Yard - Edisi 7, September 2018/Seventh Edition, September 2018

Page 1

Edisi 07, September 2018

Tanahindie membawa karya animasi perubahan Kampong Paropo ­selama 60 tahun, yang diberi nama Paropo 3S (selancar-salin-susun). Karya ini dipamerkan pada Pekan Seni Media 2018 yang berlangsung di Palu, ­ Sulawesi Tengah.


Yard merupakan terbitan ­dwibulanan yang diterbitkan oleh Tanahindie. Tahun 2017 - 2018 penerbitannya bekerja sama dengan Arts Collaboratory dan Stichting Doen. Tanahindie Merayakan Halaman Rumah di Kampung Buku, ­kolaboratorium dan ruang dan ranah b ­ ersama berwujud perpustakaan, ­m enyebarkan ­gagasan lewat berbagai kanal dan cara sebagai jalan produksi, reproduksi, dan distribusi pe­ngetahuan. www.tanahindie.org

Penanggung Jawab: Anwar Jimpe Rachman

Ilustrator Muhammad Iqbal Burhan

Redaktur: Ade Awaluddin Firman, ­Muhammad Iqbal Burhan, ­Rafsanjani, Fauzan Al Ayyuby

Redaksi menerima sumbangan materi ­publikasi, seperti esai, karya sastra, karya foto, i­lustrasi, dan komik melalui email:

Penulis: Fauzan Al Ayyuby, Rafsanjani, Suaib S. Syamsul

tanahindie@gmail.com

Alamat Redaksi Kampung Buku, Jalan Abdullah Daeng Sirua 192 E, Makassar, Indonesia 90231. Fanpage Facebook: Tanahindie Twitter: @dewiboelan Instagram: @tanahindie Youtube: Tanahindie Inc.

Layouter: Fauzan Al Ayyuby Grafika & Publikasi: Ade Awaluddin Firman

Kolaborator:

DIGITAL PUBLISHING: "YARD" https://issuu.com/tanahindie


Dokumentasi Tanahindie

Merancang Studi ­Kolek­tif ­Seni Rupa Kontemporer: Gudskul oleh Rafsanjani

T

iga kelompok seni yang berbasis di ­Jakarta: ­ruangrupa, Serrum, dan Grafis Huru Hara (GHH) membentuk sebuah studi kolektif ­dalam ranah seni rupa kontem­ porer bernama Gudskul. Salah satu program edukasinya yaitu Kuliah Terbang, yang men­ coba untuk b ­ erbagi pengetahuan tentang proses kerja dalam k­ olektif dan ekosistem seni rupa. Program ini bertujuan untuk membangun ko­ munikasi secara intensif dengan pegiat kolektif di ­Indonesia. Ada empat tempat yang Gudskul kunjungi, di antaranya: Surabaya, Jatiwangi, Pe­ kanbaru, dan Makassar.

Dalam presentasinya, mereka m ­engawali ­ engan sebuah kegiatan yang dinamakan P d ­ asar Ilmu, yang dipandu oleh Berto ­Tukan. Pasar Ilmu sebagai sebuah kegiatan yang d ­ulunya sering dilakukan oleh kelompok S­errum. ­ Kegiatan ini mencoba untuk ­ ­ melihat b ­ahwa pengetahuan itu ada pada setiap orang. D ­ alam simulasinya dilakukan dengan membentuk model secara ­ berhadap-hadapan, bertatap muka dengan teman pasangan m ­ asing-masing untuk mengobrol, berbagi cerita pengalaman, dan hal-hal yang merasa perlu untuk diketahui oleh teman pasangan.

Dalam kunjungannya ke Makassar di K ­ ampung Buku (Tanahindie), perwakilan dari G ­ udskul yaitu Indra Ameng dan Berto T ­ ukan datang untuk memperkenalkan ­Gudksul ­sebagai ­ruang belajar simulasi kerja kolektif, ­sekaligus berbagi banyak hal soal ekosistem ­kolektif seni rupa di Indonesia secara umum.

Setiap pasangan diberi waktu selama lima menit untuk saling berkenalan secara b ­ergantian, meskipun sebenarnya sebagian besar dari ­peserta sudah saling mengenal satu sama lain. Setelah sesi perkenalan selesai ­selama kurang lebih sepuluh menit, dilanjutkan ke tahap ­selanjutnya, yaitu tahap Guru-Murid.


r­uangrupa dalam prosesnya menjadi semacam sekolah bagi orang-orang yang ­terlibat di dalamnya, baik ­ secara organisasi maupun secara ­ project, belajar dan ­ bekerja di bidang seni—dengan ­melibatkan orang-orang yang dulunya hanya dari disiplin seni rupa dan akhirnya lintas disiplin, ­ seperti film, sastra, dan ­fotografi.

Dalam tahap ini, ­ w a k t u yang diberikan selama lima ­belas menit untuk ­ber­cerita, ­menjelaskan atau ­mengajarkan sesuatu yang ­di­anggap menarik untuk dibagikan ke ­ teman ­ pasangannya secara bergantian. Berto Tukan sebagai “­kepala sekolah” dalam sesi ­ akhir kegiatan ­ ini kemudian ­meminta kepada peserta ­untuk berbagi cerita ­tentang h ­ al-hal apa saja yang ­ didapatkan selama proses Pasar Ilmu ­ ­berlangsung serta impresi dari kegiatan ini. Sebagaimana asumsi yang dikatakan Berto Tukan bahwa, “Semua orang adalah guru, semua orang adalah murid. Secara bersamaan semua orang bisa menjadi guru, juga menjadi murid”. Hal itulah yang kira-kira ingin dicapai dalam kegiatan ini.

porer yang ­ didirikan pada tahun 2000 oleh sekelompok ­seniman di Jakarta. Awalnya, ide dari dibentuknya organisa­ si ini untuk kebutuhan ­ruang bagi seniman muda untuk ­berkumpul, bereksperimen, membuat karya bersama, ­serta membicarakan hal-hal baru yang berhubungan dengan Kota Jakarta.

Semua orang adalah guru, semua orang adalah murid. Secara bersamaan semua orang bisa menjadi guru, juga menjadi murid.

Dulunya, ruangrupa tidak punya tempat yang ­ ­ sifatnya tetap. Mereka a­ walnya ­berdiskusi lewat mailing list, kemudian nongkrong di warung, hingga akhirnya menyewa rumah sebagai tem­ pat berkegiatan. Ruang tamu Tiba giliran Indra Ameng diubah fungsinya menjadi berbagi cerita ­pengalamannya ­ruang diskusi, ruang ­pameran, selama bergabung ­ di kantor, tempat nongkrong, ruangrupa sejak tahun 2001 dan lain-lain. Hal semacam ­ sekaligus ­menceritakan ini kata Indra Ameng bahwa, ­per­­­­jalanan ter­bentuknya hampir semua ruang-ruang sebuah studi kolektif ber­ alternatif di Indonesia awalnya ­ nama Gudskul. Ruangrupa dari rumah. sendiri sebagai sebuah or­ ­ inisiatif kolektif ganisasi seni rupa kontem­ Atas

Dari tahun awal didirikan ruangrupa sebagai sebuah organisasi non-profit hingga tahun 2004 dibentuk sebuah struktur yang di dalamnya ada manajer, director, programmer, keuangan, dan yang sifatnya mengerjakan opera­ sional. Ketika ruangrupa ber­ pindah tempat, strukturnya kemudian berubah. Bekerja dengan ruang yang berbeda dengan divisi-divisi yang ber­ beda pula. Misalnya, ketika mengerjakan beberapa ­project seni yang membutuhkan ­divisi yang lebih “kuat” seperti da­ lam bidang riset. Ada yang berfokus mengerjakan pro­ gram-program reguler, seperti diskusi, pameran, pemutaran film, atau pun yang sifatnya presentasi dalam mengerjakan project seni yang lingkupnya lebih besar. OK Video Festival dan Forum Mahasiswa Jakarta 32°C sebagai sebuah project seni yang mereka kerjakan dalam lingkup yang ­ ­ lebih ­besar. Seiring perkembangannya, struktur ruangrupa ­kemudian berubah lagi dengan ­menambahkan divisi-divisi yang sifatnya komersial untuk menghidupi kolektif ini agar bisa bertahan. ­ Dibentuklah yang namanya RURU (ru­ angrupa) Corps yang sifatnya untuk membantu seniman dalam mengerjakan ­ project,


membuat produk, atau d ­ ealing dengan korporat, dan lainlain. Kerja sama dengan kolektif-kolektif seni, seperti Serrum, Grafis Hura-Hara, Forum Lenteng, dan lain-lain juga sering mereka lakukan. Dari ketiga kelompok seni ini (ruangrupa, Serrum, dan Grafis Huru-Hara) ­kemudian mencoba bekerja secara kolek­ tif di satu lokasi yang terdiri dari dua hanggar ­ (gudang besar) namanya Gudang Sa­ rinah. Bekerja sebagai sebuah ekosistem dengan banyak unit kerja yang saling be­kerja sama dalam mengerjakan project bersama atau mengerjakan project sendiri di suatu ru­ ang yang cukup besar. Dari tahun 2015 ketiga kelompok seni ini mengelola Gudang Sarinah hingga tahun 2018, ­ akhirnya mereka putuskan ­ untuk berhenti bekerja di Gu­ dang Sarinah karena sesuatu hal yang berhubungan dengan ruangnya yang tidak dapat ­ lagi untuk diteruskan. ­Mereka kemudian mencari tempat baru dan membentuk ruang belajar alternatif bernama Gudskul. Gudskul dirancang sebagai ruang belajar simulasi kerja kolektif yang ­mengedepankan pentingnya dialog yang kritis dan eksperimental, ­ lewat ­ proses berbagi dan pem­ belajaran yang berba­ sis ­ pengalaman. Dalam pro­ gramnya akan ­ mengundang peserta atau membuka pendaftaran untuk terlibat dalam jangka waktu (satu) tahun dengan menggunakan pendekatan kurikulum yang ­ dinamis yang sifatnya dapat belajar dan bekerja bersama dalam lingkungan Gudskul. Ketiga kelompok seni ini juga membentuk sebuah Tim

Cara-cara kerja tertentu idealnya ­ esti dipertemukan (saling silang) untuk memperkaya m ­masing-masing cara kerja suatu kelompok. ­ kademik utama yang ber­ A asal dari anggota kolektif di dalamnya dengan ­spesialisasi ­bermacam-macam. (­Untuk syarat dan info lebih lanjut bisa dilihat melalui ­ web https://gudskul.art/) Selain untuk berbagi ilmu dengan membentuk sebuah sekolah alternatif dalam ranah seni, Gudskul juga sebenarnya mencoba untuk mensistemati­ sasi atau memformulasikan p e ng a l am an - p e ng a l aman yang selama ini mereka ­telah kerjakan secara organik. ­“Selama ini proses berbaginya dilakukan dengan cara praktik dalam satu kelompok tertentu, kerja bareng, nongkrong, tetapi tidak pernah dibikin ­menjadi teks (modul),” kata Indra Ameng. “Cara-cara kerja tertentu ide­ alnya mesti dipertemukan (saling silang) untuk mem­ perkaya masing-masing cara kerja suatu kelompok. Sebagai contoh misalnya, kelompok Serrum yang berpengalaman dalam hal background-nya sebagai pengajar sekaligus seniman, juga salah satu yang berpengalaman dalam mem­ persiapkan pameran dan pro­ duksi karya”. Yang terpenting kata Indra Ameng adalah cara kerja kolektif, bekerja sama antar disiplin ilmu. “Kalau di kampus seni seperti IKJ (Ins­ titut Kesenian Jakarta) arahnya mungkin lebih ke individualis atau lebih ke in­

dustri ­bukan ke kreator atau membuat ­ kerja-kerja kolek­ tif. Sementara yang menjadi kekuatan dalam mengerjakan sesuatu yaitu ketika banyak kolektif dengan cara kerja yang berbeda-beda, punya kelebihan ­masing-masing, dan bergabung sehingga mereka dapat mengerjakan hal baru, atau bereksperimen ­ dengan hal-hal baru, ungkapnya. Pe ng a l am an - p e ng a l am an yang selama ini telah diker­ jakan oleh ketiga kelompok seni ini akan dibuat lebih ter­ organisir. Dalam Gudskul, ada be­ berapa “subjek pe­ ngetahuan” atau dalam istilah sekolah konvensional dikenal dengan mata pelajaran atau mata kuliah. Subjek-subjek tersebut, di ­antaranya: Lintas Media, Strategi Berkelanju­ tan Kolektif, Praktik Spasial, Wacana Budaya Kelompok, Laboratorium Seni Rupa ­ Kolektif, Artikulasi dan Kurasi, Tinjauan Kolektif Seni Rupa, Kecerdasan Praktik Kolektif, Hubungan Masyarakat, Kebun Ilmu, dan Bengkel Kerja. Rancangan kelas dalam pro­ gram Gudskul dibagi menjadi (dua) semester dalam jangka waktu 1 tahun. Di semester awal (satu) peserta akan l­ebih banyak membahas soal “subjek pengetahuan” atau berpusat pada diskusi serta pemahaman fungsi kerja secara kolektif. Sedangkan, di semester beri­ kutnya (dua) peserta akan lebih banyak berpraktik dan


didorong untuk mulai meran­ cang sesuatu atau mensimula­ si apa yang sudah didapatkan dari semester satu. Selain Tim Akademik u ­ tama Gudskul sebagai t­ enaga pengajar, ­ mereka juga nantinya akan mengundang ­ pengajar tamu dari disiplin ilmu lain untuk berbagi ilmu maupun pengalaman. Se­ lain itu, m ­ ereka juga akan ­mengadakan kunjungan (stu­ di tur) ke tempat-tempat ter­ tentu. Gudskul sebagai sebuah kolektif yang mempunyai ­beragam kegiatan sebelumn­ ya, nantinya akan mengajak para peserta untuk berlatih atau magang. Misal, magang dalam kegiatan OK Video, Jakarta 32°C, Jurnal Karbon, RedFest, RURUradio, atau Ruru (ruang­rupa) Shop. Sebagai perbandingan dalam melihat praktik kolaborasi dalam ranah seni di kam­ pus-kampus di Makassar. Pak Yasin, salah satu dosen di Fakultas Seni dan Desain di Universitas Negeri ­Makassar, lewat pengamatannya d ­alam melihat pola bergaul dan ber­karya mahasiswanya selama ini. Ia menceritakan ­ bahwa, “dulunya tidak ada model pendekatan seperti ­

ini di kampus. Selama kuri­ kulum berjalan (delapan) semester selama empat ta­ ­ hun, tidak dirancang model seperti ini (praktik kolabora­ si), jadi kita tidak terbiasa, lebih ke ­ kerja-kerja sendiri, eksklusif jadinya. Kalaupun ­kolaboratif misalnya lebih ke sesama disiplin seni murni saja, dan sesama “anak” kera­ mik pula. Kerja praktik sen­ inya ­ sendiri-sendiri, “anak” seni lukis sendiri, “anak” de­ sain juga demikian sehingga ketika terjun ke masyarakat ­ ‘kan lain kondisinya, mes­ tinya ada pendekatan mod­ el yang se­ perti ini, praktik kolaborasi. Yang demikian ­ justru kita dapatnya praktik di luar kampus.”

ja, dan lain-lain. ­ Artinya ada banyak tempat dan ke­ giatan yang mendukung seni rupa. Saya berkaca dengan diri saya dari kecil yang senang mencoret-coret atau ­ menggambar tetapi bagi orangtua saya itu bu­ kan sesuatu yang perlu un­ tuk didukung karena pada tahun-tahun itu, 90an di­ anggap tidak dapat meng­ hasilkan uang”. Maka dari itu kata Daeng Ipul, yang p aling mendesak mungkin ­ soal bagaimana mendekat­ kan seni ke masyarakat yang selama beberapa keturunan sering dianggap “jauh”, “ma­ hal”, dan bukan sesuatu yang penting dibanding misalnya, ekonomi dan politik.

Berbeda dengan Daeng Ipul, salah seorang blogger, d alam kesempatannya ber­ ­ cerita soal pengalamannya selama ini dalam melihat ­ruang-ruang kolektif dalam konteks M ­ akassar dan pen­ galamannya bersentuhan dengan bidang seni. Menurut Daeng Ipul, “sekarang kalau berbicara tentang ekosistem seni rupa atau ruang kolektif dalam konteks M ­ akassar su­ dah mulai terbentuk, se­p erti Tanahindie, Kampung Buku, Qui-qui Makassar, Kata Ker­

“Masyarakat umum ­mungkin masih banyak yang ketika bicara soal seniman yang ­ tergambar ‘ya dianggap kelompok yang istilahnya ­ “tidak ­ ­ punya tujuan hid­ up”. Saya pikir ini menjadi tantangan juga bagaimana mendekatkan seni ke mas­ yarakat, sehingga di masa yang akan datang anak-anak bisa lebih beruntung lagi kare­ na akan didukung ketika in­ gin memilih seni sebagai jalan hidupnya,” jelas Daeng Ipul.[]

Produk Organik di Kampung Buku

IDR 45.000

IDR 60.000

IDR 60.000


Animasi Kampung-­ Kampung di ­Makassar

Tanahindie menjadi salah satu dari 25 pameris di Pekan Seni Media 2018: Local Genius, di Taman Budaya Provinsi Sulawesi Tengah, Palu, yang ber­ langsung 26 Agustus – 2 September 2018.

ber-sumber visual terkait Makassar sangat jarang ditemukan sampai sekarang, Tanahindie men­ jadikannya tawaran lain sebagai media arsip, pen­ getahuan, dan pembelajaran semua kalangan.

Kali ini, Tanahindie akan memamerkan karya ani­ masi yang menvisualisasikan perkembangan enam puluh tahun Paropo, perkampungan di kawasan Panakkukang, salah satu wilayah di Kota Makassar yang berubah cepat, yang agaknya lantaran menja­ di daerah pusat perekonomian.

Menggunakan media/teknologi animasi, karya ini terdiri dari perca dan serakan gambar di media daring dengan metode 3S (selancar-salin-susun) yang ’dijahit’ menggunakan seni grafis, seni bunyi, dll.

Paropo merupakan salah satu kawasan bersejarah di Makassar yang dihuni oleh komunitas yang me­ lestarikan beberapa kesenian rakyat, salah satu di antaranya teater rakyat Kondo Buleng. Karya ini merupakan rangkuman penelitian Tanahindie sejak awal 2017 yang bertema “Hala­ man Rumah/Yard”. Dengan dukungan Stichting Doen dan Arts Collaboratory (Belanda), kolektif yang memfokuskan perhatian mereka pada kaji­ an urban ini berusaha menelisik menggunakan berbagai metodologi, alat, sumber, dan kalangan, seperti pencatatan, wawancara, sejumlah media rekam yang dengan melibatkan mahasiswa, seni­ man, pengacara, penulis, ibu rumah tangga, sam­ pai dosen. Ini menjadi salah satu bentuk upaya Tanahindie dalam berfokus pada soal pustaka dan meng­ arsipkan kota secara vernakular. Lantaran sum­

Usai memamerkannya di Pekan Seni Media 2018, Tanahindie berencana meluncurkan dan mem­ perkenalkan hasil ini ke khalayak. “Kami harap, karya ini menjadi ‘pintu’ mengo­ brolkan ke warga dan banyak kalangan untuk ber­ sama mengobrolkan kota (Makassar) dan segala perkembangannya,” kata Anwar Jimpe Rachman, kurator karya ini. ‘Menciptakan’ Sejarah Proyek ini semakin menguatkan Tanahindie untuk membuat dan menyusun cerita-cerita yang terse­ bar di banyak tempat di Makassar dalam sudut pandang vernakular atau sudut pandang warga tempatan. Tanahindie merencanakan ini sebagai proyek per­ tama untuk proyek serupa yang akan mengundang sejumlah pihak untuk berpartisipasi.[]


Minyak Mandar Puisi Suaib S. Syamsul Ilustrasi muhammad iqbal burhan /massukke/

Seperti rukuk

Telah tertumpu segala kekuatan

Pada lutut dan lengan

Selalu menyisakan berlangkah-langkah harapan

Sedang tulang punggung

Lurus mencari jalan lurus-Mu

/massisi/

Sembari bersila

Menunduk pada yang Satu

Pergi dan pulangnya

/ma’epe/

Telah mengalir butir-butir keringat

Telah terpercik tetes-tetes harapan

Bagai membiarkan diri berdiri di bawah air terjun

Menyaksikan sebongkah rezeki hendak menimpa diri

Telah terpanjatkan doa-doa paling ­ mujarab

Jika tiba masa

/mattana/

Selamatlah tubuh kasar

Telah menyerbak aroma minyak ­­­Mandar yang khas

Selamatlah tubuh halus

Selalu memanggil para perantaunya kembali pulang

Telah menyerbak aroma tubuh tua yang khas

Selalu memanggil para perindunya ­ kembali mendekapnya

/mapparu/

Serupa bunyi langkah kaki tua

Berlapis alas kaki kusam

Makassar, September 2017


Dokumentasi Tanahindie

Ekosistem Perlawanan ­Perempuan di Bara-Barayya oleh Fauzan Al Ayyuby

P

eran perempuan dalam konflik seperti merawat aspek-aspek yang menopang ­ sebuah ekosistem perlawanan: sosial, gizi, hingga ­psikologi. Bukan soal nalar saja, tapi ada hal-hal di luar dari itu yang perlu di­ lakukan agar tetap ‘waras’. Di Bara-Barayya, Ma­kassar, lokasi yang sempat terancam peng­ gusuran (dan ­baru-baru ini dinyatakan menang dalam sengketa lahan di Jalan Abubakar Lam­ bogo), beberapa perempuan mengambil peran tersebut. Tugas mereka bahkan bertambah. Ke­ wajiban sebagai ibu di rumah dibawanya keluar untuk merawat e­ kosistem yang lebih besar dari skala keluarga. Ibu Yuli, ibu beranak dua, satu dari dela­ pan ­belas warga yang digugat tanahnya oleh Nurdin Daeng Nombong dan Kodam XIV ­Hasanuddin. Ia berperan penting sebagai per­ awat ekosistem perlawanan di permukiman itu. Walaupun k­ etika awal saya datangi untuk berbincang, ia merasa tidak berbuat apa-apa. Pikir saya, ­begitulah seorang ibu. Ia berlaku

romantis dengan cara memberi tanpa berharap ia akan dibalas setimpal. Walaupun dalam kon­ teks ­Bara-Barayya, rumahnya sedang terancam ­digusur. Militansi bagi saya adalah ­ akumulasi dari pengalaman-pengalaman sulit dari s­ ­ ebuah konflik internal dan eksternal satu ­ ­ individu, yang berujung pada cara melawan. Ia me­ ngakui ­sempat berpikir ‘gila’ pada fase ­ketika kemungkinan penggusuran menuntunnya ­ menuju rasa takut yang lebih. “Bagaimana tidak gila. Ka dipikir mi, ­masak ki air panas, baru disiram ki. Atau cari ki’ bensin, baru dibuangkan korek. T ­ erbakar mi itu tentara, terbakar maki’ juga di dalam. Yang penting sama-sama ki’ mati,” aku Ibu Yuli. Cara berpikir Ibu Yuli berlandaskan dari apa yang ia alami selama konflik. Selama fase itu, ia mengaku tidak bisa tidur dengan nyenyak.


Tekanan yang dialaminya se­ bagai ancaman yang nyata. Bagaimana tidak, ketika ada kabar tentang munculnya ten­ tara, ia segera membopong anaknya untuk memastikan kebenaran berita itu. Tapi ­ketika sampai ke tempat yang dimaksud, tak ada tentara yang terlihat. Ini tidak dialami sekali-dua kali saja; melainkan berkali-kali dalam intensitas yang berbeda. Dari pengakuan Ibu Yuli, salah satu fase paling berat yang dilalui warga adalah ke­ tika warga di belakang asrama tentara sudah digusur pada 13 Desember 2017. Tidur mereka jadi terganggu kare­ na penggusuran di belakang itu terjadi pada subuh hari. Cara menggusur yang dilaku­ kan oleh tentara, menurut Ibu Yuli, membuat warga ter­ sudut dan tidak bisa melawan karena tiap r­ umah dijaga oleh tiga p ­uluhan tentara. Akhir­ nya warga di belakang dipak­ sa menyerahkan rumahnya ­untuk digusur. Penggusuran di belakang itu membuat warga gusar. Motif mempertahankan ­rumah jelas tidak terlepas dari persoalan ekonomis. Uang kerohiman yang dijanjikan oleh Nurdin Daeng Nombong dan Kodam XIV Hasanud­ din, selaku penggugat, hanya ­sebesar empat puluh juta. Bagi Ibu Yuli, ini merugikan. Ia mempunyai delapan saudara. Jika empat puluh juta dibagi delapan, hasilnya adalah lima juta. Untuk pindah rumah dengan uang sebesar itu pal­ ingan hanya bertahan berapa bulan untuk indekos. Itu se­ babnya, Ibu Yuli memilih ber­ tahan. Apalagi ia tidak gentar karena memiliki surat-­ surat berupa akta jual beli.

Dari situ, kita bisa melihat bagaimana anakanak belajar bertanggung jawab atas ­sesuatu. Ini bisa dilihat sebagai pendidikan yang kontekstual. Selain perempuan, anak-anak juga menjadi bagian penting dari ekosistem perlawanan di Bara-Barayya. Dua anak ibu Yuli tidak sekolah selama dua bulan. “Bagaimana mau ­ sekolah, kalau na bilang ada tentara. Siapa mau urus ki di sekolah? Diliburkan memang itu sekolah. Dua bulan itu, na bantu ka’ bikin kopi. Kubilang, lebih baik begitu ko. Bikinkan kopi untuk ­mahasiswa. Itu mami dikerja kasihan. Masak juga,” kata Ibu Yuli. Pendidikan di daerah konflik kemudian menjadi hal yang penting untuk kita lihat ber­ sama. Dari situ, kita bisa me­ lihat bagaimana anak-anak belajar bertanggung jawab atas ­sesuatu. Ini bisa dilihat sebagai pendidikan yang kontekstual. Bagaimana anak-anak belajar sesuatu karena memang di­ dasari kebutuhan. Ini diakui oleh Ketua RT 06, Pak Basri, seorang yang ikut digugat. Menurutnya, semua warga, dari yang kecil hingga dewasa, mulai sadar hukum. Selama tujuh belas bulan prosesnya, mereka menghadapi ­persoalan yang berhubungan dengan dunia hukum. Bahan makanan yang diolah oleh Ibu Yuli, tidak ­ditanggung sendirian. Atas nama solidari­ tas, warga yang rumahnya tidak digugat pun turut mem­

bantu di bagian makanan. Ada beberapa nama yang berperan penting merawat ekosistem perlawanan di Bara-Barayya. Ibu Yuli menyebut nama Ibu Aminah dan Tante Bannah ikut ambil bagian. Biasanya, Ibu Aminah memasak air, lalu kopi dibuat oleh Ibu Yuli. ­Bukan hanya pagi, kopi bah­ kan ia siapkan untuk siang dan malam. Seperti perawat pada umumnya, Ibu Yuli seringka­ li bolak-balik dari rumahnya menuju posko, tempat maha­ siswa dan beberapa orang yang terlibat dalam kasus ini, untuk memastikan bahwa mereka yang berada di posko sudah selesai dalam urusan perut. Ketika baru bangun dan ingin tidur, hal-hal mengenai gizi dari orang-orang dalam eko­ sistem perlawanan itu ­selalu ia pastikan terpenuhi. Ibu Yuli adalah potret bagaimana perempuan ber­ peran penting dalam eko­ sistem perlawanan. Jika ia ­lebih banyak mengurusi soal gizi, Ibu Aminah selalu ber­ usaha optimis. “Panglima tentara bilang, ‘bulan empat di sini sudah rata’. Terus kutanya mi anakanak, ‘si ewa ki’ kalau datang tentara sebentar subuh’,” kata Ibu Aminah. Dugaan Ibu Aminah tepat. Keesokan harinya, tidak ada tentara yang datang. Ia juga mengatakan bahwa ia tidak pernah percaya pada isu kekalahan warga. Ini yang mendorong ia tetap merenovasi rumahnya, meski di tengah situasi yang tidak pasti. Ia tidak percaya jika rumahnya akan digusur oleh para penggugat. Ibu Aminah adalah tetangga Ibu Yuli. Mereka berdua yang paling sering urunan daya dan dana untuk mengurus gizi.


Ibu Aminah dan Ibu Yuli tidak gentar menghadapi tentara. Bahkan Ibu Yuli mengaku pernah merobek dan melem­ par surat edaran pada tentara ketika diberikan pada mereka. Ibu Aminah mengatakan, jika ada tentara, tiang listrik selalu dibunyikan sebagai pertan­ da. Hal ini kemudian mem­ buat tentara harus memakai jasa hantaran Pos Indonesia ­untuk mengirimkan Surat Per­ ingatan kedua dan ketiga. Sekarang mereka berdua su­ dah bisa bernapas lega. Keti­ ka mendengar bahwa guga­ tan atas mereka ditolak pada Selasa, 24 Juli 2018, sekitar ­ pukul 11.00 Wita, Ibu Yuli berlari keluar dari gedung pengadilan dan mengangkat kedua tinjunya, sembari ber­ teriak, “gugatan ditolak!”. Bah­ kan di depan saya, ekspresi ­bahagianya sangat terasa, saat mengulang-ulang gerakannya ketika mengatakan itu. Kata Ibu Yuli dan Ibu ­ Aminah, tidur mereka pun sudah nyenyak saat ini. Lain halnya dengan ­Margareta, yang akrab disapa Eta. Ia mem­ perjuangkan tanah i­ bunya, Andriana Rante Bassi, yang seringkali dipanggil akrab dengan sebutan Omah. Omah adalah warga ­ Bara-Barayya RT 06 yang menjadi saksi hidup bagaimana ia mem­ beli tanah langsung dari ahli warisnya, Daniah Daeng Ngai. Omah membeli tanah yang kini di­tinggalinya seharga Rp 151.875 (seratus lima puluh satu ribu delapan ratus tujuh puluh lima) pada 1968. Eta adalah salah seorang per­ empuan dalam ekosistem perlawanan Bara-Barayya yang sangat aktif. Ia me­ ngaku, pernah berkunjung ke

Panglima TNI, Mabes TNI Angkatan Darat, Kuspomat, Kemenkopolhukam, Komnas HAM, Komnas Perempuan, Pangdam XIV Hasanuddin, Kapolda Sulsel, Polrestabes, Koramil, Gubernur, juga Wa­ likota. Kunjungan itu ber­ maksud mempertanyakan ke­ jelasan tanah yang digugatkan kepada delapan belas kepala keluarga di RT 06. Di Komnas Perempuan, ia bercerita tentang penggusuran di belakang asrama tentara. Ia mengaku menangis saat men­ ceritakan rangkaian peristiwa itu karena takut kejadiannya juga akan menimpa rumah ibunya. Segala macam cara ia coba. Bahkan ia sempat ke ­Jakarta untuk melakukan aksi di depan Istana Negara. “Bayangkan, saya ke Jakarta ikut demo, dan hampir mati di sana. Waktu itu ribut mi orang. Lama sekali orasi terus tidak ditanggapi. Pas sudah rusuh, saya di depan pegang-pegang spanduk. Karena kebetulan dua orang ja’ warga yang dari sini. Pas rusuh, pergi ma’ lari. Sempat diinjak, karena masuk ka’ di bawah-bawah­ nya orang untuk kabur. Deh, besar-besarnya itu polisi ­ Jakarta. Siapa tidak takut,” kenangnya. Ia berangkat ­ naik pesawat ke Jakarta ber­ sama tiga orang mahasiswa, bermaksud ingin menemui ­presiden di Istana Negara. Berhadapan dengan tentara tidak membuat Eta gentar. ­ Ia punya pegangan Delapan Wajib TNI yang berisi: (1) Bersikap ramah tamah ter­ hadap rakyat; (2) Bersikap sopan santun terhadap rakyat; (3) Menjunjung tinggi kehor­ matan wanita; (4) Menjaga kehormatan diri dari muka

umum; (5) Senantiasa men­ jadi contoh dalam sikap dan kesederhanaannya; (6) Tidak sekali-kali merugikan rakyat; (7) Tidak sekali-kali menakuti dan menyakiti hati rakyat; (8) Menjadi contoh dan mem­ pelopori usaha-­ usaha untuk mengatasi kesulitan rakyat sekelilingnya. Yang pada akhirnya gugur dengan in­ ­ dikator Kodam menjadi mafia tanah yang ingin mengambil tanah sah milik warga Ba­ ra-Barayya. Tapi Eta masih percaya pada itu. Ia juga yakin, bahwa sebagai per­ empuan, tidak akan mengalami ke­ kerasan oleh tentara karena itu. ”Karena sama perempuan beng, ndak mungkin mi lakukan kekerasan. Karena ada delapan wajib TNI,” jelas Eta. Misalnya, pernah dua sampai tiga bulan situasi mencekam karena isu bahwa militer akan masuk untuk menggusur. Jadwal ronda segera dibuat. Bukan saja melibatkan mahasiswa, tetapi semua warga. “Sampai kakakku sakit sekarang garagara ronda. Fisiknya memang lemah.” Ronda dijadwalkan mulai dari jam dua subuh. Eta yang ber­ badan langsing itu mengaku kurang nafsu makan, bahkan baru pulang ke rumah pukul setengah enam pagi. Ia pernah menghadapi tentara. ­ Ketika pulang dari PTUN, ada kabar bahwa mobil tentara terparkir di ujung jalan V ­eteran. Ia segera menuju lokasi itu. Sam­ pai di sana, dengan jengkel, ia berkata ke salah seorang tentara, “Eh, Pak, kenapa kita tidak masuk sekalian? Masuk mi, Pak. Jangan ma ki’ takut sama warga. Kasihan itu sana anak-anak, ibu-ibu, nenek-nenek.” Ia mengatakan


bahwa sembarang kata dan kalimat terlontar dari mulut­ nya. Tapi tentara itu diam saja. Tidak melawan. Menurutnya, itu karena Delapan Wajib TNI tadi.

Represi dari konflik di Ba­ ra-Barayya meninggalkan trauma-trauma. Omah, dari keterangan Eta, pernah hampir diculik. Ketika itu pukul sem­ bilan malam. Lalu datang se­ seorang entah ­siapa, mengajak Omah ­ untuk berjalan-jalan. Tapi untung ketika itu Omah sadar dan tidak mau ikut. Trauma ini kemudian menjadi beban d ­ omestik bagi para per­ empuan, setelah mereka men­ jadi perawat ­ dalam sebuah ekosistem perlawanan yang lebih besar. Ekosistem selalu terhubung antara satu sama lain. Ketika saya sedang duduk di pos ronda Bara-Barayya, seseorang di belakang saya yang berjarak hampir sepuluh meter berkata, ”Ndak jadi mati lombokku. Ka ndak jadi ki’ di­ gusur.” Ia m ­ emang baru-baru ini menanam cabai di ru­ mahnya. Pembacaan terhadap per­ empuan yang menjadi korban di Bara-Barayya dilakukan

oleh Muhammad Heri, salah seorang warga yang juga me­ ngalami gugatan. Menurut­ nya, ibu-ibu menjadi perawat ekosistem perlawanan karena naluri bertahan, dan memper­

tahankan tempat tinggal yang kemudian berproses di dalam diri mereka. Maksud Heri, selama ini mereka ber­ proses melalui momen-momen yang membuat mereka makin lama makin yakin, kemudian sadar diri untuk mempertahankan tanahnya dan merawat eko­ sistem perlawanan. Proses ini adalah akumulasi dari ­pe­­­r­istiwa-peristiwa yang ter­ jadi selama konflik, lalu men­ jadi titik balik yang makin ­me­yakinkan mereka. Pada dasarmya ekosistem perlawanan di daerah konflik seperti Bara-Barayya, dirawat oleh perempuan dengan cara menuggu dan melihat. Menurut Heri, pada dasar­ nya mereka tahu apa yang se­ benarnya menjadi kebutuhan, tetapi ada realita dan proses kalangan bapak yang ber­ beda dari para ibu-ibu. Dan ­mereka tidak mau campuri itu. Kalaupun proses dari bapakbapak­ nya ternyata berbeda,

*Tulisan ini terbit di Makassar Nol Kilometer [Dot] Com (1 Agustus 2018)

mereka ikut arus perlawanan saja. Kata Heri, hal ini yang menyebabkan mereka butuh orang yang memahami realita mereka, dan membantu me­ nyalurkan aspirasinya. “Karena begitu sosial ­budaya ta’. Makanya mere­ ka hanya berusaha menang­ kap peristiwa hingga paham, atau bisa membedakan mana yang baik dan buruk. Soal metode, ya, urusan pria,” jelas Heri, mengenai para ibu yang secara naluriah mengikuti metode para bapak. Dalam konflik ­ Bara-Barayya, para ibu, misalnya, pergi mencari dukungan di kampus. Ini dilakukan ­ untuk mengajak mahasiswa kembali masuk ke Bara-Barayya setelah kecewa karena poskonya sempat di­ jadikan posko Pilkada. Para ibu juga siap pasang badan di depan kalau ada aparat yang mau menangkap ­ mahasiswa. Kata Heri, mereka ­sudah pikir­ kan cara bertarung ­ dengan aparat ala ibu-ibu. “Karena metode itu riskan. Salah metode, akan jadi salah, meski maksudnya benar,” ­lanjut Heri. Perlawanan ala ibu-ibu yang dimaksud Heri, seperti mili­ tansi yang diperlihatkan oleh Ibu Yuli. Ia berani merobek surat edaran di depan tentara, lalu berani berkata bahwa jika tentara datang, ia akan menyiramnya dengan bensin, lalu membakarnya. Meskipun akhirnya tentara dan Ibu Yuli itu sama-sama terbakar. Ini, menurut Heri, terpengaruh dari lingkungan, ketiadaan pilihan tempat tinggal, dan keyakinan akan hak.[]


Buku Edisi Pelayaran Penerbit Ininnawa Ekspedisi Pelayaran Akademis II 2011 Penulis: Ostaf Al Mustafa Penerbit Ininnawa xi + 242 Halaman ISBN: 978-602-71651-6-8

IDR 70.000

Navigasi Bugis Penulis: Gene Ammarell Penerbit Ininnawa Cetakan Pertama, Maret 2016 313 Halaman + Peta pelayaran 15 x 21 cm ISBN: 978-602-71651-5-1

IDR 110.000

The Voyage To Marege’ : Pencari Teripang dari Makassar di Australia Utara Penulis: C.C. MacKnight Penerbit Ininnawa Cetakan Pertama, November 2017 xii + 301 Halaman ISBN: 976-602-71651-9-9

IDR 80.000


Dokumentasi Fanspage Bara-Baraya Bersatu

Mahasiswa yang Mengawal Kasus Bara-Barayya oleh Rafsanjani

T

ak mudah bagi kelompok mahasiswa yang terlibat dalam pengawalan warga Bara-Barayya yang terancam digusur. Mereka mesti melakukan sejumlah cara meng­ ubah model pengawalan sebelumnya yang eks­klusif nan hirarkis. Mereka mencari “pintu masuk” membuat gerakan baru dalam proses pengawalan. Februari 2017, setelah surat edaran kedua dilayangkan pihak Kodam XIV Hasanuddin (dulunya Kodam VII Wirabuana) yang berisi rencana penertiban tanah okupasi yang dihuni sekitar 28 KK yang berada di luar lokasi Asra­ ma TNI-AD Bara-Barayya, Kota Makassar, se­ kelompok mahasiswa berkumpul. Mereka ada­ lah gabungan berbagai lintas kampus di Kota Makassar (UNIFA, UNIBOS, UNHAS, UNM, UIN Alauddin, dan UMI) juga jaringan dari organisasi luar kampus seperti FMN Makassar, FMK Makassar, dan lain-lain. Mereka mem­ bincangkan kemungkinan terlibat pengawalan kasus rencana penggusuran ini. Mereka datang

ke posko warga untuk mencari tahu kronolo­ gi versi warga. Namun mereka terhadang rasa curiga warga. Penyebab utamanya, menurut Shany, salah seo­ rang mahasiswa yang ikut mengawal kasus ini, mengatakan bahwa sebenarnya berawal dari salah seorang mahasiswa yang lebih dulu terli­ bat pengawalan penggusuran Asrama TNI Ba­ ra-Barayya dan warga yang terancam digusur di luar lokasi asrama. Ia berusaha mengonstruksi warga untuk tidak terbuka dengan mahasiswa. “Ketika kami meminta untuk diceritakan kro­ nologi rencana penggusuran ini, warga tak mau menjelaskan kepada kami. Dari situ, teman-teman mulai merasa cemas dengan ber­ anggapan bahwa ada oknum yang mendok­ trinasi warga untuk tidak terbuka dengan ma­ hasiswa,” jelas Andre, mahasiswa lain yang juga aktif mengawal kasus ini. Berselang seminggu setelah kedatangan per­


tama sekelompok mahasiswa ini ke Bara-Barayya, mereka meng­ adakan pertemuan di acara bazar dengan mengun­ dang seorang temannya, ma­ hasiswa yang sudah lebih dulu terlibat mengawal kasus peng­ gusuran Asrama-TNI yang kemudian merembes hingga ke wilayah luar asrama. Ma­ hasiswa itu menceritakan soal pengawalan yang dilakukan cenderung eksklusif (bebera­ pa informasi perkembangan kasus ditutupi), yang dipimpin oleh seorang mahasiswa yang merupakan temannya. Berangkat dari itu, karena se­ bagian besar kelompok ma­ hasiswa sudah merasa cemas setelah mendengar cerita mahasiswa tersebut tentang mo­del pengawalan yang did­ ominasi oleh satu orang saja, mereka kemudian mengatur siasat untuk masuk “ke da­ lam” secara perlahan dengan berupaya mengubah model pengawalan sebelumnya. Dalam proses pengambilan keputusan, model pengawalan sebelumnya didominasi oleh satu orang saja. Suara mayori­ tas (tidak melibatkan sebagian besar anggota mahasiswa) tidak diberlakukan dalam fo­ rum rapat. Hal ini yang ingin diubah. Mereka mulai menga­ tur siasat dengan mengobrol­ kannya secara bersama. Ber­ gaul dengan pemuda setempat adalah langkah pertama yang ditempuh sebagai pintu ma­ suk. Menurut Shany, pengawalan sebelumnya dilakukan keba­ nyakan hanya aksi demonstra­ si, tidak memanfaatkan media sosial sebagai media pergera­ kan berbagi informasi untuk menggalang dukungan publik. “Hal lain, misalnya soal kro­

nologi dalam kasus ini awal­ nya tidak dibuat dan beberapa informasi dirahasiakan dan tidak bisa diakses. Kemarin itu, posisinya teman-teman dibatasi ruangnya untuk ber­ gaul, dalam rapat hanya men­ gizinkan satu perwakilan dari mahasiswa. Jadi rapat dilaku­ kan secara terpisah, maha­ siswa rapat sendiri begitu pun dengan Tim Dua Satu hanya diwakili satu orang dari maha­ siswa,” jelas Shany. Aksi boikot untuk tidak ke posko untuk sementara waktu sempat mereka lakukan. Hal ini menurut Andre menga­ takan, “Melihat kondisi temanteman waktu itu, kami sempat merasa mau cabut, karena apa pun yang kami lakukan itu di­ anggap jelek sama Tim Dua Satu,” ungkapnya. Namun, obrolan soal langkah-langkah yang akan dilakukan selanjut­ nya mereka bicarakan bersa­ ma di suatu kampus. Tim Dua Satu (21) Ada istilah Tim Dua Satu, yang dibentuk oleh warga atas usulan salah seorang maha­ siswa yang dikenal sebagai si Jenderal Lapangan. Tim ini terbentuk setelah Asrama TNI Bara-Barayya dieksekusi yang kemudian kasusnya merembes hingga ke luar lokasi asrama, yang membuat 28 KK teran­ cam tergusur. Terbentuknya Tim Dua Satu menjadi tantangan tersendiri buat sebagian besar kelompok mahasiswa. Tim membuat semacam ruang eksklusif, ti­ dak terbuka, di mana orangorang yang “tidak berkepen­ tingan” tidak dapat terlibat dalam proses pengambilan keputusan. Kata Shany, tan­ tangannya adalah bagaimana

menyatukan warga soal per­ spektif, tidak memakai tim lagi dalam membicarakan ma­salah dan hak hidup bersa­ ma. “Perjalanan untuk meng­ hilangkan dominasi tim secara menyeluruh membutuhkan waktu yang panjang,” lanjut Shany.

Tantanganya adalah bagaimana menyatukan warga soal perspektif, tidak memakai tim lagi dalam membicarakan masalah dan hak hidup bersama. Menurut Shany, istilah Tim Dua Satu diambil karena di dalamnya berisi 21 orang. Dalam proses perjalanan tim ini muncul perbedaan pendapat dalam anggota tim yang memicu beberapa an­ g­ gotanya memilih untuk ke­ luar. Berawal dari penentuan kuasa hukum sebelumnya, ada beberapa warga yang tidak setuju. Warga menjadi terbagi dua atas kuasa hukum yang dipilih. Pertama, warga yang terdampak rencana penggusu­ ran sebanyak 8 KK didampi­ngi oleh kuasa hukum dari LBH (Lembaga Bantuan Hukum) Makassar, dan kedua adalah warga yang terdampak ren­ cana penggusuran sebanyak 20 KK didampingi oleh kuasa hukum Abduh dan Jibra. Sekelompok mahasiswa ini sempat bergesekan dengan kuasa hukum warga yang di­ pegang oleh kuasa hukum sebelumnya. Karena saat itu, warga yang menggugat ke PN Makassar berdasarkan guga­ tan Nurdin Daeng Nombong dan Kodam XIV Hasanud­ din yang mengklaim tanah warga setempat. Sedangkan pandang­ an sekelompok ma­


hasiswa ini, katanya warga ini kuasa objek yang sebe­ narnya di mata persidangan yang menguasai objek yang menunggu digugat. Bukankah jika kita menggugat, kita yang mengumpulkan bukti? Menurut Margareta, akrab dis­ apa Eta, seorang perempuan warga Bara-Barayya RT 06 yang aktif mengawal kasus ini, yang diceritakan ulang oleh Shany, bahwa persoalan objek gugatan yang memberitahu warga adalah hakim. Guga­ tannya masih dirangkaikan dengan Asrama Bara-Barayya. Warga tidak mau disamakan dengan asrama karena wilayah mereka memang terpisah dari Asrama Bara-Barayya yang merupakan aset TNI. Ketika tahu bahwa jika mereka se­ bagai kuasa objek tidak perlu menggugat, warga kemudi­ an mencabut hak kuasa dan gugatannya. Saat warga mau mencabut hak kuasanya, sem­ pat mau digugat oleh kuasa hukumnya. Akhirnya warga pindah ke LBH Makassar se­ bagai kuasa hukumnya. Tahap-tahap Pengawalan Tahap demi tahap dilakukan pelan-pelan oleh sekelompok mahasiswa, mulai dari saling mengabari jaringan perteman­ an yang sudah lama terbangun dari beberapa aksi-aksi yang pernah dilakukan sebelumnya (seperti Aksi Tolak Penggusu­ ran Pandang Raya dan Aksi Tolak Reklamasi Pantai Lo­ sari), meretas pola kerja Tim Dua Satu, dan menghilangkan sistem komando dalam penga­ walan kasus. Terlibat secara langsung dalam rapat bersama warga menjadi sebuah momentum tersendiri bagi sekelompok mahasiswa

(dalam hal ini Tim Dua Satu sudah tidak difungsikan lagi). Si Jenderal Lapangan, yang mengawal aksi-aksi sebelum­ nya, tidak lagi terlibat. Kata Andre, ia beralasan ditelepon sama tentara yang membuat ia pulang bersama para pengi­ kutnya dan tidak kembali lagi. Hal ini mereka jadikan kesempatan untuk “masuk” membuat kesepakatan ber­ sama warga dengan melibat­ kan semua mahasiswa dalam rapat. Dalam mengadakan rapat, biasanya mahasiswa yang mengurus teknis, sedang warga yang menyediakan kon­ sumsi. Salah satu bentuk kampanye yang juga mereka lakukan adalah dengan memanfaatkan media sosial seperti membuat Fanspage Facebook dan In­ stagram sebagai media per­ gerakan berbagi informasi untuk menggalang dukung­ an publik. Selain itu, karena kebetulan salah seorang dari mereka ada yang bekerja di media, ketika akan melakukan aksi, mereka mengirim siaran persnya untuk dimuat di me­ dia. Selain itu, mereka juga menyablon baju dan menjual stiker sebagai salah satu ben­ tuk dukungan kepada warga. Maret 2017, aksi long march keliling Bara-Barayya untuk mengampanyekan isu menja­ di aksi pertama yang digelar atas inisiatif sekelompok ma­ hasiswa yang berkoordina­ si dengan warga. Besoknya,

mereka kemudian mengada­ kan aksi di Flyover, di Jalan Urip Sumoharjo, dirangkaikan dengan menggelar mimbar demokrasi di depan Posko di Bara-Barayya. Aksi long march dan mimbar demokrasi dijad­ ikan sebagai basis menggalang massa untuk terlibat dalam aksi tiga titik. Kata Shany, lewat aksi mim­ bar demokrasi terlihat be­ berapa “organ-organ” mu­ lai bergabung, ramai sekali karena kasusnya waktu itu masih ha­ ngat. “Di sisi lain, teman-teman dan warga mu­ lai terbuka, karena awalnya warga merasa curiga dengan mahasiswa yang baru ber­ gabung dikiranya intel tentara atau penyusup,” ungkap Shany. Aksi tiga titik merupakan aksi lanjutan yang dilakukan. Menurut Andre, saat itu ku­ rang lebih 2.500 massa ter­ gabung dalam aksi ini. “Mulai dari Flyover di Jalan Urip Su­ moharjo untuk kampanye isu, menuju Kantor Gubernur Su­ lawesi Selatan untuk meminta pertanggungjawaban atas rencana penggusuran yang ingin dilakukan pihak Ko­ dam, kemudian ke Badan Per­ tahanan Nasional (BPN) Kota Makassar untuk memper­ tanyakan sertifikat nomor IV yang katanya hilang dan mun­ cul kembali di tahun 2015.” Rapat dengar pendapat di DPRD Provinsi Sulawesi Se­ latan menjadi tahap lanjutan

Salah satu bentuk kampanye yang juga mereka lakukan adalah dengan memanfaatkan media sosial seperti membuat Fanspage Facebook dan Instagram sebagai media pergerakan berbagi informasi untuk menggalang dukungan publik.


yang dilakukan oleh sekelom­ pok mahasiswa ini. Dengan menghadirkan perwakilan Kodam, perwakilan warga Ba­ ra-Barayya, dan anggota DPR, tetapi itu tidak menghasilkan apa-apa. Keluarnya Surat Peringatan ketiga (SP-3) yang dikirim oleh pihak Kodam dengan me­ makai jasa hantaran Pos Indo­ nesia, membuat warga panik karena tidak adanya kuasa hu­ kum waktu itu, ditambah pula beredar isu kalau tentara akan masuk. Ketika lonceng dari tiang listrik dibunyikan, semua warga keluar dari rumahnya. Bunyi tiang listrik dilakukan secara berantai menjadi sema­ cam alarm bagi warga, pertan­

da ada masalah. Hal ini sudah menjadi kebiasaan sejak lama di Bara-Barayya. Sejak saat itu, karena isu bahwa tentara akan masuk menggu­ sur, ronda mulai dijadwalkan dari jam dua dini hari hingga pukul enam pagi, yang bukan hanya melibatkan mahasiswa melainkan semua warga juga ikut meronda, termasuk ka­ langan ibu rumah tangga. Mereka berpencar, berpatroli ke titik-titik pintu masuk Jalan Abu Bakar Lambogo untuk berjaga-jaga. Mereka bercer­ min dari penggusuran Asrama TNI yang dieksekusi sekisar jam tiga dini hari, di mana saat itu setiap rumah dijaga tiga puluhan tentara. Hal ini

meng­uras fisik mereka selama dua bulan. Tantangan lain yang dirasakan sebagian mahasiswa yang sempat menjadi koordinator lapangan adalah saat mereka diteror oleh para intel. Dari cerita Shany mengatakan bah­ wa, awalnya mereka membuat selebaran yang mencantum­ kan narahubung. Intel meng­ ambil semua kontak yang ter­ cantum dalam selebaran itu, kemudian mengirim pesan untuk bertemu secara tatap muka. “Ada beberapa teman didatangi kampusnya oleh Intel dan diminta oleh wakil rektor dan wakil dekannya un­ tuk tidak terlibat lagi,” ungkap Shany.[]

*Tulisan ini terbit di Makassar Nol Kilometer [Dot] Com (14 Agustus 2018)

Sinopsis Buku The Voyage to Marege The Voyage to Marege’ menyediakan kita sebuah pintu baru t­erkait sejarah orang-orang Australia. Hampir seabad sebelum Kapten Cook melayari pantai timur laut Australia, pelaut dari Asia rutin mendatangi Marege’, sebutan mereka pada kawasan ini, dan bahkan merintis industri di sana. Para laki-laki dari Makassar itu menem­ puh pelayaran panjang dan berbahaya demi mengumpulkan dan ­mengawetkan teripang yang dihargai mahal oleh penduduk Tiongkok. Kajian Macknight ini menjadi klasik, bertahan ­hingga 40 ­tahun, sejak diterbitkan pertama dalam bahasa Inggris 1976 silam hingga ­diindonesiakan dan terbit pada 2017. Penyigian panjang Macknight ini The Voyage to Marege’: menjadi salah satu sumber utama studi terkait sejarah Nusantara, teru­ Pencari ­ Teripang dari tama industri dan dunia perdagangan maritim abad ke-17 di Indonesia. Makassar di Australia Utara Penulis: C.C. MacKnight Diterjemahkan dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia oleh Anwar Jimpe Rachman & Ihsan Nasir P e n e r b i t -­ I n i n n a w a , ­November 2017 Tebal xii + 301 halaman ISBN 976-602-71651-9-9

Sudah jelas bahwa karya Macknight berkontribusi sangat besar bagi pembaca umum dan para pengkaji dunia maritim dan sejarah per­ dagangan. Dengan kejelian mata tinjauan dari ragam disiplin ilmu dan mengandalkan bahan melimpah–mulai dari dokumen yang kaya (bukti administratif sampai sketsa/lukis/gambar), temuan arkeologis, catatan etnografis, dan wawancara dengan orang-orang sepuh, yang pada masa mudanya melakoni pelayaran tersebut— Macknight membentangkan pada kita sebuah cakrawala baru yang indah tentang cerita tentang pelayaran-pelayaran epik ini. Dilengkapi gambar, sketsa, dan foto-foto bersejarah, narasi-narasi lengkap dan berwarna yang disusun, Macknight menjadikan The Voyage to Marege’ menjelma sebagai hadiah yang menggembirakan pembacanya.[]


Bagaima­na kabarmu, Nurul?

Puisi Suaib S. Syamsul

Ilustrasi muhammad iqbal burhan Bagaimana kabarmu, Nurul?

Di tepi sungai?

Perempuan yang kukenal sejak kecil

Sambil menyanyikan lagu

Kami berpisah karena ia tidak punya biaya kuliah.

“Palaio potaq, Poleo randang�

Program beasiswa pun untuk keluarga kepala sekolah saja. Rindu padamu selalu memuncak Jika di berbagai media ramai diperbincangkan Tentang kemarau berkepanjangan di desa kami Tentang sungai tidak lagi layak disebut sungai Tentang sesawah mulai kekeringan Tentang pakan ternak mulai sulit

Ataukah sedang mengaduk segelas kopi untuk ayahmu yang baru saja pulang dari menggarap sawah kepunyaan orang? Ataukah sedang membantu ibumu mengikat sayuran untuk dijual di pasar dini hari esok? Bagaimana kabarmu, Nurul? Masihkah kamu percaya sebagaimana masih kupercaya Hanya air sumur kecil di tepi sungai

Bagaimana kabarmu, Nurul?

Jernih sebagai penjernih tawar sebagai ­penawar?

Kemarau kali ini,

Makassar, Desember 2015

Apakah kamu masih sering membuat sumur kecil


Di Villa Yuliana Puisi Suaib S. Syamsul Ilustrasi muhammad iqbal burhan Kepada V

Bertolak dari pesan leluhur

Juga suara azan magrib yang bertalu-talu

Sebelum jauh melangkah, menolehlah ke bubungan rumahmu!

sepasang kalong menggantung diri di ranting kering

Agar tahu ke dermaga mana akan kau arahkan kemudimu.

diterpa cahaya bulan pucat

Di Villa Yuliana saya menunggu Di antara bising lengking klakson, knalpot dan rem kendaraan kota Di antara bising suara orang-orang sedang menjajakan dagangannya Sambil sesekali membayangkan dirimu Berjalan dari titik teredah menuju puncak, Tiba di Villa sebelum masuk waktu Jumat menyuruhku menunaikan ibadah salat Jumat

Di Villa Yuliana saya menunggu Di bawah kokohnya dinding-dinding bangu­ nan bergaya Indische Empire Di bawah kokohnya pilar-pilar bangunan masa silam Sering kali saya membayangkan Saya adalah salah satu dari pilarnya Ibumu seorang Ratu Welhelmina Sedang kau sendiri adalah jelmaan kecantikan Ratu Yuliana

Di Villa Yuliana saya menunggu Bersama cahaya lampu-lampu kota mulai menyala Cericit dan kepak sayap para Kalong mening­ galkan sarangya

Tak pernah sebenar-benarnya tiba. Soppeng, Mei 2018


Dokumentasi Tanahindie

Memimpikan Sulsel Yang Hijau oleh Rafsanjani

Isu Pengelolaan Sumber Daya Alam (PSDA) atau Lingkungan Hidup telah menjadi sorotan sejak masa kampanye calon Gubernur dan Wakil Gubernur Sulawesi Selatan. Dalam debat pertama, meski isunya terkait PSDA namun seluruh calon, termasuk Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih sekarang belum secara eksplisit menjelaskan komitmen mereka terkait pembangunan yang berkelanjutan. Lebih banyak menyoroti isu pembangunan dan pertumbuhan ekonomi. Pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup dapat dilihat dalam dua konteks yang berbeda. Lingkungan hidup kecenderungann­ ya berbicara soal kerusakan dan perlindungan, sedangkan PSDA lebih makro karena terkait ­dengan pengelolaan. Ini mengemuka dalam diskusi konsolidasi seri II dengan mengusung tema “Masyarakat sipil untuk Sulsel Hijau” atas kerja sama Walhi Sul­ sel, Mongabay Indonesia, Kampung Buku, Jalin Institute, dan Geraderi, di Kampung Buku, 09 September 2018. Dalam diskusi ini dihadiri pu­ luhan peserta dari aktivis lingkungan, politisi, jurnalis, dan mahasiswa. Sulsel Hijau adalah sebuah terminologi baru yang ‘dimunculkan’ menjadi suatu kebijakan

yang pro lingkungan dan pro rakyat yang im­ plementatif—diharapkan dapat diadopsi oleh pemerintah provinsi kedepannya. Dalam kon­ solidasi ini tidak hanya berbicara soal gagasan masyarakat sipil terhadap isu lingkungan hidup di Sulawesi Selatan, tetapi bagaimana isu ini dapat didorong dan dikawal dalam perenca­ naan pembangunan daerah, baik dalam tataran eksekutif maupun legislatif. Asmar Exwar, aktivis lingkungan yang juga mantan Direktur Eksekutif Walhi Sulsel mem­ ulai diskusi dengan menjelaskan soal banyak­ nya problem terkait sumber daya alam sektor kehutanan. Menurut Asmar, kita punya hutan luasnya ting­ gal enam juta hektare di Sulawesi Selatan, versi


lain mengatakan sekisar 2,7 juta hektare. Hutan biasanya dilihat dari “koheren tutupan” (pohon-pohon) tetapi ken­ yataanya tidak seperti itu kare­ na banyaknya kampung (desa) yang masuk dalam kawasan hutan atau sebaliknya. Asmar melanjutkan bahwa salah satu problem terkait hutan yang masuk dalam fak­ tor jasa lingkungan misalnya daerah ekowisata. Di Sulawesi Selatan di Kabupaten Soppeng dan Enrekang banyak sekali ‘kasus’ tetapi tidak muncul. Belum lagi soal lahan perta­ nian atau perkebunan yang masuk dalam kawasan hutan lindung. Terkait dengan problem sum­ ber daya hutan daerah eko­ wisata, Masri Tajuddin, salah satu pegawai Pemkot yang dulunya bekerja di BPBD Ka­ bupaten Soppeng, kemudian memberikan contoh kasus. “Di Soppeng, ada tempat wisa­ ta yang dikenal dengan Per­ mandian Alam Lejja. Kalau kita mau masuk ke Lejja ada dua karcis yang harus kita beli, provinsi dan kabupaten, kare­ na dikelola oleh kehutanan, masuk dalam kawasan. Hal ini membuat masyarakat bingung soal penanganannya.” Belum lagi dengan masyarakat yang dulunya sudah lama tinggal di tempat itu, tiba-tiba Undang-undang Kehutanan terbit yang membuat area tem­ pat tinggal masyarakat masuk dalam kawasan hutan lindung. Masyarakat akhirnya serba terbatas dalam melakukan ak­ tivitasnya. “Sebagai referensi, beberapa ta­ hun yang lalu digarap—proyek bendungan Coppo Congki di

Lingkungan hidup kecenderungannya berbicara soal kerusakan dan perlindungan, sedangkan PSDA lebih makro karena terkait dengan pengelolaan. daerah sekitar Lejja, Kabupat­ en Soppeng. Jika mau dilihat dari segi manfaat ekonomi­ nya sangat bagus, minimal ketika musim hujan tidak lagi membanjiri daerah Batu-Batu yang selama ini rawan banjir. Jika dilihat dari segi pertani­ an, masyarakat yang berada di sekitaran Danau Tempe yang airnya melimpah, tetapi tidak punya irigasi. Problemnya, ka­ lau tidak salah area itu masuk dalam kawasan.” Lain lagi halnya kalau ber­ bicara soal sumber daya alam sektor energi. Menurut Asmar ini bisa dilihat dalam konteks yang berbeda. Selain proyek nasional yang menggunakan sumber daya air (mikro), bagaimana den­ gan yang makro seperti pabrik atau industri-industri besar (swasta), konteksnya bisa ber­ beda lagi. Sebagai contoh, kata Asmar, misalnya bendungan untuk PLTA mungkin bagus untuk energi, tetapi menenggelam­ kan kampung, area persawa­ han, dan lain sebagainya. Ini menjadi sebuah problem kare­ na merubah bentang alam. Dengan kata kunci ‘bendun­ gan untuk PLTA’, Johamran mengungkapkan bahwa di Ka­ bupaten Pinrang, tepatnya di Desa Letta, masyarakat di sana tidak dapat menikmati listrik sama sekali—PLN tidak be­ rani membentangkan kabel ke desa itu karena masuk dalam kawasan hutan lindung.

Sementara itu, Pinrang sebagai penyuplai listrik Sulawesi Selatan, ironi.

Kabupaten salah satu terbesar di ini sebuah

“Meskipun sebenarnya pe­ merintah daerah pernah melakukan diskresi dan bersu­ rat ke PLN tetapi PLN masih tidak berani karena daerah itu masuk dalam kawasan hutan lindung. Hal ini terkait atur­ an yang perlu kita pikirkan bersama untuk melakukan sinkronisasi dengan pemerin­ tah Sulawesi Selatan,” ungkap Johamran. Menurut Masri, terkait dengan energi di beberapa wilayah yang masuk dalam kawasan hutan lindung yang sumber daya airnya memadai, ma­ syarakat sebenarnya bisa me­ manfaatkan mikrohidro (pem­ bangkit listrik skala kecil yang menggunakan tenaga air). Di sisi lain, bisa juga dibikink­ an saluran irigasi untuk area pertanian, jadi masyarakat bisa dua kali menerima man­ faat. Hal ini, saya pikir dapat didorong dalam program sumber daya mineral di Satu­ an Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Provinsi nantinya. “Secara kultural, masyarakat sebenarnya mempunyai pola tersendiri yang berbasis lingkungan. Sebagai contoh, nelayan di Danau Tempe se­ tiap hari Jumat tidak boleh mencari ikan, secara tidak langsung memberi alam ke­ sempatan melakukan pemuli­ han. Hal ini juga dapat dimun­ culkan untuk diadopsi sebagai


kebijakan pemerintah dalam mendorong kearifan lokal se­ bagai salah satu solusi dalam pengelolaan lingkungan.” Dikatakan Asmar, dalam kon­ teks pembangunan terkait kebijakan PSDA, faktor kebi­ jakan payung hukum sangat penting. Selama ini pelak­ sanaanya cenderung tidak didukung oleh payung hukum. Meskipun sebenarnya ada ren­ cana pembangunan, tetapi pembangunan itu akan diar­ ahkan ke mana dan ruangnya di mana? “Misalnya dalam pembangu­ nan pesisir yang harusnya me­ makai zonasi, selama ini tidak ada. Kabupaten dulunya ada, tetapi wilayah provinsi tidak ada. Jadi bisa dikatakan pem­ bangunan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil ‘cantolan­ nya’ belum ada.” Terkait dengan kebijakan, Mu­ hammad Al Amin, Direktur Walhi Sulsel menyampaikan hasil diskusinya saat di Tribun bersama Prof Yusran Yusuf, Ketua Tim Transisi pemerin­ tahan ‘Prof Andalan’, sekarang namanya Tim Percepatan Sul­ sel. “Katanya Tim Percepatan Sulsel berkeinginan un­ tuk membuka peluang bagi teman-teman Civil Society Organization (CSO) terlibat dalam penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menen­ gah Daerah (RPJMD). Maka­

nya, kita harus punya bahan dan rekomendasi yang baik untuk dimasukkan dalam pe­rencanaan pembangunan daerah beserta orang-orang yang dapat diusulkan masuk dalam Tim Percepatan.” Di kesempatan lain, Amin juga mengungkapkan soal keluhan Tim Transisi. “Tim Transisi mengeluhkan kegiatan Pemprov yang lalu tidak sesuai dengan perenca­ naan, bahkan perencanaan belum selesai, sudah dijalank­ an. Hal ini yang mau diubah. Dokumen perencanaan harus jadi dulu kemudian kegia­ tannya dijalankan, makanya dilakukan percepatan. Istilah ‘percepatan’ ini juga harus kita sikapi secara kritis, jangan sampai ‘percepatan’ tanpa ada uji publik.” Selain itu, yang dikeluhkan adalah soal adanya kebijakan krusial di Sulawesi Selatan be­ lum jadi: revisi RTRW provin­ si (sementara dikerjakan), dan rencana zonasi pesisir. Ini yang perlu kita perhatikan, bagaimana menyinkronkan antara RTRW provinsi dengan rencana zonasi provinsi agar dapat berpihak ke lingkungan dan masyarakat. Di sisi lain, juga diharapkan sumber daya Organisasi Perangkat Daerah (OPD) mumpuni dalam ker­ ja-kerja pembangunan. “Banyak di Dinas Kehutanan, Dinas Lingkungan Hidup, atau

Secara kultural, masyarakat sebenarnya mempunyai pola tersendiri yang berbasis lingkungan. Sebagai contoh, nelayan di Danau Tempe setiap hari Jumat tidak boleh mencari ikan, secara tidak langsung memberi alam kesempatan melakukan pemulihan.

yang terkait dengan sumber daya alam tidak mengetahui tentang pembangunan berke­ lanjutan.” Berhubungan dengan perang­ kat daerah, Masri menam­ bahkan bahwa memang prob­ lematik di tingkat pemerintah karena mereka rata-rata tidak mempunyai ‘kemampuan’ me­ mahami isu-isu lingkungan. Isu lingkungan yang dipahami hanya soal pengelolaan hutan misalnya, padahal nyaris semua sektor terkait dengan lingkungan, karena terkait dengan daya dukung alam. Nurdin Amir, dari Aliansi Jurnalis Independen, dalam kesempatannya juga menyam­ paikan hasil wawancaranya bersama Prof Nurdin Abdul­ lah setelah serah terima ja­ batan. Dia mengatakan bahwa Pak Nurdin Abdullah sebenarnya lebih banyak menyinggung soal pembangunan dan kebija­ kan yang lalu. Lebih lanjut, Pak Nurdin Ab­ dullah menegaskan bahwa dia ramah investasi, investasi dalam pelayanan publik, ter­ utama pembangunan infras­ truktur ke daerah-daerah ter­ pencil. Ada beberapa daerah sasarannya, seperti Luwu, To­ raja, dan Selayar. Khusus un­ tuk sektor perkotaan, fokusnya ke tata kelola kota. “Di Makassar, hampir semua gedung tidak menggunakan perencanaan yang baik, ter­ utama soal lahan parkir”. Kemudian, soal reklamasi juga menjadi sorotan, berkilahnya soal audit, menurut Pak Nur­ din ketika reklamasi tidak di­ audit dalam undang-undang bisa terkena pasal ‘ikut serta’.”


Sejalan dengan isu rencana gu­ bernur terpilih akan melaku­ kan audit terkait dengan proyek Center Point of Indo­ nesia (CPI). Menurut Masri, minimal kita rekomendasikan aspek lingkungan dengan pendeka­ tan manusianya (bagaimana warga Makassar dapat menik­ mati pantai) karena reklamasi sudah telanjur. “Kemarin ada teman angka­ tan saya yang kebetulan kerja di Ciputra bagian pemasa­ ran, mengirimi kami sema­ cam blok perumahan di sana. Ternyata perumahan itu sam­ pai di ujung, jadi akses untuk melihat sunset di Pantai Losari itu sudah tidak ada.” “Ada hal menarik terkait poli­ tis berdasarkan exit poll di daerah Takalar saat Pilgub. Se­ belumnya, Trah Yasin Limpo tidak pernah kalah di Taka­ lar, menang terus, siapa saja yang didukung. Saat Pilgub kemarin, suara ‘Punggawa’ kalah banyak dengan ‘Prof Andalan’ yang meraih suara tertinggi. Dari exit poll-nya teman, ternyata hal ini terkait persoalan tambang pasir pan­ tai untuk reklamasi. Artinya, ini seharusnya jadi gambaran Prof Nurdin Abdullah bah­ wa perlawanan masyarakat terhadap tambang tersebut jangan sampai hal yang sama dilakukan oleh beliau,” ungkap Masri. Di sisi lain soal pro investasi, memang terasa dan terbukti sehingga banyak sekali atur­ an-aturan yang dipangkas. “Berdasarkan pengalaman ini, kendalanya misalnya aturan sudah ada, sudah dibagi per zonasi (RTRW): wilayah per­

dagangan, permukiman, in­ dustri, dan sebagainya, ketika diimplementasikan misalnya mendirikan bangunan, tidak dilihat lagi dokumennya kare­ na aturan sudah dipangkas.” Di kesempatan lain, Nurdin Amir melanjutkan, dalam hal percepatan pembangun­ an, Pak Nurdin Abdullah mengatakan bahwa sistem­ nya menyangkut soal turunan dari perintah presiden. Secara otomatis ini tak terlepas dari program nasional. “Hal ini yang mesti kita paha­ mi soal program nasional yang masuk ke Sulawesi Selatan. Di sisi lain, soal model percepat­ an pembangunan, katanya akan disamakan seperti Ban­ taeng yang akan lebih banyak melibatkan akademisi/ahli.” Soal percepatan pemba­ ngunan juga dibetulkan oleh Amin, katanya, bocoran yang didengar soal percepatan pembangunan memang lebih ke infrastruktur wilayah ter­ pencil dan ramah investasi. Pendapatan Anggaran Daerah (PAD) Sulawesi Selatan lebih banyak diperoleh dari pen­ jualan (jual-beli) motor. Se­ mentara itu pengelolaan sum­ ber daya alam belum dapat meningkatkan PAD. Makanya, katanya kita akan kembali ke sumber daya alam, tetapi ori­ entasinya ke wisata alam yang akan digenjot. Lebih spesifik, Wahyu Chan­ dra, dari Mongabay Indonesia menjelaskan bahwa kita meli­ hat Pilkada ini banyak sekali modal (dari luar), kepentin­ gan-kepentingan, dan investa­ si. Hal ini sebenarnya yang mesti dikawal. Bagaimana kemudi­

*Tulisan ini terbit di Makassar Nol Kilometer [Dot] Com (17 September 2018)

an ‘hal baik’ dari investasi ini tidak begitu eksploitatif ter­ hadap pengelolaan lingkungan hidup. Jangan sampai dengan munculnya modal ini, ada bargaining kepentingan, misalnya soal sawit atau tambang. Hal ini dapat membahayakan apa­ bila tidak ada batas perizinan yang dilakukan pemerintah, atau setidaknya ada transpa­ ransi dalam hal perizinan in­ vestasi. Di satu pihak, Amin men­ gungkapkan bahwa ada faktor Kebijakan Satu Peta (One Map Policy) yang akan dikeluar­ kan. Hal ini harus dipastikan, apakah partisipatif atau tidak. Perlu ada rekomendasi bahwa Kebijakan Satu Peta harus ter­ integrasi dengan hal-hal parti­ sipatif. Dalam diskusi konsolidasi ini secara umum menghasilkan beberapa rekomendasi untuk diajukan. Di antaranya: soal bagaimana pengelolaan sum­ ber daya alam dalam berbagai sektor lebih pro lingkungan dan pro rakyat, kebijakan yang dilakukan secara partisipatif, transparansi partisipatif pros­ es perizinan proyek-proyek besar, komitmen gubernur soal “tambang dan sawit bu­ kan di Sulawesi Selatan?”, kearifan lokal dalam pengelo­ laan sumber daya alam, serta pemenuhan unsur-unsur Hak Asasi Manusia (Economic, Social and Cultural Rights) dalam perencanaan pembangunan. []


TEKA TEKI

Komik by Iqbal Burhan

Sinopsis Buku Yard/Halaman Rumah

Halaman Rumah/ Yard Penulis: Anwar Jimpe ­Rachman, et.al Cetakan Pertama, Oktober 2017 Diterbitkan Tanahindie Press x + 183 halaman ISBN 978-602-99866-6-2

Pekarangan membentuk kebudayaan—sebagai jembatan antara hutan dan pertanian. Dalam konteks kebudayaan agraris, kedua­ nya tak terpisahkan sebagai sebuah mata rantai (budaya) agraris. Pelan-pelan, dalam suatu rentang waktu, pekarangan diwariskan, dibagi, dan diperjualbelikan, serta lantas menjelma halaman rumah. Halaman rumah adalah orientasi arsitektural orang ­Indonesia. Ia sebentuk pengertian luas dalam alam pikir muta­ khir Nu­ santara—sebagaimana buku ini memulung beberapa pers­ pektif yang nostalgis hingga praktis dari Flores, M ­ akassar, Solo, Yogyakarta, dan tempat lainnya. Halaman bisa men­ jadi ruang ekspresi, berfungsi sebagai panggung, ru­ ang produksi, lanskap, hingga ranah pertukaran gagasan. Buku yang melibatkan dua puluhan peneliti, seniman, pengaca­ ra, dosen, pekerja sosial dan seni, dan mahasiswa ini terbit atas kerjasama Tanahindie - Arts Collaboratory - Stichting Doen ­Penerbit Ininnawa.


Homeschooler

Jasmine Isobel Hanan Badriah

(Bobel)


Proses Pembuatan Anim Paropo 3S Juli - Agustus 2018

Aktivitas Agustus - September

2018

Ade Awaluddin Firman sebagai fasilitator di Perpustakaan Manusia yang diinisiasi Katakerja

Ade Awaluddin Firman berbagi pengalaman mengerjakan publikasi di Tanahindie dalam Kelas Publikasi Kreatif yang diselenggarakan BEM FSIP UNHAS

Bedah Buku Halaman Rumah/ Yard di Rumah Nalar UNM

3 Agustus 2018

29 Juli 2018

28 Juli 2018

Ulang tahun pernikahan Kak Jimpe dan Kak Piyo di Kampung Buku 4 Agustus 2018

Anwar Jimpe Rachman membagikan hasil riset Tanahindie dan British Council pada FGD Ekonomi Kreatif yang diselenggarakan Dinas Pariwisata Kota Makassar. 8 Agustus 2018 Karya Paropo 3S yang dipamerkan pada Pekan Seni Media 2018 di Palu, Sulawesi Tengah 27 Agustus - 2 September 2018

Workshop Mari Berbagi Seni di Kampung Buku 10 Agustus 2018

Simulasi Pasar Ilmu oleh Gudskul dalam Lika-liku Kolektif & Ekosistem Seni Rupa 12 Agustus 2018

Foto bersama para seniman di pem­bukaan Pekan Seni Media 2018 di Palu, Sulawesi Tengah 27 Agustus 2018

Berkunjung ke Leang Timpuseng dan Leang Petta Kere bersama Reinhaart Vanhoe dan Mavielle Verdijk (Belanda) 16 Agustus 2018

Berkunjung ke Museum Kota, menghadiri ‘Merayakan Hari Kemerdekaan di Zaman Milenial’. 17 Agustus 2018

Artist Talk Local Geniu Seni Media 2018 27 Agustus 2018


masi

Dokumentasi bantuan ke Lombok. 29 Agustus 2018

Diskusi Konsolidasi Masyarakat Sipil Untuk Sulsel Hijau 9 September 2018

Foto bersama seniman Solok, Gubuak Kopi, pada Pekan Seni Media 2018 Instalasi karya di Pekan Seni Media 2018

29 Agustus 2018

26 Agustus 2018 Proses pengerjaan buku Anak Muda dan Kota (AMdK) dan Buku Halaman Rumah. Juli - September 2018

Berkunjung ke Nemu Buku Palu dan Berbincang soal dunia literasi Anwar Jimpe Rachman (Tanahindie) menjelaskan karya animasi Paropo 3S pada pengunjung di malam pembukaan Pekan Seni Media 2018

30 Agustus 2018

Sharing pengalaman kerja teks di Tanahindie oleh Fauzan Al Ayyuby dalam Ngaji Literasi ala Mileneal yang diinisiasi Kampus Kedua Institut

27 Agustus 2018

us di Pekan

Melapak di Pekan Seni Media yang berlangsung di Palu 27 - 30 Agustus 2018

15 September 2018

Iqbal Burhan melukis untuk mendandani Geraderi 17 September 2018

#PEKANSENIMEDIA

#FGDEKONOMIKREATIF #DISKUSIBUKU #MARIBERBAGISENI #DISKUSILINGKUNGAN #LEANGLEANG #ANAKMUDADANKOTA #LITERASI


TELAH TERBIT DALAM

DWI BAHASA

Books, Merchs, Art Stuffs, and Archives

LOKASI KAMPUNG BUKU

Jalan Abdullah Daeng Sirua, No. 192 E (Kompleks CV Dewi, Samping Kantor Lurah Pandang, Panakkukang, Makassar) BUKA SETIAP HARI 11:00 s/d 22:00 WITA MINGGU 13:00 s/d 23:00 WITA

KONTAK PEMESANAN BUKU WA/ Telepon: 082188114481/ 0411 433775 Email: distribusiininnawa@gmail.com Twitter: @kampung_buku Instagram: @kampungbuku Website: www.ininnawa.com Bukalapak: bukalapak.com/u/jualind Tokopedia: tokopedia.com/kampungbuku Shopee: shopee.co.id/kampung_buku KOLEKSI BUKU PENERBIT ININNAWA Selengkapnya di: www.ininnawa.com/terbitan KEDAI GERADERI KAMPUNG BUKU Take Your Coffee,☕ Find Your Books

Instagram: @kedaigeraderi


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.