FANATISME YANG DIBENARKAN Oleh: Yansri Widayanti*)
"...pengajaran agama telah melahirkan insan yang fanatik,
piker,sehlngga tidak pernah membuka diri untuk pandangan
yang sering cenderung hanya memandang ajaran
atau pendapat baru atau altematif-altematif lain dl luar dirinya. Orang-orang dalam golongan ini, blla fanatlsmenya dllkuti dengan sikap militan dengan ciri khas 'pokoke' dan 'kalau bukan ini tidak mau', maka terjadilah seperti apa yang dipersepsikan orang mungkin termasuk oleh Presiden Megawati-tentang kedua istilah tadl.
agamanya yang paling benar dan melahirkan sikap memusuhi ferhadap slapa pun yang tidak sepaham. Militansi yang menyertainya, tidak mengedepankan
paham bahwa yang berbeda harus dipinggirkan. Kita harus menjaga, agar pengajaran agama yang diberikan tidak menghasllkan umat sebagal pemeluk baru, yang bersedia membela agama yang dipeluknya dengan cara dan bentuk apa pun." (Pidato Presiden Megawati pada Rakemas
Fanatlsme dan Militansi yang Mutlak Diperiukan
Depag di Jakarta tanggal 17 Mei 2004)
Konslll Vatikan li dl bawah pimpinan Paus
Yohanes XXIIl tahun 1962 -1965 menyatakan:"Kami para Pendahuiuan
Tulisan in! tidak akan membahas latar belakang atau muatan politis di balik pemyataan Presiden Megawati padawaktu itu, melainkan hanya akan mencoba memaknai penggunaan Istilah 'fanatik' dan 'militansi' dalam
menjalankan agama. Sudah sekiah lama menjadi keheranan dalam benak penulis, mengapa kedua kata tersebut -- yang sebenarnya bermakna netral atau
situasional - mengalami pejorative (pemburukan makna), sehlngga cenderung dimaknai negatif. Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdikbud: 1988) mendefinlsikan kata
Uskup yang berkumpul di Vatikan, dengan Ini menyatakan
penghormatan kepada tiap upaya untuk mencapai kebenaran abadi. Namun, kami be]i<eyaklnan kebenaran abadi itu hanya ada di iingkungan gereja Kathoilk Roma." Sedangkan, KItab Suci Al Quran dalam Surat Mi Imran ayat 85 menyatakan: "Barang siapa mengambil seiain Islam sebagal agama, tidak akan diterima amal shoilh yang
dilakukannya,dan la di akhlrat menjadi orang yang merugi." Dari kedua 'rujukan' yang diambil dari dua agama besar tersebut dapat ditariksatu benang merah bahwa pada prinslpnya semua agama mengajarkan pada pemeluknya
'fanatik/fanatisme'sebagal: keyakinan (kepercayaan)yang
bahwa agama yang dianutnya adalah yang paling benar dan
teramat kuat terhadap suatu ajaran (pciitlk, agama, dsb.). Sedangkan, kata 'miiitan/miiitansl' dideflnisikan: ketangguhan daiam berjuang, bersemangat tinggi, dan
tentu saja hal itu harus dlyaklnl oleh pemeluk setlap agama tanpa kecuail. Islam mengajarkan umatnya 'masuk' ke
berhaluankeras.
tertuang dalam Surat Ai-Baqarah ayat 208, seorang musllm
Bukti pemburukan makna tersebut dengan mudah akan ditemul dalam percakapan sehari-hari. Sebagal misal, ketika ada crang yang begitu 'keukeuh' (taat) terhadap aturan agama, muncul- komentar yang bemada minor, seperti: "Dia tuch orangnya koq fanatik banget sih" atau dengan nada bangga mengucap: "Saya mah nggak fanatik-fanatik amat". Lho? Kenapa banyak orang yang justru bangga dan merasa berslkap paling pas dengan menjadi orang yang 'cukup sedang-sedang saja' dalam beragama, bahkan memandang orang yang dinilai fanatik sebagal sosokyang koiot, kurang toleran,dan kaku. Fanatlsme yang berlebihan daiam hal-hal yang bersifat duniawi atau terhadap sesama makhluk Tuhan memang tak dapat dibenarkan. Misalnya, sikap fanatik dalam menyukal suatu jenis atau merek barang, makanan tertentu, dsb. yang sen'ng menyulitkan dlii sendiri, atau mencintal orang atau tokoh tertentu secara berlebihan dengan alasan yang tidak dibenarkan agama ~ sehlngga cenderung mengkultuskannya. Bila hal-hal tersebut di atas yang terjadi, fanatlsme telah mempersempit wawasan
dalam agamanya secara kaafah (utuh/menyeluruh), seperti harus meyakini kebenaran agamanya yang dibuktlkan dengan menenma secara ikhlas segala aturan, balk yang berupa perintah maupun larangan. Memang tidak mudah untuk bisa menjalankan semua 'regulasl' Allah swt bagi manusia pada umumnya, kecuali para rasul dan orangorang plilhan yang dlkarunial keleblhan dari Allah swt. Namun demiklan, seorang musllm wajib berusaha semaksimai mungkin,tetapl bukan dengan cara mengambil aturan yang ringan-ringan saja ataupun meringan-ringankan aturan.
Menjalankan Islam secara kaaffah sungguh bukan perkara mudah. Untuk menegakkan dienul Islam di tengah kemajemukan dunia dalam segala aspek kehldupan, dlsertai derasnya arus informasi dan tiupan isu giobalisasi, diperiukan sikap miiltan yang tinggi dalam dIri tlap pribadi musllm. Militansi dalam konteks memiliki ketangguhan dalam berjuang dan bersemangat tinggi, terutama dalam menjaga konslstensi kelmanan pribadi adalah hai yang mutlak.
Ohlober 2005
^ (Unamfka ^
27