5 minute read

Warga Miskin Semakin di Bawah

Next Article
Tunggu Kepastian

Tunggu Kepastian

 Peneliti Sebut Upah Murah Jadi Penyebab Tingginya Angka Kemiskinan DIY

YOGYA, TRIBUN - Peneliti ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Nailul Huda menyoroti upah minimum provinsi (UMP) di DI Yogyakarta yang sangat rendah. Menurut dia, upah murah menjadi salah satu penyebab DIY jadi provinsi termiskin di Pulau Jawa.

Advertisement

butuhan LPG subsidi di Sleman pada 2022 sebanyak 44.846 matriks ton atau setara dengan 14.948.661 tabung tiga kilogram. “Tapi, untuk realisasi di lapangan ada penambahan. Bahkan, sampai 45.126 matriks ton atau setara dengan 15.420.000 tabung seberat tiga kilogram,” terangnya.

Tambahan itu didapatkan dari pengajuan kebutuhan LPG subsidi di Sleman saat perayaan hari-hari besar, baik itu Idulfitri maupun Nataru, untuk mengurangi kelangkaan stok. Ia mengaku belum bisa mengetahui secara pasti kebutuhan LPG subsidi per kapanewon.

“Saat ini kami baru diminta oleh Bapak Wakil Bupati untuk membuat klaster per kapanewon. Jadi, kebutuhan yang ada di tiap-tiap wilayah dapat termonitor dengan baik,” tutup dia. (nei)

Pakai QRIS, Tak Perlu Siapkan Uang Kembalian

YOGYA, TRIBUN - Bank

Indonesia (BI) mendorong masyarakat menggunakan

QR code Indonesia Standart (QRIS) sebagai media pembayaran digital, termasuk di pasar tradisional. Hal itu karena digitalisasi transaksi nontunai menjadi suatu keniscayaan.

Kepala Kantor Perwakilan

Bank Indonesia DIY, Budiharto Setyawan mengatakan QRIS merupakan salah satu inovasi sistem pembayaran nontunai yg diinisiasi BI.

Untuk mengakselerasi QRIS, BI menginisiasi program SIAP QRIS (Sehat Inovatif

Aman Pakai QRIS).

“Secara nasional, target pengguna QRIS meningkat menjadi 45 juta pengguna. Nilai transaksinya juga ditargetkan meningkat. Untuk perluasan QRIS diinisiasi program SIAP QRIS baik di pasar tradisional maupun modern,” katanya, Rabu (25/1).

Ia melanjutkan, pembayaran menggunakan QRIS menjadi cemumuah alias cepat, mudah, murah, aman, dan handal. Manfaat transaksi dengan QRIS bagi pedagang pun banyak, karena tidak perlu lagi menyediakan uang kembalian.

“Tidak perlu khawatir menerima uang lusuh ataupun uang palsu. Perkembangan QRIS juga memungkinkan pembayaran tanpa tatap muka. Pedagang tinggal kirim foto QR ke konsumen dan konsumen tinggal scan foto QR yang ada di album foto untuk pembayaran,”lanjutnya.

Pihaknya pun bersinergi dengan Pemerintah DIY melalui program SiBakul agar pedagang bisa memanfaatkan QRIS. Selain itu, program free ongkir yang diberikan dalam SiBakul juga menguntungkan baik dari sisi konsumen maupun pedagang. Upaya digitalisasi transaksi menggunakan QRIS juga dilakukan oleh Dinas Perdagangan (Disdag) Kota Yogyakarta. Kepala Disdag Kota Yogyakarta terus melakukan sosialisasi, baik pedagang maupun konsumen.

“Saat ini 40 persen pedagang di Kota Yogyakarta menggunakan QRIS untuk transaksi. Sementara ini di Pasar Beringharjo, Prawirotaman, Demangan, dan Kranggan. Kami terus melakukan sosialisasi dan bekerjasama dengan perbankan,” imbuhnya. (maw)

Apindo DIY Dorong Pemanfaatan

Tanah Kas Desa untuk Industri

YOGYA, TRIBUN - Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) DIY mendorong tanah kas desa di DIY digunakan untuk usaha industri. tingginya harga tanah di DIY menjadi salah satu kendala bagi pengusaha untuk memperluas industri.

“Kalau daerah lain ratusan ribu bisa dapat, kalau di Yogya, sejuta, dua juta. Kita (DIY) punya tanah kas desa, kenapa enggak didayagunakan seoptimal mungkin untuk industri? Itu sangat bisa dilakukan,” kata Ketua Apindo DIY, Boentoro, Rabu (25/1).

Menurut dia, pengusaha bukan satusatunya yang diuntungkan dengan pemanfaatan tanah kas desa. Masyarakat sekitar juga akan merasakan dampaknya, salah satunya dari penyerapan tenaga kerja. Praktis, tingkat pengangguran akan berkurang, dan muaranya pada pengentasan kemiskinan. Dia menilai, jika tanah kas desa hanya digunakan untuk pertanian, penyerapan tenaga kerja relatif kecil, hanya sekitar 3-5 orang per hektare. “Kalau untuk industri, tenaga kerja bisa terserap. Misalnya per hektare bisa 50-100 orang (tenaga kerja terserap), yang nanti akan mengurangi pengangguran. Pada gilirannya juga mengurangi kemiskinan,” ujarnya. ndustri di atas tanah kas desa juga bakal menyumbang pendapatan kalurahan, yang digunakan untuk mensejahterakan masyarakat. Meski begitu, ia juga mendorong pengusaha untuk turut memberikan program-program yang berpihak pada masyarakat. Dengan demikian, baik pengusaha maupun masyarakat sama-sama mendapat keuntungan. (maw)

“Selain faktor Covid-19, kemiskinan di Yogya ini terbentuk karena UMP DIY yang rendah sekali. Ini juga yang sama-sama kita gaungkan, untuk peningkatan pendapatan di Yogya. Ketika garis kemiskinan meningkat, pendapatannya tetap, bahkan cuma meningkat beberapa persen. Orang yang di bawah akan semakin di bawah. Enggak bisa mengejar, masuk di luar garis kemiskinan,” katanya, Rabu (25/1). Ia pun mengritik DIY yang menormalisasi upah murah. Sebab, pendapatan yang rendah akan menciptakan kemiskinan, dan jika dinormalisasi akan menjadi kemiskinan abadi. Itulah sebabnya, ia mendorong DIY untuk mengubah formulasi UMP, sehingga dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat. “Gaji yang meningkat relatif tinggi akan meningkatkan daya beli. Dengan daya beli meningkat, itu sudah pasti dia berada di atas garis kemiskinan. Miris sekali kalau membandingkan dengan indeks kebahagiaan, tapi enggak dilihat dari sisi pendapatan,” ujarnya. Selain upah murah, ia menyoroti pertanian DIY. Menurut dia, petani di DIY tidak memiliki lahan yang luas, kebanyakan hanya menggarap kurang dari 0,5 hektare (petani gurem).

“Ketika banyak sekali masyarakat yang tergantung pada sektor pertanian, terus kemudian petaninya juga petani gurem, yang terjadi adalah kemiskinan struktural,” lanjutnya. Subsidi yang diberikan untuk petani pun kerap tak tepat sasaran. Padahal. pupuk dan benih yang disubsidi pemerintah merupakan faktor produksi petani. Dengan begitu, Pemerintah DIY perlu mengintegrasikan subsidi pemerintah kepada petani, agar bisa mendongkrak produksi.

“Ketika lahan yang digarap cuma 0,5 hektare, terus sekali jual harganya misal Rp8 juta, terus biaya produksi Rp6 juta, selama musim tanam misal Rp3 juta, artinya petani cuma dapat Rp2 juta. Mau makan apa itu Rp2 juta? Ketika pendapatan petani turun, kemiskinan ekstrem akan naik,” imbuhnya Gubernur DIY Sultan Hamengku Buwono X angkat suara soal data BPS yang menunjukkan DIY sebagai provinsi termiskin di Pulau Jawa. Raja Keraton Yogyakarta ini menjelaskan, jika mengacu data BPS, persentase penduduk miskin di DIY sekitar 11 persen dan di Jawa Tengah 10,9 persen.

Menurutnya, kemiskinan di Yogya secara persentase memang lebih tinggi dari Jateng. Namun, dari sisi jumlah, angka kemiskinan di Jateng jauh lebih tinggi.

“Yogya 11 persen kalau penduduk 3,7 juta (jiwa) kira-kira 400.000. Tapi, kalau Jawa Tengah 9 persen, memang lebih rendah (secara persentase) ning (tapi, red) kalinya, kan, 36 juta, Kalau penduduknya 30 juta saja kali 9 persen, kan, 2,7 juta (jiwa yang hidup miskin),” kata Sultan di kompleks Kepatihan, Rabu (25/1).

Punya aset Sultan menganggap tingkat kemiskinan di DIY tidak bisa hanya dilihat dari angka statistik, karena masyarakat memiliki ciri khas tersendiri. Misalnya, banyak warga memiliki aset seperti hewan ternak dan hasil pertanian, tapi tidak menjadi indikator penghitungan kemiskinan. Pemerintah DIY disebutnya sudah berupaya menangani kemiskinan dengan memberi bantuan uang tunai. Namun, ketika mendapatkan bantuan pun, belanja konsumsi masyarakat tidak mengalami peningkatan dan tingkat konsumsi tetap di bawah garis kemiskinan.

“Misalnya gini, Rp480.000

SALING BERKAIT

 Statistik BPS menunjukkan DIY sebagai provinsi termiskin di Pulau Jawa.

 Peneliti Indef menyebut upah murah jadi salah satu penyebab tingginya angka kemiskinan DIY.

 Sultan HB X menganggap tingkat kemiskinan di DIY tidak bisa hanya dilihat dari angka statistik.

(biaya konsumsi warga miskin per bulan), saya kasih Rp100.000, dengan harapan, mengeluarkan satu bulan Rp480.00. Dengan saya kasih Rp100.000 itu dikonsumsi, berarti pengeluarannya jadi Rp580.000. Kalau Rp100.000 tidak dikonsumsi, untuk barang lain atau disimpan, tidak dikonsumsi, pengeluarannya tetap kurang dari tambahan Rp100.000 ,” ucap Sultan. Biaya konsumsi masyarakat Yogya menurutnya juga lebih kecil dibanding daerah lain karena harga makanan relatif murah. Hal itu dianggap menjadi masalah secara statistik karena penduduk dikategorikan miskin apabila rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan. “Berarti ada sesuatu yang sifatnya anomali. Mungkin pola kebijakan itu berlaku seluruh Indonesia. Di Yogya terjadi anomali seperti itu. Tapi, BPS tidak bisa ngubah hanya untuk DIY (menghitung aset),” ujarnya. (maw/ tro)

This article is from: