2 minute read

Kisah Peraih Penghargaan Pemuda Difabel Kemenpora

DOKUMENTASI PRIBADI

Sepenggal kalimat itulah yang diutarakan peraih penghargaan Pemuda Difabel

Advertisement

Berprestasi Tingkat Nasional yang diselenggarakan oleh Kementerian

Pemuda dan Olahraga Republik Indonesia (Kemenpora RI), Nabila May Sweetha.

Nabila mengaku, kegemarannya menulis menjadi batu loncatannya dalam mendapatkan pencapaiannya saat ini. Walaupun telah menjadi tuna netra sejak lima tahun lalu, ia kerap mendapatkan prestasi selama berkuliah di Universitas Hasanuddin (Unhas) melalui hobi yang ditekuninya, menulis. Prestasi tersebut salah satunya adalah Juara Tiga

Lomba Menulis yang diadakan oleh Lembaga

Pers Dr Soepomo. Nabila juga mengungkapkan pernah membuat sebuah buku yang bercerita mengenai kebudayaan di masyarakat Bugis dan mengambil latar tempat di kampung halamannya sendiri, Pangkep.

Dalam perjalanannya mendapatkan penghargaan tersebut, Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik itu melewati beberapa tahapan seperti pengumpulan berkas yang berisi Curriculum Vitae (CV) serta minimal 10 sertifikat kejuaraan nasional yang dibatasi hanya untuk kejuaraan dalam bidang akademik dan seni. Kemudian, setelah itu terdapat wawancara kebangsaan. Selama menyiapkan ketentuan tersebut, Nabila bercerita bahwa ia tidak memiliki kendala bahkan hingga proses penerimaan penghargaan pada saat acara Hari Sumpah Pemuda di Ibu Kota Negara, Kalimantan.

Nabila mengungkapkan perasaannya pada saat dihubungi oleh pihak Kemenpora bahwa ia terpilih mendapatkan penghargaan tersebut dan menjadi Duta Prestasi Nasional. Tentu ia merasa sangat bahagia.

“Walaupun saya tidak berharap banyak, saya bahagia sekali, saya yang bukan siapa-siapa dari kabupaten kecil yang orang jarang tahu namanya, bisa mewakili seluruh pemuda di Indonesia untuk menerima penghargaan,” ungkap mahasiswa asal Pangkep itu saat di wawancara, Selasa (29/11).

Perempuan berambut panjang itu mengungkapkan alih-alih masuk di organisasi dalam kampus, ia lebih menspesifikkan pergerakannya dengan menjadi aktivis perempuan difabel dan memilih untuk aktif dalam organisasi masyarakat sipil yang memperjuangkan kesetaraan difabel, yaitu Pergerakan Difabel Indonesia untuk Kesetaraan (PerDIK). Organisasi ini merupakan Non-Governmental Organization (NGO) yang mencakup semua masyarakat. Organisasi ini memperjuangkan akses untuk hak-hak masyarakat difabel.

Nabila kerap kali membantu teman-teman difabel dalam pemenuhan haknya seperti melanjutkan pendidikan dan mendapatkan ruang yang nyaman dan aman sama seperti masyarakat lainnya. Hal tersebut dilakukannya sekali lagi untuk membanggakan kedua orang tuanya.

Selain melatih jiwa sosial dan empatinya, bergabung dengan organisasi membuatnya mampu melebarkan relasi dan hubungan dengan banyak orang. Bahkan informasi mengenai pendaftaran penghargaan difabel berprestasi yang didapatnya berawal dari informasi yang ia dapatkan dari salah satu senior di organisasinya.

Pencapaian yang Nabila peroleh tentu saja tidak terlepas dari tantangan dan masalah yang berhasil ia lalui. Wanita itu mengaku bahwa selama ini keinginannya selalu bertentangan dengan kehendak dari ayahnya. Sehingga, motivasi terbesar Nabila dalam mendapatkan penghargaan tersebut adalah orang tua. Ia berharap dapat membanggakan orang tuanya, terkhusus ayahnya.

Bukan tanpa alasan, hobi menulisnya itu sempat ditentang oleh ayahnya karena hasutan dari berbagai pihak. Hal tersebut kemudian menjadi titik terendah atau terhancur Nabila dalam kehidupannya karena itu merupakan pertama kali ayahnya memarahi dan melarangnya untuk sekedar memuaskan hobinya. “Jangankan diapresiasi, malah saya dimarahi untuk menulis,” tuturnya. Untuk menghilangkan kesedihannya, Nabila hanya membiarkannya sampai rasa sedih tersebut menghilang dengan sendirinya.

Sama halnya dengan mahasiswa lainnya, kendala yang dialami yaitu tidak bisa mengontrol rasa bosan dan malasnya. Hal ini pula yang menjadi hamabatan dalam pencapaian prestasi lainnya. Bahkan, ia merasa memang kejuaraan yang diikuti saat masa sekolah menengah lebih banyak daripada kejuaraan yang diikutinya di masa perkuliahan.

Namun, Mahasiswa Ilmu Politik tersebut memiliki prinsip untuk tidak berharap terlalu tinggi agar kemudian tidak kecewa. “Kecewa hadir dari harapan kita yang terlalu berlebih. Jadi, saya tidak berharap terlalu tinggi ke orang lain maupun ke pencapaian yang ingin saya raih,” terangnya.

Di akhir wawancara, Nabila berpesan bahwa ketika melihat seorang yang difabel, tidak perlu malu untuk menyapa karena mereka sangat menginginkan kesempatan berkomunikasi dan berteman dengan orang banyak. Namun, mereka terkadang bingung bagaimana cara memulainya.

Bagi Nabila, membanggakan orang tua merupakan satu dari banyaknya alasan mahasiswa saat ini berlomba-lomba dalam mencetak segudang prestasi maupun penghargaan yang diraihnya. Tetapi harus diingat, dalam usaha untuk membanggakan kedua orang tua, setiap orang memiliki caranya masing-masing.

This article is from: