11 minute read

Fanatisme Yang Dibenarkan

Oleh: Yansri Widayanti*)

"...pengajaran agama telah melahirkan insan yang fanatik, yang sering cenderung hanya memandang ajaran agamanya yang paling benar dan melahirkan sikap memusuhi ferhadap slapa pun yang tidak sepaham. Militansi yang menyertainya, tidak mengedepankan paham bahwa yang berbeda harus dipinggirkan. Kita harus menjaga, agar pengajaran agama yang diberikan tidak menghasllkan umat sebagal pemeluk baru, yang bersedia membela agama yang dipeluknya dengan cara dan bentuk apa pun." (Pidato Presiden Megawati pada Rakemas Depag di Jakarta tanggal 17 Mei 2004)

Advertisement

Pendahuiuan Tulisan in! tidak akan membahas latar belakang atau muatan politis di balik pemyataan Presiden Megawati padawaktu itu, melainkan hanya akan mencoba memaknai penggunaan Istilah 'fanatik' dan 'militansi' dalam menjalankan agama. Sudah sekiah lama menjadi keheranan dalam benak penulis, mengapa kedua kata tersebut -- yang sebenarnya bermakna netral atau situasional - mengalami pejorative (pemburukan makna), sehlngga cenderung dimaknai negatif. Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdikbud: 1988) mendefinlsikan kata 'fanatik/fanatisme' sebagal: keyakinan (kepercayaan) yang teramat kuat terhadap suatu ajaran (pciitlk, agama, dsb.). Sedangkan, kata 'miiitan/miiitansl' dideflnisikan: ketangguhan daiam berjuang, bersemangat tinggi, dan

berhaluankeras. Bukti pemburukan makna tersebut dengan mudah akan ditemul dalam percakapan sehari-hari. Sebagal misal, ketika ada crang yang begitu 'keukeuh' (taat) terhadap aturan agama, muncul- komentar yang bemada minor, seperti: "Dia tuch orangnya koq fanatik banget sih" atau dengan nada bangga mengucap: "Saya mah nggak fanatik-fanatik amat". Lho? Kenapa banyak orang yang justru bangga dan merasa berslkap paling pas dengan menjadi orang yang 'cukup sedang-sedang saja' dalam beragama, bahkan memandang orang yang dinilai fanatik sebagal sosokyang koiot, kurang toleran, dan kaku. Fanatlsme yang berlebihan daiam hal-hal yang bersifat duniawi atau terhadap sesama makhluk Tuhan memang tak dapat dibenarkan. Misalnya, sikap fanatik dalam menyukal suatu jenis atau merek barang, makanan tertentu, dsb. yang sen'ng menyulitkan dlii sendiri, atau mencintal orang atau tokoh tertentu secara berlebihan dengan alasan yang tidak dibenarkan agama ~ sehlngga cenderung mengkultuskannya. Bila hal-hal tersebut di atas yang terjadi, fanatlsme telah mempersempit wawasan piker, sehlngga tidak pernah membuka diri untuk pandangan atau pendapat baru atau altematif-altematif lain dl luar dirinya. Orang-orang dalam golongan ini, blla fanatlsmenya dllkuti dengan sikap militan dengan ciri khas 'pokoke' dan 'kalau bukan ini tidak mau', maka terjadilah seperti apa yang dipersepsikan orang mungkin termasuk oleh Presiden Megawati-tentang kedua istilah tadl.

Fanatlsme dan Militansi yang Mutlak Diperiukan

Konslll Vatikan li dl bawah pimpinan Paus Yohanes XXIIl tahun 1962 -1965 menyatakan: "Kami para Uskup yang berkumpul di Vatikan, dengan Ini menyatakan penghormatan kepada tiap upaya untuk mencapai kebenaran abadi. Namun, kami be]i<eyaklnan kebenaran abadi itu hanya ada di iingkungan gereja Kathoilk Roma." Sedangkan, KItab Suci Al Quran dalam Surat Mi Imran ayat 85 menyatakan: "Barang siapa mengambil seiain Islam sebagal agama, tidak akan diterima amal shoilh yang dilakukannya, dan la di akhlrat menjadi orang yang merugi." Dari kedua 'rujukan' yang diambil dari dua agama besar tersebut dapat ditariksatu benang merah bahwa pada prinslpnya semua agama mengajarkan pada pemeluknya bahwa agama yang dianutnya adalah yang paling benar dan tentu saja hal itu harus dlyaklnl oleh pemeluk setlap agama tanpa kecuail. Islam mengajarkan umatnya 'masuk' ke dalam agamanya secara kaafah (utuh/menyeluruh), seperti tertuang dalam Surat Ai-Baqarah ayat 208, seorang musllm harus meyakini kebenaran agamanya yang dibuktlkan dengan menenma secara ikhlas segala aturan, balk yang berupa perintah maupun larangan. Memang tidak mudah untuk bisa menjalankan semua 'regulasl' Allah swt bagi manusia pada umumnya, kecuali para rasul dan orangorang plilhan yang dlkarunial keleblhan dari Allah swt. Namun demiklan, seorang musllm wajib berusaha semaksimai mungkin, tetapl bukan dengan cara mengambil aturan yang ringan-ringan saja ataupun meringan-ringankan

aturan.

Menjalankan Islam secara kaaffah sungguh bukan perkara mudah. Untuk menegakkan dienul Islam di tengah kemajemukan dunia dalam segala aspek kehldupan, dlsertai derasnya arus informasi dan tiupan isu giobalisasi, diperiukan sikap miiltan yang tinggi dalam dIri tlap pribadi musllm. Militansi dalam konteks memiliki ketangguhan dalam berjuang dan bersemangat tinggi, terutama dalam menjaga konslstensi kelmanan pribadi adalah hai yang

mutlak.

Tidak Identik dengan Tidak Toleran

Sungguh ironis bila seseorang yang tidak mau diajak berbuatyang 'sedikit menyimpang' saja, justm dijauhi oleh komunitasnya atau mendapat julukan 'sok suci' dst. Dalam skala yang lebih besar, kelompok-kelompok yang dengan keras meneriakkan ant! kemaksiatan, seperti penolakan terhadap berbagai bentuk 'penyakit masyarakat', pomoaksi, pomografi, dsb. justm kurang mendapat respon positif, balk dari masyarakat luas maupun, apalagi, dari aparat terkalt dan pemerintah. Bahkan, gerakan masyarakat penentang kebijakan AS yang membantai rakyat Iraq dan Afganistan pun disikapi dengan 'cueK oleli

Pemerintah Indonesia. Pada pergaulan dunia para pejuang kemerdekaan dl Palestina yang terkenal dengan gerakan intifada atau pejuang Tamil di Pakistan sering dijuluki sebagai 'kaum militan' dan dengan sebutan itu mereka tidak mendapat banyak dukungan dari masyarakat dunia, padahal mereka memang pemilik negeri yang dijajah itu. Perkembangan yang paling menyedihkan di bumi beiahan barat adalah akibat pembumkan makna terhadap kedua kata tersebut, kaum muslim yang mempertahankan sikap selalu dicurigai sebagai teroris. Seorang muslim hams berkeyakinan bahwa Isiam adalah agama yang paling baik, paling benar, dan paling agung karena Al Quran menyebutkan dalam berbagai ayatnya, di antaranya: Ali-lmran ayat 19,101,103; An-Nissa ayat 175; Az-Zumar ayat 3, dan masih banyak iagi. Meskipun demikian, tentu saja keyakinan itu tidak menjadi tiket untuk membenci atau memusuhi kaum yang berbeda keyakinan, karena islam ditumnkan ke bum! sebagai rahmatanlil'alamin penebar kasih sayang bagi semesta alam. Keyakinan inilah yang menjadikan seorang muslim mempunyai tanggung jawab menjalankan ajaran agamanya

secara konsekuen dan konsisten.

AmarMa'rufNahlMunkar Salah satu implementasi dari rasa tanggung jawab itu adalah amarma'rufnahimunkar, menyuruh untuk kebaikan dan mencegah teqadinya keburukan/kejahatan. Namun, tentu saja dalam ber-amar ma'ruf nahi munkar Islam juga memberikan pedoman, yaitu hendaknya dilakukan dengan bijaksana, nasihatyang baik, dan diskusi atau musyawarah. Islam juga menggan'skan bahwa tujuan yang baik hams ditempuh dengan cara yang baik pula agar tidak merusak substansi dan esensi dari tujuan itu sendiri. Sungguh, Islam tidak pernah menganjurkan atau membenarkan penyelesaian masalah dengan cara

kekerasan. Hal yang cukup penting juga adalah, perlunya pemahaman bahwa Islam adalah agama yang paling toleran. Contoh yang paling konkrit adalah kewajiban puasa dan zakat bagi seorang muslim sebagai wujud solidaritas kepada umat yang kurang bemntung secara ekonomi tanpa memandang apa pun keyakinannya. Contoh lain, hampir di

seluruh permukaan bumi ini, bila umat Islam menjadi mayoritas di suatu tempat, maka umat Iain akan mendapat ketenangan karena adanya sikap melindungi dan menghormati sesuai ajaran Islam, yaitu tidak ada paksaan (ke) dalam Islam (Al-Baqarah ayat256). Namun sebaliknya, bila umat Islam menjadi minoritas di suatu wilayah, maka hampir dapat dipastikan umat Islam akan mendapat perlakuan yang kurang adil, didhalimi, diintimidasi, bahkan dihabisi (etnic cleansing).

Penutup

Wujud toleransi Islam yang tertinggi adalah penghormatan. kepada umat lain untuk menjalani keyakinannya masing-masing. Seperti tertuang dalam surat Ai-Kafirun, Allah swt telah berfirman, yang intinya: "Tuhanku bukanlah Tuhan yang kamu sembah. Tuhanmu bukanlah Tuhan yang aku sembah, maka bagiku agamaku dan bagimu agamamu." Wallahu'alambishawab.

Yansri Widayanti, Staf Sekretariat Rektor/PR

CINTA DITA

Oleb: Tata Irawan

Aku harus bertahan jangan sampai air

rnataku keluardari kedua mataku, aku masih bertahan dengan memalingkan muka balik jendela untuk menghilangkan rasa kepedihan di hatiku, Lamakeiamaan, suara itu masih terdengar di kedua telingaku. Akhirnya, pertahananku jebol juga, aku pun tak mampu untuk menahan air mataku dengan mendengar tangisannya. Sekali lagi, aku tak kuasa untuk mendengarnya. Seperti tersayat-sayat hatiku ini bagaikan sebuah mayat yang tak berguna lagi karena dimakan oleh burung pemakan bangkai. Aku tatap dia di balik jendela dengan deraian air mata, seakan ini sebuah perjumpaan yang terakhir bagi aku dan dia. Sebuah perpisahan yang sulit dimaknai dengan kata-kata, bahkan dengan material pun tak bisa dibeli. Manya sebuah tangisan dan diaman yang menjadi berarti bagi kami. Sebuah lambaian tangan kanannya di luar halaman rumah kepadaku yang beradadibalikjendela.Melihatsemua Itu menjadikan sebuah kenangan yang kuingat untuk selama-lamanya.

Hah Minggu, pk. 12.00 WIB, hah terakhir bagi Falat untuk meninggalkan keluarga dan kekasihnya lagi. Falat akan pergi ke luar negeri untuk

menamatkan kuliah S-2 di salah satu Universitas termuka di Jerman. Segala persiapan mulai dari visa sampai dengan perlengkapan pakaian telah disediakan oleh ibunya. Aku hanya membantu keperluan yang sekiranya dia butuhkan, mtsalnya makanan kesukaannya, coklat, dan tak ketinggalan juga kesukaan dia membaca novel, mulai novel fiisafat sampai dengan novel remaja, semuanya dibacanya. Dan, aku pun diajak sebagai teman diskusinya, ketika dia berada di rumah dan kami sering dijadikan tempat curhat masing-masing kalau ada masalah di kampus maupun di rumahnya. Kemudian, dia meminta pendapatku. "Bagaimana pendapatmu tentang buku ini?" tanyanya sambil memberikan buku yang berjudul laila-Majnun' kepadaku. Sekilas aku membacanya. Mulanya aku tanggung untuk menjawabnya. Tapi, dia tahu gelagatku bahwa aku ingin mengungkapkan sesuatu, tetapi takut untuk mengatakan yang sebenarnya. "Aku hanya manusia biasa, jangan merasa sungkan ataupun risih di antara kita, antara majikan dan pembantu. Jangan ada perbedaan di antara kita. Aku hanya minta pendapatmu,"pintanya. "Aku hanya lulusan SLTP, tidak seperti Aden, orang kuliahan pasti pola pikirnya lebih maju, berbeda dengan pola pikiran SLIP seperti saya," jawabku sambil menundukan kepala, takut dia marah. Hanya senyum yang dia keluarkan dan menggelengkan kepala.

"Kalau semua perempuan berpikiran seperti kamu, bangsa ini tidak akan maju, malah akan dijajah sama kaum laki-laki yang bejat, juga dimanfaatkan dengan segala cara," jawabnya dengan tenang. Aku hanya diam. Dan dia pun pergi ke kamar tidurnya karena kecewa terhadap diriku. Aku merasa bersalah karena sudah mengecawakannya. Aku menyadari siapa diriku ini. Aku hanya seorang pembantu di rumahnya karena belas kasihan ibunya yang mau membavi/a aku ke rumahnya yang megah dan paling kayadidesanya,

Ketika itu aku berumur 16 tahun, ditinggal. mati oleh ibu, sedangkan ayahku menikah lagi dengan seorang perempuan yang tidak mempunyai belas kasihan kepadaku. Ketika di depan ayahku, aku di manja dan disayang, tetapi ketika tidak ada ayah aku dicaci, dimaki, benar-benar benci kepadaku, entah karena kesalahan sedikit atau kesalahan yang tidak sengaja. "Dasaranak haram, tidak becus mengurusdiri sendiri, bagaimana nanti kalau sudah punya suami, pasti menginjak-injak harga diri suami," bentaknya. Kupikir, apa tidak salah dia selalu meminta sesuatu kepada ayahku walaupun aku dijadikan korban untuk sebuah permintaannya. Setiap kali marah, selalu yang keluar pertama adalah 'anak haram'. Pertama kali aku bertengkar dengan ibu tinku, aku selalu meladeninya. Tetapi, akhirnya aku pun kalah juga karena acting ibu tiriku sangat bagus, seperti mengalahkan pemain-pemain sinetron di TV, dalam mempengaruhi ayahklu. Aku tidak mau meladeninya lagi setiap ada pertengkaran karena ayahku selalu percaya dengan omongan ibu tiriku. "Dita, kamu sudah besar, mengalah sedikitlah. Itu semua demi kebaikan kita semua," pinta ayahku.

Suatu hah, entah setan atau jin mana yang masuk ke pikiran ibu tiriku, sampai-sampai ia punya ide untuk mengadukan aku pada ayah demi sebuah permintaan. "Sayang, tolong dong, belikan anting buat Dita. Katanya dia malu mengatakan sama papanya, takut permintaannya ditolak. Tetapi setelah aku mendekatinya, ternyata dia mau anting yang sama dengan tetangga baru itu sebagai kado ulang tahunnya," rayunya pada ayah. Aku ingin sekali muntah mendengar itu. Tetapi, ayahku tetap saja

mempercayainya. Aku pun protes sebagai seseorang yang dirugikan oleh ibu tiriku. "Bohong, Ayah! Semua itu bohong! Jangan percaya, Ayah!" kataku dengan rasa marah yang sudah memuncak di ubun-ubun kepalaku. Malah ayahku marah ketika aku akan mendamprat ibu tiriku, Aku ingin sekali menampar wajahnya yang kering kulitnya dan banyak keriputitu.

"Sudah Dita, jangan bertengkar lagi. Kalau kamu melawan ibumu, peimintaanmu itu ayah tolak!" bentak ayah padaku. Sejak itu, aku diusir dari rumah oleh ayahku.

Entah siapa lagi yang akan membantu aku selain tangan-Mu. Doaku di sepanjang jalan. Saudara ibuku jauh. Aku pun sudah tidak ingat lagi di mana alamat saudara ibuku. Aku hanya bisa berdoa agar aku bisa bertahan dari panas teriknya matahari serta dinginnya angin malam. Kadang aku tidur tidak menentu serta ketakutan pada anakjalanan. Benarbenar langit sebagai atapnya dan bumi sebagai lantainya. Dengan rasa haus dan lapar yang tidak bisa ditahan lagi aku terpaksa meminta-minta ke setiap rumah yang kaya. Kadang diberi dan kadang hanya cacian saja seperti anjing kudisan. Akhimya, doaku terkabul. Suatu hah aku dipanggil oleh tukang kebun sebuah rumah bertingkat dengan deretan mobil berbagai jenis. "Kamu mau jadi pembantu di rumah majikanku?"tanyanya, Tanpa pikir panjang lagi aku hanya bisa menganggukkan kepala sebagai tanda setuju. Kebetulan, pembantu terdahulunya pulang kampung dan tidakkembalilagi.

Sudah dua tahun ini aku tidak mudik walaupun aku tahu betui alamat rumahku yang ditempati oleh ibu tiriku, juga ayahku. Rasa kangen pada ayahku tidak bisa diobati lagi, pun tidak bisa ditukar dengan harta maupun perhiasan-perhiasan milik Nabi Sulaeman. Aku sering melamun, bahkan sering mengigau menyebut ayahku ketika aku tidur. Rasa kangenku terhadap ayah tercium juga oleh keluarga Falat. Kemudian, ketuarga Falat mengantarku ke tempat yang kutuju, yaitu rumah

ayahku. Seakan disambar petir di siang bolong, tak ada angin, tak ada hujan, aku lunglai dan lemas melihat rumah yang dulu dihiasi taman yang ash dengan beberapa pohon yang rindang, sekarang yang ada hanya bangunan kios-kios yang berjejeran. Ketika kutanyakan ke semua kios di situ tentang di mana gerangan ayahku berada, tidak satu orang pun tahu. Malah, katanya, ayahku mencahku sesudah peristiwa pengusiran dan rumah waktu itu. Rumah itu akhimya dijual kepada seorang lintah darat karena ibu tiriku tehilit utang yang banyak sekali. Sejak itu aku tidak berusaha mencahnya lagi. Kesedihanku membuat keluarga Falat merasa kasihan juga. Aku dijodohkan dengan Falat. Aku menerimanya dengan ketabahan hati. Namun, yang lebih menyakitkan hatiku lagi, Falat sangat mencintaiku, sama ketika aku melihat dia pada pandangan penama, ketika dia selesai kuliah S-1-nya dan wisuda. Dan, hah ini juga dia harus berangkat ke luar negeh untuk kuliah, bukan untuk menutupi rasa aib atas cintanya pada Dita.

Vogyakarta, 2005

This article is from: