Edisi 05, Mei 2018
(Kiri) Soundsphere menjadi salah satu pelebaran penelitian halaman rumah melalui presentasi bunyi, visual dan dialog dwibulanan untuk mencari kebaruan perspektif dan model kerja dalam merespons halaman r umah melalui bunyi, melacak jejak apa saja yang menjadi unsur yang membangun, baik dari dalam maupun dari luar halaman rumah, dan ruang p  ertemuan dan ruang kerja bersama (kolaboratif) antara pegiat musik, seni bunyi, seni visual, dan kalangan lain, serta membuka model kerja/ presentasi baru untuk pegiat musik dengan kalangan lainnya. (Kanan) Program Residensi Tanahindie 2018 merupakan salah satu siasat yang dibuka oleh Tanahindie bagi person dan kelompok dari manapun untuk belajar dan bekerja sama (penelitian, seni, pendokumentasian, dan bentuk lainnya).
Yard merupakan terbitan dwibulanan yang diterbitkan oleh Tanahindie. Tahun 2017 - 2018 penerbitannya bekerja sama dengan Arts Collaboratory dan Stichting Doen. Tanahindie Merayakan Halaman Rumah di Kampung Buku, k olaboratorium dan ruang dan ranah b ersama berwujud perpustakaan, menyebarkan gagasan lewat berbagai kanal dan cara sebagai jalan produksi, reproduksi, dan distribusi pengetahuan. www.tanahindie.org
Penanggung Jawab: Anwar Jimpe Rachman
Kolase: A. Thezar Resandy
Redaktur: Ade Awaluddin Firman, M uhammad Iqbal Burhan, R afsanjani
Video Editor: Wildan Maulana
Penulis: Rafsanjani, Agung Prabowo, Nurasiyah, Syahrani Said
Dokumentasi: Tanahindie
Peserta Residensi: Aziziah Diah Apriliya, A. Thezar Resandy, Ibe M Palogai, Wildan Maulana Fotografi: Aziziah Diah Apriliya, Ibe M Palogai
Grafika & Publikasi: Ade Awaluddin Firman
Redaksi menerima sumbangan materi publikasi, seperti esai, karya sastra, karya foto, ilustrasi, dan komik melalui email:
Alamat Redaksi Kampung Buku, Jalan Abdullah Daeng Sirua 192 E, Makassar, Indonesia 90231. Fanpage Facebook: Tanahindie Twitter: @dewiboelan Instagram: @tanahindie Youtube: Tanahindie Inc.
tanahindie@gmail.com
Kolaborator:
DIGITAL PUBLISHING: "YARD" https://issuu.com/tanahindie
Foto: Aziziah Diah Aprilya
MELANKOLI DAN PERCOBAAN BUNYI DALAM SOUNDSPHERE Rafsanjani
B
ebunyian dapat mengantar kita berpindah dari satu tempat ke tempat lain, melacak jejak masa lalu dengan merekamnya lewat bunyi dan menjumpai banyak kenangan di sana. Namun lewat bunyi pula memungkinkan terjadi banyak hal bagi banyak orang. Malam itu, Fami Redwan membuka gelaran seri pertama itu dengan menceritakan pengalaman halaman rumahnya bermula dari masa kecilnya. Fami adalah nama lama kancah musik Makassar, personil musik The Hotdogs, sebuah grup musik punk rock Makassar. Pada kurun waktu 2000-an, Fami mendirikan proyek musik solo bernama Tragic Soundsystem de ngan memainkan musik-musik dub/reggae/ska/ rocksteady lintas zaman, ras, dan teritori dengan maksud mencoba bermusik di aliran lain. Dalam proyek solonya, Fami memutuskan untuk tidak menciptakan lagu sendiri dengan alasan peralatan
musiknya yang sub-standard dan skillnya dirasa belum cukup. Pada pertengahan tahun 2014 lalu, Fami dan Elevation Records melakukan kolaborasi audio visual, merilis kaset dan CD berisikan lima lagu di EP International Bitter Day. Malam itu pukul 19.45, Fami memulai kisah masa kecilnya di Jakarta saat berumur 5 tahun. “Pertama kali saya berinteraksi dengan halaman rumah saat tinggal di Jakarta dan berpindah rumah dari permukiman perkotaan yang padat ke kawasan ‘pinggiran’ yang letaknya tidak jauh dari pusat kota. Halaman rumahku yang cukup luas waktu itu, di sekitarnya tumbuh rumput alang-alang menjadi awal interaksi saya dengan halaman rumah,” kenangnya. Ia lantas mengandaikan halaman rumah sebagai tempat sembunyi paling nyaman. Disela-sela Fami bercerita, petikan gitar intro lagu Cikal (Iwan Fals) tiba-tiba dimainkan-
3/ Yard - Edisi 05, Mei 2018
nya. Lirik lagu Cikal yang ber ulang-ulang seketika mengetuk batinku, entah karena apa, saya merasa terlalu sensitif atau me rasa aneh saja. Fami kemudian membangun mood dengan isian petikan gitarnya dilengkapi dengan vokalnya yang pelan, rendah, dan basah. Cerita Fami berlanjut saat pindah ke Makassar dan tinggal dalam lingkungan kompleks perumahan. Fami mengatakan, ketika ingin hidup di kota dan berencana untuk berkeluarga, “Usahakan tinggal di dalam kompleks karena di kompleks kendaraan cenderung lebih pelan dan anak-anak lebih mudah dipantau saat bermain.” Ujaran itu disambut senyum dikulum beberapa penyimak. Fami kemudian berkisah saat usia remajanya tahun 1991, ketika bapaknya pulang dari sekolah dan diberi hadiah dua buah walkman, satunya merek Sony dan satunya lagi Aiwa. “Kalau saya dengarkan lagu menggunakan walkman Sony, saking bagusnya suaranya, sampai-sampai cewek yang saya taksir lewat di depan halaman rumahku tidak saya perhatikan lagi,” akunya sambil tersenyum. Setiap lagu punya cerita bagi Fami, demikian halnya de ngan lagu Waiting in Vain (Bob Marley). Ia nyanyikan untuk mewakili cerita masa remajanya yang disambung dengan Terbunuh Sepi (Slank) sebagai pengantar untuk menceritakan masa SMA-nya. Tidak lama setelah lagu Slank itu selesai, ia melanjutkan kisah masa SMA-nya di bilang an Jalan Cendrawasih, Kota Makassar saat masih duduk di kelas satu. “Suatu ketika sepulang dari sekolah menuju rumah, saya langsung mengambil gitar dan memainkannya di halaman rumah dalam keadaan telanjang,” jelas lelaki berkacamata ini. 4/ Yard - Edisi 05, Mei 2018
Lagu Bob Marley menjadi salah satu lagu yang kerap kali dinyanyikan Fami yang membuatnya teringat dengan Malino, kawasan wisata berupa bukit dan lembah. Fami meng akui dirinya menyukai tempat ketinggian, berada di tempat yang tinggi memberinya kebebasan tersendiri. Seperti halnya saat Fami tinggal di Bandung dengan menyewa kos-kosan bertingkat di lantai paling atas—selalu menjadi tempat pilihannya. “Begitu jendela dibuka terlihat semua pemandang an yang ada di bawah, baik pohon-pohon, atap-atap perumahan, dan kendaraan seperti suatu kesatuan halaman rumah milik saya meskipun bukan kepunyaan saya,” cetus Fami. Lagu Redemption Song kemudian dinyanyikan Fami sebagai representasi kebebasan berpikirnya, kebebasannya dalam berkarya. Bagi Fami musiklah yang menyadarkan sekaligus mendamaikan perasaannya dan hidupnya tidak pernah jauh-jauh dari musik. Beberapa seri lagu dari dalam maupun luar negeri yang dicover Fami dengan gaya musik story tellingnya yang polos dan sederhana, ibarat kaleidoskop pengalaman masa kecilnya hingga menginjak umur empat puluh tahun. Pendengar seakan diajak tur menikmati cerita pengalaman fase hidupnya. Tiba giliran Suhud Madjid mempresentasikan karyanya. Berbeda dengan model presentasi Fami, Suhud mengawalinya dengan memperke nalkan alat temuannya yang dirangkai sederhana. Alatnya berupa kabel jenis standar yang disambungkan dengan skun (sepatu kabel) berfungsi sebagai penyambungan kabel yang diberi selotip bening kemudian ditempelkan ke tempat
atau benda (yang menjadi sumber bunyi). Selain skun kabel tadi, komponen speaker juga digunakan—disambungkan dengan kabel yang dilekatkan ke suatu benda yang akan direkam bunyinya. Nama alatnya adalah sound contact/med-contact, dan “Bisa dipakai di bidang penelitian bunyi,” kata Suhud. Alat eksperimen bunyi (sound contact) yang dibuat Suhud sangat sederhana dan terbilang praktis. Bahan untuk membuat alat perekam bunyi ini hanya membutuhkan modal sepuluh ribu rupiah sampai lima belas ribu rupiah, bahannya bisa didapatkan di toko listrik, “Khusus untuk speaker, bisa kita ambil dari radio atau sound yang rusak,” jelas Suhud. Alat perekam bunyi ini dapat digunakan untuk mengelola bunyi-bunyi yang sering kita dengar dalam aktivitas sehari-hari atau bunyi khalayak sekitar. Malam itu, Suhud mencoba mempraktikkan alat eksperimen bunyinya yang ditempelkan ke sisir yang kemudian digosok secara perlahan menghasilkan bunyi gesekan yang direkam dalam mixer audio. Dalam percobaan lainnya menggunakan mangkuk, di mana mangkuk ini diisi air yang dituangkan dengan pelan menghasilkan bunyi efek air yang mengalir. Percobaan terakhir menggunakan komponen speaker yang dilekatkan pada kursi drum bekas yang diketuk-ketuk dengan tempo pelan menimbulkan tiruan ketukan bunyi drum. Dalam percobaan-percobaan yang dipraktikkan Kak Suhud, penonton tampak dibuat takjub mendengarkan bunyi-bunyi yang dihasilkan lewat alat perekam bunyi yang sederhana dan praktis itu. Mungkin karena sebagian besar pengunjung dibuat penasaran
dan keheranan akan bunyi yang dihasilkan dari sound contact rakitan Kak Suhud membuat penonton tiba-tiba mengubah posisinya, yang awalnya duduk kemudian berdiri, yang jauh kemudian mendekat, merapat. Suasana malam itu seperti pertunjukan penjual obat keliling di pinggirpinggir jalan atau di pasar-pasar tradisional. Dalam petikan catatan konsep karya Kak Suhud, Bermain dengan Bunyi, ditulisnya, “Sadar ataupun tanpa sadar kita telah berinteraksi dengan lingkungan kita. Di sekitar rumah banyak sekali elemenelemen pembentuk suasana lingkungan. Ada suara mesin bengkel di samping rumah sebagai suatu penanda telah dimulainya sebuah aktivitas. Bahkan jika di kota masih tersisa suara burung di pagi hari. Saya senang mendengar dan merasakan itu semua, bahkan sejak lama saya selalu berpikir untuk merekam bunyi dari aktivitas-aktivitas itu. Teknologi pun sangat mendukung ide tersebut. Perkembangan dunia digital yang tidak semakin eks lusif akhirnya terjangkau juga. Di sebuah halaman rumah, jika kita mengamati lebih jauh, ba nyak peristiwa bunyi yang terjadi dan bisa untuk dinikmati, bahkan sebenarnya kita bisa bermain dengan bunyian itu.” Me nu r ut Ka k Su hu d, kita dapat berinteraksi atau bermain lewat bunyi dengan merekam lingkungan sekitar. Secara pribad i, Suhud berharap ada kolaborasi meskipun background seseorang adalah pemusik, “Kita bisa ke luar mengeksplor bunyi di kota, halaman rumah di kota bisa di mana saja, di jalanan, jembatan, atau di area lain di kota,” cetusnya. Setelah presentasi Suhud, giliran Juang Manyala men-
ceritakan pengalaman masa kecilnya hingga sekarang berkeluarga. Juang merupakan eks penghuni Melismatis, band yang bubar pada pertengahan 2016, lalu melanjutkan kiprahnya dalam band bernama Loka. Sejak kecil Juang sudah belajar les musik di sekolah musik sampai masa kuliah. Masa kecilnya tinggal bersama neneknya di Bone, 174 km dari arah timur Kota Makassar dan menyelesaikan sekolah dasarnya di sana. Aliran musiknya yang harmoni dan melankoli tertuang dalam konsep karyanya, yakni “Bunga di Halaman”. Suasana halaman rumah semasa di Bone bersama neneknya menjadi hal yang tak terlupakan bagi Juang. Neneknya yang sering kali menyiram bunga di halaman rumah sambil menunggu suaminya yang sedang sibuk dengan halaman rumah yang lain berbekas dalam ingatannya. “Nenek orangnya setia, dialah yang mengajari saya menjadi lelaki yang setia,” kenangnya. Memori tentang halaman rumahnya di Bone merupakan wujud dalam proses berkeseniannya hingga saat ini. “Setiap kali saya mengerjakan musik atau berbicara tentang musik, saya selalu teringat de ngan nenek dan suasana halaman rumah di Bone,” akunya. Empat tahun belakangan, Kak Juang kerja musik di komputer, lebih banyak di komputer. Ia membuat studio di Jalan Metro Tanjung bernama Prolog dijadikan sebagai tempat berkantor dan berkarya, mengerjakan iklan dan film, misalnya film Atirah berperan sebagai penata musik. Juang mengatakan film garapan Riri Riza itu film yang menggambarkan kisah hidupnya. Ia kemudian memainkan gitarnya dengan menerjemahkan pesan dalam petikannya ke dalam
lirik “Omale.. Omale… Omale… Usalai.. Utaro Uddani… Emma’.. Emma’… Emma’… Emma’……” Selanjutnya, Kak Juang menyuguhkan kolaborasinya dengan DJ Tesar dari Makassar Noise Teror. Dalam kolaborasinya menciptakan sebuah lanskap bunyi penuh komposisi dengan petikan gitar yang diotak-atik—diimprovisasikan dengan ramuan bising. Semakin lama frekuensinya semakin cepat berkejaran dan perlahan berubah menjadi noise riuh berfrekuensi rendah. Komposisinya lebih repetitif, satu atau dua jenis nada yang ditekan terus menerus selama lima menit menghasilkan resonansi berulang-ulang dan berlapis-lapis. Uniknya, trek yang dikolaborasikan meskipun terdengar berbeda, tetapi terasa ada benang merah yang saling menghubungkan. Pendengar lalu diantarkan pada nuansa musik padat berisikan irama menggebu. “Sesi Soundsphere pertama sebagai permulaan yang sangat baik, sangat menarik, menjanjikan, ada benih-benih yang lebih eksploratif yang ditunjukkan Suhud, soal me lankoli dimunculkan Juang dan Fami. Percobaan-percobaan seni bunyi yang dimunculkan tadi menjadi sangat penting dalam skena seni bunyi di Makassar,” jelas Kurator Soundsphere, Anwar Jimpe Rachman. “Soundsphere juga menjadi pra event Makassar Biennale 2019 untuk memancing para pemusik mengerjakan karyakarya dalam lintas seni dengan bekerja sama berbagai kalangan dengan orientasi bunyi dipakai sebagai alat bekerja bersama menceritakan tentang halaman rumah,” lanjutnya. Untuk edisi berikutnya, Soundsphere akan mengundang secara bergilir para pemusik lain dengan berkolaborasi ber5/ Yard - Edisi 05, Mei 2018
sama orang yang bukan pemusik yang rencananya akan digelar Juli 2018 di Taman Belajar Ininnawa, Bantimurung, Maros. Soundsphere merupakan pelebaran jangkauan proyek
seni dan penelitian “Halaman Rumah”, dengan melibatkan banyak pihak. Kali ini pemusik Makassar diharapkan berkontribusi dan berkolaborasi dengan menceritakan hal-hal paling sederhana, semisal peng alaman mereka tentang hala-
man rumah. Halaman rumah bukan hanya dalam artian fisik, tetapi sebagai sebuah gagasan tentang ruang yang lebih luas.
Terbit di Makassar Nol Kilometer DotCom (9 Mei 2018)
Buku Terbaru Penerbit Ininnawa
Books, Merchandise, and Art Stuffs
LOKASI KAMPUNG BUKU
Jalan Abdullah Daeng Sirua, No. 192 E (Kompleks CV Dewi, Samping Kantor Lurah Pandang, Panakkukang, Makassar) BUKA SETIAP HARI Jam 11:00 s/d 22:00 WITA, Minggu, jam 12:00 s/d 23:00 WITA 6/ Yard - Edisi 05, Mei 2018
KONTAK PEMESANAN BUKU WA/ Telepon: 0856 5668 1100/ 0411 433775 Email: distribusiininnawa@gmail.com Twitter: @kampung_buku Instagram: @kampungbuku Website: www.ininnawa.com Bukalapak: bukalapak.com/u/jualind Tokopedia: tokopedia.com/kampungbuku Shopee: shopee.co.id/kampung_buku KOLEKSI BUKU PENERBIT ININNAWA Selengkapnya di: www.ininnawa.com/terbitan KEDAI GERADERI KAMPUNG BUKU Take Your Coffee,☕ Find Your Books
Instagram: @kedaigeraderi
MEMBACA HALAMAN RUMAH
Foto: Ibe M Palogai
Agung Prabowo (Peneliti Komunitas Ininnawa)
S
ebagai pembaca yang ‘cerewet’ dan ‘banyak mau’, sudah menjadi tabiat saya untuk melakukan penilaian dan pemilahan. Penilaian dalam resensi ini bertujuan melakukan penyebaran gagasan, sedang memilah bermaksud mencuri gagasan—yang nantinya saya gunakan sebagai bahan untuk memperbaiki halaman rumah sendiri. Sebelum lebih jauh meringkas halaman demi halaman buku ini, perkenankan saya memandu pembaca untuk membuat orientasi ruang pada buku Halaman Rumah/ Yard (Tanahindie Press, 2017). Bagi yang kurang berkenan, silakan berhenti sampai di sini dan segeralah membaca buku ini karena penerbit telah menyiapkan orientasi singkat di bagian pendahuluan buku bagi pembaca.
Orientasi Ruang
Buku Halaman Rumah/ Yard memiliki 183 halaman yang diisi 13 penulis menawarkan cara berbeda mengurai gagasan masing-masing. Walau buku tidak mencantumkan keterangan dimensi kertas, untuk ukuran dan jenis huruf yang digunakan cukup bersahabat buat mata pada umumnya. Terbukti, ketika menikmati tiap lembaran halamannya, saya bisa menggunakan posisi apapun—duduk, jongkok, tengkurap, hingga baring menggunakan tumpukan bantal di kepala. Sampul putih bercorak abu-abu halus menyiratkan kesederhanaan kemasan. Sebuah pohon mungil terletak di sisi atas judul buku. Dengan tampilan seperti itu, saya tidak perlu khawatir akan menjadi pusat perhatian ketika menentengnya di atas angkot maupun kereta.
Kabar baiknya, pembaca tidak perlu khawatir kehabisan waktu ketika membaca Halaman Rumah/ Yard. Pasalnya, pembaca bisa meletakkan buku ini setelah menghabiskan satu bagian tulisan. Tidak ada kaitan khusus antara tulisan satu de ngan yang lain. Pembaca bisa saja mulai dari tulisan paling akhir, di tengah-tengah, mulai dari judul paling menarik, atau seperti yang saya lakukan, memulainya dari nama penulis yang saya kenal. Ada catatan penting di bagian ini. Ketika memutuskan untuk berhenti sejenak, terutama bagi pembaca yang memiliki kesulitan mengingat judul, pastikan Anda memiliki pembatas buku sendiri karena tidak ada pembatas yang disediakan. Bagi pembaca dengan mobilitas tinggi, khususnya orang-orang yang tinggal di perkotaan, Halaman Rumah/ Yard cocok untuk Anda. Cocok jika Anda membacanya di sela kesibukan kerja, sambil santap kopi di sebuah café, atau sembari mengawasi anak-anak bermain di halaman rumah—terlebih bagi mereka yang merindukan masa kecil dan kampung halaman. Tapi bukan berarti buku ini tidak direkomendasikan bagi Anda sebagai warga desa, yang rumahnya berada di tengah kebun berisi tanaman kakao, kopi dan ekstraksi di mana konsep halaman menjadi sangat kabur. Selanjutnya, mari kita ma suk ke bagian lebih serius dari buku Halaman Rumah/ Yard. Menengok Halaman Rumah Tetangga
Buku berjudul Halaman Rumah/ Yard meletakkan 9 tanda kutip di muka halamannya. Tanda baca itu bagi saya berusaha menunjukkan keluasan sekaligus keabstrakan sebuah konsep HALAMAN RUMAH 8/ Yard - Edisi 05, Mei 2018
atau PEKARANGAN RUMAH dalam konteks sosio-kultural masyarakat. Layaknya sebuah karet gelang, pembaca bisa menarik sejauh mungkin gagasan halaman rumah. Namun seperti itu, saya berusaha melenyapkan tanda kutip ketika membaca dan menggantinya dengan huruf kapital untuk maksud tertentu, salah satunya untuk menata ulang halaman rumah milik saya. Dua bagian tulisan di Halaman Rumah/ Yard menceritakan dinamika pengorganisasian dan advokasi komunitas warga terhadap hak-hak atas ruang penghidupan (Liza Marzaman dalam “Warga Kampung Pisang dan Buloa Merancang Ruang Hidup” dan Ibrahim dalam “Mata Air Hukum atau Air Mata Hukum?”). Kedua tulisan tidak hanya mengurai dinamika komunitas yang terjadi, tapi juga memberi perbandingan dalam dua konteks berbeda yakni masyarakat pedesaan dan perkotaan. Liza berhasil menarasikan dengan baik upaya warga Kampung Pisang dan Buloa untuk mendapatkan secuil ruang di tengah besarnya ambisi Kota Makassar menjadi Kota Dunia. Ruang bukan hanya soal kepemilikan sah atas sepetak tanah, tapi juga halaman rumah sebagai ruang sosial mereka—salah satu domain yang diperjuangkan. Proses panjang advokasi yang akhirnya memaksa pengembang berbagi halaman di wilayah pesisir kota. Ada pula kisah Buloa yang belum menghasilkan kesepakatan apa-apa. Ibrahim kemudian meng elaborasi halaman buku dengan pengalaman komunitas adat Seko di wilayah pegunungan Luwu Utara. Di tengah warga yang jatuh bangun menegakkan kawasan adat yang menjadi sumber utama penghidupan mereka, desa semakin terin-
tegrasi dengan pasar global melalui proyek-proyek berwatak developmentalisme. Perusahaan-perusahaan energi dan pertambangan kini berbaris dalam antrian di meja-meja layanan perizinan Pemerintah Daerah sembari menunggu aparatur kekerasan negara menyelesaikan pekerjaannya— menarik paksa sejumlah warga yang vokal dan kritis menolak pembangunan menuju peradilan. Mereka yang dihukum atas tuduhan sepihak sebagai barisan anti pembangunan, tradisional dan terbelakang. Kekerasan Kota Makassar ternyata tidak hanya dirasakan oleh komunitas Kampung Pisang dan Buloa, tapi juga oleh komunitas kesenian di Paropo sebagaimana diceritakan Siswandi. Dalam tulisan yang berjudul “Kesenian, Panggung dan Halaman yang Tersisa di Paropo”, penulis menceritakan hasil observasinya di sebuah tanah lapang yang digunakan warga untuk bermacam aktifitas, salah satunya mementaskan kesenian khas suku Makassar. Panggung kesenian (tanah lapang) yang kerap Sanggar Seni I Lolo Gading gunakan rupanya sudah menjelang ajal. Walaupun tidak ada mengetahui kapan tanah lapang akan digunakan pemiliknya, salah satu panggung kesenian warga Paropo ini berada di ambang kepunahan. Askariputri pun masuk berbagi pengalamannya sebagai seorang ibu yang khawatir dengan kondisi kota di mana anaknya tumbuh tanpa ruang bermain yang aman dan menyenangkan. Baginya, perkembangan kota, ke arah mana pun nantinya, tidak boleh sekalipun mengindahkan hak-hak anak untuk mendapat kehidupan yang layak. Halim HD, penulis lain yang berbagi pengalaman semasa kecilnya, memiliki gagasan lebih mengerucut untuk
memaknai halaman rumahnya. Bagi dia, dari halaman rumahlah anak-anak mulai mengenal kehidupan di luar yang lebih luas. Di tengah buku, saya terpaksa berterima kasih kepada Saleh Abdullah yang turut menyumbangkan tulisan berjudul “Kembali ke Pekarangan: Melawan Budaya Kota”—yang menjelaskan konteks global kekerasan wacana pembangunan yang berjalan. Globalisasi dan neoliberlisme dalam tulisannya tidak ubahnya dalang pembunuhan terhadap penghidupan dan kedaulatan warga kota—tempat pusatpusat industri terus tumbuh untuk menopang perkembangan kapitalisme. Terintegrasinya kawasan pedesaan dengan pasar global telah mengubah banyak hal di kehidupan masyarakat desa. Kota pun kemudian mengundang para migran dari pedesaan dengan sederat janji muslihat alternatif penghidupan. Dalam praktiknya, para migran turut membawa kehidupan kota kembali ke desa asal masingmasing, sebagaimana dalam tulisan Muhaimin “Halaman dan Identitas Para Return Mig rant” di bagian akhir Halaman Rumah/ Yard. Dalam tulisan itu dikisahkan para migran asal Desa Sukowilangun, Kabupaten Malang, sepulang dari kota-kota besar di luar negeri, mengubah bentuk fisik rumah dan merancang ulang halaman berdasarkan kenangan semasa mereka bekerja sebagai tenaga kerja Indonesia (TKI). Merancang Halaman Rumah Sendiri
Halaman rumah menjadi bagian paling rumit dalam negosiasi di rumah tangga saya, sekaligus bagian yang tidak perlu diperdebatkan. Apa yang perlu ada dan apa yang tak perlu
kerap menjadi sangat panjang dan berakhir pada keputusan yang absurd. Debat itu, menurut hemat saya, semakin menunjukkan bahwa halaman rumah masih menjadi ranah domestik yang abstrak—terlepas untuk apa dan siapa yang menggunakan halaman rumah untuk selanjutnya. Sampai ketika saya bertemu buku Halaman Rumah/ Yard dan menghentikan sejenak perdebatan itu. Paling tidak ada empat tulisan yang menawarkan kepada pembaca bagaimana memaknai dan merancang ulang gagasan Halaman Rumah atau Ruang Bersama itu bisa dilakukan. Berikut adalah gagasan yang saya maksud: Sawedi Muhammad dan Melkhior K. Baran menawarkan nilai-nilai budaya sebagai pendekatan menata kembali konsep halaman rumah dan ruangruang publik. Sawedi sebagaimana dalam tulisannya yang berjudul “Halaman Rumah, Ruang Publik dan Kota yang Bahagia” mengajukan dua gagasan yakni landasan moral spiritual yang disebut Panggade’rre’ng di masyarakat Bugis-Makassar dan Place Making (satu pendekatan di dalam memaknai ruang-ruang publik). Kedua gagasan inilah yang menurutnya perlu ada untuk mengeliminasi kekerasan-kekerasan di satu kota. Sedangkan Melkhior dalam “Nam’a dan El’a bagi Orang Lewotala di Kepulauan Solor” menceritakan dua domain ruang yang masih terjaga sampai sekarang yakni rumah adat yang disebut sebagai Korke dan rumah warga yang disebut El’a. Korke bagi warga berfungsi sebagai ruang bersama di mana ritual adat dan relasi sosio-kultural terjalin—di momen tertentu aktivitas politik elektoral memanfaatkannya sebagai ruang sosialisasi dengan konstituen—dan El’a menjadi
r uang domestik di mana aktivitas produksi dan interaksi antar personal warga terjalin di dalamnya. Kedua ruang inilah yang menjaga kesatuan nilai budaya masyarakat Kepulauan Solor secara umum. Lebih teknis, Fitriani A Dalay dan Taufik Dhany mengkalkulasi gagasan mereka tentang halaman rumah di dalam tulisan masing-masing. Berbekal hasil mengikuti Pelatihan Penelitian Desa di Soga, Kabupaten Soppeng, Fitriani melihat bagaimana warga desa memanfaatkan halaman rumah sebagai sumber pangan untuk menekan angka belanja konsumsi rumah tangga. Taufik lebih jauh lagi mengajukan beberapa hasil penelitian terkait pemanfaatan halaman rumah dalam satu kesatuan ekosistem penghidupan berkelanjutan. Sampai akhirnya penulis menawarkan solusi menata kembali halaman rumah menggunakan pendekatan Sustainable Livelihood Approach. Bukannya buku Halaman Rumah/ Yard tanpa cela. Walaupun telah menawarkan beragam gagasan tentang fungsi dan reposisi makna halaman dari ragam corak masyarakat di Indonesia, buku ini menurut saya masih kurang mampu membingkai gagasannya secara utuh. Tidak ada cara lain untuk membuktikan hasil kecerewetan saya terhadap buku Halaman Rumah/ Yard selain pembaca membuka halaman demi halamannya sendiri. Akhirnya saya ingin mengucapkan, selamat menata halaman rumah Anda.
Terbit di Makassar Nol Kilometer DotCom (23 April 2018)
9/ Yard - Edisi 05, Mei 2018
BEKERJA BERSAMA RUMAH BERBAGI ASA
Dok. Rumah Berbagi Asa
Nurasiyah
B
erkomunitas di Kota Makassar bukan lagi hal yang baru. Sarana belajar bagi anak muda bukan hanya terkungkung pada lembaga yang ada di sekolah atau kampus saja. komunitas tumbuh tapi tidak sekaku lembaga, sehingga banyak yang menetap dan merasa bekerÂja secara merdeka di dalamnya. Saya pernah mendapati beberapa relawan yang tergabung dalam komunitas ini, yang notabenenya adalah aktivis kampus, tapi ia merasa nyaman dan luwes bekerja dalam komunitas. Tiga tahun yang lalu, tepatnya pada tanggal 25 Januari 2015, Rumah Berbagi Asa (RBA) berdiri sebagai sebuah komunitas yang bergerak dalam bidang pendidikan dan sosial dengan pendanaan yang sejak tahun pertama hingga sekarang berupaya secara mandiri untuk merealisasikan beragam programnya. Komunitas ini digagas oleh lima orang anak muda di Kota Makassar, yaitu Nurasiyah, Aisyah Aminny, Asrianto, Ainul Yaqin, dan Isna Arliana 10/ Yard - Edisi 05, Mei 2018
Goncing. Tumbuh dan berkembang dengan visi mencerdaskan bangsa dengan pengabdian melalui pendidikan yang berakhlak, multikultural, dan global, RBA telah memiliki 15 angkatan dengan jumlah relawan sebanyak Âą200 orang. Rumah Berbagi Asa tumbuh sebagai ruang belajar yang fleksibel bagi relawannya dengan metode kerja pendidikan secara independen (merumuskan silabus dan cara kerjanya sendiri selama di desa) dan memacu produktivitas relawan dalam berkarya secara kolaboratif dan membangun jejaring sesama relawan. Membuka jalan selebar-lebarnya untuk belajar mengenal diri sendiri dan masyarakat serta sekelumit permasalahan yang terjadi di sekitarnya. Bekerja secara nyata dapat membantu relawan untuk meningkatkan kapasitasnya dengan diajak untuk menjadi bagian yang sifatnya solutif bukan “Supermanâ€? bagi masyarakat.
Kegiatan komunitas ini banyak dilaksanakan di desa, satu di antaranya adalah Kakak Guru. Kakak Guru merupakan satu dari beberapa program kerja tetap yang dirancang setiap tahunnya. Dapat dikatakan jika program Kakak Guru merupakan tolok ukur program yang miliki oleh komunitas ini. Terhitung sejak tahun 2015, sudah ada empat lokasi binaan, yakni Kuri Caddi Kab. Maros, Mangarabombang Kab. Maros, Patanyamang Kab. Maros, dan Ma’lenteng Tombolo Pao Kab. Gowa. Kakak Guru hadir sebagai wadah untuk menyalurkan keinginan relawan bekerja secara nyata, menyalurkan ide, gagasan, dan menumbuhkan kerja partisipatif di kalangan masyarakat, serta menampilkan narasi mengenai pendidikan dan kondisi sosial di pedesaan. Setiap bulannya akan di berangkatkan satu angkatan yang akan memfasilitatori guruguru sekolah dan warga desa selama empat hari. Sebelum berangkat para relawan akan mendapatkan pembekalan pada saat Sharing 1-3 yang dilaksanakan sebelum keberangkatan. Mulai dari rancangan pembelajaran hingga FGD untuk pengajaran, serta kelas penelitian yang dilakukan semata-mata untuk memberikan gambaran kerja yang akan dilaksanakan di desa nanti. Yang terlibat di dalamnya bukan hanya kalangan mahasiswa, tapi non mahasiswa juga diberi kebebasan untuk mengikuti program ini. Relawan akan melakukan kegiatan kelas formal dan nonformal di sekolah, kelas penelitian, dan kelas kreatifitas warga. Relawan akan dibagi sesuai dengan kemampuan kerjanya dalam beberapa ke giatan selama di desa. Sepulang dari desa, para relawan diminta untuk menulis jurnal kegiatan yang akan digunakan untuk
merefleksikan kegiatan yang berlangsung selama di desa. Tak jarang di setiap angkatan digunakan pola kerja berbeda sebagai bentuk evaluasi yang dilakukan untuk membantu keefektifan kegiatan di desa. Bukan hal yang mudah untuk mendampingi masyarakat desa. Tak jarang kedatangan kami dianggap sebagai hal yang mengganggu dan kerap dicurigai. Kali pertama kami datang dengan jumlah yang hampir 50 orang, kami dianggap mahasiswa yang sedang Kuliah Kerja Nyata (KKN). Suatu waktu di bulan Januari lalu, kami me laksanakan Milad Komunitas di desa. Setiap anak sekolah dan warga desa membawa kado dan beras merah sebagai kenang-kenangan. Kami baru saja datang dan mulai mengatur program untuk desa ini, sementara mereka menganggap kalau ini adalah perpisahan. Ditambah lagi di kadonya beragam ditulis kalimat, “Terima kasih kakak KKN atas semuanya. Saya sayang kakak KKN”. Jelas ini menjadi bagian paling berat bagi kami, di awal kedatangan, kami harus berupaya menggambarkan kepada warga desa bahwa kami bukan mahasiswa KKN tapi relawan. Kami ke
desa bukan karena desakan kurikulum, tapi kami tulus dan ikhlas untuk membantu dan belajar bersama masyarakat desa secara lebih dekat, karena bagi kami kecerdasan adalah hak semua wilayah bukan sebagian. Selama bekerja bersama warga desa kami menemukan banyak realitas yang terjadi sebagai bentuk perefleksian kepada diri sendiri dan semua hal yang terjadi di sekeliling kami selama ini. Tulisan-tulisan dari relawan RBA dapat diakses di www.rumahberbagiasa.esy.es dan dapat dihubungi di beragam media social seperti di instagram: @rumahberbagiasa. Salam BeRBAgi.
11/ Yard - Edisi 05, Mei 2018
Dok. Komunitas Ininnawa
SIMPOSIUM PENGORGANISASIAN RAKYAT Syahrani Said
E
mpat belas lembaga atau komunitas hadir dalam Simposium Pengorganisasian Rakyat yang diselenggarakan oleh Komunitas ÂIninnawa selama dua hari, tepatnya 11-12 April 2018 di Taman Belajar Ininnawa (dulunya bernama Pusat Belajar Komunitas Ininnawa) yang berlokasi di Bantimurung, Kabupaten Maros. Dalam Simposium ini mengumpulkan hampir seluruh gerakan pengorganisasian rakyat yang berada di Sulawesi Selatan, masing-masing lembaga berbagi pengalaman dalam hal mengorganisir masyarakat atau kelompoknya. Setiap lembaga memiliki cerita yang berbeda, meskipun secara tujuan mempunyai kemiripan antara lembaga yang satu dan lainnya, yaitu melepaskan masyarakat dari permasalahan mendasar dalam kehidupan sehari-harinya. Dari empat belas lembaga, sebagian besar mengorganisir di wilayah perdesaan, sisanya di perkotaan. Dimulai dari Sekolah Rakyat Bowolangit yang berbasis di kawasan dataran tinggi, Kabupaten Gowa. Muhlis Paraja sebagai salah satu perwakil an lembaga ini mengatakan bahwa awalnya ia berinisiatif mengajak masyarakat untuk mendirikan lembaga Sekolah Rakyat Bowolangit dengan tujuan meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai pertanian, mulai dari hulu hingga hilir.
Gerakan yang hampir sama juga dilakukan oleh Bang Armin di Desa Salassae, Kabupaten Bulukumba. Ia membina petani setelah mengalami berbagai kegagalan dalam budidaya di bidang pertanian dan peternakan, Bang Armin akhir nya pulang kampung dan mendirikan sebuah komunitas bernama Komunitas Swabina Pedesaan Salassae, didirikan sejak tahun 2011. Komunitas ini merupakan organisasi tani yang berfokus pada pembinaan petani dalam berorganisasi dan memproduksi pengetahuan, dengan tujuan agar pertanian organik yang mereka lakukan dapat disosialisasikan oleh petani Salassae di desa-desa lainnya. Tidak jauh berbeda dengan kelompok jemaah An-Nadzir dari Kabupaten Gowa, mereka memiliki sistem kehidupan berbasis Rahmatan Lil Alamin dengan menjalankan tujuh pilar kehidupan yaitu, pertanian, industri, perdagangan, jejaring, pendidikan, kesehatan, pertahanan, dan keamanan. Mereka benar-benar berdaulat, tidak bergantung kepada dunia luar untuk pemenuhan kebutuhan hidupnya, sebab mereka memiliki dan mengelola seluruh sumber daya yang ada di sekitar melalui prinsip-prinsip pengorganisasian yang disepakati dan dijalankan bersama. Hal ini mereka lakukan tentu saja tanpa sokongan
program-program titipan dari pemerintah. Selanjutnya ada beberapa organisasi di luar masyarakat yang melakukan pengorganisiran rakyat, seperti Blue Forest, yaitu lembaga yang berfokus pada pendampingan petani tambak di Kabupaten Pangkep. Mereka meningkatkan penge tahuan petani tambak dalam menganalisis perkembangan produksi tambak, dengan menerapkan sistem tambak yang menggunakan bahan-bahan organik. Kemudian, lembaga Social Forestry Enterpreneurship, mengorganisir masyarakat yang bermukim di sekitar hutan dengan tujuan memperjuangkan hak atas pengelolaan sumber daya hutan agar pemerintah dapat memberi wewenang tersebut kepada masyarakat, serta hutan dapat dimanfaatkan sebagai penopang perekonomian mandiri masyarakat. Begitu juga dengan lembaga Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) yang bergerak di bidang advokasi masyarakat dalam kasus perampasan lahan atau yang erat kaitannya dengan pertambangan, dan proyek pembangkit listrik atau isu-isu lingkungan lainnya. Kemudian Balang Institue, mengorganisir masyarakat setelah perampasan lahan pertanian yang kemudian ditetapkan menjadi kawasan hutan lindung atau jenis hutan-hutan lainnya yang diatur dalam konstitusi negara. Balang Institue mencoba me lakukan upaya negosiasi kepada pemerintah untuk membebaskan lahan pertanian atau hutan masyarakat. Peran perempuan dalam pengorganisasian rakyat sa ngat penting adanya, perempuan memiliki power untuk mengubah keadaan. Seperti yang dilakukan oleh seorang ibu rumah tangga, mewakili Komite Perjuangan Rakya Mis-
kin (KPRM), mereka berbicara mengenai isu-isu yang kerap kali membuat mereka makin terdesak karena kemiskinan. Seperti kesehatan, pendidikan, identitas, dan kebijakan kenaikan harga. Selanjutnya dari Solidaritas Perempuan Anging Mamiri yang mengorganisir perempuan-perempuan di dua desa di Kabupaten Takalar pasca pendirian perusahaan tebu, PT. Perkebunan Nusantara XIV yang merampas tanah pertanian masyarakat untuk dijadikan lahan perkebunan tebu. Masyarakat yang memilih mempertahankan tanahnya terutama kaum perempuan yang kehilangan profesinya, mengalami trauma akibat tindak kekerasan, kriminalisasi, dan intimidasi dan perlahanlahan mereka terlepas dari trauma-trauma yang dialami dengan melakukan berbagai kegiatan positif yang produktif. Melibatkan orang muda merupakan salah satu upaya yang dilakukan oleh Sekolah Rakyat Petani (SRP) Payo-payo, membuat program penelitian di desa dalam waktu yang cukup lama dengan melibatkan orang muda sebagai pelakunya. Mereka datang belajar tentang pengorganisiran dan belajar banyak hal dari petani dengan melihat fenomena kehidupan petani lebih dekat. Upaya lainnya yang telah dilakukan oleh orang-orang muda datang dari Komunitas Sahabat Alam (KOSALAM) yang berbasis di Kabupaten Maros. Mereka adalah kumpulan orang muda yang bekerja bersama petani dan lembaga Non Goverment Organization (NGO), untuk pengembangan pertanian organik dan pengembangan wirausaha para petani. Di penghujung simposium, ada dua komunitas yang tidak bersentuhan langsung dengan masyarakat atau pertanian,
melainkan mereka melakukan pengorganisasian di dalam kelompoknya. Pertama yaitu, Komunitas Sehati Makassar (KSM), komunitas ini mengangkat isu LGBT sebagai fokus utama pergerakannya, dengan berusaha keras menghadapi banyaknya tekanan dari dunia luar yang kerap kali memberikan stigma dan perlakuan tidak menyenangkan terhadap kelompoknya. Di dalam kelompoknya, mereka saling menguatkan dan memberi dukungan antarsesama anggota. Kemudian kelompok kedua dari Persatuan Difabel Indonesia untuk Kesetaraan (PerDIK), lembaga ini telah banyak membantu orang-orang disabilitas untuk tetap semangat dan tidak putus asa menjalani hidup di tengah stigma-stigma yang diberikan masyarakat kepada mereka. Kegiatan yang mereka lakukan adalah pe ningkatan pengetahuan, membantu penyandang disabilitas dalam biaya pengobatan dan juga mereka telah melakukan kegiatan yang mungkin bagi sebagian orang adalah kemustahilan, yaitu Ekspedisi Menembus Batas dengan segala kekurangan secara fisik mereka membuktikan diri mampu mencapai puncak tertinggi Sulawesi, Gunung Latimojong. Setelah mendengar penuturan dari masing-masing lembaga dalam Simposium ini, bisa disimpulkan bahwa untuk kesejahteraan masyarakat, kita tidak membutuhkan negara menghujani masyarakat bantuan, tetapi tidak banyak meng ubah kehidupan masyarakat, kita hanya butuh orang-orang yang ingin berpikir dan meng ubah realitas melalui tindakan dan perbuatan kongkrit. Akhir kata, bahwa inti dari semua pengetahuan adalah bagaimana kita kembali ke masyarakat. Salam. 13/ Yard - Edisi 05, Mei 2018
DISKUSI BUKU SERI IV "HALAMAN RUMAH / YARD"
Dok. Tanahindie
Laporan Tim Publikasi Tanahindie
D
alam Bincang Buku Halaman Rumah/ Yard yang diselenggarakan oleh Dewan Mahasiswa Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar bekerja sama dengan Tanahindie, Stichting Doen, dan Arts Collaboratory di Pelataran Fakultas Adab dan Humaniora UIN Alauddin Makassar menghadirkan lima narasumber. Diantaranya Imam ElHaq (Carabaca), Zulkifli, Fitriani A. Dalay (Tanahindie), Rafsanjani (Mahasiswa Pendidikan Antropologi UNM), Muhammad Iqbal Burhan (Kampung Buku), dan Saparuddin Numa (Mahasiswa UIN) berperan sebagai Moderator. Imam ElHaq sebagai pembicara pertama, memulai bincangan dengan menghubungkan penelitiannya pada masyarakat adat Tobaku di Kulawi, Sulawesi Tengah dengan buku Halaman Rumah/ Yard. Dalam melihat halaman rumah dari segi sejarah geografisnya, Imam membaginya
dalam dua konsep, yaitu rural (perdesaan) dan urban (perkotaan). “Penelitian yang saya lakukan sekitar tiga tahun yang lalu, tahun 2015 pada masyarakat adat Tobaku. Dalam konteks rural, dengan melihat perubahan-perubahan agraria yang terjadi di sebuah perdesaan yang cukup jauh dari kota, akses jalannya yang susah dijangkau, dan listrik dari PLN belum dapat dinikmati oleh masyarakat setempat,” papar Imam sebagai pengantar bincangannya. Imam menjelaskan bahwa masyarakat Tobaku melihat halaman rumahnya sebagai ruang hidupnya. Hutan, kebun, ladang, dan sungai adalah halaman rumah mereka, di mana mereka bergantung dari potensi yang ada di sekitar. Di sisi lain, kata Imam, “orang-orang Tobaku mempunyai berbagai macam konsep terkait ruang hidupnya, misalnya hutan adat sebagai hutan terlarang untuk dieksploitasi—menebang pohon
atau mengubah fungsi hutan, orang Tobaku menyebut hutan adat dengan istilah penuluh. Setiap ruang hidup (halaman) masyarakat adat Tobaku diberi definisi tersendiri dengan berbagai macam sebutan sesuai dengan fungsinya masingmasing, seperti hutan yang dapat dikelola untuk pertanian (disebut: oma), kebun (disebut: Pampa’), ladang (disebut: bilangkea’), dan ladang-ladang yang sementara dikerjakan (disebut: bonea’).” Imam juga menambahkan, aturan-aturan penguasaan dan penggunaan lahan dalam ruang hidup masyarakat Tobaku dulunya dikelola secara adat berbasis kearifan lokal sudah mulai bergeser, namun dari segi penamaan tetap digunakan. “Transformasi ruang hidup masyarakat Tobaku perlahan mulai berubah, dari status kepemilikan secara komunal perlahan berubah menjadi kepemilikan pribadi atau privat,” lanjutnya. “Waktu pertama kali saya datang di lokasi penelitian tempat orang Tobaku bermukim —‘perubahan besar’ mulai terjadi akibat masuknya tanaman komoditi kelapa sawit, mengingat akses pasar orangorang Tobaku lebih dekat de ngan Kabupaten Mamuju Utara yang dikenal sebagai ‘kabupaten sawit’, mereka orang-orang Tobaku menyaksikan langsung kejayaan sawit di Mamuju Utara,” cetus Imam. Dalam hal ini, kata Imam, ladang-ladang (bonea’) yang dulunya ditanami padi sebagian masyarakat menggantinya dengan tanaman sawit, hal ini memunculkan peralihan dari penguasaan tanah yang dikelola secara bersama (komunalisme) menjadi penguasaan secara pribadi sehingga memicu munculnya konflik dalam satu rumpun keluarga. Sebelumnya,
ladang-ladang yang ditanami padi atau tanaman hortikultura, batas-batas lahan tidak pernah dipersoalkan, dan ketika sawit mulai ditanam batas-batas wilayah kemudian dipersoalkan. Artinya, tegas Imam, “Ha dirnya komoditi kelapa sawit mengubah status penguasaan tanah yang awalnya dimiliki secara bersama menjadi pe nguasaan pribadi atau privat,” terangnya. Dalam konteks urban, menurut Imam, melihat halaman rumah sebagai sesuatu yang ideologis—sifatnya tidak lagi material tetapi hanya menjadi sebatas mementingkan aspek keindahannya (pemandangan) tanpa memikirkan aspek ekologisnya, seperti di kota-kota besar membangun gedunggedung bertingkat yang besar dan mewah di kawasan pesisir pantai (baca: reklamasi) telah menunjukkan terjadinya transformasi besar, secara implisit lewat buku Halaman Rumah/ Yard menerangkan bahwa pesatnya pembangunan kota membuat orang-orang yang termarjinalkan sebagai ‘orangorang kalah’. Imam menuturkan, usai membaca Halaman Rumah/ Yard dengan berbagai macam dinamikanya, sebenarnya yang ingin disampaikan bahwa rentetan fase-fase perubahan di kota, khususnya di Kota Makassar yang dulunya perkampung an berubah menjadi perkotaan disebabkan oleh adanya dorongan migrasi dan pesatnya pembangunan kota menghadirkan sebuah fenom ena terpisahnya halaman rumah orang-orang Bugis-Makassar, halaman yang dulunya sebagai ruang hidup secara kultural dan sosial perlahan mulai hilang dan hanya menyisakan memori ingatan dan kenangan. “Benang merahnya dengan penelitian saya mengenai dinamika pe-
rubahan agraria yang terjadi pada orang-orang Tobaku, yaitu konflik yang terjadi akibat penguasaan tanah secara privat dan semakin sentralistik menjadi faktor pendorong orangorang desa bermigrasi ke kota nantinya,” terangnya. Zulkifli dalam kesempatannya memaparkan bahwa peran definisi tentang ruang digambarkan dalam tulisan pengantar Anwar Jimpe Rachman dan tulisan Yoshi Fajar Kresno Murti Urbanisme Halaman Rumah dalam Halaman Rumah/ Yard. “Dalam pengantar tulisan Jimpe, saya melihat sebuah tawaran yang bersifat ekologi namun lebih mengarah ke antroposentris—sebagian besar halaman diberdayakan untuk manusia, sedangkan konsep ekologisnya tidak betul-betul dilakukan secara maksimal karena adanya unsur kepemilikan dalam sebuah rumah yang mengintervensi halaman, meskipun upaya untuk mewujudkan konsep ekologis itu ada, tanah sebagai tempat tumbunya pepohonan dan tanah sebagai tempat hidupnya berbagai ekosistem di dalamanya,” jelas Zul. Dalam bagian tulisan lainnya, Zul menjelaskan bahwa narasi yang dibangun dalam tulisan Cerita Tiga Kampung sangat menarik, di mana tim penulis dalam tulisan ini menunjukkan perbandingan ketiga kampung di Kecamatan Panakkukang, yakni Kampung Paropo, Kampung Rama, dan Perkampungan di Jalan Sukaria. Warga Kampung Paropo sebagai warga lokal sejak dahulu masih mempertahankan identitas kebudayaannya, baik secara kultural maupun struktural— sebagian besar masih memiliki ikatan darah satu sama lain. Secara naratif di Kampung Rama dijelaskan sebagai kampung koloni, lebih rapi dalam penataan tempat tinggalnya, 15/ Yard - Edisi 05, Mei 2018
mayoritas warganya beragama kristen, sering berkumpul di gereja dengan menciptakan suasana kampung halamanya, yaitu Toraja. Sedangkan tulisan tentang Sukaria digambarkan tidak seperti anggapan saya sebelumnya, Sukaria sebagai perkampungan yang chaos namun sebaliknya Sukaria sebagai perkampungan yang mayoritas warganya memba ngun kesadaran bersama untuk menciptakan keamanan dan ketertiban wilayahnya. “Model penulisan sebagian besar dalam Halaman Rumah/ Yard cenderung menggunakan model jurnalisme warga de ngan menggunakan pendekatan subjektif, dalam artian unsur subjektifitas menciptakan narasi antagonisme dalam sebuah teks. Seperti dalam tulisan Warga Kampung Pisang dan Buloa Merancang Ruang Hidup, saya melihat bahwa negosiasi antara warga sebagai pemilik lahan dan pengguna lahan memunculkan antagonisme,” ungkap Zul. Gayung bersambut. Fitriani A. Dalay, salah satu penulis yang mengikutkan tulisan Halaman Rumah, Bekal Ketahanan Pa ngan Desa dan Kota, menceritakan pengalamannya dalam melakukan riset di Desa Soga, Kabupaten Soppeng. “Riset kecil-kecilan yang saya lakukan sekitar sepuluh tahun yang lalu di Desa Soga, Kecamatan Marioriwawo, Kabupaten Soppeng, secara garis besar saya
16/ Yard - Edisi 05, Mei 2018
temukan bagaimana halaman rumah membantu perekonomian warga di desa,” ungkap Piyo yang jadi sapaan akrabnya. “Ibu desa, istri kepala desa mampu menghemat total belanja makanannya menjadi Rp.1.875.000 dari Rp.2.700.000 dengan menanam dan memetik sayur di halaman rumahnya sendiri dibanding membeli sayur di pasar. Mengingat jarak tempuh ke pasar biasanya memakan waktu 20 menit dengan menggunakan motor, lumayan lama dan jauh,” cetus Piyo. Rafsanjani dalam gilirannya menceritakan pengalaman pribadinya menjadi bagian tim asisten peneliti dalam penelitian Halaman Rumah. “Ikut menjadi bagian tim asisten peneliti dalam penelitian di tiga kampung di Kecamatan Panakkukang, saya belajar banyak hal dalam melihat kota itu sendiri. Dari hal-hal terkecil, dengan mencari tahu kebiasaan warga lakukan, pekerjaan yang dilakoninya, hingga mengetahui sejarah perkampungan itu sendiri dan hal itu hanya bisa didapati dengan melakukan riset,” jelas Rafsan yang jadi sapaan akrabnya. Ia lantas menceritakan soal metode belajar dan bekerja yang didapati di Kampung Buku dan Tanahindie. Bagi Rafsan, Kampung Buku dan Tanahindie sebagai ruang alternatif belajar banyak hal, dengan mengutamakan praktik dibanding teori, cara pandang
atau pendekatan yang lebih dekat dan berbanding terbalik dengan metode yang diajarkan di kampus,” ungkapnya. Tiba giliran Muhammad Iqbal Burhan menceritakan pengalamannya membuat komik dalam Halaman Rumah/ Yard. “Di Kampung Paropo sebagai salah satu lokasi penelitian halaman rumah, saya sering nongkrong di warungnya Ibu Ani, di depannya adalah lapangan, setiap sorenya ramai dijadikan sebagai tempat bermain untuk anak-anak dan berbagai kalangan lainnya sebagai tempat untuk berkumpul. Sambil mendengar cerita pengalaman hidup Ibu Ani, sejak tahun 1980-an tinggal di Paropo, saya kemudian menggambarkan setiap aktivitas yang terjadi di sekitaran warung Ibu Ani dan lapangan tempat berkumpul dan bermain untuk anak-anak dalam gambar bercerita yang sekarang dimuat dalam Halaman Rumah/ Yard".
Aziziah Diah Aprilya. Sapaan Zizi. Lahir di Raha, 25 April 1997. Kuliah jurusan Ilmu Komunikasi, Universitas Hasanuddin. Hobi memotret, menulis, menonton, dan mendengar apapun. Pernah mendokumentasikan Makassar International Writers Festival (2016-2018) dan menjadi Tim Dokumentasi Makassar Biennale 2017. Sehari-hari disibukkan dengan aktivitas kuliah dan belajar meneliti di Kampung Buku melalui fotografi. A. Thezar Resandy. Tesaran lahir di Ujung Pandang 1 Mei 1994, alumnus Universitas Pasundan Bandung. Kini menetap di Makassar dan berkarya dalam seni bunyi, noise di “Makassar Noise Terror”. Ibe M Palogai. Lahir di Takalar, 18 Mei 1998. Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Fajar. Menggeluti dunia fotografi sejak tahun 2016. Kini bekerja dan menjadi Fotografer Muda di Harian Fajar. Pernah menjadi Tim Dokumentasi Makassar International Writers Festival (MIWF) 2016 dan Makassar Biennale 2017. Melihat kota dalam sudut pandang cahaya menjadi topik residensi di Tanahindie kali ini, bagaimana anak muda melihat ruang kotanya dalam bentuk lain. Wildan Maulana. Lahir di Makassar, 5 Juli 1998. Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Hasanuddin. Menekuni edit video sejak 2016. Kini belajar video editing dan mengikuti Tim Kerja Dokumentasi dalam Lokakarya Penelitian dan Penulisan “Anak Muda dan Kota” sejak Januari – Juli 2018, Tanahindie.
Aktivitas April - Mei 2018 Focus Group Discussion "Internet Sebagai Ruang Mobilisasi Isu Sosial" Peneliti LIPI x Kampung Buku
Soundsphere Edisi 1 Tanahindie 26 April 2018
27 April 2018
5 Mei 2018
3 Mei 2018
21 April 2018
Diskusi Buku Seri IV "Halaman Rumah / Yard" Fakultas Adab dan Humaniora UIN Alauddin
Seri Bincang: Fotografi, Penelitian & Dokumentasi Tanahindie
Education Trip: Belajar dan Bermain di Perpustakaan Kampung Buku Sekolah Dasar Inpres Unggulan BTN Pemda Kelas 2 C x Kampung Buku
Sumbangan Buku Komunitas Paseban Kampung Buku 3 Mei 2018
Pertemuan Jaringan Seniman Perempuan Indonesia Timur Koalisi Seni Indonesia x The Ribbing Studio 3 Mei 2018
Kunjungan dan Obrolan Santai Bersama Penerbit dari Inggris British Council x Tanahindie, Kampung Buku 4 Mei 2018
Talkshow "Makassar Creative Summit 2018: Green Ecosystem" Makassar Creative Summit x Kampung Buku
Gerobak Bioskop Dewi Bulan di Barabaraya Save Barabaraya x Tanahindie
Lapak Buku di "Musikalogi 3" Bersama Berkarya Bebas x Kampung Buku
Residensi Fotografi, Seni Bunyi, dan Video Peserta Residensi Tanahindie 2018 x Kampung Buku Mei 2018
15 Mei 2018
11 Mei 2018
11 Mei 2018
Riset Seni Media Forum Lenteng x Tanahindie 17-18 Mei 2018
Penelitian Politik Kebudayaan dan Literasi di Sulawesi Selatan Wahyudi Akmaliah (Peneliti LIPI) x Anwar Jimpe Rachman 7 Mei 2018
Focus Group Discussion Lembaga Kita Bhineka Tunggal Ika x Kampung Buku 13 Mei 2018
Talkshow Kewirausahaan HIMEDIA Politeknik Negeri Media Kreatif PSDD Makassar x Tanahindie 12 Mei 2018
Review Tulisan Penelitian dan Penulisan "Anak Muda dan Kota / Youth and City" Tanahindie 26 Mei 2018
Penelitian, Dialog & Residensi
SPASI
Foto: Aziziah Diah Aprilya
Aziziah Diah Aprilya (Peserta Residensi Tanahindie)
R
esidensi setahu saya biasanya dilakukan oleh seseorang yang menetap di satu tempat tertentu untuk menghasilkan sesuatu hal yang biasanya karya seni. Sering saya temukan seseorang yang melakukan residensi adalah orang yang berasal dari luar tempat residensinya. Mungkin agar orang itu memiliki perspektif yang polos dalam memandang tempat itu atau mungkin agar dia lebih bebas mengeksplor tempat barunya itu tanpa pretense apa-apa. Lalu ketika saya diajak oleh Kak Jimpe untuk melakukan residensi di Kampung Buku, saya agak bingung dan bertanya pada diri sendiri “memang bisa?� karena Kampung Buku berada di Kota Makassar, tempat saya tinggal selama 16 tahun. Jadi perspektif baru apa yang bisa saya tawarkan untuk residensi ini? Ternyata jawaban itu sudah saya lalui sendiri. Saya yakin setiap orang tidak akan pernah
betul-betul sama di setiap hari. Rutinitas yang kita kerjakan boleh jadi selalu sama, tapi mungkin tanpa kita sadari, kita semua sedang berubah secara pelahan. Perasaan, pikiran, bahkan fisik kita akan selalu bergerak. Dan kita tidak akan pernah menjadi orang yang betul-betul sama seperti hari kemarin. Saya menyadari itu setelah saya diizinkan mengamati kembali pete-pete, transportasi yang pernah menjadi kendaraan utama saya beberapa tahun lalu. Saya pikir menjadi penumpang pete-pete kembali (walaupun sambil memotret) tidak akan jauh dari menjadi penumpang di tahuntahun lalu itu. Tapi saya keliru, duduk kembali di dalam pete-pete membuat saya menemukan sebuah ruang di dalam diri saya yang lama tidak saya masuki, entah karena saya tidak menyadari atau sesaknya rutinitas yang sering membiarkan
saya untuk tidak ke sana. Ruang itu saya beri nama “spasi”, judul yang mungkin juga bisa mewakili proyek fotografi saya dalam residensi kali ini. Tanpa spasi, kata-kata di tulisan ini hanya akan membuat orang marah jika harus dibaca. Bisa jadi bahkan hanya menjadi kumpulan huruf yang tidak bermakna apa-apa. Seperti tulisan, hidup bagi saya juga butuh spasi. Sebuah ruang jeda yang boleh kita isi dengan apapun bahkan mungkin boleh kita isi
dengan tanpa apapun. Untuk sekadar menghela napas atau mengambil napas kembali. Menjadi penumpang petepete membuat saya berada di ruang itu sebelum saya harus kembali ke rutinitas yang kadang membuat saya sesak. Begitu pula dengan menemukan spasi itu pada penumpang lain di sana dan merekamnya melalui foto. Selama beberapa minggu saya menelusuri kembali Kota
Makassar melalui jendela petepete dan menemukan ruang jeda pada masing-masing penumpang. Kadang ada yang keheranan melihat saya menenteng kamera dan mende ngar suara shutter, tapi sering saya hanya dicueki karena orang-orang lebih sibuk dengan gadgetnya. Apapun itu, menjadi penumpang pete-pete mengizinkan saya menikmati spasi orang lain dan terutama spasi saya sendiri.
Judul: Anak Muda dan Kota: Penelitian Anak Berkebutuhan Khusus Durasi: 03:43 Menit Peneliti: Fakhiha Anugrah Prastica (Mahasiswa Fisioterapi Poltekes Kemenkes Makassar) Kikha ialah salah satu peserta lokakarya Penelitian dan Penulisan "Anak Muda dan Kota". Ia m eneliti seorang anak berkebutuhan khusus bernama Khusnul yang tinggal di kawasan Butta Butta Caddi, Kecamatan Tallo yang tidak jauh dari tempat tinggalnya.
SUBSCRIBE
Saluran Youtube Tanahindie
21/ Yard - Edisi 05, Mei 2018
22/ Yard - Edisi 05, Mei 2018
Kolase oleh A. Thezar Resandy
RISET BUNYI
Bincang presentasi teknis bersama Suhud Madjid di beranda Kampung Buku
A. Thezar Resandy (Peserta Residensi Tanahindie)
T
anggal 26 April 2018, pertama kali saya datang ke Kampung Buku diajak oleh Juang Manyala untuk berkolaborasi dengan dia. Hari itu, dia sebagai penampil mempresentasikan karya di Soundsphere edisi pertama. Saya menampilkan bunyi noise. Pada hari itu juga saya ber kenalan dengan Anwar Jimpe Rachman, kurator Soundsphere. Saya ditawari untuk menjadi penampil dan mempresentasikan bebunyian yang saya olah. Tanggal 3 Mei 2018 kete muan dengan Kak Jimpe di Kampung Buku. Kami meng obrol dan saya ditawari untuk residensi di Tanahindie dan meriset mekanisme klakson. Awalnya saya agak kebi ngungan dengan residensi di
kota yang kita tinggali, karena setahu saya, residensi biasanya dilakukan oleh orang yang berdomisili di luar tempat residensiya. Residensi adalah hal baru yang saya lakukan. Jadi saya mengiyakan tawaran dari Kak Jim. Saya sempat kebi ngungan dengan apa yang saya lakukan ini, karena saya berada di lingkaran baru dan secara otomatis harus beradaptasi dengan lingkungan baru saya dan menyesuaikan diri. Ini menjadikan saya keluar dari kebiasaan saya sehari-hari. Saya lebih banyak keluar rumah sekarang dan lebih bau matahari. Saya harus keluar rumah siang hari dan menuju ke bengkel untuk mempelajari mekanisme membunyikan klakson di luar kendaraan. Saya menemukan bengkel dan berkenalan dengan mekanik
bengkel tersebut. Ini adalah hal yang susahsusah gampang bagi saya. Saya adalah orang yang susah berkomunikasi dengan orang yang tidak saya kenal. Tetapi saya tidak bisa begitu lagi dalam hal ini, karena saya yang memerlukan informasi dari mekanik tersebut untuk bahan saya. Saya harus menjadi lebih banyak tanya dan sok akrab biar makin banyak informasi yang saya tahu dan saya dapatkan dari rekan mekanikku. Pengalaman residensi ini mengubah keseharianku yang tadinya lebih banyak di dalam kamar menjadi lebih banyak di jalanan. Yang tadinya jarang bertemu orang menjadi lebih banyak ketemu orang baru dan semoga semuanya lancar. Amin!
CAHAYA KOTA
Foto: Ibe M Palogai
Ibe M Palogai (Peserta Residensi Tanahindie)
M
embicarakan kota dan persoalannya menurutku adalah pembahasan yang tidak pernah habis. Ada-ada saja persoalan yang baru muncul atau masalah yang lama muncul kembali dengan gaya baru. Mulai dari kemacetan, kemiskinan, kesenjangan, penggusuran, korupsi, polusi, dan masih banyak lagi yang jika dipikirkan mending saya beranjak dari tempat duduk ini ke kamar, kemudian tidur. Dengan begitu banyak persoalan di kota saya mencoba melihat persoalan tersebut dalam sudut pandang lain, saya kadang bersama pacar saya menikmati kota dengan cara lain, kami menyebutnya “In Time� berangkat dari film yang disutradarai Andrew Niccol dengan judul yang sama yang kurang lebih benang merahnya adalah jika waktu yang ada di tangannya telah habis maka mereka akan ikut pula mati. Bedanya,
penentuan waktu versi kami ditakar dari bensin motor saya. Perjalanan dimulai dari manapun kami dihinggapi kebosanan, menyusuri jalan-jalan protokoler Makassar, menikamati cahaya kota yang warna-warni dan kadang menyilaukan. Menelusuri lorong-lorong yang kami tidak tahu nama jalannya, melihat orang-orang duduk di teras rumah, nongkrong di bahu jalan sambil menikmati malam walau di kala pencahayaan redup. *** Dari hasil diskusi bersama kak Anwar Jimpe dan teman-teman residensi lainnya juga dari pengalaman pribadi yang tidak jauh dari diri saya. Akhirnya, dari beberapa kali diskusi topik, "cahaya kota" kemudian dipilih sebagai topik
penelitian saya. Dengan melihat lewat sudut pandang cahaya dan di luar dari persoalan kota pada umumnya menjadi tantangan tersendiri buat saya. Pikiran pertama saya ketika menyusun rencana bertopik "cahaya kota" ini adalah dengan memetakannya menjadi beberapa kategori. Saya memetakan beberapa lokasi di Makassar sesuai kategori yang didiskusikan, misalnya kawasan padat penduduk, kawasan tingkat kriminalitasnya tinggi, perumahan yang dijaga ketat atau tanpa sekuriti, kawasan lahan sengketa, juga jalan protokoler di Makassar yang paling ramai. Kemung kinan masih ada kategori-Â
kategori lokasi selanjutnya tergantung temuan saya di lapangan nantinya. Ini adalah pengalaman pertama saya meneliti. Cukup banyak kesulitan yang saya hadapi, seperti kesibukan kuliah dan tanggung jawab pekerjaan saya di luar. Tak terkecuali pengalaman di lapangan yang mengharuskan saya untuk menghadapi orang-orang baru, hal-hal baru yang kalau saja saya tidak melakukan penelitian ini, mungkin tidak akan saya dapatkan pengalaman tersebut. Ini terjadi seperti ketika saya dituduh pencuri di perumahan Bukit Baruga Antang, yang di sana dijaga ketat oleh sekuriti. Di sana saya berkeliling
di perumahan tersebut, kemudian dicurigai ketika memasuki kawasan Bara-Barayya yang notabenenya adalah kawasan lahan sengketa. Berkat pendekatan dan penjelasan saya mengenai proyek ini, akhirÂnya masalah itu bisa teratasi. Penelitian ini dimulai pada awal bulan Mei dan berakhir pada akhir Juli. Selama 3 bulan saya akan berkeliling observasi, ambil data, dan memotret di beberapa tempat di Makassar. Ini cukup menguras tenaga karena memotret di malam hari dan siangnya disibuki urusan kuliah dan pekerjaan kantor.
25/ Yard - Edisi 05, Mei 2018
Mendokumentasikan Diskusi Buku "Halaman Rumah/ Yard" di Fakultas Ilmu Budaya Unhas (27 Maret 2018)
BELAJAR MENGEMAS VIDEO Wildan Maulana (Peserta Residensi Tanahindie)
S
aya tertarik dengan video, saat saya mulai duduk di bangku SMA, di mana saya menyukai film-film pendek tentang skateboard dan kebetulan juga sering bermain skateboard. Saya mempelajari editing video karena ingin membuat video sendiri bermain skateboard. Menjelang kelas tiga SMA, saya diberi kepercayaan untuk mengerjakan sebuah film dokumenter tentang "Catatan Akhir Sekolah" untuk diputar di acara penamatan. Selang beberapa waktu, saya kemudian mengerjakan sebuah film pendek berjudul "Tertangkap atau Terbunuh" bersama temanteman untuk mengasah keterampilan saya dalam mengerjakan sebuah video. Awal Januari 2018, saya dipanggil oleh teman bernama Ibe, teman dari SMA untuk jalan-jalan ke Kampung Buku. Di sana saya bertemu dengan teman-teman Tanahindie. Saat itu, kebetulan ada program yang sedang berjalan, yaitu lokakarya Penelitian dan Penulisan "Anak Muda dan Kota".
26/ Yard - Edisi 05, Mei 2018
Saya kemudian diajak untuk ikut bekerja dan belajar bersama mendokumentasi kegiatan yang dilakukan setiap pekannya dan meliput video setiap peserta di lokasi penelitiannya dan belajar mengeditnya. Sejauh ini saya telah mengerjakan empat video wawancara peserta lokakarya dari tujuh video yang direncanakan bersama. Selain itu juga ikut mendokumentasikan dan mengedit video aktivitas lainya di Kampung Buku. Kesulitan yang saya alami saat pengambilan gambar di lapangan waktu penelitian Wilda, peserta Anak Muda dan Kota. Lokasi penelitiannya di Pampang dan rumah narasumbernya dijadikan sebagai tempat “orang-orang� minum ballo, mengharuskan saya untuk meminta izin terlebih dahulu sebelum merekam. Di sisi lain, kesibukan saya dengan perkuliahan membuat saya harus membagi waktu untuk belajar dan mengerjakan tugas perkuliahan sambil mengatur waktu mengerjakan video untuk diedit.
Diskusi dan proses mengedit video Lokakakrya Penelitian dan Penulisan "Anak Muda dan Kota"
Hal baru saya dapatkan selama ikut menjadi tim dokumentasi dan belajar mengedit video yaitu cara mengemas atau mengedit video berbeda dengan cara yang saya lakukan sebelumnya. Awalnya, saya mengedit video dengan tidak memasukkan suara dari kamera, karena saya beranggapan suara yang ikut itu hanya menganggu hasil dari video tersebut. Setelah saya di Kampung Buku, saya mendapat pembelajaran baru bahwasanya suara yang terekam dari kamera bisa saja menjadi sebuah penan da suasana dan pesan dari apa yang kita dokumentasikan dan memunculkan gambar yang
"jujur". Di hal lain, saya belajar bagaimana cara manajemen folder untuk mmenempatkan file-file dokumentasi video yang telah direkam agar lebih rapi dan mudah mencari file folder itu. Mei 2018, saya kemudian diajak untuk mengikuti sebuah program residensi di ÂTanahindie bersama tiga teman peserta residensi Âdengan bera gam latarbelakang. Awalnya, saya bingung tentang apa itu residensi, istilah yang baru saya dengar. Setelah berdiskusi dengan teman-teman residensi dan teman-teman di Kampung Buku mengenai konsep yang
akan dan sedang dikerjakan, akhirnya saya mendapat gambaran tentang arti residensi itu sendiri. Dalam residensi ini, saya bergerak di bidang video untuk mendokumentasikan penelitian teman teman yang sedang melakukan residensi. Jadi saya akan mengikuti perkembangan dari tahap ke tahap yang sedang dan akan dikerjakan.
27/ Yard - Edisi 05, Mei 2018
Segera Terbit! Buku Hasil Penelitian dan Penulisan Peserta Lokakarya "Anak Muda dan Kota / Youth and City"