4 minute read

Enam Kuintal Bahan Petasan Diamankan

MAGELANG, TRIBUN - Satreskrim Polresta Magelang menetapkan tiga orang tersangka atas kasus kepemilikan, meracik, dan memperjual belikan bahan petasan dengan berat total sekitar 600 kilogram. Ketiganya berinisial MYA (28), SM (20), dan MAR (28).

Tersangka MYA dan SM diketahui merupakan warga Desa Srumbung, Kecamatan Srumbung, Kabupaten Magelang. Sedangkan MAR (28), diketahui sebagai warga Desa Mantingan, Kecamatan Salam, Kabupaten Magelang.

Advertisement

Memakai baju tahanan berwarna oranye dengan wajah tertunduk malu, ketiga tersangka digiring polisi untuk hadir dalam sesi konferensi pers yang digelar di Gedung Bhayangkara Polresta Magelang, Senin (10/4).

Kapolresta Magelang, Kombes Pol Ruruh Wicaksono mengatakan, kasus ini terungkap setelah dilakukan penangkapan terhadap tersangka MAY dan SM dengan barang bukti 250 kilogram bahan mercon di kediamannya pada Minggu (9/4).

Adapun, rincian bentuk ratusan kilogram bahan mercon yang berhasil diamankan antara lain, 150 kilogram berbentuk potasium, 125 kilogram berbentuk belerang, brom 24 kilogram, serta sumbu sebanyak 100 lembar.

“Awalnya, tersangka MAY dan SM mengaku membeli bahan mercon secara online. Namun, setelah dilakukan interogasi ternyata tersangka tidak dapat menunjukkan barang bukti transaksi pembelian bahan mercon tersebut,” ujarnya.

Melihat hal janggal itu, pihak kepolisian pun melakukan pemeriksaan secara mendalam terhadap tersangka MAY dan SM. Akhirnya, tersangka MAY mengakui jika mendapatkan bahan mercon dari tersangka MAR.

“Saya ditanya, tersangka MAY mengaku membeli bahan mercon dari MAR seharga Rp26,4 juta. Setelah mendapatkan keterangan tersebut penyelidikan dan observasi pun dilakukan ke rumah MAR,” ungkapnya. Tepat pada Senin (10/4), tersangka MAR pun berhasil diamankan di kediamannya, sekitar pukul 00.45 WIB.

Dari penggerebekan itu, polisi berhasil menemukan barang bukti berupa satu drum aluminium powder (brom) dengan berat total 11,6 kilogram. Selain itu, petugas juga menemukan bubuk belerang 350 kilogram; potassium chlorate 40 kilogram, kertas sumbu 250 lembar, tiga buah alat penyaring, satu buah gelas takar, dan satu karung berisi kertas bahan baku selongsong mercon.

“Tersangka MAR mengaku memperoleh bahan obat mercon tersebut dari Sukabumi, yang dibeli secara online dengan harga Rp34.750.000,” ungkapnya.

Ia menjelaskan, dari penjualan

Kisah Ayong, Mantan Begal Kawakan di Perbalan yang Kini Memilih Tobat (1) mercon tersebut tersangka MAR sudah menjalankan bisnis ilegal tersebut sejak 2021 lalu. Bahkan, diperkirakan keuntungan yang diraih dengan modal Rp7 juta bisa meraup untung hingga Rp10 juta.

“Pada penjualan pertamanya itu, untung yang didapatkan cukup tinggi. Ketiga pelaku ini sehari-hari bekerja sebagai buruh. Biasanya mereka mempersiapkan berjualan mercon itu beberapa bulan sebelum Ramadan,” terangnya.

Atas tindakan tersebut, ketiga pelaku pun terancam hukuman Pasal

1 Ayat ( 1 ) UU Darurat RI Nomor 12 Tahun 1951 tentang penyalahgunaan Senjata Tajam, Senjata Api dan Bahan Peledak dengan hukum penjara maksimal 20 tahun.

Sekretaris Daerah Kabupaten Magelang, Adi Waryanto mengaku sangat prihatin karena masih banyak warga yang menjual bahan petasan. Padahal, beberapa waktu lalu, terjadi ledakan bahan petasan di Kecamatan Kaliangkrik, Kabupaten Magelang, yang menewaskan satu orang. Menyikapi kondisi itu, Pemerintah Kabupaten Magelang akan segera mengeluarkan surat edaran untuk menginstruksikan para camat dan kepala desa untuk mengecek kepemilikan bahan petasan di masyarakat. ”Harus segera dilakukan pengecekan sehingga setiap temuan segera bisa ditindaklanjuti,” katanya. (ndg/ kpc)

Sekuat Tenaga Bersembunyi dari Penembak Misterius

Warga asli Perbalan, Ansor (65) sudah menjadi preman dan begal sejak sekitar usia 20 tahun. Dahulu dirinya mendapat panggilan Ayong di kalangan temannya yang kini seakan menjadi nama aslinya. Kawasan Perbalan, di Kota Semarang sejak dulu memang sudah identik menjadi lokasi rawan begal dan perbuatan kriminal lainnya.

Perihal tersebut, diamini oleh Ayong. “Perbalan itu bahasa kasarannya bajingan, istilahnya preman, tapi belum begitu nakal. Biasanya banyak anak muda pada kumpul-kumpul main judi,” ungkap Ayong saat ditemui di Ponpes Istighfar Tombo Ati, Jumat (31/3).

Ayong mengaku tak suka sekolah dan sering membolos. Ia pun berhenti saat masih duduk di bangku SMP. Pasalnya ia juga merasa membebani bapaknya yang bekerja sebagai mandor di pelabuhan dengan pendapatan tak seberapa.

Sejak itu kehidupannya sema- kin kelam. Ayong mulai berjudi. Di sana ia merasa mendapat kepuasaan saat menang. Namun saat kalah, ia terus terdorong untuk tetap ikut berjudi lagi sampai menang dan mengantongi banyak uang. “Zaman dulu itu belum semaju sekarang, jarang orang punya kendaraan. Dahulu, orang kaya itu sudah kelihatan dari gaya pakaiannya, necis, pakai jam tangan mewah, orang-orang seperti itu yang diincar,” lanjutnya. Untuk mencari modal judi kembali, ia pun membegal orang yang melintas di Perbalan, baik pejalan kaki maupun pengendara motor. “Kalau kalah, ya gimana caranya dapat uang, nodong di jalan, keluarkan senjata tajam, kalau dia ngelawan, mau enggak mau ya ditusuk,” bebernya. Lelaki itu mengaku tidak tahu sudah berapa kali membegal dan menusuk orang. Ia bahkan sudah kerap keluar masuk penjara. Baik perkara begal hingga terlibat pertarungan antar preman. Ia pernah berebut kekuasaan di terminal. Aparat kepolisian kala itu bahkan sudah akrab dengannya. Sekitar tahun 80-an, Ayong ditangkap polisi saat baru dibebaskan dari penjara karena salah tangkap. “Untung ada polisi yang kenal saya, dulu belum ada CCTV, saat orang menyebut Ayong, mesti langsung mengarah ke saya, padahal itu Ayong yang lain,” katanya. Saat marak penembak misterius (petrus) yang mengincar preman dan penjahat, dirinya resah dan khawatir akan menjadi target. Pasalnya ia sudah terlajur sering dicurigai polisi meski tidak melakukan perbuatan kriminal.

“Akhirnya saya ikut jadi kuli bangunan di Gereja Blenduk, kerjanya pakai masker wajah biar enggak ketahuan kalau itu saya,” ujarnya. Namun ia tetap tidak tenang karena harus terus bersembunyi. Sudah banyak teman-temannya yang terkena tembak oleh petrus. “Biasanya kepala orangnya (para pelaku kriminal) ditutup sama petrus dan ditembak, jasadnya juga enggak tahu dibuang kemana,” ungkapnya. Ayong pun berusaha memperbaiki hidupnya dengan menjadi sopir angkot. Kala itu kemampuan menyetir mobil dan memiliki SIM sangat langka. Sehingga dirinya cukup beruntung mudah mencari lapangan pekerjaan. “Ketemu istri karena pas dia

KOMPAS.COM/TITIS ANIS FAUZIYAH

JADI SANTRI - Ansor, mantan begal yang menjadi santri di Ponpes Istighfar Tombo Ati kini bekerja sebagai pemilik servis AC di Perbalan, Semarang, sekolah penumpang saya,” katanya. Lantaran sama-sama suka, keduanya meminta restu orang tua.

Namun Ayong ditolak keluarga karena pekerjaannya yang identik dengan hal negatif. Saat istri hamil duluan, akhirnya keluarga merestui dengan terpaksa. (Kompas.com/Titis Anis Fauziyah)

This article is from: