
5 minute read
Teknik yang secara umum berusaha
SUARA MAHASISWA
Membangun Peradaban dengan Merangkul Perbedaan
Advertisement
Setiap aksi menimbulkan reaksi. Demikian juga ekskalasi gerakan lesbian, gay, bisexual, transgender (LGBT) di penjuru dunia menimbulkan reaksi: tentangan. Hak asasi manusia (HAM) selalu beradu dengan dengan nilai-nilai “wajar” masyarakat yang menganggap LGBT sebagai sebuah aib peradaban. Kita bisa saja terus berdebat tentang legalisasi pernikahan dan status gender LGBT tetapi diskriminasi terhadap kaum LGBT apakah perlu terus dipersoalkan? Apa pun bentuknya dan siapa pun subjeknya, diskriminasi tidak dapat dibenarkan. Permasalahannya, sejauh mana batas-batas diskriminasi?
Menengok KBBI, diskriminasi merupakan pembedaan perlakuan terhadap warga negara berdasarkan apa pun. KBBI bahkan secara tidak langsung menjadikan diskriminasi sebagai subjek hukum karena berhubungan dengan status warga negara. Hal ini sejalan dengan konstitusi dalam pasal 27-34 dan pasal 28A-J UUD NRI 1945. Sangat jelas bahwa diskriminasi melanggar hukum dan HAM. Negara sudah sepatutnya mencegah diskriminasi dan menjamin hak-hak masyarakat, termasuk kaum LGBT.
Bicara soal hak, kaum LGBT seharusnya memiliki hak yang sama. Kita merasa bahwa kita dapat sepakat untuk hak-hak dasar, seperti hak hidup, memiliki kepercayaan, bekerja, mengenyam pendidikan, dan melanjutkan keturunan. Namun, hal itu hanya bualan belaka. Faktanya, sebanyak 70 negara menetapkan hukuman mati bagi pelaku seks sesama jenis. Sementara itu, hanya 28 negara yang melegalkan pernikahan sesama jenis. Kekerasan terhadap kaum LGBT yang marak adalah realitas tak
Menolak paham LGBT tidak harus mendiskriminasi pelakunya.
terelakkan. Apakah ini adalah pelanggaran masif terhadap HAM?
Untuk menjawabnya, kita akan terjerumus dalam perdebatan sifat HAM yang universal. Pergeseran nilai membawa kita pada kenyataan bahwa tidak seluruhnya nilai bersifat universal. Salah satu contoh pergeseran nilai yang terjadi adalah nilai agama yang seharusnya bersifat universal (setidaknya untuk penganutnya). Mayoritas negara yang melegalisasi pernikahan sesama jenis adalah negara dengan
anthon/MA
mayoritas penganut Katolik Roma seperti Argentina yang menempati posisi pertama yaitu sebesar 92% penduduk. Menarik, mengingat posisi Gereja Katolik akan selalu sama, yakni pernikahan yang sah hanya dapat dilakukan dalam bingkai sakramen pernikahan antara laki-laki dan perempuan. Di sisi lain, kebanyakan negara yang memberlakukan hukuman mati bagi LGBT adalah negara mayoritas muslim. Namun, tidak semua negara mayoritas muslim melakukannya, termasuk Indonesia dengan penduduk muslim terbanyak.
Semua hal ini menunjukkan bahwa nilai yang kita anut akan mengalami pembentukan ulang oleh tempat kita tinggal. Akhirnya, tidak ada nilai yang benar-benar universal. Saat ini, penyesuaian nilai-nilai HAM tampaknya lebih relevan sehingga dapat sesuai dengan hajat hidup orang banyak di ruang yang terbatas, dalam hal ini negara.
Ada ungkapan bahwa hukum akan selalu tertinggal dari kenyataan. Demikian juga Indonesia, kita tertinggal dalam menyikapi LGBT. Lalu, bagaimana caranya kita memulai? Landasan hukum perlu diperjelas dengan menurunkan undangundang antidiskriminasi, seperti yang telah dilakukan Filipina dan Thailand. Perlu dipahami bahwa HAM yang terdapat di dalam UUD NKRI 1945 tidak absolut. ni adalah dasar Mahkamah Konstitusi tetap melegalkan hukuman mati.
Selain kesetaraan hak LGBT, kita juga perlu sepakat bahwa paham LGBT adalah sebuah penyimpangan. Merujuk International Statistical Classification of Disease and Related Health Problems 10 (ICD-10) dari WHO dan Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa III (PPDGJ III), kaum LGBT dinyatakan sebagai orang dengan masalah kejiwaan (ODMK) – bukan orang dengan gangguan jiwa (ODGJ). Artinya, LGBT hanya memiliki risiko mengalami gangguan jiwa saja tetapi tidak tergolong gangguan jiwa. Meskipun panduan kesehatan mental milik Amerika Serikat

Kevin Tjoa Mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Tingkat III
tidak lagi mengelompokkan LGBT menjadi masalah kejiwaan, tampaknya panduan lokal dan internasional lebih relevan dibandingkan panduan milik negara adidaya.
Indonesia adalah negara hukum. Semuanya membutuhkan landasan hukum. Batas-batas diskriminasi kaum LGBT harus dapat dispesifikasi melalui undang-undang. Demikian juga dengan paham LGBT, restriksi penyebarannya memerlukan landasan hukum. Pertarungan semacam ini jauh lebih elegan dibandingkan persekusi. Sebab, apa bedanya kita dengan binatang jika tidak memiliki peraturan? wira
KOLUM
Ujian Hidup Datang Tanpa Permisi, Mari Hadapi!
Mungkin ungkapan di atas sudah sering kali Anda dengar terutama ketika seseorang mencoba mendeskripsikan ujian hidup yang kerap datang tiba-tiba tanpa peringatan terlebih dahulu. Kita seakan-akan tidak diberi kesempatan oleh dunia untuk mempersiapkan diri. Namun, tak jarang kita mendapati diri sedang membayangkan segala skenario terburuk yang mungkin terjadi. Kita berupaya mempersiapkan hati jika suatu saat dihadapkan dengan situasi sulit. Namun siapa yang bisa menjamin bahwa kita benar-benar siap?
Ujian hidup yang tidak terduga ini sering kali datang saat kita sedang berada di puncak. Hal ini memperberat segalanya karena kita sedang dipenuhi beribu harapan bahwa masa-masa bahagia ini akan berlangsung selamanya. Kita lupa bahwa waktu bukan urusan kita. Semua mungkin saja berakhir dalam sekejap. Namun, pertanyaan yang lebih sulit adalah bagaimana kita memberikan respons terhadap ujian tersebut.
Tidak hanya masalah waktu, ujian juga dapat datang dalam berbagai bentuk. Mungkin kita akan mendapatkan sesuatu yang tidak kita inginkan atau kita tidak akan mendapatkan sesuatu yang kita inginkan. Ironi sekali, bukan? Terkadang kita diuji dengan kekurangan; bagaimana kita menghadapi ujian ketika kita harus kehilangan sesuatu? Di lain waktu beban yang berat, ia mendapati rumahnya habis terbakar akibat ledakan gas. Semua jerih payahnya selama puluhan tahun hilang begitu saja dalam satu hari. Di lain tempat, seorang ibu hanya tinggal berdua dengan anak semata wayangnya. Suatu saat, kecelakaan merenggut nyawa anaknya. Harta karun terbesarnya harus terkubur di bawah nisan. Coba kenali apa kelemahan Anda dan bayangkan apabila ujian itu tiba-tiba datang. Memilukan, bukan?
Namun, ketahuilah, Penyelenggara Ujian ini tahu kemampuan masing-masing orang. Ia tahu apa yang kita butuhkan. Tidak jarang pula, Ia memberi ujian guna menegur kita atas kesalahan yang kita lakukan agar kita bisa kembali ke jalan yang benar. Kita juga bisa mendapati diri kita semakin kuat untuk menghadapi ujian-ujian kedepan. Semua yang baik belum tentu baik, semua yang buruk belum tentu buruk. Ujian yang buruk bagi kita bisa saja memberi manfaat yang luar biasa baik.
Anda harus bisa terus berjalan. Apabila jalan yang kita lalui seakan tanpa arah, kita hanya perlu percaya bahwa semua akan baik-baik saja. Boleh saja kita terjatuh dan tersesat. Lalu, seakan-akan tidak ada pilihan lain, kita akhirnya memilih untuk berhenti. Tidak pernah ada larangan untuk berhenti tetapi yang harus Anda ketahui berhentilah hanya sejenak. Ketika anda siap, berdiri dan hadapi perjalanan yang memang harus terus dilalui. vina/MA “Ujian sekolah bisa dipersiapkan; belajar untuk ujian. Ujian hidup tidak bisa; ujian untuk belajar.” kita diuji dengan kelebihan; kala meraih keberhasilan, akankah kita lupa pada mereka yang pernah membantu? Jangan sampai tertipu. Ujian bukanlah ujian jika tidak sulit. Ujian seakan-akan didesain khusus sesuai kelemahan
hati masing-masing orang. Melihat bahwa kelemahan setiap orang
berbedabeda, maka ujian yang datang pun
berbeda-beda. Mungkin bagi seseorang yang kerja keras membanting tulang setiap hari sejak bertahun-tahun lalu, jabatan dan kekayaan adalah harta karun. Suatu saat, ia hancur karena dipecat. Seakan-akan belum cukup, saat pulang dengan memikul

Prajnadiyan Catrawardhana Mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Tingkat III
Tidak ada pilihan menyerah bagi kita karena ujian ada untuk membuat kita berkembang. Pernahkah kalian menyelami kembali perkembangan kalian? Tanpa melihat orang lain, bandingkanlah diri Anda saat ini dengan diri Anda di masa lampau. Sudah sejauh mana Anda berevolusi sejak dulu? Adakah rasa bangga dan bahagia melihat betapa hebatnya Anda berhasil melewati berbagai ujian tersebut? Semoga dengan ini, kita dapat belajar berprasangka baik kepada ujian, pada dunia, dan pada diri kita sendiri. catra