2 minute read
Upah Murah Bagi Buruh Jadi Sorotan Tajam
YOGYA, TRIBUN - Ratusan buruh di DI Yogyakarta turun langsung ke jalan guna meramaikan aksi May Day atau hari buruh yang diperingati tiap tanggal 1 Mei. Berbeda dengan daerah lain, iring-iringan peserta aksi dikawal oleh pasukan Bregada yang berada di barisan paling depan, Senin (1/5).
Sekjen DPD Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) DIY, Irsyad Ade Irawan, mengatakan, pasukan bregada sengaja dilibatkan dalam aksi sebagai simbol bahwa pemajuan kebudayaan harus diimbangi dengan kesejahteraan masyarakatnya, termasuk kalangan buruh.
Advertisement
“Ini merupakan sebuah imbauan kepada Sri Sultan Hamengku Buwono X bahwa budaya itu, selain budaya pertunjukan harus bisa membawa makmur kepada rakyat,” kata Irsyad, ditemui di kawasan Titik Nol Kilometer Kota Yogyakarta, Senin (1/5).
Selain itu, DIY juga menyandang status sebagai daerah istimewa dan disebut juga sebagai kota budaya lantaran memiliki akar budaya yang masih kuat. Namun status itu tidak ada artinya jika masyarakatnya tidak dapat hidup sejahtera.
“Jadi kemudian rakyat Jogja bisa berbudaya secara baik dan bisa makmur kehidupan secara upah. Jadi harus berimbang antara memajukan budaya kemudian memajukan buruh di DIY,” tuturnya.
Lebih lanjut, Irsyad meminta agar Gubernur DIY dapat menaikkan upah minimum provinsi (UMP) DIY hingga 50 persen. Sebab, upah minimum yang ditetapkan saat ini belum dapat memenuhi kebutuhan hidup layak.
“Biaya hidup layak di DIY Rp3,5 sampai 4 juta kemudian upah minimum baru Rp2 juta maka perlu kenaikan 50 persen,” jelasnya.
Akibat kebijakan upah murah, buruh di DIY kesulitan untuk membeli tanah dan memiliki tempat hu- nian yang layak. Kalangan buruh pun meminta agar Sri Sultan dapat membuat perumahan untuk buruh di atas tanah kasultanan maupun pakualaman.
“Selain itu, Danais dan APBD DIY harus digunakan untuk program pemakmuran buruh seperti dengan suport koperasi dan mendukung usaha lainnya yang dikelola buruh,” sambungnya. Sekjen Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Kota Yogya, Deenta Julliant Sukma, menandaskan, sudah selayaknya upah buruh di Yogya dinaikkan. Bukan tanpa alasan, tren kenaikan UMP DIY sejauh ini masih sangat jauh dari hasil survei Kebutuhan Hidup Layak (KHL) yang digulirkan setiap tahun oleh serikat pekerja, untuk jadi patokan.
“Hasil survei kami di tahun 2022, kan, DIY sebenarnya sudah masuk di angka Rp3-4 juta UMR-nya. Jadi, ya, masih jauh dari angka sekarang,” ungkapmya. (tro/aka)
Sosiolog: Akses Medsos Sembarangan
Bisa Picu Kehamilan di Luar nikah
YOGYA, TRIBUN - Angka pernikahan dini di DI Yogyakarta masih tergolong tinggi. Data Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Pengendalian Penduduk (DP3AP2) DIY, mencatat ada 556 anak meminta dispensasi menikah. Menanggapi hal tersebut, Dosen Program Studi (Prodi) Sosiologi Fakultas Ilmu Sosiologi dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Widya Mataram (UWM), Dr. Mukhijab, M.A., mengungkap, maraknya pernikahan dini itu bisa karena interaksi sosial yang tidak sehat dalam diri remaja. “Pergaulan atau interaksi itu kan seharusnya bukan persoalan. Pada dasarnya setiap manusia harus berinteraksi,” ujarnya kepada Tribun Jogja, Senin (1/5). menikah lum. remaja
Ia mengatakan, pergaulan tidak sehat ketika anak mereplikasi perilaku orang dewasa, baik yang sudah menikah atau belum. “Anak atau remaja polos itu akan meniru, misalnya kalau orang dewasa bercumbu. Mereka juga terkontaminasi oleh film-film dewasa di dunia maya yang bisa diakses oleh media sosial,” beber dia.
Mukhijab menambahkan, kontaminasi negatif ini bisa menimpa anak yang memiliki latar belakang ekonomi kaya maupun miskin, juga di pedesaan maupun kota. “Kalau nikah karena hamil duluan itu juga kontrol orang tua tidak efektif. Ada aspek lepas kontrol dari lingkungan, tapi orangtua juga tidak bisa disalahkan sepenuhnya dalam kasus kawin karena kecelakaan itu,” jelas dia. Hal ini karena remaja lebih efektif dikendalikan oleh seluler atau telepon pintar saat mereka bergaul. Orang tua dan kalangan dekat tidak bisa mengendalikan interaksi sosial remaja melalui chat personal atau antarin- dividu yang sangat privasi. “Alternatifnya adalah pendidikan seks usia dini, pada anak kelas VI SD, SMP dan SMA perlu diintensifkan,” tutur Mukhijab. Apabila dipandang mendesak, kata dia, Kemendikbud bisa membuat regulasi pendidikan seks di kelas sebagai bagian dari pelajaran pilihan maupun formal. “Edukasi seks, termasuk edukasi pergaulan tidak sehat lebih logis daripada pengawasan orang tua dan orang-orang terdekat karena pergaulan bebas dan pemicu nikah dini dimulai dari genggaman para remaja dengan telepon pintarnya,” tukas dia. (ard)