5 minute read
cerpen
Diary yang Tertinggal
Oleh NOVITA PURNANINGSIH
Advertisement
“Bapak rasakan dulu teh buatan Siska. Kalau enak berarti sudah pantas, tapi….”
“Tapi, kalau masih pahit, belum pantas. Hubungannya?”
“Ada. Bagaimana Siska melayani suami kalau melayani bapak-ibu saja masih kurang?”
“Sudahlah, Pak, Siska belum ketemu jodoh, ’kan karena kita juga,” ibu ikut bicara.
“Maksud Ibu?” bapak kaget.
“Bapak ingat, Siska pernah dilamar?” Ibu mengingatkanku. Dulu pernah aku menantang orang itu karena takut pacaran. Orang itu nekat melamarku tiga hari kemudian. Kukatakan padanya, kalau memang jodoh, tanpa pacaran pun jadi. Tapi, kalau tidak jodoh, berapa pun lama pacaran, siasia, tetep tidak jodoh.
“Ibu baca koran, ya?” aku menuding ibu termakan berita anak-anak SD di Klaten banyak yang sudah menikah karena sudah dilamar. Mereka percaya kalau tidak langsung dinikahkan, anak bakal jauh dari jodoh.
“Ibu aneh-aneh saja. Kalau semua kayak Ibu, wah … wah … bahaya,” bantah bapak.
“Bahaya, Pak? Apanya?”
“Ibu gimana? Sekarang jaman internet. Berita, mitos, legendaris dunia mudah diketahui, Bu. Apa kita mau percaya?”
“Iya-iya, tapi siapa tahu aja benar.” Ibu tetap bertahan.
“Itu terpulang anaknya. Sis, kamu masih berharap?” Bapak kalau tanya suka tanpa tedheng alingaling. Aku sudah terbiasa. Tapi, untuk yang satu ini aku merasa berat. Ah, mungkin dia sudah punya istri. Jarak umur kami sepuluh tahun. Kalau aku 26, dia 36. Waktu melamarku saja usianya kira-kira 29 dan aku 19.
Suara adzan terdengar. Mbak Tini, istri Mas Wibi, sudah mulai menghidupkan lampu-lampu dan menyiapkan sarungnya Mas Wibi dan bapak untuk shalat di masjid.
Sore itu cepat berlalu. Sehabis Magrib, aku baca Al-Quran, surat An-Nisa, tentang keluarga, hak-hak suami-istri, dan banyak lagi. Mengulas perempuan, ayat demi ayat, sampai adzan Isya. Kami shalat berjamaah di rumah. Waktu seperti inilah yang paling membuatku iri. Pasalnya, setelah shalat, Mas Wibi mencium dahi mbak Tini, bapak mencium dahi ibu.
Aku kembali buka diary-ku. 8/5/97. Dir, makin hari aku makin suka tepetepe dengan dia. Tahu tidak? Tadi aku menyapanya. Dengan Assalamu’alaikum. Eh, tunggu, bukan dia aja yang kusalami, tapi semua yang kujumpai. Tidak ada alasan dia untuk geer. Oh ya, aku takut diatahu perasaanku. Kamu tahu kan, status kami beda. Dia guru dan aku muridnya.
“TANTE…tante… kok belum nikah? Nisa keponakanku empat tahun bertanya pernikahan. Sensitif untukku. Apa boleh buat, anak kecil memang banyak ocehannya. Itulah Nisa, keponakanku paling kecil. Dari empat bersaudara, aku yang belum menikah.
“Tante, besok ‘kan dapat kado kalau nikah,” ucap Nisa. Yang lihat semua tertawa. Dasar anak kecil, pikirku.
Aku mengambil buku bergambar beruang warna pink. Terkejut, buku itu di meja. Perasaan, sudah kutaruh di gudang. Siapa naruh di sini? Aku tidak tahu buku-buku berserakan di meja. Nisa yang sedang kugendong memintaku mengambilnya. “Tante lihat…ahh….” Nisa tak sabar mau lihat buku itu.
“Nisa suka gambarnya?” tanyaku. Ragu kalau dikasihkan karena buku itu diaryku delapan tahun lalu. Tepatnya aku kelas tiga SMA, pertama kali jatuh cinta, pertama kali pula aku dihadapkan pada sebuah pilihan.
Aku tersenyum. Nisa hampir saja berhasil. Aku lekas mengalihkannya ke almari kaca. ”Yuk! Lihat Tante mengayuh sepeda?” Aku mendekat almari kaca. Kaki kiriku kuayuhkan dan kaki kananku kusembunyikan di samping almari yang tidak terlihat di kaca. Seakan-akan aku terlihat mengayuh dengan kedua kaki.
“Nisa juga pingin, Tante,” dia melonjak-lonjak minta gendong lagi agar sampai. Mas Wibi, ayah Nisa, tiba-tiba mengangkatnya dari belakang. “Tante, Nisa mengayuh nih, bocengkan ayah,” pamer Nisa.
Aku masuk kamar untuk meneruskan pekerjaanku yang tadi kutinggalkan karena Mas Wibi terima telepon. Nisa selalu begitu, menggangguku ketika orang sibuk sendiri-sendiri. Aku duduk di depan komputer sambil masih memegangi buku itu. Aku membuka lembar pertama. 7/5/1997. Dir, tahu? Aku lagi tepetepe dengan seseorang! Diapinter, ganteng, apalagi ya? Pokoknya beda deh! Apa ini cinta? Ah, nggak! Jangan! Aku takut, Dir, jatuh cinta padanya! Jangankan padanya. Pada sebayaku aja aku tidak berani. Apalagi beda umur jauhhh! Dir, mohon kamu jangan mengira aku benarbenar jatuh cinta padanya.
Aku nengok arloji. Jam lima sore. Sebentar lagi adzan. Aku segera bereskan serakan buku. Kubuat teh, tradisi keluargaku. Dulu bapakku yang membuat teh untuk semua anggota keluargaku. Pagi bapak juga membuatkan susu. Sekarang, aku ingin ganti layani mereka sebelum aku melayani suamiku.
“Sis, umurmu sudah 26. Belum ada pacar atau sudah punya tapi disembunyikan?” Bapak membuka tutup gelas, masih panas, hanya nyeruput sedikit.
cerpen
10/5/97. Dir, kenapa ya? Aku tidak suka pada bu Intan, guru Bahasa Jermanku. Dia ‘kan suka jalan ama pak Fuad, guru yang ehm…itu! Eih ngaco kamu, sorry kalau aku cemburu. Menurutmu benar tidak, pak Fuad pacaran ama bu Intan? Kenapa ya aku gelisah?
“Tante…tante, Nisa tuh sebenernya kasihan ama Tante.” Tahu-tahu Nisa sudah di tempat tidurku.
“Kok? Memangnya Tante kenapa?” tanyaku penasaran.
“Habis, dari tadi tidak ada yang nemeni. Tante sendirian terus! Nisa nemeni ayah-bunda. Uti ama Yangkung. Gini Tante. Kasihan deh lu,” katanya sambil joget. Benar, dari tadi aku hanya bermain dengan sepenggal masa lalu. Itupun dalam buku yang hanya terbaca tidak tersentuh atau … ingin rasanya aku masuk buku itu dan mengubah segalanya, khunah tukar pikiran tiga hari. Bertemu pertama kali dia ragu menyapaku. Dia ingin ngomong sesuatu. Dia nyuruh Emi, temanku. Dasar Emi, malah nyuruh pak Fuad menyapaku langsung. 12/5/97. Dir, aku ingin sekali nembak pak Fuad. Kalau ditolak, aduh malu banget! Aku punya ide. Nembaknya pas lulusan. Jadi, kalau ditolak, nggak ketemu lagi, cerdas ‘kan? Tapi, kalau diterima? Aku tidak mau. Bukan tidak mau diterima cintaku. Aku tidak mau pacaran, yap…aku geer (siapa mau jadian maaku). Bener, aku tidak mau pacaran. Bayangin, temenku yangdulu selalu seneng, eh, punya pacar cemberut aja. Aneh ‘kan, tidak rasional ‘kan? Katanya “Itulah cinta, Sis.” Ye…cinta apatuh. Cinta itu tidak menyakiti. 20/5/97. Dir, aku lulus! Hari ini, hari terakhirku memakai
repro kalam/uny
susnya pada tulisan “Because I Love You!” yang isinya, aku menantang pak Fuad menikahi aku, atau jauhi aku karena aku sayang padanya. Aku tidak mau pacaran. Eh, belum ada seminggu dia melamarku. Senangnya aku saat itu. Sayangnya, dia melamarku setelah aku diterima di universitas. Jelas bapak menolak.
“Masuk universitas itu mahal. Tidak semua orang mampu. Tidak seperti dulu, kaya miskin asal pinter bisa masuk, pikirkan kalau di tengah harus keluar. Bagaimana tanggung jawabmu terhadap bapak yang membiayaimu?” ucap bapak. Hancurlah hatiku mendengarnya. Kami akhirnya saling menjauh, sampai-sampai aku tidak mau ke SMA kecuali Jumat, Kamis, Selasa karena dia libur. Pernah satu kali bertemu, saat pembekalan anggota baru di organisasi yang kukelola.
Bayangkan, pertemuan pertama setelah perpisahan itu. Perpisahan? Bukan! Kami belum pernah jadian. Hanya perabuabu. Sebentar lagi kuliah, tahu yang kupikirkan? Nembak pak Fuad? No, mungkin yes. UMPTN? Apalagi itu, tidak terpikirkan. Aku belum kepikiran, mau kuliah di universitas pilihan bapak atau di mana? Aku kepikiran ninggalin pak Fuad, aku nggak tahu gimana lagi, tanpa dia mungkin aku lupa caranyabernafas.
Senyumku terurai, entah pernafasan seperti apa yang hilang dariku. Delapan tahun ini aku tetap bernafas tanpanya. 1/52005. Meriah yang sedang berlangsung dan... kutulis kembali di lembaran diary merah jambu yang masih kosong …Subhanallah, mungkin aku tahu kembali cara bernafas, atau aku menemukan yang paling baik untuk bernafas yang asli.
safrIna rovasIta mahasiswa jurusan pendidikan luar biasa fIp uny