5 minute read
Desa Wisata Osing
by ARÇAKA
Alat menumbuk padi pasa zaman dahulu, saat ini digunakan sebagai alat musik tradisional
Advertisement
SUKU OSING
Desa Kemiren, desa dengan luas 117.052 m2 ini adalah desa terakhir yang menyimpan adat dan budaya asli Suku Osing. Suku Osing dipercaya sebagai suku asli Kerajaan Blambangan dan cikal bakal terbentuknya Kabupaten Banyuwangi. Banyak kegiatan tradisi suku ini yang masih berjalan karena adat budayanya yang kuat. Beberapa diantaranya adalah Tumpeng Sewu, Kopi Sepuluh Ewu, dan Mepe Kasur.
LOKASI
Desa ini memiliki letak yang strategis di wilayah perjalanan menuju ke Kawah Ijen, memanjang hingga tiga kilo meter, yang kedua sisinya (utara dan selatan) dibatasi oleh dua sungai, Gulung dan Sobo. Letak desa ini mempengaruhi penataan ruang desa berderet memanjang dari timur ke barat.
Bangunan tidak boleh berorientasi ke timur-barat karena secara kosmologis orientasi tersebut menghadap ke kawasan gunung (di sisi barat). Hal ini dipengaruhi oleh kepercayaan masyarakat Desa Kemiren kepada nenek moyang yang masih kental dan tradisi, adat istiadat yang masih berlangsung. Pada 1995, Desa Kemiren di ditetapkan sebagai desa adat, dengan harapan dapat memfasilitasi wisata edukasi dan budaya mengenai Suku Osing di Kabupaten Banyuwangi
WARISAN BUDAYA DI DESA KEMIREN
DESA ADAT DENGAN MISI BESAR SEBAGAI SUKU OSING TERAKHIR DI BANYUWANGI
Konsep ruang rumah Osing memperlihatkan adanya centralitas dan dualitas. Dualitas pada rumah Osing membagi zona atas laki-laki dan perempuan, luar-dalam, kiri-kanan, gelap-terang, sakral-profan, ditambah depanbelakang. Centralitas memperlihatkan bahwa Jrumah merupakan pusat/sentral dari rumah Osing, yang terdiri dari Bale, Jrumah dan Pawon. (Sari, 2018)
Rumah Adat Suku Osing dibagi menjadi tiga jenis berdasarkan bentuk atap yaitu Cerocogan, Baresan, dan Tikel Balung. Jenis-jenis atap ini dahulunya dijadikan penanda strata sosial yang ada di masyarakat Suku Osing. Cerocogan merupakan atap bagi kaum yang kurang mampu.
RUMAH ADAT OSING
Text by Brigita Murti Photos by Natasya Angelina
Tampak samping dan rumah osing, lengkap dengan tiga jenis atap.
(Yolanda & Alyssandrea, 2017)
Baresan merupakan atap bagi kaum ekonomi menengah, dan Tikel Balung merupakan atap bagi kaum ekonomi tinggi. Namun, di zaman modern ini sebagian besar rumah penduduk telah menggunakan gabungan dari ketiga jenis atap tersebut. (Yolanda & Alyssandrea, 2017)
Ruang utama Rumah Adat Osing ini adalah Bale, Njerumyah, dan Pawon. Sedangkan ruang penunjangnya yaitu, amper, ampok, dan pendopo. Bale merupakan bagian depan rumah yang berfungsi sebagai ruang tamu dan ruang untuk melakukan kegiatan adat. Njerumyah, bagian dalam rumah yang privat atau ruang keluarga (area tidur). Di bagian ini area tidur tidak dibatasi menggunakan dinding tetapi hanya ditandai dengan penggunaan selambu pada tempat tidur. Dalam njerumyah terdapat empat tiang (saka Tepas) melambangkan musyawarah dan penyatuan kedua belah pihak orang tua saat anak-anak mereka menikah. Pawon merupakan area servis yaitu dapur. Selain sebagai tempat memasak pawon juga berfungsi sebagai area melakukan pekerjaan rumah tangga, seperti mencuci, menyetrika, dan sejenisnya. Pada zaman dahulu, pawon juga digunakan sebagai tempat bertamu, sehingga letaknya sering ditemui di depan rumah. Amper, bagian rumah paling depan yang biasanya disebut teras. Teras ini berfungsi sebagai pekarangan yang biasa ditanami bunga atau pohon berbuah. (Yolanda & Alyssandrea, 2017)
Material utama Rumah adat ini adalah Kayu Bendo yang banyak ditemukan di seluruh daerah Banyuwangi. Kayu ini dipilih sebagai material utama karena kayu ini tidak terlalu keras namun kuat, tidak disukai rayap, dan ringan. Kayu Bendo digunakan sebagai pondasi utama bangunan dan kadang digunakan sebagai dinding. Selain itu, digunakan juga anyaman bambu yang biasa disebut dengan gedhek sebagai dinding, dilengkapi dengan ikatan tali tampar kedug yang terbuat dari sabut pohon aren. Pemilihan kayu/bambu sebagai material utama juga karena dianggap memiliki nilai-nilai baik dan buruk. (Yolanda & Alyssandrea, 2017)
Struktur utama rumah Osing berupa susunan rangka empat tiang (saka) kayu dengan sistem tanding tanpa paku, tetapi menggunakan paju (pasak pipih). Keunikan rumah adat ini dibandingkan dengan rumah adat daerah lain terletak pada sistem pembangunannya yang menggunakan sistem knock down serta pembangunan rumah yang menerapkan sistem ekologi di dalamnya. Konstruksi bangunan dapat dibongkar pasang sehingga bangunan bisa dipindahkan. Pondasi tidak ditanam melainkan hanya didirikan dan diikat tanpa paku, membuat Rumah Osing tahan gempa. Banyak dari mahasiswa yang menggunakan Rumah Osing sebagai objek penelitian dan mempelajarinya langsung ke Desa Kemiren agar dapat diterapkan ke bangunan-bangunan di daerah rawan gempa.
Rumah Adat Suku Osing ini dibangun berdasarkan potensi budaya, tradisi, dan aktivitas masyarakat sekitar, sehingga rumah adat ini selaras dengan alam sekitarnya. Indonesia yang memiliki iklim tropis dan bercurah hujan tinggi mempengaruhi bentuk dan penggunaan material rumah adat ini. Rumah Adat Suku Osing ini menggunakan material yang banyak ditemui di sekitar desa, yang secara tidak langsung menggunakan menunjukkan bahwa rumah ini menerapkan pendekatan ekologi desain. Penggunaan material dinding yang
Rumah Osing pada umumnya mirip dengan rumah tradisional khas Jawa
terbuat dari gedhek dan kedug membuat suhu ruangan tidak terlalu tinggi, karena material ini memiliki celahcelah tipis yang dapat membuat perputaran udara dalam ruangan, material dinding ini juga menyerap panas berlebih. Celah-celah yang ada di ampik-ampik dan dinding juga membuat rumah ini mendapatkan pencahayaan alami dari matahari yang tidak berlebih, cahaya ini cukup untuk membantu kegiatan dalam rumah tanpa harus menggunakan cahaya buatan. Bentuk atap yang tinggi dan meruncing ke atas berfungsi untuk mengalirkan udara, dan bentuk atap yang runcing membuat aliran air hujan jatuh dengan cepat ke tanah. (Suprijanto, 2002)
Ruang dan bentuk rumah Osing tidak direncanakan, dirancang dan dibuat dari luar, tetapi lebih terbentuk dari dalam melalui rangkaian proses berdimensi waktu. Konsep ruang disesuaikan dengan fungsi dan aktivitas sebagai wadah pemenuhan hajad hidup sehari-hari, dan dipengaruhi oleh penilaian makna kegiatan yang dilakukan serta siapa yang menghuni atau melakukan kegiatan di ruang tersebut. Organisasi ruang merupakan manifestasi sifat tertutup, berhati-hati dan curiga masyarakatnya. (Suprijanto, 2002)
Konsep bentuk Rumah Osing yang tidak mengenal hierarki dan identik dengan bentuk rumah Kampung, berkaitan erat dengan struktur sosial masyarakat Osing (Kemiren) yang cenderung egaliter dan mewakili lapisan masyarakat biasa. Nama-nama bagian-bagian rumah dan susunannya merupakan pengungkapan pesan, makna dan kehendak sebagai ekspresi rasa dan karsa pemiliknya. Makna tersebut tidak terkandung dalam bentuk
Interior Rumah Osing
Anyaman bambu (gedheg) yang digunakan untuk dinding
itu sendiri, melainkan dalam diri manusianya, karena pada dasarnya manusia yang menginginkan bentuk tersebut mencerminkan sifat laten dan asosiasional, bukan sekedar memenuhi tuntutan fungsional, sekaligus menggambarkan apresiasinya terhadap cipta dan karya. (Suprijanto, 2002)
Keberadaan Rumah Osing di Desa Kemiren membuatnya secara tidak langsung menunjang pariwisata di Kabupaten Banyuwangi. Banyak wisatawan yang menjadikan Desa Kemiren sebagai salah satu tempat yang wajib dikunjungi. Disamping sebagai tempat beradanya Suku Osing terakhir di Kabupaten Banyuwangi, desa ini juga menawarkan kebudayaan yang masih kental dan tradisi-tradisi yang masih sering dilakukan. Dengan adanya Rumah Osing yang memiliki struktur bangunan tahan gempa, diharapkan dapat menjadi contoh untuk bangunan-bangunan di daerah rawan gempa dan dapat membantu mengurangi resiko kerusakan yang terjadi karena bencana alam.