7 minute read

Otot pada jantung

Yoga pada Pasien Gagal Jantung: Apakah Bermanfaat? IPTEK

hingga mencapai volume rata-rata 19,05 mL/ kg/menit. Sesuai teori, konsumsi oksigen yang dibutuhkan untuk menunjang aktivitas secara adekuat harus berada dalam rentang 15-18 mL/ kg/menit.

Advertisement

Yoga juga mampu memberi manfaat pada sisi kejiwaan pasien. Menurut data, 1 dari 5 pasien gagal jantung mengalami depresi saat menjalani perawatan. Kondisi depresi ini bila dibiarkan dapat menyebabkan meningkatkan risiko timbulnya kelainan kardiovaskular, yang berujung pada kematian. Oleh sebab itu, pasien dapat melakukan yoga sebagai upaya dalam mengontrol emosinya, sehingga mencegah timbulnya depresi dan, secara tidak

langsung, meningkatkan performa klinis pasien.

Secara formal, yoga belum dianggap sebagai terapi utama bagi pasien gagal jantung. Berdasarkan guideline resmi dari American College of Cardiology, beberapa tatalaksana yang dianjurkan meliputi pemberian agen farmakologi (isosorbid dinitrat bentuk hidral nitrat) serta terapi resinkronisasi jantung. Akan tetapi, kelak yoga dapat menjadi pilihan terapi yang menjanjikan. Hal ini mengingat gerakan dan postur yoga mampu disesuaikan dengan kondisi pasien, sehingga bisa dilakukan oleh pasien gagal jantung sekalipun. Yoga memang menjanjikan sebagai terapi komplemen yang efektif dan praktis untuk pasien gagal jantung. Studi yang ada saat ini pun menunjukkan respons pascaterapi yang terbilang baik, sehingga peran terapi ini sebaiknya mulai dilirik oleh praktisi klinis. leonaldo dapat dianalogikan sebagai kondisi tubuh saat relaksasi. Aktivasi saraf parasimpatis membuat aliran darah menuju organ tubuh menjadi lebih lancar, sehingga kerja jantung menjadi lebih ringan dan tekanan sistolik pembuluh darah menurun. Selain itu, yoga juga mampu membuat laju pernafasan menjadi lebih teratur, meningkatkan fraksi ejeksi dan mengurangi keluhan yang dirasakan pasien.

Di tahun yang sama, Comes-Neto, Rodrigues-Jr, Silva-Jr, et al. berusaha menilai manfaat yoga dari sudut pandang lain. Hasil penelitian mereka yang dipublikasikan melalui jurnal Arq Bras Cardiol menunjukkan bahwa yoga memiliki pengaruh baik terhadap volume oksigen yang dikonsumsi pasien serta kualitas hidup pasien secara keseluruhan. Pada penelitian tersebut, pasien yang menjalani terapi yoga menunjukkan peningkatan konsumsi oksigen Y oga kian lama kian dikenal masyarakat. Teknik yoga secara umum berusaha menyatukan aspek pernafasan, postur tubuh, dan meditasi. Yoga mengajarkan seseorang untuk mampu mengontrol pikiran, laju pernafasan, dan meningkatkan fleksibilitas tubuh melalui gerak yang lembut dan ritmis. Tujuan dari yoga adalah menyelaraskan dan menenangkan jiwa, raga, dan pikiran seseorang. Perkembangan ilmu pengetahuan di bidang kedokteran mulai mempertimbangkan yoga sebagai pilihan terapi alternatif. Yoga pada dasarnya tidak berusaha menggeser peranan terapi medis, melainkan berperan sebagai terapi komplemen terhadap terapi medis yang telah ada. Terapi yoga juga dapat bersifat sebagai profilaksis, dalam konteks mencegah munculnya pikiran-pikiran yang tidak sehat, seperti rasa cemas dan depresi. Yoga juga terbukti mampu mengurangi derajat gejala penyakit yang dirasakan pasien.

Salah satu manfaat konkret dari yoga adalah meningkatkan kesehatan jantung dan pembuluh darah. Pada tahun 2017, penelitian meta-analisis oleh Seffens P, Thompson WR dan Seffens W, yang dipulikasikan dalam International Journal of Yoga berhasil mengevaluasi manfaat yoga terhadap kesehatan jantung pasien dengan gagal jantung kronik. Hasilnya, pasien yang mengikuti kombinasi terapi medis serta yoga menunjukkan prognosis yang lebih baik. Hal ini dapat dijelaskan melalui beberapa mekanisme. Aktivitas yoga memliki efek terhadap sistem saraf otonom, yaitu dengan mengaktivasi sistem saraf parasimpatis. Efek parasimpatis Yoga dikenal sebagai akitvitas untuk meningkatkan kebugaran tubuh. Lantas, bagaimana jika konsep yoga diaplikasikan sebagai terapi untuk pasien gagal jantung? marthin/MA

ADVERTORIAL NeuroArm, Tangan Ajaib untuk Pembedahan Saraf yang Efisien

melihat gambar 3D dalam waktu lama.

Fitur yang tidak kalah penting adalah motion scalling. Fitur ini aktif ketika operator melakukan gerakan besar ataupun menyesuaikan gerak dengan ukuran target. Sang ahli bedah dapat memodifikasi kecepatan serta intensitas gerak alat sesuai kebutuhan. Alat ini juga dilengkapi dengan z-lock, fitur yang mengarahkan alat agar tetap lurus menuju target tanpa terlalu terpengaruh orientasi tangan dari operator. 2 Saat ini, laporan penggunaan NeuroArm dalam dunia klinik masih terbatas. Alat ini dilaporkan pengunaannya oleh Maddahi, Zareinia, Gan, et al. dalam jurnal Biomed Research International tahun 2016. Dalam kasus tersebut, NeuroArm digunakan untuk menangani pasien tumor glioma otak. Alat ini juga berpotensi digunakan pada kasus lain seperti meningioma.

Keunggulan utama dari alat ini adalah operasi dapat dilakukan sejalan dengan pencitraan MRI. Sebelum adanya alat ini, operasi harus dihentikan dahulu ketika akan mengambil pencitraan saraf pasien di MRI. Penemuan NeuroArm akhirnya berhasil menutupi kekurangan tersebut. Alat ini bahkan memungkinkan ahli bedah untuk melakukan evaluasi di tengah-tengah operasi berdasarkan hasil temuan MRI. NeuroArm juga mampu menampilkan data operasi dalam bentuk digital. Data ini akan P embedahan saraf pusat, terutama pada area otak bukanlah hal mudah untuk dikerjakan. Struktur saraf otak yang kompleks seringkali mempersulit proses pembedahan. Oleh sebab itu, sebagian besar pembedahan akhirnya tidak dapat dilakukan secara total. Peneliti pun mulai mencari langkah efektif dalam melakukan pembedahan untuk kasus kelainan saraf pusat. Berdasarkan masalah diatas, terciptalah suatu alat yang bernama NeuroArm. Alat ini dikembangkan pertama kali di University of Calgary, Kanada pada tahun 2001, dengan mengaplikasikan konsep robotik dalam pembedahan saraf. Secara umum, NeuroArm tersusun atas dua tangan yang dilengkapi dengan alat-alat bedah mikro dan mampu menampilkan visualisasi Magnetic Resonance Imaging (MRI) melalui layar gambar tiga dimensi (3D). Berkat penemuan alat ini, ahli bedah kini mampu melakukan pembedahan sembari pasien menjalani prosedur MRI. NeuroArm menggunakan sistem haptik, suatu sistem yang mensimulasikan sensasi sentuhan pada pengguna alat. Tangan ahli bedah akan dipasangi alat sensor yang tersambung dengan tangan robotik NeuroArm. Dengan demikian, tangan robotik akan mengikuti gerakan operator, yang seolah-olah sedang mengoperasi langsung pasien. Selama operasi, dokter ahli bedah akan memakai kacamata khusus agar membiasakan matanya untuk diamati oleh operator di ruangan lain. Data ini dapat disimpan sebagai rekaman operasi ataupun dianalisis untuk mengurangi potensi kesalahan operasi kelak. Data-data operasi bahkan bisa di transfer secara digital ke pihak lain sesuai kehendak operator.

Sayangnya, alat ini masih memiliki keterbatasan. Klinisi yang akan mengadopsi NeuroArm diharapkan mengikuti latihan khusus terlebih dahulu, mengingat teknologi ini cukup rumit. Dengan sesi latihan simulasi, klinisi diharapkan semakin terbiasa menggunakan NeuroArm, sebelum benar-benar digunakan pada pasien nyata.

Di tahun 2013, penerapan NeuroArm di Kanada dilaporkan sudah mencapai fase pengujian klinis. Berdasarkan laporan, NeuroArm sudah digunakan terhadap 35 kasus nyata. Setiap pasien akan diberikan lembar informed consent sebelum menjalani prosedur dengan alat tersebut.

Hingga saat ini, belum ditemukan adanya laporan penggunaan NeuroArm oleh klinisi Indonesia. Akan tetapi, NeuroArm memang menunjukkan kondisi klinis pascapembedahan yang membaik dibanding metode bedah konvensional. Oleh sebab itu, alat ini baiknya juga diterapkan di Indonesia, dengan melakukan beberapa penyesuaian sesuai kebutuhan. leonaldo Pernahkah terpikir untuk menjalankan MRI sembari melakukan operasi pada pasien? Ternyata hal itu sudah tidak mustahil.

Sel Punca Embrio Manusia: Solusi Regenerasi Jantung

Tata laksana gangguan sistolik sudah maju pesat terutama untuk meringankan gejala dan memperlambat progresi penyakit. Cedera jantung menyebabkan kehilangan jaringan kontraktil miokard secara ireversibel, dan belum ada tata laksana dengan pendekatan mengembalikan jaringan yang hilang. Gagal jantung terjadi sebanyak 23 juta kasus di dunia dan setengahnya meninggal dalam 5 tahun setelah diagnosis. Dengan kedokteran regeneratif, digunakan human embryonic stem cell (hESC) yang berpotensi membentuk jaringan baru yang tersusun atas kardiomiosit, endotel, dan otot polos. Namun, terdapat beberapa kendala yang muncul, seperti sel tidak matur, retensi cangkok tidak optimal, proliferasi sel tidak baik, dan ukuran cangkok yang kecil. Sampai saat ini, tidak banyak penelitian yang membahas sel penyokong yang mendukung maturasi kardimiosit turunan hESC dan meningkatkan ukuran cangkok.

Penelitian dilakukan secara in vitro dan in vivo. hESC dikembangkan menjadi sel epikardium dan diinjeksikan pada embrio ayam yang diinkubasi. Uji pada tikus dilakukan dengan mensimulasikan infark miokard, yaitu dengan torakotomi dan ligasi arteri koronaria anterior descendens sinistra selama satu jam. Empat hari setelahnya, transplantasi sel intramiokard dilakukan dengan torakotomi kedua. Dilakukan uji dengan ekokardiografi untuk memeriksa fungsi jantung dan pengurutan RNA untuk memeriksa molekul ekstraseluler. Pemeriksaan histologi juga dilakukan untuk mengukur ukuran infark dengan pewarnaan picrosirius red/fast-green dan ukuran cangkok dengan antibodi mitokondria manusia dan α-aktinin. Epikardium memiliki peran trofik pada masa perkembangan yang mencetuskan hipotesis epikardium turunan hESC (hESC-EPI) akan mendukung proliferasi dan pematangan kardiomiosit. Hasil penelitian menunjukkan epikardium turunan hESC mengalami transisi epitel menjadi mesenkim dan berubah menjadi sel mirip fibroblas. Pada jaringan jantung yang direkayasa tiga dimensi (3D-EHT), sel turunan epikardium (EPDC) memperbaiki struktur dan fungsi jaringan. Kultur kardiomiosit bersama epikardium menghasilkan pemadatan dan pematangan fungsi serta struktur 3D-EHT. Ukuran kardiomiosit, panjang sarkomer, penghasilan gaya, dan penanganan kalsium meningkat. Ketika diberikan pada infark miokard bersama dengan kardiomiosit turunan hESC (hESC-CM), EPDC menstimulasi proliferasi hESC-CM hingga 2,6 kali lipat, meningkatkan vaskularisasi di daerah batas infark, deposisi fibronektin, dan fungsi ventrikel pascainfark. Studi ini menyimpulkan bahwa hESC-EPI merupakan alat yang menjanjikan untuk kedokteran regeneratif. Diperlukan studi lain yang menjelaskan mekanisme sel epikardium memberikan keuntungan yang dipaparkan. catra

Referensi: Bargehr J, Ong LP, Colzani M, Davaapil H, Hofsteen P, Bhandari S, et al. Epicardial cells derived from human embryonic stem cells augment cardiomyocyte-driven heart regeneration. Nat Biotechnol [Internet]. 2019;37(8):895–906. Available from: http:// dx.doi.org/10.1038/s41587-019-0197-9

This article is from: