5 minute read

Orang dengan gangguan jiwa

Stigma Negatif Gangguan Jiwa di Indonesia

Gangguan Jiwa merupakan salah satu masalah kesehatan besar di Indonesia. Data Riskesdas tahun 2013 menunjukkan terdapat 14 juta jiwa di Indonesia pengidap gangguan jiwa. Dari jumlah itu, sekitar 400 ribu orang mengidap penyakit gangguan jiwa berat seperti skizofrenia. Hal ini berarti sekitar 6% dari jumlah penduduk Indonesia memiliki gangguan jiwa. Meskipun prevalensi yang cukup tinggi, stigma negatif terhadap orang dengan gangguan jiwa di Indonesia masih ada. Mereka menganggap persoalan kesehatan jiwa kalah serius dibandingkan kesehatan fisik.

Advertisement

Data menunjukkan sekitar 75% orang dengan gangguan jiwa melaporkan bahwa mereka mengalami dampak negatif dari stigma publik terhadap dirinya dan mendapat perlakuan diskriminatif. Dari survei menurut Journal of Health and Social Behaviour, 38% orang tidak ingin tinggal bersebelahan dengan orang sakit jiwa, 33% orang tidak ingin berteman dengan orang sakit jiwa, 58% tidak ingin bekerja sama dengan mereka, dan 68% orang tidak ingin penderita gangguan jiwa menikah dengan keluarga mereka.

Stigmatisasi negatif pada orang dengan gangguan jiwa menyebabkan mereka diisolasi dari lingkungan sosialnya. Di Indonesia,

Epidemi stigma negatif masyarakat terhadap orang dengan gangguan jiwa perlu diatasi

stigma negatif ini berupa anggapan bahwa orang dengan gangguan jiwa berbahaya karena dapat mencelakai orang lain. Keluarga sendiri juga merasa malu dan cenderung sering menyembunyikan anggota keluarganya yang memiliki penyakit kejiwaan. Tak hanya itu, orang dengan gangguan jiwa juga sengaja diisolasi dengan pemasungan. Status pendidikan dan ekonomi yang rendah memperkuat stigmatisasi ini. Hingga saat ini, upaya dalam menimimalkan stigmatisasi masih sangat kurang sehingga efek ketakutan masyarakat terhadap orang dengan gangguan jiwa semakin meluas. Efek penolakan masyarakat ini menyebabkan orang dengan gangguan jiwa sulit untuk mendapatkan pendidikan dan pekerjaan arfian/MA

yang layak. Hal ini pun menyebabkan mereka sulit untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan memiliki kualitas hidup yang rendah.

Dampak dari banyaknya gangguan jiwa yang tidak diobati adalah menurunnya produktivitas kerja. Hal ini disebabkan gangguan jiwa biasanya

menyerang usia produktif yaitu 20 hingga 30 tahun. Data dari Kemenkes menyebutkan bahwa estimasi dampak kumulatif global masalah kesehatan jiwa akan mencapai 16,3 triliun dollar antara

tahun 2011 dan 2030. Selain itu, dampak dari gangguan jiwa sendiri juga dapat memengaruhi kesehatan fisik seseorang sehingga pengeluaran asuransi negara meningkat. Oleh karena itu, menanggulangi stigmatisasi negatif terhadap orang dengan gangguan jiwa menjadi sangat penting untuk dilakukan. Upaya dalam mengubah stigma publik sendiri tidaklah mudah

dengan adanya budaya dan kepercayaan yang kuat tiap kelompok. Penelitian oleh Dybvig, et al. (2004) pun menunjukkan terdapat tiga tindakan anti-stigma yaitu protes terhadap individu yang bersifat diskriminatif, pendidikan atau informasi yang cukup kepada masyarakat tentang gangguan jiwa, dan kontak sosial dengan penderita gangguan jiwa.

Dalam menghadapi masalah ini, Kemenkes pun melakukan berbagai upaya untuk menambah edukasi masyarakat tentang gangguan jiwa. Upaya ini membutuhkan pelibatan dan tanggung jawab semua aktor pembangunan dan tidak hanya berbasis fasilitas kesehatan tetapi komunitas dalam satu wilayah. Pemeriksaan rutin psikologis pun sebaiknya dilakukan secara rutin seperti pemeriksaan psikis.

Mengurangi stigma terhadap orang dengan gangguan jiwa bisa dimulai dari diri kita sendiri. Masing-masing orang harus menyadari bahwa setiap orang memiliki kemungkinan untuk terkena gangguan jiwa. Cara sederhana dan mudah untuk mengurangi stigma negatif ini adalah dengan menambah dan memperdalam ilmu mengenai fakta kesehatan mental. Kita juga sebaiknya tidak melabeli atau menghakimi orang dengan gangguan jiwa. mariska

INFO OBAT

Kontroversi Penarikan Antihipertensi ARB

Beberapa jenis dari obat antihipertensi golongan ARB ditarik dari pasaran, mengapa?

Hipertensi merupakan salah satu kondisi klinis yang paling banyak diderita oleh masyarakat Indonesia dan dunia. Sekitar satu dari tiga orang di dunia mengalami hipertensi. Oleh karena itu, tak heran lagi jika banyak jenis obat hipertensi yang beredar. Mulai dari diuretik, Calcium Channel Blocker (CCB), ACE inhibitor, Angiotensin Receptor Blocker (ARB), dll. Obat-obat tersebut memiliki indikasi dan mekanisme kerja yang berbeda-beda. Namun disayangkan, dari semua obat tersebut, pada awal tahun 2019, obat Irbesartan dari jenis ARB ditarik oleh BPOM (Badan Pengurus Obat dan Makanan) RI dari peredarannya di Indonesia.

Menurut BPOM RI, Irbesartan merupakan obat keras yang dikonsumsi berdasarkan resep dokter untuk menangani hipertensi. Food and Drug Administration (FDA) Amerika Serikat menyatakan bahwa

gita/MA obat antihipertensi golongan ARB ditarik dari peredaran karena ditemukan pengotor N-Nitrosodiethylamine (NDEA) pada bahan baku Irbesartan dari Zhejiang Huahai Pharmaceuticals, Linhai, China. Zat pengotor lain yang diduga terkandung dalam ARB adalah N-Nitrosodimethylamine (NDMA).

Zat pengotor tersebut berada pada level melebihi batas yang dapat diterima. Batas kandungan NDEA dalam ARB menurut FDA Amerika Serikat adalah sebanyak 26,5 ng/hari untuk Irbesartan. Hal ini mengejutkan karena zat pengotor dalam jumlah tinggi mengarah pada kemungkinan karsinogenik. Data terbaru menunjukkan bahwa hal ini terkait dengan

terjadinya kanker kulit termasuk

melanoma. Obat ini dikatakan dapat

merangsang adhesi dan invasi sel melanoma manusia. Menurut US Department of Health and Human Services, paparan NDMA dosis tinggi juga dapat menyebabkan kerusakan hati. Hal ini didukung dengan penelitian pada hewan yang menunjukkan bahwa NDMA menyebabkan tumor hati, ginjal, dan saluran pernapasan. Penarikan ini didasarkan oleh hasil pengujian ARB yang berfokus pada analisis Active Pharmaceutical Ingeredient (API). Sebenarnya, penelitian tentang zat pengotor ini masih terus dikembangkan. Zat pengotor ini diduga dihasilkan oleh reaksi kimia dalam pembuatan obat atau penggunaan kembali bahan seperti pelarut. Sampai saat ini, FDA telah mempublikasikan metode pengujian untuk ARB yang mengandung zat pengotor. Metode tersebut di antaranya metode headspace, headspace gabungan, dan kombinasi injeksi langsung. Metode ini digunakan untuk mengevaluasi API dan produk obat jadi.

Irbesartan seperti yang telah disebut di atas merupakan antagonis angiotensin II sehingga memiliki aktivitas antihipertensi. Irbesartan secara selektif dan kompetitif memblok pengikatan angiotensin II pada reseptor angiotensin I. Angiotensin II dapat merangsang sintesis dan sekresi aldosteron yang dapat meningkatkan retensi natrium dan meningkatkan ekskresi kalium, sehingga meningkatkan volume plasma darah. Selain itu, angiotensin II juga berperan sebagai vasokonstriktor pada otot polos pembuluh darah. Keduanya tentu memicu peningkatan tekanan darah atau hipertensi. Jika angiotensin II ini dihambat, hipertensi diharapkan dapat dicegah. Irbesartan dijadikan pilihan obat hipertensi apabila penggunaan ACE inhibitor tidak adekuat. Indikasi lain pemberian obat golongan ARB adalah gagal jantung kongestif, penyakit ginjal kronik, dan neuropati diabetikum.

Golongan obat ini memiliki efek samping batuk dan angiodema yang lebih jarang daripada obat golongan ACE inhibitor. ARB dapat meningkatkan risiko terjadinya hiperkalemia bahkan hipotensi. Irbesartan biasa dikonsumsi per oral dalam bentuk tablet. Di Indonesia, golongan ARB termasuk dalam kategori D, yaitu ada bukti positif mengenai risiko terhadap janin. Untuk itu, konsumsi oleh ibu hamil dan menyusui memerlukan konsultasi dokter. Setelah beredar lama di Indonesia, beberapa obat golongan ARB ini sudah tidak diperbolehkan diproduksi. Selain Irbesartan, obat lain dalam golongan ini yang telah digunakan untuk antihipertensi adalah Losartan, Valsartan, dan Kandesartan. Namun, sejak akhir 2018 ternyata Losartan dan Valsartan juga ditarik dari pasaran dengan alasan yang sama. BPOM RI menjelaskan bahwa prinsip utama dalam pemberian obat adalah kehatihatian dan mengutamakan keselamatan pasien. Melaui laman internetnya, BPOM RI telah meminta perusahaan farmasi terkait untuk menghentikan produksi maupun distribusi obat yang megandung bahan baku terdampak tersebut. Untuk itu sekarang telah dihentikan produksi dan distribusi obat yang mengandung bahan baku terdampak pengotor NDEA maupun NDMA.

BPOM RI menegaskan kepada pasien yang sudah mengonsumsi obat yang terdampak tersebut untuk segera berkonsultasi dengan dokter/apoteker di fasilitas pelayanan kesehatan. lila

This article is from: