Warta Kencana Edisi #12 2013

Page 1


daftar isi

20 | Warta Jabar 50 Radio Komunitas Deklarasi Dukung Program KKB

22 | Warta Jabar Perencanaan Keluarga Sejahterakan Pekerja

23 | Warta Jabar Jabar Idola Para Migran

16

Sejuta Warta

25 | Warta Daerah Si Cepot Kampanye PUP di Kabupaten Cirebon

3 | Dari Redaksi

8 | Warta Utama

26 | Warta Daerah

Selamat Datang BKKBD Kabupaten Sukabumi

Kampung KKB: Wujud Konkret People-centered Development

Migrasi Berdampak Dominan Bagi Program KB Purwakarta

4 | Warta Utama Pengendalian Penduduk Sebuah Keniscayaan

10 | Warta Utama

6 | Warta Utama

14 | Warta Khusus

Merajut Sinergi dari Penjuru Jawa Barat

27 | Warta Jabar Ciamis Makin Pede Genjot KB Pria

28 | Warta Analisis

Karena Semua Orang adalah PLKB

Mungkinkah Target TFR 2,1 Tercapai pada Tahun 2015?

7 | Warta Utama

18 | Warta Jabar

31 | Serba-serbi

Genjot Terus Pengarusutamaan Kependudukan!

Program KB Butuh Pendekatan Baru

Cara Ampuh Berkomunikasi dengan Remaja

Soal Menteri, Ikan Kalahkan Manusia

2

EDISI 12 TAHUN IV APRIL 2013


dari redaksi WARTA KENCANA Media Advokasi Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Jawa Barat diterbitkan BKKBN Jawa Barat untuk keperluan penyebarluasan informasi dan kajian kependudukan dan keluarga berencana di Jawa Barat. Warta Kencana hadir setiap dua bulan. Redaksi menerima kiriman artikel, liputan kegiatan, dan foto kegiatan kependudukan atau keluarga berencana. Redaksi akan memprioritaskan kiriman dari daerah. Setiap pemuatan akan mendapatkan bingkisan menarik dari redaksi. Penasehat Kepala BKKBN Jawa Barat Ir. Siti Fathonah, MPH. Dewan Redaksi Drs. Rahmat Mulkan, M.Si. Dra. Ida Indrawati Dra. Tetty Sabarniati Drs. H. Yudi Suryadi Drs. Rudy Budiman Drs. Soeroso Dasar, MBA Pemimpin Redaksi Drs. Rudy Budiman Wakil Pemimpin Redaksi Elma Tri Yulianti, S.Psi., MM. Managing Editor Najip Hendra SP Tim Redaksi Arif R. Zaidan, S.Sos. Bambang Dwi Nugroho, S.Ds. Chaerul Saleh Kontributor Ahmad Syafaril (Jabotabek) Akim Garis (Cirebon) Mamay (Priangan Timur) Yan Hendrayana (Purwasuka) Anggota IPKB Jawa Barat Fotografer Dodo Supriatna Tata Letak Litera Media Grafika Sirkulasi Ida Farida Alamat Redaksi Kantor BKKBN Jawa Barat Jalan Surapati No. 122 Bandung Telp : (022) 720 7085 Fax : (022) 727 3805 Email: kencanajabar@gmail.com Percetakan Litera Media - 081320646821 www.literamedia.com

Selamat Datang BKKBD Kabupaten Sukabumi

A

papun makanannya, minumannya tetap Teh Sosro. Iklan teh kemasan itu begitu melekat dalam ingatan publik. Bagaimana dengan masalah kependudukan? Amanat Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga (PKPK) sebenarnya sudah jelas. Pendudukan merupakan sentral pembangunan. Penduduk merupakan subjek sekaligus objek pembangunan. Barangkali boleh juga dicoba, “Apapun masalahnya, kependudukan solusinya.” Mirip iklah, bukan? Bila yang bertanya di mana “iklan” kependudukan adanya? Jawabannya ada di Kabupaten Sukabumi. Terhitung sejak diteken pada 26 November 2012 lalu, daerah yang berbatasan langsung dengan Samudera Indonesia tersebut memiliki sebuah badan baru: Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Daerah (BKKBD). Kehadirannya ditandai dengan terbitnya Peraturan Daerah (Perda) Nomor 77 Tahun 2012 tentang Struktur Organiasasi dan Tata Kerja Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Daerah Kabupaten Sukabumi. Kelahiran BKKBD juga menjadi wujud nyata komitmen pemangku kepentingan di Kabupaten Sukabumi tentang pentingnya pembangunan kependudukan dan keluarga berencana (KKB). Dengan perda anyar ini, tak ada alasan lagi pemerintah daerah untuk menyelenggarakan pengendalian penduduk dan program KB. Mengacu kepada Pasal 57 UU PKPK, BKKBD mempunyai tugas dan fungsi melaksanakan pengendalian penduduk dan menyelenggarakan keluarga berencana di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Lembaga ini memiliki hubungan fungsional dengan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Bupati Sukabumi Sukmawijaya tak ragu untuk menata daerahnya berbasis kependudukan. Baginya, kependudukan merupakan faktor determinan pembangunan. Kependudukan sangat penting. Bahkan, sangat penting. Karena itu, BKKBD sebagai ujung tombak pembangunan kependudukan merupakan sebuah keniscayaan. Di sinilah berpeluang ikut hadir upaya pengarusutamaan kependudukan secara massif di Kabupaten Sukabumi. Selamat datang BKKBD Kabupaten Sukabumi. (*)

Rudy Budiman Pemimpin Redaksi

EDISI 12 TAHUN IV APRIL 2013

3


warta utama

Pengendalian Penduduk Sebuah Keniscayaan Pada akhirnya, komitmen kuatlah yang kemudian menjadi penentu sejauh mana upaya pembangunan kependudukan dan keluarga berencana (KKB) bisa dilakukan. Adalah Kabupaten Sukabumi yang kemudian menunjukkan komitmen itu. Hadirnya BKKBD menjadi konfirmasi betapa komitmen itu demikian kuat.

H

ujan tengah menyapa Salabintana di Sukabumi ketika sejumlah pegawai Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Daerah (BKKBD) sibuk menyiapkan penyambutan tetamu yang mulai berdatangan sore itu. Di satu sudut tampak seorang pria agak tambun mengawasi dengan awas setiap detil pekerjaan di lapangan yang lumayan lapang di sebuah hotel di bilangan wisata kaki Gunung Gede. Dialah Ade Mulyadi, kepala BKKBD yang belum lama diresmikan. Ade maupun anak buahnya tampak begitu antusias menyambut acara yang akan dihelat keesokan harinya. Pada hari itulah BKKBD akan unjuk gigi di hadapan tamu dari setiap organisasi perangkat daerah (OPD) kabupaten dan kota maupun perwakilan pemerintah pusat ihwal model integrasi pembangunan KKB di Kabupaten Sukabumi. Selain berdiri baligo raksasa

4

EDISI 12 TAHUN IV APRIL 2013

Kemacetan Lalu Lintas

berisi galeri foto kegiatan BKKBD, ada juga spanduk ucapan selamat datang untuk para tetamu. Tak ketinggalan spanduk memanjang berisi proses pembentukan Kampung Keluarga Kecil Berkualitas (KKB) yang menjadi model unggulan BKKBD dalam mengintegrasikan program. Tepat di samping pintu masuk lokasi acara, berdiri tegap tabel raksasa berisi hitungan matematis benefit program KKB terhadap pembangunan. Di sana muncul angka-angka yang bisa dihemat manakala sebuah keluarga menggunakan alat kontrasepsi. Juga tampak benefit jangka panjang yang bisa dimanfaatkan untuk membiayai sektor lain manakala program KB dijalankan di kabupaten tersebut. Tidak kalah besarnya adalah sejumlah peta keluarga yang diperbesar ikut menyambut tamu yang hadir. “Kami ingin menunjukkan kepada daerah lain maupun pemerintah pusat bahwa BKKBD bisa segera dibentuk di daerah. Kami menceritakan proses dan dinamika yang muncul selama pembentukan BKKBD. Kami juga menghadirkan perwakilan legislatif yang tidak kalah dalam berjuang membentuk BKKBD ini,� kata Ade yang sore itu tampil kasual dengan mengenakan topi tanpa mengenakan sepatu. Ade mengaku bersyukur BKKBD akhirnya berdiri. Pria yang akrab disapa Pak Haji ini tidak memungkiri adanya kemungkinan perubahan kembali nomenklatur kependudukan. Bagi dia, yang penting terbentuk. Entah pun kelak harus berubah, maka pihaknya siap mengikuti perubahan itu. Yang pasti,


warta utama sejauh ini pihaknya mengacu kepada UU Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga (PKPK). “Yang paling menentukan juga sebenarnya adalah tingginya komitmen kepala daerah kepada program kependudukan dan KB. Alhamdulillah Pak Bupati memiliki komitmen kuat tentang itu. Selain kebijakan, dukungan juga dalam bentuk anggaran. Inilah yang kemudian menjadikan transformasi kelembagaan bisa berjalan mulus,” tandas Ade bangga.

Dia menyadari, kelembagaan belum bisa menjadi jaminan. Namun, setidaknya hal itu menjadi modal awal untuk mewujudkan capaian kerja yang dianggapnya kompleks tersebut. “Bagaimana supaya penduduk terkendali jumlahnya, kemudian kualitasnya bisa lebih baik lagi, berkelanjutan, itu membutuhkan kelembagaan yang kuat,” papar Sukmawijaya.

Benar saja. Keesokan harinya ketika dicegat usai membuka workshop pemaduan kebijakan pengendalian kependudukan, Bupati Sukabumi Sukmawijaya tampak sumringah menanggapi pertanyaan media tentang BKKBD ini. Sukmawijaya menegaskan bahwa kependudukan merupakan sentral pembangunan. “Itu didasari oleh pemikiran bahwa penduduk adalah hal yang amat sangat sentral, amat sangat strategis. Upaya pembangunan di bidang lain, sebesar apapun, sehebat apapun, tanpa dibarengi dengan pengendalian penduduk akan sia-sia. Karena itu, pengendalian penduduk adalah sebuah keniscayaan. Tentu bukan hanya pengendalian jumlah, melainkan juga pembinaan anak sejak lahir hingga dewasa,” ungkap Sukmawijaya.

Penguatan Kelembagaan Sukmawijaya yang tahun lalu menerima anugerah Satyalencana Wirakarya Bidang KKB dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjelaskan, pembangunan kependudukan merupakan proses berkelanjutan. Nah, hulu dari sebuah proses itu adalah keluarga. Dengan begitu, pembangunan keluarga pada dasarnya merupakan sebuah prasyarat pembangunan secara secara keseluruhan. Mengingat luasnya dimensi kependudukan dan kompleksnya masalah yang dihadapi, Sukmawijaya menilai perlu penguatan kelembagaan yang fokus menangani kependudukan. Tanpa lembaga yang kuat, imbuh dia, maka pembangunan kependudukan itu isapan jempol belaka. “Proses ini bermula dari keluarga. Misalnya, pasangan itu menikah harus pada saat yang tepat, tidak pada usia dini. Ini kan lingkup kerja yang sedemikian banyak, sedemikian kompleks. Tentu tak akan bisa ditangani manakala kelembagaannya kurang memadai,” kata Sukma. “Artinya, kelembagaan yang fokus pada persoalan itu ditopang juga oleh ketersediaan personel yang juga memadai. Lalu, dukungan kelengkapan, dukungan anggaran, dan lain-lain. Ini karena kita menyadari bahwa betapa penting kependudukan. Cakupannya juga sangat luas. Betapa sulit, tidak mudahlah,” Sukmawijaya menambahkan.

Bupati Sukmawijaya Baginya, penguatan kelembagaan berupa pembentukan BKKBD tak bisa ditunda lagi. Harus segera dilakukan. Untuk menyempurnakannya, Sukmawijaya tak segan menyerap masukan pihak lain. Workshop yang dihelat di Salabintana belum lama ini juga menjadi ajang bertukar pikiran dengan daerah lain maupun pemerintah pusat. Pentingnya penguatan kelembagaan juga diungkapkan Zaenudin, anggota Komisi III DPRD Kabupaten Sukabumi. Zaenudin merupakan salah seorang di balik kesuksesan panitia khusus (Pansus) dalam melahirkan BKKBD. Anggota Fraksi PDI Perjuangan ini terlibat aktif dalam penggodokan draft peraturan daerah (Perda) kelembagaan. “Dalam melakukan pembahasan, kami di DPRD melalui Badan Musyawarah membentuk pansus. Melalui pansus itulah materi-materi didalami. Kami melakukan diskusi secara maraton dengan eksekutif. Dari situ kami menemukan pemikiran yang sama mengenai pengendalian penduduk. Walaupun sampai hari ini kita belum mendapat penjelasan Peraturan Pemerintah, kami sepakat untuk melahirkan BKKBD,” terang Zaenudin. “Nah, mengapa baru Kabupaten Sukabumi yang berani menetapkan peraturan daerah tentang BKKBD? Kami melihat permasalahan penduduk ini adalah masalah kita bersama, bukan hanya persoalan pusat, juga tidak hanya persoalan daerah. Jadi, pengendalian penduduk adalah persoalan kita bersama antara pusat dan daerah. Sehingga, kita berani menetapkan,” tambah Zaenudin. Ketika pengendalian penduduk diabaikan, imbuh EDISI 10 TAHUN III DESEMBER 2012

5


warta utama dia, maka lonjakan penduduk tidak bisa dibendung. Ini akan berdampak pada aspek lainnya. Mantan aktivis Gerakan Mahasiswa Nasionalis Indonesia (GMNI) ini menilai hadirnya BKKBD tidak akan memicu tumpang tindih dengan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil). “BKKBD berbicara tentang pengendalian (penduduk). Kemudian status, kualitas, dan kuantitas penduduk. Sementara Dukcapil berbicara mengenai administrasi kependudukan. Nah maka dengan demikian, kekhawatiran tumpang tindih tupoksi saya kira itu sangat jauh. Memang tugasnya pun berbeda,” papar Zaenudin. Mengacu kepada Pasal 57 UU PKPK, BKKBD mempunyai tugas dan fungsi melaksanakan pengendalian penduduk dan menyelenggarakan keluarga berencana di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Lembaga ini memiliki hubungan fungsional dengan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Sementara itu, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan menjelaskan, administrasi kependudukan adalah rangkaian kegiatan penataan dan penertiban dalam penerbitan dokumen dan data kependudukan melalui pendaftaran penduduk, pencatatan sipil, pengelolaan informasi administrasi kependudukan serta pendayagunaan hasilnya untuk pelayanan publik dan pembangunan sektor lain. Mencermati hal itu, tampaknya memang tak ada pertentangan tugas antara BKKBD yang bertugas menyelenggarakan pengandalian penduduk dan program KB dengan Dinas Dukcapil yang menyelenggarakan administrasi kependudukan. Kalau sudah begitu, menunggu apa lagi? (NJP)

6

Soal Menteri, Ikan Kalahkan Manusia

Yudhi Suryadhi

Pembangunan kependudukan secara nasional menampilkan sebuah ironi. Ketika setiap lini kehidupan dikelola melalui sebuah kementerian, kependudukan tidak demikian.

K

epala Bidang Pengendalilan Penduduk Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Jawa Barat Yudhi Suryadi tampak geram ketika dimintai tanggapannya tentang kependudukan. Dicegat sejumlah wartawan usai pembukaan workshop pemaduan kebijakan kependudukan di Sukabumi belum lama ini, Yudhi menilai perhatian pemerintah terhadap kependudukan sangat rendah. Menurutnya, jumlah penduduk yang semakin hari semakin meningkat membutuhkan sebuah kementerian khusus. Sebutlah Kementerian Kependudukan. Kementerian ini nantinya berfungsi untuk mengoordinasi segala sesuatu yang menyangkut kependudukan di Indonesia. “Ikan aaja ada menterinya, ini kok penduduk malah gak ada menterinya,” sindir Yudhi. Bagi Yudhi, Kementerian Kependudukan sangat penting menghadapi pertumbuhan

EDISI 12 TAHUN IV APRIL 2013

penduduk yang makin deras. Tanpa pengendalian ketat, dalam 37 tahun ke depan Jawa Barat terancam ledakan penduduk dengan jumlah dua kali lipat dari jumlah sekarang. Ini akan berdampak pada kebutuhan daya dukung yang makin berkurang setiap harinya. Sindiran Yudhi ini senada dengan pandangan Ketua Ikatan Penulis Keluarga Berencana (IPKB) Jabar Soeroso Dasar. Perhatian pemerintah terhadap program KB menurun sejak bergulirnya otonomi daerah pada 2004 lalu. Ini ditandai dengan pemangkasan anggaran program KB pada 2005 yang hanya setengah dari tahun sebelumnya. “Ikan di laut saja ada menterinya, hutan di gunung juga ada menterinya. Manusia yang jumlahnya lebih dari 235 juta justru tidak ada menterinya. Padahal dulu ketika penduduk Indonesia masih 100 juta jiwa sudah ada menteri kependudukan. Kepentingan politik mengalahkan kepentingan rakyat,” tandas Soeroso.(NJP)


warta utama

Genjot Terus Pengarusutamaan Kependudukan! Ada ikhtiar besar yang dilakukan BKKBN untuk membumikan masalah kependudukan kepada pemangku kepentingan. PHBK salah satunya.

A

papun makanannya, minumannya tetap Teh Sosro. Iklan teh kemasan itu begitu melekat dalam ingatan publik. Bagaimana dengan masalah kependudukan? Amanat Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga (PKPK) sebenarnya sudah jelas. Pendudukan merupakan sentral pembangunan. Penduduk merupakan subjek sekaligus objek pembangunan. Barangkali boleh juga dicoba, “Apapun masalahnya, kependudukan solusinya.” Mirip iklah, bukan? Nah, upaya-upaya pengarustamaan itulah yang kini tengah ditempuh Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Saat hadir dalam seminar sumber daya manusia (SDM) di

kampus Universitas Padjadjaran (Unpad) beberapa waktu lalu, Direktur Kerjasama Pendidikan Kependudukan Eddy N Hasmi menjelaskan, pihaknya kini tengah menggenjot pengarusutamaan kependudukan. Setidaknya ada tiga sasaran yang menjadi sasaran pengarusutamaan itu. “Mainstreaming atau pendidikan kependudukan diarahkan kepada tiga kelompok sasaran. Pertama, kepada perguruan tinggi sebagai lembaga pendidikan dan penelitian. Tujuannya agar isu-isu kependudukan menjadi bagian dari materi pendidikan. Pada saat yang sama, lembaga pendidikan terlibat aktif dalam penelitian tentang kependudukan. Harus diakui selama beberapa waktu terakhir ini kependudukan tak begitu menarik minat peneliti,” kata Eddy.

Eddy N Hasmi

Kelompok sasaran kedua adalah para pengambil kebijakan. Kelompok ini meliputi kepala daerah, lembaga legislatif, dan lembaga pemegang otoritas dalam tata kelola pemerintahan. Keberhasilan Kabupaten Sukabumi dalam melahirkan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Daerah (BKKBD) tidak lepas dari pengarusutamaan yang dilakukan organisasi KB di daerah. Di sana terbangun harmoni antara eksekutif di satu sisi dan legislatif di sisi lainnya. Berikutnya adalah pendidikan kependudukan bagi masyarakat. Hal ini penting agar masyarakat memiliki pemahaman yang baik tentang pentingnya pengendalian penduduk. Cara ini ditempuh dengan mengembangkan pola perilaku hidup berwawasan kependudukan (PHBK). “Pendidikan kependudukan itu dimana mendidik masyarakat secara umum mulai dari generasi muda dan masyarakat secara keseluruhan agar mereka sadar dan memiliki pengetahuan dan perilaku yang bisa mendukung tercapainya kondisi ideal tentang kependudukan,” kata Eddy. Lebih jauh dia menjelaskan, PHBK mendorong munculnya perubahan pengetahuan, sikap, dan perilaku masyarakat. Ini merupakan proses unik karena tidak hanya menyangkut dimensi kultural yang memiliki sistem nilai dan norma, tetapi juga dimensi sosial dan ekonomi yang berdampak langsung secara psikologis kepada sikap dan perilaku seseorang. (NJP)

EDISI 12 TAHUN IV APRIL 2013

7


warta utama

Wawancara Khusus dengan Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Daerah (BKKBD) Kabupaten Sukabumi H. Ade Mulyadi

Kampung KKB: Wujud Konkret People-centered Development Ade Mulyadi

Undang-undang RI Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga sudah diundangkan lebih dari tiga tahun lalu. Namun demikian, pemerintah terkesan gamang. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Daerah (BKKB) yang menjadi amanat UU tersebut tak kunjung terbentuk. Di Jawa Barat, praktis hanya Kabupaten Sukabumi yang berani mendeklarasikan. Kini menjadi SKPD yang diperhitungkan. Kampung Keluarga Kecil Berkualitas (KKB) menjadi sebuah model pembangunan terpadu berwawasan kependudukan. Kepala BKKBD Kabupaten Sukabumi Ade Mulyadi memberikan penjelasan khusus ihwal transformasi kelembagaan yang dipimpinnya. Berikut petikannya.

8

EDISI 12 TAHUN IV APRIL 2013

Sukabumi merupakan daerah pertama di Jabar yang membentuk BKKBD, apa latar belakang dan bagaimana prosesnya? Latar belakangnya sebenarnya sederhana. Pembangunan itu kan ditentukan oleh parameter indeks pembangunan manusia (IPM). Indeks ini meliputi pendidikan, kesehatan, dan daya beli. Sudah jelas, ketika berbicara manusia berarti kita berbicara tentang penduduk. Kalau sudah begitu diperlukann adanya lembaga yang secara khusus menangani kependudukan. Selama ini tidak. Nah, secara regulasi, nomenklatur kependudukan ini sudah diatur dalam UU Nomor 52 Tahun 2009 tentang PKPK. Di sana disebutkan bahwa daerah harus membentuk BKKBD. Tidak yang harus dipertentangkan, kan? Makanya kami jalan terus. Turunan peraturan dari UU 52/2009 yang mengatur BKKBD sendiri belum ada? Bagaimana bisa terbentuk? Begini, kalau kita menunggu mau sampai kapan? Sekarang saja sudah lebih dari tiga tahun belum keluar juga PP (Peraturan Pemerintah, red). Di sana sudah jelas. Kami hanya melaksanakan. Kalau toh akhirnya ternyata berbeda dengan regulasi turunan UU, ya kita ubah saja. Kelembagaan ini kan bukan produk mati. Dinamis sekali sehingga sangat mungkin berubah.


warta utama Sebenarnya apa manfaat yang muncul dengan adanya BKKBD? Keuntungan terbesar adalah adanya integrasi pengendalian penduduk dan keluarga berencana (KB) dalam satu atap. Kami juga mengembangkan model penggarapan terpadu tersebut melalui Kampung KKB. Melalui Kampung KKB inilah pembangunan yang berpusat kepada penduduk (People-centerd Development) dilaksanakan. Di sini berlangsung pembangunan pendidikan, kesehatan, dan perekonomian di level mikro. Seperti apa bentuknya? Dinamakan model kegiatan integratif karena semua berlangsung dalam satu kesatuan program. Muaranya adalah bagaimana meningkatkan derajat pendidikan, kesehatan, dan ekonomi masyarakat. Bagaimana prosesnya? Kita memulai dengan adanya lokakarya di tingkat kecamatan. Lokakarya ini untuk memberikan pemahaman kepada tim kecamatan, bagaimana pengelolaan KB dan substansi KB yang berkaitan dengan pendidikan, kesehatan, dan ekonomi. Kemudian ada lokakarya mini di desa untuk menentukan kampung mana yang akan dijadikan lokasi sasaran. Setelah ditetapkan lokasi sasaran, maka kader-kader yang ada di desa itu dilatih di tingkat kabupaten untuk memahami dalam menggali data, potensi dan permasalahan. Lalu data diolah menjadi informasi yang berkaitan dengan jumlah anak usia 0-6 tahun atau sudah mempunyai akta lahir atau belum. Kalau belum, maka kader akan melakukan pembinaan dan menyelesaikan kerja sama dengan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil. Selanjutnya adalah berkaitan dengan anak tumbuh usia 12 tahun dan usia 13-18 tahun. Kalau ada anak yang tidak sekolah, maka dilakukan pendekatan pembinaan. Apakah anak itu harus masuk ke sekolah atau cukup mengikuti paket ujian saja, hal itu nantinya diserahkan kepada Dinas Pendidikan.

untuk kesejahteraan masyarakat melalui program terintegrasi dari data dan informasi yang telah digali oleh kader. Jadi, dari masyarakat, untuk masyakarat dan dilakukan juga oleh masyarakat. Siapa saja yang terlibat? Semua pihak. Ya, kalau berkaitan dengan kesehatan oleh Dinas Kesehatan, pelayanan KB oleh kita, pelayanan kependudukan oleh Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, ekonominya oleh Dinas Pertanian, Dinas Peternakan, atau Dinas perikanan. Ada juga yang dibina Dinas Perindustrian dan Perdagangan. Dengan begitu, para kader melakukannya dengan fokus. Insya Allah dengan dilakukannya kampung KKB, pelaksanaan kegiatan fokus pada 1 kegiatan 1 lokasi. Semuanya dilakukan melalui proses pemberdayaan masyarakat, melalui pelatihan pada kader-kader yang ada di masyarakat. Berapa banyak kampung KB yang sudah terbentuk? Tahun 2013 ini kita sudah memiliki 90 kelompok pada 18 kecamatan. Insya Allah 2014 akan bertambah. Memang ini juga bergantung pada kebijakan Pak Bupati. Kami menargetkan Kampung KKB ini akan terbentuk di seluruh kecamatan. Sambutan dari pihak lain? Sejauh ini kami berhasil membangun kerjasama yang bagus dengan OPD-OPD lain. Tentu, harus kami akui masih ada yang kurang. Sampai sekarang sudah banyak kader-kader yang membuatkan akta-akta kelahiran. Dulu kan terhambat karena pembuatan akta yang satu tahun ke atas harus sidang terlebih dulu. Tapi Alhamdulilah ada perubahan di yudisial, di MK, sehingga mulai 1 Mei bisa melakukan pembuatan akta tersebut. Pembuatan KTP juga dibantu. Lalu dari (Dinas) Kesehatan membantu membuat jamban keluarga. Sementara dari Dinas Pendidikan mereka proaktif melaksanakan kelompok belajar paket A, paket B, dan paket C. Dukungan kepala daerah sendiri sejauh mana?

Menyangkut kesejahteraan atau taraf ekonomi, bagaimana itu dilakukan? Kita bisa memanfaatkan lahan yang dimiliki keluarga. Kader dibina bagaimana memanfaatkan lahan-lahan yang ada di sekeliling rumahnya. Inilah yang kelak dinamakan rumah pangan yang berfungsi mendorong peningkatan gizi. Jadi manfaat kampung KB tersebut sangat menyeluruh

Alhamdulilah, Pak Bupati sangat respons terhadap pengendalian penduduk ini, terutama dengan BKKBD. Ini pertama dari sisi kebijakan, regulasinya kita adalah daerah di Jawa Barat yang pertama memiliki BKKBD. Dari kebijakan anggaran, Alhamdulilah untuk 2013 ini kita diberikan anggaran Rp 15 miliar. Mudah-mudahan untuk tahun 2014 sekitar Rp 16 miliar.(*)

EDISI 12 TAHUN IV APRIL 2013

9 9


warta khusus

Merajut Sinergi dari Penjuru Jawa Barat Konsolidasi IPKB Jawa Barat: Dari Penulis untuk Pembangunan KKB IPKB Purwakarta

B

erhentilah mengutuk kegelapan. Mulailah menyalakan lilin. Penggalan kalimat intelektual muda Anies Baswedan ini seperti mengingatkan semua pihak yang antipati terhadap program kependudukan dan keluarga berencana (KKB). Banyak mata membelalak melihat stagnasi angka fertilitas dan laju pertumbuhan penduduk (LPP) selama satu dekade terakhir. Program KKB dianggap gagal karena tak mampu membendung kencangnya laju pertumbuhan. Pada saat yang sama, angka kelahiran total atau total fertility rate (TFR) tak mampu beranjak dari angka 2,6. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) pun menjadi bulan-bulanan. Lalu, siapakah yang akan menyalakan lilin? Tentu ada. Ikatan Penulis Keluarga Berencana (IPKB) Jawa

10

EDISI 12 TAHUN IV APRIL 2013


warta khusus Barat salah satunya. “IPKB Jabar mencoba melihat secara proporsional masalah kependudukan dan KB di Jawa Barat ini. Kami mencoba memberikan sumbangsih sesuai dengan kapasitas kami di dunia kepenulisan. Laporan SDKI memang menunjukkan bahwa program KKB belum menggembirakan,” kata Ketua IPKB Jabar Soeroso Dasar saat ditemui di sela pelantikan Pengurus Cabang IPKB Kota Bandung medio April 2013 ini. Sebagai catatan, preliminarry report Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012

inti, janji, dan pendukung, belum pada pesan aksi,” Soeroso mengungkapkan analisisnya. “Isu strategis advokasi dan KIE program KKB tersebut menjadi perhatian penuh kami. Ini tidak lepas dari peran pers atau media sebagai media informasi dan pendidikan (UU No. 40/1999 tentang Pers). IPKB yang merepresentasikan komunitas insan pers dan pemerhati KKB maupun pemberdayaan masyarakat merasa turut bertanggung jawab untuk turut berperan aktif dalam kampanye penyadaran masyarakat mengenai pentingnya program KKB untuk kehidupan yang lebih baik,” tambah penulis KB Mati Dikubur Berdiri tersebut. Upaya tersebut, sambung dia, sejalan dengan tujuan IPKB sebagaimana diatur dalam Anggaran Dasar IPKB Pasal 2 yang menyebutkan bahwa tujuan IPKB adalah memperjuangkan tercapainya cita-cita, tujuan, dan kepentingan masyarakat. Yakni, terwujudnya suatu masyarakat adil dan makmur melalui penulisan KKB serta pemberdayaan masyarakat. Soeroso cs pun berjanji untuk ambil bagian dalam perjuangan tersebut. Sadar tata kelola organisasi masih membutuhkan sentuhan ekstra, tahap awal yang dilakukannya adalah dengan melakukan konsolidasi organisasi. Pengurus cabang yang sudah terbentuk diperkuat, yang belum terbentuk segera difasilitasi untuk segera menghimpun kekuatan. Beberapa simbul wilayah pun ditentukan. Wilayah Cirebon dan sekitarnya dipusatkan di Kabupaten Cirebon, daerah penyangga ibu kota dipusatkan di Kabupaten Bekasi, daerah Priangan Timur dipusatkan di Ciamis, kawasan industri Karawang dipusatkan di Purwakarta, wilayah Bogor Raya di Sukabumi, dan Bandung Raya di Kota Bandung.

menunjukkan, target TFR sebesar 2.1 pada tahun 2014 baru tercapai 2.6. Jawa Barat memang sedikit lebih baik dengan angka 2,5. Kemudian, ASFR 15-19 tahun sebesar 48/1000, pemakaian kontrasepsi atau contraceptive prevalence rate (CPR) baru tercapai 57,9 persen. Jawa Barat sendiri masih berkutat pada angka 60,3 persen. Angka unmet need juga baru dicapai sebesar 8,5 persen. Terlebih Jawa Barat berada pada angka 11 persen. “Kami mencermati salah satu kelemahan program KKB dalam 10 tahun terakhir adalah belum bersinerginya advokasi dan KIE yang dilakukan sejumlah pemangku kepentingan. Advokasi dan KIE di lini lapangan juga relatif lemah karena masih terbatas pada aspek kognisi dan afeksi. Isu advokasi dan KIE masih kurang fokus dan masih terbatas pada pesan

“Mengacu kepada hasil pemutakhiran data IPKB Kabupaten dan Kota pada 2012 lalu, baru terdapat 11 pengurus cabang di Kabupaten dan Kota. Dari jumlah tersebut, mekanisme organisasi di beberapa daerah belum berjalan sebagaimana mestinya. Untuk itu, mengawali langkah besar ikut serta membangun KKB di Jawa Barat, IPKB melakukan serangkaian konsolidasi dan penataan organisasi. Kegiatan ini akan dipadukan dengan diseminasi informasi KKB dan pengembangan kapasitas anggota IPKB,” papar Soeroso.

Penajaman Isu Strategis Tantangan program KKB memang tak bisa dipersamakan satu sama lain. Ini tak lepas dari latar belakang budaya, letak geografis, maupun dinamika ekonomi di masing-masing wilayah. Nah, pengelompokkan beberapa kabupatan dan kota ke EDISI 12 TAHUN IV APRIL 2013

11


warta khusus

IPKB Priangan Timur

dalam beberapa simpul didasarkan pada kemiripan bebera hal tersebut. “Bila kita bicara masyarakat Cirebon dan sekitarnya, maka kita harus mencoba menyelami karakteristik budaya di sana. Latar belakang historis sebagai pusat penyebaran Islam di Jawa Barat menjadikan daerah ini sangat lekat dengan unsur religi. Karena itu, advokasi dan KIE di daerah ini sudah sejatinya melibatkan peran ulama dan tokoh agama lainnya,” kata Soeroso yang juga pegiat majelis taklim ini. Sejalan dengan pertimbangan itu, konsolidasi IPKB wilayah Cirebon dirangkaikan dengan media gathering yang di dalamnya menghadirkan tokoh ulama. Pimpinan Pondok Pesantren Kempek Cirebon KH Jaffar Sidiq Aqiel Siraj pun dihadirkan. Kakak kandung Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) ini bercerita banyak mengenai pandangan tentang pentingnya pendewasaan usia perkawinan (PUP) untuk mewujudkan sebuah keluarga berkualitas. Buya Jaffar menyimpulkan bahwa perkawinan pada usia muda rentan terhadap masalah. Terutama menyangkut kualitas keluarga itu sendiri. “Anak yang berkualitas itu lahir dari air mani yang berkualitas pula. Untuk menghasilkan mani berkualitas diperlukan asupan berkualitas, kematangan emosional. Bagaimana mau berkualitas kalau ketika dinikahkan mereka masih labil secara emosional,” tandas Buya Jaffar saat berbicara di hadapan sejumlah pengurus

12

EDISI 12 TAHUN IV APRIL 2013

IPKB di Balai Diklat KB Nasional Cirebon. Karena itu, baik secara personal maupun sebuagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Cirebon dia mengaku setuju dengan adanya upaya pemerintah dalam mendongkrak usia perkawinan. “Saya percaya bahwa perkawinan ideal 20 tahun bagi perempuan dan 25 tahun bagi laki-laki merupakan hasil penelitian para ahli. Untuk itu, saya mendukungnya. Kita harus memberikan penyadaran bahwa menikah tidak cukup atas nama cinta. PUP merupakan upaya melahirkan keluarga berkualitas,” Buya Jaffar menambahkan. Lain Cirebon, lain Ciamis. Sebagai daerah agraris, maka sektor pertanian menjadi perhatian utama. Berbicara saat temu media dan pengurus IPKB sePriangan Timur di Aula Dinas Pendidikan Kabupaten Ciamis, mantan Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Ciamis Tiwa Sukrianto menyoroti melonjaknya konsumsi pangan dalam beberapa tahun terakhir. Kondisi ini berbanding terbalik dengan luas lahan pertanian yang terus menyempit. Di sisi lain, Rektor Universitas Galuh Ciamis Suherli menyoroti aspek makro dalam kependudukan. Jumlah penduduk, terang Suherli, terus meningkat dari tahun ke tahun. Pertumbuhan ini membawa konsekuensi pada melonjaknya kebutuhan hidup. Selain pangan, pertambahan penduduk dipastikan menuntut pada


warta khusus kebutuhan lapangan kerja, sarana pendidikan, dan infrastruktur lainnya. Kondisi ini berdampak pada menumpuknya jumlah penganggur, kekurangan sekolah, dan kemacetan maupun dampak lingkungan, seperti banjir dan kebakaran hutan.

lebih besar kepada Jawa Barat. Apalagi dengan jumlah pendudukan hampir seperlima nasional, berarti mengurus Jabar ekuivalen dengan mengurus seperlima negara,” tandas dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjadjaran (Unpad) ini.

Bupati Ciamis dalam sambutannya yang diwakili Asisten Perekonomian, Pembangunan, Kesejahteraan Rakyat Sekretariat Daerah Kabupaten Ciamis HM Soekiman berharap terbentuknya IPKB diharapkan dapat menunjang dan mempercepat penyebarluasan informasi, khususnya program KKB di wilayahnya. Program KKB, sambung dia, berhasil menyentuh keluarga sebagai unit pembangunan dan menjadi modal dasar peningkatan kualitas sumber daya manusia. Dia meminta IPKB berperan aktif dalam peningkatan pengetahuan anggota sekaligus menyebarluaskan informasi program KKB.

Bagi Soeroso, isu kependudukan Jabar dalam beberapa waktu ke depan bermuara pada migrasi. Karena itu, kebijakan kependudukan harus memperhatikan dengan cermat aspek migrasi ini. Masalah kian rumit karena Undang-undang Administrasi Kependudukan memberikan hak kepada setiap warga negara untuk tinggal di seluruh Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dengan begitu, sebuah provinsi atau kabupaten dan kota tidak bisa membatasi kehadiran pendatang di daerahnya.

“Kegagalan program KKB tentu saja akan berdampak terhadap segala aspek, baik terhadap ekonomi, sosial, daya dukung alam, dan daya tampung lingkungan termasuk pendidikan. Kami menyambut baik hadirnya IPKB dengan harapan hasil pemikirannya bisa dijadikan bahan masukan kepada pemerintah daerah,” Soekiman berharap. Daerah penyangga ibu kota Jakarta menjadi perhatian tersendiri IPKB Jawa Barat. Ini tidak lepas dari karakteristik daerah penyangga sebagai kawasan industri. Sebagai daerah industri, maka daerah-daerah tetangga pusat pemerintahan ini membawa dinamika kependudukan yang cukup pelik. Arus migrasi yang demikian deras membawa dampak turunan berupa gesekan budaya antara tuan rumah dan pribumi. Berbicara di hadapan pengurus IPKB dan praktisi media di Gedung Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Kota Bekasi, Ketua IPKB Jabar Soeroso Dasar menyoroti tingginya migrasi di sejumlah daerah di Jawa Barat. Merujuk kepada hasil Sensus Penduduk (SP) 2010 lalu, angka migrasi risen di sejumlah daerah di Jabar menunjukkan angka fenomenal. Secara historis, sambung Soeroso, dua dekade pertama setelah program KB diluncurkan pada 1970-an, LPP Jabar masih di bawah nasional. Rasio ini berbalik setelah adanya industrialisasi yang berdampak pada pembangunan sejumlah insutri strategis di Jabar. Walhasil, Jabar menjadi salah satu destinasi favorit pada pencari kerja di luar daerah, baik di Pulau Jawa maupun luar Jawa. “Coba misalnya kita buang lima daerah industri seperti Bekasi, Karawang, Purwakarta, Bandung Barat, dan Bogor, maka LPP Jabar jauh di bawah nasional. Ini menunjukkan bahwa LPP Jabar dipicu bukan oleh faktor alamiah, melainkan in-migration yang demikian tinggi. Sebagai konsekuensi kebijakan nasional, mestinya pemerintah pusat memberikan perhatian

Dalam kesempatan berbeda saat melantik Pengurus Cabang IPKB Kota Bandung di Bali World Hotel, Soeroso menegaskan komitmen organisasi yang dipimpinnya untuk menjadi garda terdepan

IPKB Kota Bandung

dalam penyebarluasan informasi kependudukan dan KB kepada masyarakat. Menurutnya, peran media menjadi sangat penting karena pada dasarnya kampanye program secara langsung tidak mampu mempengaruhi sikap seseorang. Di sinilah diperlukan media yang bertugas menjalankan fungsi intermediasi antara pemangku kepentingan di satu sisi dan masyarakat di sisi lain. “Kami terus melakukan konsolidasi IPKB di kabupaten dan kota untuk membangun sinergi di seluruh penjuru Jawa Barat. Sinergi positif ini pada gilirannya akan mampu menjadi kekuatan besar dalam pengarusutamaan kependudukan dan KB di masyarakat. Tentu, kami juga tetap kritis dalam melihat permasalahan yang muncul dalam program KKB. Yang perlu dicatat, kritik itu bukan berarti membenci. Kritik merupakan salah satu cara kami menunjukkan kecintaan kepada program KKB,” tegas Soeroso.(NJP) EDISI 12 TAHUN IV APRIL 2013

13


warta khusus

Karena Semua Orang adalah PLKB Popong W Nuraeni

Tergerusnya jumlah petugas lapangan keluarga berencana (PLKB) nyaris selalu menjadi kambing hitam kegagalan program kependudukan dan keluarga berencana (KKB) di daerah. Benarkah demikian?

B

arangkali ini menarik. Di satu sisi, jumlah PLKB terus menurun. Selain karena pensiun, berkurangnya PLKB juga dipicu adanya mutasi dan promosi pegawai di daerah masing-masing. PLKB yang semula merupakan tenaga fungsional sebagian di antaranya bergeser masuk ke barisan struktural. Pergeseran makin deras setelah bergulirnya otonomi daerah. PLKB yang sebelumnya berstatus sebagai pegawai pemerintah pusat, “dihibahkan” menjadi pegawai pegawai pemerintah daerah. “Terus terang saya bangga dengan mereka, para PLKB. Mereka dibutuhkan oleh Pemerintah Kota, khususnya oleh SKPD-SKPD, baik di tingkat kota maupun kewilayahan. Tapi, kami juga masih membutuhkan tambahan untuk petugas (PLKB) ini karena seperti saya sampaikan kita punya 151 kelurahan yang tersebar 30 kecamatan,” kata Popong W Nuraeni, Kepala Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (BPPKB) Kota Bandung saat pertemuan sekaligus pembentukan Ikatan Penulis Keluarga Berencana (IPKB) di Bali World Hotel beberapa waktu lalu.

14

EDISI 12 TAHUN IV APRIL 2013

Pada 2004 lalu, Kota Bandung memiliki 187 PLKB. Sementara sekarang hanya tersisa 47 orang. Di samping itu, BPPKB mendapat tambahan tenaga penyuluh kelurahan (TPK) dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat sebanyak 53 orang. Berarti Kota Bandung memiliki 100 petugas lini lapangan. Dibanding 600 ribua pasangan usia subur (PUS) yang harus ditangani, Popong mengaku masih kewalahan. Menengok Standar Pelayanan Minimum (SPM) Program KB/KS, jumlah tersebut sebenarnya tak perlu membuat risau. Dengan beban kerja 151 kelurahan, berartit setiap petugas bertugas mengelola satu atau dua kelurahan. Mengacu peada SPM, rasio petugas lapangan terhadap desa atau kelurahan adalah 1:2. Artinya, satu penyuluh atau PLKB mengurusi dua desa atau kelurahan. Yang menarik, meski mengeluhkan minimnya SDM, Kota Bandung memiliki rekam jejak dalam pembangunan program KKB. Dalam beberapa tahun terakhir, Kota Bandung selalu mencatat rapor biru untuk kontrak kinerja yang disodorkan Perwakilan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Jawa Barat. Tahun 2012 misalnya, dari target 56.201 ribu peserta baru (PB), Kota Bandung berhasil menambah 61.185 PB. Jumlah peserta aktif (PA) juga mencengangkan, menyentuh angka 82,55 persen. Keheranan itu pula yang membuat kening Ketua Ikatan Penulis Keluarga Berencana (IPKB) Jawa Barat Soeroso Dasar berkerut. Menurutnya, jika benar Kota Bandung kekurangan PLKB, maka tidak mungkin berhasil melampuai target. Apalagi, dari jumlah


warta khusus tersebut masih ada pasangan usia subur (PUS) yang berkeinginan ber-KB tetapi belum terlayani. “Ini aneh kan? Kalau selama ini mengeluhkan kekurangan PLKB, toh angka pencapaian selalu bagus. Jangan-jangan data tersebut tidak bisa dipertanggungjawabkan,” Soeroso menegaskan.

Semua Bisa Jadi PLKB Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Kota Bandung Bulgan Alamin punya pandangan menarik menyiasati krisis PLKB. Bila tugas PLKB mengedukasi masyarakat untuk menjadi peserta KB, maka pada dasarnya setiap orang bisa menjadi PLKB. Dengan begitu, siapa saja bisa mengajarkan dan mengajak masyarakat untuk ber-KB. Jurnalis misalnya, dia bisa menjalankan fungsi advokasi dan KIE (komunikasi, informasi, dan edukasi) melalui tulisan yang dihasilkannya. “Sudah saja kita memberikan pelatihan kepada banyak pihak untuk menjadi PLKB. Aparat kewilayahan

Bulgan Alamin

misalnya kita wajibkan untuk mengikuti pelatihan (program KKB). Mitra peemrintah daerah kita fasilitasi untuk dilatih juga. Pokoknya semua pihak kita berikan pelatihan untuk menjadi semacam PLKB. Kalau ini bisa dilaksanakan, semua orang bisa jadi PLKB,” kata Bulgan. Untuk menjalankan “misi” tersebut, Bulgan berjanji turut memberikan bantuan. Apalagi, sudah menjadi tugasnya memberikan informasi program Balaikota kepada masyarakat Kota Bandung. Dokter gigi yang mendekati masa pensiun tersebut menilai beban kependudukan di Kota Kembang sudah sangat berat. Karena itu, diperlukan upaya massif untuk mengampanyekan program KKB. Dia menyayangkan munculnya sejumlah anekdot di masyarakat yang lebih dekat kepada pornografi. Anekdot-anekdot itu secara tidak langsung menstimulasi hubungan seksual yang berarti berpotensi terjadi kehamilan. Gayung pun bersambut. Keinginan Bulgan

untuk mem-PLKB-kan sejumlah pihak mendapat sambutan Popong. Bahkan, BPPKB mengaku sudah mengagendakan untuk memberikan pelatihan kepada para camat di lingkungan Pemerintah Kota Bandung. Senada dengan Bulgan, Popong menilai sudah saatnya masyarakat mendapat informasi memadai mengenai program pengendalian penduduk. Terlebih secara faktual TPK yang mendapat kucuran anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) Provinsi Jawa Barat memiliki status tenaga kerja kontrak. Menurut Popong, keberadaan PLKB di tengah masyarakat sangat membantu perkembangan KB. “Meski jumlah penyuluh berkurang tapi sosialisasi tetap berjalan dan memenuhi target yang diprogramkan,” katanya. Ia menjelaskan, jumlah penduduk Kota Bandung lebih dari 2 juta jiwa dengan luas wilayah 16.729,640 hektar dan memiliki kepadatan penduduk 14,242 jiwa per kilometer persegi. Kepadatan ini jauh melebihi rata-rata kepadatan pendduduk di Jawa Barat sebesar 80 jiwa per kilometer persegi. “Dengan kondisi ini perlu diterapkan langkah-langkah strategis untuk menahan laju pertumbuhan penduduk,” katanya. Di sisi lain, Ketua Koalisi Indonesia untuk Kependudukan dan Pembangunan (Koalisi Kependudukan) Jawa Barat Ferry Hadiyanto menyoroti dampak ledakkan penduduk bagi Kota Bandung. Terbatasnya daya dukung sudah sejatinya disiasati dengan adanya pengendalian migrasi. Salah satunya dengan mengintegrasikan kependudukan dengan sektor lainnya dalam pemerintahan. “Persoalan mendasar kependudukan di Indonesia ini berangkat dari tidak adanya satu lembaga khusus, sebutlah kementerian, yang secara khusus menangani kependudukan. Saat ini, kependudukan ditangani keroyokan oleh Kementerian Kesehatan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan, Kementerian Sosial, Kementerian Dalam Negeri, dan BKKBN. Hasilnya menjadi tidak fokus. Hal ini kemudian berimbas ke daerah. Di Jawa Barat senduru, problem utama kita sebenarnya bukan masalah kelahiran dan kematian, melainkan pengendalian (penduduk). Secara historis-geografis, Jabar merupakan daerah yang bersinggungan langsung dengan ibu kota negara, Jakarta. Itu yang menyebabkan Jawa Barat menjadi sangat penting kedudukannya. Karena itu, pengendalian ini menjadi harus dilakukan. Posisi ini berkaitan erat dengan migrasi, baik dari daerah lain maupun limpahan penduduk DKI yang kepadatannya sangat tinggi. Konsekuensinya, kebutuhan terhadap perumahan maupun area bisnis terus meningkat. Kepadatan pun tak bisa dihindari. (NJP) EDISI 12 TAHUN IV APRIL 2013

15 15


sejuta warta

16

EDISI 12 TAHUN IV APRIL 2013


sejuta warta

EDISI 12 TAHUN IV APRIL 2013

17


warta jabar

Program KB Butuh Pendekatan Baru

Rakernas Koalisi Kependudukan

Koalisi Kependudukan Gelar Rakernas di Makassar Pemerintah mengaku kecolongan dengan laju pertumbuhan penduduk. Kritik pun datang dari salah satu ikon program KB Indonesia, Haryono Suyono. Sudah saatnya program KB menerapkan pendekatan baru.

S

uasana hangat menutup rangkaian seminar dan rapat kerja nasional (Rakernas) Koalisi Indonesia untuk Kependudukan dan Pembangunan (Koalisi Kependudukan) di Grand Clarion Hotel Makassar yang berlangsung selama tiga hari, 26-28 April 2013. Menikmati barbeque di salah satu lantai lantai hotel terbesar di timur Indonesia tersebut, peserta dari berbagai penjuru tanah air berkesempatan bercengkerama dengan salah satu ikon program keluarga berencana (KB) Indonesia, Haryono Suyono. Mantan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat dan Pengentasan Kemiskinan (Menko Kesra dan Taskin) era Orde Baru tersebut tampak hangat menyalami peserta. Profesor Haryono, demikian biasa disapa, tak segan meladeni foto bersama yang nyaris tak berhenti selama acara. Meski sudah sepuh, Haryono tetap semangat ketika berbicara program yang melambungkan nama Indonesia di kancah

18

EDISI 12 TAHUN IV APRIL 2013

dunia tersebut. Pandangannya juga tetap lugas dan kritis. Dia mendesak pemerintah untuk merevitaliasi program kependudukan dan keluarga berencana (KKB). Menurutnya, program KKB merupakan salah satu instrumen utama untuk mencapai target Millennium Development Goals (MDGs). Ini juga sesuai dengan Inpres Nomor 3 2010 tentang Pembangunan Berkeadilan. “Menteri-menteri sekarang, gubernur dan bupati atau wali kota tidak banyak yang menggunakan Inpres Nomor 3 Tahun 2010 sebagai pedoman untuk menjalankan program-program pembangunan. Ini sangat disayangkan karena pembangunan berkeadilan itu basisnya adalah keluarga dan masyarakat untuk mempercepat MDGs,� kata Haryono. Mantan Kepala BKKBN ini menyayangkan lembaga yang dulu dipimpinnya kurang gigih dalam menggelorakan program KKB. Instansi BKKBN, kata Haryono, kurang bisa membangun jaringan hingga ke desa-desa. BKKBN juga tidak lagi mendapat kepercayaan masyarakat di daerah-daerah. “Memang BKKBN sekarang lebih sulit dari era pemerintahan sentralistik seperti dulu. Apalagi tingkat pendidikan saat ini jauh lebih maju. Meski begitu, bukan berarti BKKBN tidak bisa lebih gigih melakukan gerakan KB. Kuncinya sekarang, BKKBN harus bisa membangun jaringan sampai pos pemberdayaan


warta jabar keluarga (Posdaya) hingga ke desa-desa,” kata Ketua Yayasan Damandiri ini. Dengan jumlah penduduk mendekati angka 240 juga jiwa, sambung Haryono, langkah efektif yang harus adalah menghidupkan program KB. BKKBN hendaknya tidak berasumsi bahwa orang akan berbondong-bondong ke klinik tanpa harus diajak. “Mereka harus kita ajak, mereka harus kita kunjungi, mereka harus kita yakinkan bahwa ikut KB itu sesuatu yang sangat berguna untuk masa depan,” katanya. Guru besar Universitas Airlangga (Unair) Surabaya ini menilai perlunya pendekatan baru kepada penduduk. “Perlu rebranding, program KB harus jadi pembangunan sosial berbasis MDGs. Pendekatan charity diubah menjadi pendekatan kependudukan yang human rights,” katanya.

Pemerintah Kecolongan? Berbicara saat membuka seminar sehari sebelumnya, Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Menkokesra) Agung Laksono mengakui dalam satu dekade terakhir pemerintah “kecolongan” atas laju pertumbuhan penduduk (LPP). “Kalau permasalahan kependudukan ini tidak cepat ditangani dan kita pun tidak siap dalam berbagai hal, maka jelas akan berakibat fatal karena hal itu bisa menghambat pembangunan nasional,” jelas Agung Laksono.

Agung Laksono

juga bisa menjadi beban negara untuk memacu pertumbuhan ekonomi. Dilihat pada pertumbuhan deret ukur, penduduk Indonesia akan menghadapi banyak masalah besar, yakni menyangkut tantangan bagi penyediaan berbagai kebutuhan pokok seperti sandang, pangan, dan papan. Termasuk di dalamnya pendidikan dan kesehatan serta penyediaan lapangan pekerjaan. Di tempat yang sama, Gubernur Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhanas) Republik Indonesia Budi Susilo Soepandji mengemukakan, pertumbuhan penduduk Indonesia masih tinggi, yakni 1,49 persen per tahun. Sedangkan pertumbuhan pangan hanya 0,49 persen per tahun. Sebanyak 60 persen penduduk Indonesia hanya tamat sekolah dasar atau bahkan lebih rendah. “Angka kemiskinan menurut Badan Pusat Statistik 28,59 juta jiwa. Pengangguran 7,2 juta jiwa,” katanya. Jumlah penduduk yang besar, sambung dia, bisa menjadi potensi dalam meningkatkan pembangunan jika dapat dikelola dengan baik. Sebaliknya jika tidak, maka akan menjadi beban pemerintah. Dengan pertumbuhan penduduk yang semakin pesat ini dikhwatirkan terjadi kesenjangan jika pemerintah tidak mencermati permasalahan ini. Di sisi lain, Ketua Umum Koalisi Kependudukan Sonny Harry Harmadi mengemukakan, fenomena migrasi masyarakat menjadi salah satu persoalan dalam pembangunan kependudukan Indonesia. Tanpa adanya kebijakan pengarahan mobilitas penduduk, migrasi dapat menimbulkan konflik sosial dan komunal. “Ini berdampak melemahnya ketahanan nasional,” katanya. Ketua Lembaga Demografi Universitas Indonesia ini menjelaskan, mobilitas penduduk tidak hanya terjadi karena hanya alasan ekonomi. Tapi juga alasan kerawanan bencana. Seperti dampak pemanasan gobal yang menyebabkan naiknya permukaan air laut. Sehingga, dalam waktu yang panjang akan mendorong terjadinya imigrasi secara massif dari wilayah pesisir ke daratan. “Sekitar 54 persen penduduk Indonesia tinggal di wilayah perkotaan yang letaknya di daerah pesisir,” katanya.

Rekomendasi Koalisi Kependudukan Agung mengaku khawatir LPP yang semakin pesat ini memicu kesenjangan sosial. Apalagi, penduduk Indonesia diperkirakan bisa mencapai angka 247,5 juta jiwa pada 2015 dan 273 juta jiwa pada 2025 mendatang. Karena itu, program KKB harus diterapkan kembali secara ketat, sebagaimana yang pernah terjadi pada dua hingga tiga dekade lalu. Bagi mantan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ini, penduduk di suatu negara merupakan modal dasar dalam pembangunan. Tetapi di sisi lain,

Menutup Rakernas, Koalisi Kependudukan mengeluarkan sejumlah rekomendasi sebagai bahan masukan bagi pemerintah maupun pemangku kepentingan lainnya. Koalisi Kependudukan memandang, sebagai negara dengan jumlah dan LPP tinggi, Indonesia akan menghadapi peluang pertumbuhan ekonomi yang tinggi akibat dinamika kependudukan, yaitu bonus demografi. Kependudukan menjadi isu penting dan strategis yang perlu mendapat perhatian dari semua pihak, baik oleh pemerintah maupun seluruh rakyat EDISI 12 TAHUN IV APRIL 2013

19


warta jabar Indonesia. Berikut rekomendasi tersebut. Pertama, gerakan masyarakat yang bersinergi untuk meningkatkan kepedulian terhadap prasyarat Indonesia untuk tinggal landas dan mencapai kesejahteraan yang diinginkan yaitu kesehatan dan pendidikan. Kedua, kesenjangan ekonomi dan pembangunan di Indonesia dapat menciptakan generasi yang hilang. Adanya generasi yang hilang dalam suatu bangsa harus menjadi perhatian yang penting dalam keberadaan suatu bangsa, karena itu pemuda sebagai agen perubahan perlu dilibatkan dan dipandang sebagai salah satu komponen utama dalam pembangunan Indonesia. Kami merekomendasikan suatu gerakan yang mendorong kepedulian dan keikutsertaan pemuda dalam pembentukan arah dan implementasi proses pembangunan Indonesia. Ketiga, kualitas generasi penerus menjadi prasyarat terpetiknya manfaat dari bonus demografi yang sedang dialami oleh Indonesia. Ibu memiliki peranan kunci mengingat ibu adalah pengasuh anak yang utama maka perlu adanya Gerakan Ibu Pintar dan Mandiri. Diharapkan melalui gerakan ini, pengetahuan ibu tentang kebutuhan anak dalam setiap tahapan kehidupan semakin membaik. Keempat, tingkat pendidikan di Indonesia masih rendah, namun berdasarkan indeks pembangunan manusia tercatat bahwa angka lama sekolah yang diinginkan adalah 13 tahun. Dengan demikian terjadi unmet need pendidikan. Pemerintah wajib memenuhi harapan akan kebutuhan pendidikan tersebut. Kelima, tidak benar-benar diarusutamakannya kependudukan dalam proses pembangunan menunjukkan perlu adanya kerjasama dan sinergi antar pemerintah, organisasi kemasyarakatan dan juga masyarakat baik.(NJP)

20

EDISI 12 TAHUN IV APRIL 2013

50 Radio Komunitas Deklarasi Dukung Program KKB Program Kependudukan dan Keluarga Berencana (KKB) bukan melulu urusan pemerintah. Dukungan pun mengalir dari masyarakat. Salah satunya jaringan radio komunitas. Kepada merekalah pesan KKB dititipkan.

I

ngatlah sebuah pesan, “Berbicaralah dengan bahasa kaumnya.” Pesan komunikasi ini begitu penting bagi program KKB. Karena kelompok sasaran merupakan masyarakat kebanyakan, maka sejatinya pesan-pesan program pun diolah sedemikian rupa menjadi bahasa yang mudah dicerna masyarakat. Nah, radio komunitas (Rakom) pun menjadi salah satu model saluran komunikasi yang menerapkan pola “kaumnya” tersebut. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Perwakilan Jawa Barat merangkul komunitas udara ini. “Hasil evaluasi kami pada Rakernas Pembangunan KKB di Jakarta beberapa waktu lalu menunjukkan, advokasi dan KIE di lini lapangan relatif lemah karena masih terbatas pada aspek kognisi


warta jabar ber-KB,” tegas Adi. Penegasan komitmen JRK tersebut ditandai dengan deklarasi dukungan sekaligus penandatangan spanduk oleh 50 rakom peserta workshop. Turut membubuhkan tanda tangan antara lain pimpinan BKKBN Jabar, perwakilan organisasi perangkat daerah (OPD) KB kabupaten dan kota, dan undangan. Ditemui usai pembukaan, Kepala Sub Bidang Advokasi dan KIE BKKBN Jawa Barat Elma Triyulianti menjelaskan, program KKB membutuhkan banyak inovasi, terutama dalam bidang sosialisasi dan advokasi. Alasan itulah yang membuat BKKBN menggandeng jaringan radio komunitas di delapan provinsi di seluruh Indonesia. Di Jawa Barat, pihaknya menggandeng sedikitnya 50 rakom yang pada saat itu mengikuti workshop. Deklarasi Radio Komunitas dan afeksi. Isu advokasi dan KIE masih kurang fokus dan masih terbatas pada pesan inti, janji, dan pendukung, belum pada pesan aksi. Di sisi lain, rakom merupakan jaringan radio yang bersentuhan langsung dengan masyarakat. Kami menangkap ini peluang untuk menggandeng mereka,” kata Kepala Perwakilan BKKBN Jabar Siti Fathonah saat membuka Workshop Radio Komunitas Peduli KKB di Lembang, akhir April 2013 ini. Fathonah berharap dijalinnya kerjasama dengan Jaringan Radio Komunitas (JRK) Jawa Barat mampu mengefektikan kinerja sekaligus membantu BKKBN dalam melakukan penyadaran dan peningkatan akses kesertaan ber-KB. Rakom yang tersebar di seantero penjuru Jawa Barat menjadi kekuatan tersendiri untuk menjadi ujung tombak

program di lini lapangan. Terlebih rakom memiliki kekhasan berupa kedekatan antara penyiar atau radio dengan audiens. Di tempat yang sama, Ketua JRK Jawa Barat Adi Rumansyah mengaku berterima kasih kepada BKKBN Jabar yang telah merangkulnya untuk bahu membahu membangun KKB di Jabar. Sebagai elemen masyarakat, JRK merasa turut bertanggung jawab untuk menyukseskan program KKB. Terlebih Jabar memiliki problem kependudukan lebih pelik dari provinsi lainnya. “Dengan adanya program ini diharapkan rakom, khususnya yang ada di Jawa Barat, dapat ikut andil dalam menyukseskan program KKB. Cara yang kami tempuh dengan terus menyuarakan informasi publik untuk peningkatan akses kesertaan

Menurut Elma, sosialisasi melalui radio komunitas menjadi salah satu media yang potensial dan efektif untuk terus menggaungkan KB. Secara nasional, kerjasama rakom dilakukan di Jawa Tengah, Jawa Barat, Lampung, Yogyakarta, Jawa Timur, Jambi, dan Sumatera Utara. “Setiap stasiun radio komunitas akan diberikan compact disc (CD) Mars KB, bisa diputar di masingmasing radio. Selain itu, diselingi dengan pesan-pesan KB sehingga masyarakat akrab dulu dengan KB,” terang Elma. Tak hanya itu, rakom juga mengembangkan model pesan KKB yang disesuaikan dengan karakteristik daerah masingmasing. Elma mencontohkan, rakom yang berada di kawasan Pantura akan membuat pesan khusus menggunakan dialek dan anekdot-anekdot yang berkembang di wilayah pesisisr Pulau Jawa tersebut. Pun dengan daerah Priangan yang dikenal agraris dan religius akan mengembangkan pesan khusus. (NJP)

EDISI 12 TAHUN IV APRIL 2013

21


warta jabar

Munas Serikat Pekerja

Perencanaan Keluarga Sejahterakan Pekerja Diskusi perburuhan di Indonesia seolah tidak ada habisnya. Dinamik ketenagakerjaan pada umumnya bermuara pada kesejahteraan. Nah, Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) Logam, Elektronik, dan Mesin (LEM) menilai perencanaan keluarga mampu menjadi salah satu instrumen penting kesejahteraan pekerja.

S

udah lumrah ada pekik khas dunia pekerja. Hidup Buruh! Buruh Tuntut Kesejahteraan! Atau pekik-pekik penuh semangat lainnya. Namun, Musyawarah Nasional (Munas) SPSI LEM di Bumi Kitri beberapa waktu lalu menyisipkan pesan program kependudukan dan keluarga berencana (KKB). “Kami SP LEM SPSI akan aktif berpartisipasi dan mendukung program KB dengan cara mengajak anggota menjadi peserta KB. Bagi kami program KB merupakan salah satu upaya mewujudkan buruh atau pekerja yang sehat, cerdas, dan sejahtera. Kita harus akui bahwa upah pekerja belum cukup mensejahterakan. Untuk itu, perlu perencanaan keluarga,” tandas M Sidharta, pentolan SPSI LEM Jabar yang juga ketua panitia Munas. Sidharta mendesak pemerintah memberikan subsidi kesehatan bagi para pekerja. Menurutnya, selama ini pekerja diwajibkan membayar pajak yang menandakan bahwa pekerja pun memiliki kontribusi terhadap pemerintah. Maka dari itu, menurutnya, perlu adanya subsidi kesehatan tetapi tidak sepenuhnya ditanggung oleh pengusaha tetapi oleh pemerintah. “Untuk melakukan program KB pasti membutuhkan biaya maka dari itu perlu diperhatikan juga dalam pola pengupahannya,” ujarnya. Sementara itu, Ketua Dewan Pembina SPSI LEM Basuki Wijaya menegaskan bahwa semua yang ada di muka bumi bisa diubah. Termasuk kesejahteraan buruh itu sendiri. Karena itu, perlu ada upaya dari kalangan buruh untuk mencapai kesejahteraan yang diperjuangnya.

22

EDISI 12 TAHUN IV APRIL 2013


warta jabar “Seolah-olah kita adi pengemis di negeri ini. Kita negara agraris, subur, bisa panen tiga kali setahun. Tapi kita mengemis UMR. Ini tidak cukup. Bagaimana kesejahteraan buruh bisa selesai dengan baik. UMR bukan segala-galanya. Pemimpin buruh harus memikirkan lebih baik lagi strategi perjuangannya,” tegas Basuki. Ditemui usai menghadiri pembukaan Munas SPSI LEM, Kepala Sub Direktorat Advokasi Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Uung Kusmana mengungkapkan, pihaknya terus menggalang kerjasama dengan berbagai kalangan. Dalam hal ini, BKKBN yang memiliki fungsi demand creation tak membatasi kerjasama dengan pihak manapun. Untuk menciptakan demand creation tersebut, kata dia, maka BKKBN mengembangkan jejaring dengan semua pihak. “Karena hampir 60 persen peserta KB yang tercatat di BKKBN merupakan peserta KB mandiri. Karena itu, kerja sama dengan SPSI LEM merupakan suatu keniscayaan. Bagi BKKBN, kerjasama dengan SPSI merupakan kerjasama yang sangat tepat. Ini merupakan pengembangan kerjasama dari BKKBN dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika dan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi,” ungkap Uung. Dia menjelaskan, peserta KB mandiri merupakan peserta dari kalangan pekerja atau karyawan yang tergabung dalam sebuah serikat, salah satunya adalah SPSI. BKKBN mengajak kerjasama SPSI dalam program KB karena memiliki banyak potensi. Apalagi, SPSI memiliki banyak anggota. Karena anggotanya banyak, maka keluarganya pun banyak. “Itu sebagai potensi untuk mengembangkan sosialisasi program KB,” ujar Uum. Dari aspek sasaran, sambung Uung, karena mereka memiliki keluarga, maka punya anak punya istri, sehingga menjadi sasaran program KB. Adapun dilihat dari aspek pengembangan jejaring, segmen sasaran juga mengena. Hal ini karena anggota SPSI itu tersebar mulai dari yang muda sampai tua. Yang muda menjadi segmen keluarga mudanya, yang tua menjadi segmen keluarga tuanya, dengan BKL, BKR, dan BKB. “Selama ini apa yang sudah dilakukan oleh BKKBN dengan SPSI? Banyak sekali, kita sudah membentuk klinik-klinik KB di banyak perusahaan sebagai induk semang dari pekerja tersebut,” jelas Uung. Pria yang akrab disapa Kang Uung ini optimistis kerjasama dengan SPSI akan terus berkembang di kemudian hari. Adapun bentuk konkretnya berupa sosialisasi pentingnya program KB. “Yang selanjutnya mereka menjadi peserta KB, baik menjadi pemakai alat kontrasepsi, maupun mengikuti BKB di mana keluarganya punya balita misalnya,” terang Uum Kusmana.(NJP)

Jabar Idola Para Migran Ada gula, ada semut. Begitu pepatah bilang. Bila lapangan kerja diibaratkan gula, maka pekerja adalah semutnya. Begitulah Jawa Barat. Sebagai provinsi dengan seabrek industri strategis, wajar bila kemudian mengundang kehadiran pekerja dari seantero penjuru negeri.

T

entu Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Jawa Barat Hening Widiatmoko tak sedang berkeluh kesah. Apalagi mencari kambing hitam. Sorotan Widi, sapaan akrabnya, terhadap derasnya kedatangan pekerja migran ke Jawa Barat lebih dimaksudkan untuk menganalisis dinamika ketenagakerjaan yang memang menjadi tugasnya. Meski tidak bisa digeneralisasi, Widi mengungkapkan bahwa di sejumlah daerah pekerja migran lebih dominan ketimbang urang Jawa Barat pituin. Yang kemudian Widi sesalkan adalah para migran tersebut tidak mampu menembus pasar kerja. Akhirnya, mereka menumpuk di sejumlah kantung pengangguran. Mereka inilah yang kemudian menambah rumit benang kusut ketenagakerjaan di Jabar. Dengan jumlah angkatan kerja lebih dari 20 juta orang dan tingkat pengangguran terbuka (TPT) nyaris menembus dua digit, wajar bila kemudian Widi makin puyeng. Bagaimana pun, ketika mereka sudah EDISI 12 TAHUN IV APRIL 2013

23


warta jabar masuk ke wilayah Jawa Barat, maka tugas pemerintah provinsi untuk menanganinya. “Migrasi menjadi salah satu fenomena yang melekat dengan dunia ketenagakerjaan di Jawa Barat. Kalau dilihat siapa dan dari mana mereka, ini relatif sulit diidentifikasi. Migran-migran ini kebanyakan menetap di Bogor atau daerah industri lain. Niatnya cari kerja, jadi penduduk di sana (Bogor, red). Akhirnya, jadi masalah bagi Bogor itu sendiri. Penduduk Bogor sendiri udah banyak memang, paling banyak di Jawa Barat. Dengan angka 200 ribu penganggur, mereka sebagai penyumbang terbesar. Bogor dan Bandung merupakan pusat kedatangan para migran,” ujar Widi saat ditemui di kantornya belum lama ini. Peraih magister demografi dari The University of Adelaide yang tesisnya tentang pekerja migran di Jabar ini mafhum bila ternyata para migran terkonsentrasi di beberapa daerah. Kembali ke rumus kuno tadi, “Ada gula, ada semut.” Kota-kota industri secara alamian menjadi destinasi favorit para migran. Atas alasan itulah Widi bisa memahami ketika migran lebih memilih Bekasi ketimbang Cirebon atau Bogor ketimbang Ciamis. Secara umum, tingkat migrasi masuk (in-migration) di Jabar memang terbilang tinggi. Hasil Sensus Penduduk (SP) 2010 lalu menunjukkan, angka migrasi risen di Jawa Barat berkisar pada angka di atas 500 ribu. Angka ini menempati peringat nomor wahid di Indonesia. Angka absolut ini memang lebih bila dikonversi ke dalam persentase. Persentase migrasi risen Jabar yang “hanya” 5 persen masih di bawah Kepulauan Riau yang hampir menyentuh angka 15 persen. Dengan demikian, para migran ini datang ke Jawa Barat dalam kurun waktu lima tahun ke belakang. Menariknya, industri atau dunia usaha bukan satu-satunya pemicu migrasi. Widi mencatat, lembaga pendidikan turut mengundang

24

Hening Widiatmoko

kedatangan migran. Mengapa bermasalah? Lagi-lagi berhubungan dengan dunia usaha. Merasa nyaman tinggal di Jawa Barat, sebagian lulusan perguruan tinggi di Bandung atau kota lain di Jawa Barat memilih mencari pekerjaan dan menetap di Jawa Barat. Yang membuat Widi sedih, di beberapa daerah, warga lokal hanya menjadi penonton. Pada saat bersamaan, permintah daerah tidak berwenang membatasi kedatangan arus migrasi.

teramat tinggi, Widi pun mengajak untuk kembali kepada persoalan mendasar. Yakni, seseorang mempekerjakan orang lain manakala dia dianggap mampu dan bisa bekerja. Kalau sudah begitu, maka daya saing menjadi satu kunci penting. Selain dibangun melalui pendidikan, daya saing juga sangat ditopang soft skill yang dimiliki masing-masing pekerja. Tidak kalah pentingnya adalah preferensi dari pihak lain.

“Pernah Pemerintah Kabupaten Karawang menerbitkan peraturan daerah (Perda) yang isinya pembatasan tenaga kerja dari luar daerah. Di sana disebutkan, perusahaan wajib merekrut 60 persen dari tenaga kerja yang dipekerjakan berasal dari penduduk Karawang. Perda ini kemudian dianulir Kementerian Dalam Negeri. Biro Hukum Kementerian Dalam Negeri menilai perda tersebut diskrminatif. Sesuai undang-undang, setiap warga negara berhak tinggal di wilayah Republik Indonesia. Artinya, pembatasan bukanlah solusi untuk menekan arus migrasi,” terang Widi.

Hasil penelusuran yang dilakukan Disnakertrans Jabar, di kalangan pengusaha berkembang adanya anggapan bahwa pekerja migran lebih menguntungkan perusahaan. Asumsinya, migran yang datang dari provinsi lain tujuannya betul-betul mencari kerja. Sebagai pendatang, dia tidak punya pilihan selain bekerja. Sehingga, mereka cenderung dapat diarahkan. Ini kontras dengan pekerja lokal yang cenderung merasa memiliki positioning lebih kuat. Sejauh penelurusan Widi, pekerja lokal dianggap sering meminta izin tidak masuk kerja dan memiliki etos kerja rendah. Dampak migrasi mengarah ke mana-mana. Salah satunya menyangkut budaya. “Makanya saya bilang Jawa Barat itu dipengaruhi oleh migrasi yang akhirnya merambah ke mana-mana,” kata Widi. (NJP)

Kuncinya Daya Saing Ketika cara-cara represif atau diskriminatif tidak diperkenankan dalam menyelesaikan migrasi yang

EDISI 12 TAHUN IV APRIL 2013


warta daerah

Si Cepot Kampanye PUP di Kabupaten Cirebon

K

eluarga Berencana, selain pengaturan kelahiran melalui penggunaan alat kontrasepsi, pendewasaan usia perkawinan (PUP) juga memiliki kontribusi yang cukup besar terhadap pertumbuhan penduduk di Indonesia, khususnya di Kabupaten Cirebon. Demikian disampaikan Kepala Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Kabupaten Cirebon Moh. Sofyan melalui Kasubid AKSI (Advokasi Komunikasi Informasi dan Edukasi) Husein Fauzan pada Acara Sosialisasi PUP melalui Pagelaran Seni Pojok si Cepot di kantor BPPKB Kabupaten Cirebon, Komplek Perkantoran Pemda Sumber Cirebon, belum lama ini. Lebih jauh Sofyan menegaskan bahwa usia perkawinan ideal untuk perempuan antara usia 20 sampai 25 tahun, sedangkan laki-laki antara 25-30 tahun, ”Oleh karena itu sebaiknya para remaja berprestasi dulu baru kawin, karena perkawinan bukan permainan,” ungkap Opang sapaan akrab Moh. Sofyan.

Wayang Golek

Kegiatan yang dihadiri unsur remaja dari berbagai kecamatan, OPD, dan para petugas lapangan KB itu merupakan kerja sama BPPKB Kabupaten Cirebon dan Badan Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Pengendalian Kependudukan dan Keluarga Berencana (BP3APKKB) Provinsi Jawa Barat. Dalam sambutannya, Kepala BP3APKKB Nenny Rencanawati mengatakan, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi seperti internet selain memberikan manfaat juga akan memberikan dampak negatif. Karena itu, hendaknya remaja selektif dalam setiap kali melakukan pemanfaatan internet. ”Karena gambar-gambar porno tidak dapat dihindari ketika memanfaatkan internet,” tutur Nenny. Ketika dimintai tanggapannya, Sofyan mengatakan bahwa Si Cepot sebagai tokoh bodor dalam dunia pewayangan, selain menghibur, juga memiliki nilai-nilai pendidikan. Artinya, tokoh yang satu ini tidak terasa memberikan petuah kepada penonton khusunya para remaja tentang pentingnya PUP,

”Kegiatan ini kelihatannya cukup bagus untuk dilaksanakan pada masa mendatang, karena teknik penyajiannya tidak membosankan,” kata Sofyan. Selain Acara Sosialisasi PUP, pada kegiatan itu dikukuhkan pula Forum Anak Kabupaten Cirebon oleh Moh. Sofyan. Organisasi ini sebagai wadah yang menampung aspirasi anak dalam mengeluarkan pendapat secara bebas dan bertanggungjawab untuk memperjuangkan dan melindungi hak-haknya dari berbagai pelanggaran mengeluarkan pendapat. Terpilih sebagai ketua Maulana Abdul Azis dari Desa Adi Dharma Kecamatan Gunungjati Indah Mulyani Kelurahan Sendang Kecamatan Sumber. Dalang Umar Darusman Sunandar dari Pujaran Giri Harja 3 Bandung mempersembahkan lakon Cepot Cerita PUP. Cerita lucu si Cepot dengan segala kelebihan dan kekurangan serta diseleingi beberapa lgu-lagu daerah mampu menertawakan para hadirin yang hadir sekitar 400 orang itu.(Husein Fauzan)

EDISI 12 TAHUN IV APRIL 2013

25


warta daerah

Migrasi Berdampak Dominan Bagi Program KB Purwakarta Banyaknya perusahaan dan industri menjadi sebuah indikator perkembangan dan kemajuan suatu daerah. Sehingga, akan banyak mengundang orang untuk datang. Akibatnga, terjadi migrasi yang cepat dan berpengaruh terhadap laju perkembangan penduduk (LPP). Sementara dampak lainnya terhadap program keluarga berencana (KB).

alasan bekerja ataupun alasan lainnya. Akan tetapi, migrasi akan memicu perkembangan penduduk di daerah tersebut. Salah satu contohnya, lanjut Soeroso, sekolah sekarang ini tidak hanya pagi tapi siang atau menjadi dua shift. Itu terjadi karena adanya perkembangan penduduk yang terus bertambah. Ketika penduduk terus berkembang, maka akan menjadi masalah bagi pemerintah daerah, baik menyangkut pendidikan, kesehatan, maupun pelayanan publik lainnya. Yang perlu menjadi perhatian bersama, sambung dia, adalah bagaimana pemerintah mampu mengendalikan perkembangan penduduk yang tentunya berpengaruh pula terhadap berbagai sektor pembangunan. Dan, ini sebenarnya menjadi tantangan bagi pemerintah daerah, terutama dalam pelaksanaan program keluarga berencana. Sementara itu, Kepala Badan Keluarga Berencana Perlindungan Ibu dan Anak (BKBPIA) Kabupaten Purwakarta Carma Rukhiat menyatakan, pelaksanaan program KB taun 2013 ini semakin berat. Peningkatan penduduk, juga bisa dilihat dari meningkatnya produk sampah rumah tangga yang terus bertambah dan semakin banyak. Hal ini tentu saja menjadi tantangan bagi para pelaku KB, termasuk IPKB Purwakarta. Karenanya diharapkan, IPKB dan BKBPIA terus bersinergi untuk bersama-sama melaksanakan program KB sesuai dengan porsinya masing-masing. Sebagai pewarta, IPKB harus terus berkiprah dalam pelaksanaan program KB di Purwakarta,� pintanya. (Yan Hendrayana)

M

igrasi akan berpengaruh terhadap program KB. Ini tentu saja menjadi tantangan bagi pemerintah daerah, khususnya para pelaku KB,� ujar Soeroso Dasar, Ketua Ikatan Penulis Keluarga Berencana (IPKB) Jawa Barat dalam kunjungannya ke IPKB Kabupaten Purwakarta di kantor BKBPIA belum lama ini. Menurut Soeroso, banyaknya industri menjadi tolok ukur perkembangan dan kemajuan daerah. Namun, dampaknya terjadi migrasi karena banyak penduduk luar daerah datang untuk mukim, apakah dengan

26

EDISI 12 TAHUN IV APRIL 2013

Kunjungan IPKB Jabar


warta daerah

B

ila sebelumnya mengajak kaum pria Ciamis menggunakan alat kontrasepsi sangat sangat sulit, kini tidak lagi. Sejak dua tahun terakhir, tren penggunaan alat kontrasepsi di kalangan pria atau KB Pria mengalami peningkatan. Kepala Badan Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Masyarakat (BKBPM) Kabupaten Ciamis Dondon Rudiana pun optimistis KB pria makin diminati. “Kalau dulu kita cari dua orang akseptor KB pria sangat sulit. Bisa tidak berhasil. Alhamdulillah sekarang menunjukkan peningkatan. Tahun lalu, dari target 75 orang peserta vasektomi atau MOP (metode operasi pria), kita berhasil mengajak 95 orang,” kata Dondon belum lama ini. Menurut mantan petugas lapangan KB (PLKB) ini, peningkatan peserta KB pria tidak lepas dari peran sejumlah mitra. Berkat dukungan ulama maupun tokoh agama lain, resistensi masyarakat terhadap program KB pun perlahan surut. Bahkan, BKBPM kini getol memberikan pelayanan di sejumlah tempat ibadah atau kegiatan-kegiatan keagamaan. “Hari minggu kita mengadakan pelayanan setelah acara kebaktian di gereja. Begitu juga pada saat digelarnya acara-acara agama Konghucu. Terus terang kami mendapat perhatian besar dari komunitas Konghucu. Kami kami juga bekerja sama dengan pemuda Kristen. Secara umum, kami mendapat bantuan Fapsedu, mitra program KB dari kalangan pemuka agama,” papar Dondon bangga. Dondon kian sumringah setelah menyimak hasil Sensus Penduduk (SP) 2010 lalu. Dengan total fertility rate (TFR) 2,04 dan laju pertumbuhan penduduk (LPP) 0,04, praktis pihaknya tinggal menjaga angka yang ada. Terlebih kesertaan ber-KB secara umum mencapai lebih dari 80 persen.

Dondon Rudiana

Ciamis Makin Pede Genjot KB Pria “Dalam tanda kutip, OPD KB di Kabupaten Ciamis sudah tidak perlu lagi karena masyarakat sudah sadar tentang pentingnya program KB. Saat ini sudah berada pada tahap pelembagaan program,” ujarnya bangga. Sementara itu, dalam rangkaian Hari Jadi Ciamis ke-371 serta berkaitan dengan pelaksanaan Bhakti TNI KB Kes Terpadu dan Bhakti IBI 2013, BKBPM Kabupaten Ciamis menggelar pelayanan MOW dan MOP di dua titik. Wilayah Ciamis Tengah bertempat di Makodim 0613 Ciamis, wilayah Ciamis Selatan bertempat di Puskesmas Pangandaran. Pelayanan MOW dan MOP tersebut bekerjasama dengan tenaga medis dari Rumah Sakit TNI Salamun Bandung yang pada kesempatan itu menerjunkan satu tim yang terdiri dari 20 orang, lima tenaga dari IBI Kabupaten Ciamis serta melibatkan petugaspetugas dari BKBPM dibantu anggota TNI dari Kodim 0613 Ciamis. Dalam pelayanan MOW dan MOP yang bertempat di aula Makodim berhasil di MOW 71 akseptor dan di MOP 8 akseptor, sedangkan bertempat di Puskesmas Pangandaran berhasil di MOW 41 akseptor dan di MOP 5 akseptor. Dondon menjelaskan, dari target 100 akseptor MOW berhasil dilayani 112 akseptor. Sementara MOP berhasil dilayani dari kedua titik pelayanan di aula Makodim dan Puskesmas Pangandaran sebanyak 13 akseptor. ”Untuk peserta MOP tingkat partisipasinya masih rendah, untuk itu diperlukan kesadaran para suami untuk ber-KB dengan metode MOP. Karena ber-KB dengan pola MOP tidak mempengaruhi terhadap kenikmatan dalam berhubungan suami isteri. Justru, dengan ber-KB pola MOP ketika si isteri sudah tidak mungkin lagi menggunakan berbagai alat kontrasepsi, suami disini sebagai solusinya dalam rangka menjaga jarak kehamilan dan bisa memprogram kehidupan keluarganya dengan cara ber-KB.(mamay/dian) EDISI 12 TAHUN IV APRIL 2013

27


warta analisis

Peserta Baru KB

Mungkinkah Target TFR 2,1 Tercapai pada Tahun 2015? Berdasarkan Analisis Hubungan CPR dan TFR Data SDKI Jawa Barat

Oleh Nuraini, S.Si. Bidang Dalduk BKKBN Jawa Barat

28

EDISI 12 TAHUN IV APRIL 2013

J

awa Barat merupakan provinsi dengan jumlah penduduk terbesar di Indonesia. Menurut hasil Sensus Penduduk (SP) 2010, penduduk Jawa Barat berjumlah 43.053.732 jiwa. Jumlah tersebut terdiri atas 21.907.040 laki-laki dan 21.146.692 perempuan, dengan sex ratio 104. Artinya, dalam setiap 100 orang penduduk perempuan terdapat 104 penduduk laki-laki. Dengan jumlah penduduk yang besar ini, Jawa Barat menghadapi berbagai macam masalah yang berkaitan dengan kependudukan, baik dari segi kualitas, kuantitas maupun mobilitas. Masalah ini tentunya menjadi tantangan bagi pemerintah maupun masyarakat Jawa Barat. Salah satu badan pemerintahan yang menangani masalah kependudukan ini adalah Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Sesuai Undang-undang No. 52 tahun 2009 tentang perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, peran BKKBN tidak terbatas pada penyelenggaraan program KB akan tetapi juga meliputi penyerasian pengendalian penduduk. Peran dan fungsi baru BKKBN diperkuat dengan adanya Peraturan Presiden No.62 tahun 2010 tentang Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional. Visi BKKBN adalah “penduduk Tumbuh Seimbang 2015�. Visi tersebut mengacu kepada fokus pembangunan pada Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional tahun 2005-2025 dan Visi-Misi Presiden yang tertuang dalam Rencana Pembangunan


warta analisis Jangka Menengah (RPJMN) tahun 2010-2014. Visi ini merupakan salah satu prioritas pembangunan nasional yaitu mewujudkan pertumbuhan penduduk yang seimbang dan keluarga berkualitas, ditandai dengan menurunnya angka fertilitas (TFR) menjadi 2,1 dan Net Reproductive Rate (NRR) = 1. Berdasarkah hal tersebut, penulis ingin mengetahui tingkat ideal prevalensi pemakaian kontrasepsi agar TFR sebesar 2,1 dapat dicapai, dan bisakah target TFR 2.1 pada tahun 2015 tercapai?

Total Fertility Rate Dalam istilah demografi Fertilitas adalah kemampuan seorang wanita secara riel untuk melahirkan. Kemampuan seorang wanita untuk melahirkan berbeda antara wanita yang satu dengan lainnya, begitu pula antara satu penduduk dengan penduduk yang lain. Sedangkan TFR adalah rata-rata jumlah anak yang dilahirkan hidup oleh seorang wanita sampai dengan akhir masa reproduksinya. Banyak faktor yang mempengaruhi fertilitas seorang wanita. Salah satu pendekatan ilmu sosial tentang faktor-faktor yang mempengaruhi fertilitas adalah pendekatan yang dikembangkan oleh pemikiran Davis dan Blake. Menurut Davis dan Blake terdapat tiga tahap penting dalam proses kelahiran, yaitu tahap hubungan kelamin, tahap konsepsi dan tahap kehamilan. Ketiga faktor ini dikelompokkan menjadi tiga yaitu sebagai berikut. 1. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya

hubungan kelamin (intercourse variables): • Umur mulai hubungan kelamin • Selibat permanen: proporsi wanita yang tidak pernah mengadakan hubungan kelamin • Lamanya perempuan berstatus kawin • Abstinensi sukarela • Berpantang karena terpaksa (oleh impotensi, sakit, pisah sementara) • Frekuensi hubungan seksual

Mortalitas janin yang disebabkan oleh faktorfaktor yang tidak disengaja • Mortalitas janin oleh faktor-faktor yang disengaja •

Contraceptive Prevalence Rate Salah satu faktor yang mempengaruhi TFR adalah menggunakan atau tidak menggunakan metode kontrasepsi baik itu menggunakan cara-cara mekanik dan bahan-bahan kimia atau menggunakan caracara lain. Dalam istilah BKKBN, angka pemakaian kontrasepsi ini dikenal dengan nama CPR atau Contraceptive Prevalence Rate. CPR ini merupakan jumlah peserta KB aktif dibandingkan dengan seluruh pasangan usia subur dalam suatu wilayah pada kurun waktu tertentu. Seperti yang telah disebutkan, bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi TFR adalah CPR. Berdasarkan hal ini penulis ingin menganalisis hubungan CPR dan TFR, dimana variabel CPR sebagai varibel yang mempengaruhi TFR. Hubungan antara CPR dan TFR dapat disajikan dalam bentuk regresi linear sederhana. Analisis regresi adalah sebuah analisis statistik untuk membuat model dan menyelidiki hubungan antara dua variabel atau lebih. Hubungan antara variabel-variabel ini digolongkan dengan sebuah model secara matematik yang disebut persamaan regresi. Disini kita ingin menentukan hubungan antara sebuah variabel bebas (eksplanatori) dengan sebuah variabel tidak bebas (respon). Sebagai gambaran hubungan CPR dan TFR dapat digambarkan seperti di bawah ini:

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya

konsepsi (conception variables): • Kesuburan atau kemandulan yang dipengaruhi oleh faktor-faktor yang tidak disengaja • Menggunakan atau tidak menggunakan metode kontrasepsi (Menggunakan caracara mekanik dan bahan-bahan kimia atau menggunakan cara-cara lain) • Kesuburan atau kemandulan yang dipengaruhi oleh faktor-faktor yang disengaja (sterilisasi, subinsisi, obat-obatan dan sebagainya)

TAHUN

TFR

1991 1994 1997 2002 2007

3.0 2.9 2.8 2.6 2.6

CPR 0.497 0.567 0.576 0.59 0.611

Sumber data : SDKI Jawa Barat 2007 Dengan menggunakan SPSS 17 diperoleh hasil sebagai berikut : Model 1

Variables Entered/Removedb Variables Variables Entered Removed CPRa

Method . Enter

a. All requested variables entered. b. Dependent Variable: TFR

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi kehamilan dan

kelahiran (gestation variables)

EDISI 12 TAHUN IV APRIL 2013

29


warta analisis Model Summary Adjusted R Std. Error of the R R Square Square Estimate .884a .782 .709 .09654

Model 1

a. Predictors: (Constant), CPR

Dari tabel diatas dapat kita lihat nilai koefisien determinasi sebesar 78.2%, dimana nilai ini menunjukkan besar pengaruh CPR terhadap TFR , jadi 78.2% variasi yang terdapat pada TFR dapat diterangkan oleh CPR sedangkan sisanya 21.8 % dijelaskan oleh variabel lain. Sedangkan korelasi antara TFR dengan CPR adalah sebesar 0,884, nilai ini menunjukkan kekuatan hubungan antar variabel tersebut. Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa nilai signifikansi 0.047. Dengan menggunakan tingkat kepercayaan 95 % maka model regresi dapat dipakai untuk memprediksi variable TFR atau dapat dikatakan CPR berpengaruh secara signifikan terhadap TFR. Coefficientsa

Model 1 (Constant) CPR

Unstandardized Standardized Coefficients Coefficients B Std. Error Beta 4.864 .637 -3.667 1.119 -.884

a. Dependent Variable: TFR

t Sig. 7.630 .005 -3.276 .047

TFR=4.864-3.667CPR

Dari persamaan diatas dapat kita jelaskan bahwa setiap perubahan CPR sebesar satu unit maka TFR berubah sebesar 3.667 unit dengan arah yang berlawanan, artinya setiap kenaikan CPR sebesar 1 unit maka TFR akan turun sebesar 3.667 unit dan sebaliknya, apabila CPR turun maka TFR akan naik. Dengan menggunakan persamaan tersebut di atas dapat diketahui bahwa untuk mencapai TFR 2.1 maka CPR Jawa Barat haruslah antara 75.37 % dan 75.38 %. CPR ini diperoleh dari hasil perhitungan di bawah ini: b0

30

b1

CPR

b1*CPR

TFR=4.8643.667CPR

4.864

-3.667

0.7537

-2.76382

2.10018

4.864

-3.667

0.7538

-2.76418

2.09982

4.864

-3.667

0.7539

-2.76455

2.09945

4.864

-3.667

0.754

-2.76492

2.09908

4.864

-3.667

0.7541

-2.76528

2.09872

4.864

-3.667

0.65857

-2.41498

2.44902

EDISI 12 TAHUN IV APRIL 2013

Perkembangan CPR Provinsi Jawa Barat dari tahun 1991 – 2007 TAHUN

CPR (%)

1991

49.7

1994

56.7

1997

57.6

2002

59

2007

61.1

Sumber data : SDKI Jawa Barat 2007 Maka diperoleh persamaan CPR= -1131.053+0.594TAHUN. Dengan memasukan tahun ke persamaan tersebut maka CPR 75.37 % ini didapat pada tahun 2031. Ini diperoleh dari perhitungan sebagai berikut

Dalam tabel diatas diperlihatkan nilai koefisien untuk persamaan regresi antara CPR terhadap TFR, maka berdasarkan nilai koefisien yang terdapat dalam tabel diatas dapat dibentuk persamaan regresi sebagai berikut:

Jika dilihat dari trend CPR dari tahun 1991-2007 dan diasumsikan bahwa tren ini akan terus bergerak linear ,kemudian kita regresikan data di bawah ini

b0

b1

-1131.05

0.594

2015

CPR= -1131.053+ 0.594TAHUN 65.857

-1131.05

0.594

2020

68.827

-1131.05

0.594

2030

74.767

-1131.05

0.594

2031

75.361

-1131.05

0.594

2032

75.955

TAHUN

Dari hasil analisis tersebut dapat diperoleh kesimpulan bahwa untuk TFR= 2.1 ini dapat dicapai jika kesertaan ber-KB (CPR) sebesar 75.37 %. Sedangkan apabila kita melihat trend untuk CPR dari 1991-2007, CPR sebesar 75.37 % ini akan diperoleh pada tahun 2031. Pada tahun 2015 berdasarkan analisis, TFR baru mencapai 2.45 dengan CPR sebesar 65.86%. Dengan melihat perkembangan CPR seperti sekarang ini dan kenaikan yang tidak berubah di tahun yang akan datang , maka target TFR=2.1 pada tahun 2015 ini tidak akan dapat tercapai. Perlu adanya percepatan dan kerja keras dari semua pihak untuk meningkatkan kesertaan ber-KB menjadi 75.37 % agar target TFR 2,1 ini tercapai. Wallahu Alam.


serba serbi

Cara Ampuh Berkomunikasi dengan Remaja

K

omunikasi menurut Murdhy Dennis adalah seluruh proses yang diperlukan untuk memahami pikiran-pikiran yang dimaksud oleh orang lain. Drs. Ig. Wursanto dalam bukunya etika komunikasi kantor, juga mengatakan bahwa komunikasi adalah seluruh proses yang dipergunakan untuk mencapai pikiran-pikiran orang lain. Jadi pada intinya komunikasi itu merupakan suatu langkah untuk mengetahui dan memahami apa yang ada dalam fikiran orang lain dan apa yang ada di fikiran kita. Dalam kehidupan keluarga, khususnya bagi mereka yang memiliki anak remaja, komunikasi ini tentu merupakan bagian yang sangat penting. karena bila komunikasi yang dilakukan tidak berjalan dengan baik, maka sudah pasti akan selalu terjadi kesalah pahaman yang akan menimbulkan banyak kendala dalam menghadapi dan membimbing mereka. Pada masa transisi dari remaja menuju dewasa, seorang anak akan mengalami perubahan mendasar pada dirinya, baik fisik, mental, maupun sosial, berbagai perubahan yang terjadi tersebut jika tidak difahami dengan baik biasanya akan menimbulkan kebingungan dan kepanikan bagi remaja, dan ini tentu akan lebih parah lagi bila para orang tua tidak memahami apa yang terjadi pada anak remajanya. Pada masa perubahan tersebut banyak hal–hal baru yang akan mereka jumpai, dan kondisi paling berat yang dirasakan adalah pada perubahan psikologis, karena mereka akan menjadi lebih sensitif, mudah tersinggung, mudah marah, irasional , mudah stress, rasa ketakutan, timbul keingin mandiri, lebih ekspresif dan selalu ingin tahu berbagai hal. Kondisi tersebut sering menimbulkan anggapan pada sebagian orang tua atau orang dewasa, bahwa tingkah laku anak remaja itu selalu sulit dipahami, menjadi sumber permasalahan, dan selalu menimbulkan konflik serta ketidak nyamanan. Menjadi remaja saat ini sungguh tidak mudah, kondisi, situasi, tantangan juga berbagi masalah baik dari diri sendiri maupun dari luar dirinya harus mereka hadapi dan lalui, oleh sebab itu agar mereka dapat melalui masa perubahannya dengan baik dan mudah, maka mereka harus cerdas dalam menyikapi berbagai

hal yang dijumpai dalam perjalanan hidupnya. Kecerdasan itu tentu hanya dapat diperoleh dengan jalan berkomunikasi bersama orang lain khususnya orang tua atau orang dewasa, mereka perlu diberi perhatian, bimbingan, kasih sayang, informasi yang benar, spirit serta ayoman, agar mereka mendapatakan rasa nyaman dan juga merasa bahwa keberadaannya diakui dan dibutuhkan, pada masa–masa seperti ini yang paling diperlukan tentu pendampingan dari orang tua atau keluarga. Catatan bagi kita, bahwa jangan pernah memberikan kesempatan kepada para remaja untuk mencari hal-hal yang dibutuhkan ke tempat lain, yang mungkin bukan tempat yang tepat dan benar untuknya, jika itu terjadi maka sudah pasti para remaja tersebut akan tumbuh dan berkembang sebagai remaja yang rumit dan bermasalah. Komunikasi yang benar antara orang tua dengan anak remaja, adalah kunci utama untuk mengurai permasalahan yang terjadi pada mereka. Dengan melakukan komunikasi yang baik dan efektif, maka selanjutnya tentu akan muncul hubungan yang harmonis dengan remaja, sehingga dapat membentuk suasana keterbukaan yang dapat membuat remaja tidak takut dan mau bicara pada saat mereka mendapatkan kesulitan dan masalah, selain itu juga akan dapat membuat remaja mau mendengar dan menghargai orang tua dan orang dewasa saat mereka berbicara, ini semua tentu akan mempermudah orang tua atau orang dewasa dalam membantu remaja untuk menyelesaikan masalah yang dihadapinya . Komunikasi dengan remaja kadang tidak selalu berhasil, ini disebabkan karena ada beberapa kecenderungan yang dilakukan orang tua ketika berkomunikasi dengan remaja, di antaranya yaitu: (1) Lebih banyak bicara daripada mendengar; (2) selalu merasa tahu lebih banyak; (3) selalu memberi arahan dan nasihat; (4) Tidak berusaha untuk mendengar dulu apa yang sebenarnya terjadi dan yang dialami para remaja; (5) Tidak memberi kesempatan agar remaja mengemukakan pendapat; (6) Tidak mencoba menerima dahulu kenyataan yang dialami remaja dan memahaminya; (7 ) jika mereka tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan terhadap remaja maka akan merasa putus asa dan yang muncul yaitu kekesalan dan kemarahan.(www.bkkbn.go.id) EDISI 12 TAHUN IV APRIL 2013

31



Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.