
1 minute read
Vakansi
from Scuba Holic #22
Di Balik Semua Senyuman
Oleh : Talitha Ambarsary Otje
Advertisement
Foto : Spesial “Senyuman… itukah yang kalian cari dariku? Miliaran rupiah, dollar, yen, dan apalah lagi itu yang menjadi motivasi kau ku tak paham Aku juga punya, mengumpat di balik senyumku, Ada itu lebih dari miliaran cerita” Untuk setiap kata terucap yang tak bisa dimengerti. Mungkin seperti itulah kehidupan lumbalumba yang hidup di penangkaran. Mereka jauh dari birunya laut dan gemercik ombak. Pada pertunjukkan yang kerap disebut peragaan lumbalumba apalah itu, yang mereka dengar tiap harinya bukanlah sapaan hangat keluarga dan teman, melainkan suara peluit, kencangnya musik, dan riuhnya tepuk tangan yang mengganggu. Sungguh memilukan. Ketika mereka memilih untuk tidak menarik kembali napasnya, di situlah mereka sudah tidak kuasa membendung penderitaan yang ada di penampungan.
Belum lagi alat filtrasi yang bising, serta kaporit yang terus mengikis kulit. Tak banyak pula bayi lumba-lumba yang dalam penangkapannya direnggut langsung dari sang induk. Bagaimana bisa bertahan lama di mimpi buruk itu? Saya adalah manusia biasa, saya tidak tinggal di air ataupun mempunyai sirip. Tapi, saya adalah manusia. Manusia yang layaknya tinggal di rumah dengan keluarga. Makan dengan nasi serta lauknya. Pergi bersosialisasi dan bekerja. Saya berada di mana seharusnya saya berada. Seperti itu kira-kira analoginya. Lumba-lumba mempunyai habitat sendiri, laut tanpa batas. Samudera luas dan liar yang berani, lebih berani daripada manusia yang menusuk dengan benda tajam, memasang jaring yang lebar. Alangkah pengecutnya. Jangan anggap bahwa manusia tahu persis bagaimana kehidupan lumbalumba dengan membuat tempat penangkaran semirip mungkin. Tetap saja itu kandang. Tetap saja itu penjara. Kawan, percayalah, aku senang melihat anakmu, keluargamu tertawa Tapi kumohon jangan kau renggut hidup dari keluargaku Ini bukan rumahku, aku tidak melihat ibu, tidak lihat bapak apalagi tetanggaku di samudera seberang Tidakkah sekiranya kawan tau bagaimana rasanya rindu ingatkah kawan dengan rasa rindu itu? Aku terkurung… di laut baru tak berhuni Suara-suara bising yang menusuk telingaku Memaksa jiwaku, membendung luar biasa rasa sakit... perih Menghantam tubuhku tuk jadi kacungmu ! Terasa sekali, amat terasa, kau menginjak-injak martabat kaumku ! Dan rasa sayang itu, hahaha, sudah pupus, layu, ditelan umurku Aku sudah gila, tapi kau lebih gila Senyuman itukah, yang kalian kalian cari dariku?”

