Pewara Dinamika Januari 2009

Page 44

cerpen

Diary yang Tertinggal O l e h N ovita Purnaningsih “Tante…tante… kok belum nikah? Nisa keponakanku empat tahun bertanya pernikahan. Sensitif untukku. Apa boleh buat, anak kecil memang banyak ocehannya. Itulah Nisa, ke­po­na­kan­ku paling kecil. Dari empat bersaudara, aku yang belum menikah. “Tante, besok ‘kan dapat kado kalau nikah,” ucap Nisa. Yang lihat semua tertawa. Dasar anak kecil, pikirku. Aku mengambil buku bergambar beruang warna pink. Ter­ ke­jut, buku itu di meja. Perasaan, sudah kutaruh di gudang. Si­a­pa naruh di sini? Aku tidak tahu buku-buku berse­rakan di meja. Nisa yang sedang kugendong memintaku mengambilnya. “Tante lihat…ahh….” Nisa tak sabar mau lihat buku itu. “Nisa suka gambarnya?” tanyaku. Ragu kalau dikasihkan ka­rena buku itu diaryku delapan tahun lalu. Tepatnya aku ke­ las tiga SMA, pertama kali jatuh cinta, pertama kali pula aku dihadapkan pada sebuah pilihan. Aku tersenyum. Nisa hampir saja berhasil. Aku lekas meng­ alihkannya ke almari kaca. ”Yuk! Lihat Tante mengayuh sepe­ da?” Aku mendekat almari kaca. Kaki kiriku kuayuhkan dan kaki kananku kusembunyikan di samping almari yang tidak terlihat di kaca. Seakan-akan aku terlihat mengayuh dengan kedua kaki. “Nisa juga pingin, Tante,” dia melonjak-lonjak minta gendong lagi agar sampai. Mas Wibi, ayah Nisa, tiba-tiba mengangkatnya dari belakang. “Tante, Nisa mengayuh nih, boceng­ kan ayah,” pamer Nisa. Aku masuk kamar untuk meneruskan pekerjaanku yang tadi kutinggalkan karena Mas Wibi terima telepon. Nisa selalu begitu, menggangguku ketika orang sibuk sendiri-sendiri. Aku duduk di depan komputer sambil masih memegangi buku itu. Aku membuka lembar pertama. 7/5/1997. Dir, tahu? Aku lagi tepe-tepe dengan seseorang! Dia pinter, ganteng, apalagi ya? Pokoknya beda deh! Apa ini cin­ta? Ah, nggak! Jangan! Aku takut, Dir, jatuh cinta padanya! Ja­ngan­ kan padanya. Pada sebayaku aja aku tidak berani. Apalagi be­ da umur jauhhh! Dir, mohon kamu jangan mengira aku benarbe­nar jatuh cinta padanya. Aku nengok arloji. Jam lima sore. Sebentar lagi adzan. Aku se­gera bereskan serakan buku. Kubuat teh, tradisi keluargaku. Dulu bapakku yang membuat teh untuk semua anggota keluargaku. Pagi bapak juga membuatkan susu. Sekarang, aku ingin ganti layani mereka sebelum aku melayani suamiku. “Sis, umurmu sudah 26. Belum ada pacar atau sudah punya tapi disembunyikan?” Bapak membuka tutup gelas, masih panas, hanya nyeruput sedikit. 42

Pewara Dinam i ka j a n ua ri 2 0 0 9

“Bapak rasakan dulu teh buatan Siska. Kalau enak berarti sudah pantas, tapi….” “Tapi, kalau masih pahit, belum pantas. Hubungannya?” “Ada. Bagaimana Siska melayani suami kalau melayani bapak-ibu saja masih kurang?” “Sudahlah, Pak, Siska belum ketemu jodoh, ’kan karena ki­ ta juga,” ibu ikut bicara. “Maksud Ibu?” bapak kaget. “Bapak ingat, Siska pernah dilamar?” Ibu mengingatkanku. Dulu pernah aku menantang orang itu karena takut pacaran. Orang itu nekat melamarku tiga hari kemudian. Kukatakan padanya, kalau memang jodoh, tanpa pacaran pun jadi. Tapi, kalau tidak jodoh, berapa pun lama pacaran, siasia, tetep tidak jodoh. “Ibu baca koran, ya?” aku menuding ibu termakan berita anak-anak SD di Klaten banyak yang sudah menikah karena su­dah dilamar. Mereka percaya kalau tidak langsung dinikah­ kan, anak bakal jauh dari jodoh. “Ibu aneh-aneh saja. Kalau semua kayak Ibu, wah … wah … bahaya,” bantah bapak. “Bahaya, Pak? Apanya?” “Ibu gimana? Sekarang jaman internet. Berita, mitos, le­gen­ daris dunia mudah diketahui, Bu. Apa kita mau percaya?” “Iya-iya, tapi siapa tahu aja benar.” Ibu tetap bertahan. “Itu terpulang anaknya. Sis, kamu masih berharap?” Bapak ka­lau tanya suka tanpa tedheng aling-aling. Aku sudah terbia­ sa. Tapi, untuk yang satu ini aku merasa berat. Ah, mungkin dia sudah punya istri. Jarak umur kami sepuluh tahun. Kalau aku 26, dia 36. Waktu melamarku saja usianya kira-kira 29 dan aku 19. Suara adzan terdengar. Mbak Tini, istri Mas Wibi, sudah mu­lai menghidupkan lampu-lampu dan menyiapkan sarungnya Mas Wibi dan bapak untuk shalat di masjid. Sore itu cepat berlalu. Sehabis Magrib, aku baca Al-Quran, su­rat An-Nisa, tentang keluarga, hak-hak suami-istri, dan ba­ nyak lagi. Mengulas perempuan, ayat demi ayat, sampai ad­ zan Isya. Kami shalat berjamaah di rumah. Waktu seperti inilah yang paling membuatku iri. Pasalnya, setelah shalat, Mas Wibi mencium dahi mbak Tini, bapak mencium dahi ibu. Aku kembali buka diary-ku. 8/5/97. Dir, makin hari aku makin suka tepe-tepe dengan dia. Ta­hu tidak? Tadi aku menyapanya. Dengan Assalamu’alaikum. Eh, tunggu, bukan dia aja yang kusalami, tapi semua yang ku­ jumpai. Tidak ada alasan dia untuk ge-er. Oh ya, aku takut dia ta­hu perasaanku. Kamu tahu kan, status kami beda. Dia guru dan aku muridnya.


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.