ISSN: 9772442302103
THE EQUATOR Vol. 5/No. 2 April - Juni 2017 Terbitan triwulan | GRATIS Newsletter Yayasan Biennale Yogyakarta
MEMBACA DAN MENENTUKAN POSISI
2
PENGANTAR REDAKSI Salam, para pembaca yang baik. “The Equator” edisi kedua tahun ini adalah terbitan “antara” yang menjembatani persiapan awal dan mainevent Biennale Jogja XIV Equator #4. Pada kesempatan ini, kami menghadirkan dialog dan pertukaran wacana untuk sedikit menggambarkan perjalanan panjang Biennale Jogja yang ditarik lebih jauh lagi: sejak seri Equator dimulai. Proyek serial ini telah berlangsung enam tahun lamanya, dan masih akan berjalan sekitar lima tahun lagi hingga penghujungnya di tahun 2022. Dalam kurun waktu enam tahun terakhir, Biennale Jogja telah diselenggarakan sebanyak tiga kali dengan mitra berturut-turut: India, negara-negara di kawasan Arab, dan Nigeria. Pilihan untuk mengelilingi garis imajiner khatulistiwa ini terbilang unik dan sekaligus tidak mudah. Selain tantangan teknis soal jarak, biaya, dan lain sebagainya, muncul pula tantangan untuk membangun kemitraan dengan segala keterbatasan pengetahuan dan pengalaman interaksi kita dengan negara-negara rekanan. Terkait negara-negara mitra yang selama ini digaet BJ, Adelina Luft berupaya melihat kerangka besar penyelenggaraan BJ Equator dari sudut pandang konsep Selatan dalam peta global. Dalam tulisan yang disarikan dari penelitian tesisnya ini, Adel menemukan bahwa meski tidak pernah secara persis dimaksudkan untuk jadi bagian dari perdebatan geopolitik soal Selatan dan Utara, BJ Equator ternyata menduplikasi semangat yang kurang lebih mirip untuk menyuarakan posisi negara-negara dengan nasib sosial-politik-ekonomi yang serupa. Equator sebagai garis imajiner yang membelah bumi jadi dua belahan ini tidak lantas tertutup untuk tafsir lainnya. Tulisan Bodrek Arsana mencoba melihat bagaimana imajinasi kita tentang garis khatulistiwa sebenarnya bisa didekatkan dengan persoalan-persoalan yang lebih domestik, sehingga familier dengan realitas yang kita jalani. Sementara itu, tentang pengejawantahan konsep ini dalam gagasan estetika BJ sendiri, kami menyajikan tulisan dari Yuswantoro Adi yang mengkritisi soal kebutuhan reposisi estetika dalam aktivitas BJ sebagai peristiwa seni rupa. Selain mencoba membaca posisi dan peran Biennale Jogja XIV sendiri melalui ketiga tulisan di atas, edisi kali ini juga menghadirkan sebuah ulasan atas Pameran Pra-Biennale lalu oleh Seno Aditya Utama, salah seorang tim Riset dan Basis Data BJ XIV. Di samping itu, kami juga ingin memperkenalkan mitra resmi BJ XIV yang mewakili Brasil, yakni Videobrasil. Perkenalan ini ditulis oleh Gabriel Bogossian, ko-kurator Videobrasil, yang menceritakan sedikit aktivitas mereka dan ketertarikan dalam kerja sama dengan Indonesia ini. Akhir kata, selamat menyimak sajian kami dalam edisi kali ini. Semoga menambahkan sesuatu pada pembaca sekalian. Salam, Redaksi The Equator merupakan newsletter berkala setiap tiga bulan diterbitkan Yayasan Biennale Yogyakarta. Newsletter ini dapat diakses secara online pada situs: www.biennalejogja.org Redaksi The Equator menerima kontribusi tulisan dari segala pihak sepanjang 1500 - 2000 kata dengan tema
terkait isu Nusantara Khatulistiwa. Tulisan dapat dikirim via e-mail ke: the-equator@biennalejogja.org. Tersedia kompensasi untuk tulisan yang diterbitkan. Tentang Yayasan Biennale Yogyakarta (YBY) Misi YBY adalah: Menginisiasi dan memfasilitasi berbagai upaya mendapatkan konsep strategis
perencanaan kota yang berbasis senibudaya, penyempurnaan blue print kultural kota masa depan sebagai ruang hidup bersama yang adil dan demokratis. Berdiri pada 23 Agustus 2010. Alamat: Taman Budaya Yogyakarta Jl. Sri Wedani No.1 Yogyakarta Telp: +62 274 587712
E-mail: the-equator@biennalejogja.org April - Juni 2017, 1000 exp Penanggung jawab: Direktur Biennale Jogja XIV Equator #4 Redaktur Pelaksana: Maria Puspitasari Kontributor: Adelina Luft, Bodrek Arsana, J. Seno Aditya Utama, Yuswantoro Adi, Gabriel Bogossian Fotografi: Arsip YBY, Dwi Oblo,
3
DAFTAR ISI 4|
Berspekulasi dengan Percakapan Selatan Biennale Jogja Equator dalam Kerangka Selatan Adelina Luft (Kurator dan Penulis Seni Rupa)
14|
Mempertanyakan Equator dan Konteksnya di Indonesia Bodrek Arsana (Peneliti Independen)
23|
Dari Pra Biennale 20-25 Maret 2017: Sebuah Refleksi Orang Biasa J. Seno Aditya Utama (Tim Riset dan Basis Data Biennale Jogja XIV Equator #4)
28|
Estetika itu Hukumnya Wajib Yuswantoro Adi (Pelukis, tinggal di Yogyakarta)
33|
Mata Mercusuar Gabriel Bogossian Ko-Kurator Associação Cultural Videobrasil dan Ko-Kurator Biennale Jogja XIV
sumber-sumber internet Desainer: Yohana T. Outlet Penyebaran Jakarta Ruangrupa, Goethe Institut, Komunitas Salihara, dia.lo.gue, Kedai Tjikini, Serrum Bandung: Selasar Sunaryo Art Space, Galeri Soemardja, Tobucil Jawa Barat: Jl. RA. Natamanggala, Perum Bukit Rantau Indah C27 Kademangan Pasir Halang Kec.
Mande Kab. Cianjur Yogyakarta: IVAA, Kedai Kebun, Perpustakaan UIN Yogyakarta, Perpustakaan Pusat UGM, Perpustakaan Pascasarjana USD, Cemeti Art House, LKiS, Ark Gallerie, Warung Lidah Ibu, FSR ISI, Jogja Contemporary, PKKH UGM, Angkringan Mojok Semarang: Kolektif Hysteria
Surabaya: C2O Kediri: RUPAKATADATA Jokosaw Koentono Bali: Ketemu Project Space Makasar: Rumata Artspace, Colliq Puji’e
Dukungan untuk Yayasan Biennale Yogyakarta dikirim ke: Yayasan Biennale Yogyakarta BNI 46 Yogyakarta No.rek: 224 031 615 Yayasan Biennale Yogyakarta BCA Yogyakarta No.rek: 0373 0307 72 NPWP: 03.041.255.5-541.000
4
Berspekulasi dengan Percakapan Selatan Biennale Jogja Equator dalam Kerangka Selatan Adelina Luft Kurator dan Penulis Seni Rupa
Ruang pameran utama Biennale Jogja XII Equator #2 di Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta. Foto: Dwi Oblo Dok: Arsip YBY
Naskah ini adalah adaptasi ulang dari tesis "Biennials of South. Internationalization and Discursive Turn in Jogja Biennale Equator" yang disusun oleh penulis untuk tesis Magister Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa Universitas Gajah Mada)
5
Pendahuluan World Biennial Forum diselenggarakan untuk kedua kalinya pada tahun 2014 dengan tajuk "Making Biennials in Contemporary Time" (Menghelat Bienial pada Masa Kontemporer) di Sao Paolo, Brasil. Dalam edisi pertamanya yang dilaksanakan di Gwangju, Korea, forum ini merefleksikan perkembangan sektor ekonomi dan budaya di Asia dengan tema "Shifting Gravity" yang dipimpin oleh Ute Meta Bauer dan Hou Hanru. Sementara, forum kedua di Sao Paolo mengambil gagasan tentang Selatan global sebagai titik pijak untuk menyelidiki lebih jauh bagaimana konsep geografi tersebut membentuk kondisi bienial masa kini di seluruh dunia. Hasil dari forum tersebut dipublikasikan dalam katalog pasca-acara yang terdiri dari beberapa esai. Dalam kata pengantarnya, para editor mengungkap temuan bahwa dalam kumpulan tulisan itu para peserta tidak berhasil mencapai kesepakatan bersama mengenai definisi Selatan yang sesungguhnya. Akan tetapi, publikasi itu menyajikan dua arah pemikiran utama: pertama, melihat aspek geopolitik yang menghubungkan Selatan dengan konteks sejarah sosial-politik kolonisasi dan—tak terelakkan—dekolonisasi; kedua, Selatan mewakili sebuah cara pandang, konsep yang lebih abstrak atau kreatif.i Dialektika gagasan tentang Selatan yang didefinisikan ulang untuk menyertakan di dalamnya cara pandang yang lebih luas perlu diperiksa lebih jauh, terutama dalam ranah bienial yang dalam rentang waktu panjang punya keterikatan dengan wacana tentang Selatan. Posisi bienial dalam membahas relasi transkultural dan pemosisian ulang narasi sejarah seni di
luar pusat dimulai pada masa yang disebut Gardner dan Green sebagai bienial gelombang kedua. Gelombang ini diawali dengan Sao Paolo Biennale tahun 1951, dan menyebar luas ke bienial lainnya yang digelar hingga akhir tahun 1980an. Selain lintasan bienial gelombang kedua yang menciptakan regionalitas geopolitik dan relasi transkultural, belakangan muncul upaya-upaya untuk berteori tentang Selatan sebagai gerakan baru dalam ilmu sosial,ii di mana sejumlah turunan teori saling berargumen untuk mendapatkan legitimasi, yang memperdebatkan gagasan tentang teori itu sendiri dan produksinya dalam posisi geopolitik Selatan.iii Tulisan ini tidak akan menilik pertanyaanpertanyaan teoretis tentang Selatan, melainkan mengumpulkan sejumlah definisi yang ditemukan dalam literatur dalam upaya melihat batas-batas dialektika Selatan dalam pandangan kontemporer, dan relasi wacana tersebut dalam bienial internasional. Selanjutnya, tulisan ini berupaya melihat bagaimana temuantemuan terkait Selatan dapat digunakan sebagai kerangka untuk membaca bienial pinggiran (periferi) seperti Biennale Jogja, di bawah payung gagasan Equator. Perlawanan dalam Bienial Selatan: Gelombang Kedua Terlepas dari fakta bahwa sejarah bienial Selatan tampaknya tidak mungkin dituliskan dalam sebuah narasi linier, Gardner dan Green mengerangkai bienial Selatan dalam kategorisasi historis yang bersamaan dengan bienial gelombang kedua pada rentang tahun 1950an hingga 1980an. Sebagian besar bienial ini mengeksplorasi isu-isu politik identitas, yang erat kaitannya dengan regionalisme
6
kritis sebagai sarana untuk menyelaraskan kembali jaringan kebudayaan melintasi pembagian geopolitik.iv Gelombang ini diawali dengan Alexandria Biennale (1955), Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Non-Blok di Bandung (1955), Yugoslavia – Zagreb Music Biennale (1961), dan Triennale India di New Delhi (1968). Kesamaan dari bienial-bienial ini adalah mengejawantahkan otonomi kebudayaan setelah kemerdekaan nasional. Selain bienial yang disebutkan di atas, ada sejumlah bienial lain yang diselenggarakan untuk pertama kalinya selama periode ini: Tokyo Biennale (1952), Vietnam Biennale (1962) atau Arab Art Biennale tahun 1974, Fukuoka Asian Art Show tahun 1979, Asian Art Biennale di Dhaka (1981), Havana (1983), Kairo (1984), atau bienial Istanbul yang lebih terkenal (1987). Sejumlah bienial ini berlangsung pada era sebelum internet dan globalisasi; sebagian berusaha menolak hegemoni kebudyaan Atlantik Utara, sebagian lainnya menjadi bagian dari agenda modernisasi dan internasionalisasi kebudayaan yang lebih besar. Sayangnya, gelombang tersebut tidak menyertakan keberadaan Jakarta Biennale yang pertama kali digelar tahun 1974, karena bienial tersebut terbilang sekadar pameran dua tahunan lokal (platform ini baru diangkat ke tingkat internasional pada tahun 2009). Selama gelombang kedua ini, pada awal tahun 1955, Alexandria Biennale menjanjikan sebuah konfigurasi ulang metode penyajian bienial dengan mencoba mengungkap fitur bersama yang secara khusus bercorak Mediteranian. Negaranegara seperti Mesir, Yunani, Maroko, Tunisia, Lebanon, bekas Yugoslavia, dan lain-lain, diundang untuk menciptakan
semacam koalisi yang akan melintasi tradisi kebudayaan yang berbeda-beda dalam harmonisasi estetis.v Bienial tersebut juga berupaya mengusung seniman dari kedua kubu wilayah yang dipisahkan Tirai Besi, serta negara-negara pascakediktatoran fasis; dengan kata lain, regionalisme akan menjadi jalan untuk mendobrak pembagian-pembagian geopolitik macam ini dengan tujuan membangun kerja sama di antara para seniman Mediteranian. Tahun 1955 juga menjadi saksi peristiwa penting bersejarah penyelenggaraan Konferensi Bandung di Indonesia yang melibatkan negara-negara Non-Blok dari luar dua kekuatan utama dunia. Konferensi tersebut dihadiri banyak peserta dari wilayah yang disebut "Dunia Ketiga", atau negara-negara non-blok perang, yang diikuti dengan konferensi UNESCO di New Delhi tahun 1956 dengan agenda mempromosikan jalur alternatif pertukaran kebudayaan. Pada tahun 1961, jalur-jalur ini diresmikan dalam konferensi di Belgrade, Yugoslavia, yang telah menyelenggarakan bienial sejak 1955, yakni Ljubljana Biennale Grafike (Bienial Seni Grafis). Pada tahun 1961, bienial ini diselenggarakan untuk keempat kalinya, mendahului aliansi kebudayaan negara non-blok. Dalam konteks Selatan global dan konsekuensinya terhadap gagasan besar tentang Selatan yang dikemukakan dalam seminar dan forum internasional zaman sekarang, Havana Biennial adalah peristiwa yang mengusulkan aliansi Selatan dalam konteks bienial. Diprakarsai di bawah kepemimpinan Fidel Castro, hingga edisi ketiganya tahun 1989, Havana Biennial terbilang relatif otonom dalam hal
7
Ÿ Ÿ
Nigeria Corner yang dihadirkan dalam Biennale Jogja XIII Equator #3 Indonesia Meets Nigeria. Genesis of Terror oleh Knyt Somnia, salah satu Parallel Events dalam Biennale Jogja XII Equator #2. Dalam proyek ini, KNYT SOMNIA mengambil penggalan peristiwa sejarah saat pimpinan negara Indonesia dengan Mesir menggagas tatanan dunia baru dan menjadi pionir dalam menjaga keseimbangan dunia melalui Gerakan NonBlok. Foto: Dwi Oblo Dok: Arsip YBY
keputusan kuratorial dengan tujuan program menyajikan kesenian dari Dunia Ketiga, atau Selatan Global. Baru pada edisi ketiganya yang dikuratori oleh Gerardo Mosquera, Havana Biennial menjadi bienial dunia berskala besar yang berpengaruh terhadap bienial dunia yang dihelat dari pinggiran (periferi) di waktu-waktu setelahnya. Edisi tersebut mengalami "pergantian wacana" terkait cara seni disajikan dan didiskusikan, mungkin serupa dengan
8
bagaimana Documenta memengaruhi kecenderungan dalam seni kontemporer. Hal penting dari kasus Havana bukanlah pergeseran dari media konvensional yang mendominasi estetika dunia menuju seni eksperimental, bukan pula perubahan "sikap menjadi bentuk" seperti yang terjadi dalam documenta 5 yang dikuratori oleh Harold Szeeman, melainkan orientasi pada produksi seni global yang disajikan terutama oleh negara-negara non-Barat dengan menyerahkan pembagian paviliun nasional dan memberi penghargaan berupa hadiah kepada seniman.vi Keputusan kuratorial penting lainnya adalah mengundang seniman bukan hanya dari pinggiran Selatan Global, melainkan juga para seniman non-Barat yang tengah bermukim di pusat. Keputusan ini menekankan intensi untuk memperluas konsep Dunia Ketiga, memungkinkan adanya citra dunia yang kompleks yang dibentuk dari migrasi-migrasi yang muncul belakangan.
perjuangan melawan kolonialisme dan kekuasaan imperialis".viii Apakah semangat yang ditemukan dalam gelombang kedua tersebut, yakni semangat menciptakan regionalitas dan bertindak sebagai bentuk perlawanan terhadap kekuasaan dominan, juga masih dan terus hadir dalam visi dan wacana bienial zaman sekarang?
Bienial yang diprakarsai di luar paradigma Barat sering kali dikategorikan sebagai bienial dari pinggiran atau Selatan Global, meskipun tipologi afiliasi terpadu mereka di bawah payung tertentu agak kendur dan tidak jelas. Ranjit Hoskote, salah satu kurator Gwangju Biennale tahun 2008, merangkum pembagian itu, menciptakan istilah baru, "biennial of resistance" (bienial vii perlawanan) dengan merujuk pada Triennale India tahun 1968 dan Havana Biennial tahun 1984. Ia mencatat: "bienial tersebut menjadi sebuah platform dasar untuk mengimajinasikan dan memetakan gagasan kontemporer global—tidak di jalur yang didikte oleh pusat metropolitan Barat, melainkan di sepanjang jalur yang dibangun di Selatan global, dalam masyarakat yang telah lahir melalui
Penggunaan istilah Selatan dalam beragam publikasi dan forum internasional telah mengaburkan penetapan batasbatasnya dan membuatnya mencakup sejumlah makna yang digunakan secara berbeda-beda oleh orang yang terlibat dalam wacana ini. Kita perlu melacak kembali genealogi dan derivasinya dari kajian pascakolonial, teori antikolonial, teori dependensi, dan lain-lain yang memanfaatkan belahan bumi selatan untuk membahas kepincangan sistem global dan mempertanyakan legitimasi institusi yang hegemonik. Selatan meniadakan polaritas dan dikotomi sebelumnya antara pusatpinggiran, utara-selatan, timur-barat, dan mengajukan lintasan baru, berupa koneksi horizontal pada ranah yang sama antara Selatan dan Selatan, serta koneksinya dengan belahan jaringan multi-arah lainnya.ix
Meskipun gelombang selanjutnya yang berlangsung sejak tahun 1990an hinga akhir 2000, yang disebut tahap proliferasi, menjadi saksi perhelatan ratusan bienial di seluruh dunia, terutama di wilayah Asia dan Asia-Pasifik serta wilayah Asia Tenggara dengan kolaborasi dan pertukaran, gelombang kedua bienial selatan telah punya pengaruh signifikan pada cara bienial dibentuk dan dibayangkan dalam konteks pertukaran global, pasar neoliberal, dan relasi transkultural masa kini. Menuju Definisi Selatan
9
Terdapat beberapa publikasi internasional seperti The Third Text (London), Revista de Critica Cultural (Santiago), atau South as a State of Mind (Atena) yang terus memosisikan diri sebagai terbitan penting yang mendiskusikan wacana kesenian dan kebudayaan non-Barat, di luar narasi sejarah dominan. Selain publikasi, juga ada beberapa platform, jaringan, pusat penelitian, dan program pertukaran yang diprakarsai di seluruh dunia baik di belahan bumi bagian Utara maupun Selatan yang bertujuan untuk mempromosikan dialog gagasan selatan-selatan dari beragam latar belakang, seperti humaniora, seni kreatif, ilmu sosial, dan lain-lain.x Ekspansi gagasan itu telah berlangsung konsisten dalam dekade terakhir, dan hal yang lebih penting untuk dicatat adalah masuknya gagasan tersebut ke dalam dunia akademis sebagai sebuah sub-disiplin, seperti di antaranya yang tampak dalam perekembangan Center for the Global South di Amerika Serikat. Satu hal yang kerap dikemukakan dalam sejumlah rujukan adalah bahwa Selatan tidak mesti dipahami sebagai sekadar lokasi geografis, melainkan dari perspektif lain yang berkaitan dengan Selatan sebagai cara pandang, tempat interaksi, mode untuk mempertanyakan tentang dan bertindak atas dunia, atau—seperti yang dinyatakan Kevin Murray—sebagai zona agensi dan penciptaan, bukan sekadar kemiskinan dan eksploitasi.xi Selatan menolak bekerja dengan pinsip-prinsip inklusi-eksklusi, atau pada level menciptakan regionalitas tertentu seperti yang tampak dalam sejarah bienial, sementara pada waktu bersamaan tetap kritis terhadap signifikansinya sendiri (yang cenderung terbagi-bagi) dalam mendiskusikan pertukaran transkultural.
Satu hal yang pasti adalah bahwa Selatan telah dilepaskan dari ikatan geografis dan sosial-politik intensi Selatan Global, dan bergeser menuju diskusi ulang atas dua jenis kondisinya: sumbu sinkronik, terkait relasi transnasional dan translokal yang diciptakan oleh Selatan dalam dunia global masa kini, dan sumbu diakronis, yang merujuk kembali pada sejarahnya yang kaya. Pembahasan yang memosisikan Selatan sebagai sebuah unit non-geografis juga sesuai dengan pertanyaan John L. Comaroff dan Jean Comaroff.xii Bagi pengarang, Selatan mewakili serangkaian relasi dan bukan tempat, dengan tujuan menekankan kausalitas ganda dan arah arus global yang tidak linier;mungkin serupa pula dengan Appadurai saat merujuk pada 'lanskap imajiner' arus global, yakni konstruksi transnasional tentang arah multilateral yang sejak awal tidak linier dan tidak biner. Selatan dipresentasikan sebagai ruang berisi garis, formasi, dan informasi yang menempatkan ulang pembahasan tentang Pencerahan dan modernitas, negara atau kapital. Oleh karena itu, kategori Selatan tampak sebagai sarana yang heuristik dengan potensi besar, namun tetap menyajikan keputusasaan dan bahaya dalam proses diferensiasi.xiii Bagaimana Selatan dicita-citakan dalam sejumlah terbitan buku dengan topik seputar itu serupa dengan cara Gardner dan Green melihat bienial dan jenis hubungan yang diciptakannya. Mereka ingin melihat bienial bukan terus-menerus dari garis Utara, melainkan dari sudut pandang dan aspirasi Selatan. Dengan kata "selatan", pengarang tidak hanya memaksudkan makna ruang geografis
10
yang mencakup belahan bumi bagian Selatan atau pembatasan geo-ekonomi Selatan Global, melainkan memuat sejarah kolonialisme yang juga ada dan dialami di seluruh dunia. Apa yang mendefinisikan Selatan bukan hanya refleksi historis, yang memang menjadi basis dari konstruksi wilayah konseptual ini. Selatan juga mencakup signifikansi identitas konstruktif yang dihasilkan dari sejarah ini, yaitu jejaring konektivitas di antara budaya-budaya di Selatan, yang tidak hanya menekankan tempat melainkan juga arah.
Gambar 1. Nilai-nilai Selatan. Sumber: Penulis
11
Biennale Equator dalam Kerangka Selatan (kesimpulan penelitian terdahulu) "Bienial selalu mencoba meregenerasi bentuknya, memperbarui sejarahnya, melihat ke periode waktu dan tempat lain sebagai inspirasi untuk membayangkan ulang bienial masa lalu dan masa kini. Inilah bienial Selatan.” - Geeta Kapur dan Nancy Adajania Setelah meneliti Biennale Jogja Equator dan mewawancarai pemrakarsa proyek ini, serta para kurator dari edisi sebelumnya, penting untuk dijelaskan bahwa konsep Selatan tidak muncul sebagai posisi yang dinyatakan atau diasumsikan dalam pembentukan visi dan misi proyek Equator. Tujuan Equator bukanlah untuk memosisikan dirinya dalam ideologi tertentu, bukan pula menyatakan afiliasi kategorial tertentu, seperti melawan dominasi Barat, berdiri sebagai bienial dari Selatan Global, atau pelabelan sebagai bienial pascakolonial. Equator muncul sebagai sebuah kebutuhan untuk membedakan diri dari bienial nasional dan regional lainnya, serta untuk menciptakan dialog dengan negara-negara yang memiliki kemiripan dengan Indonesia, di sepanjang sabuk khatulistiwa. Misi umum dari seri Biennale Equator adalah mengembangkan perspektif baru dalam konteks wacana seni kontemporer dan menjadi sebuah platform bersama untuk 'membaca ulang' dunia dari sudut pandang non-pusat yang akan mengedepankan alternatif baru dari wacana hegemonik. Kerja sama dengan wilayah sabuk khatulistiwa dimulai sebagai sebuah kebutuhan untuk mencari peluang-
peluang baru yang akan memberikan makna lebih dalam mengenai dikotomi antara pusat dan pinggiran yang masih bertahan. Oleh karena itu, khatulistiwa merepresentasikan sebuah arena eksplorasi, kajian, pertemuan, perjumpaan, konflik, rekonsiliasi, pembaruan, dan humanitarianisme. Khatulistiwa tidak dianggap sebagai sekadar kerangka untuk mengakomodasi kesamaan, tapi juga titik tolak untuk mewujudkan keragaman kultural dari masyarakat global yang matang ini. xiv Hasil penelitian membaca Biennale Jogja Equator dari kerangka Selatan menunjukkan adanya banyak kesamaan antara wacana Selatan dalam literatur dan wacana aktual proyek Equator yang disampaikan oleh para informan dan sumber dokumentasi selama tiga penyelenggaraan terakhir ("Shadow Lines" dalam perjumpaan dengan India tahun 2011, "Not a Dead End" dengan Wilayah Arab tahun 2013, dan "Hacking Conflict" dalam perjumpaan dengan Nigeria tahun 2015). Selatan dapat digunakan sebagai kerangka untuk memeriksa relasi artistik dan kultural di antara negara-negara yang memiliki latar belakang sosial-kultural dan sejarah yang mirip dengan posisi inherennya di garis khatulistiwa di wilayah subtropis. Selatan menyajikan banyak lapis pemahaman, dan dalam lapis-lapis itu kita dapat menemukan bahwa proyek Equator selaras dengan semangat Selatan. Baik Selatan maupun Equator adalah "lanskap imajiner" xv atau mungkin percapakan spekulatif tentang serangkaian relasi global kompleks yang tidak hanya ditentukan oleh posisi geografis. Equator juga merupakan sebuah platform artistik yang memegang prinsip "imajinasi sebagai
12
praktik sosial" dalam perjumpaan negaranegara tersebut melalui produksi artistik. Hal ini serupa dengan harapan Kevin Murray akan Selatan—menjadi sebuah metode alternatif yang dikembangkan melalui praktik kreatif, dan bukan hanya serangkaian relasi internasional dan sosial. Liyan yang dibayangkan dalam konteks bienial dimungkinkan melalui mediasi karya seni yang mengajukan jenis introduksi lain tentang liyan 'tak dikenal' pada audiens lokal. Mediascapes—meminjam istilah Appadurai—ini, dilihat dari bentuk karya seninya, diekspresikan lebih jauh di bawah ideoscapes yang lebih besar, yaitu arus global ideologi, yang diajukan oleh tiap-tiap pencarian kuratorial serta disajikan melalui beragam media diskursif: presentasi, diskusi, proyek, simposium, dan lain-lain. BJE adalah sebuah platform eksperimental yang tidak hanya didorong oleh faktor komersial, melainkan malah menguji format dan cara kerja kolaboratif untuk mempertahankan diskursivitasnya. BJE tampak memiliki karakteristik bentuk bienial dari gelombang kedua—sampai batas tertentu melanjutkan semangatnya, namun tidak ditujukan untuk menyampaikan suara reaksioner dalam wacana internasional. Internasionalisasi platform ini lebih berakar pada alasan organisasional dan keberlanjutannya, dan pada saat bersamaan berfokus pada penciptaan dialog intensif dengan negara mitra dari koordinat geografis yang sama. Selain itu, dialektika istilah Selatan yang diterapkan sebagai kerangka untuk menafsirkan wacana Equator menunjukkan beberapa aspek penting yang menyimpulkan bahwa BJE adalah sebuah bienial di Selatan, tentang Selatan, dan untuk Selatan. Meskipun argumen untuk
relasi ini bersifat relatif dan berdasar pada asumsi dan interpretasi peneliti sendiri, sebagian besar rujukan literatur telah mengarah pada diskursivitas yang memiliki dialektika serupa dengan materi wacana dan cara pikir proyek Equator. Daftar Pustaka Appadurai, Arjun. 2005. [1996]. Modernity at Large: Cultural Dimensions of Globalization. US: University of Minnesota Press. Comaroff, L. John. Comaroff, Jean. 2014. Theory from the South: Or, How Euro-America is Evolving towards Africa. Sun MeDIA Stellenbosch. Gardner, Anthony. Green, Charles. 2016. Biennials, Triennials, and Documenta: The Exhibitions that Created Contemporary Art. UK: John Wiley and Sons Ltd. Edisi Kindle. Gardner, Anthony. Green, Charles. 2013. “Biennials of the South on the Edges of the Global”, dalam Third Text, Vol. 27, No. 4, 443-455. Hoskote, Ranjit. 2012. “The Shapeshifting Trajectory of the Biennale”, dalam TAKE - Biennale, (New Delhi, Bhavna Kakar Biennale), Issue 08. Marchart, Oliver. 2013. “The Globalization of Art and the “Biennials of Resistance". A History of Biennials from the Periphery” Nora Sternfeld and Henna Harri (ed.), CuMMA Papers #7. Helsinki: Jurusan Seni Aalto University. Rosa, C. Marcelo. 2014. “Theories of the South: Limits and perspectives of an emergent movement in social sciences” dalam Current Sociology, Sage Publication. Papastergiadis, Nikos. “What is the South?”, dalam Thesis Eleven, nomor 100, Februari 2010, 141-156. Making Biennials in Contemporary Time, Essays from the World Forum Biennial #2, Sao Paolo, 2014.
i
Marieke Van Hal, Making Biennials in Contemporary Time, Essays from the World Forum Biennial #2, (Sao Paolo, 2014), 3. ii Lihat Boaventura Santos, Epistemologies of the South, John L. Comaroff dan Jean Comaroff, Theory from the South, Raewyn Connell, Southern Theory.
13
iii
Marcelo C. Rosa, "Theories of the South: Limits and perspectives of an emergent movement in social sciences", Current Sociology, (Sage Publication, diterbitkan daring tanggal 24 Februari 2014, di http:// csi.sagepub.com/contet/early/2014/02/24/00113921145 22171), 2. iv Anthony Gardner, Charles Green, Biennials, Triennials, and Documenta: The Exhibition that Created Contemporary Art, (UK: John Wiley and Sons Ltd, 2016), Edisi Kindle. v Anthony Gardner dan Charles Green, "Biennials of the South on the Edges of the Global", dalam Third Text (UK: Routledge, 2013, 27:4), 445. vi Oliver Marchart, "The Globalization of Art and the "Biennials of Resistance". A History of Biennials from the Periphery" dalam Nora Sternfeld dan Henna Harri (Ed.) CuMMA Papers #7 (sebuah esai dari Jurusan Seni Universitas Aalto, Helsinki, 2013), 5-6. vii Ranjit Hoskote, “Biennials of Resistance: Reflections on the Seventh Gwangju Biennial”, The Biennial Reader, 2014, 306-321. viii Ranjit Hoskote, “The Shapeshifting Trajectory of the Biennale”, TAKE - Biennale, (New Delhi, Bhavna Kakar Biennale, issue 08, 2012). ix Nikos Papastergiadis, “What is the South?” dalam Thesis Eleven (No. 100, 2010), 42. x http://www.southernperspectives.net/southlink diakses pada tanggal 5 Desember 2017, pukul 3.20. xi Kevin Murray dalam Gardner dan Green, 2016, edisi Kindle. xii John L. Comaroff dan Jean Comaroff, Theory from the South: Or, How Euro-America is Evolving Toward Africa, (Sun MeDIA Stellenbosch, 2014). xiii https://culanth.org/fieldsights/268-theory-from-thesouth diakses pada tanggal 10 Januari 2017 pukul 4.20 xiv http://www.biennalejogja.org/eventbiennale/biennale-jogja-10-tahun-ke-depanwawancara-dengan-khatulistiwa diakses pada tanggal 7 Januari 2017, pukul 17.05. xv Arjun Appadurai, Modernity at Large: Cultural Dimensions of Globalization, (US: University of Minnesota Press, [1996], 2005), hal. 3-9.
14
Mempertanyakan Equator dan Konteksnya di Indonesia Bodrek Arsana (Peneliti independen)
Longmarch dan flashmob Warga Taman Tiban, bagian dari Biennale Jogja XIII Equator #3. Foto: Dhomi Indra Marfasa Dok: Arsip YBY
Pada mulanya adalah istilah dan konsep dalam ilmu yang mempelajari hal ikhwal menyangkut bumi. Equator atau yang dalam bahasa Indonesia dikenal dengan nama garis khatulistiwa (atau juga ekuator) adalah istilah dan konsep dalam ilmu Geografi. Equator atau khatulistiwa didefinisikan sebagai garis imajiner yang membelah bumi menjadi dua bagian, yaitu belahan utara dan belahan selatan. Istilah ini kemudian dipinjam dan dibawa ke dalam berbagai ranah lain seperti geopolitik, ekonomi, budaya, pertahanan-keamanan hingga kemudian dalam ranah kesenirupaan. Lalu bagaimana makna yang muncul dan
15
berkembang atas pemakaian istilah dan wacana equator atau khatulistiwa di luar ilmu Geografi tersebut? Dalam ranah geopolitik, istilah dan konsep ekuator 'dipinjam' dan dimaknai sebagai garis geografis imajiner yang membagi dunia menjadi dua kutub politik, yaitu negara-negara di belahan bumi utara dan selatan. Kedua kutub politik ini dikonstruksikan sebagai berdiri secara diametral di mana kutub politik belahan utara lebih dominan, lebih unggul daripada negara belahan selatan bumi. Dalam istilah geo-ekonomi ekuator ini dimaknai sebagai pemilahan antara negara-negara maju dan kaya yang berada di belahan utara, dengan negara-negara berkembang dan miskin di belahan selatan. Demikian pula halnya dalam ranah budaya, kelompok negara dengan budaya yang lebih modern, beradab, dan maju berada di bagian utara ekuator, sementara budaya negara-negara di selatannya dianggap kurang atau tidak modern, bahkan disebut terbelakang. Di ranah pertahanan-keamanan, ekuator dimaknai menjadi pemilahan negaranegara dengan persenjataan hebat dan sistem keamanan negara yang canggih yang lagi-lagi berada di belahan utara, dan negara-negara kurang stabil dengan sistem persenjataan standar di belahan selatan. Tak pelak, kolonialisme adalah satu bentuk terjemahan paling telanjang dan banal dari pemaknaan konsep ekuator ini. Asumsi dasarnya adalah bahwa ada bangsa yang merasa lebih unggul—di belahan utara bumi—dan bangsa lain yang dianggap paria—di belahan selatan. Meminjam terminologi Samuel Huntington, konsep ekuator dalam terjemahan kolonialisme ini kemudian dikenal dengan clash of
civilization (perang peradaban) antara Barat dengan Timur. Bila meminjam istilah pengkritik kolonialisme terkemuka Edward Said, maka makna ekuator dalam terjemahan kolonialisme adalah hegemoni peradaban Barat atas Timur. Edward Said menyebut pandangan ini sebagai orientalisme, di mana peradaban Timur dinilai menurut standar peradaban Barat. Sebelum Edward Said, dalam ranah teori lahir dependency theory (teori ketergantungan). Terlepas dari beberapa kritik atasnya, teori ini menggambarkan ketergantungan negara-negara di belahan selatan bumi (pinggiran) kepada negaranegara di belahan utara bumi (pusat). Kiranya hampir separuh usaha di ranah teori dihabiskan untuk mengurai bagaimana pemilahan oleh garis ekuator menjelma menjadi kolonialisme dengan berbagai turunannya hingga kini. Usahausaha yang relatif baru dalam menelanjangi turunan kolonialisme di Indonesia mewujud dalam perdebatan wacana dan teori cultural studies (kajian budaya) serta poskolonialisme. Kedua kajian tersebut memperoleh relevansinya bila kita kaitkan dengan perhelatan politik yang baru-baru ini membelah publik di Indonesia. Perhelatan itu adalah pemilihan gubernur Jakarta yang mengeksploitasi secara banal sentimen suku, ras, agama ᵢ dan antargolongan yang sekian lama ditabukan oleh rezim Orde Baru. Politik identitas mengharubiru publik di Indonesia; bila ditelisik ke belakang, ini merupakan warisan rezim kolonial dengan politik pecah belahnya. Bila dirunut sejarahnya dalam konteks Indonesia, kolonialisme menjelma ke dalam berbagai bidang. Dalam bidang
16
Kota Cinta: Bollywood Km 0 adalah pentas tari India massal di Km 0 Kota Yogyakarta sebagai bagian dari Festival Equator Biennale Jogja XI Equator #1 dengan negara mitra India. Foto: Dwi Oblo Dok: Arsip YBY
politik, bisa disebutkan bahwa devide et impera yang dijalankan pemerintah kolonial kemudian sering kali direproduksi di masa pasca-kolonial hingga kini. Eksploitasi isu agama atau rasial demi kekuasaan politik dalam pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017 yang membelah masyarakat Jakarta, bahkan Indonesia, adalah satu contohnya. Pada masanya, pemerintah kolonial telah relatif sukses menjalankan politik macam ini untuk menguasai nusantara. Konsepsi politik zero sum game atau yang dalam istilah ilmu politik diterjemahkan sebagai the winner takes all (pemenang mengambil semuanya) dimaknai secara sepihak (salah) dan telah mendorong kontestasi politik yang tidak sehat. Logikanya, bila kita menang maka kita mendapatkan semua (kekuasaan) dan lawan harus “dimusnahkan”. Muncul negasi pada kelompok lain yang diajak berkompetisi. Hal inilah yang tampak dalam pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017. Turunan politik zero sum game telah menimbulkan antagonisme politik di tingkat bawah dan dampaknya sangat mengkhawatirkan, terutama ketika isu SARA digunakan
17
untuk meniadakan lawan politik bahkan kelompok yang berbeda. Adagiumnya, yang bukan kita adalah musuh yang layak “dimusnahkan”. Dalam istilah Jawa dikenal dengan ungkapan pejah gesang (hancur lebur), tiji tibeh (mati satu mati semua = bumi hangus). Konsep tersebut kiranya mengikuti alur politik pecah belah kolonial. Kelompok aristokrasi yang diberikan privilese oleh pemerintah kolonial kemudian menjadi sasaran balasan massa rakyat di awal kemerdekaan karena semua aristokrat ini dianggap komprador pemerintah kolonial. Demikian pula dengan golongan masyarakat Tionghoa yang sukses menjadi mediator bisnis di masa kolonial, hingga kini menjadi sasaran “peliyanan” oleh masyarakat yang mengklaim dirinya pribumi atau paling asli Indonesia. Di ranah ekonomi mengemuka konsep ekonomi dualistik yang dikemukakan oleh J.H Boeke. Sederhananya, ada dua sistem ekonomi yang berdampingan sekaligus saling beroposisi biner di Hindia Belanda kala itu, bahkan hingga kini. Pertama, sistem ekonomi pra-kapitalistik yang dianut dan dijalankan oleh masyarakat “asli” nusantara dan kedua, sistem ekonomi kapitalistik yang diperkenalkan oleh peradaban Barat, yang dijalankan oleh pemerintah kolonial. Turunan dari pemikiran ekonomi dualistik ala Boeke ini misalnya dapat kita jumpai kini dalam istilah ekonomi formal versus informal, ekonomi resmi versus tidak resmi. Sistem ekonomi formal disebutkan sebagai sistem ekonomi modern yang diidentikkan dengan peradaban Barat sementara sistem ekonomi informal adalah ciri ekonomi masyarakat tradisional. Sistem ekonomi formal dan informal inilah yang kita warisi hingga kini dan merepotkan para cerdik
pandai dalam analisisnya dan menyusahkan para pengambil kebijakan dalam penataannya. Sektor ekonomi informal sering dipersepsi sebagai layaknya anak tiri dalam sistem ekonomi, namun tetap mandiri dan minim ketergantungan pada negara. Sektor ekonomi informal ini juga disebut sangat tangguh bertahan menggerakkan roda perekonomian di saat krisis, berbeda dengan ekonomi formal yang gampang kolaps terkena efek domino krisis ekonomi dunia. Pemikiran-pemikiran seperti di atas tidak lepas dari konstruksi berpikir dikotomis dan dipengaruhi konsep ekonomi dualistis Boeke. Bila kolonialisme dimaknai sebagai salah satu terjemahan atas keberadaan ekuator, maka pertanyaannya: apakah Equator ini kemudian merupakan bentuk “inferioritas inlander” sebagaimana disinggung oleh ᵢseorang penanggap dalam gelaran diskusi Equator #3 sebagai rangkaian Biennale Jogja XIII di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Genealogi istilah tersebut bisa dilacak ke belakang, setidaknya di masa kolonial, saat sang tuan kolonial menyebut masyarakat jajahannya sebagai inlander. Terlebih lagi, sejauh ini negara-negara yang diajak berkolaborasi dalam empat kali perhelatan Biennale Jogja adalah negaranegara bekas jajahan negara-negara di belahan utara bumi. Apakah Equator dalam perhelatan Biennale Jogja ini merupakan ekspresi perasaan senasib dengan negaranegara jajahan yang secara geografis dilintasi garis ekuator? Seorang penyaji dalam rangkaian diskusi Equator #3 dalam rangkaian Biennale Jogja XIII menyebutkan semacam “jalan ketiga” yang terinspirasi dari Konferensi Asia Afrika di Bandung sebagai tawaran
18
posisi politik untuk Equator dalam Biennale Jogja. Sebuah posisi politik yang tidak berkiblat pada dua kutub politik yang mendominasi ranah geopolitik dunia di era awal hingga pertengahan abad ke-20, yaitu Blok Barat yang dipimpin Amerika Serikat dan Blok Timur yang dikomandani Uni Soviet. Bila posisi politik itu diterjemahkan ke dalam konsep Equator yang diambil Biennale Jogja, kira-kira bisa diartikan sebagai tidak menghamba kepada seni rupa Barat (negara-negara di belahan bumi utara yang artinya mencakup kedua blok politik era Perang Dingin tersebut) yang selama ini mendominasi jagat kesenian dunia. Posisi politik kesenirupaan Equator berdiri di atas kaki sendiri dengan cara menghimpun solidaritas kesenirupaan negara-negara yang berada di garis Equator (non-Barat). Tesis ini sekaligus berkeinginan untuk mementahkan model berpikir dikotomis dan biner yang diwarisi dari wacana kolonial. Model dikotomis dan oposisi biner yang dimaksud adalah seperti pemaknaan Equator dari ranah ilmu geografi, geopolitik, geo-ekonomi, geobudaya, dan geo-pertahanan keamanan yang dipaparkan sebelumnya. Namun posisi politik Equator dalam Biennale Jogja yang tidak menghamba pada kesenirupaan Barat bukanlah perdebatan baru dalam kontestasi ideologi di Indonesia. Paling tidak sejak awal abad ke-20, para cerdik pandai negara bekas jajahan ini telah sibuk memperdebatkannya. Dimulai dari sistem dan falsafah negara hingga urusan kebudayaan dan kesenirupaan. Perdebatan terkenal di ranah kebudayaan, khususnya sastra, terjadi antara tokoh cendekia yang berkiblat ke peradaban
Barat, Sutan Takdir Alisjahbana, dengan Sanusi Pane yang mempertahankan keunggulan peradaban Timur. Sementara di ranah kesenirupaan, satu polemik yang menarik dikutip adalah perdebatan seputar Gerakan Seni Rupa Baru (modern) Indonesia yang mengambil tempat dalam perhelatan Jakarta Biennale 1975. Sebuah perdebatan yang secara simplistis disebutkan memuat nilai-nilai pembaharuan (modern-Barat) dalam seni rupa, melawan nilai-nilai lama (konservatifTimur). Perdebatan ini kemudian berlanjut ketika di sebuah media massa lokal Yogyakarta dimuat polemik antara Sudarmadji yang dianggap mewakili generasi dan ide-ide lama (konservatif) dengan Kusnadi yang disebut apresiatif terhadap seniman muda dengan ide-ide barunya (modern). Kusnadi melakukan pembelaan terhadap Gerakan Seni Rupa Baru yang dimotori oleh seniman-seniman muda dalam Biennale Jakarta 1975; sementara Sudarmadji menganggap sebaliknya, seniman-seniman muda ini belum dewasa dalam berkesenirupaan sehingga tendensinya ingin mendobrak dan menghilangkan ide-ide dan estetika lama dalam dunia kesenirupaan. Walau sudah banyak kritik yang dialamatkan pada konstruksi berpikir dikotomis di atas, namun dalam kenyataannya pola berpikir tersebut masih mewarnai perdebatan wacana dan praksis di berbagai ranah termasuk di dunia kesenirupaan hingga kini. Frasa-frasa “tidak terlalu menengok keluar (Barat)” dan mendefiniskan ulang tradisi dengan “menelisik ke dalam (Timur)” menjadi contoh atas masih melekatnya wacana dan praksis berpikir dikotomis tersebut. Setiap
19
Ÿ
Ruang Simposium Khatulistiwa dalam Biennale Jogja XIII Equator #3. Simposium Khatulistiwa adalah forum diskusi lintas disipliner yang diselenggarakan dua tahun sekali, berselang dengan Biennale Jogja Equator.
usaha untuk meninggalkannya selalu malah memperlihatkan dan semakin menegaskannya kembali dengan lebih kuat. Beban yang digendong di pundak dan trauma masa lalu sebagai bangsabangsa terjajah atau disebut secara peyoratif sebagi inlander sepertinya masih terus menghantui, terutama dalam cara berpikir. Istilah dan wacana ekuator sepertinya masih belum bisa leluasa meninggalkan beban masa lalu sebagai bangsa-bangsa terjajah ini. Lihatlah dalam berbagai pameran ataupun perhelatan kesenian (kesenirupaan) di Indonesia, selalu muncul istilah serta konsep modernitas, kontemporer dan istilah serta konsep tradisi, lokalitas yang merupakan bentuk-bentuk representasi kontestasi dinamis peradaban Barat dan Timur. Dalam konteks Indonesia kini, terjemahan ekuator yang masih berbau konstruksi berpikir dikotomis bisa ditemukan menjelma menjadi persoalan politik nasional, yaitu menyangkut isu kewilayahan. Persoalan isu kewilayahan: Jawa versus luar Jawa,
20
Indonesia Barat versus Indonesia Timur, menjadi semakin kompleks karena berjalinkelindan dengan isu agama. Bila Anda menyebut asal dari Bali, otomatis Anda akan dianggap beragama Hindu. Padahal ada penganut non-Hindu lahir dan telah berdiam di Bali selama sekian generasi, misalnya komunitas-komunitas Muslim Bali seperti Kampung Muslim Kepaon di Denpasar dan Pegayaman di Buleleng. Identitas selalu dianggap tunggal dan statis hingga kemudian mendorong munculnya politik otentisitas. Mengklaim identitas diri paling asli, murni, tidak tercampur dan kemudian menganggap yang lain sebaliknya. Klaim identitas paling asli ini kemudian diikuti dengan klaim otoritas, bahwa karena dia asli (yang sebenarnya problematis) maka memiliki hak atas kepemimpinan. Hal inilah yang mengemuka dalam pemilihan kepala daerah di Indonesia lewat isu putra daerah. Turunannya kemudian dikaitkan dengan agama yang mayoritas dianut penduduk di sebuah wilayah. Misalnya, karena di Jakarta mayoritas penduduknya beragama Islam, maka pemimpinnya harus beragama Islam dan tidak boleh beragama lain. Hampir sejak awal keberadaan kepulauan nusantara hingga kini, persoalan di atas menjadi pekerjaan rumah yang tidak selesai. Bahkan baru-baru ini, bermula dari eksploitasi isu etnis dan agama untuk politik kekuasaan dalam pemilihan Gubernur DKI Jakarta, Indonesia terkesan terbelah karena isu sektarian. Namun pasca-pemilihan gubernur tersebut, pembelahan yang terjadi lebih terkait dengan lahirnya kelompok-kelompok yang coba mengusung isu negara agama, yang
kemudian direspons oleh kelompokkelompok yang mengedepankan konsesus nasional kebangsaan Indonesia. Perdebatan ini punya sejarah sepanjang umur Republik Indonesia ini, yakni antara yang menginginkan agama tertentu diakomodir dalam konstitusi negara Indonesia dengan yang mengedepankan bahwa Indonesia dibentuk oleh keberagaman etnis serta agama dalam sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Berbarengan dengan perhatian yang semakin diarahkan pada pembangunan di luar Jawa, rezim saat ini juga melakukan semacam aksi afirmatif (affirmative action) untuk kehidupan kesenian (kesenirupaan) masyarakat di luar pulau Jawa. Penambahan pendirian institut seni atau sekolah tinggi seni di luar Jawa, misalnya di Papua, menjadi contohnya. Para cerdik pandai memberi label pemerintahan Jokowi ini sebagai new developmentalism (Warburton 2016) atau kapitalisme negara (Widojoko 2017). Model pembangunan ini menekankan pembangunan infrastruktur fisik seperti jalan, jembatan, sekolah untuk mengurangi kesenjangan pembangunan antara wilayah Jawa dengan luar Pulau Jawa. Ranah kesenian (kesenirupaan) juga menjadi perhatian pemerintah dalam kolaborasi dengan kampanye pariwisata. Lalu kira-kira di manakah relevansi konsep Equator dalam perhelatan Biennale Jogja XIV dan sumbangsihnya (bila meminjam istilah pejabat di era Orba) dalam kehidupan kesenian (kesenirupaan) di Indonesia dan negara-negara dalam lintasan ekuator? Menengok semangat Dasasila Bandung hasil Konferensi Asia
21
Afrika 1955 bisa jatuh menjadi romantisisme masa lalu, atau dalam bahasa Sutan Takdir Alisjahbana disebut mengusap-ngusap kehebatan masa lalu layaknya mengusap lampu Aladin? Reinterpretasi atas Dasasila Bandung dengan konteks kekinian membutuhkan pembacaan ulang atas aspek geopolitikekonomi negara-negara yang dilintasi ekuator. Brasil misalnya, negara yang dilintasi ekuator dan menjadi negara yang diajak berkolaborasi dalam Biennale Jogja XIV ini, membangun blok ekonomi bernama BRICS yang merupakan singkatan dari Brasil, Rusia, India, Cina, Afrika Selatan. Kelompok negara yang gabungan kekuatan ekonominya oleh Goldman Sachs disebut akan mengalahkan negara-negara terkaya di dunia saat ini pada tahun 2050. Artinya, solidaritas negara-negara yang dilintasi ekuator bukanlah solidaritas tunggal, namun disesuaikan dengan konteks kepentingan negara-negara bersangkutan. Demikian pula, ekuator dalam konteks Indonesia mesti dimaknai dan diekspresikan secara tidak tunggal, bahkan kadang kontradiktif, sehingga perlu pembacaan yang disesuaikan dengan konteks ruang, waktu, dan kepentingannya. Ekuator tidaklah berada di ruang hampa dan tentu saja tidak bisa diterima begitu saja (taken for granted) tanpa sikap kritis. Setelah sekian usaha panitia Biennale Jogja yang dipicu oleh masukan pemikiran dari para penyaji dan penanggap dalam tiap diskusi sejak gelaran Equator pertama hingga ketiga, saya hanya ingin menawarkan satu pemikiran yang saya akrabi: suatu konsep yang mirip dengan
Equator, yaitu konsep Nyegara Gunung. Berbeda dengan Equator yang cenderung dikotomis dan beroposisi biner, Nyegara Gunung beranjak melampauinya karena satu tidak meniadakan yang lain atau saling melengkapi. Konsepsi seperti Nyegara Gunung ini merupakan representasi kosmologi dan kosmogoni lokal tentu bisa ditemukan di berbagai tempat di Indonesia bahkan dunia. Secara harfiah, nyegara gunung terdiri atas kata segara—yang berarti laut—dan gunung. Dalam kepercayaan Bali dan berbagai kepercayaan lokal di dunia, dua tempat ini—laut dan gunung—dianggap sebagai tempat suci yang harus dijaga dan dilindungi. Nyegara Gunung merupakan kepercayaan manusia Bali tentang siklus kehidupan yang dikenal dalam konsep Utpeti (penciptaan), Stiti (pemeliharaan), Pralina (pemusnahan). Penciptaan bermula di pegunungan hingga berputar kembali saat abu jasad dibuang ke segara (laut) untuk kemudian dimulai penciptaan kembali dalam konsep reinkarnasi. Ritual ngaben dan ngasti adalah medium untuk menjamin tetap berjalannya siklus kehidupan manusia Bali. Dalam konsep Bali, ngaben atau yang lebih dikenal sebagai upacara pembakaran mayat ini adalah proses pemusnahan dan pengembalian bukan hanya atma (soul), namun juga jasad manusia (sarira kosha) kepada pembuatnya, yaitu Paramatma. Setelah jasad dibakar dalam upacara ngaben, kemudian dilanjutkan dengan upacara nganyut, yaitu membuang abu dari jasad yang dibakar ke sungai atau ke laut (segara). Lewat upacara ngasti kemudian secara simbolis abu diambil di laut (pusatnya di Pura Goa Lawah Klungkung, Bali) untuk kemudian
22
disembahyangkan ke Pura Dalem Puri di komplek Pura Besakih. Selanjutnya ke Pura Dalem, tempat dari mana sang meninggal berasal, hingga terakhir diletakkan di pura keluarga di rumah. Pada titik ini, sang meninggal sudah menjadi hyang dewatidewata yang bersatu dengan penciptanya. Inilah siklus kehidupan manusia Bali dalam konsepsi Nyegara Gunung. Terjadinya kaliyuga, goro-goro—suasana hiruk pikuk atau chaos ketika antara kebaikan dan kebatilan menjadi samar—hingga masa sandyakala—beranjak surutnya (entah pasar, entah wacana dan kritik)—dalam kesenian (kesenirupaan), menurut konsepsi lokal Nyegara Gunung ini dengan arif dimaknai sebagai proses mencari keseimbangan dan penciptaan (bentuk baru). Semoga Biennale Jogja XIV tahun 2017 ini mampu menjadi medium upakara adat, entah dalam bentuk manten (pernikahan) seperti dimaksudkan kuratornya atau dalam rupa lainnya, menuju proses kreatif penciptaan (baru) tersebut.
Daftar bacaan Said, Edward, 2010. Orientalisme, Menggugat Hegemoni Barat dan Mendudukan Timur Sebagai Subjek. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Suwarsono, Alvin Y. So, 1991. Perubahan Sosial dan Pembangunan di Indonesia: Teori-teori Modernisasi, Dependensi, dan Sistem Dunia. Jakarta: Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial. Boeke, J.H. dan D.H. Burger. 1973. Ekonomi Dualistis: Dialog Antara Boeke dan Burger. Jakarta: Bhatara. Alisjahbana, Sutan Takdir, Sanusi Pane, dkk. 1954. Polemik Kebudayaan. Miharja, Achdiat K. (ed.). Jakarta: Perpustakaan Perguruan Kementrian PP dan K Jakarta dan Balai Pustaka. Warburton, E. 2016. Jokowi and the New Developmentalism. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 52(3), 297-320. Widojoko, Johanes Danang. 2017. Sisi Lain Pilkada Jakarta: Kembali Surutnya Kapitalisme Negara?.
https://indoprogress.com/2017/04/sisi-lainpilkada-jakarta-kembali- surutnya-kapitalismenegara/
23
Dari Pra Biennale 20-25 Maret 2017: Sebuah Refleksi Orang Biasa J. Seno Aditya Utama (Tim Riset dan Basis Data Biennale Jogja XIV Equator #4) Potret Dodo Hartoko Dokumentasi Yayasan Biennale Yogyakarta
Mencoba menyeruak dari ingar-bingar karya yang terpapar, membuat saya terhenti sejenak. Ini bukan ketiadaan kata yang harus terucap atau kehampaan ruang yang ditemui. Semua ada, atau setidaknya semua seperti ada, namun saya tergagap dan membisu untuk merespons semua itu.
Pengunjung menyaksikan karya dalam ruang pamer Pra Biennale Foto: Penulis
Bisa jadi hal ini disebabkan saya bukanlah orang yang memiliki pengetahuan tentang dunia seni. Setidaknya seperti yang telah dipelajari teman-teman yang mendalami ilmu tersebut. Saya semata suka seni, sebagai wadah tampung dan pewujud dunia batin serta permenungan saya tentang sesuatu. Sederhananya dapat dikatakan, melalui seni saya menikmati pengalaman emosional dan kekaguman terhadap sesuatu yang disebut “indah”. Saya tidak memiliki banyak kosakata, terminologi, atau
24
jargon—seperti yang biasa tersaji dalam tulisan-tulisan seni rupa—untuk mengungkapkan refleksi ini. Seperti beberapa di antaranya: “pencapaian artisitik”, “… mewakili semangat kontemporer”, “presentasi dan representasi represi masyarakat” atau “... garis-garis dan sapuan yang bersinambung”. Pada konteks ini—saya menilai, pengalaman saya menikmati seni bukanlah hal yang canggih, sehingga dapat diungkapkan melalui kata-kata seperti tersebut sebelumnya. Meskipun demikian, harus saya sampaikan pula bahwa sebagai pembanding, saya sendiri tidak tahu seperti apa kecanggihan pengalaman seni yang melampaui pengalaman macam ini. Lengkap sudah situasi ketidaktahuan saya, bukan? Buta pengetahuan seni dan buta cara mengapresiasi dan memahami seni. Namun baiklah bila saya sampaikan ini: pengalaman seni saya tidak lebih seperti seorang yang bereaksi spontan terhadap suatu sensasi yang menerpa dirinya. Identik dengan saat orang melihat pemandangan alam atau melalui sebuah pengalaman yang sontak membuatnya berkata, “Wow!” (lih. Kandinsky, 1982). Dengan keterbatasan tersebut, tulisan ini tidak bermaksud menilai karya, namun lebih menggambarkan dunia batin orang biasa saat menghadapi ragam karya seni rupa yang tersaji di hadapannya. Ancaman dan Ketegangan Bila direfleksikan, bisa jadi ekspresi emosi spontan tersebut merupakan wujud elemen primitif manusia terkait pertahanan diri, terutama saat menyadari adanya ancaman terhadap dirinya. Ancaman akan memunculkan ketegangan (stress), sehingga memunculkan tiga respons
emosi, yaitu: bertarung (fight), menghindari, (flight) atau terdiam (freeze) (Canon, 1929). Tentu saya tidak menganggap karya-karya tersebut sebagai ancaman, sehingga saya tidak harus mempertahankan diri. Namun pada pengertian lain, karya-karya tersebut adalah “ancaman” karena serta-merta dan serentak “menampakkan” dirinya pada saya. Tidak kuasa saya mengelak dan menghindarinya. Tidak kuasa pula saya menyembunyikan reaksi spontan terhadap terhadap karya-karya tersebut. “Ancaman” ini merupakan sebuah pengalaman baru yang masih asing bagi diri saya. Pada konteks pengalaman menikmati karya seni di Pra Biennale, respons saya rupanya terdiam. Meskipun demikian, masih terdapat ruang bagi saya untuk menyadari dan mengendapkan pengalaman ini: mengapa hal tersebut dapat terjadi? Pada bagian berikut saya jelaskan singkat ketiga respons tersebut dan reflkesi saya terhadap ketiganya. Bertarung Bertarung pada pokoknya adalah agresi, tindakan untuk melukai atau melumpuhkan pihak lain. Bertarung membutuhkan penyaluran daya yang memadai dan strategi yang jitu untuk menang. Situasi yang dibaca adalah adanya serangan yang berpotensi mengancam diri, terlepas dari nyata-tidaknya ancaman tersebut. Misalnya, melawan penjambret yang mencoba mengambil tas adalah hal yang tidak pernah terbayangkan oleh seorang calon korban. Boro-boro menguasai suatu teknik bela diri, ia selama ini dianggap orang yang lembut, tidak suka kekerasan. Namun tindakan melawannya saat itu dapat diartikan sebagai bentuk respons
25
bertarung untuk menghadapi ancaman diri. Di samping itu, tindakan bertarung terkadang tidak memerlukan kondisi awal terkait terdeteksinya ancaman. Bertarung pada kondisi seperti ini, kaitannya bukan lagi dengan pembacaan situasi, melainkan dengan pembacaan kondisi diri. Intensi, narasi sejarah diri atau profil kepribadian menjadi ruang lingkup yang setidaknya dapat menjelaskan hal tersebut. Adanya keinginan untuk ekspansi wilayah misalnya, tidak memerlukan deteksi ancaman serangan dari wilayah yang ingin dikuasainya. Pada situasi ini, mengonstruksi ancaman jauh lebih dikedepankan ketimbang terdeteksinya ancaman nyata dari wilayah tersebut. Merespons pengalaman menyaksikan Pra Biennale, saya tidak berposisi untuk bertarung, mengingat saya merasa tidak memiliki pengetahuan dan pengalaman yang memadai untuk menantangnya bertarung. Terlebih, saya tidak memiliki ambisi “mengekspansi” diri ke wilayah tersebut. Menghindari Menghindari pada pokoknya adalah mengambil jarak. Dengan berjarak, orang menyalurkan daya untuk menghadapi ancaman secara langsung. Bisa jadi karena daya ancaman dianggap lebih besar daripada potensi daya yang dimiliki untuk langsung menghadapinya. Bisa jadi pula disebabkan oleh ketidaktahuan tentang daya ancaman, sehingga kalkulasi risiko tidak dapat dilakukan dengan mudah. Terlepas dari kemungkinan-kemungkinan tersebut, tindakan mengambil jarak adalah mengalihkan kondisi tidak aman menjadi aman. Saat skripsi tidak juga rampung misalnya, bertemu atau berpapasan
dengan dosen pembimbing adalah hal yang paling dihindari mahasiswa. Ia lalu tidak pernah ke kampus, atau kalaupun harus ke kampus, ia akan berada di tempat-tempat yang minim potensi bertemu dengan dosen tersebut. Situasi aman tentu dapat membatu menenangkan diri, sehingga proses penulisan skripsi dapat dilakukan dengan jernih. Namun, tetap terbuka sebuah kemungkinan bahwa situasi tenang justru membuat diri terlena. Proses penulisan tidak pernah terjadi; yang terjadi adalah lingkaran setan ketakutan dan keterlenaan pada rasa aman. Saya juga tidak akan menghindari terpaan pengalaman yang telah terjadi. Bagi saya, hal ini merupakan pengalaman baru sebagai bagian dari proses belajar memahami manusia dan masyarakat dengan segala kompleksitasnya. Karya yang tersaji merupakan artefak yang merepresentasikan dunia psikologis individu (imajinasi, memori, kreativitas, kecemasan, atau emosi) dan interelasinya dengan dunia sosial yang terjadi saat ini. Sangat disayangkan bila kesempatan ini berlalu begitu saja dan tidak tercatat sebagai sebuah refleksi. Terdiam Terdiam pada pokoknya adalah daya yang tertahan pelepasannya. Terdiam dapat diartikan kelumpuhan, ketidakmampuan, dan ambiguitas. Namun, terdiam dapat diartikan pula sebagai keberanian, konsolidasi, bahkan perlawanan. Terdiam adalah rentang variasi kemungkinan yang dapat dibaca dari tendensi terhadap dua kutub sebelumnya, yaitu bertarung dan menghindari. Kuat dan hampir setaranya tarikan-tarikan kedua kutub tersebut menimbulkan adanya titik pusat tegangan.
26
Titik ini adalah situasi stasioner dengan tingkat intensitas bervariasi, tergantung tegangan dua kutub tersebut. Respons terdiam saya dapat diartikan sebagai munculnya ketegangan antara kedua kutub bertarung dan menghindari. “Pertarungan” saya adalah tarikan diri untuk memahami karya dan menemukan makna serta keindahan di dalamnya. Di samping itu, saya ingin juga memahami benang merah keseluruhan karya yang tersaji. Saya juga “menghindari” dalam bentuk ketidaksiapan untuk menyadari bahwa terdapat ragam respons diri saya terhadap karya-karya tersebut. Ada rasa hampa, tak berarti dan dingin, saat menghadapi suatu karya. Demikian pula, ada pula rasa bingung, sehingga muncul tanya di benak, “Di mana ya seninya?” Dua tarikan tersebut menegang, saling mengutarakan argumentasi, dan menyerang. Lalu menempatkan saya di titik tengah, yaitu terdiam dalam ketegangan. *** Ketegangan yang saya rasakan bukanlah ketidakberdayaan maupun kondisi pasif. Ketegangan tersebut adalah proses atas tindakan saya dan terutama dapat bermakna positif. Secara teknis ketegangan itu saya sebut sebagai stress. Paparan sebelumnya secara singkat menjelaskan adanya tiga variasi respons yang muncul. Satu hal penting yang mendahului munculnya ketiga kemungkinan tersebut adalah faktor tegangan (stress). Stress tidak selalu berarti situasi negatif, seperti yang selama ini kita pahami. Stres adalah situasi ketegangan dan merupakan respons terhadap sesuatu. Dengan pemahaman ini,
dapat dikatakan setiap saat kita berpotensi mengalami stres. Dari terjaga hingga kembali lelap tertidur, bahkan dalam tidur pun, situasi ketegangan tersebut bisa saja tidak terhindarkan. Bermimpi dikejar-kejar raksasa misalnya, tentu akan menjadi pengalaman tidur yang menegangkan. Membuat kita merasa lelah, meski kita baru saja isitrahat semalaman. Kata stres tidak selalu berkonotasi buruk, bahkan kita membutuhkan stres. Mempersiapkan presentasi untuk pertemuan esok hari misalnya, memunculkan ketegangan tertentu terhadap “ancaman” yang mungkin terjadi saat itu. Kita lalu mempersiapkan materinya dengan baik, sambil melatih halhal yang ingin kita sampaikan. Stres seperti penggambaran ini disebut eustres (stres positif). Sebuah situasi kebalikan dari distres, yaitu stres negatif yang sering dikeluhkan sebagai sebuah keadaan yang mengganggu kestabilan mental. Terkait terdiamnya saya dalam merespons karya-karya Pra Biennale, dapat dikatakan hal tersebut bukanlah dilatarbelakangi oleh rasa kagum (setidaknya pengalaman rasa kagum di masa lalu saya dapat mendeteksi munculnya rasa itu). Bagi saya, pengalaman emosi yang muncul lebih tepat disebut sebagai rasa bingung. Saya mengalami ragam paparan yang membingungkan. Saya tidak menemukan benang merah perjalanan batin saat menyaksikannya. Terhadap tiap-tiap karya, semua masih tampil sebagai dirinya, belum sebagai satu kesatuan makna. Bisa jadi hal tersebut tidak terlepas dari kenyataan bahwa karya yang disajikan adalah karyakarya yang sudah dibuat oleh para seniman sebelum Pra Biennale. Maka dapat dimaklumi, belum muncul rangkaian pengalaman yang menyatu sebagai
27
sebuah pengalaman emosi dan keindahan yang dapat memunculkan kekaguman saya. Bisa saja ini menjadi persolan tertentu bagi aspek kuratorial. Namun bagi saya, aspek penting yang tidak dapat diabaikan adalah pendampingan para seniman yang terlibat. Mematangkan proses diri dan proses karya adalah pokok yang harus diperhatikan. Seniman yang fokus dalam berkarya dan berupaya mengenali lebih dalam gerak batin adalah situasi yang mendukung pematangan tersebut. Di samping itu, keberanian untuk membuka diri pada kemungkinan-kemungkinan dan kerja keras yang disertai kejujuran, akan membantu optimalisasi karya seniman. Saya melihat masih ada ruang positif dan harapan untuk mencapai itu. Untuk itu kerja cerdas dan kerja keras kedua pihak haruslah diperkuat. Pengelolaan organisasi harus lebih efektif dan jelas, dengan tidak mengabaikan aspek semangat dan filosofi keorganisasian yang ingin dibangun. Di samping itu, perlu juga tetap menjaga dan memunculkan isu secara sistematis, baik bagi seniman maupun bagi publik seni rupa dan publik secara keseluruhan. Membaca situasi saat ini saya anggap ini adalah kondisi eustres. Pra Biennale adalah tambang yang telah direntangkan. Kondisi-kondisi yang tampak adalah yang tercipta dan sekaligus diciptakan untuk melakukan evaluasi dan refleksi. Semakin mendekati Biennale pada November nanti, tambang tersebut akan semakin kuat tegangannya. Pada saat itu akan muncul karya-karya yang meletup dan proses kuratorial yang mengerucut. Terlihatlah kemudian, bahwa tambang tersebut rupanya bukan seutas tambang, melainkan sebuah jaring. Ketika sebuah tambang
menegang maka itu akan menarik pilinan tambang-tambang di sekitarnya, sehingga sebagai jaring ia mampu menangkat sesuatu dari dasar lautan. Kita harapkan yang terambil adalah ikan segar, sebagai santapan lezat dan bergizi bagi kita semua. Bukan sampah lautan yang berisi sepatu, plastik, kaleng, atau pesan dalam botol. Namun katakanlah demikian, setidaknya kita sudah membersihkan lautan untuk kemudian dapat menikmati laut dengan nyaman. *** Referensi Walter Bradford Cannon. (1929). Bodily Changes in Pain, Hunger, Fear, and Rage. New York: Appleton-Century-Crofts. Kandinsky .W. (1982). Kandinsky: Complete Writings on Art. Lindsay, K.C. & P. Vergo. Boston:
28
Estetika itu Hukumnya Wajib Yuswantoro Adi (Pelukis, tinggal di Yogyakarta)
Adalah peristiwa Biennale Jogja (BJ) yang terjadi kesepuluh kalinya, pada tahun 2009. Kemudian ia dikenal dan dikenang banyak orang dengan nama: Jogja Jamming. Sesungguhnya ia adalah kecelakaan sekaligus berkah alias anugerah. Setidaknya, bolehlah disebut semacam blesssing in disguise. Saya tidak akan membicarakan sejarah Biennale Jogja dari awal berdirinya. Justru dari momen BJ X itulah saya akan memulai tulisan sederhana ini. Judul atau tajuk resmi peristiwa seni rupa dua tahunan ini adalah “Gerakan Arsip Seni Rupa Yogyakarta” sebagaimana ditawarkan oleh salah satu kuratornya, Wahyudin, ketika itu. Namun nama resmi itu menjadi kurang berbunyi dibandingkan dengan julukan baru “Jogja Jamming” tersebut. Kegiatan utamanya, yakni memamerkan karya dari perupa terpilih, ternyata kalah jauh populer dibanding 'acara tambahan' yang menyertainya. Baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Dengan kata lain, parallel events atau supporting events, bahkan acara off- dan off-off-nya lebih disukai daripada main event-nya sendiri. Inilah penjelasan dari kecelakaan di alinea pembuka di atas. Meski beberapa oknum menyebut kejadian luar biasa itu lebih menyerupai festival daripada pameran penting dua tahun sekali dan bukanlah biennale yang tertib menurut konsep dan definisi universal, tak boleh dimungkiri, ia (Biennale Jogja X) adalah
yang paling terkenal hingga hari ini. Lengkap dengan kemeriahan, keramaian, kemegahan, kebesaran, keindahan, keriuhan, keterlibatan, kebahagiaan, kelucuan, keakraban, kebaruan, dan juga kekacauan serta kebisingan yang dihasilkannya. Ia terus menjadi buah bibir dan acuan bagi sebagian besar perupa dan masyarakat penontonnya. Pun menjadi semacam ukuran atau malah momok menakutkan bagi penerusnya. Dan di rentang waktu panjang, sejak terpilihnya kurator hingga kegiatan dianggap selesai—lebih dari enam bulan, lebih lagi jika pasca-event dihitung—ada satu hal yang saya katakan sebagai sebuah berkah atau anugerah. Yaitu munculnya wacana tentang pentingnya sustainability alias keberlangsungan acara unggulan ini. Tidak hanya berhenti sebagai wacana belaka, panitia dan penyelenggara Biennale Jogja X mengajak beberapa stakeholder seni rupa di kawasan ini untuk melakukan audensi dengan Sri Sultan Hamengku Buwono X, hingga mewujud sebuah lembaga bernama Yayasan Biennale Yogyakarta. Jika sebelumnya Taman Budaya Yogyakarta—yang merupakan kepanjangan tangan dari Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta—bertindak sebagai pelaksananya, maka sejak yayasan ini terbentuk, tugas tersebut telah berpindah tangan. Termasuk dalam penentuan dan atau pemilihan tema, kurator, dan hal-ihwal seturut dengannya.
29
Nah, pada penugasan pertama, Yayasan Biennale Yogyakarta telah membuat sebuah keputusan besar: memilih tema “Equator” yang bersifat serial. Hingga jilid kelima, artinya akan berlaku terus-menerus selama 10 tahun! Sebuah keputusan yang cerdas lagi hebat, namun terlalu berani dan punya potensi risiko yang tinggi pula. Ia beda, unik, baru, dan belum pernah ada penyelenggara biennale dari kota atau negara lain yang memilih tema semacam itu, apalagi untuk waktu yang tidak sebentar. Sampai jilid ketiga dan menjelang jilid keempat, tema tersebut telah berjalan. Sayangnya hanya sekadar bisa berjalan, bahkan boleh dibahasakan sebagai tertatih-tatih. Kenapa bisa begitu? Ada dua alasan besarnya. Pertama, apa boleh buat ia pasti akan dibandingkan dengan peristiwa serupa sebelumnya. Dan berhubungan langsung atau tidak, sertamerta akan timbul hal baru kedua, bernama penolakan alias resistensi. Jika engkau pelawak lucu yang harus tampil setelah pelawak yang sangat-sangat lucu sekali, maka engkau bakal tetap dianggap tidak lucu, meskipun sesungguhnya lumayan lucu. Biennale XI atau Equator seri pertama disaksikan oleh penonton relatif sama yang sebelumnya telah menikmati kemeriahan, keramaian, Dokumentasi Yayasan Biennale Yogyakarta kemegahan, kebesaran, keindahan, dan seterusnya. Semoga analogi sederhana tersebut cukup membantu membayangkan kondisinya. Agar lebih jelas, tema dan konsep Equator itu sangat baru, berbeda, dan belum terlalu dikenal. Untuk itu perlu cara bagus menjelaskannya. Sebagian besar peserta pameran ini juga belum diakrabi, butuh pendekatan yang menimbulkan simpati. Sayangnya, pihak yang berwenang untuk
menyampaikan penjelasan tersebut, termasuk kurator dan penyelenggara lainnya, membuat kondisinya jadi tidak mudah dengan perilaku yang kurang bersahabat dengan kawan-kawan media. Padahal, rasanya semua orang sudah mafhum bahwa media adalah senjata andalan untuk mengenalkan apa pun. Bagai virus, kekurangbersahabatan itu langsung menular ke mana-mana. Alhasil ada resistensi alias penolakan yang tak terelakkan terhadap biennale 'baru' ini. Indikasi yang paling mudah ditemui adalah orang tak merasa perlu menonton pembukaan pamerannya. Di hari selanjutnya, pameran juga tidak dihadiri jumlah penonton yang cukup. Jangankan menonton, membicarakan saja malas. Bahkan yang lebih kejam malah menganggap Biennale Jogja sudah tidak lagi penting! Begitu seterusnya dan sialnya kondisi semacam itu berlanjut sampai jilid ketiga kemarin. Pengantar lumayan panjang itu perlu dituliskan semata agar memudahkan saya untuk masuk ke bahasan estetika. Mari kita perhatikan setiap hal dan persoalan secara cermat lagi teliti supaya sidang pembaca sekalian tidak salah mengenali apalagi salah dan berburuk sangka terhadap tulisan saya ini. Memang sederhana kelihatannya, namun berhati-hati tetap lebih baik, bukan? Pengertian Estetika menurut Wikipedia adalah “salah satu cabang filsafat yang membahas bagaimana keindahan bisa terbentuk, dan bagaimana supaya dapat merasakannya. Pembahasan lebih lanjut mengenai estetika adalah sebuah filosofi yang mempelajari nilai-nilai sensoris yang kadang dianggap sebagai penilaian
30
terhadap sentimen dan rasa. Estetika merupakan cabang yang sangat dekat dengan filosofi seni.” Demi membaca itu, maka estetika macam apa yang bisa kita lihat atau kita berikan penilaiannya manakala serial Equator ditonton pun tidak oleh mereka yang menujukkan sikap resistensi tersebut? Yang saya maksud dengan penyebutan “mereka” dalam tulisan ini adalah sebagian perupa yang berdomisili di Yogyakarta, wartawan, dan atau pelaku media (termasuk media sosial), serta masyarakat penonton seni. Dan jangan lupa, jumlah mereka jauh lebih banyak jika dibandingkan dengan yang tidak bersikap resisten Maka, menjadi kewajiban Equator #4 untuk mengajak kembali orang, perupa dan siapa pun untuk hadir menyaksikan perhelatan istimewa ini. Artinya merayu sebisa mungkin, kemudian mengubah penolakan menjadi penerimaan. Cara yang paling masuk akal adalah menghadirkan kembali estetika visual. Dengan kata lain, menghadirkan hal terkait keindahan alias estetika sebagai bagian wajibnya, bukan sekadar bersifat sunah seperti beberapa seri Equator sebelumnya. Tentu masih ada upaya dan atau siasat pelengkap lainnya. Setidaknya ada empat kemungkinan yang saya pikirkan tentang itu. Berikut di bawah ini: 1. Periksa ulang makna dan pengertian ekuator Ekuator atau lintasan khatulistiwa adalah letak geografis di peta bumi dengan batasan sekitar 23 derajat di garis lintang utara maupun selatan. Dengan demikan, harusnya jelas siapa atau negara mana
yang termasuk di dalamnya. Mari kita periksa satu demi satu. India, negara pertama yang digandeng Biennale Jogja Equator terletak di koordinat 8º hingga 37º Lintang Utara (LU) dan membentang dari 68º sampai 97º Bujur Timur (BT). Kedua, Arab Saudi yang posisi koordinatnya antara 15°–32°LU dan antara 34°–57°BT. Di utara dan sebetulya lebih ke cenderung ke wilayah subtropik daripada khatulistiwa yang tropika. Nigeria sebagai negara pilihan ketiga, berada di 5°–14° LU dan 4°–16° BT. Dan yang sebentar lagi, secara astronomis Brasil terletak di antara 5° LU–33° Lintang Selatan (LS) dan antara 46°–74° Bujur Barat (BB). Nah dari empat pilihan yang telah dilakukan, tiga di antaranya baru sekadar menyerempet atau mendekati garis khatulistiwa, dan ketiganya terletak di sebelah utaranya. Hanya satu negara yang benar-benar dilintasi oleh garis ekuator sebagaimana Indonesia, yakni Brasil. Sejatinya, ini mewakili pertanyaan saya: “Kok belum ngekuator banget?” 2. Periksa ulang konsep Biennale Equator Dari rujukan informasi yang saya dapatkan, disebutkan bahwa seri pertama Biennale Equator bertajuk Shadow Lines. Istilah ini merujuk pada “garis imajiner yang membawa orang-orang untuk bersatu, dan sekaligus memisahkan mereka. Shadow Lines juga merujuk pada batasan geopolitis dan penciptaan negara modern di Asia Selatan.” Dalam gelaran ini, ada 40 seniman Indonesia dan India yang terlibat. Tema yang dipilihnya adalah “Religiusitas, Spiritualitas, dan Kepercayaan”. Eksplorasi atas tema ini ingin menunjukkan “beragam pendekatan dan cara pandang dalam
31
menyikapi ranah ini dengan interpretasi atas situasi kontemporer mereka, bersumber pada pengalaman personal dan struktur politik di negara tempat mereka hidup.” Selanjutnya, kita tilik sejenak konsep kuratorial Equator #2. Di sana dinyatakan bahwa Biennale Equator “berani mengimajinasikan cakupan wilayahnya sendiri.” Dengan pilihan wilayah kerja semacam ini, negara-negara yang direncanakan akan terlibat adalah negara dalam kategori 'non-Barat' atau 'Dunia Ketiga'. Kategori ini berkaitan erat dengan sejarah kolonial, pascakolonial, serta relasi yang lahir sebagai imbas dari globalisasi abad ke-20. Proyek ini diharapkan mampu menggali dan membaca ulang sejarah serta proyeksi baru tentang kawasan khatulistiwa. Meski mungkin benar 'non-Barat', tetapi cukup tepatkah menganggap negara kaya raya seperti Arab Saudi sebagai 'Dunia Ketiga'? Lalu di perhelatan Equator #3 bersama Nigeria, saya hanya mendapati kata “Hacking Conflict” sebagai konsepsi atau sekadar judul. Pada biennale yang akan datang, kurator Sigit Pius menawarkan tema “Mengintip Hubungan Intim Dua Negara Padat Populasi”. Nah, adakah konsep/tema serial Equator ini menghasilkan olahan visual yang bisa didekati dengan prespektif estetika? Jujur untuk tiga seri terdahulu, saya gagal mendapatkannya. Meski tidak secara langsung menyaksikan wujud fisik karya seni rupa tersebut, bukan berarti saya tidak mengintip dan kulak informasi dari berbagai sumber. Sebagai perhelatan seni rupa yang dipandegani oleh (baca: menggunakan jasa) kurator yang lebih
mementingkan wacana daripada tampilan visual, memang agak susah menemui hal ihwal artistik, keindahan, dan atau filosofi seni nan estetis itu. Sebabnya (lagi), bagi kelompok ini seni rupa bukanlah soalan visual, melainkan bagaimana soalan itu di/ter-kata-kan. Dan karenanya (lagi), estetika bukan lagi ukurannya. 3. Menawarkan estetika baru Sangat bisa jadi Anda menuduh tulisan saya sebagai pemikiran yang sudah kuno, sudah bukan zamannya lagi. Barangkali sebagian menduga ini menggunakan pendekatan modernisme, belum lagi postmodern apalagi kontemporer. Namun izinkanlah saya membela diri dengan membeberkan beberapa kesalahpahaman kontemporer yang berlaku sejauh ini. Anything Goes alias apa pun boleh sempat menjadi jargon utama kelompok salah kaprah ini. Padahal sejatinya jika apa pun boleh, maka akan menjadi ajaib jika kelompok ini bersikukuh menuntut untuk menyebut perbuatan mereka sebagai seni dan kesenian. Semestinya yang lain juga boleh menganggap 'kesenian' itu sebagai bukan atau apalah. Alasannya, untuk menentukan boleh atau tidaknya sesuatu disebut sebagai seni, ada syarat dan ketentuan yang tegas dan jelas. Bahwa di dalam dunia kreatif, seni bersifat otonom itu benar adanya. Namun kebanyakan orang salah menerjemahkan otonom sebagai bebas semata. Satu hal penting dalam makna yang terkandung dalam kata ini adalah mempunyai hukumnya sendiri (having its own laws). Hukum dalam konteks itu jelas bicara tentang aturan, bukan sembarangan apalagi asal-asalan.
32
Kesalahpahaman dan atau kesalahkaprahan berikutnya adalah karena sudah memegang perspektif post-modern, maka modernisme dianggap telah lewat. Bukan begitu cara melihatnya. Untuk tiba pada yang-post, seseorang harus sudah mampu melewati atau khatam perspektif yang mendahuluinya. Nah, aneka kesalahan inilah yang akhirnya membolehkan karya seni yang tidak lagi harus nyeni. Bagi saya, justru karena Biennale adalah peristiwa seni rupa, maka mau tak mau kandungan alias konten seni rupanya harus lebih banyak dibanding unsur pelengkapnya. 4. Banyak-banyaklah berdoa Kurator terbaru, Sigit Pius, telah menjelaskan pada saya tentang konsep dan laku artistik menyiapkan Equator jilid keempat ini. Salah satu temuan kreatifnya adalah memperlakukan perhelatan ini sebagai semacam pernikahan. Tentu ada banyak adat dan tata cara serta upacaranya. Salah satu yang akan membukanya adalah menggelar EdanEdanan sebagai pembuka jalannya. Saya cenderung percaya ia mampu melampauinya dengan baik, Namun tak lupa mengingatkan bahwa musuh terbesarnya adalah resistensi sebagaimana berulang kali disebut di muka. Dan satu lagi: angka 4 adalah pertanda sial dalam peruntungan bangsa Tiongkok. Tapi kelompok beranggotakan 4 orang pemuda tampan dari Taiwan yang bermain di serial Meteor Garden justru meraih kesuksesan, bukan? Semoga semangat dan niat baiknya mampu melahirkan pemahaman dan pemaknaan baru mengenai lintasan khatulistiwa
melalui proses dan dinamika terkait estetika dalam penyelenggaraan Biennale Jogja. Dan sekali lagi, percayalah, manakala kau percaya kesenian maka ia tak akan pernah mengkhianatimu. Keindahan apalagi yang engkau dustakan? Yogyakarta,17 Mei 2017
33
Mata Mercusuar Gabriel Bogossian Ko-Kurator Associação Cultural Videobrasil dan Ko-Kurator Biennale Jogja XIV
Salah satu ruangan dalam Galpão VB, markas Videobrasil. Dok: Videobrasil
Didirikan pada tahun 1983, Festival Videobrasil pada penyelenggaraan pertama didedikasikan untuk karya video dari Brasil. Pada tahun 1996, kontak dengan generasi baru pembuat video dari Lebanon memperjelas kebutuhan untuk memperluas cakupan; dan Festival yang kemudian berfokus pada wilayah belahan bumi bagian selatan ini mulai menerima kumpulan gagasan dari seluruh wilayah Selatan Global. Dengan berusaha lepas dari kriteria geografis yang cenderung berbau geopolitik juga berarti bahwa bidang ketertarikan Festival ini bersifat fleksibel, dengan
34
merespons peristiwa-peristiwa sosial politik dalam sistem dunia. Festival Videobrasil yang digelar dua tahunan di São Paulo, yang saat ini tengah mempersiapkan edisi ke-20 pada Oktober 2017 nanti, menciptakan sebuah jendela besar yang memperlihatkan produksi artistik dari Selatan Global, termasuk diasporanya di seluruh dunia. Bersama 50 seniman dari 25 negara, edisi kali ini mencoba meneguhkan posisi Festival Videobrasil sebagai salah satu acara seni dunia yang komprehensif di São Paulo. Meskipun masih beridentifikasi kuat dengan time-based media sebagai fokus utama, pada tahun-tahun belakangan Festival ini telah menerima pengajuan karya dalam bentuk media yang berbeda. Pada tahun 2015, peresmian Galpão VB membuka Koleksi Bersejarah Videobrasil—yang terdiri dari hampir seluruh karya video yang berpartisipasi dalam Festival—agar dapat diakses oleh publik. Dengan fungsinya sebagai lokasi Videobrasil dan markas Festival, Galpão menerjemahkan fokusnya menjadi sebuah program reguler—tidak hanya pameran, tapi juga lokakarya, ceramah, pemutaran, dan acara khusus lainnya, yang menjadikan institusi ini sebuah titik kunci dalam skena artistik kontemporer di Brasil. Dalam konteks ini, kerja sama dengan Biennale Jogja memberi kami rangsangan ganda. Di satu sisi, hal itu mempertegas komitmen Videobrasil pada pembelajaran tanpa akhir untuk membuka jendela dialog baru dengan skena kesenian lokal di seluruh dunia. Di sisi lain, pameran dua program video—Towards a counter history of a conflict dan Uyuni—dengan karyakarya dari Koleksi Bersejarah Videobrasil
memberi gambaran sekilas tentang institusi ini melalui karya seni yang dikumpulkannya. Towards a counter history of a conflict dan Uyuni dirancang dengan dua fungsi: pertama, dengan merangkai sejumlah video dari tahun-tahun yang berbeda, dua program ini berfungsi sebagai fragmen dalam sejarah Festival; kedua dan yang paling penting, program-program ini berperan sebagai sebuah pernyataan artistik dalam konteks dialog kontemporer antara seni dan politik. Towards a counter history of a conflict terdiri dari refleksi atas hubungan Arab-Israel dilihat dari ruang intim ingatan dan kehidupan sehari-hari; sementara Uyuni adalah judul yang diambil dari karya seniman video Argentina, Andrés Denegri, untuk merefleksikan kompleksitas sengketa teritorial dalam konteks Amerika Latin. Pada akhirnya, kolaborasi dengan Biennale Jogja memberi kesempatan pada Videobrasil untuk memperdalam pengalaman pertukaran dengan karyakarya Indonesia, yang baru sedikit terwakili dalam Festival kami. Kerja sama ini juga membuat kami dapat mengarahkan mata mercusuar kami ke Asia Tenggara, membuka cakrawala baru yang menarik untuk dijelajahi.
35
BIENNALE JOGJA BIENNALE JOGJA adalah biennale internasional yang berfokus pada seni rupa, diadakan setiap dua tahun sejak tahun 1988. Sejak tahun 2011, Biennale Jogja bekerja di sekitar Khatulistiwa 23.27 derajad Lintang Utara dan Lintang Selatan. Biennale Jogja mengembangkan perspektif baru yang sekaligus juga membuka diri untuk melakukan konfrontasi atas 'kemapanan' ataupun konvensi atas event sejenis. Khatulistiwa adalah titik berangkat dan akan menjadi common platform untuk 'membaca kembali' dunia. Biennale Jogja diorganisasi oleh Yayasan Biennale Yogyakarta (YBY). YBY juga menyelenggarakan Simposium Khatulistiwa yang diadakan pada tahun berselang dengan even Biennale Jogja. Biennale Jogja seri Equator : 2011 – 2021 YBY bertekad menjadikan Yogyakarta dan Indonesia secara lebih luas sebagai lokasi yang harus diperhitungkan dalam konstelasi seni rupa internasional. Di tengah dinamika medan seni rupa global yang sangat dinamis — seolah-olah inklusif dan egaliter — hirarki antara pusat dan pinggiran sebetulnya masih sangat nyata. Oleh karena itu pula, kebutuhankebutuhan untuk melakukan intervensi menjadi sangat mendesak. YBY mengangankan suatu sarana (platform) bersama yang mampu menyanggah, menyela atau sekurang-kurangnya memprovokasi dominasi sang pusat, dan memunculkan alternatif melalui keragaman praktik seni rupa kontemporer dari perspektif Indonesia. Dimulai pada tahun 2011, YBY akan menyelenggarakan BJ sebagai rangkaian pameran yang berangkat dari satu tema besar, yaitu EQUATOR (KHATULISTIWA). Rangkaian
biennale ini mematok batasan geografis tertentu di planet bumi sebagai wilayah kerjanya, yakni kawasan yang terentang di antara 23.27 LU dan 23.27 LS. Dalam setiap penyelenggaraannya BJ bekerja dengan satu, atau lebih, negara, atau kawasan, sebagai 'rekanan', dengan mengundang senimanseniman dari negara-negara yang berada di wilayah ini untuk bekerja sama, berkarya, berpameran, bertemu, dan berdialog dengan seniman-seniman, kelompok-kelompok, organisasi-organisasi seni dan budaya Indonesia di Yogyakarta. Perjalanan mengelilingi planet Bumi di sekitar Khatulistiwa ini dimulai dengan berjalan ke arah Barat. Biennale Jogja tidak mengawali perjalanan ini ke arah Timur karena menyadari keterbatasan pengetahuan tentang Pasifik dan bahkan Nusantara itu sendiri. Selain itu YBY yang baru berdiri pada Agustus 2010 memiliki tenggat waktu untuk melaksanakan Biennale Jogja XI pada tahun 2011. Wilayah-wilayah atau negara-negara di sekitar Khatulistiwa yang direncanakan akan bekerja sama dengan BJ sampai dengan tahun 2021 adalah: India (Biennale Jogja XI 2011), Negaranegara Arab (Biennale Jogja XII 2013), Negaranegara di benua Afrika (Biennale Jogja XIII 2015), Negara-negara di Amerika Latin (Biennale Jogja XIV 2017), Negara-negara di Kepulauan Pasifik dan Australia, termasuk Indonesia sebagai Nusantara (Biennale Jogja XV 2019) – karena kekhasan cakupan wilayah ini, BJ XV dapat disebut sebagai 'Biennale Laut' (Ocean Biennale)–, Negara-negara di Asia Tenggara (Biennale Jogja XVI 2021). BJ seri Khatulistiwa akan ditutup dengan KONFERENSI KHATULISTIWA pada tahun 2022.
YAYASAN
YOGYAKARTA
Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta Dinas Kebudayaan