Dalam Naungan Rumah LeluhuR - Ketangguhan Masyarakat Palu’e Menghadapi Ancaman Gunungapi Rokatenda
Dalam Naungan Rumah Leluhur Diterbitkan atas dukungan
Cover ROKATENDA.indd 1
Ketangguhan Masyarakat Palu’e Menghadapi Ancaman Gunungapi Rokatenda
22/06/2015 15:41:49
Dalam Naungan Rumah Leluhur Ketangguhan Masyarakat Palu’e Menghadapi Ancaman Gunungapi Rokatenda
Halaman Cover
Dalam Naungan Rumah Leluhur Ketangguhan Masyarakat Palu’e Menghadapi Ancaman Gunungapi Rokatenda
Tim Peneliti: Marianus Charles Sanda, Kornelis H Pasa, Agustina Lengu, Johanes Sawe, Danang Dwi Wahyujati, Consitha H Dhiu
Penulis: Dame Manalu, Erfin, Sunarso
Kata Sambutan
Kepala Pelaksana BPBD Provinsi Nusa Tenggara Timur
Kami menyambut baik atas penerbitan buku Dalam Naungan Rumah Leluhur:Ketangguhan Masyarakat Palu’e Menghadapi Ancaman Gunungapi Rokatenda ini yang merupakan bagian dari proses belajar membangun ketangguhan di kawasan rawan bencana, khususnya bencana erupsi gunungapi. Buku ini diperlukan dan diharapkan dapat memberikan pencerahan dan pemahaman terhadap dimensi kultural dalam pengelolaan penanggulangan bencana di Provinsi Nusa Tenggara Timur khususnya, dan di Indonesia pada umumnya. BukuDalam Naungan Rumah Leluhur:Ketangguhan Masyarakat Palu’e Menghadapi Ancaman Gunungapi Rokatenda ini diperlukan sebagai sistematika pikiran-pikiran masyarakat yang diperlukan dan dapat memberikan kontribusi, khususnya bagi para pengambil kebijakan dalam membangun model pengambilan keputusan yang mempertimbangkan nilai-nilai kearifan budaya masyarakat, memberikan pemahaman yang berkembang tentang ketangguhan, serta pertimbangan-pertimbangan dalam pengelolaan bencana di suatu kawasan rawan bencana. Kami berharap buku ini dapat dikembangkan dan digunakan untuk membantu para pemangkukepentingan dalam mengembangkan aksi-aksi kesiapsiagaan bencana secara lebih arif dan tidak menimbulkan kerentanan baru. Mudah-mudahan buku ini bermanfaat bagi masyarakat/pembaca dan pihak-pihak lain yang memerlukannya.
Kupang, 20 Juni 2015 Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Nusa Tenggara Timur Kepala Pelaksana,
Tini Thadeus, SH Pembina Utama Madya NIP. 19590822 198603 1018
Kata Pengantar
Buku Dalam Naungan Rumah Leluhur: Ketangguhan Masyarakat Palu’e Menghadapi Ancaman Gunung Api Rokatenda ini disusun dengan maksud mendokumentasikan pengalaman masyarakat di Palu’e, Kabupaten Sikka, Provinsi Nusa Tenggara Timur menghadapi ancaman erupsi gunungapi.Setidaknya ada tiga alasan mengapa pengalaman itu menarik untuk dicermati. Pertama, secara umum ada semacam kondisi kurangnya pengetahuan mengenai bagaimana orang-orang yang tinggal di pulau gunungapi menjalani hidup mereka. Karakteristik pengalaman dan cara masyarakat di pulau gunungapi menghadapi bencana erupsi tentu berbeda dengan masyarakat yang bukan di pulau gunungapi. Rokatenda adalah salah satu dari beberapa pulau gunungapi aktif tersebut yang kini didiami oleh lebih dari 10.000 jiwa. Kedua, Palu’e itu sendiri menjadi khas karena akhir-akhirini muncul kontroversi tentang rencana relokasi penduduknya keluar dari pulau itu. Upaya relokasi penduduk telah dicoba beberapa kali tetapi selalu gagal.Orang Palu’e selalu kembali lagi ke rumah mereka. Bagi pihak luar, kemelekatan antara orang Palu’e dengan pulau tempat tinggalnya itu agak sulit dipahami. Alasan ketiga terkait dengan alasan pertama dan kedua, tetapi lebih mendasar, yaitu bahwa hanya dengan berusaha mengetahui mengapa orang Palu’e bertahan di pulau mereka dan bagaimana mereka menjalani kehidupannya, dimungkinkan adanya pemahaman yang otentik. Pemahaman adalah syarat kemungkinan bagi pengambilan kebijakan dan keputusan (publik) yang baik. Pembuatan kebijakan publik itu sendiri diletakkan dalam relasi negara-warga negara, di mana negara ada (raison d’etre) untuk melayani warga negara. Maka, segala pembuatan kebijakan publik, termasuk misalnya dalam rencana relokasi penduduk keluar dari Palu’e perlu dilandasi oleh pemahaman mengenai orang Palu’e itu sendiri, dan dalam hal apa kebijakan itu sungguh-sungguh adalah baik bagi orang Palu’e sebagai pihak yang dilayani oleh negara. Dengan kata lain, yang bekerja bukan lagi tirani kekuasaan yang tidak-menerima-kata-tidak, melainkan ikhtiar untuk mencapai kebaikan bagi warga negara (common good).
Dalam hal itu, pemahaman juga merupakan awal dari komunikasi antara negarawarga negara. Inilah fondasi sebuah negara demokrasi modern. Secara konkrit negara memahami keinginan warga negara. Pemahaman itu diikuti dengan tindakan yang dapat dipertanggungjawabkan secara terbuka kepada publik. Di sisi lain, publik diajak berpartisipasi dalam urusan-urusan menyangkut publik, tidak terkecuali dalam hal ini bencana. Buku ini sebagai hasil dari sebuah proses kajian partisipatif ketangguhan masyarakat dalam menghadapi bencana, di mana: (1) Subjek studi berpartisipasi dengan para peneliti dalam keseluruhan proses studi, mulai dari perencanaan sampai pada presentasi hasil dan diskusi implikasi aksinya (Whyte, 1989); dan (2) Belajar bagaimana menjelaskan kondisi sosial tertentu melalui bekerja dengan mereka yang hidup di sana untuk membangun, menguji, dan mengembangkan teori tentangnya, sehingga mereka dapat mengontrol berbagai hal terkait kehidupan mereka dengan lebih baik (Elden & Levin, 1991). Buku ini bukan sebuah tujuan, tetapi merupakan bagian dari sebuah proses belajar, yang perlu dilakukan oleh para pemangku kepentingan, baik pemerintah, organisasi masyarakat sipil, dunia usaha yang memiliki kepedulian terhadap kebencanaan, bahkan masyarakat Palu’e dan pembaca yang lebih luas. Buku ini dengan demikiandiharapkan dapat menstimulasi munculnya wacana mengenai bagaimana pihak luar seharusnya dapat membantu orang Palu’e agar menjadi lebih berdaya dalam menghadapi bencana, serta secara umum bagaimana penanggulangan bencana itu sendiri dilakukan. Di sisi lain, kelemahan-kelemahan bisa jadi kemudian ditemukan dalam buku ini, baik dalam hal materi maupun cara penyampaian pesan kepada pembaca. Oleh karena itu berbagai masukan dapat dikontribusikan untuk memperbaikinya di kesempatan kemudian. Selanjutnya buku ini diharapkan menjadi sumbangsih bagi pengetahuan dan karya kemanusiaan saat ini dan pada masa mendatang.
Kupang, 19Juni 2015
Tim Penyusun
Daftar Isi
Kata Sambutan Kepala Pelaksana BPBD Provinsi Nusa Tenggara Timur Kata Pengantar Daftar Isi Daftar Gambar BAB I. SUARA MEREKA YANG TAK BERSUARA 1 Memahami Sebagai Kewajiban 4 Maksud Penulisan Buku Ini 5 BAB II. METODOLOGI PENDOKUMENTASIAN 7 Ketangguhan Menurut Orang Palu’e 8 Langkah-langkah Pendokumentasian 11 Gambaran Responden 13 BAB III. KESEJARAHAN DAN MITOLOGI PALU’E 15 Asal Mula Palu’e 16 Nua Lu’a: Mitologi Palu’e 18 Memaknai Mitos 20 BAB IV. ROKATENDA DALAM KEHIDUPAN ORANG PALU’E 23 Gunung Rokatenda 24 Bencana Dan Hilangnya Ketangguhan 26 Adat sebagai Cara Hidup 27 Letusan dari waktu ke waktu 30 Dampak Letusan 32 Belajar dari Tahun 1928 33
BAB V. BERSIASAT MENGHADAPI ERUPSI 39 Sejarah Letusan 40 Penanganan Minus komunikasi 40 Membangun di Tempat Aman 42 Lie Mutu dan Nato Cibo 43 Mengungsi Lewat Puerere 45 Memperkuat Daya Tahan Rumah 46 Berlindung di Rumah Keluarga 47 Pangan untuk Keluarga 48 Tidak Pernah Kelaparan 49 Dipelihara Kekerabatan 50 Radio Komunikasi 51 Merawat Ternak 53 Pengobatan Tradisional 53 Penyediaan Air Bersih 54 Mata Pencaharian dan Kalender Musim 54 BAB VI. Epilog 57 Daftar Pustaka 61
Daftar Gambar Gambar 1 Pulau Palu’e dilihat dari Laut Flores 16 Gambar 2 Topografi Palu’e 24 Gambar 3 Topografi Palu’e 25 Gambar 4 Letusan Gunung Rokatenda pada 10 Agustus 2013 30 Gambar 5 Letusan Gunung Rokatenda pada 10 Agustus 2013 31 Gambar 6 Pulau Palu’e dan pusat letusan tahun 1928 34 Gambar 7 Beberapa jenis ubi dan kacang-kacangan bahan pangan warga Palu’e 49
Dalam Naungan Rumah Leluhur
Ketangguhan Masyarakat Palu’e Menghadapi Ancaman Gunungapi Rokatenda
suara mereka yang tak bersuara
Dalam Naungan Rumah Leluhur Ketangguhan Masyarakat Palu’e Menghadapi Ancaman Gunungapi Rokatenda
1
BAB I
Suara Mereka Yang Tak Bersuara
BAB I
suara mereka yang tak bersuara
Suara Mereka Yang Tak Bersuara
Pulau Palu’edi Provinsi Nusa Tenggara Timur adalah salah satu dari sejumlah pulau gunungapi yang ada di Indonesia. Disebut pulau gunungapi sebab secara harafiah badan pulaunya merupakan bagian dari sebuah gunungapi. Di Palu’e, terletak Gunungapi Rokatenda. Dalam Dokumen RPJMD Kabupaten Sikka, 2013-2018 dinyatakan bahwa pada tahun 2013, ada sekitar 10.325 orang menghuni Palu’e. Pulau seluas 41 kilometer persegiini dikelilingi Laut Flores.Maka, dapat dikatakan bahwa bagi setiap rumah tangga Palu’e, gunungapi dan laut adalah halaman rumah. Pada tahun 2013,PVMBGmemetakan kawasan rawan bencana (KRB) Gunung Rokatenda di Pulau Palu’e. Dalam peta KRB, seluruh pulau ditetapkan sebagai KRBII (radius 3-5 km)1 dan sebagian bahkan termasuk KRB III (radius 1,5-3 km). Itu artinya, pulau ini dinyatakan berada dalam zona merah yang tidak aman untuk dihuni oleh manusia. Penetapan itu mendatangkan implikasi terhadap wacana untuk merelokasi warga keluar dari pulau.2
2
Tetapi, relokasi tidak pernah merupakan soal yang sederhana. Tanggapan warga terhadap hal itu juga tidak dapat dikatakan seluruhnya positif. Banyak warga yang menolak. Pada tahun-tahun sebelum penetapan KRB pada 2013 itu telah beberapa kali diupayakan pemindahan penduduk, seperti ke Ende, Maumere, atau wilayah lainnya. Tawaran relokasi sebenarnya sudah ada bahkan sejak bencana letusan tahun 1928 (Kleden, 2013). Namun, setiap kali dipindahkan, setiap kali itu pula warga kembali lagi ke Palu’e. Dalam upaya relokasi terakhir yang dilakukan pada tahun 2013 hingga sekarang, hal serupa kembali terjadi. Mereka yang sempat keluar dari Palu’e untuk menempati rumah-rumah relokasi di Pulau Besar dan tempat lainnya, sebagian kini kembali lagi ke Palu’e. Rumah-rumah relokasi itu akhirnya dipakai sebagai rumah kedua, yang didiami pada situasi tertentu saja atau hanya oleh sebagian anggota keluarga. Sejak pertama kali nenek moyang warga Palu’e menginjakkan kaki di pulau itu, Pulau Palu’e tidak pernah benar-benar ditinggalkan, apalagi dikosongkan, pun ketika Gunung Rokatenda erupsi secara besar-besaran, seperti pada tahun 1928. Pada erupsi tahun 1 Istilah KRB mengacu pada tingkat bahaya dan radius ancaman erupsi gunungapi menurut Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG). Status KRB II menunjukkan bahwa seluruh Palu’e berisiko terkena dampak letusan berupa lontaran material pijar dan hujan abu tebal.Peta KRB di Palu’e dikeluarkan oleh PVMBG, 2013. 2 Artinya memiliki tingkat bahaya paling tinggi, yakni berisiko terkena awan panas, aliran lava, dan lemparan material pijar.
Dalam Naungan Rumah Leluhur Ketangguhan Masyarakat Palu’e Menghadapi Ancaman Gunungapi Rokatenda
Orang Palu’e tidak diperbolehkan membiarkan rumah mereka berada dalam keadaan kosong tanpa ada orang di dalamnya. Meninggalkan rumah, dan Palu’e, berarti memalingkan muka dari arwah nenek moyang yang diyakini tetaptinggal bersama orang-orang yang masih hidup. Orang Palu’e percaya bahwa mereka yang meninggal dunia akan berdiam di kawah Gunung Rokatenda dan tinggal di situ. Orang Palu’e menyimpan kenang-kenangan dari orang meninggal dunia yang dihormati dan disayangi, yakni sedikit kuku dan beberapa helai rambut di rumah mereka. Bagian dari diri orang yang telah meninggal dunia itu diperlakukan dengan rasa hormat. Setiap kali ada keputusan kolektif yang akan diambil berkenaan dengan keluarga atau kelompok adatnya,maka warga akan melakukan ritual untuk leluhur. Seolah-olah memang leluhur yang telah meninggal dunia itu hadir di tengah-tengah mereka. Hampir semua orang Palu’e yang kini tinggal di pulau itu lahir di sana dan praktis tidak pernah meninggalkannya dalam waktu yang lama. Orang Palu’e keluar pulau hanya untuk berlayar mencari ikan, melakukan transaksi ekonomi di daerah tetangga seperti Maumere dan Ende, dan bersekolah. Sejumlah warga dalam beberapa tahun terakhir menjadi tenaga kerja di kota atau negara lain. Namun, setiap kali ada kesempatan, mereka pasti kembali. Selain untuk mengunjungi sanak keluarga di sana, juga untuk menghidupkan lagi kemelekatan dengan tanah itu. Palu’e, sama seperti kampung halaman atau kewarganegaraan bagi kita semua, adalah identitas yang khas bagi warganya. Ia karena itu sulit sekali untuk tergantikan dengan yang lain. Tabel 1. 1 Penduduk, Luas Wilayah, dan Kepadatan Pulau Palu’e Tahun 2013 Desa
Jumlah Penduduk 1.430
Luas Wilayah (km²) 7,31
Kepadatan (jiwa/km2) 196
Lidi
1.675
3,76
445
Reruwairere
1.089
3,92
228
Maluriwu
1.051
3,31
317
Kesokoja
1.304
10,89
120
Ladolaka
1.190
2,85
417
Tuanggeo
1.033
5,21
198
Rokirole
1.533
3,75
409
Jumlah
10.325
41,00
252
Nitunglea
Sumber: Dokumen RPJMD Kabupaten Sikka Tahun 2013-2018.
suara mereka yang tak bersuara
2012-2013, banyak warga memilih tetap bertahan di rumah mereka atau tempat yang dianggap aman di pulau ini. Mereka yang diungsikan adalah mayoritas anak-anak dan kaum perempuan, kecuali yang sudah lanjut usia. Sementara itu, para laki-laki dewasa dan orang lanjut usia tetap tinggal di pulau itu.
3
suara mereka yang tak bersuara
Pada titik ini, kiranya dapat dibayangkan mengapa demikian sulitnya meminta orang Palu’e untuk relokasi. Kita tentu belum lupa bahwa erupsi Gunung Rokatenda pada tahun 2012-2013 bukan pertama kalinya terjadi. Sebagian besar warga yang berusia 40 tahun ke atas masih mengingat dengan baik pengalaman letusan sebelumnya pada dekade 1980-an maupun yang lebih lampau. Warga masyarakat juga menerima cerita-cerita dari para orang tua mengenai apa-apa yang terjadi saat letusan dahulu, terutama tahun 1928 ketika jumlah korban mencapai 160 orang.
4
Kenyataannya, orang Palu’e belajar dari kejadian-kejadian letusan itu. Mereka menyesuaikan perilaku untuk menghindari dampak buruk bencana selanjutnya. Setelah letusan tahun 1928, saat banyak korban tewas akibat disapu tsunami berupa air mendidih dari arah laut, orang Palu’e di Desa Lidi yang termasuk paling dekat dengan sumber ancaman tidak lagi melakukan evakuasi dengan berjalan mendekati pantai. Mereka membuat jalur evakuasi yang lebih aman dan digunakan hingga kini. 1.1. Memahami Sebagai Kewajiban Tetap saja bagi orang luar (outsider), sikap dan bagaimana orang Palu’e menghidupi kehidupannya dan ancaman bencana yang terdapat di perut Rokatenda tersebut mungkin sulit dipahami. Katakanlah, dalam cara pandang orang luar, hidup orang Palu’e tidak masuk akal sama sekali. Bagaimana mungkin mereka bisa memilih untuk tetap tinggal di tempat seperti Palu’e, yang jauh dari mana-mana, dengan sarana kehidupan dan fasilitas serba terbatas, serta risiko bencana begitu nyata? Tetapi itulah faktanya. Cinta kepada tanah Palu’e telah merasuki manusia-manusianya sedemikian rupa, sehingga kesulitan yang dihadapi sehari-hari menjadi tampak tidak ada artinya. Cinta itu tidak berkurang sedikit pun kendati orang Palu’ehampir setiap hari harus menyuling air untuk sekadar memperoleh satu jerigen air layak minum. Cinta itu bertahan ketika di seluruh pulau hanya ada 10 sekolah dasar (SD) dan dua sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP) dengan jumlah guru terbatas. Cinta itu tetap mekar di tengah gelap gulita saat jaringan listrik padam pukul sembilan malam. Cinta itu masih ada juga tatkala erupsi Rokatenda menimbulkan korban. Lalu, bagaimana hal itu mungkin disikapi oleh orang luar, terutama oleh mereka yang diberi mandat untuk mengelola urusan publik seperti penanggulangan bencana? Sayangnya, terhadap pertanyaan itu, tak ada jawaban tunggal yang dapat diajukan tanpa kemudian memicu kontroversi baru. Itulah maka, sampai hari ini pun kendati pemerintah telah menetapkan Pulau Palu’e berada dalam KRB III, ada keraguan yang sangat jelas mengenai langkah yang perlu diambil. Bagi negara, tidak mungkin untuk mengambil opsi relokasi secara paksa yang jelas melanggar hak asasi setiap orang untuk bebas bergerak dan berdiam di dalam batas-batas negara. Relokasi adalah opsi, tetapi tidak pernah boleh dipaksakan. Maka, relokasi itu juga merupakan pilihan dan hanya mungkin sejauh warga negara itu sendiri yang memilihnya.
Dalam Naungan Rumah Leluhur Ketangguhan Masyarakat Palu’e Menghadapi Ancaman Gunungapi Rokatenda
Maka, atas apa pun sikap dan perilaku warga negara, sikap negara seharusnya adalah kembali kepada suara warga negara itu. Negara semestinya bertanya, dan bertanya dengan sungguh-sungguh, “Apakah suara warga negara? Apakah yang dikehendakinya?” Bahwa suara warga negara mungkin berlainan dengan apa yang dalam pandangan negara “baik” bagi warga negara itu, bukanlah soal yang utama di sini. Pun bahwa suara warga negara barangkali mengandung bahayanya sendiri. Soalnya adalah, negara wajib melaksanakan suara warga negara, sebab karena warga negaralah, maka negara dimungkinkan. Dalam konteks sosial politik, konsepsi ini mewujud dalam sistem demokrasi modern.
suara mereka yang tak bersuara
Kembali ke pertanyaan di atas, ada satu kemungkinan jawaban yang dapat diajukan dengan pertama-tama menempatkan warga negara di tempat yang sentral. Menempatkan warga negara di tempat yang sentral harus diterima jika kita mengakui bahwa urusan penanggulangan bencana adalah urusan publik. Publik itulah kuncinya. Kemungkinan itu mulai dengan kembali ke alasan adanya (raison d’etre) negara itu sendiri. Negara modern, kita tahu, ada karena ada warga negara. Dalam hal ini, warga negara adalah syarat kemungkinan bagi adanya negara. Warga negara merupakan alasan adanya negara. Dari pemahaman atas relasi negara-warga negara itu, seluruh bangunan negara modern didirikan. Ini dengan sendirinya mencakup semua konsepsi dan bentuk layanan publik yang dilaksanakan oleh negara.
1.2. Maksud Penulisan Buku Ini 5
Buku ini merupakan upaya untuk membantu orang luar memahami orang Palu’e. Memahami dimungkinkan dengan mengetahui pengalaman hidup orang Palu’e, baik yang bersifat inderawi maupun non inderawi sebagaimana yang terwakilkan dalam penggambaran tentang sikap batin dan praktik ritualitas mereka. Memang, mengetahui saja tidak pernah cukup untuk memahami, sebab pengalaman adalah sesuatu yang hanya riil bagi orang yang mengalaminya. Kita yang membaca atau mendengarkan, tanpa mengalaminya langsung, akan tetap menghadapi kesulitankesulitan mental untuk memahami. Pemahaman itu tidak akan utuh. Tetapi mengetahui tetaplah merupakan langkah awal untuk memahami. Bersama dengan pengetahuan itu, dimungkinkan bagi kita, orang-orang luar, untuk menciptakan kesan, emosi, rasa-merasa, dan bahkan kehendak untuk bersikap. Tentu saja, untuk melampaui sekadar mengetahui, yaitu untuk tiba pada pemahaman yang empatik terhadap apa yang dialami orang Palu’e, kita sendiri harus memiliki sikap rendah hati yang memadai. Cerita orang Palu’e itu tidak dapat dihadapi dengan finalitas konsepsi, sikap, intensi, dan seterusnya—singkat kata: arogansi. Jauh dari itu, cerita orang Palu’e perlu dihadapi dengan keterbukaan yang tulus, termasuk terhadap kemungkinan bahwa cerita itu dapat mengubah apa yang keliru dalam pikiran maupun hati para pembacanya.
Dalam Naungan Rumah Leluhur
Ketangguhan Masyarakat Palu’e Menghadapi Ancaman Gunungapi Rokatenda
7
BAB II
Metodologi Pedokumentasian
BAB II
Metodologi Pedokumentasian
Metodologi Pedokumentasian
2.1. Ketangguhan Menurut Orang Palu’e
8
Warga Palu’e adalah orang-orang yang memiliki daya tahan fisik yang kuat. Ini ditunjukkan dari kemampuan hidup di alam yang keras seperti Palu’e. Kekuatan orangorang Palu’e itu diakui oleh warga masyarakat di luar Palu’e. Ada guyonan bahwa orang Palu’e akan bisa hidup dalam kondisi alam yang sekeras apapun, tetapi tidak semua orang bukan Palu’e bisa bertahan beberapa hari saja di pulau itu. Tetapi orang Palu’e bukan hanya kuat secara fisik. Bagaimana pun, kekuatan fisik pada akhirnya bertumpu pada ketahanan batin atau mental manusianya. Mungkin inilah salah satu yang menyebabkan orang luar Palu’e secara stereotip sering mengatakan orang Palu’e sebagai “keras kepala.” Kekeraskepalaan itu bisa saja dimaknai sebagai suka membantah atau tidak patuh kepada otoritas. Namun, orang juga tidak dapat menyangkal bahwa keras kepala hanya mungkin jika orang memiliki keyakinan tertentu mengenai dirinya sebagai mampu untuk mandiri dan memilih jalannya sendiri. Mengenai ancaman, warga menyadari adanya bahaya dari letusan Rokatenda. Namun, mereka beranggapan berdasarkan pengalaman selama ini bahwa erupsi biasanya hanya terjadi setelah kurun waktu agak panjang dan setiap kali tidak berlangsung lama. Maka, mereka berpikir hanya perlu pergi ke tempat perlindungan yang aman di Palu’e, tanpa perlu meninggalkan pulau itu. Setelah situasi berangsur pulih, mereka dapat kembali beraktivitas seperti biasa. Seorang ibu dari Desa Tuanggeo mengatakan, ketika Rokatenda meletus pada tahun 2012 dan 2013, sebagian warga tidak ingin berlama-lama berada di pengungsian. Di pengungsian, mereka gelisah karena praktis tidak melakukan apa-apa, sedangkan ruang geraknya juga dibatasi. Pemerintah Kabupaten Sikka sendiri terus memperpanjang status tanggap darurat hingga lebih dari satu tahun. Menurut ibu itu, sekitar 2-3 bulan setelah letusan, sudah banyak warga yang kembali ke Palu’e untuk memulai lagi. Memang, ada kondisi keterbatasan yang dialami dalam berbagai hal. Tidak semua warga memiliki uang untuk memperbaiki bagian rumah yang rusak. Tetapi, dengan seadanya, mereka berupaya dan bahkan mulai bekerja menanami kebun.
Dalam Naungan Rumah Leluhur Ketangguhan Masyarakat Palu’e Menghadapi Ancaman Gunungapi Rokatenda
Sebagian orang Palu’epercaya bahwa gunungapi tidak akan menerjang mereka dan rumah mereka selama mereka tidak berdosa kepada adat dan leluhur dan tidak merusak alam yang adalah tempat tinggal para leluhur. Mereka percaya bahwa awan panas dan debu vulkanik tidak akan menghantam mereka karena adanya perlindungan dari leluhur. Mereka yang tinggal, tetapi akhirnya tewas, akan dianggap memiliki salah tertentu dalam hidupnya yang tidak diakui dan dibereskan. Sebaliknya, dengan mematuhi aturan adat dan menghargai alam, orang Palu’e percaya akan mengalami kondisi ketercukupan, di mana ada air meski tidak ada mata air, ada bahan pangan meski hanya bisa menanam sekali dalam setahun. Dari generasi ke generasi, orang Palu’e dapat bertahan dan beradaptasi dalam alam keras Palu’e.3 Pada peristiwa erupsi Rokatenda tahun 2013, ada setidaknya 23 perempuan lanjut usiadi Desa Nitunglea yang tidak mengungsi atas kesepakatan keluarga besar.Saat gunung itu erupsi, warga berdiri di depan rumah masing-masing dan memukulmukul alat apapun yang bisa menghasilkan bunyi nyaring. Sambil memukul bertalutalu, orang Palu’e berteriak kepada gunung dalam bahasa Palu’e yang kurang lebih artinya, “Kami ada, kami ada” dan, “Kami di sini, kami di sini.” Dengan cara itu, mereka hendak menyampaikan kepada arwah leluhur yang tinggal di kawah gunung bahwa mereka tidak pergi meninggalkan Palu’e dan dengan demikian menjaga adat. Orang Palu’e beranggapan bahwa rumah di mana terdapat peninggalan leluhur tidak boleh ditinggalkan dalam keadaan kosong, apalagi saat bencana. Ketika ada orang tua atau tokoh yang disayangi meninggal dunia, orang Palu’e mengambil sedikit kuku rambut almarhum untuk disimpan dalam tempat yang disucikan di rumah mereka. Menjaga rumah dalam keadaan terisi, termasuk saat bencana, merupakan kepercayaan adat yang masih dipelihara hingga hari ini, setidaknya oleh sebagian warga. Faktanya, sebagian rumah yang terletak dekat dengan puncak Rokatenda dan terancam karena berada di jalur lahar dan awan panas tidak pernah dikosongkan. Selalu ada satu atau orang anggota keluarga yang bertahan menjaga rumah sambil berteriak-teriak agar bahaya melewatkan mereka. Palu’e dari masa ke masa rupanya tidak pernah benarbenar ditinggalkan dalam kondisi yang paling terancam sekalipun. Mereka yang tetap tinggal di rumah saat Rokatenda erupsi melakukannya dengan keyakinan bahwa mereka menjaga adat dan justru mencegah malapetaka menimpa 3 Wawancara dengan warga (FGD) di Kantor Camat Palu’e, Tanggal 2 Maret 2015.
Metodologi Pedokumentasian
Yang lebih menakutkan bagi orang Palu’edibanding ancaman bencana terhadap fisik mereka justru adalah pelanggaran terhadap aturan adat. Orang Palu’e sejak kelahiran hingga kematiannya tidak dapat tanpa ritual adat. Adat ini diselenggarakan melalui para lakimosa (tetua atau tokoh adat). Seorang yang meninggal dunia hanya dapat dikuburkan oleh lakimosa. Kesalahan terhadap adat ditebus dengan melakukan ritual yang dipimpin oleh lakimosa.
9
Metodologi Pedokumentasian
keluarganya. Sebab, orang Palu’e percaya bahwa ketika rumah di mana terdapat sisa nenek moyangnya dibiarkan kosong, maka bencana akan terjadi. Mereka yang tinggal tersebut bisa dikatakan melakukannya karena memikirkan keselamatan di luar dirinya sendiri. Harus dikatakan, itulah cara orang Palu’e menghadapi bencana. Orang berpikir dapat menghindari bencana dengan menghadapi ancamannya. Inilah paradoks pengalaman orang Palu’e menghadapi bencana. Dalam arti itu, bencana yang sesungguhnya adalah ketika orang berdosa (pamali) melanggar adat nenek moyang. Pelanggaran itu yang menyebabkan bencana. Orang-orang tua yang tinggal di rumah mereka saat erupsi secara sadar memilih tindakan itu demi mencegah bencana dan memelihara kelangsungan keluarga di tanah para leluhurnya tersebut. Keyakinan orang Palu’e tersebut seakan-akan diperkuat oleh realitas di mana belum pernah ada orang yang tinggal di rumahnya saat bencana dan meninggal akibat erupsi. Orang yang meninggal adalah justru yang pergi dari rumahnya. Tentu saja, tidak semua orang Palu’e tetap tinggal di rumah saat bencana. Sebagian orang mengungsi atau diungsikan ke tempat yang lebih aman di wilayah desa tetangga. Bila kita mengacu pada peta kawasan rawan bencana yang dikeluarkan PVMBG, tampak bahwa memang ada wilayah di Palu’e yang berdasarkan data di masa lalu dan kondisi saat ini tidak berada di jalur yang dilewati lahar maupun awan panas. Wilayah-wilayah “aman” ini hanya terkena abu vulkanik.
10
Berdasarkan pemaparan atas bagaimana pemahaman dan pengalaman orang Palu’e menghadapi bencana selama ini, kiranya terlihat bahwa terdapat beberapa hal yang menonjol sebagai penuntun untuk menemukan arti ketangguhan menurut orang Palu’e. Pertama, orang Palu’e memiliki daya tahan fisik dan mental yang memungkinkan mereka hidup dalam kondisi alam yang keras seperti Palu’e. Daya tahan inikiranya berkembang seiring dengan lamanya mereka telah tinggal di pulau itu. Ada proses pembiasaan dan adaptasi. Mereka kemudian menjadi orang-orang yang terbiasa dengan situasi kehidupan yang bagi orang bukan Palu’e tampak sangat sulit, bahkan mustahil. Kedua, ada pengetahuan yang diyakini sebagai benar adanya berdasarkan pengalaman masyarakat. Ini antara lain mengenai jarak waktu antar letusan dan periode lamanya letusan.Pengetahuan ini dikembangkan sendiri oleh masyarakat sebagai pengetahuan lokal. Dengan lokal dimaksudkan pengetahuan yang memiliki konteks pada masyarakat itu. Soalnya adalah bukan sejauh mana pengetahuan itu memiliki kebenaran ilmiah, tetapi bahwa inilah pemahaman yang terbentuk dari cara mereka mengetahui tanda-tanda gunungapi. Pengetahuan semacam ini tidak bersifat kekal sehingga mungkin berubah seiring dengan pengalaman dan pemikiran masyarakat itu sendiri.
Dalam Naungan Rumah Leluhur Ketangguhan Masyarakat Palu’e Menghadapi Ancaman Gunungapi Rokatenda
Ketiga, sebagian orang Palu’e melihat bencana dengan mata batin adat dan kepercayaan leluhur. Orang takut menghadapi bencana, tetapi ketakutan itu tidak berdiri sendiri sebagai respons perasaan, insting, atau pikiran semata, melainkan selalu dalam bagaimana mereka menghidupi hidup dalam adatnya. Bencana adalah akibat dosa atau pamali. Orang Palu’e mencari penjelasan tentang bencana tidak pertama-tama pada pengetahuan ilmiah atau sejenisnya, tetapi ke dalam dirinya yang meyakini pesan-pesan para leluhurnya.
Dengan demikian, ketangguhan itu sesungguhnya sudah ada dalam diri orang Palu’e dalam bentuk cara beradanya (mode of being). Hanya orang Palu’e bisa tinggal di Palu’e secara turun temurun. Hanya mereka pula yang bisa menghadapi ancaman erupsi Gunung Rokatenda dengan cara beradanya yang khas. Ketangguhan itu adalah wujud dari cara berada orang Palu’e yang berkembang menurut cara beradanya tersebut.
Metodologi Pedokumentasian
Maka, ketangguhan menjadi bukan perkara antropologi (manusia), apalagi sosiologi (masyarakat), tetapi teologi (di luar diri manusia dan masyarakat). Teologi di sini bukan kepercayaan bahwa Tuhan itu ada (teis) seperti dalam keyakinan agama-agama Abrahamik, tetapi bahwa “ada sesuatu” yang melampaui inderawi (pancaindera maupun batin) manusia. Sesuatu itu dipandang dengan cara berpikir negatif, yakni bagaimana agar terhadap sesuatu itu, manusia tidak berdosa. Dengan tidak berdosa, bencana bisa dihindari.
2.2. Langkah-langkah Pendokumentasian
11
Pengumpulan data untuk pendokumentasian ini dilakukan di Pulau Palu’e yang secara administratif berada di satu kecamatan. Kegiatan difokuskan di desa-desa yang paling terdampak oleh erupsi Rokatenda pada tahun 2012-2013, yaitu Desa Lidi, Desa Nitunglea, dan Desa Rokirole Peneliti juga menggunakan panduan adanya cerita-cerita “ketangguhan” mengenai bagaimana orang Palu’e menghadapi bencana berdasarkan informasi yang diperoleh secara snowballing. Dari informasi yang diperoleh, peneliti mendatangi calon responden yang diduga mengetahui informasi terkait. Pendokumentasian ketangguhan masyarakat Palu’e dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif, di mana informasi digali secara mendalam melalui wawancara dengan narasumber yang dianggap memahami obyek yang diteliti. Cara ini memungkinkan adanya kekayaan dan kedalaman eksplorasi dan deskripsi. Informasi kemudian ditriangulasikan dengan menemui sumber yang berbeda serta memakai teknik yang berlainan (wawancara, observasi, dan analisis data dokumen). Secara rinci, beberapa tahap penelitian yang dilakukan adalah sebagai berikut:
1. Menafsirkan ketangguhan menurut orang Palu’e
Metodologi Pedokumentasian
Langkah ini adalah awal dengan mana peneliti membangun hipotesis untuk diuji dalam penelitian. Rumusan awal pengertian ketangguhan diperoleh dari wawancara kelompok dengan warga masyarakat Palu’eyang terlibat sebagai peneliti lokal dalam kegiatan pendokumentasian ini. Mereka diminta menceritakan hal-hal apa saja yang terjadi dalam pengalaman masyarakat menghadapi erupsi Rokatenda dan dalam hal apa masyarakat menunjukkan kemampuan menghadapinya. Keterangan tersebut dibahas bersama untuk menghasilkan sebuah rumusan mengenai ketangguhan menurut orang Palu’e.
12
2. Merumuskan hipotesis indikator ketangguhan Berdasarkan gambaran awal itu, peneliti menyusun sejumlah indikator ketangguhan yang digunakan untuk membuat pertanyaan-pertanyaan kunci dalam penelitian lapangan. Indikator tersebut sifatnya hipotesis. Kebenarannya mungkin akan berubah berdasarkan temuan di lapangan. Peneliti menghasilkan 38 indikator ketangguhan. 3. Pengumpulan data sekunder Peneliti mengumpulkan data sekunder dari instansi terkait, seperti Pemerintah Kabupaten Sikka, Badan Pusat Statistik (BPS), Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), dan pihak lainnya. Selain diolah menjadi informasi untuk mengkonstruksikan laporan, data sekunder juga digunakan sebagai bekal dasar untuk mengembangkan pertanyaan dalam wawancara. 4. Wawancara mendalam Wawancara mendalam (in-depth interview) dilakukan dengan responden yang dinilai mengetahui informasi yang dicari. Responden utama pendokumentasian ini meliputi warga masyarakat Palu’e, tokoh adat (mosalaki), Pemerintah Kecamatan Palu’e, gereja, dan lembaga swadaya masyarakat. Mayoritas wawancara dilaksanakan secara berpasangan (tandem), di mana satu wawancara dilakukan oleh dua orang. Pertanyaan wawancara merujuk pada kuesioner, tetapi peneliti dapat mengembangkan sesuai informasi yang diperoleh dengan tetap mengacu pada relevansinya dengan tujuan pendokumentasian. Dalam proses pengumpulan data primer lewat wawancara ini, peneliti sempat mengikuti sebuah prosesi ritual adar Po’o di Desa Ladolaka yang memiliki wilayah adat kelakimosaan hingga Desa Lidi. Pengalaman melihat dan merasakan secara langsung ini membantu para peneliti untuk membayangkan arti ritual bagi orang Palu’e.
Dalam Naungan Rumah Leluhur Ketangguhan Masyarakat Palu’e Menghadapi Ancaman Gunungapi Rokatenda
5. Wawancara kelompok Wawancara kelompok dilakukan beberapa kali di Palu’e dengan bantuan pihak pemerintah kecamatan dan BPBD. Dalam wawancara kelompok, peneliti juga meminta responden melakukan beberapa kegiatan, seperti membuat peta musim dan lain-lain. Wawancara kelompok digelar di Desa Nitunglea, Rokirole, dan Tuanggeo.
Temuan lapangan ditabulasi dan dianalisis dengan tetap melibatkan warga Palu’e yang menjadi peneliti lokal. Informasi yang belum direka sebelumnya saat penyusunan hipotesis dan indikator ketangguhan ditambahkan dalam kategori-kategori baru. Berdasarkan informasi yang ada, peneliti merumuskan aspek-aspek mendasar yang menjadi jantung ketangguhan masyarakat Palu’e. Informasi lain yang penting disusun untuk memperkuat hasil analisis. 7. Penulisan dokumentasi Hasil analisis temuan selanjutnya menjadi bahan utama untuk mengkonstruksikan isi tulisan dokumentasi. Penulisan juga menggunakan data pendukung lainnya yang relevan, seperti dari sumber literatur terkait. 2.3. Gambaran responden Total responden untuk proses pendokumentasian ini sebanyak 86 orang, terdiri atas 66 laki-laki dan 20 perempuan. Para responden berasal dari unsur pemerintah kecamatan, pemerintah desa, pemimpin gereja (pastor), tokoh adat atau lakimosa, tokoh masyarakat, masyarakat adat, petani, nelayan, guru, kader posyandu, petugas kesehatan, tokoh perempuan, pegawai negeri, petugas pengamat gunung api, relawan, pengelola radio komunitas, petugas LSM, dan petugas PGA Rokatenda.
Metodologi Pedokumentasian
6. Analisis temuan
13
Dalam Naungan Rumah Leluhur
Ketangguhan Masyarakat Palu’e Menghadapi Ancaman Gunungapi Rokatenda
15
BAB III
Kesejarahan dan Mitologi Palu’e
BAB III
Kesejarahan dan Mitologi Palu’e
kesejaRAHAn dan mitologi palu’e
3.1. Asal mula Palu’e
16
Gambar 1 Pulau Palu’edilihat dari Laut Flores (Sumber: Dokumentasi tim, 2015)
Palu’e merupakan salah satu pulau yang terletak dalam gugusan enam pulau yang terletak sekitar 70 mil jauhnya di utara Pulau Flores. Dari sebuah artikel pertama dalam kumpulan Early Journal Content on JSTOR4, Cameron (1865) menuliskan catatan perjalanannya mengenai sebuah pulau yang disebut Paluweh. Paluweh adalah pulau yang kering, tidak memiliki air, berbatu karang dan tanahnya liat. Dia menghitung 4 Adalah kumpulan jurnal-jurnal awal yang ditulis oleh para peneliti yang tergabung dalam the Royal Geographic Society. Kumpulan Jurnal ini bisa dilihat dalam http://about.jstor.org/participate-jstor/ individuals/early-journal-content. Artikel John Cameron tentang Palu’e merupakan salah satu artikel pertama yang diterbitkan tentang Palu’e.
Dalam Naungan Rumah Leluhur Ketangguhan Masyarakat Palu’e Menghadapi Ancaman Gunungapi Rokatenda
Dalam tulisannya, Cameron menyatakan keheranannya atas penamaan Paluweh oleh orang-orang Malay Melayu, yaitu yang diartikan pulau air.Kata Iweh, yang disadur dari Sumatera oleh orang – orang yang tinggal di gugusan pulau di Laut Selatan (Malay),memiliki pengertian air: Pulo – Pulau, dan Iweh – air. Mengherankan, karena di pulau ini tidak dijumpai setetes pun air tawar. Cameron mencatatkan bahwa orangorang pribumi minum dari hasil sadapan pohon ara. Mereka juga menyadap pohon pisang dan bambu untuk mendapatkan air. Pada sebuah dokumen yang diteliti oleh Vischer (1992), bertanggal tahun 1699, Raja Gowa dari Sulawesi Selatan mengklaim bahwa pulau ini adalah wilayah kekuasaan kerajaan Gowa. Disebutkan juga, bahwa orang-orang Palu’e memiliki keahlian dan dikenal sebagai pembuat kapal. Kapal-kapal buatan mereka dipertukarkan dengan senjata dan juga gading. Keahlian membangun kapal ini menunjukkan bahwa ada kemungkinan nenek moyang orang Paluweh juga ada yang berasal dari Sulawesi. Sementara itu mitologi Palu’e mengenai nenek moyang berasal dari tempat nun jauh di Barat, dipercaya adalah dari wilayah Lio di daratan Flores. Hal ini dikarenakan kedekatan struktur bahasa Palu’e dengan bahasa suku Lio di Ende, Flores. Pada akhir penjajahan Belanda di Indonesia, sekitar tahun 1906, Pulau Palu’e dikalahkan dan tunduk kepada kekuasaan Don Thomas, raja Sikka dari daratan Flores yang merupakan pemimpin lokal yang ditunjuk Belanda pada masa itu. Perpanjangan tangan raja Sikka yang juga masih merupakan kerabatnya, ditugaskan sebagai wakil yang berkuasa wilayah Palu’e. Wakil raja Sikka disebut Kapitan, dan daerah kekuasaannya disebut Hamente. Warga Hamente diwajibkan membayar pajak dan juga diperbudak untuk melakukan berbagai pekerjaan atas perintah Kapitan. Praktik kekuasaan raja Sikka ini kemudian perlahan menghilang, terutama setelah masuknya para imam SVD dari gereja Katolik di tahun 1930-an dan juga pendudukan Jepang di tahun 1940-an. Pada tahun 1966, Palu’e kemudian mengadopsi sistem desa, dan terbentuklah enam desa pertama di pulau ini, yaitu Nitunglea, Rokirole, Lidi, Tuanggeo, Kesokoja dan Maluriwu. Kemudian, dua desa dimekarkan pada tahun 1990-an, yaitu Desa Ladolaka dari Desa Tuanggeo dan Desa Reruwairere yang mekar dari Desa Maluriwu6. Saat ini, Pulau Palu’e dengan delapan desanya masuk secara administratif sebagai satu kecamatan, yaitu Kecamatan Palu’e, yang merupakan bagian dari Kabupaten Sikka, Provinsi Nusa Tenggara Timur. 5 Karakteristik sosok manusia Palu’e diteliti oleh Glinka, (2015) terdapat pada manuskrip berjudul Ata Nua Lu’a: Karakteristik Antropometris, Usul-Asal, Pertumbuhan, dan Lingkaran Perkawinan 6 Wawancara dengan Sekretaris Camat Palu’e, tanggal 28 April 2015
kesejaRAHAn dan mitologi palu’e
ada sekitar 5.000 jiwa mendiami Paluweh. Orang-orang pribumi yang dia temui disebutkan berbadan kurus, kecil, memiliki rambut yang keras dan kusut. Tubuhnya kotor dan hanya berpakaian secarik kain yang meliliti pinggang.5
17
kesejaRAHAn dan mitologi palu’e
Pada awalnya, semua kampung yang ada di Pulau Palu’e, dibangun di atas perbukitan, dengan maksud melindungi dari serangan musuh. Pada masa kekuasaan raja Sikka, kampung-kampung dibentengi untuk menghindari perampokan ataupun penculikan warga untuk dipaksa menjadi budak. Antar kampung dihubungkan dengan jalan setapak, yang dibangun mengitari bukit dan menyeberangi alur-alur kali yang banyak terdapat di wilayah ini.
18
Dalam perkembangan zaman, warga kampung-kampung di atas bukit kemudian mulai turun dan membuka kampung di pesisir. Rumah-rumah yang dibangun kemudian kebanyakan mengikuti kontur alam dan ketersediaan lahan. Seiring dengan perpindahan permukiman ini, luas wilayah administrasi sebuah kampung pun bertambah. Ada kampung yang wilayahnya memanjang, meliputi area di bukit hingga ke pesisir. Perubahan wilayah administratif dari Hamente menjadi desa-desa, tidak serta merta mengubah wilayah klan/adat yang disebut tana. Di Palu’e ada 12 tana, dimana tujuh diantaranya melaksanakan adat potong kerbau, tana laja karapau dan lima lainnya melakukan ritual dengan memotong babi, tana laja wawi. Permukiman yang dibangun mengikuti kelompok adat yang terdapat di dalam tana. Kelompok adat ini ditandai dengan adanya pendirian tugu dari batu yang disusun. Rumah-rumah warga adat kemudian dibangun mengelilingi tugu ini. Dalam lingkup wilayah administratif, untuk memudahkan mengenali tana-tana ini,limatana laja karapau berada di wilayah desa-desa yang memiliki kepala dan ekor, yaitu Desa Nitunglea, Lidi, Rokirole, Tuanggeo dan Ladolaka. Sementara tana laja wawi berada di desa-desa pesisir, yaitu Maluriwu, Reruwairere, Kesokoja.7 3.2. Nua Lu’a: Mitologi Palu’e Alkisah sepasang suami istri dari tempat nun jauh di barat melakukan perjalanan mengarungi lautan.8 Perahu mereka membawa Watu Tana; batu dan tanah, yang kemudian membentuk satu batu karang yang dalam bahasa lokal disebut Lu’a (Lu = karang, a = satu). Karang itu tumbuh membesar, dan membesar sampai akhirnya membentuk Nua, atau sebuah kampung9. Tempat ini kemudian dinamai Nua Lu’a, kampung di atas pulau karang dengan puncak gunung di tengahnya. Selain membawa batu dan tanah, mereka juga membawa padi dan air serta biji-bijian lain. Namun padi dan air tumpah ke laut. Itulah sebabnya tidak terdapat mata air di Lu’a, dan tanaman padi tidak dapat tumbuh dan berbuah. 7 Dijelaskan dalam penelitian Vischer, 1992, juga hasil wawancara (Margono Ropi, Ladolaka) tanggal 28 April 2015 8 Kisah orang-orang pertama yang datang ke Pulau Palu’e diceritakan dalam berbagai versi, salah satunya adalah yang terdokumentasi dalam penelitian Vischer, 1992. 9 Nua dalam bahasa Palu’e diartikan rumah.
Dalam Naungan Rumah Leluhur Ketangguhan Masyarakat Palu’e Menghadapi Ancaman Gunungapi Rokatenda
Dalam mitologi Palu’e, pulau ini dibayangkan sebagai seekor binatang, di mana bagian yang tinggi yaitu gunung adalah kepala, dan pantai adalah kaki. Perumpamaan ini berlaku pada pembagian wilayah dimana ada kepala dan kaki. Pada kawah di gunung, dipercaya arwah nenek moyang berdiam dan membangun sebuah kampung. Ata Lu’a percaya bahwa ketika mereka meninggal maka roh mereka akan pergi dan bergabung dengan nenek moyang di kampung dalam kawah gunung tersebut.10Ketika tanah bergoyang dan batu terlempar dari gunung, masyarakat Palu’e akan berteriakteriak dalam bahasa lokal mengatakan ‘kami disini, kami disini.’ Ini dilakukan untuk mengingatkan bahwa masih ada manusia yang tinggal di atasnya. Ada pula mitologi mengenai Era Wula Watu Tana, yaitu sosok tertinggi yang dianggap sebagai awal dari segala yang ada. Era Wula Watu Tana adalah Matahari Bulan Batu Tanah. Matahari dan Bulan adalah sosok yang menjaga kehidupan, Batu dan Tanah adalah yang memberi kehidupan. Era Wula Watu Tana adalah sosok mistis, kepada siapa masyarakat Palu’e mempersembahkan kurban bagi kelangsungan hidup mereka. Cerita lain menyebutkan, adalah Siga, seorang perempuan tangguh yang berlayar dari Hindia Malaka, menjelajahi pulau demi pulau, lalu menetap di Ende. Ia melangsungkan kehidupannya dengan bercocok tanam, namun akhirnya melanjutkan penjelajahannya ke pulau lain yang bernama Pulau Palu’e. Seorang lain, bernama Pio, adalah seorang lelaki yang mengarungi lautan dalam ruas bambu dan terdampar di Palu’e. Siga dan Pio menikah dan melanjutkan kehidupannya di Palu’e. Diceritakan bahwa tempat pertama mereka tinggal adalah kampung Lei, yang berada pada desa yang saat ini dikenal dengan nama Desa Tuanggeo. Untuk memperbanyak harta dan keturunannya, Siga dan Pio membajak kapal-kapal yang lewat melintasi perairan Palu’e. Kapal-kapal ini ada yang berasal dari daratan Flores, Bugis, juga dari Portugis. Hasil bajakan diambil dan anak buah kapal dijadikan tawanan, dan dijadikan suami atau istri orang Palu’e, dan tinggal di pulau tersebut. Itu sebabnya di Palu’e ada keturunan dari beberapa suku yaitu Suku Cinde, Suku Bugis, dan Suku Lio.
10 Didapat dari hasil wawancara dengan (Yohannes Remi, Ladolaka) tanggal 3 Maret 2015 dan juga tercatat dalam penelitian Vischer, 1992.
kesejaRAHAn dan mitologi palu’e
Sepasang suami istri dari barat tersebut kemudian tinggal dan memulai kehidupan di atas Lu’a, berbekal biji-bijian yang masih ada. Mereka mulai tinggal dan membangun kehidupan baru di atas karang yang semakin membesar. Mereka dipercaya merupakan nenek moyang orang-orang Lu’a. Sementara orang-orang yang kemudian bermukim dan tinggal didalamnya disebut Ata Lu’a; Orang–orang yang tinggal di atas satu batu karang. Nua Lu’a kemudian dikenal dengan namaPalu’e. Palu’e dalam bahasa lokal sendiri berarti mari pulang; Palu – Pulang, e – Mari.
19
3.3. Memaknai Mitos
kesejaRAHAn dan mitologi palu’e
Berbagai kisah mitologi itu masih dihayati oleh orang Palu’e sampai hari ini. Mitos merupakan bahasa simbolik untuk menyatakan pengalaman yang melampaui apa yang inderawi. Maka, dalam mitos, yang penting bukanlah pemaknaannya untuk memperoleh kebenaran faktual. Orang yang mencoba memahami mitos hanya dengan sejauh mana korespondensi maupun koherensinya dengan fakta-fakta inderawi niscaya terbentur pada jalan buntu. Sebaliknya, mitos hanya dapat dipahami dengan bahasa mitos itu sendiri, yaitu bahasa analogi.
20
Analogi adalah bahasa yang dipakai untuk menunjuk kepada sesuatu yang tidak sama, tetapi tidak sepenuhnya berlainan, namun ada melampaui (pengalaman) kita. Bahasa yang kita gunakan sehari-hari selalu berangkat dari realitas inderawi. Bahasa sehari-hari itu tidak memadai untuk berbicara tentang sesuatu yang melampaui pengalaman kita, misalnya tentang Tuhan, sebab Tuhan sama sekali tidak inderawi. Karena itu, yang mungkin bagi manusia adalah memakai analogi. Kebenaran mitologi terletak pada kemampuannya untuk memberdayakan mereka yang menghayatinya.Mitos tersebut bukan benar atau salahnya, tetapi bagaimana keyakinan terhadap mitos dihidupi. Ini dengan demikian merupakan cara berada manusia yang meyakini mitos itu. Di Palu’e, kampung-kampung berpusat pada tugu adat yang didirikan di tengah kampung, biasanya dipimpin oleh seorang yang lahir dari keluarga pertama yang mengklaim dirinya sebagai orang pertama yang tiba di tanah tersebut (yang membuka kampung). Pemimpin ini disebut lakimosa11;laki-lelaki, mosa-besar, lelaki besar. Wilayah adat yang dipimpinnya disebut dengan kelakimosaan; wilayah yang dipimpin oleh seorang lelaki besar. Mengikuti mitologi penggambaran Palu’e sebagai seekor binatang, kampungkampung adat, yang tersebar dari pesisir hingga ke bukit, atau dekat dengan wilayah kaki gunung, disebut sebagai kelakimosaan yang memiliki ekor dan kepala. Ekor adalah wilayah pesisir dan kepala adalah wilayah gunung. Dalam pelaksanaan ritual adat, ekor dan kepala ini penting, karena merupakan simbol dalam prosesi persembahan dilakukan untuk memberi makan leluhur yang melindungi kampung mulai dari pesisir hingga puncak gunung. Mitos dan historisitas orang Palu’e saling melengkapi. Orang Palu’e semenjak dilahirkan 11 Penamaan lakimosa yang dipakai di pulau ini merujuk pada kepala adat dan tua-tua adat dalam struktur adat yang diakui warga adat setempat. Di daratan Flores biasanya disebut mosalaki dengan arti yang kurang lebih sama. Meski diartikan dengan Lelaki besar, lakimosa juga bisa disematkan pada perempuan yang ditunjuk menggantikan suami-nya (yang merupakan lakimosa), jika sudah meninggal.
Dalam Naungan Rumah Leluhur Ketangguhan Masyarakat Palu’e Menghadapi Ancaman Gunungapi Rokatenda
Menjadi tidak mengherankan kemudian bahwa orang akan sangat sulit memahami orang Palu’e tanpa memahami mitos dan kesejarahan yang melingkupinya. Dalam hal ini, bukan cerita mitos dan sejarahnya itu sendiri, tetapi pemaknaan orang Palu’e terhadapnya. Masa lalu sejarah dan mitos tersebut menentukan masa kini dan masa depan. Maka, tindakan kolektif orang Palu’e juga tidak terlepas dari bagaimana mereka memaknai keberadaannya, baik ditinjau dari aspek sejarah maupun mitologi. Orang Palu’e sadar betul bahwa keterikatan kepada pulau itu adalah keterikatan kepada para leluhurnya. Palu’e sejak semula bukan merupakan tempat bermukim yang mudah. Malah, pulau gersang nan terpencil dari mana-mana ini memberikan banyak kesulitan bagi mereka yang tinggal di sana. Namun, rumah tetaplah rumah. Seluruh identitas diri kolektif orang Palu’e terbentuk di pulau ini. Kami orang Palu’e: dulu, sekarang, dan kelak. Tidaklah mengejutkan bahwa kemelekatan tersebut membuat sebagian orang Palu’e sangat enggan untuk meninggalkannya. Betapa tidak bila meninggalkan Palu’e akan berarti meninggalkan sebagian besar—untuk tidak mengatakan seluruh—keberadaannya sebagai manusia dengan historisitas dan jejak diri kolektif yang sejak awal begitu kuat.
kesejaRAHAn dan mitologi palu’e
hingga matinya sangat kental dengan ritual adat oleh lakimosa. Adat tersebut bukan sekadar pelaksanaan ritual demi ritual itu sendiri, apalagi yang kini banyak dipahami dengan kacamata ekonomis maupun pariwisata. Adat itu adalah mitos itu sendiri yang dipahami sebagai cara-berada manusia Palu’e. Di dalam adat itu, orang Palu’e menjalani hidupnya.
21
Dalam Naungan Rumah Leluhur
Ketangguhan Masyarakat Palu’e Menghadapi Ancaman Gunungapi Rokatenda
23
BAB IV
Rokatenda dalam Kehidupan Orang Palu’e
BAB IV
rokatenda dalam kehidupan masyarakat palu’e
Rokatenda dalam Kehidupan Orang Palu’e
24
4.1. Gunung Rokatenda Gunung Rokatenda merupakan gunung api bertipe stratovolcanoyang berdiri tegak di tengah Pulau Palu’e, yang terletak di seberang Pulau Flores. Puncaknya hanya setinggi 875 mdpl, namun sebenarnya dia menjulang 3.000 meter dari dasar laut. Kemmerling, seorang ahli geologi yang memimpinVulkaan Bewakings Dients (Dinas Penjagaan Gunungapi) bentukan pemerintah kolonial, melakukan perjalanan ke pulau ini pada tahun 1920-an. Dia menyebutkan bahwa sekeliling gunung hingga ke puncak sebagian kosong, pada bagian lain berhutan.12 Van Padang (1930) memetakan gunung ini dalam kurun waktu 1928 hingga 1930, segera setelah letusan besar yang mengguncang Pulau Palu’e pada Oktober 1928.
Gambar 2 Topografi Palu’e (Sumber: Dokumentasi tim, 2015)
12 Neumann van Padang, History of volcanology in the East Indies, Scripta Geol. 71 (1983).
Dalam jurnal yang ditulisnya, Van Padang memetakan bagian kawah di sekitar Gunung Rokatenda. Ada 6 kawah purba dan 3 kubah lava di sebelah selatan gunung. Pengamatannya juga menyatakan bahwa ada 4 buah kawah baru yang baru terbentuk13. Penelitian Sutawidjaja (2007) menyebutkan, areal puncak Rokatenda tidak beraturan, terdiri dari beberapa kawah yang saling bertumpuk selebar kurang lebih 900 m dan memiliki (hanya) dua buah kawah serta tiga buah kubah lava di puncaknya yang terbentuk akibat letusan besar beberapa kali di masa lalu. OrangPalu’e sendiri memahami ada beberapa kawah di puncak gunung, kawah tertua dan sudah hampir rata mereka sebut Manunai.14 Manunai adalah gunung purba yang letusannya ditelusuri hingga ke tahun 1650-an. Rokatenda merupakan nama baru yang diberikan untuk mengenali gunung baru (kubah baru) yang muncul lalu meletus pada tahun 1928. Van Padang (1930) menggunakan nama Rokatenda untuk menyebutkan kawasan kawah yang terbentuk dari letusan kubah lava dalam laporannya. Demikian juga kubah lava yang terbentuk dan meletus pada tahun 1964 dan 1982 disebut Rokatenda. Sementara itu, kawah bentukan letusan tahun 2013 lalu, diberi nama Ata(gunung) Riwu atau Rowa riwu15. Demikian juga, kubah lava yang saat ini ada dan masih bertumbuh diberi nama sama; Rowa riwu. Namun secara umum, terutama bagi pihak luar seluruh kawasan gunung ini dikenal dengan nama Rokatenda.
rokatenda dalam kehidupan masyarakat palu’e
Dalam Naungan Rumah Leluhur Ketangguhan Masyarakat Palu’e Menghadapi Ancaman Gunungapi Rokatenda
25
Gambar 3 Topografi Palu’e (Sumber: Dokumentasi tim, 2015)
13 Neumann van Padang, History of volcanology in the East Indies, Scripta Geol. 71 (1983). 14 Hasil wawancara dengan warga Palu’e (Thomas Teka, Kepala Desa Rokirole), tanggal 3 Maret 2015. 15 Hasil wawancara dengan warga Palu’e (Yohannes Sogo), tanggal 3 Maret 2015.
rokatenda dalam kehidupan masyarakat palu’e
Seorang tua adat mengemukakan bahwa Rokatenda memiliki makna yang diyakini oleh orangPalu’e menjauhkan mereka dari bahaya. Menurut sang tua adat, makna dari Rokatenda adalah ketika salah satu warga Palu’e mengeluarkan kata-kata tidak baik, maka dengan sendirinya warga tersebut akan terluka (pamali)16. Secara asal kata, nama Rokatenda sendiri berasal dari dua kata, yaitu Roka dan Denda; Roka adalah daun kelapa atau dahan yang licin, sedangkan Denda adalah sandaran yang tindih menindih. Penamaan kubah baru oleh masyarakat lokal menunjukkan kedekatan mereka dengan Gunung Rokatenda. Orang Palu’e menganggap bahwa Gunung Rokatenda adalah rumah dari para leluhur mereka. Setiap kubah baru yang terbentuk, ibarat sebuah rumah yang sedang dibangun untuk tempat tinggal para leluhur. Untuk mengenali rumah baru ini, masyarakat memberi nama yang berbeda, sebagai simbol penghormatan masyarakat kepada nenek moyang. Sebagai rumah para leluhur, orang Palu’e meyakini bahwa keberadaan Gunung Rokatenda adalah sesuatu yang mesti disyukuri. Menurut warga, gunung tidak pernah mengancam mereka, gunung tidak pernah bertujuan membuat wai walo ana alo menderita. Bencana yang terjadi adalah akibat ulah manusia, dan mereka yang menjadi korban adalah dikarenakan kelalaian dan tidak mendengarkan perintah adat. 4.2 Bencana Dan Hilangnya Ketangguhan
26
Dahulu konsep bencana orang Palu’e adalah kemarahan leluhur pada manusia, dengan menggoyangkan badan dan ekor (gempa bumi) dan mengeluarkan asap dan api (letusan gunung).17 Ini adalah akumulasi kesalahan-kesalahan manusia yang menyebabkan panas. Jika panas ini menjadi, akan terjadi bencana. Maka perlu dilakukan ritual pendinginan dengan mempersembahkan makanan ataupun darah hewan kurban. Di penghujung tahun 1980an, ada ditemukan kedekatan yang tidak biasa antara saudara kandung (melakukan incest).18 Hal ini adalah pelanggaran besar terhadap aturan adat di Palu’e. Tidak lama berselang, pada tahun 1981 Rokatenda meletus. Letusan gunung pada tahun itu diyakini merupakan cara leluhur menunjukkan kemarahan terhadap Wai walo ana alo; warga adat kelakimosaan yang sudah berbuat tidak baik dan melukai hati orang-orang Palu’e. Warga kemudian meminta Lakimosa memimpin ritual adat untuk meredakan amarah leluhur. Ritual adat dilakukan untuk mengingatkan warga adat, bahwa meski jauh di perantauan, harus tetap menjaga kehormatan Palu’e, menghindari perbuatan tidak baik. Pada sebagian besar warga, konsep ini masih berlaku hingga sekarang. Bencana ada akibat ulah manusia. Kegiatan16 Hasil wawancara dengan warga Palu’e (FGD, Kantor Camat) Tanggal 2 Maret 2015. 17 Terdapat dalam catatan penelitian Vischer, 1992. 18 Terdapat dalam penelitian Vischer, 1992
Dalam Naungan Rumah Leluhur Ketangguhan Masyarakat Palu’e Menghadapi Ancaman Gunungapi Rokatenda
Pada orang Palu’e, kisah para korban dalam setiap letusan Rokatenda menjadi cerita tersendiri. Orang Palu’e meyakini bahwa warga yang menjadi korban meninggal pada letusan tahun 1981, terjadi karena menantang gunung. Setelah terus menerus mengeluarkan asap dan gemuruh kecil-kecil, warga ini berseru ke gunung sambil berkata, “Ah kalau memang baik, beri kami apilah,” karena saat itu mereka ingin memasak. Hingga akhirnya mereka terkena batu dan kerikil panas, terbakar dan akhirnya meninggal. Demikian juga korban meninggal pada Agustus 2015, terjadi karena kelalaian mereka. Kelima korban yang meninggal sudah diingatkan untuk tidak pergi melaut pada malam itu, karena masih ada phije, larangan bekerja. Namun, mereka tidak mendengar, tetap ingin turun ke laut. Mereka tertidur di tepi pantai, tepat di mulut kali Oje Ubi yang merupakan lintasan aliran lahar panas pada letusan pagi hari Agustus 2015. Kelima korban tersapu aliran lahar panas dan meninggal. Orang Palu’e berpandangan bahwa jika tidak ada gunung, maka mereka tidak akan hidup. Gunung memberi kehidupan, karena material letusannya lama kelamaan akan menyuburkan lahan mereka.19 Tanaman akan bertumbuh tanpa perlu menggunakan pupuk, bahkan tanpa banyak air. Setahun setelah letusan tahun 2013, warga naik ke wilayah kaki gunung untuk melihat kondisi lahan, dan menemukan ubi tumbuh dengan subur, dan buahnya besar-besar. Sehingga meski lahan belum bisa langsung ditanami, namun mereka tidak kelaparan. 4.3. Adat sebagai Cara Hidup Kehidupan masyarakat di wilayah Rokatenda, sarat dengan tradisi lokal. Bagi warga Palu’e, adat adalah cara hidup. Adat menuntun mereka dalam menjalani aktivitas keseharian. Adat mengatur hubungan mereka dengan alam. Adat juga mengatur hubungan kekerabatan, antar saudara. Adat mengatur tidak hanya hubungan suami istri, namun juga hubungan antar keluarga asal suami dan keluarga asal istri. Adat mengatur tata cara pernikahan dan proses pemakaman warga adat yang meninggal. Kesemuanya ini dijalin dalam kesatuan kepercayaan terhadap Era Wula Watu Tana. Lakimosa memainkan peranan yang sangat besar dalam cara hidup bermasyarakat. Lakimosa tidak bekerja sendiri ada kelompok tua-tua adat yang disebut Ina, yang membantu. Para Ina bertindak sebagai penasehat; memberi masukan sebelum pengambilan keputusan dilakukan oleh lakimosa. Selanjutnya adalah warga adat yang disebut dengan Wai Walo Ana Alo. Warga adat berperan dalam melakukan 19 Hasil wawancara dengan warga Palu’e (Yohannes Sogo), tanggal 3 Maret 2015
rokatenda dalam kehidupan masyarakat palu’e
kegiatan yang melanggar aturan adat terutama dianggap sebagai pemicu terjadinya bencana.
27
rokatenda dalam kehidupan masyarakat palu’e
ritual, mempersiapkan makanan, melayani para tamu, dan pekerjaan lain yang dimintakan.
28
Segala kebajikan dan pengetahuan adat tertuang dalam sebuah konsep yang disebut dengan hada. Hada adalah doa-doa yang diuntaikan dalam ritual, adalah juga syair yang dilagukan dan ditarikan dalam perayaan adat. Hada diturunkan dari generasi ke generasi. Tidak semua orang dapat menyebutkan doa-doa ataupun nyanyian adat ini. Doa-doa tertentu hanya boleh diucapkan oleh Lakimosa. Hada juga adalah aturan-aturan adat, mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Didalamnya tercantum larangan adat dan sanksi bagi yang melanggar. Jika Wai walo Ana Alo melanggar adat, maka dia harus membayar sanksi dan meminta Lakimosa melakukan ritual pemulihan baginya. Ada beberapa ritual adat besar dan dilakukan secara periodik di pulau ini. Warga yang merupakan tana laja karapau, melakukan PuaKarapau dan Pati Karapau, upacara muat kerbau dan potong kerbau yang dilakukan masing-masing biasanya untuk periode lima tahun. Sementara itu, warga adat tana laja wawi, melakukan upacara dengan memotong babi pada tugu adat di masing-masing wilayah. Setelah upacara ini selesai, lalu diikuti dengan phije, yaitu periode berpantang atau larangan untuk melukai tanah dan bumi. Maka, aktivitas membangun rumah, perahu, tidak diperbolehkan hingga waktu yang sudah ditentukan. Demikian juga kegiatan menjual hasil tanaman atau ternak keluar wilayah adat dilarang. Juga tidak diperbolehkan membawa barang maupun uang keluar dari wilayah adat. Aturan ini berlaku bagi semua warga termasuk pendatang yang ingin masuk ke dalam wilayah adat. Pada situasi tertentu, di mana ada warga adat ingin melanggar larangan karena ada kebutuhan, maka dapat berkomunikasi dengan lakimosa. Warga adat membayar sanksi sesuai kesepakatan, dan lakimosa akan memulai pelanggaran terlebih dahulu. Misalnya, ada warga yang meninggal dan mesti dimakamkan. Menggali kubur adalah kegiatan yang melukai tanah, maka lakimosa akan menancapkan galian lebih dahulu lalu dilanjutkan oleh keluarga. Setelah upacara pemakaman selesai, phije kembali berlaku. Ritual adat lain adalah Sisasomba yaitu upacara tolak bala atau perlindungan terkait hubungan antar manusia. Ini terutama dilakukan untuk tiga hal, yaitu mendamaikan hubungan antar saudara kandung yang bertikai, memperbaiki hubungan antar suami istri, dan juga antar dua keluarga besar yang berselisih, dan terakhir adalah upacara untuk penyembuhan sakit penyakit. Pemulihan terhadap hubungan manusia dan alam yang terganggu, disebut dengan upacara Kacoronata. Ini dilakukan seperti ketika letusan Gunung Rokatenda merusak
Dalam Naungan Rumah Leluhur Ketangguhan Masyarakat Palu’e Menghadapi Ancaman Gunungapi Rokatenda
Kematian bagi warga Palu’e bukanlah akhir dari kehidupan. Roh mereka yang meninggal dipercaya akan mengikuti leluhur dan tinggal di kawah Rokatenda. Warga Palu’e juga memiliki tradisi menyimpan potongan khuku lolo; kuku dan rambut, anggota keluarga yang meninggal. Kuku dan rambut ini disimpan dalam kotak dari anyaman bambu dan biasanya diletakkan di tempat tinggi dalam rumah. Kuku dan rambut anggota keluarga lakimosa disimpan di rumah adat. Praktik menyimpan khuku lolo adalah salah satunya yang menyebabkan warga enggan meninggalkan rumah untuk mengungsi saat terjadi bencana. Meninggalkan rumah dalam keadaan kosong dianggap sebagai pengabaian terhadap kehormatan leluhur dan anggota keluarga yang sudah meninggal. Dan ini diyakini akan berakibat buruk. Merekayang datang dari gunung dalam bentuk material letusan akan membakar rumah-rumah yang kosong. Warga Kampung Ko’a, Desa Rokirole misalnya. Pada bencana letusan Agustus 2013 lalu, diputuskan bahwa laki-laki tetap tinggal di kampung, sementara perempuan dan anak-anak diungsikan ke daratan Flores. Hal ini dilakukan bekerjasama dengan pemerintah, yang menyediakan kapal pengangkut. Warga Kampung Ko’a mempercayai, setiap rumah tidak boleh kosong, karena nenek moyang akan marah, dan rumah akan terbakar habis. Di samping itu, mereka menjaga tugu adat, dan juga menjaga kampung dari hal-hal yang tidak diinginkan. Orang Palu’e pada masa-masa sebelumnya dan sebagian hingga kini akan menyampaikan tentang kondisi Rokatenda dengan cara nato cibo atau berbisik dari orang ke orang. Ini dilakukan seolah tidak ingin membangkitkan amarah leluhur yang ada di Rokatenda dengan menyampaikan ‘kegiatan’ mereka dengan banyak suara. Laki-laki akan memanjat pohon lontar kemudian menyampaikan kabar kepada orang di lingkungannya. Dalam cara komunikasi ini pun, tampak betapa orang Palu’e menaruh hormat setinggi-tingginya kepada leluhur yang berdiam di gunung. Kehidupan pada masyarakat tradisional selalu menyangkut keterikatan dengan tanah dan leluhur. Kelahiran, pernikahan hingga kematian adalah tahapan yang dilalui manusia yang tidak dapat dilepaskan dari tradisi setempat. Pada masyarakat Palu’e, hal ini dimaknai dengan penghormatan yang tinggi terhadap leluhur yang dipercaya tinggal di kawasan Gunung Rokatenda.
rokatenda dalam kehidupan masyarakat palu’e
lahan dan mengakibatkan kegagalan panen, maka warga adat dipimpin lakimosa mempersembahkan kurban untuk mendinginkan amarah alam. Upacara ini juga diikuti dengan phije dengan jangka waktu tertentu.
29
rokatenda dalam kehidupan masyarakat palu’e
4.4. Letusan dari waktu ke waktu Dari dokumentasi yang ditemukan, Gunung Rokatenda telah beberapa kali meletus besar. Ditemukan dari hasil penelitian dan observasi tanah dan batuan, Rokatenda pernah meletus pada tahun 1650. Tidak ada catatan mengenai kondisi saat itu. Setelahnya, sejarah mencatat bahwa pada kurun waktu tahun 1928–2014, Rokatenda sudah beberapa kali meletus, yang terbesar terjadi sebanyak empat kali, yaitu pada tahun 1928, 1964, 1985 dan 2013.20
30
Gambar 4 Letusan Gunung Rokatenda pada 10 Agustus 2013 (Sumber: Dokumentasi BPBDKabupaten Sikka)
Aktivitas Rokatenda sebelum letusan besar biasanya dimulai dengan erupsi kecil disertai gempa dangkal, yang kemudian diiringi tumbuhnya kubah lava dalam kawah. Pada tahun 1928, Rokatenda meletus besar setelah relatif tidak aktif sejak tahun 1650. Seluruh kawasan permukiman ditutupi abu, batu dan material gunung api, dan lontaran batu pijar sampai hingga ke daratan Flores, tepatnya di Kabupaten Ende. Letusan tahun 1928 ini diikuti dengan gelombang besar yang naik kedaratan dan menyebabkan ratusan orang warga Desa Nitunglea yang sedang berusaha menyelamatkan diri dari material letusan ke arah pesisir, meninggal. 20 Dikumpulkan dari berbagai sumber, http://www.vsi.esdm.go.id/index.php/gunungapi/data-dasargunungapi/483-g-rokatenda, penelitian Van Padang, 1930 dan Vischer, 1992.
Gambar 5 Letusan Gunung Rokatenda pada 10 Agustus 2013 (Sumber: Dokumentasi BPBD Sikka)
Pada 1 Januari 1964, muncul kubah lava yang terbentuk pada kawah bekas letusan tahun 1928, kegiatannya berlangsung lama. Korban yang meninggal 1 orang dan 3 orang luka-luka. Sementara itu, letusan pada tahun 1973 dan tahun 1981 terjadi pada kubah lava yang terbentuk di sisi barat puncak. Kubah lava baru yang muncul ini berlokasi antara Ili Manunai dengan Rokatenda. Dari catatan juru tulis di lamente, letusan tahun 1981 menyebabkan 7 orang meninggal dunia terkena material panas. Pada tahun 1985, kembali terjadi letusan yang menyebabkan semburan vulkanik setinggi 1.000-2.000 meter. Lontaran material pijar hingga sejauh 300 meter, dan menyebabkan hutan, kebun serta beberapa rumah penduduk terbakar. Lahan pertanian dan tanaman warga menjadi rusak dan masyarakat akhirnya mengungsi ke wilayah Nangahure di Kabupaten Sikka. Letusan tahun 2013 membentuk kubah lava baru. Sebelum letusan tahun 2013, Gunung Rokatenda sudah mulai menunjukkan tanda-tanda keaktifannya dengan erupsi kecil pada bulan April 2012. Sejak itu telah terjadi puluhan kali erupsi dan gempa-gempa kecil yang dirasakan hingga desa-desa pesisir.21 21 Dikumpulkan dari berbagai sumber, http://www.vsi.esdm.go.id/index.php/gunungapi/data-dasargunungapi/483-g-rokatenda, penelitian Van Padang, 1930 dan Vischer, 1992.
rokatenda dalam kehidupan masyarakat palu’e
Dalam Naungan Rumah Leluhur Ketangguhan Masyarakat Palu’e Menghadapi Ancaman Gunungapi Rokatenda
31
rokatenda dalam kehidupan masyarakat palu’e
Warga Dusun Cawaloo mengamati ada gundukan baru yang terus bertumbuh sejak April 2012. Gundukan baru ini dapat terlihat dengan jelas dari Dusun Cawaloo. Tumbuhnya gundukan disertai dengan asap putih yang selalu keluar. Sedangkan di malam hari, warga dapat melihat pijar api yangterus-menerus ada hingga letusan tanggal 10 Agustus 2013.
32
Menurut data Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, sejak bulan Oktober 2012 hingga letusan Agustus 2013, aktivitas Rokatenda ditandai dengan pertumbuhan kubah lava, adanya longsoran pijar, aliran awan piroklastik dan abu naik hingga 4 km di atas kubah. Material yang dilontarkan mencapai jarak hingga 3 km. Seluruh pulau terkena hujan abu bahkan pada beberapa titik mencapai 2 cm. Lontaran material merusak rumah dan bangunan lainnya.22 Letusan pada Oktober 2012 tersebut menyebabkan lebih dari 1.000 orang mengungsi secara mandiri ke daratan Flores, ke wilayah Kabupaten Sikka, Ende dan bahkan hingga ke Kabupaten Nagekeo. Puncaknya adalah letusan pada Agustus 2014, di mana aliran lahar di kali Oje Ubi menyapu pantai wilayah Desa Rokirole dan menyebabkan 5 orang meninggal tersapu aliran lahar ketika sedang beristirahat di pantai sebelum melaut. 4.5. Dampak Letusan Luas pulau Palu’e sekitar 41 km dengan diameter pulau hanya 4 km saja. Menurut pemetaan risiko PVMBG, setengah dari pulau ini masuk dalam Kawasan Rawan Bencana III, artinya memiliki tingkat bahaya paling tinggi, berisiko terhadap awan panas, aliran lava dan lemparan material pijar. Seluruh pulau itu sendiri masuk dalam KRB II yang berisiko tehadap lontaran material pijar dan hujan abu tebal. Ini artinya, seluruh pulau berisiko terdampak letusan Rokatenda. Gunung Rokatenda yang berada di tengah-tengah Pulau Palu’e dikelilingi delapan desa yang ada di pulau itu. Secara geografis, desa-desa ini dibagi atas dua kelompok, daerah uwa atau pesisir yaitu; Desa Reruwairere, Maluriwu, Kesokoja, dan daerah lei atau yang lebih dekat ke area puncak; Desa Ladolaka, Tuanggeo, Lidi, Rokirole dan Nitunglea. Akses transportasi terhadap desa-desa atas ini cukup sulit; terutama menuju Desa Lidi, Desa Rokirole dan Desa Nitunglea.23 22 Informasi dari kumpulan laporan buletin dalam http://www.volcano.si.edu/volcano.cfm?vn=264150, diakses pada tanggal 15 April 2015, pukul 15.12 wib. 23 Pembagian desa-desa ke dalam Uwa dan Lei adalah didasarkan pada wilayah pelayanan pastoral gereja Katolik yang memiliki dua paroki di wilayah ini, yaitu Paroki Uwa dan Paroki Lei. Adapun desadesa yang masuk kedalam Paroki Uwa adalah Reruwairere, Maluriwu,Lidi dan Kesokoja; sementara desa-desa yang masuk dalam Paroki Lei adalah Ladolaka, Tuanggeo, Rokirole dan Nitunglea. Warga kemudian menggunakan atribut kewilayahan ini untuk menyebut orang-orang uwa adalah yang bagian pesisir, sementara orang-orang Lei adalah yang lebih dekat dengan gunung. Meski demikian, tidak berlaku pada semua desa sebab seperti Desa Lidi yang memiliki wilayah desa dari pesisir hingga ke atas, sangat dekat dengan kaki gunung Rokatenda dari sebelah timur.
Dalam Naungan Rumah Leluhur Ketangguhan Masyarakat Palu’e Menghadapi Ancaman Gunungapi Rokatenda
Kebanyakan petani berladang hingga ke dekat wilayah gunung. Warga menyebutnya kebun atas, yang mereka buka hanya satu kalidalam setahun untuk menanam jagung dan tanaman komoditi seperti mete dan kelapa. Ketika Rokatenda meletus, ladangladang ini pun rusak dan hangus terkena awan panas dan aliran lahar panas. Jika terkena, ladang dan kebun tidak dapat dipanen.Petani mesti menunggu hingga 5-6 bulan sampai lahan kemudian bisa ditanami kembali. Dikarenakan curah hujan yang singkat, hanya sekitar 4-5 bulan saja pertahun; yaitu antara bulan November ke Maret, warga Palu’e hanya mampu bercocok tanam, tanaman pangan sekali dalam setahun, yaitu menanam jenis kacang-kacangan, ubi, komoditi jual. Pada musim panas yang dilakukan adalah menanam ubi atau jagung musim panas. Penghasilan penduduk didapat dari membuat dan menjual kopra, mete, dan beberapa penduduk bekerja sampingan sebagai nelayan atau penenun. Saat letusan Rokatenda merusak ladang pangan dan kebun komoditi, warga tidak lagi dapat memetik hasil yang maksimal, hingga musim panen tahun berikutnya. Itu jika lahan yang terdampak letusan sudah dapat diolah. Jika belum dapat, warga mengandalkan remunerasi dari anak atau orantua yang merantau ke luar pulau, bahkan banyak yang hingga ke negara tetangga. Erupsi kecil-kecil, gempa dangkal dan akhirnya banjir lahar panas, seperti pada kejadian tahun 2013 kali lalu, banyak merusak jalan. Ada banyak aliran air yang terbuka dan merusak kualitas jalan, aliran lahar panas disertai longsoran bahkan merusak jalan yang menghubungkan kampung–kampung di Desa Rokirole dan Nitunglea, yaitu desa-desa terjauh dengan pusat kecamatan yang terdapat di Uwa. Selain itu, fasilitas kesehatan dan pendidikan, seperti puskesmas dan sekolah-sekolah tidak dapat berfungsi dengan maksimal. Karena anjuran mengungsi dan alasan keselamatan, petugas kesehatan tidak ada di tempat, demikian juga guru-guru SD maupun SMP yang ada di Palu’e. Penyelenggaraan kesehatan dan pendidikan banyak yang dilakukan di fasilitas umum lainnya, seperti di balai desa, aula gereja dan bahkan di halaman yang dianggap aman. 4.6. Belajar dari Tahun 1928 Meskipun penelitian oleh para ahli vulakanologi menunjukkan bahwa letusan Rokatenda dapat ditelusuri hingga ke tahun 165024, catatan sejarah tentang letusan 24 http://www.volcano.si.edu/volcano.cfm?vn=264150
rokatenda dalam kehidupan masyarakat palu’e
Pengalaman letusan tahun 2013, dampak pada kesehatan manusia dikarenakan hamburan debu vulkanik Rokatenda yang langsung mengenai kulit maupun mencemari persediaan air. Penyakit yang muncul adalah atau yang paling banyak terjadi itu kasus infeksi saluran pernapasan, infeksi pada luka, penyakit kulit, dan diare.
33
rokatenda dalam kehidupan masyarakat palu’e
Gunung Rokatenda yang pertama sekali ditemukan adalah mengenai bencana tahun 1928. Berbagai dokumen yang tersedia, menceritakan betapa dahsyatnya kejadian letusan pada masa itu, dikarenakan bencana tsunami yang mengikutinya dan menyebabkan kematian sejumlah besar tidak saja orang-orang Palu’e, namun juga masyarakat yang tinggal di pesisir utara Pulau Flores.
34
Gambar 6 Pulau Palu’e dan pusat letusan tahun 1928 (Sumber: Van Padang, 1930)
Adalah Bulanan Bintang Timoer Nomor 4 Tahun 1928 yang terbit di Ende sejak tahun 1925, menuliskan secara lengkap bagaimana peristiwa letusan tahun 1928 tersebut, dan bagaimana respon berbagai pihak dalam memberikan penanganan bencana pada saat itu25. Tulisan tersebut diteliti oleh seorang pastor SVD, dan diterbitkan ulang di media Pos Kupang pada September 2013. Penggalan tulisan itu ditampilkandalam tabel berikut. Kotak 4.1. Penggalan tulisan tentang letusan Rokatenda tahun 1928 ‘Pada petang hari tanggal 4 Agustus ’28, penduduk dikejutkan amat sangat, karena dalam gunung ‘Rogoe Sengga’ kedengaran bunyi luar biasa, rupanya 25 Dokumen ini terdapat dalam arsip kantor pusat SVD (Societas Verbi Divini) di Roma, yang dituliskan kembali oleh Pastor Paul B. Kleden, SVD. dan diterbitkan di Pos Kupang, Sabtu, 21 September 2013.
seperti batu-batu yang digilingkan. Apalagi keliling gunung tanah dan bukit batu diceraikan, hingga dijadikan tubir-tubir kecil yang dalam. Penduduk pantai Selatan Palu’e ingat akan nasihat nenek moyangnya yaitu, bila gunung terlalu berbunyi harus kamu lari semua ke laut akan tetapi dahulu orang sampaikan niatnya akan turun ke pantai, segenap pulau digerakkan sangat, hingga orang yang berjalan hampir jatuh. Lalu kedengaran di dalam gunung bunyi seperti meriam raksasa. Asap tebal berarak keluar dari gunung. Lalu dengan guntur naraka terjadilah satu letusan batu berapi sampai tiga kali. Meskipun telah pukul sepuluh malam segenap pulau terang dan hawanya panas lebih dari pada tengah hari. Dengan segeranya segenap pulau ditutupi dengan batu berapi itu yang membakar segala pohon dan rumah-rumah dalam daerah gunung api itu. Sementara letusan ini di pantai terbitlah satu gelombang yang luar biasa sampai tiga kali. Tingginya ombak 10 meter. Lagi airnya panas. Gelombang ini menjadi pokok celaka, baik orang Palu’e baik orang Lio di Flores. Karena banyak orang lari dari gunung ke pantai maka itu diterima oleh gelombang dan dilemparkan pada bukit batu di laut. Demikianpun kebanyakan orang yang mati, bukan mati karena api dan batu, tetapi karena gelombang itu. Apalagi segala sampan dan perahu dipecahkan pada bukit batu. Maka gelombang itu juga merusakkan pantai Utara Flores yang berhadapan degan gunung api itu. Kira-kira seratus orang tenggelam dalam gelombang yang masuk sampai tiga ratus meter ke darat. Banyak perahu dan sampan dagang dirusakkan. Manusia yang luput dari bahaya, kehilangan segala hartanya. Berpuluh-puluh orang lari bertelanjang saja sampai kemudian orang berkasihan datang bagikan kain bagi mereka itu’. (Kutipan langsung diambil dari tulisan P. Paul Budi Kleden, SVD di Pos Kupang, 11 September 2013)
Sebelum peristiwa letusan 1928, nenek moyang orang Palu’e memberikan nasihat bahwa jika gunung bergemuruh maka cepat lari ke laut. Pada masa itu, orang-orang masih tinggal di perbukitan, lebih dekat dengan area gunung. Letusan tahun 1928 terjadi pada kubah lava yang bertumbuh yang disebut Rokatenda. Arah letusan ke selatan Pulau, pada wilayah Desa Nitunglea. Akibatnya, seluruh kawasan permukiman ditutupi oleh abu, batu dan material lainnya. Begitu dahsyatnya letusan tersebut, lontaran batu pijar sampai di utara Kabupaten Ende. Orang-orang Nitunglea, yang mengingat pesan nenek moyangnya, lari menyelamatkan diri ke laut, namun kemudian air naik ke daratan dan menenggelamkan banyak dari mereka. BPBD Sikka mencatat ada sekitar 160 jiwa yang meninggal karena sapuan gelombang laut tersebut. Peristiwa air naik ke daratan pada letusan tahun 1928 tersebut kemudian telah mengubah pandangan orang Palu’e mengenai bencana Rokatenda. Pada kejadian
rokatenda dalam kehidupan masyarakat palu’e
Dalam Naungan Rumah Leluhur Ketangguhan Masyarakat Palu’e Menghadapi Ancaman Gunungapi Rokatenda
35
rokatenda dalam kehidupan masyarakat palu’e 36
letusan tahun-tahun berikutnya, orang-orang Palu’emengubahcara penyelamatan diri mereka. Mereka membuat jalan setapak antar kampung lewat perbukitan mengitari Gunung Rokatenda, dan menghindari pesisir. Nasihat yang diberikan kemudian kepada anak cucu adalah jika gunung bergemuruh, jangan pergi ke pantai, harus menyelamatkan diri ke tempat yang terlindung. Pada letusan tahun 1964 dan tahun 1981, orang–orang Nitunglea dan Rokirole mengungsi ke Tuanggeo, melewati jurang Oje Ubi. Sementara orang-orang Desa Lidi yang berada di Utara mengungsi ke Desa Tuanggeo, melewati jalur setapak melingkari gunung yang disebut Puerere. Peristiwa itu menunjukkan bahwa orang Palu’e belajar dari pengalaman letusanletusan sebelumnya. Dengan caranya sendiri, mereka mengerti apa yang terjadi dan memasukkan pengertian baru itu dalam menghadapi letusan lain.Pengertian baru itu memungkinkan adanya cara yang lebih efektif.
rokatenda dalam kehidupan masyarakat palu’e
Dalam Naungan Rumah Leluhur Ketangguhan Masyarakat Palu’e Menghadapi Ancaman Gunungapi Rokatenda
37
Dalam Naungan Rumah Leluhur
Ketangguhan Masyarakat Palu’e Menghadapi Ancaman Gunungapi Rokatenda
39
BAB V
Bersiasat Menghadapi Erupsi
BAB V
Bersiasat Menghadapi Erupsi
bersiasat menghadapi erupsi
5.1. Sejarah Letusan
40
Catatan sejarah menunjukkan bahwa setiap letusan besar Rokatenda membawa korban jiwa, kebanyakan karena bencana ikutannya. Diperkirakan jumlah korban jiwa sejak letusan 1928 hingga yang terakhir tahun 2013 adalah 173 jiwa meninggal, 6 orang terluka dan lebih dari 5.000 jiwa terpaksa mengungsi. Kejadian terparah dan banyak mengambil korban jiwa adalah letusan tahun 1928 karena diikuti dengan gelombang tsunami setinggi 5-7meter, yang menyebabkan 160 orang di daratan Palu’e, tepatnya warga Desa Nitunglea meninggal.26 Sementara itu, letusan tahun 1964 menyebabkan 1 orang meninggal dan 3 orang terluka. Tahun 1981 ada 7 orang warga kampung Nara, Lidi yang meninggal terkena pijar api ketika sedang bekerja di ladang, sementara sejumlah 1.850 jiwa harus mengungsi ke daratan pulau Flores.27 Letusan besar tahun 2013 lalu, menyebabkan 5 orang meninggal dan 3 orang terluka akibat aliran lahar panas, dan lebih dari 2.754 jiwa kembali mengungsi ke daratan Pulau Flores. 5.2. Penanganan minus komunikasi Letusan pada tanggal 10 Agustus 2013 adalah puncak dari kumpulan erupsi sejak tanggal 27 Oktober 2012, di mana pertama kalinya Rokatenda menunjukkan tandatanda aktif hingga status siaga sejak tahun 1985. Banyak warga yang mengungsi pada letusan pertama bulan Oktober 2012 melakukannya secara mandiri. Setelah itu, Pemerintah Kabupaten Sikka mulai mengirimkan bantuan dan kapal untuk mengangkut warga terdampak yang ditempatkan di beberapa lokasi pengungsian termasuk di kantor BPBD. Pada bulan itu, pemerintah mengeluarkan status darurat untuk penanganan pengungsi, dengan status Rokatenda adalah siaga (level III). Status siaga Rokatenda terus berlangsung hingga letusan pada Agustus 2013, yang kemudian 26 Info didapat dari laporan Neumann van Padang, N.M., 1930. Tidal waves during Rokatenda volcano eruption, Paluweh island in 1928 dalam penelitian Sutawidjaja, I.S dan Sugalang, 2007. Multigeohazards of Ende city area, Jurnal Geologi Indonesia, Vol. 2 No. 4 Desember 2007: 217-233. 27 Catatan Ahmad Arif dalam artikel di http://regional.kompas.com/read/2013/02/05/0301221/Dilema. Pulau.Gunung.Api.
Dalam Naungan Rumah Leluhur Ketangguhan Masyarakat Palu’e Menghadapi Ancaman Gunungapi Rokatenda
diperpanjang hingga Mei 2014.28 Lamanya status ini menyebabkan ketidakpastian pada pengungsi.
Ada tuduhan bahwa phije29pada wilayah tertentu menghambat proses evakuasi, padahal pencabutan larangan ini dapat dibicarakan dengan lakimosa yang dapat membatalkannya secara adat. Ketika phije, ada aturan tertentu yang harus diikuti baik oleh warga kelakimosaan tersebut maupun warga luar yang bersinggungan dengan mereka. Salah satu larangan ini adalah membawa keluar (atau membawa masuk) barang dari wilayah phije. Sehingga warga yang mengungsi hanya berbekal baju di badan. Pada saat evakuasi mandiri, warga mengandalkan relasi kerabat dan sahabat dari Palu’e untuk bertahan di lokasi pengungsian. Aturan lain adalah, tidak boleh melewati (menjalani) wilayah tertentu yang sedang melakukan phije. Ini menyulitkan ketika lari dari bahaya letusan, dan jalur evakuasi yang aman terkena phije. Namun tuduhan ini dibantah banyak pihak, terutama para tua adat, yang mengatakan bahwa aturan adat tidak dibuat untuk membahayakan warga adat. Permasalahan yang terjadi adalah ketidaktahuan akan status gunung, sehingga tidak sempat bersiapsiaga dan aturan phije tidak sempat didiskusikan untuk dicabut secara adat. Demikian halnya kegiatan-kegiatan penguatan masyarakat setelah masa darurat, seperti pemasangan rambu-rambu evakuasi dan simulasi tanggap darurat.Menurut para tetua adat, kegiatan-kegiatan apapun sebagai upaya membangun Palu’e memerlukan restu dari para leluhur. Pemasangan rambu-rambu evakuasi yang melanggar wilayah adat (yang sedang melakukan phije), dan tidak dikomunikasikan secara adat terlebih dahulu, menimbulkan ketidaksenangan warga, akhirnya dicabut dan menjadi sia-sia. Usaha untuk melakukan simulasi tanggap darurat pada tahun 2012 juga menimbulkan ketakutan warga, sebabnya adalah kematian salah seorang warga akibat banjir lahar dingin, setelah sebelumnya berperan sebagai korban dalam simulasi tangap darurat yang dilakukan di Desa Lidi. Warga mengatakan ini dikarenakan tidak adanya komunikasi adat yang dilakukan dengan para lakimosa, sehingga menimbulkan kemarahan leluhur. 28 Dokumentasi BPBD Kabupaten Sikka, 2015 29 Phije adalah periode haram atau larangan melakukan sesuatu, termasuk melewati wilayah tertentu yang dilakukan oleh wilayah kelakimosaan tertentu. Phije terutama dilakukan setelah upacara potong kerbau ataupun usir tikus.
bersiasat menghadapi erupsi
Kebanyakan warga yang mengungsi tidak tahan dan akhirnya kembali ke Palu’e meski status masih tidak aman. Jumlah warga yang tidak mau mengungsi cukup banyak. Sebagian dari mereka mengikuti petunjuk lakimosayang tidak mengungsi. Pemerintah sendiri tidak berhasil mengevakuasi warga, hingga letusan Agustus 2013 yang menyebabkan 5 warga Desa Rokirole meninggal dunia. Lagi-lagi, berselang hanya beberapa hari, kebanyakan warga kembali ke Palu’e, dengan alasan sama, para lakimosa tidak mengungsi dan rumah-rumah tidak boleh ditinggalkan kosong.
41
bersiasat menghadapi erupsi
Pada tahun 2013, Pemerintah Kabupaten Sikka atas masukan dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Gunung Api menerbitkan peta kerawanan bencana Gunung Rokatenda yang menempatkan seluruh wilayah Palu’e masuk dalam KRB II. Setelahnya, Pemerintah Kabupaten Sikka, lewat BPBD memetakan wilayah Palu’e dalam area zonasi aman dan bahaya. Sayangnya, pembuatan zona ini tidak tersosialisasikan dengan baik pada warga Palu’e. Akibatnya, warga menjadi resah. Setelah letusan Agustus tahun 2013, pemerintah membuat beberapa patok penanda zona bahaya, beberapa bahkan disertai kalimat wilayah tersebut dilarang sebagai pemukiman.30
42
Beberapa kejadian yang disebutkan diatas merupakan beberapa alasan keengganan warga Palu’e untuk berpartisipasi pada usaha-usaha penanganan bencana yang dilakukan oleh pemerintah. Komunikasi yang belum baik antar pemerintah dengan warga, diperparah dengan masih kurangnya usaha komunikasi lewat para lakimosa, yang merupakan pengambil keputusan dalam beberapa hal, terutama terkait Rokatenda. Harus disadari bahwa pengaruh para kepala adat (lakimosa) tidak lagi sekuat di masalalu, karena masyarakat berubah dan cara pandang mereka terhadap keberadaan adat juga berubah. Namun demikian koordinasi dengan para kepala adat ini tetap dapat dilakukan. Ketika pemerintah masih gagap, orang Palu’e yang telah turun temurun menghadapi erupsi gunungapi tetap mengembangkan kemampuan-kemampuan maupun caracaranya untuk bertahan dari letusan. Hal ini menunjukkan bahwa orang Palu’e bukan ingin mati konyol di atas tanah itu. Mereka mengetahui bahayanya dan dari waktu ke waktu mencari cara yang lebih baik agar tetap selamat. Berikut ini sejumlah strategi yang dikembangkan masyarakat. 5.3. Membangun di tempat aman Dalam sebuah sosialisasi di Desa Rokirole, seorang peneliti gunung mengungkapkan kepada warga, bahwa semestinya warga Palu’e berterimakasih kepada para pendahulu mereka. Orang-orang tua dahulu sangat bijaksana karena sudah memahami sedikit konsep daerah aman, yaitu dengan membuka kampung-kampung di daerah yang kurang berisiko terhadap letusan Rokatenda. Mayoritas kampung di Palu’e, dibangun di dataran tinggi, menjauhi jalur-jalur kali, yang mengalirkan lava. Kampung-kampung juga terlindung dibalik bukit, sehingga awan panas, abu dan pasir tidak langsung menerjang di kala terjadi letusan. Ini juga terjadi tidak hanya pada Desa Rokirole, tetapi pada hampir semua desa-desa lain yang ada di Palu’e; temasuk Lidi dan Nitunglea. Kampung-kampung pertama yang didirikan oleh warga di kedua desa ini juga berada di ketinggian, di wilayah perbukitan. Kampung Nara dan Nanga lengi terletak paling dekat dengan kaki Gunung Rokatenda 30 Hasil observasi di lapangan ( Desa Ladolaka), dan dokumentasi BPBD Kabupaten Sikka, 2015
Dalam Naungan Rumah Leluhur Ketangguhan Masyarakat Palu’e Menghadapi Ancaman Gunungapi Rokatenda
di sebelah selatan, sementara di sebaliknya adalah kampung Awa, Desa Nitunglea. Namun, tidak seperti ujaran peneliti gunung tersebut, warga kampung Nara dan kampung Awa sudah sejak tahun 1928 berulangkali mengungsi, keluar dari kampung karena abu dan awan panas dari letusan Rokatenda. Banyak warga yang kemudian turun ke pesisir dan membuka kampung di bawah, mendekati pantai.
Tahun 1981, dilaporkan bahwa ada 36 rumah yang terbakar habis akibat terkena awan panas dan lemparan batu pijar31, sementara kejadian tahun 2013, meski rumah-rumah banyak yang rusak, namun pondasi dan dinding masih bisa terlihat. Perubahan perilaku dalam penggantian bahan bangunan dengan bahan permanen menyebabkan bagian–bagian rumah yang rusak terhitung minimal dibandingkan dengan penggunaan bahan bangunan non permanen. Karenanya, warga masih dapat memperbaiki bagian atap dan dinding rumah yang rusak.
bersiasat menghadapi erupsi
Bentuk dan bahan bangunan rumah hunian di Palu’e saat ini sudah berubah. Tidak lagi seperti dahulu dengan atap sirap atau dari daun enau, api sudah dinding batu, berlantai semen dan beratapkan seng. Material letusan berupa lontaran batu pijar, abu vulkanik sangat merusak bangunan rumah, terutama bagian atap rumah. Meski rumah tidak terkena langsung material pijar pada saat letusan, hujan bercampur debu vulkanik mengandung zat asam yang menyebabkan seng-seng rumah berkarat, banyak yang bocor dan rusak.
5.4. Lie mutu dan nato cibo
43
Bagi warga Palu’e, letusan Rokatenda bukan lagi hal yang mengejutkan. Mereka mengenal dari cerita turun temurun, ada ciri-ciri yang harus diperhatikan saat gunung mulai aktif. Meski sudah terbiasa, warga Palu’e tidak mengabaikan tanda-tanda alam yang muncul ketika gunung Rokatenda mulai aktif lagi. Warga Palu’e mengamati ada perubahan pada setiap letusan yang terjadi sepanjang kurun waktu 1928-2014. Berdasarkan pengalaman, warga mengatakan bahwa Rokatenda punya jadwal meletus setiap kurang lebih 20 tahun sekali. Diantaranya, akan terjadi letusan-letusan kecil yang biasanya mereka abaikan. Hampir semua warga yang tinggal yang tinggal di desa-desa di wilayah Rokatenda pernah mengalami letusan Rokatenda. Bahkan, rata-rata warga usia dewasa pernah mengalami hingga 2-3 kali letusan besar Rokatenda, terutama letusan tahun 1964,1981, dan terakhir adalah pada bencana letusan tahun 2013 lalu. Pengamatan aktivitas gunung sering dilakukan oleh petani-petani yang memiliki kebun paling dekat ke wilayah gunung api Rokatenda. Pembukaan kebun tepat di 31 Terdapat pada penelitian Sutawidjaja dan Sugalang, 2007.
bersiasat menghadapi erupsi
kaki gunung sudah dilakukan sejak awal tahun 70-an, dikarenakan tanah di sekitar kaki gunung subur dan memberi hasil yang melimpah. Sambil bekerja di ladang-ladang, menanami jagung, pisang, dan juga tanaman umur panjang lainnya, mereka lie mutu, melihat gunung.
44
Lie mutu dilakukan untuk melihat apa yang sedang terjadi di wilayah gunung. Menjelang letusan pada bulan Agustus tahun 2013, pijar api yang muncul dan mewarnai langit malam menjadi merah dan terang benderang menjadi tontonan warga. Beberapa warga yang diwawancarai mengaku tidak takut, namun mereka juga waspada. Penuturan salah satu warga yang memiliki lahan kebun paling dekat dengan kawah Rokatenda saat mulai merasakan ada tanda-tanda awal Rokatenda mulai aktif lagi, adalah mencari tahu ke sumbernya dan kemudian membagi informasi kepada para tetangganya. Kotak 5.1. Praktik Orang Palu’e “Melihat Gunung.�
“Tanggal 6 Oktober 2012, saya coba-coba ke gunung mau kerja kebun dan saya cium bau belerang. Terus ada abu kan jatuh disitu juga, kemudian saya beritahu isteri saya. Kamu tunggu disini, saya akan pergi ke kaki gunung sana untuk melihat. Kemudian saya jalan ke gunung itu yang awannya tertutup, saya tidak lihat bahwa ada gunung yang timbul baru. Saya duduk disitu hampir 3 jam sambil perhatikan terus ke atas Gunung Rokatenda yang lama itu (kubah lama), baru baunya juga semakin dekat. Kemudian angin meniup awan itu keluar, baru saya melihat bahwa ada lubang besar sekali. Ada dua lubang yang mengeluarkan semburan dari bawah, semburan pertama dilempar kesana, semburan yang kedua dilempar kebawah. Saya duduk disitu terus sampai 1 jam dan saya pulang. Sampai di kebun, saya memberitahu istri saya, bahwa gunung disana itu ada timbul baru, ada dua, kita harus pulang. Sesampai di perkampungan, saya menceritakannya kepada tetangga saya bahwa gunung disana ada timbul baru. Keesokan harinya, mereka samasama naik ke atas dan saya memberikan petunjuk arah, kamu lewat dan nanti ada rumput sebagai tanda untuk pergi kesana. Nanti sampai dibawah pohon pisang, baru kamu duduk dan lihat ke bawah disana ada lubang, pertama itu lebih besar. Kemudian keesokan harinya dia bersama istrinya ke atas untuk melihat gunung itu. Setelah mereka turun baru mulai tersebar berita sampai di Uwa ke Cawaloo. Dan setiap hari Sabtu dan Minggu orangorang pergi ke atas gunung itu untuk melihat perkembangan gunung itu cepat sekali.� (Wawancara dengan Patricius Ware, petani dari Kampung Watuwiku Desa Ladolaka)
Dalam Naungan Rumah Leluhur Ketangguhan Masyarakat Palu’e Menghadapi Ancaman Gunungapi Rokatenda
Lie mutu tidak sekedar menyaksikan aktivitas gunung dalam arti harfiah. Mereka yang lie mutu, melakukannya dengan pemahaman bahwa ada ‘masyarakat’ di tinggal disana, dan lie mutu ibaratnya berkunjung ke tetangga. Konon katanya, jika aktivitas gunung meningkat itu artinya mereka sedang kerja membangun rumah.
Saat terjadi letusan, warga biasanya akan memukul benda-benda menghasilkan bunyi-bunyian sambil berteriak dalam bahasa lokalkaminodo ha’e mai yang berarti kami ada disini. Warga mengatakan dengan begitu, merekayang datang dari gunung akan tahu masih ada warga yang tinggal di rumah-rumah dan menjaga kampung sehingga tidak diganggu. Praktik membunyikan benda-benda ini sudah dilakukan sejak lama, sebelumnya dengan membunyikan gong dan gendang adat. Saat ini, warga membunyikan barang apa saja yang menghasilkan bunyi. Ini sekaligus mengingatkan warga untuk waspada dan berlindung dalam rumah. 5.5. Mengungsi lewat Puerere Secara geografis, ada beberapa desa yang terletak sangat dekat dengan Rokatenda, sehingga untuk mencapainya, dari satu kampung ke kampung lain harus berjalan melingkari kaki gunung. Warga dari kampung-kampung ini membangun jalan-jalan setapak untuk memudahkan mereka menuju antar kampung di desa-desa sekeliling Rokatenda. Salah satunya adalah Desa Lidi, merupakan desa terdekat dengan Rokatenda dilihat dari sisi timur. Desa yang terdiri dari tiga dusun ini cukup sulit diakses; satu dusunnya terletak di tepi pantai, sementara dua lainnya dekat dengan gunung. Saat letusan, warga Desa Lidi mengevakuasi diri dengan dua cara; warga pantai akan memakai perahu atau kapal motor melalui jalur laut, sementara warga di dusun yang diatas, akan menggunakan jalur setapak melewati gunung yang disebut dengan puerere menuju desa sebelah terdekat, yaitu Desa Ladolaka dan Tuanggeo. Namun, yang paling sering dilakukan adalah menggunakan jalur Puerere. Bagi warga desa Lidi yang tinggal di dusun, melewati jalur gunung untuk mengungsi adalah lebih aman dibandingkan jalur laut. Meski demikian, seolah-olah warga Lidi menantang bahaya melewati Puerere saat mengungsi. Hal ini bermula dari kejadian bencana tahun 1928 ketika mendengar warga di desa tetangga Nitunglea banyak yang meninggal akibat tsunami saat mengungsi melewati pantai.
bersiasat menghadapi erupsi
Hasil pengamatan dari lie mutu disampaikan secara halus dengan nato cibo (berbisik), dari orang ke orang. Para petani dengan tekun membagi hasil pengamatan mereka, dan masyarakat dengan patuh menyampaikan pesan ini secara berantai dengan sistem nato cibo tersebut. Sistem yang dibangun ini cukup efektif untuk mengingatkan warga akan aktivitas Rokatenda.
45
Dikarenakan topografinya yang terlindung dari risiko material letusan, Desa Ladolaka dan Desa Tuanggeo selalu menjadi lokasi yang dituju warga Lidi untuk mengungsi. Di salah satu lokasi yang aman, warga biasanya membangun bivak dari bambu dan alang-alang atau terpal sebagai pengungsian sementara.
bersiasat menghadapi erupsi
Beberapa kejadian pengungsian di waktu lalu, warga yang melewati puerere tidak harus berjalan jauh untuk mendapatkan pertolongan. Ketika ada informasi bahwa warga Lidi sedang melewati puerere, wargaTuanggeo dan Ladolaka akan menjemput sambil membawa bekal seperti ketupat, ubi kelapa. Cerita warga, perjalanan memakan waktu 3 jam, dan karena membawa serta dengan anak-anak, mereka iba dan mearasa harus menjemput sehingga tidak kelaparan.
46
Tidak hanya orang Lidi, warga dari dua desa lain yang juga tepat di kaki Rokatenda, Rokirole dan Nitunglea, sebagian besar juga datang dan berlindung di Tuanggeo. Sama seperti warga Lidi, ada ketakutan untuk mengungsi melalui wilayah pantai, karena cerita gelombang tinggi yang menghanyutkan puluhan orang di waktu lampau. Meskipun, berjalan menyisir gunung juga ada bahayanya karena harus melewati beberapa kaliyang mengalirkan lahar panas. 5.6. Memperkuat daya tahan rumah Saat ini, mayoritas bangunan hunian di Palu’e terbuat dari batu dan beratapkan seng. Hal ini cukup mengagumkan karena material semen dan seng didatangkan dari Maumere, Flores. Bahkan, sebagian besar kayu yang digunakan juga dibawa dari luar pulau. Dengan transportasi yang cukup jauh, harga material ini menjadi sangat mahal. Selain laju modernitas, perubahan jenis material bangunan ini juga dipengaruhi material lokal seperti batu dan pasir yang tersedia cukup banyak, dan bisa diambil secara cuma-cuma. Alasan lain yang diberikan warga adalah, rumah batu lebih tahan terhadap lontaran material pijar dari letusan Rokatenda. Meski ada cerita, pada masa lalu ada warga yang melindungi atap rumah dengan daun lontar, dengan alasan daun lontar licin, dan batu panas langsung jatuh. Namun, material bangunan yang dari kayu dan atap sirap, sangat rentan terbakar, dan beberapa kasus yang terjadi pada letusan-letusan sebelumnya membuat banyak warga beralih ke material batu. Sementara itu, untuk melindungi lumbung dari abu vulkanik, warga menggunakan daun lontar. Daun lontar tersebut dipakai menutupi bagian atas atau atap lumbung sedemikian rupa sehingga abu vulkanik tidak masuk.
Dalam Naungan Rumah Leluhur Ketangguhan Masyarakat Palu’e Menghadapi Ancaman Gunungapi Rokatenda
Di masa bencana, ada strategi menampung yang dilakukan di rumah–rumah keluarga, terutama di lokasi yang dianggap aman, yaitu di Uwa. Di kalangan masyarakat juga dikenal adanya istilah rumah kedua, yaitu rumah yang digunakan sebagai lokasi pengungsian sementara dan berada di luar pulau. Pengertian rumah kedua ini bermula pada tahun 80-an. Saat itu, pemerintah lokal memberikan perintah evakuasi untuk warga paling terdampak di Desa Lidi, berupa rumah hunian di daratan Flores, di daerah Nangahure. Seiring pertumbuhan ekonomi, banyak warga Palu’e kemudian memiliki lahan dan membangun rumah sendiri di luar pulau, dengan tujuan sebagai tempat pengungsian jika terjadi bencana dan mereka terpaksa harus keluar dari pulau. Rumah kedua ini kemudian juga berguna sebagai tempat tinggal anak-anak yang sedang bersekolah di luar Palu’e. 32 Setiap kali Rokatenda meletus, warga Palu’e terpaksa harus meninggalkan kampung halamannya sementara. Pada dua kali letusan terbesar sepanjang catatan sejarah Rokatenda, pemerintah mengambil tindakan relokasi. Ini terjadi pada letusan tahun 1981 dan tahun 2013. Konon, pada tahun letusan di tahun 1964, pemerintah juga pernah memerintahkan warga untuk mengungsi, bahkan mengirimkan para serdadu untuk membantu. Namun yang terjadi adalah warga menjadi takut, dan lari bersembunyi ke hutan-hutan. Alasannya adalah warga yang dibawa mengungsi, akan diperbudak dan nantinya tidak akan diijinkan kembali ke Palu’e.
bersiasat menghadapi erupsi
5.7. Berlindung di rumah keluarga
47
Pada letusan tahun 1981, atas bujukan pemerintah banyak warga yang mengungsi ke Ndete, Ende. Meski hanya bertahan sementara, karena tidak tahan menghadapi serangan nyamuk di malam hari, warga yang sudah sempat berkebun dengan menanam pisang, kelapa dan mete, kembali pindah ke Palu’e. Namun, ada juga beberapa warga yang menerima bantuan rumah relokasi di daerah Nangahure, Kabupaten Sikka, tinggal dan menetap di sana. Warga yang menetap ini kebanyakan berasal dari kampung Nara, Desa Lidi. Alasan kemudahan akses ekonomi dan pendidikan membuat banyak warga ini akhirnya memutuskan menetap disini. Mereka juga akhirnya menamai kampung mereka yang baru tersebut dengan nama Nara.33 Meski demikian, mayoritas warga Palu’e tidak menyetujui pemindahan dikarenakan ancaman letusan Roaktenda. Pada penanganan bencana letusan Rokatenda periode 2012-2014, pemerintah kabupaten Sikka mengeluarkan kebijakan penanganan penyintas Rokatenda yang tinggal di daerah paling rentan dengan bahaya letusan, dengan merelokasi mereka ke beberapa lokasi baik di daratan Flores, maupun di Pulau Besar, salah satu pulau dalam wilayah Kabupaten Sikka. Sebagian besar warga menolak, terutama dikarenakan pemilihan lokasi relokasi. Pulau Besar adalah salah 32 Wawancara dengan Romo Efrem, Paroki Lei pada Maret 2015 33 FGD di kantor kecamatan Palu’e, tanggal 2 Maret 2015
satu pulau yang terdampak parah akibat bencana gempa dan tsunami di tahun 1992. Karena itu, warga Palu’e berkata, jika lokasi baru tersebut rentan dengan ancaman bencana, tidak ada bedanya dengan tinggal di Palu’e. 5.8. Pangan untuk keluarga
bersiasat menghadapi erupsi
Dengan luas kurang lebih 41 km2, Palu’e yang 66% wilayahnya merupakan wilayah lereng dan perbukitan. Luas wilayah sekitar Gunung Rokatenda adalah sekitar 352 Ha, atau sekitar hampir 9% dari total wilayah Palu’e. Wilayah lereng dan perbukitan ini meruoakan wilayah yang diolah menjadi kebun tanaman pangan dan tanaman umur panjang oleh masyarakat Palu’e. Kebun dan ladang menyebar, hingga mendekati wilayah di sekitar kaki Gunung Rokatenda.
48
Kondisi alam yang keras, seringkali kurang bersahabat menyebabkan mereka untuk tidak hanya mengandalkan satu jenis pekerjaan. Adalah kua puna yang lazim ditemui di Palu’e. Kua puna adalah kemampuan melakukan lebih dari satu pekerjaan, tidak hanya bertani tapi juga mencari ikan, juga bertukang atau menenun. Kua puna adalah salah satu cara bertahan menghadapi perubahan kondisi alam. Mayoritas masyarakat Palu’e bekerja sebagai petani pekebun, dengan tanaman utama tanaman pangan berupa ubi, jagung dan kacang-kacangan. Sementara, tanaman komoditi yang paling utama adalah kelapa, mete, dan kakao. Ada juga komoditi vanili, kemiri dan pinang. Untuk tanaman pangan, warga hanya bisa menanam satu kali pada musim penghujan dalam satu tahun. Biasanya, tanaman pangan tidak diperjualbelikan, tetapi sebagai simpanan bahan pangan. Penghasilan dari bertani berkebun didapat dari menjual kopra (kelapa kering), biji mete dan biji kakao, yang bisa dilakukan sepanjang tahun. Sebagian besar keluarga petani punya keterampilan sebagai nelayan dan sebagian adalah tukang bangunan. Keterampilan ini digunakan pada saat jeda kegiatan berkebun di musim panas. Penangkapan ikan yaitu dengan menggunakan jenis alat tangkap pukat, bubu dan panah. Sejalan dengan itu, hampir semua kaum perempuan memiliki keterampilan menenun. Keterampilan menenun bagi kaum perempuan adalah wajib/pra kondisi untuk menikah. Selain bertani, sebagian warga juga memiliki ternak. Jenis–jenis ternak yang dipelihara oleh sebagian besar warga adalah babi, kambing dan ayam. Cara beternak masih tradisional, di mana ternak dilepas mencari makan sendiri. Hanya sebagian kecil yang dikandangkan. Ada banyak makanan untuk ternak yaitu ubi kayu dan daun–daunan. Pada masa bencana, ternak diawasi dan diberi makan oleh para penunggu kampung (yang tidak ikut mengungsi). Ternak yang dipelihara, terutama ternak babi, sangat dominan dan digunakan dalam acara adat. Dengan demikian, tidak lagi mengeluarkan
Dalam Naungan Rumah Leluhur Ketangguhan Masyarakat Palu’e Menghadapi Ancaman Gunungapi Rokatenda
dana untuk ketersediaan daging. Ternak-ternak ini juga hanya diperdagangkan secara lokal saja, antar keluarga atau antar tetangga. 5.9. Tidak pernah kelaparan
Dari penelitian yang dilakukan oleh salah satu badan pemerintahan dari pusat ditemukan bahwa ada kurang lebih 160 jenis ubi-ubian di Palu’e, 23 diantaranya bisa dimakan34. Selain itu, orangPalu’e memiliki teknik pengawetan makanan sehingga dapat disimpan untuk dikonsumsi pada masa paceklik. Contohnya adalah dengan Poa, menyimpan ubi didalam tanah, atau mengasapi jagung dan menyimpan di atas pohon. Jenis kacang-kacangan biasanyan diawetkan dengan mengupas kulit dan mengambil biji-biji kacang, dikeringkan dan kemudian disimpan dalam keranjang rotan.
bersiasat menghadapi erupsi
Menurut warga Palu’e, tidak pernah ada kejadian kekurangan bahan makan, selama mereka mendiami pulau ini. Orang Palu’e sejak lama menerapkan cara hidup subsisten. Semua keperluan hidup, terutama menyangkut pangan disediakan sendiri. Itulah sebabnya, jika berjalan-jalan di Palu’e, akan terlihat lahan-lahan yang berisi tanaman pangan; ubi, jagung, kacang-kacangan maupun pisang.
49
Gambar 7 Beberapa jenis ubi dan kacang-kacangan bahan pangan warga Palu’e (Sumber: Dokumentasi tim, 2015)
34 Informasi diperoleh dari wawancara dengan warga. Sayangnya, tim peneliti tidak berhasil mendapatkan dokumen yang dimaksud.
bersiasat menghadapi erupsi
Sejak tahun 1980an, warga Palu’e mulai mengenal beras sebagai bahan pangan pokok. Namun, makan nasi masih terbatas pada warga yang berkecukupan, sebab beras hanya didapat dari daratan Flores. Saat ini, beras merupakan bahan pangan utama bagi mayoritas warga Palu’e. Dengan perkembangan ekonomi pada warga Palu’e, dan jalur transportasi yang semakin baik, semakin mudah mendapatkan beras dari daratan Flores. Meski demikian, mayoritas warga Palu’e juga tidak lupa dengan bahan pangan lokal. Mereka masih tetap menanam ubi, terutama ubi lokal (uwi), jagung dan kacang-kacangan.
50
Praktik jual beli bahan pangan merupakan hal yang tidak biasa di Palu’e. Terutama jual beli bahan pangan lokal. Ubi, jagung dan kacang-kacangan tidak diperdagangkan, apalagi untuk tujuan ekonomi. Biasanya, untuk kebutuhan pangan keluarga, ubi, jagung dan kacang-kacangan ini dipertukarkan secara kekerabatan. Jika ada tetangga yang kekurangan bahan pangan, akan dibantu oleh warga yang masih berkecukupan, dan dapat dikembalikan pada musim tanam berikutnya. Sementara itu, orang Palu’e yang bekerja sebagai nelayan tetap bisa melaut dalam situasi bencana. Mereka biasanya melaut di lautan Flores yang jauh dari wilayah bahaya. Dalam hal ini, lokasi melaut relatif tidak berubah dalam kondisi normal maupun bencana. Hasil melaut dikonsumsi sendiri, serta sebagian dijual di daerah terdekat, seperti Maumere dan Ende. 5.10. Dipelihara kekerabatan Hampir setiap keluarga memiliki anggota keluarga yang bekerja di tanah perantauan. Kebanyakan mereka bekerja di pulau Batam, Sulawesi, Kalimantan bahkan di Malaysia. Para perantau banyak yang bekerja sebagai buruh kasar di pelabuhan, atau di pabrikpabrik. Menurut warga, pendapatannya cukup besar, dan dana yang dikirimkan ke keluarga di Palu’e bisa untuk membangun rumah, dan menyekolahkan anak. Kekerabatan yang dekat dan kebiasaan saling membantu, dibawa hingga di perantauan. Bagi orang Palu’e, semua orang dalam satu pulau adalah kerabat sehingga tingkat kepercayaannya sangat tinggi baik diantara mereka maupun terhadap orang luar. Orang Palu’e menyebut dirinya ata Lu’a, orang-orang yang tinggal diatas sebuah batu karang, yaitu Palu’e. Mereka mempercayai bahwa mereka berasal dari satu nenek moyang yang sama, yang dari daratan Flores. Karenanya, orang-orang Palu’e sangat dekat satu sama lain. Meski di luar Palu’e, di perantauan, persaudaraan mereka sangat kuat. Ketika salah seorang warga memerlukan bantuan maka mereka akan melakukan wudhu batha, musyawarah bersama untuk mendapatkan jalan keluar. Wudhu bhata dilakukan untuk segala aspek, pembangunan rumah, acara adat, anak sekolah dan lain-lain.
Dalam Naungan Rumah Leluhur Ketangguhan Masyarakat Palu’e Menghadapi Ancaman Gunungapi Rokatenda
Nalu paku bukanlah paksaan, namun solidaritas. Siapapun boleh memberi, dan jumlah pemberian tidak pernah ditetapkan. Semua atas dasar kerelaan hati. Nalu paku adalah simbol kepercayaan, bahwa orang yang merantau, atau anak yang pergi sekolah, suatu saat akan berhasil dan pulang dengan membawa kesuksesan. Ada banyak harapan yang disampaikan dalam nalu paku. Orang-orang yang memberi berharap bahwa suatu ketika, mereka pun akan menerima balasan dalam bentuk kebaikan yang sama. Dan siklus berulang ini menjadi salah satu modal kemajuan pendidikan dan ekonomi bagi orangPalu’e. Rasa saling percaya sudah mendarah daging bagi warga Palu’e. Itulah sebabnya, saat ada perantau yang pulang kampung; ramai-ramai sesama perantau akan menitipkan khatu; kiriman bagi orang-orang di kampung. Kiriman ini bisa berupa barang maupun uang. Tidak hanya keluarga dan kerabat yang mendapatkan khatu, si perantau yang membawa khatu pun ikut kebagian, sebagai rasa terimakasih karena mau membawa titipan. Tidak ada catatan, ataupun kecurigaan. Khatu yang tiba di rumah bisa dalam jumlah yang sama, bisa juga berkurang. Namun, orang-orang Palu’e sudah terbiasa mengiklaskannya. Rasa syukur mereka lebih besar, mengalahkan rasa yang lain. Khatu sangat bermakna bagi mereka, bukan seperti remitansi yang memang merupakan semacam tanggung jawab ekonomi dari perantau terhadap keluarga, khatu adalah tanda bahwa perantau ingat sanak famili, dan mencoba berbagi rejeki dari hasil jerih payah di tempat lain. Siklus merantau pada anak muda biasanya akan berakhir ketika memasuki usia pernikahan. Para pemuda dan pemudi akan kembali ke kampung untuk berkeluarga, karena sesuai dengan namanya, Palu’e selalu memanggil mereka kembali dari tanah perantauan. Palu’e – mari pulang. Dalam konteks yang lebih luas, mari pulang dapat juga diartikan kembali ke tradisi, ke kelokalan Palu’e; tidak melupakan aturan dan menjunjung adat dimanapun berada. 5.11. Radio komunikasi Dahulu kaum lelaki Palu’e dikenal jago memanjat dan menyadap tuak pohon lontar. Di atas pohon, untuk menyebarkan berita terjadi komunikasi antar mereka dari pohon ke pohon secara estafet, bahkan sampai menembus bukit dan melewati gunung.
bersiasat menghadapi erupsi
Orang Palu’e juga memiliki sistem nalu paku, yaitu berkontribusi untuk bekal bagi seorang yang akan pergi merantau atau untuk anak yang akan pergi sekolah. Nalu paku pada zaman dahulu dapat berbentuk apa saja; selembar kain, makanan dalam keranjang bambu, ataupun uang. Saat ini, nalu paku kebanyakan diberikan dalam bentuk uang.
51
Warga lokal mengenal ini dengan nama komunikasi ‘pohon lontar.’ Pengumuman atau informasi dari lakimosa atau tokoh masyarakat kadang disampaikan dengan berkomunikasi dari tempat ketinggian sambil menabuh gendang. Berita disampaikan sambil berteriak.
bersiasat menghadapi erupsi
Sekarang komunikasi juga dilakukan denganhandphone dan secara terbatas, radio komunikasi. Di Palu’e ada anggapan masyarakat bahwa jika ada sesuatu hal yang berkenaan dengan urusan keluarga seperti informasi mengenai belis (mahar pernikahan), kabar kematian, atau kenduri harus disampaikan secara lisan, dengan mendatangi langsung pihak yang ingin dikabari. Hal ini dianggap lebih pantas jika dibandingkan dengan pemberitahuan tertulis, apalagi mengabari melalui handphone.
52
Sayangnya, tidak semua wilayah di Palu’e dapat dijangkau dengan HP maupun radio. Sinyal HP hanya kuat di wilayah pantai Desa Reruwairere dan Maluriwu, sedangkan di desa-desa lain, hanya terdapat beberapa titik tertentu yang dapat menangkap sinyal HP. Seorang warga di Desa Maluriwu berinisiatif mendirikan jaringan radio di desanya. Berbekal peralatan sederhana, sebuah komputer, repeater dan beberapa radio HT, warga ini membuka jalur komunikasi radio, yang disebut dengan Radio FM Komunitas “Gerok” pada tahun 2012. Radio Gerok awalnya menyampaikan berita seputar pembangunan di Palu’e; perkembangan proyek PNPM, berbagi informasi dari kecamatan, terutama tentang pertanian perkebunan. Letusan Rokatenda tahun 2012, ketika banyak warga yang tidak menyadari status Gunung Rokatenda, membuka mata untuk menggunakan radio Gerok sebagai alat komunikasi yang bisa berbagi dan menyampaikan informasi awal tentang Rokatenda kepada masyarakat. Pada puncak letusan di bulan Agustus 2013, informasi awal yang diterima di Kabupaten Sikka berasal dari Radio Gerok. Radio Gerok memberikan gambaran terkini situasi Palu’e segera setelah letusan.Hal ini membantu pihak kabupaten mengetahui situasi awal dan respon awal yang mesti diberikan. Setelah tahun 2013, Radio Gerok menjalin kerjasama dengan Pos Pengamat Gunungapi (PGA) di Ropa dan PVMBG di Bandung menggunakan jaringan ponsel di “Batu Signal” Tiramana. Informasi yang didapat disampaikan lewat radio, atau jika berita diterima tidak mendesak dilakukan dengan cara merekam terlebih dahulu dan menyebarkannya kemudian. Informasi dari radio Gerok juga dapat diakses dengan HP pada frekuensi tertentu. Namun, dikarenakan sinyal HP yang lemah di hampir semua desa di Palu’e, ini belum dapat diandalkan. Alur komunikasi Radio Gerok adalah dengan menghubungkan radio komunikasi (HT) ke stasiun pengendali di Desa Maluriwu. Ada dua wilayah komunikasi, yang
Dalam Naungan Rumah Leluhur Ketangguhan Masyarakat Palu’e Menghadapi Ancaman Gunungapi Rokatenda
Operasional radio ini memang masih terbatas, antara lain karena baru memiliki sekitar 18 radio HT yang dipegang oleh beberapa penghubung di beberapa kampung di 8 desa. Di desa-desa terjauh, seperti Lidi, Rokirole, Ladolaka, dan Nitunglea hanya terdapat 1 atau 2 buah HT saja. Padahal, letak kampung dan dusun di desa-desa tersebut cukup berjauhan. Meski demikian, saat erupsi tahun 2013 radio ini cukup berperan dalam menghubungkan komunikasi Palu’e dengan dunia luar, khususnya dengan pihak pemerintah. 5.12. Merawat ternak Ternak-ternak yang biasanya dikandangkan atau diikat dalam situasi normal kemudian dilepas dan dibiarkan mencari makan sendiri dalam situasi krisis. Ketika Rokatenda meletus tahun 2013, ternak warga yang ditinggalkan dirawat dan dijaga oleh orangorang yang tidak mengungsi. Ternak dibiarkan mengonsumsi ubi kayu dan dedaunan secara bebas. Memang konsekuensi dari pelepasan ternak tersebut adalah adanya sejumlah kejadian babi liar di Desa Awa dan Nitunglea. Dengan cara perawatan ternak saat bencana seperti itu, orang Palu’e dengan sendirinya dapat merasa cukup aman meninggalkan ternaknya ketika mengungsi. Karena tidak perlu memikirkan ternak, setidaknya dalam jangka waktu tertentu selama mengungsi, orang Palu’e tidak perlu tergesa-gesa untuk kembali ke zona berbahaya. Setidaknya ada yang merawat ternak-ternak itu. Apabila tidak, mereka tetap dapat berharap bahwa ternak-ternaknya tetap hidup dengan mencari makan sendiri. 5.13. Pengobatan tradisional Setiap desa di Palu’e memiliki dukun (pisa) atau ahli pengobatan tradisional yang dengan teknik tertentu dipercaya mampu menyembuhkan penyakit. Para dukun itu umumnya menggunakan bahan obat yang terdapat di Palu’e. Bahan yang digunakan antara lain akar-akar pohon tanaman dan bawang. Keberadaan para dukun tersebut juga menutupi adanya kekurangan tenaga medis modern di Palu’e. Rata-rata hanya terdapat satu atau dua dokter magang yang seharihari bekerja di Palu’e dalam beberapa tahun terakhir.
bersiasat menghadapi erupsi
langsung dapat berhubungan dengan stasiun pengendali, yaitu penghubung dari desa Reruwairere, Lidi, Kesokoja, Ladolaka dan Tuanggeo. Sementara komunikasi yang terjadi dari Desa Rokirole dan Nitunglea dihubungkan dengan stasiun perantara di Pastoran Lei, Desa Tuanggeo sebelum disambungkan ke stasiun pengendali di Desa Maluriwu. Informasi masuk dan keluar Palu’e diterima oleh stasiun pengendali Maluriwu yang terhubung dengan jaringan radio pemerintah yaitu radio Sikka di Kabupaten Sikka dan juga dengan jaringan radio komunikasi BPBD Sikka.
53
5.14. Penyediaan air bersih
bersiasat menghadapi erupsi
Orang Palu’e terbiasa memperoleh air bersih dengan menyuling uap panas bumi. Selain itu, mereka menyadap air dari pohon pisang, pohon batang ara, bambu, batang lawe yang dipotong, hingga buah kelapa.Secara umum, jumlah air di Palu’e selalu terbatas, tetapi warga tidak pernah sampai kekurangan. Di beberapa desa, seperti Ladolaka, Maluriwu, Reruwairere, ada sumber air galian (sumur gali) yang tidak kering dimusim kemarau. Meski demikian, sejumlah keluarga yang mampu biasanya membeli air dari Maumere atau kota terdekat lainnya.
54
Dalam situasi bencana, kemampuan menyediakan air bersih ini ternyata amat bermanfaat. Mereka yang tetap tinggal di pulau itu dapat mengusahakan air bersih sendiri tanpa bergantung kepada suplai dari luar. Dengan segala keterbatasannya, hal ini telah membantu mempertahankan hidup orang Palu’e di saat bencana. Masyarakat mampu bertahan dengan memahami siklus musim seperti ditunjukkan pada kalender musim. 5.15. Mata Pencaharian dan kalender musim Mata-pencaharian utama masyarakat Palu’e adalah petani dan sebagian lagi nelayan. Sebagian kecil saja yang memiliki mata-pencaharian sebagai pegawai negeri, guru, dan tukang bangunan. Oleh karena itu masyarakat sangat peduli dan bergantung kepada musim. Kalender musim disajikan dalam Tabel 4.1 tersebut merupakan rangkuman diskusi dengan perwakilan masyarakat, laki-laki dan perempuan pada proses pengumpulan data tanggal 2 Maret 2015 di Kantor Camat Palu’e. Kalender musim tersebut memberikan gambaran bahwa masyarakat Palu’e sangat paham dengan pola dan alokasi waktu produksi sepanjang tahun, kapan saatnya mereka harus secara intensif bekerja di kebun dan kapan saatnya para nelayan menghindari atau pergi melaut dan mencari ikan. Dalam pertanian, menjelang musim tanam, misalnya, masyarakat memastikan memiliki persediaan bibit dengan daya tumbuh terbaik agar produksi dapat menjamin kecukupan bahan pangan sepanjang tahun.
bersiasat menghadapi erupsi
Dalam Naungan Rumah Leluhur Ketangguhan Masyarakat Palu’e Menghadapi Ancaman Gunungapi Rokatenda
55
Dalam Naungan Rumah Leluhur
Ketangguhan Masyarakat Palu’e Menghadapi Ancaman Gunungapi Rokatenda
57
BAB VI
Epilog: Percaya pada Potensi Manusia dan Komunitasnya
Epilog: Percaya pada Potensi Manusia dan Komunitasnya
Bab VI
58
Epilog: Percaya pada Potensi Manusia dan Komunitasnya
Oleh:Eman Embu SVD Pusat Penelitian Candraditya, Maumere Caritas Keuskupan Maumere Ketika mulai ada jeda dari segala aktifitas tanggap bencana dan ada kesempatan untuk melihat balik, saya mesti mengatakan secara kategoris bahwa meneliti dan menulis tentang resiliensi atau ketangguhan komunitas menjadi suatu keniscayaan yang menggairahkan, bukan membebankan. Mengapa? Sejak Rokatenda meletus pada akhir Oktober 2012, menyusul seri letusan kecil, dan berpuncak pada letusan besar pada 10 Agustus 2013, Rokatenda dan Palu’e, dalam hingar-bingar berita dan percakapan banyak orang, adalah nama dari kerentanan dan ketaksiagaan. Ada suasana murung dan muram. Kita, lebih tepat warga komunitas yang terdampak bencana lebih banyak dikonstruksikan sebagai yang lemah dan tak berdaya. Pasca seri letusan Rokatenda ada resistensi yang kuat—tentu kelompok warga yang dengan keputusan bebas setelah melewati pertimbangan rasional ini dan itu lalu siap direlokasi tak boleh dihalangi—menolak untuk direlokasi itu pertama-tama bukan karena mereka adalah pembangkang terhadap keputusan pemerintah tapi pertamatama lantaran ada ikatan yang kukuh dari anggota komunitas tersebut dengan dua hal yang tak terpisahkan: leluhur dan tanah. Ini menyangkut pengalaman eksistensial dasariah manusia dan komunitasnya. Tercabut dari tanah laksana pohon yang dipotong akarnya. Terpisah dari leluhur sama dengan terpisah dari daya yang memberikan dan mewariskan kehidupan. Karena itu, pertanyaan pokok di sini adalah bagaimana kenyataan seperti ini direvitalisasi sebagai ketangguhan bukan kerentanan. Jika di sini terminologi “respect” kita gunakan untuk memaknai resiliensi atau ketangguhan sebagai suatu sikap dasar, maka resiliensi pertama-tama adalah penghormatan dan penghargaan pada potensi seberapa pun kecilnya yang ada dalam diri manusia. Tentu, bukan manusia dalam suatu ruang kosong, tetapi manusia dalam suatu komunitas yang konkrit, dalam interaksi dengan konteks yang riil: ekonomi, politik, sosial, dan budaya yang melingkupinya. Di balik “respect” tadi, tertanam kepercayaan bahwa ada daya dan mekanisme survival dalam diri manusia
Dalam Naungan Rumah Leluhur Ketangguhan Masyarakat Palu’e Menghadapi Ancaman Gunungapi Rokatenda
Dengan tesis demikian, di sini menjadi jelas bahwa pengabaian akan hal pokok yang baru disebutkan tadi akan menjadi petaka yang sangat seius dalam kerjakerja pengurangan risiko bencana dan juga dalam kerja-kerja untuk perubahan dan pembangunan pada umumnya. Mengapa? Jelas, dalam konteks kebencanaan, ia menjadi kerja-kerja pengurangan risiko bencana yang tak lebih dari hingar-bingar kesibukan sesaat orang luaran dengan klaim yang sesat bahwa masyarakat yang terdampak bencana itu dapat diwakilkan atau diatasnamakan begitu saja. Selain potensi dan peran manusia secara pribadi, pengorganisasian masyarakat menjadi upaya yang hakiki juga. Tentu ini tak dapat dipisahkan dari apa yang disebut dengan istilah daya dan mekanisme survival tadi. Karena itu, pada tempatnya di sini kita menyinggung tentang penguatan peran lembaga-lembaga kunci yang selama ini telah menjadi bagian dari masyarakat sehingga ke depan sungguh menjadi stakeholder kunci dalam penguatan kesadaran dan upaya-upaya masyarakat dan komunitasnya, dan karena itu pada gilirannya menjadi semakin liat dan kreatif dalam menghadapi ancaman bencana bukan menjadi blunder dan sandungan. De facto, masyarakat Palue masih terikat pada adat dan keputusan para pemimpin adat. Apa yang dimaksudkan dengan adat di sini adalah praktik-praktik dan norma tata hidup yang diwariskan secara turun-temurun dalam komunitas yang telah menjadi rujukan hidup bersama dalam suatu kurun waktu yang sangat panjang bagi komunitas yang di sana. Suara para pemimpin adat yang tentu juga masih mempunyai ikatan dengan tanah dan leluhur yang sudah disinggung di atas masih didengarkan oleh warga. Artinya, pengabaian akan kenyataan ini dalam kerja pengurangan risiko bencana dan pembangunan pada umumnya adalah sangat berisiko. Dengan kata lain, jika kenyataan ini tidak dikelola secara baik dan kreatif, ia akan berubah posisinya dari potensi ketangguhan menjadi kerentanan yang merugikan masyarakat dalam segala upaya perkembangan dan kemajuan masyarakat itu sendiri. Selanjutnya, gereja Katolik sudah hadir di Palue sejak tahun 1920an. Organisasiorganisasi kegerejaan yang hirarkis sudah tertata. Ada dua wilayah paroki. Di bawah paroki ada wilayah stasi-stasi gereja, lalu pada lapisan yang paling bawah ada KBG (Komunitas-komunitas Basis Gerejawi). Suatu pengorganisasian yang mestinya dengan mudah menjadi bagian untuk mempercepat peningkatan ketangguhan masyarakat. Lebih dari pengorganisasian, agama dan nilai-nilai dasar di baliknya, selalu menjadi ilham pendorong bagi manusia beriman yang memberikan harapan dan kekuatan untuk menghormati hidup manusia dan lingkungan alam di mana ia berada, dan memperkuat relasi atau hubungan antar anggota komunitas untuk pemenuhan tujuan-tujuan kebaikan bersama.
Epilog: Percaya pada Potensi Manusia dan Komunitasnya
dan masyarakatnya dalam menghadapi aneka ancaman. Daya dan mekanisme tadi hendak disadari secara penuh, dihidupkan, dan dioptimalkan sejalan dengan perkembangan manusia dan masyarakatnya itu sendiri.
59
Epilog: Percaya pada Potensi Manusia dan Komunitasnya 60
Akhirnya pemerintah lokal, baik di tingkat desa, kecamatan, kabupaten hingga provinsi mendapat mandat dan diwajibkan secara konstitusional—dan ini harus selalu dituntut oleh warga negara—untuk bekerja dan memenuhi hak-hak dasar warga negara, untuk melindungi (to protect), memenuhi (to fulfill), dan memajukan (to promote) demi suatu hidup manusia yang lebih bermartabat. Untuk menjalankan tugas ini, pemerintah dilengkapi dengan berbagai sumber daya. Jika harus menuliskan harapan dari pengalaman saya tentang ketiga stakeholder kunci tadi, ketika ambil bagian dalam respons penanggulangan bencana Rokatenda, maka harapan itu adalah adanya kecakapan, koordinasi yang baik serta efisien, dan kepemimpinan yang kuat yang mampu mengambil keputusan-keputusan yang cepat dan decisive. Artinya, selain mengindentifikasi dan meningkatkan ketangguhan warga, kerentanan-kerentanan tadi mestinya juga diidentifikasi untuk dibenahi.
---
Dalam Naungan Rumah Leluhur Ketangguhan Masyarakat Palu’e Menghadapi Ancaman Gunungapi Rokatenda
Cameron, J. (1864). On the islands of Kalatoa Arid Puloweh, North of Flore., Proceedings to Journal of the Royal Geographical Society of London, Vol. 9. Glinka J. (2015). Manuskrip; Ata Nua Lu’a:Karakteristik Antropometris, UsulAsal, Pertumbuhan, dan Lingkaran Perkawinan, Universitas Airlangga, Surabaya. Kleden, P.B., (2013).Bencana Palu’e 1928, Pos Kupang, NTT. Laporan kajian bersama untuk strategi pemulihan berbasis relokasi bagi penyintas erupsi Gunung Rokatenda Kabupaten Sikka Propinsi Nusa Tenggara Timur. (2013). NTT: Humanitarian Forum Indonesia. Sutawidjaja, I.S dan Sugalang, 2007. Multi-geohazards of Ende city area , Jurnal Geologi Indonesia, Vol. 2 No. 4 Desember 2007: 217-233. Twigg, J. (2007). Characteristics of a disaster-resilient community; A guidance note. UK: DFID. Van Padang, M. N. (1983). History of the volcanology in the former Netherlands East Indies. Scripta Geol. 71, Rijksmuseum van Geologie en Mineralogie. Vischer, M.P. (1992). Children of the black patola stone: Origin structures in a domain on Palu’e Island (Eastern Indonesia). Australian National University. Sumber lain:
http://regional.kompas.com/read/2013/02/05/0301221/Dilema.Pulau. Gunung. Api. http://www.volcano.si.edu/volcano.cfm?vn=264150 h t t p : / / w w w. v s i . e s d m . g o. i d / i n d e x . p h p / g u n u n g a p i / d a t a - d a s a r gunungapi/483-g-rokatenda
Epilog: Percaya pada Potensi Manusia dan Komunitasnya
Daftar Pustaka
61
http://about.jstor.org/participate-jstor/individuals/early-journal-content.
Epilog: Percaya pada Potensi Manusia dan Komunitasnya
http://regional.kompas.com/read/2013/02/05/0301221/Dilema.Pulau.Gunung.Api
62
Renops Tanggap Darurat Penanganan Bencana Letusan G. Rokatenda Kec. Palu’e, Kab. Sikka No. 01/PB/XII/2012 Lampiran-Lampiran
Lampiran 1: Analisis Data dan Informasi Lampiran 2: Daftar responden
Dalam Naungan Rumah LeluhuR - Ketangguhan Masyarakat Palu’e Menghadapi Ancaman Gunungapi Rokatenda
Dalam Naungan Rumah Leluhur Diterbitkan atas dukungan
Cover ROKATENDA.indd 1
Ketangguhan Masyarakat Palu’e Menghadapi Ancaman Gunungapi Rokatenda
22/06/2015 15:41:49