dibaca. tersebut dibahas pada BAB II nasihat. yaitu mengenai asal usul (asal Toraja juga menyuguhkan kata Toraja; hubungan suku wisata budaya bagi wisatawan. Toraja dengan Teluk Tonkin). Wisata budaya meliputi Walaupun pembahasan tidak b a n g u n a n - b a n g u n a n tersusun secara sistematis, Judul: Anak Muda dan Kota: Penelitian Palontang Durasi: 06:00 Menit Peneliti: Wilda Yanti Salam (Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Hasanuddin) Editor: Wildan Maulana (Peserta Residensi Tanahindie 2018)
SUB SCRIBE
Saluran Youtube Tanahindie 00:00/06:00
Awalnya, judul penelitian yang ingin diangkat nya mengenai “LGBT di Kota Makassar”. Namun, saat dalam diskusi kelas perdana, topik itu dipertimbangkan bahwa sulit mendapat informasi yang banyak dalam waktu yang singkat. Wilda kemudian memilih meneliti tentang “Durian” sebab ia berasal dari Kapubaten Luwu Timur berdekatan dengan Palopo sebagai daerah penghasil durian yang menyediakan pasokan ke
daerah-daerah di Sulawesi Selatan, khususnya di Kota Makassar. Akan tetapi, beberapa hal yang kemudian jadi pertimbangannya, sehingga memutuskan untuk mengganti topik lain untuk diteliti. Selang beberapa pertemuan, Wilda akhirnya memutuskan memilih topik “Pampang” sebagai daerah tempat tinggalnya sekarang dalam menjalani aktivitas kuliahnya. Dalam prosesnya selama meneliti, Wilda menemukan beberapa hal baru yang tidak pernah dipikirkan sebelumnya. Salah satunya soal
penamaan Pampang dari salah satu narasumbernya, katanya berasal dari kata “Terpampang”. Selain itu, Wilda juga menggambarkan sejarah Pampang yang digali dari cerita-cerita warga sekitar. Misalnya, Pampang dulunya adalah kebun nipah dan di sana beberapa warga sekitar menggantungkan hidupnya dari pohon nipah yang diolah menjadi bermacam-macam. Salah satunya diolah menjadi ballo (minuman yang berasal dari air nira pohon nipah dan enau).
17/ Yard - Edisi 06, Juli 2018
Apa Kabar, Langit? Puisi oleh Fauzan Al Ayyuby
Ilustrasi oleh Muhammad Iqbal Burhan
Apa kabar, Langit? Masihkah aku di bawahmu sepotong rindu yang celaka? Tanpa sepotong lengan perempuan yang dulu bersamaku, berjalan-jalan memegang gagang dan mayungi waktu? Dari rasa sakit, dari pertarungan sengit antara memiliki dan memilih pergi?
yang bertamu. Lalu pelukan kita adalau pulau sesungguhnya. Sebuah pulau dalam siluet mimpi yang lelap. Aku bahkan mencintaimu saat tertidur. Bagaimana mungkin kau pergi dan kehilangan kau hadirkan untuk menggantikanmu?
Hidup ini begitu mengejutkan. Tiba-tiba saja poros waktu menyusun sepi, menyudut tepi hingga aku berjalan seorang diri. Rahasia paling ganjil yang aku simpan sampai saat ini adalah masih mengharapkanmu. Hingga kesadaran menggenapi. Rasa panik kehilanganmu merasuk lalu merusak sistem kerja otak kiri. Rasa panik yang sama ketika kekeringan melanda sawah petani. Rasa panik dari menaruh-tanam benih unggul yang berujung urung karena langit dan cuaca tidak akur dengan harapannya. Hilangmu hadir. Sebuah ambigu dari keadaan yang tiada. Aku ingin kau, bukan hilangmu. Aku ingin memelukmu saat senja di sebuah pantai berlatar siluet pulau-pulau yang indah. Saat tubuhmu dan tubuhku bertemu, tak ada jarak
Apa kabar, Langit? Masihkah ia menjadi kehilangan?
18/ Yard - Edisi 06, Juli 2018
Aku melihat bintang mengedipkan mata. Di kala malam membawa selimutnya, aku justru menjadi kehangatan yang asing. Sejak kau pergi. Sejak kehilangan kau beri, langit seperti daun pisang di kepala istri para pemburu. Tidak ada payung di sana. Tidak ada kau yang menadah hujan saat air mataku mengucur, tidak ada kau yang meneduhkanku. Apa kabar, Kehilangan? Masihkah kau langit? 2017
Dok. Jalaluddin Rumi
MEMBACA GAMBARAN JALUR ‘SABBE SYNTHESIST’ Jalaluddin Rumi
P
ertama kali, sebelum catatan ini, sebenarnya pernah muncul semacam rasa penasaran tersendiri seketika melihat langsung pembuatan sarung sutra di Sengkang pada tahun 2012. Di bawah kolom rumah kayu, di beberapa deretan rumah, yang kata teman masih menekuni tenunan sutra meski tidak sama lagi seperti dulu. Kata tidak sama seperti dulu itu, kemudian menambah penasaran saya tentang sarung sutra yang disebut-sebut sebagai legenda manusia Bugis itu. Di awal Desember 2016, dua minggu setelah bersama teman lainnya melanjutkan rasa penasaran itu, kami berlima sampai di Lajokka, Kecamatan Tanasitolo. Secara bergantian dan terbagi dalam tim yang kami namakan tim Lipa’, yang menginap di rumah teman, dan tim Sabbe di rumah tante. Hal tersebut kami pilih karena melihat lokasi penenunan lipa’(sebutan sarung sutra Bugis) dengan pemeliharaan ulat sutra dan pemilinan
sabbe (sebutan benang sutra Bugis) jaraknya saling berjauhan. Sebelumnya, di minggu pertama pertengahan November 2016, beruntung bertemu dengan Kak Anida, salah seorang pemerhati ulat sutra yang telah digelutinya selama ini, baik sebagai pegawai Perhutani Sabbamparu atau sekadar membantu para petani ulat sutra di lingkungan desa setempat. Kami dibantu dan diizinkan untuk melihat langsung prosesnya, mulai dari penetasan telur ulat sutra yang dipesan dari Soppeng hingga pemeliharaannya, pengokonan, serta pemilinan nantinya. Sedang cerita penenunan walida (proses penenunan tradisional) di akhir November itu, miris sekaligus menggugah ketika mendengar tuturan kisah tante Wati, tante teman kami di Lajokka, sebagai daerah pengembangan penenunan walida yang asalnya berkembang di Tosora, pusat Kerajaan Wajo masa lalu. Tante Wati-lah kemudian mempertemukan kami dengan kisah-kisah yang 19/ Yard - Edisi 06, Juli 2018
selama ini hanya terdengar. Ia mengajak teman sejawatnya untuk bercerita kepada kami. Sedikit yang diceritakan tentang pemeliharaan ulat sutra, pemilinan sabbe, dan penenunan lipa’ dengan walida. Terbayang ketat sekali dalam prosesnya, sehingga saya tercengang dengan laku passabbe (pemelihara ulat sutra dan pemilin sabbe) dan pattennung (penenun lipa’). Betapa tidak, ternyata secara
diketahui kini. Reka menjejak kelindan, lipa’ sabbe inilah yang memberikan semacam semangat akan cerita masa sarung sutra yang sempat menghubungkan kebudayaan berbagai bangsa Nusantara dengan peradaban lain. Memp er temukan kebudayaan “luar” dan “dalam” melalui kreasi para passabbe dan pattennung. Seperti apa gambarannya? Kami mencoba
paparan seperti apa gambaran proses dan konsep pameran lipa’ sabbe, namun masukanmasukan komposisi gerak tiap penari demi menggambarkan karakter kekhasan empat daerah utama Bugis dalam historis lipa’ sabbe ini, tentu merupakan dasar pertimbangan kami dari Laborartorial Space (www.laborartorial.com; dan Instgram: @laborartorial) sebagai penggagas. Sedang
keseluruhan rentetan prosesnya menelan waktu selama hampir tiga bulan demi penyelesaian satu lipa’ sabbe (sarung sutra Bugis). Sewaktu itu kami pesan mappagiling. Motif legenda kisahnya, dari sambungansambungan cerita kak Anida dan tante Wati, serta suami Hj. Ida sebagai pelaku pasar lipa’ sabbe. Sering pula dimintai sumber wawancara terkait. Teramat rumit ternyata pujian lipa’ sabbe itu. Terlebih kecerahan warna dan kesederhanaan motif lipa’ sabbe. Ya, meskipun kami sadari, amatan belum cukup soal kenapa lipa’ sabbe menjelma khusus dalam wanita Bugis, sementara mappagiling melegenda pada takdir manusia Bugis, pun masih dapat terasakan sesukma prosesnya. Belum lagi ketika beberapa teman mesti bolak-balik MakassarSengkang. Juga pada beberapa rangkaian penenunan lipa’ sabbe, menunggu waktu luang pengerjaan satu dua proses di antaranya yang jarang lagi
padankan melalui pembuatan lipa’ sabbe. Di sinilah, setelah benang sabbe terselesaikan, kemudian menawarkan kisah ke teman pegiat pemerhati di Makassar. Te m a n Ur b ane g g s (Instagram: @urbaneggs) dari musik dan D’wiled (Instgram: @dwiled) dari tari serta empat teman perupa yang terkurasi desain konsep kar yanya. Masing-masing kami tantang untuk menggubah konsep kurasi pameran hasil amatan ini nantinya. Mereka tertarik sekaligus tertantang untuk menggambarkan sendiri proses kreatifnya dalam lipa’ sabbe. Urbaneggs yang kesemua anggotanya adalah laki-laki dengan spesialisasi instrumen masing-masing, ada yang tradisional dari kacaping (kecapi), juga modern dengan drang (gendang), gitar listrik, dan drum. D’wiled beranggotakan p e re mpu an , me nd e ng ar
dari teman perupa menjadi fokus eksposisi. Kolaborasi seni ini menjadi harapan untuk memahami lebih dalam makna lipa’ sabbe. Semoga bukan sekadar menghadirkannya kembali melainkan mampu mendekatkan kemanusian. Olehnya itu, diposisikan bermula di Rumah Kecil Antang Makassar sebagai eksposisi rancangan proyek penelitian jalur sutra. Niatannya adalah menelurusi jalur sutra Nusantara dengan model dan konsep "Sabbe Synthesist". Menginterpretasikannya ke dalam pameran di lokasi di mana sarung sutra pernah tertanam. Di Sengkang, lalu Pambusuang sebagai lokasi perkembangannya, terus ke Palembang sebagai lokasi pertama pembiakan; setidaknya dalam bentuk apapun.
Dok. Jalaluddin Rumi
20/ Yard - Edisi 06, Juli 2018
Kumpulan tulisan tangan peserta Penelitian dan enulisan “Anak Muda dan Kota” mengenai impresi P mereka selama p roses lokakarya di Kampung Buku.
Ulang Tahun Bobel, Icha, bersama Bocah-bocah CV. Dewi Beranda Kampung Buku 7 Juni 2018
Bimbingan Teknis (Bimtek) Tenaga Literasi di Jakarta Tanahindie – Balai Bahasa Sulselbar Meetup Komunitas Ininnawa Beranda Kampung Buku
27 Juni 2018
3 Juli 2018
Bincang Peserta Residensi Tanahindie
Diskusi Ramadhan: Meneropong Isu Lingkungan Hidup Pemilihan Gubernur Sulawesi Selatan 2018 Mongabay Indonesia - Kampung Buku 5Juli 2018
27 Juni 2018
Aktivitas Juni - Juli 2018
Pameran Seni Rupa "Serpihan Wajah" Seni Rupa Unismuh – Tanahindie 23 - 26 Juli 2018
Lapakan Penerbit Ininnawa dan Tanahindie Press UKM Terkam Kampus UNM Kampung Buku 20 - 21 Juli 2018
Kunjungan Asako Sasaki (Seniman Kuliner dari Jepang) Beranda Kampung Buku 27 Juni 2018
Riset Bunyi, Residensi Tanahindie 2018 Tanahindie
Proses Pembuatan Animasi dari Penelitian "Halaman Rumah/ Yard" Jelang "Pekan Seni Media" di Palu Tanahindie – Forum Lenteng
Juni - Juli 2018
Juli - Agustus 2018
Video Editing Lokakarya Penelitian dan Penulisan "Anak Muda dan Kota", Residensi Tanahindie 2018 Tanahindie - Kampung Buku Juni - Juli 2018
Bincang Kuratorial Pameran Mahasiswa Seni Rupa Unismuh Fakultas Seni Rupa Unismuh Tanahindie 7 Juli 2018
Evaluasi Jelang Penyusunan Buku Lokakarya Meneliti dan Menulis "Anak Muda dan Kota" Beranda Kampung Buku 12 Juli 2018
Bincang Peserta Lokakarya Penelitian dan Penulisan "Anak Muda Kota" Bersama Teman Difabel Tanahindie – Nur Syarif Ramadhan (Perdik) 12 Juli 2018
Riset Kemenangan Warga Barabarayya Tanahindie 25 Juli 2018
Anwar Jimpe Rachman Mempresentasikan Hasil Penelitian Tanahindie Anwar Jimpe RachmanDinas Arsip dan Perpustakaan Sumbawa Besar, NTB 23-29 Juli 2018
Kunjungan Perpustakaan Nasional Beranda Kampung Buku 25 Juli 2018
Residensi, Bincang & Pameran