Edisi 8

Page 1

SERI KISAH, “Kiai Cilik dan Santri Cungkring “ www.wartamadani.com

Mengeluti Politik Transaksional

A

da yang barusan sadar kalau demokrasi kita itu demokrasi kapitalis.

“Pasti ini jawaban partai politik dan politisi yang tidak memiliki kemampuan modal, Kiai.” Bahkan sekarang masyarakatpun sadar betul dengan demokrasi kapitalis. Sehingga jika ada yang mengatas namakan partai politik atau politisi yang datang, masyarakat tidak hanya ingin mendengar visi dan misi tapi sudah siap dengan kontrak politik. Inilah demokrasi kapitalis, dimana kapitalis

tidak hanya menggeluti dunia ekonomi bisnis namun juga terjun ke ranah politik praktis. Sehingga para pebisnis, pedagang, pelaku industri dan pemilik mediapun berpolitik. “Melalui kekuatan modal itu politisi karbitan hadir.” “Politisi karbitan CEPAT MATANG, CEPAT BUSUK,” Santri Cungkring merapikan buah pisang yang barusan diberi karbit agar cepat matang.

Sukrasana di Panggung Kekuasaan

S

ukrasana memiliki seoarang kakak yang sangat tampan bernama Bambang Sumantri. Keduanya adalah putera Resi Suwandagni dari pertapaan Argasekar dengan Dewi Darini. Namun berbeda dengan Sukrasana berwujud raksasa kerdil dan wajah yang seram. Namun begitu Sukrasana memiliki kesaktian yang luar biasa dan hati mulia. Sukrasana mengabdi pada Bathara Wisnu dan bertugas sebagai juru taman Sriwedari di Kahyangan Untarasegara. Sedangkan kakaknya Sumantri menjadi elite kekuasaan Raja Agung Harjuna Sasrabahu. Ia bisa menjadi bagian keluarga elit kerajaan semata-mata karena bantuan adiknya Sukrasana, pada saat itu Raja Agung Harjuna Sasrabahu meminta untuk memindahkan taman Sriwedari ke Maesapati dan Sukrasana berhasil memindahkannya. Namun karena memiliki wajah buruk rupa, Sumantri meminta adiknya untuk pergi dan bahkan menakutinya dengan panah. Tanpa sengaja busur panah itu melesat dan menusuk perut Sukrasana. Sekilas cerita Kiai Cilik kepada Santri Cungkring di ruang Taman Baca Sciena Madani. Lalu Kiai Cilik bertutur, “Sosok

Sukrasana adalah sosok luar biasa yang tidak memiliki mentalitas kekuasaan yang hanya ia inginkan mengajak kakaknya untuk kembali ke pertapaan di Kahyangan Untarasegara. Berbeda dengan Kakaknya yang menginginkan kekuasaan dan kekuasaan ala Harjuna adalah kekuasaan dengan mentalitas borjuis dan hedonis.” “Lain lagi dinegeriku Kiai, elit politik sangat mencintai kekuasaan dan bahkan sama dengan elit kekuasaan Raja Agung Harjuna Sasrabahu. Elit politik saling berebut, menjatuhkan lawannya satu sama lain,” kata Santri Cungkring Kiai Cilik mengungkapkan, Sukrasana adalah sosok manusia yang mampu melenyapkan ego dan superegonya. Ia berusaha untuk menjadi hamba Tuhan dengan segala ketundukan dan memiliki kearifan. Di akhirnya ajalnya, ia masih mengatakan kerindauan kepada Kakaknya Sumantri dan diajaknya hidup di surga bersamanya. “Mereka suka menonjolkan kemewahan, dikelilingi wanita-wanita cantik, suka dunia pencitraan dan menghamburkan kas negara untuk perjalanan dinas dan dikorupsi,” sahut Santri Cungkring

Diterbitkan oleh: Sciena Madani

Edisi: 8/II/2014

www.scienamadani.org

Ini Soal Tenun Kebangsaan. Titik ! Oleh: Anies Baswedan, Ph.D

Hidup ini perjuangan. Hidup ini perkaderan. Hidup ini perlawanan dan hidup ini adalah kemampuan untuk bertahan. Hanya mereka yang berani berjuang, mendidik dan melawanlah yang akan bertahan. Present By: SCIENA MADANI

Badan Wakaf Nusantara LAYANAN JEMPUT ZAKAT Bagi para MUZAKI yang ingin (Zakat, Sedekah, Infak, dan Wakaf) bisa mensalurkan amal ibadahnya. Segera Hubungi: Agus Munif (0852 9331 2474) Zainul Muttaqin (0856 4263 7662)

Tupperware Sophie Paris Genuk - Semarang Hubungi: 086 640 329 970

(Rektor Paramadina dan Dewan pembimbing Sciena Madani)

R

epublik ini tidak dirancang untuk melindungi minoritas. Tidak juga untuk melindungi mayoritas. Republik ini dirancang untuk melindungi setiap warga negara, melindungi setiap anak bangsa! Tak penting jumlahnya, tak penting siapanya. Setiap orang wajib dilindungi. Janji pertama Republik ini: melindungi segenap bangsa Indonesia. Saat ada warga negara yang harus mengungsi di negeri sendiri, bukan karena dihantam bencana alam tetapi karena diancam saudara sebangsa, Republik ini telah ingkar janji. Akhirakhir ini nyawa melayang, darah terbuang percuma ditebas saudara sebahasa di negeri kelahirannya. Kekerasan terjadi dan berulang. Lalu berseliweran kata minoritas, mayoritas di mana-mana. Bangsa ini harus tegas: berhenti bicara minoritas dan mayoritas dalam urusan kekerasan. Kekerasan ini terjadi bukan soal mayoritas lawan minoritas. Ini soal sekelompok warga negara menyerang warga negara lainnya. Kelompok demi kelompok warga negara secara kolektif menganiaya sesama anak bangsa. Mereka merobek tenun kebangsaan! Tenun kebangsaan itu dirobek, diiringi berbagai macam pekikan seakan boleh dan benar. Kesemuanya terjadi secara amat eksplisit, terbuka dan brutal. Apa sikap negara dan bangsa ini? Diam? Membiarkan? Tidak! Republik ini tak pantas loyo-lunglai menghadapi warga

SCIENA MADANI (Mengabdi dan Mengkaji) Tim Redaksi: Lukni, Munif, Zainul, dan Ambar

Banjardowo Rt 2 Rw 6 Genuk Semarang Email: scienamadani@gmail.com Web: www.scienamadani.org Sms Center: 085 6419 57127


FB: www.facebook.com/NinikMart

negara yang pilih pakai pisau, pentungan, parang, bahkan pistol untuk ekspresikan perasaan, keyakinan, dan pikirannya. Mereka tidak sekadar melanggar hukum, tetapi merontokkan ikatan kebangsaan yang dibangun amat lama dan amat serius ini. Mereka bukan cuma kriminal, mereka perobek tenun kebangsaan. Tenun kebangsaan itu dirajut dengan amat berat dan penuh keberanian. Para pendiri republik sadar bahwa bangsa di Nusantara ini amat bineka. Kebinekaan bukan barang baru. Sejak negara ini belum lahir semua sudah paham. Kebinekaan di Nusantara adalah fakta, bukan masalah! Tenun kebangsaan ini dirajut dari kebinekaan suku, adat, agama, keyakinan, bahasa, geografis yang sangat unik. Setiap benang membawa warna sendiri. Persimpulannya yang erat menghasilkan kekuatan. Perajutan tenun ini pun belum selesai. Ada proses terus-menerus. Ada dialog dan tawar-menawar antar-unsur yang berjalan amat dinamis di tiap era. Setiap keseimbangan di suatu era bisa berubah pada masa berikutnya. Warga Negara, Penganut Agama Dalam beberapa kekerasan belakangan ini, salah satu sumber masalah adalah kegagalan membedakan ”warga negara” dan ”penganut sebuah agama”. Perbedaan aliran atau keyakinan tak dimulai bulan lalu. Usia perbedaannya sudah ratusan, bahkan

Iklan Hubungi: Sms Center: 085 641 957 127

ribuan tahun dan ada di seluruh dunia. Perbedaan ini masih berlangsung terus dan belum ada tanda akan selesai minggu depan. Jadi, di satu sisi, negara tak perlu berpretensi akan menyelesaikan perbedaan alirannya. Di sisi lain, aliran atau keyakinan bisa saja berbeda tetapi semua warga negara republik sama. Konsekuensinya, seluruh tindakan mereka dibatasi aturan dan hukum republik yang sama. Di sini negara bisa berperan. Negara memang tak bisa mengatur perasaan, pikiran, ataupun keyakinan warganya. Namun, negara sangat bisa mengatur cara mengekspresikannya. Jadi, dialog antar-pemikiran, aliran atau keyakinan setajam apa pun boleh, begitu berubah jadi kekerasan, maka pelakunya berhadapan dengan negara dan hukumnya. Negara jangan mencampuradukkan friksi/konflik antarpenganut aliran/keyakinan dengan friksi/konflik antarwarga senegara. Dalam menegakkan hukum, negara harus melihat semua pihak semata sebagai warga negara dan hanya berpihak pada aturan. Aparat keamanan harus hadir melindungi ”warga-negara” bukan melindungi ”pengikut” keyakinan/ajaran tertentu. Begitu pula jika ada kekerasan, aparat hadir untuk menangkap ”warganegara” pelaku kekerasan, bukan

menangkap ”pengikut” keyakinan yang melakukan kekerasan. Menjaga tenun kebangsaan dengan membangun semangat saling menghormati serta toleransi itu baik dan perlu. Di sini pendidikan berperan penting. Namun, itu semua tak cukup dan takkan pernah cukup. Menjaga tenun kebangsaan itu juga dengan menjerakan setiap perobeknya. Bangsa dan negara ini boleh pilih: menyerah atau ”bertarung” menghadapi para perobek itu. Jangan bangsa ini dan pengurus negaranya mempermalukan diri sendiri di hadapan penulis sejarah bahwa bangsa ini gagah memesona saat mendirikan negara bineka tetapi lunglai saat mempertahankan negara bineka. Membiarkan kekerasan adalah pesan paling eksplisit dari negara bahwa kekerasan itu boleh, wajar, dipahami, dan dilupakan. Ingat, kekerasan itu menular. Dan, pembiaran adalah resep paling mujarab agar kekerasan ditiru dan meluas. Pembiaran juga berbahaya karena tiap robekan di tenun kebangsaan efeknya amat lama. Menyulam kembali tenun yang robek hampir pasti tak bisa memulihkannya. Tenun yang robek selalu ada bekas, selalu ada cacat. Ada seribu satu pelanggaran hukum di Republik ini, tetapi gejala merebaknya ke ke ra s a n d a n p e ro b e ka n t e n u n kebangsaan itu harus jadi prioritas utama untuk dibereskan. Untuk menyejahterakan bangsa semua orang boleh ”turun-tangan”, tetapi menegakkan hukum hanya aparat yang boleh ”turun-tangan”. Penegak hukum dibekali senjata tujuannya bukan untuk tampil gagah saat upacara, melainkan untuk melindungi warga negara saat menegakkan hukum.

Negara harus berani dan menang ”bertarung” melawan para perobek. Saat tenun kebangsaan terancam itulah negara harus membuktikan di Republik ini ada kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat tetapi tak ada kebebasan melakukan kekerasan. Aturan hukumnya ada, aparat penegaknya komplet. Jadi, begitu ada warga negara yang pilih melanggar dan meremehkan aturan hukum untuk merobek tenun kebangsaan, sikap negara hanya satu: ganjar mereka dengan hukuman yang amat menjerakan. Bukan cuma tokohtokohnya yang dihukum. Setiap gelintir orang yang terlibat dihukum tanpa pandang agama, etnis, atau partai Itu sebagai pesan pada semua: jangan pernah coba-coba merobek tenun kebangsaan! Ketegasan dalam menjerakan perobek tenun kebangsaan membuat setiap orang sadar, memilih kekerasan sama dengan memilih diganjar dengan hukuman menjerakan. Ada kepastian konsekuensi. Ingat, Republik ini didirikan oleh para pemberani: berani dirikan negara yang bineka. Kini pengurus negara diuji. Punyakah keberanian untuk menjaga dan merawat kebinekaan itu secara tanpa syarat. Biarkan kita semua dan kelak anak cucu kita bangga bahwa Republik ini tetap dirawat oleh para pemberani.


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.