3 minute read
Pemimpin sebagai Representatif Adat bagi Masyarakat Toraja
Memasuki era reformasi, kondisi sistem politik di Indonesia turut berubah. Hal tersebut dilakukan untuk meninggalkan kontrol ketat dari pemerintah. Salah satunya pemberangusan praktik nilai-nilai adat. Dalilnya, pada masa orde baru hal seperti itu dianggap berpotensi menjadi pemicu konflik.
Bagi suku Toraja, kepala daerah adalah cerminan pemerintah formal yang memimpin masyarakat di bawah nilai-nilai adat.
Advertisement
Sehingga posisi kepala daerah menjadi penting dalam konteks sosial dan budaya mereka. Maka tak heran jika adat dijadikan sebagai suatu ideologi.”
Pemerintah akhirnya melakukan perubahan signifikan yakni sistem pemilihan kepala daerah. Perubahan tersebut kemudian mengarah pada sistem politik lokal. Kecenderungan sistem politik lokal dapat dijumpai dalam kelompok etnis Toraja.
Di Toraja, peristiwa politik tidak jauh dari keberadaan adat. Contohnya dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), hampir semua yang terpilih pasti orang Toraja dan biasanya beragama kristen.
Realita ini membuat Dr Phil Sukri MSi melakukan penelitian tentang pengaruh adat sebagai ideologi dalam peristiwa politik. Ia menyebut hal seperti itu sebagai bentuk ‘Ketorajaan’.
“Ketorajaan artinya orang Toraja itu berpikir bahwa orang yang memimpin adalah orang yang harus sesuai dengan nilai-nilai dasar kami,” ucap Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Senin (5/9).
Nilai dasar yang dimaksud dalam konteks suku Toraja yaitu adat. Itulah yang membuat Dosen Ilmu Politik tersebut tertarik untuk meneliti tentang adat yang dijadikan sebagai ideologi.
Seiring waktu, telah banyak orang Toraja yang mengenyam pendidikan dan berinteraksi dengan banyak orang di luar dari suku mereka. Namun, nyatanya adat tetap menjadi sesuatu yang berpengaruh.
Anggapan bahwa orang yang telah sekolah dan tinggal di luar Toraja itu telah berpikir modern ternyata tak sesuai. Sekalipun terpapar globalisasi, di Toraja, adat istiadat tetap mendapat tempat spesial.
“Banyak yang seperti itu. Walau sudah jadi guru besar tetapi ketika kembali ke daerahnya mereka akan tunduk pada adat,” jelas Dekan Fisip itu.
Tak hanya itu, masyarakat Toraja juga merepresentatifkan tokoh adat sebagai orang Toraja pada umumnya. Mereka disebut orang yang berperilaku baik dan sangat paham akan adat.
Maka dari itu, selama melakukan penelitian ini, Sukri menggunakan metode etnografi. Informan yang ia wawancarai pun seperti tokoh adat, bupati, tokoh politik, pendeta dan masyarakat setempat
Syarat pemimpin sesuai aturan adat
Salah satu bentuk peristiwa politik yang ditemukan dalam kegiatan adat yakni di acara Rambu Solo atau upacara kematian. Sejumlah calon memanfaatkan situasi tersebut untuk berkampanye. Dalam acara seperti ini seorang yang ingin maju menjadi kepala daerah namanya akan disebut.
“Ketika namanya disebut, maka akan menjadi doa bersama keluarga. Dan di Toraja ikatan keluarga sangat kuat,” pungkas Sukri.
Dari situ dapat dilihat bahwa orang-orang lebih memanfaatkan acara adat sebagai ajang kampanye dibanding secara formal. Karena selain memobilisasi massa, mereka yang bicara dianggap sebagai simbol kebenaran dan kebaikan.
“Prinsipnya, kalau bukan orang Toraja sudah tidak bisa,” tambah Dosen Ilmu Politik itu.
Sosok pemimpin bagi suku Toraja harus seorang yang mampu menyejahterakan rakyatnya. Olehnya, terdapat empat kriteria berdasarkan adat yang harus dimiliki agar pantas menjadi kepala daerah, yakni kemampuan atau kapabilitas, sikap arif, kaya, dan yang terpenting adalah dari kalangan bangsawan. Hal ini telah menjadi sebuah keharusan bahwa seorang keturunan bangsawan haruslah menjadi pemimpin.
Pada kondisi ini adat cenderung mengatur orang Toraja untuk memilih pemimpin daerahnya dalam konteks sosial dan budaya. Dalam sistem pemilu, adat mengalami penyesuaian fungsional. Namun karena suku Toraja telah mengklaim daerahnya sebagai tanah yang suci, maka pemimpin mereka haruslah sesuai dengan preferensi suku Toraja.
Bahkan dalam peristiwa politik, partai pengusung juga sangat memperhatikan aspek adat. Dalam suku Toraja terdapat stratifikasi sosial yaitu Tana’ Bulaan (kastra bangsawan tertinggi), Tana’ Bassi (golongan bangswan mengengah), Tana’ Karurung (golongan orang merdeka) dan Tana Kua-kua (golongan hamba atau budak).
Sukri menyebutkan bahwa di Toraja, yang bisa jadi pemimpin berada di dua golongan teratas yakni Tana’ Bulaan dan Tana’ Bassi. Itu golongan para bangsawan yang berada di kasta emas dan besi. “Hanya mereka yang dianggap pantas untuk memimpin,” ucapnya.
Lebih lanjut, Dekan FISIP Unhas tersebut mengatakan ketika partai tidak memenuhi salah satu kriteria yang diinginkan masyarakat Toraja, maka partai tidak akan mencalonkannya. Hal ini karena orang itu memiliki ‘kelemahan bawaan’.
“Kelemahannya yang dimiliki di awal sudah tidak sesuai dengan keinginan masyarakat Toraja, dan jelas saja ia juga tidak mungkin dipilih,” tutur Sukri.
Itulah mengapa partai sangat memperhatikan aspek seperti itu. Mereka akan diseleksi dengan betul-betul. Karena jika tidak, nantinya menjadi bumerang bagi mereka sendiri.
Dosen Departemen Ilmu Politik itu juga menyampaikan bahwa bila berbicara tentang prinsip demokrasi di negara Indonesia, maka tentunya membahas mengenai apa keinginan rakyat. Maka dari itu, masyarakat Toraja menginginkan pemimpin yang sesuai dengan preferensi mereka.
“Justru jika kita paksakan cara berpikir kita yang berbeda, bukankah itu menjadi otoriter. Tidak ada yang dilanggar, karena itu adalah representatif dari cara masyarakat berpikir,” pungkas Sukri.
Sebenarnya yang perlu diperhatikan adalah nilai-nilai yang diturunkan dari adat. Kriteria pemimpin yang dimiliki oleh masyarakat Toraja tentunya bukan hal yang negatif atau salah. Justru hal tersebut harus ditafsir ke kerangka yang lebih baik.
Pemimpin harus kaya. Tapi maknanya bukan berarti seorang kepala daerah harus bagi-bagi uang. Tetapi menjadi pemimpin yang peduli akan kebutuhan rakyat.
“Sehingga tidak masalah adat menjadi sumber preferensi perilaku,” tutup Sukri.
Friskila Ningrum Yusuf