bina rohani
Surga Hanyalah Seekor Anak Kucing O l e h H eru Fa rh a ni SURGA hanya seekor anak kucing. Itu berlaku bagi Abu Hurairah r.a. Nabi Muhammad saw mengatakan, beliau dan para sahabat sedang berbincang ketika itu, tiba-tiba Rasul bertanya kepada para sahabat, “Maukah kalian kutunjukkan seseorang yang akan masuk surga hanya karena dibawa seekor anak kucing?” Hampir bersamaan, para sahabat balik bertanya, “Siapakah dia, ya Rasul?” “Dia adalah orang yang sedang melangkah kemari.” Secara serentak mereka membalik arah pandang. Terlihatlah se orang lelaki bergamis putih panjang, di bagian ujung depannya terpotong mem bentuk (nyaris serupa) setengah lingkaran. Kisah itu sebenarnya bermula dari kesaksian malaikat Jibril, yang menunjuk kan aktivitas Abu Hurairah di suatu ha ri dengan seekor anak kucing. Entah bagaimana gambaran Jibril, mungkin dalam konteks sekarang, gambar itu adalah rekaman dari kamera CCTV. Waktu itu Abu Hurairah sedang duduk tafakur di lantai masjid. Gamisnya yang panjang membuat ujungnya tergelar. Di atas gamis itulah seekor anak kucing tiba-tiba ndheprok dan tertidur. Ketika Abu Hurairah memungkasi dzikirnya, ia terkejut melihatnya. Abu Hurairah berdiri di garis batas antara iba dan ragu. Di satu sisi, ia harus menyudahi dzikirnya sebab ia harus bekerja. Di sisi lain, tak tega rasanya ji ka ia harus membangunkan seekor anak kucing yang tertidur pulas dan kele lahan. Hatinya tergetar. Hati seorang manusia muslim yang sadar, yang paham bahwa kucing juga makhluk Tuhan. Makhluk yang dalam tiap helaan nafasnya juga mengandung dzikir dan tasbih kepada Allah. Dengan hatinya yang lembut dan bijaksana, dia mengambil sikap semua harus dimenangkan. Ia yakin, setiap makh
luk Tuhan memiliki hak-hak yang harus ditunaikan. Saat itu juga ia menyobek bajunya, tepat beberapa sentimeter di sekitar anak kucing yang tertidur pulas. Ia bisa pergi melanjutkan tugasnya sebagai manusia secara horizontal dan kucing itu tetap tidur dengan pulas. Sebuah kisah pemerolehan tiket ke surga hanya karena membantu seekor anak kucing. Dalam kisah Abu Hurairah itu, surga hanya seekor anak kucing. Bagi kita, bisa jadi, surga hanya hal-hal se derhana yang lain. Sekilas semuanya terasa musykil. Ma na mungkin hanya dengan tak meng
istimewa
ganggu seekor anak kucing yang terti dur pulas di baju, seseorang bisa masuk surga. Atau, kisah lain, Rasulullah dalam mimpinya mendengar suara langkah kaki Bilal di surga. Setelah diselidiki semua itu terjadi hanya karena Bilal selalu memperbaharui wudhunya setiap kali batal. Di hadapan Allah segala sesuatu pen ting dan diperhitungkan. Sebagaimana termaktub dalam kalimah-Nya, ”Sesung guhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar dzarrah, dan jika ada kebajikan sebesar dzarrah, niscaya Allah akan melipatgandakannya dan memberikan pahala yang besar dari sisi-Nya (QS An-Nisa 40). Jelas, yang terpenting di hadapan Tuhan bukanlah besar dan kecil aktivitas kemanusiaan di muka bumi. Tetapi, sejauhmana aktivitas penghambaan kita.
Sederhana saja permisalannya. Seseo rang melakukan sebuah pekerjaan besar, taruhlah membangun masjid yang me nelan dana milyaran rupiah. Seseorang yang lain hanya menyedekahkan 1000 rupiah harta miliknya kepada anak ya tim. Dalam aktivitas kemanusiaan di muka bumi, tampaknya sang pemba ngun masjidlah yang berhak mendapat kan tiket ke surga. Karena, yang dilakukannya adalah pekerjaan besar dan mulia. Sementara, sosok yang menyede kahkan “hanya” 1000 rupiah itu pekerja an biasa-biasa saja. Ternyata, pembagian tiket ke surga tak sesederhana itu. Tuhan lebih meng utamakan sesuatu yang tak artifisial, sebab Tuhan lebih mengutamakan yang bersifat motivasi tersembunyi. Jadi, da lam konteks di atas, bukanlah jumlah rupiah atau besar wujud yang dapat dilihat mata yang menjadi titik utama, tetapi bagaimana nominal-nominal itu dibelanjakan. Miliaran rupiah bisa jadi dipenuhi kesombongan, riya’, dan akti vitas penghambaan manusia yang tak total kepada Allah. Sementara, nominal 1000 rupiah itu, barangkali diberikan dengan hati bergetar, sedih tak mampu mendermakan jumlah yang besar, sebab itu satu-satunya uang yang dimili kinya. Akhirnya, surga bukan besar-kecilnya yang telah kita lakukan dengan kacamata duniawi, tetapi berdasarkan tinggi-rendahnya tingkat penghambaan manusia kepada Rabb. Surga, dengan demikian, bisa jadi hanya seekor anak kucing, memaafkan orang-orang sebelum tidur, selalu memperbaiki wudhunya. Dan, surga mungkin hanya suatu senyuman tulus dan pasrah yang diberikan kepada sebuah kehilangan.
Heru Farhani Pemerhati Facebook
P e wa r a Di n a m i k a s e p t e m b e r- o kt o b e r 2009
45