3 minute read

Dive Notes

Next Article
Marine Bites

Marine Bites

Ekspedisi Sulawesi Tenggara WWF Indonesia

Oleh Irwan Hermawan

Advertisement

Berawal dari tawaran seorang teman, saya mengikuti ekspedisi WWF Indonesia kawasan Sulawesi Tenggara pada bulan Oktober 2016 lalu. Saat itu saya berperan sebagai seorang volunteer dokumentasi yang mengambil foto dan video seluruh kegiatan selama ekspedisi berlangsung.

Saya terbang dari Jogja menuju Kendari pada Jumat, 15 Oktober 2016. Sampai bandara saya langsung dijemput oleh rekan dari WWF dan bertolak menuju pelabuhan. Saya agak terkejut ketika mengetahui bahwa kita akan tinggal di sebuah kapal selama ekspedisi berlangsung, yakni kapal FRS Menami milik WWF. Ekpedisi yang kita lakukan mencakup wilayah perairan pesisir timur Sulawesi Tenggara dari Kabupaten Konawe Utara, Konawe, Kabupaten Kendari, Kabupaten Konawe Selatan, dan Kabupaten Konawe Kepulauan.

Pada penyelaman pertama saya di Pulau Saponda Selatan, banyak schooling ikan kecil berenang

Dive Notes

mengikuti tim kami. Namun, di tengah penyelaman tiba-tiba terdengar suara ledakan yang cukup keras. Ternyata aktivitas pengeboman nelayan di perairan ini masih banyak dilakukan. Berbeda dengan penyelaman saat di Pulau Labengki, Kabupaten Konawe Utara yang cukup menarik perhatian saya. Kontur dasar berupa dinding atau wall dengan perairan yang jernih, ikan - ikan kecil dan gerombolan ikan Sweetlips berenang di hamparan terumbu karang yang beraneka ragam, menjadikan penyelaman di sini sangat sayang untuk dilewatkan. Bahkan kabar menyebutkan kalau kima terbesar kedua di dunia ada di sini. Namun sayang saya tidak menemuinya.

Tempat penyelaman yang paling miris adalah di Pulau Bahubulu, Kabupaten Konawe Utara. Di titik ini saya melihat hamparan terumbu karang yang sedang dimakan olah bintang laut duri atau Acanthaster yang membahayakan kehidupan terumbu karang. Begitupun ikan Napoleon dan kerang Triton telah lama menjadi satwa yang terancam punah akibat penangkapan yang berlebihan. Penyelaman terakhir saya lakukan di Pulau Wawonii, Kabupaten Konawe Kepulauan. Saat di sini, kami mencoba sebuah metode untuk memanggil ikan yang cukup unik. Saya dan rekan saya turun di kedalaman sekitar 15 meter dan mulai menggosok botol. Tak lama kemudian gerombolan besar ikan - ikan kecil muncul entah darimana. Wow, pemandangan yang tidak lazim ini benar - benar kami nikmati seperti pertunjukan opera bawah laut!

Dive Notes

Tanpa terasa 10 hari sudah kami berlayar, dan ekspedisi pun berakhir. Kami berlayar pulang menuju teluk Kendari dan saya kembali ke Jogja keesokan harinya. Dengan banyaknya pelajaran, teman dan relasi baru, semua itu menjadi sebuah pelajaran dan pengalaman berharga bagi saya yang tak terlupakan.

Gear Up

BUOY dari Bahan Tepat Guna

Oleh: Benarifo A. Foto: Dokumentasi Unit Selam UGM

Di beberapa kalangan, istilah ‘buoy’ terdengar cukup asing. Namun tidak demikian bagi masyarakat pesisir. Buoy adalah sebuah benda yang biasanya dapat kita temukan mengambang di lautan lepas. Benda yang kerap juga disebut pelampung ini pada dasarnya berfungsi sebagai penanda atau tempat bersandar kapal bagi para pelaut. Proses pembuatan buoy sendiri tidak boleh sembarangan, mengingat gelombang dan arus air laut yang kuat dapat menerjang benda tersebut setiap saat. Pada pelaksanaan Reef Covery yang ke-7 bulan September lalu tepatnya di Sangkapura, Pulau Bawean, Jawa Timur, Unit Selam UGM mencoba membuat sepuluh buah buoy dengan menggunakan barangbarang bekas sebagai

bahan dasarnya. Pada awal pembuatan terasa cukup rumit. Kami harus menyusun beberapa botol bekas 1,5 liter dengan bingkai kayu bekas berukuran panjang dan lebar 4x4 cm. Kemudian setiap sisi antar botol direkatkan dengan menggunakan lem atau lakban dan diisi dengan styrofoam bekas supaya lebih padat. Untungnya, kami dibantu oleh The Trekkers yang menyediakan kami kain kedap air sebagai bahan pembungkus sekaligus finishing. Buoy yang telah diikat hingga rapat kemudian diberi paralon yang terpasang lampu bersensor cahaya sebagai penanda.Pemasangan buoy saat itu sangat memberikan harapan yang besar di masyarakat, supaya tidak ada lagi kapal yang melempar jangkar sembarangan yang mampu merusak terumbu karang di area tersebut.

This article is from: